Anda di halaman 1dari 7

NAMA : CITRA LOLITA

NPM : 16710196
NO. : 112

LIKEN SIMPLEKS KRONIK (NEURODERMATITIS SIRKUMSKRIPTA)

A. Definisi
Liken simpleks kronik atau yang sering disebut juga dengan neurodermatitis
sirkumkripta adalah kelainan kulit berupa peradangan kronis, sangat gatal berbentuk
sirkumskrip dengan tanda berupa kulit tebal dan menonjol menyerupai kulit batang kayu
akibat garukan dan gosokan yang berulang-ulang (KEMENKES RI, 2014).
Liken Simplek Kronikus (LSK/neurodermatitis sirkumskripta) adalah suatu
kelainan yang sangat gatal dan bersifat kronis dengan ditandai satu atau lebih plak yang
mengalami likenifikasi yaitu penebalan pada kulit dan permukaan kulitnya seperti kulit
pohon, yang disebabkan oleh respon menggosok atau menggaruk berulang (Ariyanti dan
Suyoso, 2014).
Liken simplek kronik (LSK) adalah peradangan kulit kronis disertai rasa gatal,
ditandai dengan kulit yang tebal dan likenifikasi. Liken simpleks kronis merupakan
dermatosis kronis yang ditandai dengan lesi yang berbatas tegas disertai dengan rasa gatal.
Kelainan ini termasuk proses ekzema kronis yang tidak diketahui penyebabnya
(Fitzpatrick, 2012; Gantcheva dan Broshtilova, 2015).
Liken Simpleks Kronis (LSK) atau yang dikenal juga sebagai neurodermatitis
sirkumskripta adalah sebuah keadaan dimana terdapat peradangan kulit kronis, gatal,
sirkumskrip, ditandai dengan penebalan kulit, dan garis kulit tampak lebih menonjol
(likenifikasi), akibat garukan atau gosokan yang berulang- ulang karena berbagai
rangsangan pruritogenik (Panjaitan, 2015).

B. Epidemiologi
Insidens neurodermatitis sirkumskripta berlangsung secara kronis dan secara
epidemiologi lebih banyak menyerang kelompok dewasa yang berusia antara 30-50 tahun.
Namun pasien yang memiliki riwayat dermatitis atopik dapat menderita neurodermatitis
sirkumskripta pada onset yang lebih muda yaitu ratarata 19 tahun. Selain itu,
neurodermatitis sirkumskripta terjadi lebih sering pada wanita dibanding laki-laki dengan
insidensi lebih banyak pada kelompok ras Asia dan kelompok ras Amerika (Damayanti,
2014).
Letak lesi dapat timbul dimana saja, tetapi yang biasa ditemukan pada daerah
tengkuk, kepala, leher bagian samping, lengan bagian ekstensor, pubis, vulva, skrotum,
perianal, paha bagian medial, lutut, tungkai bawah lateral, pergelangan kaki bagian depan
dan punggung kaki. Liken simpleks kronis yang ditemukan pada daerah tengkuk (lichen
nucahe) umumnya hanya pada wanita, berupa plak kecil di tengah tengkuk atau dapat
meluas hingga ke kepala. Biasanya skuamanya banyak hingga menyerupai psoariasis
(Fitzpatrick, 2012).

