Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

FARINGITIS TB

Pembimbing:
dr. HESTI DYAH PALUPI Sp.THT-KL

Oleh:
Kent Vilandka 406172039
Kelvin Pangestu 406181016

KEPANITERAAN STASE THT


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH K.M.R.T KETILENG
PERIODE 26 November s/d 30 Desember 2018

1
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
TARUMANAGARA
LEMBAR PENGESAHAN

Referat :

FARINGITIS TB

Disusun oleh :

Kent Vilandka 406172039

Kelvin Pangestu 406181016

Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian stase THT di RSUD K.M.R.T.
Ketileng

Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Ketileng, Desember 2018

dr. HESTI DYAH PALUPI Sp.THT-KL

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugerah yang
dilimpahkanNya, sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan referat
dengan topik “Faringitis TB”.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna dan masih
banyak kekurangan. Oleh karena itu, dengan hati terbuka penulis menerima segala
kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan penulisan makalah
ini.

Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada:

1. dr. Djoko Prasetyo A.N, Sp.THT


2. dr. Hesti Dyah Palupi, Sp.THT
3. dr. Bambang Agus Soesanto, Sp.THT

yang telah banyak memberikan ilmu dan bimbingannya selama siklus kepaniteraan
THT RSUD K.M.R.T. Ketileng sejak tanggal 26 November s/d 30 Desember 2018.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis berharap semoga laporan


kasus ini dapat memberikan manfaat bagi para pembacanya.

Ketileng, 1 Desember 2018

Penulis

3
DAFTAR ISI

Cover ........................................................................................................................1
Lembar Pengesahan .................................................................................................2

Kata Pengantar .........................................................................................................3

Daftar Isi...................................................................................................................4

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................6

BAB III KESIMPULAN ......................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................22

4
BAB 1
PENDAHULUAN

Tuberkulosis adalah satu dari sepuluh penyebab kematian terbesar di


dunia.(1) Tuberkulosis adalah penyakit multi sistemik. Namun sistem organ yang
tersering terkena adalah sistem pernafasan diikuti sistem pencernaan, sistem
limforetikular, kulit, SSP, muskuloskeletal, reproduksi, dan liver.(2)
Tercatat jutaan orang terinfeksi TB setiap tahunnya. Berdasarkan data WHO
pada tahun 2017, TB menyebabkan kurang lebih 1,3 juta kematian pada orang tanpa
HIV, ditambah 300.000 kematian akibat TB pada orang-orang dengan HIV. Secara
global, diperkirakan sekitar 10 juta orang mengalami TB di tahun 2017, di mana
5,8 jutanya pria, 3,2 jutanya wanita, dan 1 jutanya anak-anak.(1)
Kasus TB ditemukan di seluruh negara dan kelompok usia, namun secara
keseluruhan 90% adalah orang dewasa dengan usia lebih dari 15 tahun dan 9%
adalah orang dengan HIV. Dua per tiga dari seluruh kasus TB dapat ditemukan pada
8 negara yaitu India (27%), Cina (9%), Indonesia (8%), Filipina (6%), Pakistan
(5%), Nigeria (4%), Bangladesh (4%) and Afrika Selatan (3%). Negara-negara ini
beserta 22 negara lain masuk dalam “WHO’s list of 30 high TB burden countries”.(1)
Tuberkulosis dapat dibagi menjadi tuberkulosis primer dan tuberkulosis
sekunder. Tuberkulosis primer merupakan infeksi pertama dari tuberkulosis,
sedangkan tuberkulosis sekunder adalah infeksi yang terjadi akibat adanya
penyebaran dari kuman penyebab tuberkulosis primer ke tempat yang lain melalui
aliran darah atau kelenjar getah bening. Faringitis tuberkulosis biasanya merupakan
proses sekunder tuberkulosis paru, kecuali bila infeksi disebabkan oleh kuman
tahan asam jenis bovinum.(3)
Sungguh sangat miris, bahwa faringitis tuberkulosis ini merupakan kasus
yang jarang terdiagnosis atau diagnosis sering dilupakan, bahkan sering dikelirukan
dengan penyakit lain. Faringitis Tuberkulosis umumnya mengikuti tuberkulosis
paru, sedangkan angka kejadian tuberkulosis paru masih tinggi.(4)

