KETOASIDOSIS DIABETIKUM
Pembimbing :
Disusun oleh :
Deamira Meralda
112019103
REFERAT
Judul:
KETOASIDOSIS DIABETIKUM
Penyusun:
Daemira Meralda
112018104
Pembimbing
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat
rahmat-Nya kita dapat menyelesaikan makalah mengenai Ilmu Penyakit Dalam yang
berjudul “Ketoasidosis Diabetikum”.
Makalah ini disusun untuk memenuhi sebagian tugas dan sebagai syarat mengikuti
ujian akhir Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam. Dalam kesempatan ini, kita ingin
mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah berkontribusi dalam
penyusunan dan penyelesaian makalah, terutama kepada:
Daemira Meralda
2
DAFTAR ISI
Halaman
3
BAB I
PENDAHULUAN
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah komplikasi akut yang mengancam jiwa seorang
penderita diabetes mellitus yang tidak terkontrol. Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah
keadaan dekompensasi metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia, asidosis dan ketosis,
terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif. Kondisi kehilangan urin, air,
kalium, amonium, dan natrium menyebabkan hipovolemia, ketidakseimbangan elektrolit,
kadar glukosa darah sangat tinggi, dan pemecahan asam lemak bebas menyebabkan asidosis
dan sering disertai koma. Bahkan Pasien dengan KAD sering dijumpai dengan penurunan
kesadaran, bahkan koma (10% kasus). KAD merupakan komplikasi akut diabetes melitus
yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat.1
Berdasarkan data surveilan dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC),
insiden ketoasidosis diabetik di Amerika Serikat mulai tahun 1988-2009 terjadi peningkatan
dari 80.000 menjadi 140.000 (43,8%).2 Insiden KAD sebesar 8/1000 pasien DM per tahun
untuk semua kelompok umur, sedangkan untuk kelompok umur kurang dari 30 tahun sebesar
13,4/1000 pasien DM per tahun. Sumber lain menyebutkan insiden KAD sebesar 4,6 –
8/1000 pasien DM per tahun. KAD dilaporkan bertanggung jawab untuk lebih dari 100.000
pasien yang dirawat per tahun di Amerika Serikat. Walaupun data komunitas di Indonesia
belum ada, agaknya insiden KAD di Indonesia tidak sebanyak di negara barat, mengingat
prevalensi DM tipe 1 yang rendah. Laporan insiden KAD di Indonesia umumnya berasal
dari data rumah sakit dan terutama pada pasien DM tipe 2 Kegawatan KAD rata-rata terjadi
pada 80–90% kegawatan hiperglikemi dan angka kematiannya diperkirakan antara 4–10%.3
Faktor yang berhubungan dengan kegawatan KAD antara lain faktor KAP
(knowledge, attitude and practice/pengetahuan, sikap dan perilaku) serta faktor stres.
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah seseorang melakukan
penginderaan terhadap obyek tertentu. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang
sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan yang dimiliki oleh
seseorang akan menjadi titik tolak perubahan sikap dan perilaku mereka sehingga hidupnya
akan lebih berkualitas. Tidak mudah untuk melihat ketidakpatuhan terkait kegagalan pasien
dalam mematuhi instruksi klinik.4
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
kelompok umur kurang dari 30 tahun sebesar 13,4/1000 pasien DM per tahun.
