POLIP NASI
LAPORAN KASUS
STROKE INFARK
DISUSUN OLEH:
DOKTER PEMBIMBING
Gabriella Maria C. Sipahutar
dr. Olina Hulu, Sp. THT-KL
218210067
DOKTER PEMBIMBING
dr. Anyta Prisca D,M.Ked,Neu,Sp.S
2019
i
LEMBAR PENGESAHAN
Nilai :
Dokter Pembimbing
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan “Paper” ini guna memenuhi
persyaratan mengikuti Persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior di SMF Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok RSUD Dr. Pirngadi Medan yang berjudul
“Polip Nasi”.
Pada kesempatan ini tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada
pembimbing selama menjalani KKS di bagian ini yaitu dr. Olina Hulu, Sp. THT-
KL atas segala bimbingan dan arahannya dalam menjalani KKS dan dalam
pembuatan paper ini.
Penulis menyadari bahwa paper ini masih banyak kekurangannya, oleh
sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna
memperbaiki paper ini di kemudian hari. Harapan penulis semoga paper ini dapat
bermanfaat dan menambah pengetahuan bagi kita semua.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
4
BAB I
PENDAHULUAN
Polip nasi adalah lesi jinak yang berasal dari mukosa rongga hidung atau sinus
paranasal. Polip nasi terlihat sebagai massa yang halus, lonjong, semi translusen, yang
lebih banyak ditemukan di meatus medius dan sinus ethmoidalis. Patofisiologi polip
bersifat multifaktor, beberapa faktor seperti infeksi, alergi, perubahan polisakarida,
fenomena Bernoulli dan ketidakseimbangan vasomotor dapat mempengaruhi satu pasien
yang sama.1,2
Pasien dengan polip nasi dapat datang dengan keluhan hidung tersumbat,
hiposmia, rhinorrhea, epistaksis, post nasal drip, sakit kepala dan mendengkur. Meskipun
polip nasi lebih sering muncul secara bilateral, mereka juga dapat muncul secara
unilateral. Pada massa hidung unilateral, jinak atau ganas harus dipertimbangkan dan
dibedakan dengan endoskopi hidung, CT Scan, dan biopsi.3
Dulu diduga predisposisi timbul polip nasi ialah adanya rinitis alergi atau penyakit
atopi, tetapi makin banyak penelitian yang mengemukakan berbagai teori dan para ahli
sampai saat ini menyatakan bahwa etiologi polip nasi masih belum diketahui dengan
pasti.4
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Hidung Luar
Hidung luar mempunyai dua lubang berbentuk lonjong disebut nares, yang dipisahkan
satu dengan yang lain oleh septum nasi (Gambar 2.1). Pinggir lateral, ala nasi, berbentuk
bulat dan dapat digerakkan.
Rangka hidung luar dibentuk oleh os nasale, processus frontalis maxillaris dan pars
nasalis ossis frontalis. Di bawah rangka hidung dibentuk oleh lempeng – lempeg tulang
rawan hialin (Gambar 2.1)
6
Dinding Cavum Nasi :
Setiap belahan cavum nasi mempunyai dasar, atap, dinding lateral dan dinding medial
atau dinding septum.
Dasar
Dasar dibentuk oleh processus palatinus os maxilla dan lamina horizontalis ossis
palatani (Gambar 2.1).
Atap
Atap sempit dan dibentuk disebelah anterior mulai dari bagian bawah batang
hidung oleh os nasale dan os frontale, di tengah oleh lamina cribrosa ossis
ethmoidalis, terletak di bawah fossa cranni anterior, dan disebelah posterior oleh
bagian miring ke bawah corpus ossis sphenoidalis (Gambar 2.2).
Dinding Lateral
Dinding lateral mempunyai tiga tonjolan tulang disebut concha nasalis superior,
media, dan inferior (Gambar 2.2). Area dibawah setiap concha disebut meatus.
Dinding Medial
Dinding medial dibentuk oleh septum nasi. Bagian atas dibentuk oleh lamina
verticalis ossis ethmoidalis dan os vomer (Gambar 2.1). Bagian anterior dibentuk
oleh cartilago septalis. Septum ini jarang terletak pada bidang median, sehingga
belahan cavum nasi yang satu lebih besar dari belahan sisi lainnya.
Gambar 2.2. A. Dinding lateral cavum nasi kanan. B. Dinding lateral cavum nasi kanan;
concha nasalis superior, media, dan inferior dibuang sebagian untuk memperlihatkan
muara dari sinus paranasalis dan ductus lacrimalis ke dalam meatus
7
Perdarahan Cavum Nasi :
Berasal dari cabang – cabang arteria maxillaris, yang merupakan salah satu cabang
terminal arteria carotis externa. Cabang yang terpenting adalah arteria sphenopalatina
(Gambar 2.3).