5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 FARING
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong,
yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar
tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas,
faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan
dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring di bawah
berhubungan melalui aditus laring, dan ke bawah berhubungan dengan esofagus.
Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini
merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh
(dari dalam ke luar) selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan
sebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan
laringofaring (hipofaring). Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir
(mucous blanket) dan otot.(4)

MUKOSA
Bentuk mukosa faring bervariasi, tergantung letaknya. Pada nasofaring
karena fungsinya untuk saluran respirasi, maka mukosanya bersilia, sedangkan
epitelnya torak berlapis yang mengandung sel goblet. Di bagian bawahnya, yaitu
orofaring dan laringofaring, karena fungsinya untuk saluran cerna, epitelnya gepeng
berlapis dan tidak bersilia.(4)
Di sepanjang faring dapat ditemukan banyak sel jaringan limfoid yang
terletak dalam rangkaian jaringan ikat yang termasuk dalam sistem
retikuloendotelial. Oleh karena itu dapat disebut juga daerah pertahanan tubuh
terdepan.(4)

PALUT LENDIR (MUCOUS BLANKET)


Daerah nasofaring dilalui oleh udara pernapasan yang diisap melalui
hidung. Di bagian atas, nasofaring ditutupi oleh palut lendir yang terletak di atas
silia dan bergerak sesuai dengan arah gerak silia ke belakang. Palut lendir ini

6
berfungsi untuk menangkap partikel kotoran yang terbawa oleh udara yang diisap.
Palut lendir ini mengandung enzim Lyzozyme yang penting untuk proteksi.(4)

OTOT
Otot-otot faring tersusun dalam lapisan melingkar (sirkular) dan memanjang
(longitudinal). Otot-otot sirkular terdiri dari m. konstriktor faring superior, media
dan inferior. Otot-otot ini terletak di sebelah luar. Otot-otot ini berbentuk kipas
dengan tiap bagian bawahnya menutup sebagian otot bagian atasnya dari belakang.
Di sebelah depan, otot-otot ini bertemu satu sama lain dan di belakang bertemu
dengan jaringan ikat yang disebut “rafe faring” (raphe pharyngis). Kerja otot
konstriktor untuk mengecilkan lumen faring. Otot-otot ini dipersarafi oleh n. vagus
(n. X).(4)
Otot-otot longitudinal adalah m. stilofaring dan m. palatofaring. Letak otot-
otot ini di sebelah dalam. M. stilofaring gunanya untuk melebarkan faring dan
menarik laring, sedangkan m. palatofaring mempertemukan ismus orofaring dan
menaikkan bagian bawah faring dan laring. Jadi kedua otot ini bekerja sebagai
elevator. Kerja kedua otot ini penting pada waktu menelan. M. stilofaring
dipersarafi oleh n. IX sedangkan m. palatofaring dipersarafi oleh n. X.(4)
Pada palatum mole terdapat lima pasang otot yang dijadikan satu dalam satu
sarung fasia dari mukosa yaitu m. levator veli palatini, m. tensor veli palatini, m.
palatoglosus, m. palatofaring dan m. azigos uvula.(4)
M. levator veli palatini membentuk sebagian besar palatum mole dan
kerjanya untuk menyempitkan ismus faring dan memperlebar ostium tuba
Eustachius. Otot ini dipersarafi oleh n. X.(4)
M. tensor veli palatini membentuk tenda palatum mole dan kerjanya untuk
mengencangkan bagian anterior palatum mole dan membuka tuba Eustachius. Otot
ini dipersarafi oleh n. X.(4)
M. palatoglossus membentuk arkus anterior faring dan kerjanya untuk
menyempitkan ismus faring. Otot ini dipersarafi oleh n. X.(4)
M. palatofaring membentuk arkus posterior faring. Otot ini dipersarafi oleh
n. X.(4)

7
M. azigos uvula merupakan otot yang kecil, kerjanya memperpendek dan
menaikkan uvula ke belakang atas. Otot ini dipersarafi oleh n. X.(4)

PENDARAHAN
Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak
beraturan. Yang utama berasal dari cabang a. karotis eksterna (cabang faring
asendens dan cabang fausial) serta dari cabang a. maksila interna yakni cabang
palatina superior. (4)

PERSARAFAN
Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus faring
yang ekstensif. Pleksus ini dibentuk oleh cabang faring dari n. vagus, cabang dari
n. glosofaring dan serabut simpatis. Cabang faring dari n. vagus berisi serabut
motorik. Dari pleksus faring yang ekstensif ini keluar cabang-cabang untuk otot-
otot faring kecuali m. stilofaring yang dipersarafi langsung oleh cabang n.
glosofaring (n. IX). (4)