Sumber lain menyebutkan insiden KAD sebesar 4,6 – 8/1000 pasien DM per
tahun. KAD dilaporkan bertanggung jawab untuk lebih dari 100.000 pasien yang
dirawat per tahun di Amerika Serikat. Walaupun data komunitas di Indonesia
belum ada, agaknya insiden KAD di Indonesia tidak sebanyak di negara barat,
mengingat prevalensi DM tipe 1 yang rendah. Laporan insiden KAD di Indonesia
umumnya berasal dari data rumah sakit dan terutama pada pasien DM tipe 2
Kegawatan KAD rata-rata terjadi pada 80–90% kegawatan hiperglikemi dan
angka kematiannya diperkirakan antara 4–10%.3
Pada tahun 2000, didapatkan jumlah kasus dan angka kematian dari
ketoasidosis diabetik yang dirangkum dari beberapa penelitian di RSUPN Cipto
Mangunkusumo Jakarta. Penelitian yang dilakukan pada tahun 1998-1999
menunjukkan jumlah kasus sebanyak 37 kasus dalam waktu 12 bulan dengan
persentase kematian sebesar 51%.3
2.3 Etiologi dan Faktor Pencetus
Infeksi tetap merupakan faktor pencetus paling sering untuk KAD dan KHH, namun
beberapa penelitian terbaru menunjukkan penghentian atau kurangnya dosis insulin
dapat menjadi faktor pencetus penting. Tabel 2 memberikan gambaran mengenai faktor-
faktor pencetus penting untuk kejadian KAD. Patut diperhatikan bahwa terdapat sekitar
10-22% pasien yang datang dengan diabetes awitan baru. Pada populasi orang Amerika
keturunan Afrika, KAD semakin sering diketemukan pada pasien dengan T2DM,
sehingga konsep lama yang menyebutkan KAD jarang timbul pada T2DM kini
dinyatakan salah.6
Infeksi yang paling sering diketemukan adalah pneumonia dan infeksi saluran kemih
yang mencakup antara 30% sampai 50% kasus. Penyakit medis lainnya yang dapat
mencetuskan KAD adalah penyalahgunaan alkohol, trauma, emboli pulmonal dan
infark miokard. Beberapa obat yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat juga dapat
menyebabkan KAD atau KHH, diantaranya adalah: kortikosteroid, pentamidine, zat
simpatomimetik, penyekat alpha dan beta serta penggunaan diuretik berlebihan pada
pasien lansia.6
6
Tabel 2. Kondisi-kondisi pencetus KAD pada pasien diabetes mellitus
Kasus (%)
Kondisi Pencetus
Infeksi 19-56
Penyakit kardiovaskular 3-6
Insulin inadekuat/stop 15-41
Diabetes awitan baru 10-22
Penyakit medis lainnya 10-12
Tidak diketahui 4-33
7
menyebabkan penurunan perfusi ginjal terutama pada KHH. Penurunan perfusi
ginjal ini lebih lanjut akan menurunkan bersihan glukosa oleh ginjal dan semakin
memperberat keadaan hiperglikemia. 6
8
diputarbalikkan oleh palmitoiltransferase karnitin II untuk membentuk asil
lemak koenzim A yang akan masuk ke dalam jalur beta-oksidatif dan
membentuk asetil koenzim A (Gambar 3). 6
9
Gambar 3. Mekanisme produksi badan keton. 6
(a) Peningkatan lipolisis menghasilkan produksis asetil KoA dari asam lemak,
sebagai substrat sintesis badan keton oleh hati. Defisiensi insulin menyebabkan
penurunan utilisasi glukosa dan penurunan produksi oksaloasetat. (b) Jumlah
oksaloasetat yang tersedia untuk kondensasi dengan asetil KoA berkurang; dan
(c) menyebabkan asetil KoA digeser dari siklusi TCA dan (d) mengalami
kondensasi untuk membentuk asetoasetat diikuti reduksi menjadi beta-
hidroksibutirat.