8
2.2. Histologi Hidung6
Rongga hidung berada di dalam tengkorak berupa dua bilik kavernosa yang
dipisahkan oleh septum nasi oseosa. Dari setiap dinding lateral terdapat tiga tonjolan
bertulang mirip rak yang dikenal sebagai conchae. Concha median dan inferior dilapisi
oleh epitel respiratorik; concha superior ditutupi epitel penghidu khusus. Celah-celah
sempit di antara concha memudahkan pengondisian udara inspirasi dengan menambah
luas area epitel respiratorik yang hangat dan lembap dan dengan melambatkan serta
menambah turbulensi aliran udara. Hasilnya adalah bertambahnya kontak antara aliran
udara dan lapisan mukosa. Di dalam lamina propria concha terdapat pleksus vena besar
yang dikenal sebagai badan pengembang (swell bodies).
Suatu fungsi utama keseluruhan bagian konduksi adalah mengondisikan udara
inspirasi dengan membersihkan, melembapkan, dan menghangatkannya sebelum
memasuki paru. Selain vibrisa lembap, sejumlah besar vaskular di lamina propria, dan sel
epitel respiratorik yang bersilia dan menghasilkan mukus, pengondisian juga melibatkan
sejumlah besar kelenjar mukosa dan serosa di mukosa. Begitu udara mencapai fossa
nasalis, partikel dan polutan gas terperangkap di lapisan mukus. Mukus ini, beserta sekret
serosa juga berfungsi melembapkan udara yang masuk, melindungi alveoli paru yang
halus dari kekeringan.
Kemoreseptor olfaktorius terletak di epitel olfaktorius, yaitu regio khusus
membran mukosa concha superior yang terletak di atap rongga hidung. Epitel ini
merupakan epitel bertingkat silindris yang terdiri atas tiga jenis sel (Gambar 2.5).
9
Gambar 2.5. Epitel Respiratorik. (BM=Basement Membrant; C=Cilia; G=Goblet Cell).
10
iregular menimbulkan arus balik udara inspirasi, dengan akibat penimbunan
partikel dalam hidung dan nasofaring. Benda asing, termasuk bakteri dan virus
(sering kali menggumpal membenluk partikel besar) akan diekspektorans atau
diangkut melalui transpor mukosiliar ke dalam larnbung untuk disterilkan sekresi
lambung.
Fungsi Mukosiliar
Mukus hidung di samping berfungsi sebagai alat transportasi partikel yang
tertirnbun dari udara inspirasi, juga memindahkan panas, normalnya mukus
menghangatkan udara inspirasi dan mendinginkan udara ekspirasi, serta
melembabkan udara inspirasi dengan lebih dari satu liter uap setiap harinya.
Namun, bahkan dengan jumlah uap derikian sering kali tidak memadai untuk
rnelembabkan udara yang sangat kering, sering kali tcrdapat di rumah-mmah
dengan pernanasan selama musim dingin.
Hal ini dapat bcrakibat mengcringnya mukosa yang disertai bcrbagai gangguan
hidung. Derajat kelembaban selimut mukus ditentukan oleh stimulasi saraf pada
kelenjar seromukosa pada submukosa hidung.
2.4.3. Etiologi
Etiologi polip nasi tidak diketahui. Beberapa teori menganggap polip sebagai
konsekuensi dari kondisi yang menyebabkan inflamasi kronis pada hidung dan sinus
hidung yang ditandai oleh edema stroma dan infiltrat seluler variabel.
Polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitif atau reaksi
alergi pada mukosa hidung. Alergi merupakan predisposisi polip nasi karena gejala
rhinorrhea berair dan pembengkakan mukosa terdapat pada kedua penyakit bersama
dengan banyak eosionofil dalam sekresi hidung.10
Faktor genetik dianggap berperan dalam etiologi polip hidung. Sekitar 14%
penderita polip memiliki riwayat keluarga menderita polip hidung. Etnis dan geografis
memiliki peranan dalam patofisiologi polip. Pada populasi Caucasian dominan polip
eosinofilik sementara di Asia dominan neutrofilik.11
2.4.4. Patogenesis
Patogenesis polip nasi adalah multifaktorial, dan kondisi itu sendiri sering terlihat
dengan asma, intoleransi aspirin, dan fibrosis kistik. Faktor genetik, alergi, faktor
lingkungan, dan antigen virus, bakteri, atau jamur dapat berkontribusi pada
pengembangan polip hidung.9
12
Ketidakseimbangan vasomotor dianggap sebagai salah satu faktor predisposisi
polip hidung karena sebagian penderita polip hidung tidak menderita alergi dan pada
pemeriksaan tidak ditemukan alergen yang dapat mencetuskan alergi. Polip hidung
biasanya mengandung sangat sedikit pembuluh darah. Regulasi vaskular yang tidak baik
dan meningkatnya permeabilitas vaskular dapat menyebabkan edema dan pembentukan
polip hidung.