KELENJAR GETAH BENING


Aliran limfa dari dinding faring dapat melalui 3 saluran, yakni superior,
media dan inferior. Saluran limfa superior mengalir ke kelenjar getah bening
retrofaring dan kelenjar getah bening servikal dalam atas. Saluran limfa media
mengalir ke kelenjar getah bening jugulo-digastrik dan kelenjar servikal dalam atas,
sedangkan saluran limfa inferior mengalir ke kelenjar getah bening servikal dalam
bawah.(4)
Berdasarkan letaknya faring dibagi atas:
1. NASOFARING
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah
adalah palatum mole, ke depan adalah rongga hidung, sedangkan ke belakang
adalah vertebra servikal.(4)
Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan erat dengan
beberapa struktur penting, seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral
faring dengan resesus faring yang disebut fosa Rosenmuller, kantong Rathke, yang

8
merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu
refleksi mukosa faring di atas penonjolan kartilago tuba Eustachius, koana, foramen
jugulare, yang dilalui oleh n. glosofaring, n. vagus dan n. asesorius spinal saraf
kranial dan v. jugularis interna, bagian petrosus os temporalis dan foramen
laseratum dan muara tuba Eustachius.(4)

2. OROFARING
Orofaring juga disebut mesofaring, dengan batas atasnya adalah palatum
mole, batas bawahnya adalah tepi atas epiglotis, ke depan adalah rongga mulut,
sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal.(4)
Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior faring,
tonsil palatina, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil
lingual dan foramen sekum.(4)

FOSA TONSIL
Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas lateralnya
adalah m. konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper
pole) terdapat suatu ruang kecil yang dinamakan fosa supratonsil. Fosa ini berisi
jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah memecah ke luar bila
terjadi abses. Fosa tonsil diliputi oleh fasia yang merupakan bagian dari fasia
bukofaring.(4)

TONSIL
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh
jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya.(4)
Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina dan
tonsil lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang ketiga-tiganya
membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. Tonsil palatina yang biasanya
disebut tonsil saja terletak di dalam fosa tonsil. Pada kutub atas tonsil seringkali
ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong faring yang kedua. Kutub
bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah. Permukaan medial tonsil

9
bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang disebut kriptus. Epitel yang
melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus. Di dalam kriptus
biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa
makanan. Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga
disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga
mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi. Tonsil mendapat darah dari a. palatina
minor, a. palatina asendens, cabang tonsil a. maksila eksterna, a. faring asendens
dan a. lingualis dorsal. Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua
oleh ligamentum glosoepigotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini
terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila
sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang menunjukkan penjalaran duktus
tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada massa tiroid lingual
(lingual thyroid) atau kista duktus tiroglosus.(4)

3. LARINGOFARING (HIPOFARING)
Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas
anterior adalah laring, batas inferior adalah esofagus, serta batas posterior ialah
vertebra servikal. Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada
pemeriksaan laring tidak langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan
laring langsung, maka struktur pertama yang tampak di bawah dasar lidah ialah
valekula. Bagian ini merupakan dua buah cekungan yang dibentuk oleh ligamentum
glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum
glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga “kantong pil” (pill
pockets), sebab pada beberapa orang, kadang-kadang bila menelan pil akan
tersangkut di situ.(4)
Di bawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk
omega dan pada perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang
bentuk infantil (bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya,
epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya hingga pada pemeriksaan
laringoskopi tidak langsung tampak menutupi pita suara. Epiglotis berfungsi juga
untuk melindungi (proteksi) glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan,
pada saat bolus tersebut menuju sinus piriformis dan ke esofagus.(4)

10
Nervus laring superior berjalan di bawah dasar sinus piriformis pada tiap
sisi laringofaring. Hal ini penting untuk diketahui pada pemberian analgesia lokal
di faring dan laring pada tindakan laringoskopi langsung.(4)

