Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan merupakan suatu keadaan dimana tubuh sempurna secara fisik,

mental dan sosial. Sehat sangat berhubungan erat dengan kata “fungsi”, dimana

fungsi tersebut menggambarkan kerja dari bagian tubuh seseorang di dalam

menyelesaikan suatu tugas. Maka diperlukanlah suatu kondisi sehat baik secara

fisik, mental, dan sosial serta terbebas dari penyakit atau kelemahan. Adanya

suatu penyakit atau kelemahan pada tubuh dapat mempengaruhi status kesehatan

seseorang.

Salah satu bagian tubuh yang sering mengalami gangguan fungsi yaitu

kaki. Karena kaki merupakan salah satu anggota gerak tubuh yang paling sering

digunakan baik dalam aktivitas sehari-hari maupun bidang pekerjaan. Apabila

fungsi kaki mengalami gangguan atau disfungsi maka akan menghambat

aktivitas sehari-hari bahkan penurunan kinerja dan produktivitas. Cedera pada

tungkai adalah yang paling sering terjadi karena adanya tekanan dan tarikan pada

ligamen penyusun dari sendi ankle (Apley, 1995).

Di Amerika Serikat tercatat sekitar satu dari per 10.000 orang per harinya

yang mengalami terjadi cedera ankle, di Belanda sendiri jumlahnya mencapai

234.000 pertahun. Di Indonesia sendiri kasus sprain ankle marak terjadi namun

belum adanya penelitian yang lebih mengkhusus untuk dapat memetakan tingkat

angka kejadian sprain ankle. Sedangkan menurut Ross dkk melaporkan di Mayo

1
2

Clinic tahun 2000 – 2005 kasus sprain ankle khususnya yang terkena pada lateral

ligamen ini biasanya terjadi pada orang umum dan para atlet. Dari kasus tersebut

85% nya merupakan cidera pergelangan kaki, dan menurut data 85% itu

merupakan inversi sprain. Sekitar 80% dari angka kejadian yang dilaporkan

merupakan cedera sprain ankle yang kambuh atau keadaan sakit yang terulang

setelah cedera pertama terjadi. Dari 40% individu yang terkena sprain ankle

memiliki gejala sisa dari sprain ankle yang kronis yaitu keadaan ankle yang tidak

stabil. Presentase dari sprain ankle didominasi oleh wanita yaitu mencapai 63%

dan pada pria berkisar 37%. Tanda dan gejala yang sering timbul pada penderita

sprain ankle umumnya adalah rasa nyeri pada pergelangan kaki. Sprain ankle

ringan biasanya terjadi keseleo pada pergelangan kaki yang ringan menyebabkan

ketidaknyamanan pada kaki, pembengkakan ringan, sedikit atau adanya memar,

titik nyeri yang ringan dan penderita mampu berjalan mengangkat beban tanpa

bantuan dan tingkat stabilitas ankle menurun.

Definisi dari sprain ankle itu sendiri merupakan kondisi dimana terjadinya

penguluran atau robekan pada ligamentum lateral complex. Yang meliputi

ligamentum calcaneofibularis, ligamentum talofibularis anterior dan ligamentum

talofibularis posterior bahkan dapat mengenai ligamentum talocalcaneare

interosseum. Hal ini biasanya disebabkan karena adanya gaya inversi dan plantar

fleksi secara tiba-tiba saat kaki tidak menumpu sempurna, pada tumpuan

permukaan yang tidak rata (Brukner & Khan ,1993).


3

Berdasarkan tingkatan cederanya, sprain ankle memiliki 3 fase dari akut yang

berlangsung 3 hari setelah cedera, fase sub akut berlangsung dari hari ke 4 - 10

setelah cedera, dan fase kronis berlangsung lebih dari 7 hari setelah cedera. Pada

kasus sprain ankle biasanya ditemukan gejala sisa yang dapat mempengaruhi cedera

tersebut berulang kembali. Sehingga dapat digolongkan kedalam sprain ankle kronis

yakni cedera pada ligamen lateral kompleks yang berlangsung mulai hari ke 7 setelah

cedera terjadi (Chan keith et al., 2011). Adapun faktor - faktor yang menyebabkan

terjadinya sprain ankle kronis yakni, faktor intrinsik dan ekstrinsik. Yang termasuk di

dalam faktor ekstrinsik yaitu kesalahan pelatihan, kinerja yang buruk , teknik yang

salah dan menapak pada permukaan yang tidak rata, sedangkan untuk faktor intrinsik

terdiri dari kerusakan jaringan penyangga, ketidakstabilan aktif oleh otot-otot

penggerak kaki dan ankle (muscle weaknes), poor proprioceptive, hypermobile kaki

dan ankle (Kisner dan Colby, 2012).