Fenomena Bernouilli terjadi karena menurunnya tekanan akibat konstriksi.
Tekanan negatif akan mengakibatkan inflamasi mukosa hidung yang kemudian memicu
terbentuknya polip hidung.
Ruptur epitel mukosa hidung akibat alergi atau infeksi dapat mengakibatkan
prolaps lamina propria dari mukosa. Hal ini akan memicu terbentuknya polip hidung.1
Tidak adanya edema stroma dan hiperplasia sel goblet adalah tanda khas tipe
histopatologi polip ini. Di jumpai sel goblet tetapi epitel devoid hiperplasia sel
goblet. Sering terlihat adanya epitel squamous dan metaplasia epitel cuboidal.
Terdapat penipisan membran basal walaupun tidak sejelas penipisan membran
basal pada tipe eosinofilik. Sering terlihat adanya infiltrasi sel inflamasi dengan
dominasi limfosit yang sering bercampur dengan eosinofil. Stroma mengandung
14
sejumlah fibroblast dan tidak jarang terdapat fibrosis. Pada tipe ini sering kali
terlihat adanya hiperplasia minimal kelenjar seromusin dan dilatasi pembuluh
darah sering terlihat.12
Pemeriksaan Fisik
Polip nasi yang masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga hidung
tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior
terlihat sebagai massa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus medius dan mudah
di gerakkan.
15
Pembagian stadium polip menurut Mackay dan Lund (1997), stadium 1: polip
masih terbatas di meatus medius, stadium 2: polip sudah keluar dari meatus medius,
tampak di rongga hidung tapi masih belum memenuhi rongga hidung, stadium 3: polip
yang masif.13
Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi merupakan baku emas penegakan diagnosa polip nasi.
Ada empat tipe histopatologi polip nasi, antara lain : Edematous, Eosinophilic Polyp
(Allergic Polyp), Chronic Inflammatory Polyp (Fibroinflammatory Polyp), Chronic
Inflammatory Polyp (Fibroinflammatory Polyp) dan Polyp with Stromal Atypia. 12
Pemeriksaan Radiologi
Foto polos sinus paranasal (posisi Waters, AP, Cakdwell dan Lateral) dapat
memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara-cairan di dalam sinus, tetapi
kurang bermanfaat dalam kasus polip. Pemeriksaan Tomografi (TK, CT Scan) sangat
bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada
proses radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kopleks ostiomeatal. TK
terutama diindikasikan pada kasus polip yang gagal di obati dengan terapi
medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada perencaan tindakan bedah
terutama bedah endoskopi.4
Pemeriksaan Endoskopi
Endoskopi hidung memberikan visualisasi polip yang sangat baik, terutama polip
kecil di meatus tengah. Ini juga menunjukkan polip hidung yang berasal dari daerah
kontak di meatus tengah dan kelainan antomi hidung. Biopsi dapat dilakukan pada saat
pemeriksaan endoskopi.14
16
Gambar 2.9. Polip Nasi di Meatus Medius dilihat dengan Endoskop.
2.4.7. Terapi
Terapi polip nasi masih dalam pertimbangan, baik menggunakan pengobatan
medis atau operasi. Beberapa penelitian menganjurkan penggunaan farmakologi saja.
Terapi polip nasi meliputi observasi, medikal dan operasi. Tujuan utama terapi pada kasus
polip nasi ialah menghilangkan keluhan – keluhan, mencegah komplikasi dan mencegah
rekurensi polip.
Terapi polip nasi dimulai dengan terapi farmakologi untuk mengurangi ukuran
polip atau menghilangkannya, meningkatkan drainase sinus, mengembalikan penciuman
dan rasa. Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga
polipektomi medikamentosa. Dapat diberikan topikal atau sistemik. Polip tipe eosinofilik
memberikan respons yang lebih baik terhadap pengobatan kortikosteroid intranasal
dibandingkan polip tipe neutrofilik.4,15
Pengangkatan polip nasi secara bedah diindikasikan untuk pasien yang tidak
merespons secara memadai terhadap penatalaksaan medis, yang mengalami infeksi
berulang, serta pasien yang mengalami komplikasi sinusitis lainnya. Pasien dengan polip
dan asma dapat mengambil manfaat dari operasi dengan mengurangi satu pemicu untuk
asma. Semua sinus yang terlibat harus dibuka, sebagai tambahan untuk menghilangkan
polip.14
Dapat dilakukan ekstraksi polip (polipektomi) menggunakan senar polip atau
cunam dengan analgesi lokal, etmoidektomi intranasal atau etmoidektomi ekstranasal
untuk polip etmoid, operasi Caldwell-Luc untuk sinus maksila. Yang terbaik ialah bila
tersedia fasilitas endoskop maka dapat dilakukan tindakan BSEF (Bedah Sinus Endoskopi
Fungsional).4
17
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Polip nasi adalah lesi jinak yang berasal dari mukosa rongga hidung atau sinus
paranasal. Polip nasi terlihat sebagai massa yang halus, lonjong, semi translusen, yang
lebih banyak ditemukan di meatus medius dan sinus etmoid. Polip nasi dapat mengganggu
kualitas hidup penderitanya, meskipun diagnosis mudah ditegakkan, tetapi karena
etiopatogenesisnya yang masih belum jelas, hasil pengobatan tidak memuaskan dan
rekurensi yang tinggi menyebabkan kasus ini merupakan tantangan bagi dokter spesialis
THT.