RUANG FARINGAL
Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinik
mempunyai arti penting, yaitu ruang retrofaring dan ruang parafaring.(4)
1. Ruang retrofaring (Retropharyngeal space)
Dinding anterior ruang ini adalah dinding belakang faring yang terdiri dari
mukosa faring, fasia faringobasilaris dan otot-otot faring. Ruang ini berisi jaringan
ikat jarang dan fasia prevertebralis. Ruang ini mulai dari dasar tengkorak di bagian
atas sampai batas paling bawah dari fasia servikalis. Serat-serat jaringan ikat di
garis tengah mengikatnya pada vertebra. Di sebelah lateral ruang ini berbatasan
dengan fosa faringomaksila. Abses retrofaring sering ditemukan pada bayi atau
anak. Kejadiannya ialah karena di ruang retrofaring terdapat kelenjar-kelenjar
limfa. Pada peradangan kelenjar limfa itu, dapat terjadi supurasi, yang bilamana
pecah, nanahnya akan tertumpah di dalam ruang retrofaring. Kelenjar limfa di ruang
retrofaring ini akan banyak menghilang pada pertumbuhan anak.(4)
2. Ruang parafaring (Pharyngomaxillary fossa)
Ruang ini berbentuk kerucut dengan dasarnya yang terletak pada dasar
tengkorak dekat foramen jugularis dan puncaknya pada kornu mayus os hioid.
Ruang ini dibatasi di bagian dalam oleh m. konstriktor faring superior, batas luarnya
adalah ramus asenden mandibula yang melekat dengan m. pterigoid interna dan
bagian posterior kelenjar parotis.(4)
Fosa ini dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besarnya oleh os.stiloid
dengan otot yang melekat padanya. Bagian anterior (presteloid) adalah bagian yang
lebih luas dan dapat mengalami proses supuratif sebagai akibat tonsil yang
meradang, beberapa bentuk mastoiditis atau petrositis, atau dari karies dentis.(4)
Bagian lebih sempit di bagian posterior (post stiloid) berisi a. karotis interna,
v. jugularis interna, n. vagus, yang dibungkus dalam suatu sarung yang disebut
selubung karotis (carotid sheath). Bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring oleh
suatu lapisan fasia yang tipis.(4)

11
FUNGSI FARING
Fungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, pada waktu menelan,
resonansi suara dan untuk artikulasi.(4)

FUNGSI MENELAN
3 fase dalam proses menelan yaitu fase oral, fase faringal dan fase esofagal.
Fase oral, bolus makanan dari mulut menuju ke faring secara disengaja (voluntary).
Fase faringal yaitu pada waktu transpor bolus makanan melalui faring secara tidak
disengaja (involuntary). Fase esofagal di mana gerakannya tidak disengaja, yaitu
bolus makanan bergerak secara peristaltik di esofagus menuju lambung.(4)

FUNGSI BERBICARA
Saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu otot palatum dan faring.
Gerakan ini antara lain pendekatan palatum mole ke arah dinding belakang faring.
Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mula-mula m.
salpingofaring dan m. palatofaring, kemudian m. levator veli palatini bersama-sama
m. konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring m. levator veli
palatini menarik palatum mole ke atas belakang hampir mengenai dinding posterior
faring. Jarak yang tersisa ini diisi oleh tonjolan (fold of) Passavant pada dinding
belakang faring yang terjadi akibat 2 macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring
sebagai hasil gerakan m. palatofaring (bersama m. salpingofaring) dan oleh
kontraksi aktif m. konstriktor faring superior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja
tidak pada waktu yang bersamaan.(4)
Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap pada periode
fonasi, tetapi ada pula yang berpendapat tonjolan ini timbul dan hilang secara cepat
dan bersamaan dengan gerakan palatum.(4)

2.2 DEFINISI
Faringitis tuberkulosis adalah infeksi kronik yang disebabkan oleh kuman
mikobakterium tuberkulosa maupun dari bakteri jenis lainnya yaitu mikobakterium
bovis yang merupakan akibat dari tuberkulosis paru. Faringitis tuberculosis
merupakan proses sekunder dari tuberkulosis paru.(4)

