Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

Komplikasi Akut Diabetes Melitus

Disusun oleh :
Simran Jeet Kaur
406181057

Pembimbing :
dr. Eko Sugihanto, Sp.PD

Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam

RSUD SOEWONDO PATI

PERIODE 04 FEBRUARI – 14 APRIL 2019


BAB I
PENDAHULUAN

Seiring dengan perkembangan jaman dan tuntutan pekerjaan, pola kehidupan banyak orang pun
ikut berubah. Jika dahulu banyak orang yang mengkonsumsi banyak karbohidrat, sayur-sayuran,
sekarang ini pola makan orang Indonesia mulai berubah menjadi ke barat-baratan, dimana
komposisi makanannya mengandung banyak lemak, gula, garam, dan mengandung sedikit serat.
Komposisi makanan seperti ini terutama terdapat pada makanan cepat saji yang semakin laris
dijual di pasaran. Disamping itu tuntutan pekerjaan yang memakan banyak waktu juga
menyebabkan tidak adanya kesempatan untuk berekreasi maupun untuk berolah raga. Pola hidup
seperti ini berisiko menyebabkan tingginya kekerapan penyakit, salah satunya diabetes.1

Diabetes mellitus adalah suatu sindrom klinis kelainan metabolic, yang ditandai dengan
adanya hiperglikemia yang disebabkan oleh defek sekresi insulin, defek kerja insulin, atau
keduanya. Dari berbagai penelitian epidemiologic, seiring dengan perubahan pola hidup
didapatkan prevelensi diabetes melitu juga meningkat, Jika tidak ditangani dengan baik tentu
saja angka kejadian komplikasi diabetes juga akan meningkat. Komplikasi diabetes mellitus
sendiri dibagi menjadi komplikasi akut dan komplikasi kronik. 1-2

Komplikasi akut diabetes mellitus yang dapat terjadi diantaranya hipoglikemi, asidosis
laktat, ketoasidosis diabetic dan hyper osmolar non ketotik. Komplikasi akut dari diabetes ini
bisa tanpa gejala, berkeringat banyak, pandangan kabur, lemas, hingga penurunan kesadaran.
Karena terkadang tidak menimbulkan gejala komplikasi akut dari diabetes ini sering tidak
disadari oleh penderitanya dan banyak yang mengabaikan keluhan yang mereka alami. Sehingga
ketika pasien datang ke rumah sakit pasien sudah dating dalam keadaan yang tidak baik, padahal
komplikasi akut dari diabetes merupakan suatu kegawatan yang perlu ditangani secepatnya. Jika
komplikasi akut diabetes mellitus ini tidak ditangani dengan baik kondisi tersebut bahkan dapat
menyebabkan kematian. 1-4
Seiring dengan banyaknya prevelensi pengidap diabetes dan banyak kasus komplikasi
diabetes yang terlewat karena tidak menimbulkan gejala sementara komplikasi akut diabetes
mellitus sendiri merupakan suatu kegawatan, maka dari itu sangatlah penting bagi kita untuk
dapat mengenali komplikasi akut diabetes mellitus beserta penangan yang tepat. Oleh karena
itulah referat ini disusun untuk dapat menjadi bahan pembelajaran bagi penulis dan bagi orang
lain yang membaca referat ini.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus1-2

Diabetes mellitus merupakan kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik


hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin maupun kedua-
duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang,
disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan
pembuluh darah.

Diabetes mellitus sering disebut the great imitator karena penyakit ini dapat mengenai
semua organ tubuh seperti otak, ginjal, jantung, mata, dan kaki. Gejala diabetes dapat muncul
perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari perubahan pada dirinya. Perubahan tersebut
bisa berupa minum lebih banyak atau polidipsi, buang air kecil lebih sering atau poliuri,
makan lebih banyak atau polifagi, ataupun berat badan menurun tanpa sebab yang jelas.

World Health Organization atau WHO memperkirakan penderita diabetes mellitus akan
meningkat 2 kali lipat pada tahun 2025 dibandingan dengan tahun 1996 dimana terdapat
120juta penderita diabetes mellitus. Faktor resiko yang ada adalah bertambahnya usia, lebuh
banyak dan lebih lamanya obesitas, distibusi lemak tubuh, kurangnya aktivitas jasmani dan
hiperinsulinemia. Semua faktor tersebut berinteraksi dengan beberapa faktor genetik yang
berhubungan dengan terjadinya diabetes mellitus.

Diagnosis diabetes mellitus harus didasarkan atas pemeriksaan konsentrasi glukosa darah.
Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara
pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis pemeriksaan yang dianjurkan adalah dengan cara
enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Walaupun demikian dapat pula dipakai bahan
darah utuh, vena maupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostic
yang berbeda seusi dengan pembakuan oleh WHO. Untuk pemantauan hasil pengobatan
dapat diperiksa glukosa darah kapiler.

PERKENI membagi alur diagnosis DM menjadi dua bagian besar berdasarkan ada
tidaknya gejala khas DM. Dimana gejala khas DM terdiri atas poliuri, polidipsi, polifagi, dan
penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas. Sementara gejala tidak khas DM diantaranya
adalah lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi, dan
pruritus vulva. Apabila ditemukan gejala khas DM pemeriksaan glukosa abnormal satu kali
saja sudah cukup untuk menegakkan diagnosis, namun bila tidak ditemukan gejala khas DM
diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal.

Diagnosis DM dapat juga ditegakkan berdasarkan gejala klasik DM + glukosa plasma


sewaktu>200mg/dL dimana glukosa darah sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada
suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir, atau gejala klasik DM + glukosa
plasma puasa >126mg/dL dimana pasien tidak mendapatkan kalori tambahan sedikitnya 8
jam. Selain itu dapat juga berdasarkan glukosa plasma 2 jam pada TTGO >200mg/dL, TTGO
dilakukan dengan standar WHO dimana menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75
gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.

Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada semua individu dengan indeks massa tubuh atau
IMT >25kg/m2 dengan faktor resiko lain contohnya aktifitas fisik yang kurang, riwayat
keluarga mengidap DM pada turunan pertama, termasuk kelompok etnik resiko tinggi, wanita
dengan riwayat melahirkan bayi dengan berat >4000g atau riwayat diabetes mellitus
gestasional, hipertensi, kolesterol HDL<35mg/dL atau trigliserida >250mg/dL, wanita
dengan sindrom polisiklik ovarium, riwayat toleransi gula terganggu atau glukosa darah
puasa terganggu, keadaan lain yang berhubungan dengan resistensi insulin misalnya obseitas
dan akantosis nigrikaans, riwayat penyakit kardiovaskular.

Untuk kelompok beresiko tiggi sebaikanya pemeriksaan penyaring dilakukan setiap


tahun, dan pada usia >45 tahun tanpa faktor resiko pemeriksaan penyaring dapat dilakukan
setiap 3 tahun atau lebih cepat tergantung dari klinis masing-masing pasien. Pemeriksaan
penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan konsentrasi glukosa darah sewaktu atau
konsentrasi glukosa darah puasa kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral
standar.