10
serum. Badan-badan keton oleh karenanya beredar dalam bentuk anion, yang
menyebabkan terjadinya asidosis gap anion sebagai karakteristik KAD. Gap
+ - -
anion ini dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut [Na - (Cl + HCO3 )],
berdasarkan rumus ini, gap anion normal adalah 12 (dengan deviasi standar 2)
mmol/L. Pada KAD, bikarbonat digantikan dengan asam beta- hidroksibutirat
dan asam asetoasetat sehingga jumlah konsentrasi bikarbonat dan klorida turun
dan terjadi peningkatan gap anion. Walaupun terjadi ekskresi ketoasid secara
substansial di dalam urin, penurunan konsentrasi bikarbonat serum dan
peningkatan gap anion yang diamati pada KAD kurang lebih sama. 6
11
Konsentrasi kalium serum mungkin meningkat oleh karena pergeseran
kalium extracellular yang disebabkan oleh kekurangan hormon insulin,
hypertonisitas, dan asidemia. Pasien dengan konsentrasi kalium serum rendah
atau low- normal pada saat masuk, mungkin akan kekurangan kalium yang berat
pada saat perawatan sehingga perlu diberi kalium dan perlu monitoring jantung
yang ketat, sebab terapi krisis hiperglikemia akan menurunkan kalium lebih
lanjut dan dapat menimbulkan disritmia jantung. 5,6
12
pemeriksaan fisis adalah penentuan kadar glukosa darah dengan glukometer dan
urinalisis dengan carik celup untuk menilai secara kualitatif jumlah dari glukosa,
keton, nitrat dan esterase leukosit di urin. 5,6
Tabel 2. Hubungan antara manifestasi klinis dengan patofisiologi KAD
Manifestasi Klinis Patofisiologi
Infeksi Hiperglikemia (glukoneogenesis
Penurunan Berat Badan Pemecahan Jaringan (Lipolisis, Proteolisis)
Poliuria, Nokturia, Haus Diuresis Osmotik
Penglihatan Kabur Perubahan Osmotik di Mata
Hiperventilasi, Nyeri Abdomen, Ketogenesis Ketoasidosis
Nausea Vomitus
2.6 Diagnosis
Ketoasidosis diabetikum (KAD) dan keadaan hiperglikemik
hiperosmolar (KHH) merupakan suatu keadaan kegawatdaruratan, sehingga
membutuhkan pengenalan dan penatalaksanaan segera. Pendekatan pertama
pada pasien-pasien ini terdiri dari anamnesa yang cepat namun fokus dan
hati-hati serta pemeriksaan fisik dengan perhatian khusus kepada:
a. Patensi jalan napas;
b. Status mental;
c. Status kardiovaskular dan renal;
d. Sumber infeksi; dan
e. Status hidrasi.6
Langkah pertama yang harus diambil pada pasien KAD terdiri dari
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cepat dan teliti terutama
memperhatikan patensi jalan napas, status mental, status ginjal dan
kardiovaskular, dan status hidrasi. Langkah-langkah ini harus dapat
menentukan jenis pemeriksaan laboratorium yang harus segera dilakukan,
sehingga penatalaksanaan dapat segera dimulai tanpa adanya penundaan.
Meskipun gejala DM yang tidak terkontrol mungkin tampak dalam beberapa
hari, perubahan metabolik yang khas untuk KAD biasanya tampak dalam
jangka waktu pendek (< 24 jam). Umumnya penampakan seluruh gejala
13
dapat tampak atau berkembang lebih akut dan pasien dapat tampak menjadi
KAD tanpa gejala atau tanda KAD sebelumnya. Gambaran klinis klasik
termasuk riwayat poliuria, polidipsia, dan polifagia, penurunan berat badan,
muntah, sakit perut, dehidrasi, lemah, clouding of sensoria, dan akhirnya
koma. Pemeriksaan klinis termasuk turgor kulit yang menurun, respirasi
Kussmaul, takikardia, hipotensi, perubahan status mental, syok, dan koma.
Lebih dari 25% pasien KAD menjadi muntah-muntah yang tampak seperti
kopi. Perhatian lebih harus diberikan untuk pasien dengan hipotermia karena
menunjukkan prognosis yang lebih buruk. Demikian pula pasien dengan
abdominal pain, karena gejala ini dapat merupakan akibat atau sebuah
indikasi dari pencetusnya, khususnya pada pasien muda. Evaluasi lebih lanjut
diperlukan jika gejala ini tidak membaik dengan koreksi dehidrasi dan
asidosis metabolik. 5
Tabel 3. Kriteria diagnostik KAD menurut American Diabetes Association5
14
2.7 Diagnosis Banding
a. Ketoasidosis Alkohol
Tidak semua pasien dengan ketoasidosis mengalami KAD. Pasien
dengan penyalahgunaan etanol kronik dan baru saja mendapatkan intake
alkohol eksesif (ie. Binge drinking) sehingga menyebabkan nausea vomitus
dan kelaparan akut dapat menderita ketoasidosis alkohol (KAA). Pada
semua laporan KAA, peningkatan keton tubuh total (7-10 mmol/L) dapat
diperbandingkan dengan pasien-pasien KAD. Meskipun demikian, pada
studi in vitro perubahan status redoks KAA disebabkan oleh peningkatan
rasio NADH terhadap NAD sehingga menyebabkan penurunan piruvat dan
oksaloasetat, yang pada akhirnya menyebabkan gangguan glukoneogenesis.