C. Etiopatogenesis
Etiologi pasti liken simplek kronik belum diketahui, namun pruritus memainkan
peran sentral dalam timbulnya pola reaksi kulit berupa likenifikasi dan prurigo nodularis.
Pruritus sendiri dapat muncul sebagai gejala dari penyakit lainnya yang mendasari seperti
gagal ginjal kronis, obstruksi saluran empedu, limfoma Hodgkin, hipertiroidisme,
hipotiroidisme, AIDS, hepaitis B dan C, dermatitis atopik, dermatitis kontak, serta gigitan
serangga. Faktor psikologi diasosiasikan dengan liken simpleks kronis, namun belum jelas
apakah faktor emosional timbul sekunder terhadap penyakit ini atau primer dan kausatif.
Faktor stres akan merangsang neurotransmitter yang mempengaruhi suasana hati, seperti
dopamin, serotonin atau opioid peptida yang dapat memicu persepsi gatal melalui jalur
medulla spinalis (Fitzpatrick, 2012).
Gatal dapat menjadi gejala namun tidak hanya berupa gejala yang timbul pada
LSK. Gatal sendiri timbul akibat adanya pelepasan mediator inflamasi dan aktivitas enzim
proteolitik. Terkadang lesi nodular dapat muncul sebagai akibat dari penggarukan yang
berulang. Peningkatan neuropeptida, kalsitonin yang berkaitan dengan peptida dan
substansi serabut saraf “P” yang menimbulkan imunoreaktif yang berhubungan dengan
timbulnya lesi nodular sekunder. LSK juga behubungan dengan penyakit dalam seperti
gangguan gastrointestinal atau liver, diabetes melitus dan konstipasi (Gantcheva dan
Broshtilova, 2015).
Pada penderita dengan diabetes melitus terjadinya gatal sangat tinggi yang
dikarenakan kondisi kulit yang kering sehingga dapat memperberat kondisi bila terkena
liken simpleks kronis. Adapun dalam sebuah studi didapatkan bahwa pada penderita
diabetes melitus dengan usia > 60 tahun lebih banyak yang memiliki kondisi kulit yang
kering dibandingkan dengan umur < 60 tahun (Ezejiofor et al., 2013).
D. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Diagnosis
klinis dapat langsung ditegakkan dari riwayat adanya keluhan siklus gatal-garuk, lesi
likenifikasi, dan ekskoriasi. Tidak ada pemeriksaan penunjang khusus yang bisa dilakukan
(Ariyanti dan Suyoso, 2014; KEMENKES RI, 2014).
Diagnosis neurodermatitis sirkumskripta ditegakkan berdasarkan anamnesis,
gambaran klinis, dan pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan histopatologi dapat
membantu menentukan penyakit yang mendasarinya (Damayanti, 2014).

1. Anamnesis
Pasien datang dengan keluhan gatal sekali pada kulit, tidak terus menerus,
namun dirasakan terutama malam hari atau waktu tidak sibuk. Bila terasa gatal, sulit
ditahan bahkan hingga harus digaruk sampai luka baru gatal hilang untuk sementara
(KEMENKES RI, 2014).
Pada anamnesis liken simpleks kronis dijumpai gatal yang berat, gatal dapat
bersifat paroksismal, kontinus atau sporadik. Gatal diperberat oleh keringat, panas
atau iritasi dari pakaian. Stres juga dapat memperberat gatal. Dapat juga dijumpai
bercak kemerahan yang akan menebal dan bersisik putih akibat garukan berulang.
Bercak dapat dijumpai di daerah kepala, leher, pergelangan kaki, ekstremitas
ekstensor, genital (labia mayor dan skrotum).

2. Pemeriksaan fisik
Pada liken simplek kronis, garukan berulang menyebabkan terjadinya
penebalan plak dengan ekskoriasi. Hiperpigmentasi dan hipopigmentasi dapat
dijumpai pada kasus kronis. Pada tahap awal, plak berwarna kemerahan. plak
mengalami edema bila terjadi proses penggarukan yang kemudian menjadi skuama
dan menebal. Pada sebagian kasus, dapat terjadi hiperpigmentasi dan hipopigmentasi
(Natalia et al., 2011).
Menurut KEMENKES RI (2014), tanda patognomosis dari liken simpleks
kronik adalah:
a. Lesi biasanya tunggal, namun dapat lebih dari satu.
b. Dapat terletak dimana saja yang mudah dicapai tangan. Biasanya terdapat di daerah
tengkuk, sisi leher, tungkai bawah, pergelangan kaki, kulit kepala, paha bagian
medial, lengan bagian ekstensor, skrotum dan vulva.
c. Awalnya lesi berupa eritema dan edema atau kelompok papul, kemudian karena
garukan berulang, bagian tengah menebal, kering, berskuama serta pinggirnya
mengalami hiperpigmentasi. Bentuk umumnya lonjong, mulai dari lentikular
sampai plakat.