12
2.3 EPIDEMIOLOGI
Tuberkulosis adalah satu dari sepuluh penyebab kematian terbesar di dunia.
Jutaan orang terinfeksi TB setiap tahunnya. Pada tahun 2017, TB menyebabkan
kurang lebih 1,3 juta kematian pada orang tanpa HIV, ditambah 300.000 kematian
akibat TB pada orang-orang dengan HIV. Secara global, diperkirakan sekitar 10
juta orang mengalami TB di tahun 2017, di mana 5,8 jutanya pria, 3,2 jutanya
wanita, dan 1 jutanya anak-anak.(1)
Kasus TB ditemukan di seluruh negara dan kelompok usia, namun secara
keseluruhan 90% adalah orang dewasa dengan usia lebih dari 15 tahun dan 9%
adalah orang dengan HIV. Dua per tiga dari seluruh kasus TB dapat ditemukan pada
8 negara yaitu India (27%), Cina (9%), Indonesia (8%), Filipina (6%), Pakistan
(5%), Nigeria (4%), Bangladesh (4%) and Afrika Selatan (3%). Negara-negara ini
beserta 22 negara lain masuk dalam “WHO’s list of 30 high TB burden countries”.(1)

2.4 FAKTOR RESIKO


Kejadian TB sangat erat kaitannya dengan infeksi HIV. Orang-orang yang
mempunyai resiko tinggi antara lain dari kalangan penyalahgunaan obat suntik
seperti narkoba. Selain itu faktor sosioekonomik seperti kemiskinan, orang yang
tinggal di lingkungan yang padat atau bahkan tidak mempunyai rumah seringkali
mengalami koinfeksi kedua penyakit ini. Individu yang terinfeksi HIV beresiko
untuk mengalami reaktivasi dari TB sebelumnya dan mengalami perburukan yang
cepat. Pasien-pasien ini biasa menunjukan gejala yang tidak spesifik dan
meningkatkan kemungkinan terjadinya TB ekstrapulmoner.(3)

Selain daripada itu, infeksi TB mudah ditularkan pada kelompok umur


tertentu, seperti pada bayi atau anak-anak, maupun orang tua. Infeksi TB juga
mudah terjadi pada seseorang penderita penyakit yang menurunkan sistem
kekebalan tubuh.(5)

2.5 ETIOLOGI DAN CARA PENULARAN


Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh
mycobacterium tuberkulosis dan mycobacterium bovis. Basil tuberkulosis dapat
hidup dan tetap virulen beberapa minggu dalam keadaan kering, tetapi dalam cairan

13
pada suhu 60oC mati dalam 15 – 20 menit. Fraksi protein basil tuberkulosis
menyebabkan nekrosis jaringan, sedangkan lemaknya menyebabkan sifat tahan
asam dan merupakan faktor penyebab terjadinya fibrosis dan terbentuknya sel
epiteloid dan tuberkel. Basil tuberkulosis tidak membentuk toksin (baik endotoksin
maupun eksotoksin).(4,6)
Penularan mycobacterium tuberkulosis biasanya melalui:(4,6)
• udara,
• peroral -> minum susu yang mengandung basil tuberculosis
(mycobacterium bovis)
• kontak langsung -> melalui luka atau lecet dikulit (eksogen).
• penyebaran melalui darah (hematogen) pada tuberkulosis miliaris dan
melalui aliran limfe (limfogen). (endogen).

2.6 PATOFISIOLOGI
Penyebab Masuknya basil tuberkulosis dalam tubuh tidak selalu
menimbulkan penyakit. Terjadinya infeksi dipengaruhi oleh virulensi dan
banyaknya basil tuberkulosis serta daya tahan tubuh manusia. Infeksi primer
biasanya terjadi dalam paru, melalui aliran darah dan limfe, basil tuberkulosis dapat
mencapai faring. Terbentuk ulkus pada satu sisi tonsil dan jaringan tonsil itu akan
mengalami nekrosis. Bila infeksi timbul secara hematogen, maka tonsil dapat
terkena pada kedua sisi. Lesi sering ditemukan pada dinding faring posterior, arkus
faring anterior, dinding lateral hipofaring dan palatum mole serta palatum durum.
Kelenjar regional leher membengkak.(6)

2.7 GEJALA KLINIS DAN DIAGNOSIS


Pasien biasanya mempunyai keadaan umum yang buruk karena anoreksi
dan odinofagi. Pasien mengeluh nyeri hebat di tenggorok, nyeri di telinga atau
otalgia serta pembesaran kelenjar limfa servikal.(4)
Tuberkulosa pada faring terdapat dalam tiga bentuk, yaitu: tuberkulosis
milier akut, ulkus tuberkulosis kronis dan lupus vulgaris.(6)
2.5.1 Tuberkulosis milier akut