Bukan DM Belum pasti DM

Konsentrasi Plasma vena <100 100-199 >200


glukosa darah
sewaktu Darah kapiler <90 90-199 >200

Konsentrasi Plasma vena <100 100-125 >126


glukosa darah
puasa Darah kapiler <90 90-99 >100

Dari berbagai penelitian epidemiologis sudah jelas terbukti bahwa insidens diabetes
mellitus meningkat menyeluruh di semua tempat di bumi. Peningkatan insidens diabetes
mellitus diikuti dengan kemungkinan terjadinya komplikasi diabetes mellitus. Komplikasi
diabetes mellitus sendiri dibagi mejadi komplikasi akut dan komplikasi kronis diabetes
mellitus. Komplikasi kronis diabetes diantaranya kaki diabetes, penyakit jantung coroner,
retinopati diabeteik, neuropati diabetic. Komplikasi akut diabetes sendiri adalah hipoglikemi,
ketoasidosis diabetic, hyperosmolar non ketotik, dan asidosis laktat. Komplikasi akut inilah
yang merupakan sebuah kegawatan dan perlu ditangani sesegera mungkin,

2.2 Hipoglikemi3-6
Hipoglikemia merupakan suatu terminology klinis yang digunakan untuk keadaan yang
disebabkanoleh menurunnya kadar glukosa dalam darah sampai pada tingkat tertentu
sehingga memberikan keluhan dan gejala. Berdasarkan penelitian terjadi peningkatan insiden
hipoglikemi pada penderita yang diobati dengan obat-obatan anti diabetes secara intensif
baik dengan obat minum maupun insulin dimana kejadian hipoglikemia berat yang
sebelumnya 20 episode dari 100 penderita per tahun menjadi 60 episode per penderita per
tahun.Pada penderita diabetes kadar gula darah sebelum makan 70-130mg/dl dan 1-2 jam
setelah mulai makan <180mg/dl sementara pada subjek yang tidak menderita diabetes kadar
gula darah puasa 70-99 mg/dl dan setelah makan 70-140mg/dl. Tubuh memerlukan kadar
gula darah yang normal melalui regulasi gula darah yang fisiologis untuk memenuhi
kebutuhan energy jaringan. Pada kejadian hipoglikemi dimana tubuh gagal mempertahankan
kadar normal gula darah baik oleh penyebab dari luar maupun dari dalam tubuh sendiri
terjadi gangguan mekanisme pertahanan tubuh yang berfungsi mengaktivasi beberapa system
neuroendokrin sehingga menyebabkan keadaan hipoglikemi.
Kemampuan regulasi glukosa secara normal diatur melalui rangkaian beberapa proses
yang terjadi secara seimbang dalam tubuh diantaranya absorbs glukosa di saluran cerna,
uptake glukosa oleh jaringan, glikogenesis, glikogenolisis, gleukoneogenesis, yang secara
keseluruhan dipengaruhi oleh seperangkat hormone. Beberapa hormone utama yang berperan
dalam mengatur keseimbangan tersebut adalah insulin, glucagon, epinefrin, kortisol, dan
growth hormone. Ada 3 sistem neuroendokrin penting yang berperan dalam mengatasi
hipoglikemi yang bekerja secara simultan sel alfa pp Langerhans yang memberi efek
penekanan sekresi insulin, serta meningkatkan kadar gula darah melalui mekanisme
glikogenesis dan glukogenesis di hepar; hypothalamic glucose sensor di otak mengaktivasi
system saraf simpatis untuk menghasilkan adrenalin yang aksinya di hepar akan
meningkatkan kadar glukosa darah melalui mekanisme yang sama dengan glucagon; hipofise
anterior mensekresikan hormone ACTH yang menstimulasi kelenjar adrenal melepaskan
kortisol kedalam sirkulasi darah yang menimbulkan efek yang sama seperti glucagon.
Growth hormone yang juga disekresikan hipofise anterior berdampak pada peningkatan
produksi gula di hepar. Untuk hormone kortisol dan growth hormone dapat memberikan efek
sebaliknya yakni menurunkan kadar glukosa melalui mekanisme deposit glukosa di jaringan
perifer, namun efek ini baru timbul setelah beberapa jam setelah pemberian sehingga pada
proloned hipoglikemia fenomena ini perlu dipikirkan
Secara etiologi hipoglikemi disebabkan oleh penggunaan obat-obatan diabetes seperti
insulin, sulfonylurea yang berlebihan, penyebab terbanyak hipoglikemia umumnya terkait
dengan diabetes; Obat-obatan lain yang meskipun jarang dapat menyebabkan hipoglikemia
adalah betablocker pentamidine kombinasi sulfometoksazole dan trimethoprim; setelah
mengkonsumi alkohol terutama bila telah lama berpuasa dalam keadaan lama; intake kalori
yang sangat kurang; hipoglikemia reaktif; infeksi berat, kanker yang lanjut, gagal ginjal;
insufiensi adrenal; kelainan kongenital yang menyebabkan sekresi insulin berlebihan;
hepatoma, mesothelioma, fibrosarkoma; insulinoma.
Untuk diagnosis hipoglikemi sendiri berdasarkan diagnosanya diperlukan adanya trias
Whipple yang terdiri atas adanya gejala klinis hipoglikemi berdasarkan anamnesis dan
pemerikasan fisik, kadar glukosa dalam plasma yang rendah pada saat yang bersamaan
berdasarkan pemeriksaan penunjangn atau laboratorium, dan keadaan klinis segera membaik
segera setelah kadar glukosa plasma menjadi normal setelah diberi pengobatan dengan
pemberian glukosa. Gejala klinis hipoglikemi terjadi karena dua penyebab utama, yakni
terpacunya aktivitas system saraf otonom terutama simpats dan tidak adekuatnya suplai
glukosa ke jaringan serebral. Cukup banyak kejadian hipoglikemi yang luput dari
pengamatan pasien dan dokter karena gambaran klinis yang diberikan sangat beragam dan
pemahaman pasien terhadap hipoglikemi yang kurang.
Pada tahap awal hipoglikemia respon pertama dari tubuh adalah peningkatan hormone
adrenalin/epinefrin sehingga menimbulkan gejala seperti gemetaran, kulit lembab dan pucat,
rasa cemas, keringat berlebihan, rasa lapar, mudah rangsang, penglihatan kabur atau kembar.
Gejala klinis biasanya muncul pada kadar glukosa darah <60mg/dl meskipun pada orang
tertentu sudah dirasakan di atas kadar tersebut. Jika kadar gula darah sudah <50mg/dl
biasanya telah meberi dampak pada fungsi serebral. Dan pada tahap lanjut hipoglikemia akan
memberikan gejala defisiensi glukosa pada jaringan serebral yakni sulit berpikir, binggung,
sakit kepala, kejang hingga koma. Jika kejadian hipoglikemia tidak cepat teratasi maka dapat
menimbulkan kecacatan bahkan kematian.
Tujuan pengobatan hipoglikemia pada prinsipnya adalah untuk mengembalikan kadar
glukosa darah kembali normal sesegera mungkin. Pada penderita hipoglikemia dengan
gambaran klinis ringan, sadar dan kooperatif penanggulangan biasanya akan cukup efektif
dengan memberikan makanan atau minuman manis yang menggandung gula contohnya 2-3
tablet glukosa atau 2-3 sendok teh gula atau madu, 120-175ml jus jeruk, segelas susu nonfat,
setengah kaleng soft drink. Umunya dalam 20 menit keadaan hipoglikemia telah teratasi dan
kadar glukosa kembali normal, jika dengan cara tadi tidak teratasi maka dilanjutkan dengan
pengobatan tahap lanjut. Pada hipoglikemi tahap lanjut terutama yang telah meperlihatkan
gejala neuroglikopeni memerlukan pengobatan lebih intensif. First line treatmentnya adalah
infus larutan dekstrosa, jika GDS <50mg/dl diberikan bolus dekstrosa 40% 50ml, jika
GDS<100 diberikan bolus dekstrosa 40% 25ml. Bila tidak berhasil ditambahkan suntikan
glucagon intravena atau intramuscular biasanya dalam 10menit akan mengembalikan
kesadaran penderita. Selain itu baik pada tahap awal maupun pada tahap lanjut obat
hiperglikemik perlu dihentikan untuk sementara. Gula darah juga dipantai sewaktu tiap 1-2
jam
2.3 Ketoasidosis Diabetik 3,5-7
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah salah satu komplikasi akut diabetes yang sangat
berhubungan dengan kualitas edukasi yang diberikan kepada seorang pengidap diabetes
mellitus tipe 2, sementara pada DM tipe 1 seringkali KAD merupakan pintu awal diagnosis.
KAD adalah fenomena unik pada seorang pengidap diabetes akibat defisiensi insulin absolut
atau relatif dan peningkatan hormon kontra regulator yang mengakibatkan lipolisis
berlebihan dengan akibat terbentuknya benda-benda keton dengan segala konsekuensinya.
KAD perlu dikenali dan dikelola segera karena jika terlambat maka akan meningkatkan
morbiditas dan mortalitas dengan perawatan yang mahal. KAD ditandai oleh trias
hiperglikemia, asidosis metabolik, dan ketonemia dan atau ketonuria.
Data komunitas di Amerika Serikat, Rochester, menunjukkan bahwa insiden ketoasidosis
diabetik sebesar 4-8 kasus pada setiap 1000 pasien DM per tahun untuk semua kelompok
umur, sedangkan untuk kelompok umur kurang dari 30 tahun sebesar 13,4 per 1000 pasien
DM per tahun. Sumber lain menyebutkan insiden ketoasidosis diabetik sebesar 4,6-8/1000
pasien DM per tahun. Ketoasidosis diabetik dilaporkan bertanggung jawab untuk lebih dari
100.000 pasien yang dirawat per tahun di Amerika Serikat. Angka kematian akibat KAD
berkisar 0.5-7% tergantung kualitas pusat pelayanan yang mengelola KAD tersebut. Di
negara barat yang banyak penderita DM tipe 1, kematian terbanyak disebabkan oleh edema
serebri, sedangkan di negara yang kebanyakan penderita DM tipe 2 penyebab kematiannya
disebabkan oleh penyakit penyerta dan pencetus KAD.