Kadar malonil ko-A yang rendah juga membantu menstimulasi
ketoasidosis dan peningkatan kadar katekolamin, sehingga menurunkan
sekresi insulin dan meninkatkan rasio glukagon terhadap insulin. Kesemua
keadaan ini menyebabkan terjadinya pergeseran keseimbangan reaksi ke
arah produksi beta-hidroksibutirat. Sehingga biasanya pasien dengan KAA
datang dengan kadar glukosa normal atau rendah disertai dengan kadar beta-
hidroksibutirat yang jauh lebih tinggi dibanding asetoasetat. Rasio kadar
beta-hidroksibutirat terhadap asetoasetat dapat mencapai 7-10:1,
bandingkan dengan KAD yang hanya 3:1.
Variabel yang membedakan antara ketoasidosis diabetik dengan
alkoholik adalah kadar glukosa darah. Ketoasidosis diabetikum
dikarakteristikkan dengan hiperglikemia (glukosa plasma >250 mg/dL)
sedangkan ketoasidosis tanpa hiperglikemia secara khas merujuk kepada
ketoasidosis alkohol. Sebagai tambahan, pasien KAA seringkali mengalami
hipomagnesemia, hipokalemia dan hipofosfatemia serta hipokalsemia
sebagai akibat penurunan hormon paratiroid yang diinduksi oleh
hipomagnesemia.7,8
b. Intoksikasi Akut
Overdosis salisilat dicurigai dengan adanya kelainan asam basa
campuran (alkalosis respiratorik primer dan asidosis metabolik gap anion
meningkat) tanpa disertai dengan peningkatan kadar keton. Diagnosis dapat
dikonfirmasi dengan kadar salisilat serum >80-100 mg/dL. Keracunan
15
metanol menyebabkan asidosis sebagai akibat dari akumulasi asam formiat
dan asam laktat. Intoksikasi metanol berkembang dalam waktu 24 jam
setelah asupan, dan pasien biasanya datang dengan nyeri abdominal
sekunder dari gastritis atau pankreatitis serta disertai dengan gangguan
penglihatan yang bervariasi mulai dari kekaburan sampai kebutaan (neuritis
optik). Diagnosis ditegakkan dengan adanya peningkatan kadar metanol.
c. Asidosis Matabolik Lainnya
Ketoasidosis diabetikum juga harus dibedakan dari penyebab-
penyebab lain asidosis metabolik gap anion tinggi, termasuk asidosis laktat,
gagal ginjal kronik stadium lanjut, dan keracunan obat-obatan seperti
salisilat, metanol, etilen glikol dan paraldehid. Pengukuran kadar laktat
darah dapat dengan mudah menentukan diagnosis asidosis laktat (>5
mmol/L) oleh karena pasien KAD jarang sekali menunjukkan kadar laktat
setinggi ini. Meskipun demikian, status redoks yang terganggu dapat
mengaburkan ketoasidosis pada pasien dengan asidosis laktat.7,8
16
kardiovaskular (kejang dan kolaps vaskular) serta dengan adanya kristal
kalsium oksalat dan hipurat di dalam urin. Metanol dan etilen glikol
merupakan alkohol dengan berat molekular rendah, sehingga keadaan
mereka di dalam darah dapat diindikasikan dengan peningkatan gap osmolar
plasma (> mOsm/kg). Gap osmolar plasma didefinisikan sebagai perbedaan
antara osmolalitas plasma terukur dengan osmolalitas plasma hitung.