14
Pada tuberkulosis milier akut manifestasi penyakit berhubungan dengan
penyebab mikroba/ kuman dalam aliran darah. Ditemukan erupsi tuberkel di daerah
faucis, palatum mole, dasar lidah atau mukosa pipi. Timbul rasa tidak enak pada
stadium ini, tetapi bila erupsi meluas membentuk ulkus barulah timbul rasa sakit
sekali dan disfagia. Terdapat kecenderungan untuk berdarah dan keluar air liur yang
banyak, lendir kental melekat kedaerah yang berulkus. Keadaan umum pasien
segera memburuk dan terdapat beberapa jenis gangguan dengan suhu badan yang
meningkat.(6)

2.5.2 Ulkus tuberkulosa kronik


Selalu berhubungan dengan tuberkulosa paru yang lanjut dengan sputum
mengandung kuman tuberkulosa. Terjadi ulserasi pada faring dan lidah dimana
ulkus biasanya terletak pada ujung lidah. Ulkus mempunyai sifat dangkal, tepi tidak
teratur dengan dasar yang bersih, pertumbuhan lambat. Ujung saraf masih utuh
sehingga timbul rasa nyeri dengan gejala yang ada hubungan dengan disfagia
akut.(6)

2.5.3 Lupus vulgaris


Lupus vulgaris adalah proses tuberkulosa pada kulit. Dalam bidang
THT lokasi yang sering ialah di bagian depan septum nasi serta konka inferior dan
dari sini dapat menyebar ke muka atau faring. Pada tenggorok biasanya mengenai
palatum mole dan faucius jarang pada tonsil. Bentuk erupsi berupa “apple jelly
nodules” yang segera menjadi abu-abu dan lebih padat. Mukosa menjadi keras dan
hilang mobilitasnya, nodul akan pecah sehingga permukaan mukosa rusak dan
tampak daerah granuler. Bila palatum durum terkena maka tulang akan terbuka
tetapi tulang tidak terkena proses penyakit. Proses berlangsung sangat kronik
dengan kecenderungan menyembuh disebagian tempat tetapi proses penyakit terus
berlanjut sehingga terbentuk sikatriks pada palatum. Uvula dapat mengecil atau
lenyap.(6)
Gejala pada tahap awal berupa adanya rasa terbakar dan sakit sedikit
pada tenggorok. Tahap selanjutnya kualitas suara akan berubah karena adanya

15
fiksasi pada palatum dan timbulnya disfagia. Pada tahap sangat lanjut dapat terjadi
regurgitasi cairan ke dalam hidung.(6)
Secara umum pasien mengeluh nyeri yang hebat ditenggorokan.
Keadaan umum pasien buruk, karena anoreksia dan nyeri untuk menelan makanan.
Tidak jarang terdapat regurgitasi. Selain dari nyeri yang sangat menonjol untuk
menelan, terdapat juga nyeri di telinga (otalgia). Terdapat juga adinopati servikal.(6)
Diagnosis biasanya jelas dikarenakan asosiasi dengan penyakit paru, baik
secara klinis maupun radiologis. Pemeriksaan mikroskopik dengan pengecatan
untuk bakteri tahan asam masih merupakan uji paling berguna untuk diagnosis awal
dari TB. Walaupun kurang sensitif dan spesifik dibandingkan kultur, sensitivitasnya
dapat sangat ditingkatkan menggunakan pengecatan “phenol auramine”
dibandingkan dengan “ziehl-nelsen”. Selain itu foto toraks untuk melihat adanya
tuberkulosis paru dan biopsi jaringan yang terinfeksi juga digunakan untuk
menyingkirkan keganasan dan mencari kuman basil tahan asam pada jaringan.
Alternatif lain adalah sistem monitoring semi automatis dan berkesinambungan
yang dikembangkan spesifik untuk isolasi dari mycobacteria antara lain tes
“enzyme-linked imuunosorbent assay (ELISA)” untuk mendeteksi antigen dan
PCR untuk mendeteksi elemen genetik.(3)
Adapun pemeriksaan penunjang yang dapat membantu dalam penegakkan
diagnose antara lain yaitu:(6,7)
• pemeriksaan darah lengkap
• GABHS rapid antigen detection test bila dicurigai faringitis akibat
infeksi bakteri streptococcus group A
• Kultur tenggorokan