Gambar 1: Liken Simpleks Kronik

3. Pemeriksaan penunjang
a. Histopatologi
Gambaran histopatologik liken simplek kronik dapat berupa ortokeratosis
dan hipergranulosis. Dapat pula dijumpai adanya sel radang seperti limfosit dan
histiosit disekitar pembuluh darah dermis bagian atas, fibroblast bertambah dan
kolagen menebal.

Gambar 2: Gambaran Histopatologi Liken Simpleks Kronik


E. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari liken simpleks kronik adalah penyakit lain yang memiliki
gejala pruritus seperti dermatitis kontak iritan, dermatitis kontak alergi, dermatitis atopi,
lichen planus, lichen amiloidosis, dan psoriasis (Damayanti, 2014).

F. Penatalaksanaan
Menurut KEMENKES RI (2014), penatalakasanaan liken simpleks kronik
meliputi:
1. Pasien disarankan agar tidak terus menerus menggaruk lesi saat gatal, serta mungkin
perlu dilakukan konsultasi dengan psikiatri.
2. Prinsip pengobatan yaitu mengupayakan agar penderita tidak terus menggaruk karena
gatal, dengan pemberian:
a. Antipruritus: antihistamin dengan efek sedatif, seperti hidroksisin 10-50 mg setiap
4 jam, difenhidramin 25-50 mg setiap 4-6 jam (maksimal 300 mg/hari), atau
klorfeniramin maleat (CTM) 4 mg setiap 4-6 jam (maksimal 24 mg/hari).
b. Glukokortikoid topikal, antara lain: betametason dipropionat salep/krim 0,05% 1-
3 kali sehari, metilprednisolon aseponat salep/krim 0,1% 1-2 kali sehari, atau
mometason furoat salep/krim 0,1% 1 kali sehari. Glukokortikoid dapat
dikombinasi dengan tar untuk efek antiinflamasi.

G. Prognosis
Penyakit ini bersifat kronik dengan persistensi dan rekurensi lesi. Eksaserbasi dapat
terjadi sebagai respon stres emosional. Prognosis bergantung pada penyebab pruritus
(penyakit yang mendasari) dan status psikologik penderita.

H. KIE
1. Memberitahu keluarga mengenai kondisi pasien dan penanganannya.
2. Menyarankan pasien untuk melakukan konsultasi dengan psikiatri dan mencari
kemungkinan penyakit lain yang mendasari penyakit ini.
3. Memberitahu pasien untuk menghindari garukan, dan menjaga kuku agar tetap
pendek.
4. Hindari stress psikologis.
5. Istirahat yang cukup.
6. Menjaga kebersihan kulit dan menjaga kelembaban kulit agar kulit tidak kering.
DAFTAR PUSTAKA

Ariyanti, P., Suyoso, S. 2014. Studi Retrospektif: Pemahaman Klinis Liken Simpleks
Kronikus. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin 26(2): 122-126.
Damayanti, I.T. 2014. Neurodermatitis Sirkumskripta pada Wanita dengan Hipertensi Grade I
Terkontrol. Medula Unila 2(3): 44-51.
Ezejiofor, O.I., Onayemi, O., Olasode, O.A., Ikem, R.T. 2013. Patterns of Dermatological
Disorders Among Diabetics. Egyptian Dermatology Online Journal 9(2): 1-14.
Fitzpatrick, T.B. 2012. Dermatology in General Medicine Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, editors. New York: The McGraw Hill Companies.
Gantcheva, M., Broshtilova, V. 2015. Lichen Simplex Chronicus. In: Katsambas AD, Lotti
TM, Dessinioti C, D'Erme AM, editors. European Handbook of Dermatological
Treatments: Springer Berlin Heidelberg. p. 539-46.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (KEMENKES RI). 2014. Panduan Praktik Klinis
Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, Edisi 2. Jakarta. Direktorat
jenderal Bina Upaya Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI. Halaman 471-473.
Natalia, Menaldi, S.L., Agustin, T. 2011. Perkembangan Terkini pada Terapi Dermatitis
Atopik. J Indon Med Assoc 61(7): 299-304.
Panjaitan, R.R. 2015. Gambaran Tingkat Stres Penderita Liken Simpleks Kronik di Beberapa
Klinik Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di Kota Medan pada Bulan Februari-Maret
Tahun 2015. VISI 23(3): 2372-2379.

Anda mungkin juga menyukai