Intoksikasi dengan paraldehid diindikasikan dengan bau napas kuat yang
khas.8
2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan KAD dan KHH yang baik memerlukan koreksi dehidrasi,
hiperglikemia dan gangguan elektrolit, dilanjutkan dengan identifikasi kejadian
komorbid pencetus dan di atas semuanya pemantauan pasien rutin. Panduan
tatalaksana pasien dengan KAD dan KHH dapat dilihat pada gambar 4 dan tabel
5 memberikan ringkasan rekomendasi utama dan penderajatan bukti.
17
Gambar 4. Alur Penatalaksanaan KAD sesuai rekomendasi ADA5
18
a. Terapi cairan
Terapi cairan awal ditujukan kepada ekspansi cairan intravskular dan
ekstravaskular serta perbaikan perfusi ginjal. Pada keadaan tanpa gangguan
kardiak, salin isotonik (0,9%) dapat diberikan dengan laju 15-20
ml/kgBB/jam atau lebih selama satu jam pertama (total 1 sampai 1,5 liter
cairan pada dewasa rata-rata). Pemlihan cairan pengganti selanjutnya
bergantung kepada status hidrasi, kadar elektrolit serum dan keluaran urin.
Secara umum NaCl 0,45% dengan laju 4 sampai 14 ml/kgBB/jam mencukupi
apabila kadar natrium serum terkoreksi normal atau meningkat. Salin isotonik
dengan laju yang sama dapat diberikan apabila kadar natrium serum
terkoreksi rendah.
Setelah fungsi ginjal telah terjaga dengan baik, cairan infus harus
ditambahkan 20-30 mEq/L kalium (2/3 KCl dan 1/3 KPO4) sampai keadaan
pasien stabil dan dapat menerima suplementasi oral. Kemajuan yang baik
untuk terapi pergantian cairan dinilai dengan pemantauan parameter
hemodinamik (perbaikan tekanan darah), pengukuran masukan/keluaran
cairan dan pemeriksaan klinis. Pergantian cairan harus memperbaiki defisit
perkiraan dalam waktu 24 jam pertama. Perubahan osmolalitas serum akibat
terapi tidak boleh melebihi 3 mOsm/kg H2O/jam. Pada pasien dengan
gangguan ginjal atau jantung, pemantauan osmolalitas serum dan penilaian
rutin status jantung, ginjal serta mental harus dilakukan bersamaan dengan
resusitasi cairan untuk menghindari overloading iatrogenik.
b. Insulin
Kecuali episode KAD ringan, insulin regular dengan infus intravena
kontinu merupakan pilihan terapi. Pada pasien dewasa, setelah hipokalemia
+
(K <3,3 mEq/L) disingkirkan, bolus insulin regular intravena 0,15
unit/kgBB diikuti dengan infus kontinu insulin regular 0,1 unit/kgBB/jam (5-
7 unit/jam pada dewasa) harus diberikan. Insulin bolus inisial tidak
direkomendasikan untuk pasien anak dan remaja; infus insulin regular
19
kontinu 0,1 unit/kgBB/jam dapat dimulai pada kelompok pasien ini. Insulin
dosis rendah ini biasanya dapat menurunkan kadar glukosa plasma dengan
laju 50- 75 mg/dL/jam sama dengan regimen insulin dosis lebih tinggi. Bila
glukosa plasma tidak turun 50 mg/dL dari kadar awal dalam 1 jam pertama,
periksa status hidrasi; apabila memungkinkan infus insulin dapat digandakan
setiap jam sampai penurunan glukosa stabil antara 50-75 mg/dL.
Pada saat kadar glukosa plasma mencapai 250 mg/dL di KAD dan
300 mg/dL di KHH maka dimungkinkan untuk menurunkan laju infus insulin
menjadi 0,05-0,1 unit/kgBB/jam (3-6 unit/jam) dan ditambahkan dektrosa (5-
10%) ke dalam cairan infus. Selanjutnya, laju pemberian insulin atau
konsentrasi dekstrosa perlu disesuaikan untuk mempertahakan kadar glukosa
di atas sampai asidosis di KAD membaik.