2.8 DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis biasanya jelas dikarenakan asosiasi dengan penyakit paru, baik
secara klinis maupun radiologis. Kalaupun ada yaitu “pharyngeal squamous cell
carcinoma with pulmonary metastases”.(3)

2.9 PENATALAKSANAAN(8–13)
Jenis obat lini pertama yang digunakan adalah sebagai berikut:

16
 INH (Isoniazid)
 Rifampisin
 Pirazinamid
 Streptomisin
 Etambutol

Jenis obat lini kedua yang dapat digunakan adalah sebagai berikut :
 Kanamisin
 Amikasin
 Kuinolon
 Makrolid dan amoksiklav ( masih dalam penelitian)

Obat obatan lainnya yang terdapat di luar namun tidak tersedia di


Indonesia adalah sebagai berikut :
 Kapreomisin
 Siklosporin
 PAS
 Thionamides (Ethionamide dan Prothionamide)

Dosis yang dianjurkan dari masing masing obat lini pertama adalah sebagai
berikut:

Tabel 1. Jenis dan Dosis OAT

Obat Dosis Dosis yg dianjurkan DosisMaks Dosis (mg) / berat


(mg) badan (kg)
(Mg/Kg Harian Intermitten < 40 40- >60
(mg/Kg/BB/kali) 60
BB/Hari) (mg/kgBB/hari)
R 8-12 10 10 600 300 450 600
H 4-6 5 10 300 150 300 450
Z 20-30 25 35 750 1000 1500
E 15-20 15 30 750 1000 1500
Sesuai
S 15-18 15 15 1000 750 1000
BB

17
Tabel 2. Dosis OAT Kombinasi Dosis Tetap

Fase intensif Fase lanjutan


2 bulan 4 bulan
BB Harian Harian 3x/minggu Harian 3x/minggu
RHZE RHZ RHZ RH RH

150/75/400/275 150/75/400 150/150/500 150/75 150/150


30-37 2 2 2 2 2

38-54 3 3 3 3 3

55-70 4 4 4 4 4

>71 5 5 5 5 5

Kategori Kasus Paduan obat yang dianjurkan Keterangan


I - TB paru BTA 2 RHZE / 4 RH atau
+,
2 RHZE / 6 HE
BTA - , lesi
*2RHZE / 4R3H3
luas

II - Kambuh - RHZE/6RH Bila


streptomisin
-tidak lakukan uji resistensi : alergi, dapat
2RHZES/1RHZE/5R3H3E3 diganti
kanamisin

-Gagal
-RHZES / 1RHZE / sesuai hasil
pengobatan
uji resistensi atau 2RHZES /
1RHZE / 5 RHE

-3-6 kanamisin, ofloksasin,


etionamid, sikloserin / 15-18
ofloksasin, etionamid, sikloserin
atau 2RHZES / 1RHZE /
5R3H3E3
II - TB paru Sesuai lama pengobatan
putus berobat sebelumnya, lama berhenti

18
minum obat dan keadaan klinis,
bakteriologi dan radiologi saat ini
(lihat uraiannya) atau

*2RHZES / 1RHZE / 5R3H3E3


III -TB paru BTA 2 RHZ / 4 RH atau
neg. lesi
minimal 6 RHE atau

*2RHZ /4 R3H3

IV - Kronik RHZES / sesuai hasil uji


resistensi (minimal OAT yang
sensitif) + obat lini 2
(pengobatan minimal 18 bulan)
IV - MDR TB Sesuai uji resistensi + OAT lini
2 atau H seumur hidup

2.10 PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI


PROGNOSIS
Ad vitam: dubia ad bonam
Ad sanationam: dubia ad bonam
Ad functionam: bonam

Pasien dengan infeksi kuman mycobacterium tuberkulosa membutuhkan


kepatuhan untuk mengikuti petunjuk pengobatan yang benar agar tidak timbul
resistensi kuman. Prognosis akan baik bila pengobatan terkontrol. Pasien
tuberkulosis yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal 2 tahun setelah
sembuh untuk mengetahui apakah terjadi kambuh atau sembuh. Evaluasi yang baik
mencakup:
1. Sputum BTA mikroskopik 3, 6, 12 dan 24 bulan setelah dinyatakan sembuh.
2. Evaluasi foto toraks 6, 12 dan 24 bulan setelah dinyatakan sembuh.