Prevalensi polip nasi orang dewasa di Eropa dan AS adalah sekitar 2,7% dan 1 –
4%. Polip nasi menunjukkan dominasi gender dengan rasio pria dan wanita 2:1 dengan
rentang usia pasien antara 40 – 60 tahun sedangkan pasien di atas 80 tahun jarang
menderita polip nasi. Polip nasi ditemukan pada usia dewasa dan biasanya usia diatas 20
tahun, umumnya tidak ditemukan pada anak – anak di bawah usia 10 tahun.
Gejala klinik polip nasi adalah obstruksi hidung yang menetap, hidung yang berair
terus menerus, penciuman berkurang, sakit kepala, post nasal drip bersin, epistaksis,
mendengkur. Pemeriksaan histopatologi merupakan baku emas dalam penegakan
diagnosa polip nasi.
Terapi polip nasi dimulai dengan menggunakan medikamentosa untuk
mengurangi ukuran polip atau menghilangkannya, meningkatkan drainase sinus,
mengembalikan penciuman dan rasa. Terapi bedah dilakukan untuk pasien yang tidak
merespons secara memadai terhadap terapi medikamentosa.
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Kirtsreesakul V. Update on Nasal Polyps: Etiopathogenesis. Journal of the Medical
Association of Thailand. 2005;88(12):1966–72.
2. Tritt S, McMains KC, Kountakis SE. Unilateral Nasal Polyposis: Clinical Presentation
and Pathology. American Journal of Otolaryngol - Head and Neck Medicine and
Surgery. 2008;29(4):230–2.
3. Ahmad MJ, Ayeh S. The Epidemiological and Clinical Aspects of Nasal Polyps that
Require Surgery. Iranian Journal of Otorhinolaryngology. 2012;24(67):75–8.
4. Soepardi EA, Iskandar N, Baharuddin J. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher. 7th ed. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2012.
5. Snell RS. Clinical Anatomy by Regions, 9th Edition. 9th ed. Lippincott Williams &
Wilkins. Lippincott Williams & Wilkins; 2011. 766 p.
6. Mescher AL. Junqueira’s Basic Histology Text and Atlas. 15th ed. McGraw-Hill
Education. McGraw-Hill Education; 2018. 573 p.
7. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Hidung : Anatomi dan Fisiologi. In: BOIES Buku Ajar
Penyakit THT. 6th ed. Jakarta: EGC; 2013.
8. Ramli R. Mohamad I. Hussein Y. Prevalence of Eosinophilic / Non Eosinophillic Nasal
Polyps and Analysis of Their Presentation in Hospital. Otorhinolaryngoly-Head and
Neck Surgery. 2017;16(2):89–91.
9. Erbek SS, Erbek S, Topal O, Cakmak O. The Role of Allergy in the Severity of Nasal
Polyposis. American Journal of Rhinology. 2007;21(6):686–90.
10. Newton JR, Ah-See KW. A Review of Nasal Polyposis. Therapeutics and Clincal Risk
Management. 2008;4(2):507–12.
11. Emani J, Baroody FM, Onerci MT, Ferguson BJ. Nasal Polyposis: Pathogenesis, Medical
and Surgical Treatment. First Edition. Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2010. 311 p.
12. Al Jobran BS, Alotaibi AE, Asiri AY. Nasal Polyps and Its Histo-Pathological
Evaluation. Egypt Journal of Hospital Medicine. 2018;70(11):2022–4.
13. Lund VJ. Diagnosis and treatment of nasal polyps. British Medical Journal.
1995;311(7017):1411–4.
14. Assanasen P, Naclerio RM. Medical and surgical management of nasal polyps. Current
Opinion in Otolaryngol Head Neck Surgery. 2001;9(1):27–36.
15. Saleh H, Brookes N. Medical treatment of nasal polyps. Asthma Journal. 2002;7(2).
19
20