EPISTAKSIS
Pembimbing :
dr. Lusiana Herawati Yamin, Sp.THT-KL**
EPISTAKSIS
Oleh:
Andini Agustina, S.Ked
G1A220107
PEMBIMBING
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Case Report Session (CRS) yang
berjudul “Epistaksis”. Tugas ini bertujuan agar penulis dapat lebih memahami
mengenai teori-teori yang diberikan selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di
Bagian THT-KL RSUD Raden Mattaher Jambi dan melihat penerapannya secara
langsung di lapangan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Lusiana
Herawati Yamin, Sp.THT-KL yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya
untuk membimbing penulis selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian
THT-KL RSUD Raden Mattaher Jambi.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada Case Report
Session (CRS) ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran untuk
menyempurnakan Case Report Session (CRS). Penulis mengharapkan semoga Case
Report Session (CRS) ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.
Penulis
3
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Epistaksis atau mimisan ialah keluarnya darah dari hidung. Epistaksis bisa
terjadi pada semua usia. Epistaksis ialah gejala bukan merupakan suatu penyakit dan
seringkali membutuhkan penanganan segera. Pada kasus epistaksis, harus dicari
terlebih dahulu penyebabnya baru bisa dilakukan penanganan segera.1
Epistaksis terdiri dari anterior dan posterior. Dimana epistaksis anterior lebih
banyak terjadi pada anak-anak dan dewasa muda. Sedangkan epistaksis posterior
lebih sering terjadi pada orang tua dengan perdarahan akut yang berat. Penyebab dari
epistaksis ialah karena kelainan lokal yang serius atau penyakit sistemik. Perlu dicari
tahu penyebab dari epistaksis tersebut agar dapat dilakukan penatalaksanaan yang
tepat.1
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Hidung dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan dan menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari os
nasal, prosesus frontalis os maksila, dan prosesus nasalis os frontal.
Sedangkan tulang rawan terdiri dari sepasang kartilago nasalis lateralis
superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior atau kartilago ala mayor
dan tepi anterior kartilago septum.1,4
5
Gambar 2.1 Anatomi Hidung Luar5
6
sedangkan konka terkecil disebut konka suprema. Konka inferior merupakan
satu-satunya tulang yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid,
sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin
etmoid.
Diantara konka dengan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus. Ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan
superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung
dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara duktus
nasolakrimalis. Sedangkan meatus medius terletak diantara konka media
dengan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara
sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Meatus superior adalah
ruang diantara konka superior dengan konka media dan terdapat muara sinus
etmoid posterior dan sinus sfenoid.
Batas rongga hidung, dinding inferior adalah dasar rongga hidung dan
dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior dari hidung sangat
sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga
tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribriformis merupakan lempeng
tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang- lubang yang merupakan
tempat masuknya serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior dari rongga
7
hidung dibentuk oleh os sfenoid.1,4
8
eksterna terdiri dari cabang dari arteri sfenopalatina, cabang dari arteri
maksilaris interna, cabang dari arteri infraorbitalis, cabang dari arteri dentalis
anterior superior dan cabang-cabang dari arteri fasialis.
9
serabut saraf simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina
terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.4
Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi
sedikit penguapan udara inspirasi oleh palut lendir, sedangkan pada musim
dingin akan terjadi sebaliknya. Suhu udara diatur sehingga berkisar 37̊ C.
10
Hidung berfungsi sebagai pengatur suhu melibatkan banyak pembuluh darah
di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas.
Untuk partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama
udara akan disaring di hidung oleh: a) rambut pada vestibulum nasi, b) silia, c)
palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-
partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin.4
11
2.3 Epistaksis
2.3.1 Definisi
Epistaksis atau mimisan ialah keluarnya darah dari dalam hidung.
Epistaksis ialah gejala, bukan suatu penyakit dan sering terjadi sebagai tanda
kegawatdaruratan yang membutuhkan pertolongan segera. Epistaksis sendiri
dapat terjadi pada semua umur, baik bayi, anak-anak, remaja maupun usia
lanjut. Pada epistaksis yang ringan dapat berhenti sendiri tanpa memerlukan
bantuan medis, tetapi untuk epistaksis yang berat ialah masalah
kegawatdaruratan yang dapat berakibat fatal bila tidak segera ditangani. Pada
kasus ini, epistaksis harus dicari sebabnya terlebih dahulu baru dilakukan
penanganannya.1,4
2.3.2 Etiologi
Epistaksis seringkali timbul spontan tanpa dapat diketahui
penyebabnya, terkadang jelas bila disebabkan karena trauma. Epistaksis juga
dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada hidung atau kelainan sistemik.