19
KOMPLIKASI
Faringitis tuberculosis umumnya mengikuti tuberkulosis paru, sedangkan
tuberculosis paru kejadiannya masih tinggi. Tuberkulosis faring sering tidak
terdiagnosis atau dikelirukan dengan penyakit lain. Bila ditemukan gambaran klinis
berupa rasa sakit berlangsung lama dengan ulcerasi di faring, perlu dipikirkan
tuberculosis faring. Tuberculosis faring ditegakkan berdasarkan gambaran klinis
dengan pemeriksaan penunjang. Berikut merupakan komplikasi yang bisa
ditimbulkan Faringitis Tuberkulosis:
• Batuk darah
• Pneumotoraks
• Gagal napas
• Gagal jantung
• Efusi pleura

2.11 PENCEGAHAN(14)
- Etika batuk dan cara menjaga kebersihan (batuk dengan siku atau tisu,
selesai batuk jangan lupa mencuci tangan).
- Vaksinasi BCG.
- Edukasi tentang penyakit TB (terutama mengenai cara pemakaian obat dan
cara untuk mencegah penularan pada orang lain).
- Ventilasi rumah sebaiknya adekuat.
- Hindari tempat keramaian.
- Kalau bisa, tidur di kamar terpisah dengan ventilasi yang adekuat.

20
BAB 3
KESIMPULAN

Faringitis tuberkulosis adalah infeksi kronik yang disebabkan oleh kuman


mikobakterium tuberkulosa maupun dari bakteri jenis lainnya yaitu mikobakterium
bovis yang merupakan akibat dari tuberkulosis paru. Faringitis tuberculosis
merupakan proses sekunder dari tuberkulosis paru. Faringitis tuberkulosis terdiri
dari 3 bentuk yaitu tuberkulosis milier akut, ulkus tuberkulosis kronis dan lupus
vulgaris. Gejala pada faringitis tuberculosis tergantung pada bentuknya. Untuk
tatalaksana dari faringitis tuberkulosis ini sendiri sama dengan terapi tuberkulosis
paru pada umumnya. Penyakit TB ini sangat infeksius, oleh karena itu diperlukan
edukasi yang benar kepada pasien untuk menghindari atau meminimalkan potensi
penularannya.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Organisation mondiale de la santé. Global tuberculosis report 2018. 2018.

2. Tuberculosis - StatPearls - NCBI Bookshelf [Internet]. [cited 2018 Dec 3].


Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441916/

3. Clarke RW, Watkinson JC, Taylor & Francis. Scott-Brown’s


otorhinolaryngology and head and neck surgery. basic sciences, endocrine
surgery, rhinology Volume 1 Volume 1 [Internet]. 2018 [cited 2018 Dec 3].
Available from: https://0-www-taylorfrancis-
com.pugwash.lib.warwick.ac.uk/books/9781351399067

4. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. 7th ed. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI;

5. TB Prevention | Basic TB Facts | TB | CDC [Internet]. 2018 [cited 2018 Dec 3].
Available from: https://www.cdc.gov/tb/topic/basics/tbprevention.htm

6. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK-UI. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak.
Vol. 2. Jakarta: Infomedica; 2008. 573-578 p.

7. Soepardi EA, Hadjat F, Iskandar N. Penatalaksanaan Penyakit dan Kelainan


THT. 2nd ed. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI; 2008.

8. Kelompok Kerja TB-HIV Tingkat Pusat. Prosedur tetap pencegahan dan


pengobatan tuberkulosis pada orang dengan HIV / AIDS. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2003.

9. Soepandi P. Stop mutation with fixed dose combination. Jakarta-Indonesia:


Departemen of Respiratory Medicine, Faculty of Medicine, University of
Indonesia Persahabatan Hospital;

10. Penatalaksanaan kasus TB dengan resistensi ganda (Multi Drug


Resistance/MDR). Jakarta: Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran
Respirasi FKUI, RS Persahabatan;

11. Khaled N, Enarson D. Tuberculosis a manual for medical students. WHO;


2003.

12. Treatment of Tuberculosis. Guidelines for National Programmes. 3rd ed.


Geneva: WHO; 2003.

13. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan


Penatalaksanaan di Indonesia. 2006.

22
14. TB Prevention | Precautions, vaccine, drug treatment, isolation [Internet]. TB
Facts | TB, tests, drugs, statistics. [cited 2018 Dec 3]. Available from:
https://www.tbfacts.org/tb-prevention/

23

Anda mungkin juga menyukai