Kelainan pada ketoasidosis diabetik disebabkan oleh kekurangan insulin baik absolut
maupun relatif yang berkembang dalam beberapa jam atau hari. Pada pasien DM yang telah
diketahui sebelumnya disebabkan oleh kekurangan pemberian kebutuhan insulin eksogen;
peningkatan kebutuhan insulin akibat keadaan atau stres tertentu seperti infeksi, kelaninan
vaskuler (infark miokard akut), kelainan endokrin (hipertiroidisme, chusing syndrome),
trauma, kehamilan, stress emosional, alcohol abuse, peningkatan hormone kontrainsulin
(epinefrin, kortisol, glucagon); manifestasi pertama pada penyakit diabetes yang tidak
terdiagnosis dan tidak diobati dimana sekitar 20% pasien KAD baru mengetahui dirinya
menderita DM. Faktor pencetus tersering dari KAD sendiri merupakan infeksi dengan
presentase sebesar 50%. Infeksi yang paling sering mencetuskan KAD adalah infeksi saluran
kemih dan pneumonia. Pneumonia atau penyakit paru lainnya dapat mempengaruhi
oksigenasi dan mencetuskan gagal napas sehingga harus diperhatikan sebagai keadaan yang
serius dan dapat menurunkan kompensasi respiratorik dari asidosis metabolic. Beberapa
obat-obatan juga dapat mencetuskan KAD, contohnya obat yang mempengaruhi metabolism
karbohidrat seperti kortikosteroid, thiazide, pentamine dan obat simpatomemetik; beta
blocker, obat antipsikotik, dan fenitoin.
Defisiensi insulin absolut atau relatif dan peningkatan hormon kontra regulator
(glukagon, katekolamin, kortisol, dan growth hormone, dan somatostatin); menyebabkan
akselerasi kondisi katabolic dan inflamasi berat dengan akibat peningkatan produksi glukosa
oleh hati dan ginjal via glikogenesis dan gluconeogenesis dan gangguan utilisasi glukosa di
erifer yang berakibat hiperglikemia dan hiperosmolaritas. Defisiensi insulin dan peningkatan
hormone kontra regulator terutama epinefrin juga mengaktifasi hormone lipase sensitive pada
jaringan lemak yang menyebabkan peningkatan lipolysis. Peningkatan lipolysis dan
ketogenesis akan memicu ketonemia dan asidosis metabolik. Peningkatan aktivitas ini akan
memecah trigliserid menjadi gliserol dan asam lemak bebas (free fatty acid/FFA). Gliserol
merupakan substrat penting untuk glukoneogenesis pada hepar, sedangkan pengeluaran asam
lemak bebas yang berlebihan diasumsikan sebagai prekursor utama dari ketoasid.
Pada hepar, asam lemak bebas dioksidasi menjadi benda keton yang prosesnya
distimulasi terutama oleh glukagon. Peningkatan konsentrasi glukagon menurunkan
ketoasidosis diabetikar malonyl coenzyme A (CoA) dengan cara menghambat konversi
piruvat menjadi acetyl Co A melalui inhibisi acetyl Co A carboxylase, enzim pertama yang
dihambat pada sintesis asam lemak bebas. Malonyl Co A menghambat camitine palmitoyl-
transferase I(CPT I), enzim untuk transesterifikasi dari fatty acyl Co A menjadi fatty acyl
camitine, yang mengakibatkan oksidasi asam lemak menjadi benda keton. CPT I diperlukan
untuk perpindahan asam lemak bebas ke mitokondria tempat dimana asam lemak teroksidasi.
Peningkatan aktivitas fatty acyl CoA dan CPT I pada ketoasidosis diabetik mengakibatkan
peningkatan ketongenesis. Pada keadaan normal insulin akan mencegah timbulnya keadaan
tersebut. Badan keton sendiri bersifat asam, dan bila bertumpuk dalam sirkulais darah, badan
keton akan menimbulkan asidosis metabolik.
Dalam upaya menghilangkan glukosa yang berlebihan dari dalam tubuh, ginjal akan
mengekskresikan glukosa bersama-sama air dan elektrolit. Diuresis osmotic yang ditandai
oleh urinasi yang berlebihan (poliuri) akan menyebabkan dehidrasi dan kehilangan elektrolit.
Penderita KAD yang berat dapat kehilangan kira-kira 6.5L air dan 400-500mEq natrum
kalium serta klorida dalam periode waktu 24 jam. Perubahan tersebut akan memicu lebih
lanjut hormone stress sehingga terjadi perburukan hiperglikemia dan hyperketonemia. Jika
tidak segera di interupsi dengan pemberian insulin dan cairan maka akan terjadi dehidrasi
berat dan asidoss metabolic yang fatal. Ketoasidosis akan diperburuk oleh asidosis laktat
akibat perfusi jaringan yang buruk.

Patofisiologi Ketoasidosis Diabetik

Sekitar 80% pasien ketoasidosis diabetik adalah pasien DM yang sudah dikenal. Gejala
seperti poliuri dan polidipsi sering mendahului KAD serta sering didapatkan riwayat berhenti
menyuntik insulin, demam dan infeksi. Pasien juga dapat mengalami pengelihatan yang
kabur, kelemahan, rasa lelah, kram otot, mual muntah, sakit kepala dan nyeri perut. Pasien
dengan penurunan volume intravaskuler yang nyata dapat menderita hipotensi ortostatik
(penurunan tekanan darah sistolik sebesar 20mmHg atau lebih pada saat berdiri). Penurunan
volume dapat menimbulkan hipotensi yang nyata disertai denyut nadi yang lemah dan cepat.
Pada pemeriksaan fisik pasien KAD dijumpai tanda-tanda dehidrasi (turgor kulit berkurang,
lidah dan bibir kering), pernapasan cepat dan dalam (Kussmaul) yang menggambarkan upaya
tubuh untuk mengurangi asidosis guna melawan efek dari pembentukan badan keton yanhg
terjadi pada asidosis berat, takikardi, hipotensi atau syok, flushing, penurunan berat
badan,bau aseton dari hawa napas tidak terlalu mudah tercium, bau aseton ini merupakan
akibat dari meningkatnya kadar badan keton. Derajat kesadaran pasien dapat dijumpai mulai
compos mentis, delirium, depresi sampai koma. Bila dijumpai kesadaran koma perlu
dipikirkan penyebab penurunan kesadaran lain (misalnya uremia, trauma, infeksi, minum
alkohol).