20
intravena ditambah suplementasi insulin regular subkutan setiap 4 jam sesuai
keperluan dapat diberikan. Pada pasien dewasa, suplementasi ini dapat
diberikan dengan kelipatan 5 unit insulin regular setiap peningkatan 50
mg/dL glukosa darah di atas 150 mg/dL, dosis maksimal 20 unit untuk kadar
glukosa ≥300 mg/dL.
Bila pasien sudah dapat makan, jadwal dosis multipel harus dimulai
dengan menggunakan kombinasi insulin kerja pendek/cepat dan kerja
menengah atau panjang sesuai keperluan untuk mengendalikan kadar
glukosa. Lanjutkan insulin intravena selama 1-2 jam setelah regimen
campuran terpisah dimulai untuk memastikan kadar insulin plasma yang
adekuat. Penghentian tiba-tiba insulin intravena disertai dengan awitan
tertunda insulin subkutan dapat menyebabkan kendali yang memburuk; oleh
karena itu tumpang tindih antara terapi insulin intravena dan inisiasi insulin
subkutan harus diadakan.
d. Kalium
Walaupun terjadi penurunan kadar kalium tubuh total, hiperkalemia
ringan sedang dapat terjadi pada pasien krisis hiperglikemik. Terapi insulin,
koreksi asidosis dan ekspansi volume menurunkan konsentrasi kalium serum.
Untuk mencegah hipokalemia, penggantian kalium dimulai apabila kadar
kalium serum telah di bawah 5,5 mEq/L, dengan mengasumsikan terdapat
keluaran urin adekuat. Biasanya 20-30 mEq/L kalium (2/3 KCl dan 1/3
KPO4) untuk setiap liter cairan infus mencukupi untuk mempertahankan
kadar kalium serum antara 4-5 mEq/L. Pada keadaan tertentu, pasien KAD
dapat datang dengan hipokalemia signifikan. Pada kasus-kasus ini,
penggantian kalium harus dimulai bersamaan dengan terapi cairan dan
pemberian insulin ditunda sampai kadar kalium mencapai lebih dari 3,3
mEq/L dalam rangka mencegah terjadinya aritmia atau henti jantung dan
kelemahan otot pernapasan.
e. Natrium
Penderita dengan KAD kadang-kadang mempunyai kadar natrium
serum yang rendah, oleh karena level gula darah yang tinggi. Untuk tiap
peningkatan gula darah 100 mg/dl di atas 100 mg/dl maka kadar natrium
diasumsikan lebih tinggi 1,6 mEq/l daripada kadar yang diukur.
Hiponatremia memerlukan koreksi jika level natrium masih rendah setelah
penyesuaian efek ini. Contoh, pada orang dengan kadar gula darah 600 mg/dl
22
dan level natrium yang diukur 130, maka level natrium yang sebenarnya
sebesar 130 + (1,6 x 5) = 138, sehingga tidak memerlukan koreksi dan hanya
memerlukan pemberian cairan normal saline (NaCl 0,9%). Sebaliknya kadar
natrium dapat meningkat setelah dilakukan resusitasi cairan dengan normal
saline oleh karena normal saline memiliki kadar natrium lebih tinggi dari
kadar natrium ekstraselular saat itu disamping oleh karena air tanpa natrium
7
akan berpindah ke intraselular sehingga akan meningkatkan kadar natrium.
Serum natrium yang lebih tinggi daripada 150 mEq/l memerlukan koreksi
5
dengan NaCl 0,45%.