Jika tidak mendapatkan penanganan yang tepat maka akan menyebabkan

terjadinya gangguan fungsi proprioseptif. Menurut Riemann dan Lepharts

proprioseptif didefinisikan sebagai informasi aferen yang timbul dari area peripheral

internal tubuh yang berkontribusi untuk mengontrol postur, stabilitas sendi dan

beberapa sensasi sadar. Proprioseptif berkontribusi terhadap kontrol neuromuskular

dan muscle reflex yang memungkinkan untuk terjadinya gerakan - gerakan yang tepat

serta menjaga stabilitas dinamis sendi. Untuk mengatasi problem tersebut maka

dipilih wobble board exercise yang bertujuan untuk melatih otot-otot ekstremitas
4

bawah mulai dari panggul sampai kaki dan ankle secara bersamaan dalam

meningkatkan kekuatan otot, fungsi proprioceptive, stabilitas, dan aktivitas sehari -

hari menjadi normal (Kisner dan Colby, 2012). Sedangkan pemberian resistance

exercise, merupakan jenis latihan aktif yang dimana kontraksi otot baik secara

statik maupun dinamis ditahan oleh gaya yang berasal dari luar baik secara manual

maupun mekanikal bertujuan untuk merehabilitasi keterbatasan serta untuk

meningkatkan kualitas hidup terutama meningkatkan performa kemampuan

motoris (motor skill performance) serta mencegah resiko adanya injuri dan

penyakit(Colby & Kisner, 2007).

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk mengangkat

topik di atas dalam peneltian dengan judul “Wobble Board Exercises lebih

Meningkatkan Waktu Reaksi dari pada Resistance Exercise dalam pada Kasus Sprain

Ankle Kronis Di Kota Denpasar”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka peneliti merumuskan masalah

sebagai berikut :

1. Apakah wobble board exercises dapat meningkatkan waktu reaksi pada kasus

sprain ankle kronis di kota Denpasar?

2. Apakah resistance exercise dapat meningkatkan waktu reaksi pada kasus

sprain ankle kronis di kota Denpasar?


5

3. Apakah ada perbedaan antara wobble board exercises dan resistance

exercise dalam meningkatkan waktu reaksi pada kasus sprain ankle kronis di

kota Denpasar?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk menganalisis apakah wobble board exercises lebih dapat meningkatkan

fungsi proprioseptif dari pada resistance exercise pada kasus sprain ankle

kronis di kota Denpasar.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Menganalisis apakah wobble board exercises dapat meningkatkan waktu

reaksi pada kasus sprain ankle kronis di kota Denpasar.

2. Menganalisis apakah resistance exercise dapat meningkatkan waktu reaksi

pada kasus sprain ankle kronis di kota Denpasar.

3. Menganalisis apakah wobble board exercises lebih dapat meningkatkan

waktu reaksi dari pada resistance exercise pada kasus sprain ankle kronis di

kota Denpasar.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Teoritis

a. Mengetahui dan memahami tentang proses terjadinya nyeri pada sprain ankle

kronis secara lebih mendalam.


6

b. Membuktikan penerapan wobble board exercises lebih dapat meningkatkan

waktu reaksi dari pada resistance exercise pada kasus sprain ankle kronis di

kota Denpasar.

1.4.2 Praktis

a. Dapat digunakan sebagai bahan acuan dan referensi bagi peneliti selanjutnya

untuk membahas hal yang sama.

b. Menambah khasanah ilmu dalam dunia pendidikan pada umumnya dan

fisioterapi pada khususnya.

Anda mungkin juga menyukai