Pada awal evaluasi tentu kebutuhan pemeriksaan dasar gula darah, elektrolit, analisa gas
darah, keton darah dan urin, osmolalitas serum, darah perifer lengkap dengan hitung jenis,
anion gap, EKG dan foto polos dada. Kunci diagnosis untuk KAD adalah adanya
peningkatan total benda keton di sirkulasi. Metode lama untuk mendeteksi adanya benda
keton darah dan urin adalah dengan menggunakan reaksi nitroprusside yang mengestimasi
kadar asetoasetat dan aseton secara semikuantitatif. Walaupun sensitive tapi pemeriksaan ini
tidak dapat mengukur keberadaan beta hidroksibutirat, benda keton utama sebagai produk
ketogenesis. Peningkatan benda keton tersebut akan mengakibatkan peningkatan anion gap.
Gula darah >250mg/dl dianggap sebagai kriteria diagnosis utama KAD, walaupun ada
istilah KAD euglikemik, dengan demikian setiap pengidap DM yang gula darahnya
>250mg/dl harus dipikirkan kemungkinan ketosis atau KAD jika disertai dengan keadaan
klinis yang sesuai. pH darah yang kurang dari 7.35 dianggap sebagai ambang adanya
asidosis, hanya saja pada keadaan yang terkompensasi seringkali pH menunjukkan angka
normal. Pada keadaan seperti itu jika angka HCO3 <18mEq ditambah dengan keadaan klinis
lain yang sesuai maa sudah cukup untuk menegakkan KAD. Keadaan KAD sering disertai
dengan leukositosis akibat stress metabolik dan dehidrasi. Tingkat pCO2 yang rendah (10-30
mmHg) mencerminkan kompensasi respiratorik (pernapasan kussmaul) terhadap asidosisi
metabolik. Akumulasi badan keton (yang mencetuskan asidosis) dicerminkan oleh hasil
pengukuran keton dalam darah dan urin.Kadar natrium dan kalium dapat rendah, normal atau
tinggi, sesuai jumlah cairan yang hilang (dehidrasi).
Kesuksesan pengelolaan KAD membutuhkan koreksi terhadap dehidrasi, hiperglikemia,
gangguan elekrolit, komorbiditas, dan monitoring selama perawatan. Tidak semua kasus
KAD harus dirawat di ICU karena spektrum klinis sangat beragam. Secara umum pemberian
cairan adalah langkah awal penatalaksanaan KAD setelah resusitasi. Terapi cairan ditunjukan
untuk ekspansi cairan intraselular, intravaskular, interstitial dan restorasi perfusi ginjal. Jika
tidak ada masalah kardiak atau penyakit ginjal kronik berat cairan NaCl0.9% diberikan
dengan dosis 15-20cc/kgBB/jam atau 1-2 L pada jam pertama, pada jam kedua kurang lebih
1L, 0.5L pada jam ketiga dan keempat, 0.25L pada jam kelima dan keenam, selanjutnya
sesuai kebutuhan tergantungpada keadaan hemodinamik, status hidrasi, elektrolit dan
produksi urin. Penggantian cairan dilakukan sampai dengan 24jam, dengan penggantian
cairan sangat mempengaruhi pencapaian target gula darah, hilangnya benda keton, dan
perbaikan benda keton.
Insulin merupakan farmakoterapi kausatif utama KAD. Pemberian insulin intravena
kontinyu lebih disukai karena waktu paruhnya pendek dan mudah dititrasi. Dari beberapa
studi prospektif didapatkan pemberian insulin regular dosis rendah intravena merupakan cara
yang efektif dan terpilih. Terapi insulin harus segera dimulai sesaat setelah diagnosis
ketoasidosis diabetik dan rehidrasi yang memadai. Sumber lain menyebutkan pemberian
insulin dimulai setelah diagnosis ketoasidosis diabetik ditegakkan dan pemberian cairan telah
dimulai biasanya 2 jam setelah rehidrasi cairan. Jika dosis insulin intravena yang diberikan
sekitar 0.1-0.15 unit/jam maka sebenarnya tidak diperlukan insulin bolus di awal. Dengan
pemberian insulin intravena dosis rendah diharapkan penurunan glukosa plasma dengan
kecepatan 50-100mg/dl setiap jam sampai glukosa turun sampai sekitar 200mg/dl, lalu
kecepatan insulin diturunkan menjadi 0.02-0.05 unit/kgBB/jam. Jika glukosa sudah berada
disekitar 150-200 diberikan infus dekstrose untuk mencegah hipoglikemia.
Penderita KAD kadang-kadang mempunyai kadar natrium serum yang rendah, oleh
karena level gula darah yang tinggi. Untuk tiap peningkatan gula darah 100 mg/dl di atas 100
mg/dl maka kadar natrium diasumsikan lebih tinggi 1,6 mEq/l daripada kadar yang diukur.
Hiponatremia memerlukan koreksi jika level natrium masih rendah. Kadar natrium dapat
meningkat setelah dilakukan resusitasi cairan dengan normal saline karena normal saline
memiliki kadar natrium lebih tinggi dari kadar natrium ekstraselular saat itu disamping oleh
karena air tanpa natrium akan berpindah ke intraselular sehingga akan meningkatkan kadar
natrium. Serum natrium yang lebih tinggi daripada 150 mEq/l memerlukan koreksi dengan
NaCl 0,45%. Untuk mencegah hipokalemia, penggantian kalium dimulai saat kadar kalium
disekitar batas atas nilai normal. Umumnya, 20-30 mEq kalium (2/3 KCl dan 1/3 KPO4)
pada tiap liter cairan infus cukup untuk memelihara kadar kalium serum antara 4-5mEq.
Jika asidosis memang murni karena KAD maka koreksi bikarbonat tidak
direkomendasikan diberikan rutin, kecuali jika pH darah <6.9. Hanya saja pada keadaan
gangguan fungsi ginjal yang signifikan seringkali sulit dibedakan apakah asidosisnya karena
KAD atau karena gagal ginjal. Pada pasien dewasa dengan pH < 6,9, 100 mmol natrium
bikarbonat ditambahkan ke dalam 400 ml cairan ditambah 20mEq KCl infus selama 2 jam.
Setelah itu pH darah vena diperiksa setiap 2 jam sampai pH menjadi 7,0, dan terapi harus
diulangi setiap 2 jam jika perlu. Efek buruk koreksi bikarbonat yang tidak pada tempatnya
mengakibatkan meningkatnya resiko hipokalemia, menurunnya asupan oksigen jaringan,
edema serebri, dan asidosis susunan saraf pusat paradoksal. Selain itu infeksi yang menyertai
juga harus diberikan tatalaksana dengan memberikan antibiotika. Jika faktor pencetus belum
dapat ditemukan maka diberikan antibiotika spektrum luas.

Protokol managemen KAD (Kitabchi 2009)


Komplikasi yang paling sering dari KAD adalah hipoglikemia oleh karena penanganan
yang berlebihan dengan insulin, hipokalemia yang disebabkan oleh pemberian insulin dan
terapi asidosis dengan bikarbonat, dan hiperglikemia sekunder akibat pemberian insulin yang
tidak kontinu setelah perbaikan tanpa diberikan insulin subkutan. Umumnya pasien KAD
yang telah membaik mengalami hiperkloremia yang disebabkan oleh penggunaan cairan
saline yang berlebihan untuk penggantian cairan dan elektrolit dan non-anion gapmetabolic
acidosis seperti klor dari cairan intravena mengganti hilangnya ketoanion seperti garam
natrium dan kalium selama diuresis osmotic, keadaan ini biasanya sementara dan tidak
membutuhkan terapi khusus. Komplikasi lain yang harus menjadi perhatian adalah kelebihan
cairan, termasuk edema paru, sehingga pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan gagal
jantung perlu dilakukan modifikasi pemberian cairan. Edema serebri umumnya terjadi pada
anak-anak, jarang pada dewasa. Tidak didapatkan data yang pasti morbiditas pasien KAD
oleh karena edema serebri pada orang dewasa. Gejala yang tampak berupa penurunan
kesadaran, letargi, penurunan arousal, dan sakit kepala. Kelainan neurologis dapat terjadi
cepat, dengan kejang, inkontinensia, perubahan pupil, bradikardia, dan kegagalan respirasi.