f. Bikarbonat
Pemakaian bikarbonat pada KAD masih kontroversial. Pada pH > 7,0,
pengembalian aktivtas insulin memblok lipolisis dan memperbaiki
ketoasidosis tanpa pemberian bikarbonat. Mengetahui bahwa asidosis berat
menyebabkan banyak efek vaskular yang tidak diinginkan, tampaknya cukup
bijaksana menentukan bahwa pada pasien dewasa dengan pH < 6,9, 100
mmol natrium bikarbonat ditambahkan ke dalam 400 ml cairan fsiologis dan
diberikan dengan kecepatan 200 ml/jam. Pada pasien dengan pH 6,9 – 7,0,
50 mmol natrium bikarbonat dicampur dalam 200 ml cairan fisiologis dan
diberikan dengan kecepatan 200 ml/jam. Natrium bikarbonat tidak
g. Tatalaksana lainnya
Pemantauan EKG kontinu direkomendasikan oleh karena adanya
risiko hipo atau hiperkalemia dan aritmia yang disebabkannya. Tabung
nasogastrik harus diberikan kepada pasien dengan penurunan kesadaran oleh
karena risiko gastroparesis dan aspirasi. Kateterisasi urin harus
dipertimbangkan bila terdapat gangguan kesadaran atau bila pasien tidak
mengeluarkan urin setelah 4 jam terapi dimulai. Kebutuhan pemantauan vena
23
sentral harus dipertimbangkan perindividu, namun diperlukan pada pasien
tua atau dengan keadaan gagal jantung sebelumnya.5,6
2.9 Komplikasi
b. Edema Serebral
Peningkatan tekanan intrakranial asimtomatik selama terapi KAD
telah dikenal lebih dari 25 tahun. Penurunan ukurnan ventrikel lateral secara
signifikan, melalu pemeriksaan eko-ensefalogram, dapat ditemukan pada 9
dari 11 pasien KAD selama terapi. Meskipun demikian, pada penelitian
lainnya, sembilan anak dengan KAD diperbandingkan sebelum dan sesudah
terapi, dan disimpulkan bahwa pembengkakan otak biasanya dapat
ditemukan pada KAD bahkan sebelum terapi dimulai. Edema serebral
simtomatik, yang jarang ditemukan pada pasien KAD dan KHH dewasa,
terutama ditemukan pada pasien anak dan lebih sering lagi pada diabetes
awitan pertama. 9,10
24
Tidak ada faktor tunggal yang diidentifikasikan dapat memprediksi
kejadian edema serebral pada pasien dewasa. Namun, suatu studi pada 61
anak dengan KAD dan serebral edema yang dibandingkan dengan 355 kasus
matching KAD tanpa edema serebral, menemukan bahwa penurunan kadar
CO2 arterial dan peningkatan kadar urea nitrogen darah merupakan salah satu
faktor risiko untuk edema serebral. 9,10
Sebab lainnya dari asidosis hiperkloremik non gap anion adalah: kehilangan
bikarbonat potensial oleh karena ekskresi ketoanion sebagai garam natrium
dan kalium; penurunan availabilitas bikarbonat di tubulus proksimal,
menyebabkan reabsorpsi klorida lebih besar; penurunan kadar bikarbonat dan
kapasitas dapar lainnya pada kompartemen-kompartemen tubuh. Secara
umum, asidosis metabolik hiperkloremik membaik sendirinya dengan
25
reduksi pemberian klorida dan pemberian cairan hidrasi secara hati-hati.