Komplikasi Penatalaksanaan Ketoasidosis Diabetik

Edukasi merupakan tulang punggung pencegahan KAD karena untuk sampai ke keadaan
KAD tentu melalui proses dekompensasi metabolic yang berkepanjangan dan membutuhkan
waktu. Pasien dan keluarga harus diedukasi tentang diabetes, dilakukan monitoring gula
darah secara terstruktur, memantau keton, penggunaan insulin yang memadai. Untuk
prognosis dari KAD sendiri biasanya pasien membaik setelah pemberian insulin dan terapi
standar lainnya, jika komorbid tidak terlalu berat. Biasanya kematian pada KAD disebabkan
oleh penyakit penyerta berat yang dating pada fase lanjut. Kematian meningkat seiring
dengan meningkatnya usia dan beratnya penyakit penyerta.

2.4 Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Nonketotik3,5,8


Sindrom hiperosmolar hiperglikemik non ketotik (HHNK) /hiperosmolar non ketotik
(HONK) merupakan komplikasi akut/emergency DM. sindroma ini ditandai dengan
hiperglikemia, hiperosmolar, tanpa disertai adanya ketosis. Gejala klinis utama adalah
dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan seringkali disertai dengan gangguan neurologis
dengan atau tanpa adanya ketosis. Perjalanan klinis HHNK biasanya berlangsung dalam
jangka waktu tertentu (beberapa hari sampai beberapa minggu), dengan gejala khas
meningkatnya rasa haus disertai poliuri, polidipsi dan penurunan berat badan. Koma hanya
ditemukan kurang dari 10%. Data di amerika menunjukkan bahwa insiden HHNK sebesar
17.5 per 100.000 penduduk. Insiden ini sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan KAD.
HHNK lebih sering ditemukan pada perempuan dibandingkan laki-laki, pada orang lanjut
usia. Angka mortalitas pada kasus HHNK cukup tinggi sekitar 10-20%
HHNK biasanya terjadi pada orang tua dengan DM yang mempunyai penyakit penyerta
yang mengakibatkan menurunnya asupan makanan. Factor pencetus dapat dibagi menjadi
enam kategori: infeksi, pengobatan, noncompliance, DM tidak terdiagnosis, penyalahgunaan
obat, dan penyakit penyerta. Infeksi merupakan faktor pencetus yang paling utama,
compliance yang buruk terhadap pengobatan DM juga sering menyebabkan HHNK.
Koma hiperosmolar hiperglikemik nonketotik (HHNK) dimulai dengan adanya diuresis
glukosurik. Glukosuria menyebabkan kegagalan pada kemampuan ginjal dalam
mengkonsentrasikan urin. Keadaan ini semakin memperberat derajat kehilangan air. Adanya
penurunan volume intravaskuler atau penyakit ginjal yang telah ada sebelumnya akan
menurunkan laju filtrasi glomerular yang menyebabkan peningkatan kadar glukosa.
Hilangnya air yang lebih banyak dibanding natrium menyebabkan keadaan hyperosmolar.
Pasien HHNK tidak mengalami ketoasidosis, namun tidak diketrahui dengan jelas
alasannya. Faktor yang diduga ikut berperan antara lain adalah keterbatasan ketogenesis
karena keadaan hiperosmolar, kadar asam lemak bebas yang rendah untuk ketogenesis,
ketersediaan insulin yang cukup untuk menghambat ketogenesis namun tidak cukup untuik
mencegah hiperglikemia, dan resistensi hati terhadap glukagon. Penurunan pemakaian
glukosa oleh jaringan perifer termasuk oleh sel otot dan sel lemak, ketidakmampuan
menyimpan glukosa pada sel hati untuk glukoneogenesis mengakibatkan naiknya kadar
glukosa darah. Adanya hiperglikemia juga mengakibatkan timbulnya diuresis osmotik, dan
mengakibatkan menurunnya cairan tubuh total. Dalam ruang vaskuler, dimana
glukoneogenesis dan masukan makanan terus menerus menambah glukosa, kehilangan cairan
akan semkain mengakibatkan hiperglikemia dan hilangnya volume sirkulasi. Hiperglikemia
dan peningkatan konsentrasi protein plasma mengikuti hilangnya cairan intravaskuler
menyebabkan kedaan hiperosmolar. Keadaan hyperosmolar ini memicu sekresi hormone anti
diuretic, keadaan ini juga akan memicu timbulnya rasa haus. Adanya keadaan hiperglikemia
dan hiperosmolar ini jika kehilangan cairan tidak dikompensasi dengan masukan cairan oral
maka akan timbul dehidrasi dan kemudian hipovolemia. Hipovelemia akan mengakibatkan
hipotensi dan nantinya menyebabkan gangguan pada perfusi jaringan. Keadaan koma
merupakan suatu stadium akhir dari proses hiperglikemik ini, dimana telah timbul gangguan
elektrolit berat dalam kaitannya dengan hipotensi.

Proses terjadinya HONK biasanya mulai terjadi dalam beberapa hari sementara
timbulnya episode KAD terjadi secara mendadak. Walaupun gejala dari DM yang tidak
terkontrol baik dapat terjadi dalam beberapa hari, perubahan metabolik yang khas dari KAD
biasanya terjadi dalam waktu yang singkat (kurang dari 24 jam). Temuan laboratorium awal
pada pasien HONK adalah kadar glukosa darah yang sangat tinggi (> 600 mg/dL) dan
omolaritas serum yang tinggi (> 320 mOsm per kg air [normal = 290 ± 5]), dengan pH lebih
besar dari 7,30 dan disertai ketonuria ringan atau tidak. Separuh pasien akan menunjukkan
asidosis metabolic atau anion gap yang ringan (10-12). Jika anion gap nya berat (>12), harus
dipikirkan diagnosis diferential asidosis laktat atau penyebab lain. Muntah dan penggunaan
diuretic tiazid dapat menyebabkan alkalosis metabolic yang dapat menutupi tingkat
keparahan asidosis. Konsentrasi kalium dapat normal atau meningkat, creatinine, blood urea
nitrogen, dan hematocrit hampir selalu meningkat.
Pasien dengan HHNK umumnya berusia lanjut, belum diketahui memiliki DM dan pasien
DM tipe 2 yang mendapat pengaturan diet dana tau obat hipoglikemik oral. Seringkali
dijumpai penggunaan obat yang makin memperberat masalah misalnya diuretic. Pasien
HHNK biasanya mengeluhkan rasa lemah, gangguan pengelihatan, atau kaki kejang. Dapat
juga ditemukan keluhan mual muntah, namun jika dibandingkan dengan KAD lebih jarang
terjadi. Kadang pasien juga dating dengan keluhan letargi, disorientasi, hemiparesis, kejang
atau koma. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda dehidrasi berat seperti turgor yang
buruk, mukosa pipi yang kering, mata cekung, perabaan ekstremitas yang dingin, dan denyut
nadi yang cepat dan lemah. Dapat pula ditemukan peningkatan suhu tubuh yang tidak terlaly
tinggi. Perubahan status mental dapat berkisar dari disorientasi sampai koma. Derajat
gangguan neurologis yang timbul berhubungan secara langsung dengan osmolaritas efektif
serum. Koma terjadi saat osmolaritas serum mencapai >350mOsm/kg. Kejang ditemukan
pada 25% pasien dan dapat berupa kejang umum, local, maupun mioklonik. Dapat juga
terjadi hempiparesis yang bersifat reversible dengan koreksi deficit cairan.
Secara klinis KAD dan HHNK sulit dibedakan terutama bila hasil laboratorium seperti
konsentrasi glukosa darah, keton dan analisis gas darah belum ada hasilnya. Terdapat
beberapa gejala dan tanda yang dapat dijadikan sebagai pegangan untuk diagnose HHNK :
sering ditemukan pada usia lanjut yaitu usia lebih dari 60 tahun; hampir semua pasien tidak
mempunyai riwayat DM atau DM tanpa insulin; mempunyai penyakit dasar lain, ditemukan
85% mengidap penyakit ginjal atau kardiovaskuler, lain-lain seperti akromegali,
tirotoksikosis dan penyakit Cushing; sering disebabkan oleh obat-obatan, antara lain tiazid,
furosemid, manitol, digitalis, reserpin, steroid, klorpromazin, hidralazin, dilantin,
simetidin,dan haloperidol; mempunyai factor pencetus misalnya infeksi, penyakit
kardiovaskuler, aritmia, perdarahan, gangguan keseimbangan cairan, pancreatitis, koma
hepatic dan operasi.
Penatalaksanaan HHNK serupa dengan KAD, hanya cairan yang diberikan adalah cairan
hipotonis, selain itu pemantauan konsentrasi glukosa darah harus lebih ketat, dan pemberian
insulin harus lebih cermat dan hati-hati. Respon penurunan kadar glukosa darah lebih baik,
namun angka kematian lebih tinggi pada HHNK. Penatalaksanaan HHNK memerlukan
monitoring yang ketat terhadap kondisi pasien dan responnya terhadap terapi yang diberikan.
Penatalaksaan HHNK ini meliputi 5 pendekatan, yakni rehidrasi intravena agresif,
penggantian elektrolit, pemberian insulin intravena, diagnosis dan managemen factor
pencetus dan penyakit penyerta, dan yang terakhir pencegahan.
Langkah pertama dan terpenting dalam penatalaksanaan HHNK adalah penggantian
cairan yang agresif, dimana sebaiknya dimulai dengan mempertimbangkan perkiraan deficit
cairan (biasanya 100 sampai 200 mL per kg, atau total rata-rata 9 L). Penggunaan cairan
isotonic akan dapat menyebabkan overload cairan dan cairan hipotonik mungkin dapat
mengkoreksi deficit cairan terlalu cepat dan potensial menyebabkan kematian dan lisis
myelin difus. Sehingga pada awalnya sebaiknya diberikan 1L normal saline per jam. Jika
pasiennya mengalami syok kardiogenik, maka diperlukan monitor hemodinamik. Pada awal
terapi, kadar glukosa darah akan menurun, bahkan sebelum insulin diberikan, dan hal ini
dapat menjadi indicator yang baik akan cukupnya terapi cairan yang diberikan. Jika kadar
glukosa darah tidak bias diturunkan sebesar 75 – 100 mg per dL per jam, hal ini biasanya
menunjukkan penggantian cairan yang kurang atau gangguan ginjal.
Kehilangan kalium tubuh total seringkali tidak diketahui pasti, karena kadar kalium
dalam tubuh dapat normal atau tinggi. Kadar kalium yang sebenarnya akan terlihat ketika
diberikan insulin, karena ini akan mengakibatkan kalium serum masuk ke dalam sel. Kadar
elektrolit harus dipantau terus-menerus dan irama jantung pasien harus dimonitor. Jika kadar
kalium awal <3,3 mEq per L (3,3 mmol per L), pemberian insulin ditunda dan diberikan dan
diberikan kalium (2/3 kalium klorida dan 1/3 kalium fosfat sampai tercapai kadar kalium
setidaknya 3,3 mEq per L), kadar kalium harus diturunkan sampai dibawah 5,0 mEq per L,
namun sebaiknya kadar kalium ini perlu dimonitor tiap 2 jam. Jika kadar awal kalium antara
3,3 – 5,0 meq per L, maka 20-30 mEq kalium harus diberikan dalam tiap liter cairan
intravena yang diberikan (2/3 kalium klorida dan 1/3 kalium fosfat) untuk mempertahankan
kadar kalium antara 4,0 mEq per L (4,0 mmol per L) dan 5,0 mEq per L.
Hal yang penting dalam pemberian insulin adalah perlunya pemberian cairan yang
adekuat terlebih dahulu. Jika insulin diberikan sebelum pemberian cairan, maka cairan akan
berpindah ke intrasel dan berpotensi menyebabkan perburukan hipotensi, kolaps vakular,
atau kematian. Insulin sebaiknya dengan bolus awal 0,15 U/kgBB secara intravena, dan
diikuti dengan drip 0,1 U/kgBB perjam sampai kadar glukosa darah turun antara 250 mg/dl
(13,9 mmol per L) sampai 300 mg per dL. Jika kadar gluksoa darah sudah mencapai dibawah
300 mg/dL, sebaiknya diberikan dektrosa secara intravena dan dosis insulin secara sliding
scale sampai pulihnya kesadaran dan keadaan hiperosmolar.
Identifikasi dan mengatasi factor penyebab merupakan pilar terapi HHNK yang
selanjutnya. Walaupun tidak direkomendasikan untuk memberikan antibiotic kepada semua
pasien yang dicurigai mengalami infeksi, namun terapi antibiotic dianjurkan ambil
menunggu hasil kultur pada paien usia lanjut dan pada pasien dengan hipotensi. Berdasarkan
penelitian terkini, peningkatan kadan c-reaktif protein dan interleukin 6 merupakan indicator
awal sepsis pada pasien dengan HHNK.
Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan penyuluhan mengenai pentingnya
pemantauan konsentrasi glukosa darah dan compliance yang tinggi terhadap pengobatan
yang diberikan. Prognosis dari HHNK ini biasanya buruk, tetapi sebenarnya kematian pasien
bukan disebabkan oleh sindrom hyperosmolar sendiri tetapi oleh penyakit yang mendasari
atau menyertainya. Angka kematian berkisar 30-50%. Di negara maju dikatakan penyebab
kematian adalah infeksi, usia lanjut, dan osmolalitas darah yang sangat tinggi. Di negara
maju sendiri angka kematian dapat ditekan menjadi 12%. Komplikasi yang dapat terjadi dari
terapi yang tidak adekuat adalah oklusi vascular, infark miocard, low-flow syndrome,
disseminated intravascular coagulopathy, dan rabdomiolisis. Overhidrasi juga dapat
menyebabkan adult respiratory distress syndrome dan edema serebri yang jarang ditemukan
tetapi berakibat fatal.

2.5 Asidosis Laktat9-10


Asidosis metabolik dapat dibagi menjadi asidosis dengan anion gap (AG) normal dan
meningkat. Asidosis laktat merupakan asidosis yang paling sering menyebabkan peningkatan
AG. Asidosis laktat pada dasarnya disebabkan oleh turunnya penyediaan oksigen jaringan,
misalnya pada penderita dengan kolaps kardiovaskular atau gagal napas; kebutuhan jaringan
lebih tinggi dari penyediaan, contoh ekstrim adalah pada status epileptikus; atau penurunan
pemakaian laktat hati karena penyakit hati atau hipoperfusi. Pada dasarnya asam laktat
merupakan zat perantara metabolik yang tidak toksik dan dapat diproduksi oleh semua sel.
Banyaknya asam laktat yang terdapat di berbagai jaringan dan organ bervariasi tergantung
pada keadaan hemodinamik maupun metabolik seseorang. Peningkatan kadar asam laktat
dalam darah sering dihubungkan dengan defek pada metabolisme aerob, akibat hipoksia atau
iskemia yang terjadi pada pasien syok, atau sebagai petunjuk pasien berada dalam keadaan
gawat. Untuk kebutuhan energi, eritrosit dan sel anaerob memproduksi
adenosinetriphosphate (ATP) melalui jalur glikolisis non oksidatif dengan melepas asam
laktat. Melalui proses daur ulang, hati mensintesis glukosa dari asam laktat, dengan
menggunakan ATP hasil oksidasi beta asam lemak bebas.Pada Diabetes Mellitus,
penggunaan obat golongan biguanid, salah satunya metformin dilaporkan dapat
menyebabkan asidosis laktat. Asidosis laktat dapat terjadi bersama atau merupakan
komplikasi KAD dan HHNK
Asam laktat merupakan produk sampingan dari proses akhir glikolisis, oleh karena itu
asam laktat dapat diproduksi oleh semua sel. Produksi asam laktat kurang lebih 1400 mmol
per harinya dan kadarnya dalam darah normal berkisar antara 0,4- 1,2 mmoL. Hati
merupakan organ utama tempat metabolisme asam laktat, yaitu sekitar 40% dari asam laktat
yang diproduksi dalam keadaan basal, sedangkan penggunaan lainnya oleh ginjal sebesar l0-
30%. Stabilitas kadar asam laktat dalam keadaan basal merupakan gambaran keseimbangan
antara produksi dan penggunaan asam laktat.Meskipun hampir semua jaringan dapat
memproduksi asam laktat; eritrosit, otot skelet, otak, dan medulla ginjal merupakan sumber
utama asam laktat. Asam laklat dibentuk dari piruvat dalam sitosol oleh enzim dehidrogenase
(LDH) yang terdapat di semua sel dalam konsentrasi yang tinggi. Sintesis asam laktat
meningkat jika laju pembentukkan piruvat dalam sitosol melebihi laju penggunaan oleh
mitokondria. Asam laktat merupakan suatu bentuk end product sehingga sebelum dapat
memasuki suatu jalur reaksi metabolisme tertentu harus diubah dahulu menjadi piruvat
kembali.
Gambar 1. Metabolisme laktat dan piruvat