Bikarbonat serum yang tidak membaik dengan parameter metabolik lainnya
harus dicurigai sebagai kebutuhan terapi insulin lebih agresif dan
pemeriksaan lanjutan. 9,10
e. Trombosis vaskular
Banyak karakter pasien dengan KAD mempredisposisi pasien
terhadap trombosis, seperti: dehidrasi dan kontraksi volume vaskular,
keluaran jantung rendah, peningkatan viskositas darah dan seringnya
frekuensi aterosklerosis. Sebagai tambahan, beberapa perubahan hemostatik
dapat mengarahkan kepada trombosis. Komplikasi ini lebih sering terjadi
pada saat osmolalitas sangat tinggi. Heparin dosis rendah dapat
dipertimbangkan untuk profilaksis pada pasien dengan risiko tinggi
trombosis, meskipun demikian belum ada data yang mendukung keamanan
dan efektivitasnya.10
2.10 Pencegahan
Dua faktor pencetus utama KAD adalah terapi insulin inadekuat (termasuk
non-komplians) dan infeksi. Pada sebagian besar kasus, kejadian-kejadian ini
dapat dicegah dengan akses yang lebih baik terhadap perawatan medis, termasuk
edukasi pasien intensif dan komunikasi efektif dengan penyedia layanan
kesehatan selama kesakitan akut.11
Target-target pencegahan pada krisis hiperglikemik yang dicetuskan baik
oleh kesakitan akut ataupun stres telah dibahas di atas. Target-target ini termasuk
mengendalikan defisiensi insulin, menurunkan sekresi hormon stres berlebihan,
menghindari puasa berkepanjangan dan mencegah dehidrasi berat. Oleh karena
itu, suatu program edukasi harus mengulas manajemen hari sakit dengan
informasi spesifik pemberian insulin kerja pendek, target glukosa darah selama
sakit, cara-cara mengendalikan demam dan mengobati infeksi dan inisiasi diet
cair mudah cerna berisi karbohidrat dan garam. Paling penting adalah penekanan
kepada pasien untuk tidak menghentikan insulin dan segera mencari konsultasi
ahli pada awal masa sakit (gambar 5).11
26
Gambar 5. Algoritme pengukuran kadar keton darah pada saat hari sakit dan
kadar glukosa darah di atas 250 mg/dl.11
Keberhasilan program seperti di atas bergantung kepada interaksi erat antara
pasien dan dokter serta pada tingkat keterlibatan pasien atau anggota keluarga
dalam mencegah diperlukannya rawat inap. Pasien/keluarga harus bersedia
untuk mencatat glukosa darah, keton urin, pemberian insulin, temperatur, laju
napas dan nadi serta berat badan secara akurat. Indikator perawatan rumah sakit
termasuk: kehilangan berat badan >5%; laju napas >30 kali/menit; peningkatan
glukosa darah refrakter; perubahan status mental; demam tak terkendali; dan
nausea vomitus tak terobati.11
Selain isu edukasi seperti di atas, beberapa studi melaporkan bahwa salah
satu penyebab penting KAD pada pasien dengan T1DM adalah penghentian
insulin (67%). Alasan untuk penghentian insulin diantaranya adalah
permasalahan ekonomi (50%), kehilangan nafsu makan (21%), masalah prilaku
(14%) atau rendahnya pengetahuan manajemen hari sakit (14%). Oleh karena
penyebab paling umum dari penghentian insulin adalah alasan ekonomi,
27
perbaikan pelayanan kesehatan masyarakat dan akses pasien ke pengobatan
adalah cara terbaik untuk mengatasinya pada kelompok pasien ini.11
28
BAB III
KESIMPULAN
Di negara maju dengan sarana yang lengkap, angka kematian KAD berkisar 9-10%
sedangkan di klinik dengan sarana sederhana dan pasien usia lanjut angka kematian dapat
mencapai 25-50%, Angka kematian menjadi lebih tinggi pada beberapa keadaan yang
menyertai KAD seperti sepsis, syok yang berat, infark miokard akut yang luas, pasien usia
lanjut, kadar glukosa darah awal yang tinggi, uremia dan kadar keasaman darah yang rendah.
Kematian pada pasien KAD usin muda, umumnya dapat dihindari dengan diagnosis cepat.
pengobatan yang tepat dan rasional, serta memadai sesuai dengan dasar patofisiologinya.
Pada pasien kelompok usia lanjut, penyebab kematian lebih sering dipicu oleh faktor
penyakit dasarnya.12
Jumlah pusien KAD dari tahum ke tahun relatif tetap tidak berkurang dan angka
kematiannya juga belum menggembirakan, Mengingat 80% pasien KAD telah diketahui
menderita DM sebelumya, upuya pencegahan sangat berperan dalam mencegah KAD dan
diagnosis dini KAD.
29
DAFTAR PUSTAKA
30
10. Thirty years of personal experience in hyperglicemic crises: Diabetic ketoacidosis
and hypergycemic and hyperosmolar state. Kitabchi, AE, et al. 5, May 2018, J Clin
11. Recent advances in the monitoring and management of diabetic ketoacidosis. TM,
Wallace and DR, Matthews. 2014, Q J Med, Vol. 97, pp. 773-780.
31