Reaksi ini akan menyebabkan proses oksidasi NADH menjadi NAD + yang dibutuhkan
untuk proses glikolisis.Pada keadaan anaerob misal pada aktivitas fisik berat, dimana oksigen
tidak mencukupi untuk mengoksidasi piruvat untuk membentuk AIP, NADH yang dihasilkan
dari proses glikolisis tidak dapat direoksidasi karena kurangnya oksigen untuk membentuk
NAD+ sehingga rangkaian proses glikolisis akan berhenti. Pada keadaan tersebut oksidasi
glukosa oleh sel otot tidak dapat berlangsung sempurna, tapi bahkan dalam keadaan
demikianpun sejumlah kecil energi tetap dapat dikeluarkan ke sel melalui proses awal
glikolisis karena reaksi kimia pada pemecahan glukosa menjadi asam piruvat tidak
memerlukan oksigen. Dalam keadaan darurat seperti ini, sel akan tergantung sepenuhnya pada
reaksi pembentukkan asam laktat untuk memperoleh NAD + yang harus dibentuk melalui
reaksi lain yaitu dengan meminjam elektron dari NADH melalui perubahan piruvat menjadi
asam laktat.
Jadi pada keadaan anaerob, proses pembentukkan energi melalui metabolisme piruvat
terhambat, oksidasi aerobik pada siklus asam sitrat terblokade dan piruvat akhirnya
terkonversi menjadi asam laktat. Perubahan NADH menjadi NAD+ selama konversi piruvat
menjadi asam laktat tadi menyebabkan proses glikolisis dapat berlangsung tanpa harus
melalui oksidasi NADH oleh oksigen. Pada keadaan di atas jika kemudian oksigen perlahan
kembali normal setelah otot diistirahatkan, NADH dan H+serta asam piruvat ekstra yang telah
dibentuk dengan cepat dioksidasi sehingga konsentrasi zat tersebut berkurang. Sebagai
akibatnya reaksi kimia untuk pembentukkan asam lakiat berbalik, asam laktat kini diubah
kembali menjadi glukosa melalui proses glukoneogenesis di hati.
Keseluruhan rangkaian proses mulai perubahan glukosa menjadi asam laktat di jaringan
perifer dan asam laktat kembali diubah menjadi glukosa di hati dikenal sebagai siklus Cori.
Pada keadaan normoksia, kadar laktat yang dilepas oleh erihosit biasanya tidak tinggi dan
laktat terutama didaur ulang di hati melalui proses glukoneogenesis. Pada organ lain seperi
otot atau jantung, dalam keadaan normoksia substrat utama adalah glukosa yang akan
dioksidasi menjadi CO2, dan hanya sebagian kecil akan dilepas sebagai laktat.
Pada keadaan hipoksia, akan menyebabkan kadar laktat menjadi lebih tinggi akibat
inhibisi laktat di hati. Di banyak tempat seperti di otot, kompetisi antara laktat dengan glukosa
sebagai sumber karbohidrat untuk oksidasi akan didominasi oleh laktat. Keadaan ini
memungkinkan glukosa dicadangkan untuk organ-organ yang penting seperti jantung.Pada
manusia telah dibuktikan bahwa hipoksia kronis akan menyebabkan peningkatan oksidasi
glukosa di jantung, sehingga secara umum dapat dikatakan bahwa peningkatan asam laktat
adalah suatu kejadian yang memungkinkan oksidasi asam laktat atau glukosa sebagai substrat
aerob sesuai dengan prioritas metabolisme pada pasien - pasien yang kritis.
Pada tahun 1976, Cohen dan Woods mengklasifikasikan asidosis laktat menjadi 2
kategori, yaitu terjadinya asidosis laktat dihubungkan dengan adanya gangguan perfusi
jaringan ataupun oksigenasi yang jelek (tipe A) dan tidak didapati adanya gangguan perfusi
jaringan ataupun oksigenasi dalam hal terjadinya asidosis laktat. Tipe A terdiri dari syok baik
kardiogenik, hipovolemik maupun sepsis, hipoperfusi setempat, hipoksemia berat,
peningkatan karbonmonoksida, asma berat. Tipe B dibagi lagi menjadi beberapa. Tipe B1
terdiri dari diabetes melitus, gangguan fungsi hati, keganasan, sepsis, feokromasitoma,
defisiensi thiamin. Tipe B2 terdiri dari biguanid, etanol, metanol, stilen glikol, fruktosa,
sarbitol, xilitol, salisilat, asetominofen, epinefrin, ritodrin, terbutalin, sianida, nitropusid,
isoniazid, propilen glikol. Tipe 3 terdiri dari defisiensi glukosa-6fosfat, defisiensi fruktosa-1,6
difosfatase, defisiensi piruvat karboksilase, defisiensi piruvat dehidroenase, gangguan
fosforilase oksidatif.
Metformin sudah digunakan lebih dari 40 tahun dalam pengobatan DM tipe II Walaupun
demikian, terdapat kekhawatiran akan efek samping dari metformin yang dapat menyebabkan
timbulnya asidosis laktat, dimana angka mortalitasnya dapat mencapai 50%.Penyakit hati dan
ginjal, alkoholisme, dan kondisi yang berkaitan dengan hipoksia (misalnya penyakit jantung
dan paru, pembedahan) merupakan kontraindikasi penggunaan metformin. Faktor risiko lain
asidosis laktat yang diinduksi oleh metformin adalah sepsis, dehidrasi, dosis tinggi dan usia
tua. Asidosis laktat ihi mungkin disebabkan oleh pengaruh biguanid menyebabkan naiknya
produksi dan penurunan klirens dari asam laktat yang mengakibatkan naiknya kadar laktat
seluler. Potensial redoks inhaseluler akan beralih dari metabolisme aerobik ke anaerobik.
Penurunan aktivitas piruvat karboksilase yang merupakan rate limiting enzyme pada
pembentukan glukosa dari laktat dapat juga menurunkan metabolisme laktat di hati.
Pada tahun 1998 Brown dkk membandingkan angka insidens dari asidosis laktat sebelum
dan sesudah beredarnya Metfonnin di Amerika Serikat, mereka menemukan tidak ada
perbedaan insidens. Sebelum adanya metformin, insidensnya sebesar 9,7-16,9 per 100.000.
Pada suatu meta analisis oleh Salpeter, insidens asidosis laktat pada pasien DM tipe II yang
menggunakan metformin sebesar 9,9 per 100.000, sedangkan yang tidak menggunakan
metformin sebesar 8,1 per 100.000. Sepertinya memang tidak terdapat perbedaan yang
bermakna antara insindens asidosis laktat pada pengguna Metformin dengan insidens pada
pasien dengan DM tipe II. Hal ini menunjukkan bahwa DM merupakan fakor risiko untuk
terjadinya asidosis laktat, bukan penggunaan metformin.Sementara itu pada penelitian lain
ditemukan bahwa kadar plasma metformin tidak berhubungan dengan kadar asam laktat
dalam darah. Temuan ini tentunya semakin mempertanyakan hubungan kausal antara
penggunaan metformin dan asidosis laktat.
Tanda-tanda klinis asidosis laktat biasanya memperlihatkan tanda-tanda hipoperfusi
jaringan. Hipotensi berat, oliguria atau anuria, perubahan status mental, dan takipnu selalu
dijumpai pada asidosis laktat yang disebabkan oleh hipoksemia jaringan.Gambaran klinis
yang didapati bila terjadi gangguan perfusi jaringan juga terjadi hipotensi, penurunan
kesadaran, vasokonstriksi perifer, dan oliguria. Manifestasi lanjut yang terjadi adalah syok,
dan hal ini menjadi indikator keadaan hipoperfusi. Pada penderita juga terjadi takipnu,
hipotensi, dan perubahan status mental.Manifestasi lain yang ditemukan adalah tipe
pernapasan kussmaul yang menunjukkan suatu keadaan asidosis yang mengakibatkan
terjadinya kompensasi pernapasan. Oleh karena sepsis sering didapati pada sebagian besar
kasus asidosis laktat, demam (38,5oC) atau hipotermi (35oC) menjadi gejala tambahan yang
memperlihatkan kemungkinan sudah terjadi sepsis.
Asidosis laktat adalah suatu keadaan asidosis metabolik dengan peningkatan asam laktat
dan nilai anion gap. Kriteria diagnosis asidosis laktat adalah kadar asam laktat darah sama
atau lebih dari 7 mM, pH arteri lebih rendah dari 7.35, bikarbonat dibawah 15 mEq/1, dan AG
meningkat (normal: 8-16 mM). Pada pasien sakit berat, nilai asam laktat masih dianggap
normaL sampai kurang dari 2 mM.Pada penderita asidosis laktat dengan kadar albumin serum
yang rendah atau kadar globulin yang tinggi dapat ditemukan pH dan AG yang normal. Hal
tersebut disebabkan karena hilangnya anion negatif lebih banyak dari kation.
Anion gap menggambarkan selisih antara nilai anion dan kation serum tak terukur dan
bisa dihitung dengan rumus: Anion gap : Na - (Cl + HCo 3.). Peningkatan nilai anion gap
sering terjadi akibat peningkatan anion tak terukur, misal akibat peningkatan anion organik
seperti pada kasus asidosis laktat atau ketoasidosis dan nilai normalnya adalah sekitar 8 mM.
Nilai anion gap yang meningkat disertai dengan penurunan pH serum lazim digunakan
sebagai dasar diagnosis asidosis laktat meskipun pada prakteknya sering dijumpai keadaan
dimana kadar asam laktat meningkat dalam serum namun tidak disertai dengan peningkatan
nilai anion gap. Iberti dkk menunjukkan bahwa ternyata onion gap bukan merupakan
parameter yang sensitif untuk menilai terjadinya asidosis laktat. Hasil ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Mehta dkk. Nilai pH serum juga kurang sensitif untuk menilai
keadaan asidosis laktat karena dalam beberapa kasus bisa didapatkan pH serum nomal pada
pasien sakit berat, kemungkinan akibat kompensasi dari pernapasan atau pada saat bersamaan
terjadi alkalosis metabolik.
Pengobatan asidosis laktat selalu difokuskan kepada koreksi pH arteri. Dapat dikatakan
bahwa asidosis laktat semata-mata bertanggung jawab terhadap penurunan curah jantung,
penurunan respons katekolamin, gangguan metabolisme hati, dan meningkatkan aritmia, di
mana faktor-faktor tersebut memperburuk survival rate. Faktor lain yang perlu ditanggulangi
adalah mengobati penyakit dasarnya, gagal organ, atau pemberian epinefrin. Jika ditemukan
defisiensi dapat diberikan tiamin, maagnesium atau vitamin lainnya. Mempertahankan curah
jantung merupakan hal yang sangat penting.

BAB III

KESIMPULAN

Diabetes mellitus jika tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan komplikasi baik akut maupun
kronis. Komplikasi akut diabetes mellitus yang dapat terjadi diantaranya hipoglikemi, asidosis laktat,
ketoasidosis diabetic dan hyper osmolar non ketotik. Komplikasi akut dari diabetes ini bisa tanpa gejala,
berkeringat banyak, pandangan kabur, lemas, hingga penurunan kesadaran. Karena terkadang tidak
menimbulkan gejala komplikasi akut dari diabetes ini sering tidak disadari oleh penderitanya dan banyak
yang mengabaikan keluhan yang mereka alami. Sehingga ketika pasien datang ke rumah sakit pasien
sudah datang dalam keadaan yang tidak baik, padahal komplikasi akut dari diabetes merupakan suatu
kegawatan yang perlu ditangani secepatnya. Jika komplikasi akut diabetes mellitus ini tidak ditangani
dengan baik kondisi tersebut bahkan dapat menyebabkan kematian. Pada KAD dan HHNK perbedaanya
terletak pada keton yang hanya ada pada KAD, kadar glukosa darah yang lebih tinggi pada HHS. KAD
dan HHS kebanyakan dicetuskan oleh infeksi, juga adanya gula yang tidak terkontrol akibat kurangnya
dosis insulin maupun obat minum yang dihentikan oleh pasien. Baik pada KAD maupun HHNK
memiliki pilar penanganan yang sama yakni rehidrasi cairan, kendalikan gula darah dengan insulin,
koreksi elektrolit, pemberian bikarbonat, dan pengendalian factor pencetus. Sedangkan pada hipoglikemi
perlu diberikan tatalaksana untuk meningkatkan kadar glukosa darah. Hipoglikemi bisa ditangani dengan
mudah seperti dengan meminum the manis ataupun mengkonsumsi permen, namun sayangnya karena
kurangnya pengetahuan mengenai hipoglikemi banyak yang pasien yang dating dengan penurunan
kesadaran. Dari semua penyakit yang telah dijelaskan menunjukkan pentingnya pemahaman oleh pasien
dan juga keluarga pasien mengenai penyakit yang pasien derita sehingga komplikasi-komplikasi tersebut
dapat dicegah.

DAFTAR PUSTAKA

1. Suyono S. Diabetes Melitus di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed.
Jakarta: InternaPublishing;2014. p. 2317-2324
2. Purnamasari D. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. 6th ed. Jakarta: InternaPublishing;2014. p. 2325-2329
3. Setyohadi B, Arsana PM, Suryanto A, Soeroto AY, Abdullah M. 2012. EIMED PAPDI :
Kegawatdaruratan Penyakit Dalam. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Indonesia. Interna Publishing : Jakarta
4. Manaf A. Hipoglikemi : Pendekatan Klinis dan Penatalaksanaan. In: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam.
6th ed. Jakarta. : InternaPublishing;2014. p 2357-2360
5. American Diabetes Association. Standarts of medical care in diabetes 2011. Diabetes
Care. 2011;34 Supl 1: S11-S61
6. Tarigan TJE. Ketoasidosis Diabetik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata
M, Setiati S, editors. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta. :
InternaPublishing;2014. p 2377-2382
7. Masharani U. Diabetic Ketoacidosis. In: McPhee SJ, Papadakis MA, editors. Lange
current medical diagnosis and treatment. 49th ed. New York: Lange; 2010. p.1111-5.
8. Soewondo P. Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Nonketotik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed.
Jakarta. : InternaPublishing;2014. p 2383-2387
9. Bakta IM, Suastika IK. Gawat darurat di bidang penyakit dalam. 1999. Jakarta: EGC : pp
5-6.
10. Lubis SM, Lubis M. Asidosis laktat. Majalah Kedokteran Nusantara. 2006. 39: 1.

Anda mungkin juga menyukai