Kelainan lokal sendiri misalnya trauma, kelainan anatomi, kelainan pembuluh
darah, infeksi lokal, benda asing, tumor, pengaruh udara lingkungan. Kelainan
sistemik sendiri seperti penyakit kardiovaskuler, kelainan darah, infeksi
sistemik, perubahan tekanan atmosfir, kelainan hormonal dan kelainan
kongenital.4
a. Trauma
12
lintas yang menyebabkan fraktur pada wajah. Selain itu juga bisa terjadi
akibat adanya benda asing tajam atau trauma akibat pembedahan.1,5
c. Infeksi
Epistaksis juga bisa terjadi karena infeksi hidung dan sinus paranasal
seperti rinitis atiau sinusitis. Bisa juga terjadi karena infeksi spesifik seperti
rinitis jamur, tuberkulosis, lupus, sifilis atau lepra.
d. Tumor
e. Penyakit kardiovaskuler
f. Kelainan darah
13
g. Kelainan kongenital
h. Infeksi sistemik
j. Gangguan hormonal
Epistaksis juga dapat terjadi pada wanita hamil atau menopause karena
pengaruh perubahan hormonal.4
2.3.3 Klasifikasi
a. Epistaksis anterior
14
Biasanya pada epitaksis ini perdarahannya ringan, dan dapat dihentikan
dengan menekan cuping hidung atau kompres dengan es.1,4
b. Epistaksis posterior
15
Gambar 2.4 Epistaksis Posterior7
2.3.4 Diagnosa
Prinsip penatalaksanaan epistaksis adalah perbaiki keadaan umum,
cari sumber perdarahan, hentikan perdarahan, cari faktor penyebab untuk
mencegah berulangnya perdarahan. Untuk menegakkan diagnosis penyebab
terjadinya epistaksis diperlukan serangkaian pemeriksaan meliputi anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Sebelum melakukan
anamnesis harus diwaspadai adanya kedaruratan, maka perlu dilakukan
pemeriksaan keadaan umum :1,4
1. Lihat apakah pasien dalam keadaan compos mentis, dapat berjalan sendiri
atau tampak lesu, pucat maupun berkeringan dingin.
16
5. Pasien anak duduk dengan badan dan tangan dipeluk. Jika memberontak,
kepalanya dipegang oleh perwat atau keluarga pasien.
a. Anamnesis
3. Lokasi perdarahan, apakah darah mengalir dari satu sisi atau kedua sisi
hidung, darah mengalir ke dalam tenggorokan (ke posterior) ataukah keluar
dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak?
b. Pemeriksaan THT
17
2.3.5 Tatalaksana
a. Perdarahan anterior
18
b. Perdarahan posterior
Jika terjadi perdarahan berat dari kedua sisi, misalnya pada kasus
angiofibroma, dapat digunakan bantuan dua kateter masing-masing melalui
kavum nasi kanan dan kiri, dan tampon posterior terpasang di tengah
nasofaring. Sebagai pengganti tampon Bellocq, dapat digunakan kateter
Folley dengan balon. Akhir-akhir ini banyak tersedia tampon buatan pabrik
dengan balon yang khusus untuk hidung atau tampon dari bahan gel
19
hemostatik. Semakin meningkatnya pemakaian endoskop, akhir-akhir ini juga
dikembangkan teknik kauterisasi atau ligasi a.sfenopalatina dengan panduan
endoskop.4
2.3.6 Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi karena epistaksisnya sendiri maupun akibat
dari usaha penanggulangan epistaksis. Komplikasi perdarahan yang hebat
dapat terjadi aspirasi darah ke dalam saluran napas bawah, juga dapat
menyebabkans syok, anemia dan gagal ginja. Turunnya tekanan darah secara
mendadak dapat menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri,
insufisiensi koroner sampai infark miokard sehingga dapat menyebabkan
kematian. Jika terjadi hal ini dapat dilakukan pemberian infus atau transfusi
darah secepatnya.
20
pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut. Jika
perdarahan masih berlanjut dipasang tampon baru.
21
BAB III
KESIMPULAN
Epistaksis atau mimisan ialah keluarnya darah dari dalam hidung. Epistaksis
merupakan gejala, bukan suatu penyakit dan sering terjadi sebagai tanda
kegawatdaruratan yang membutuhkan pertolongan segera. Pada epistaksis yang
ringan dapat berhenti sendiri tanpa memerlukan bantuan medis, tetapi untuk
epistaksis yang berat ialah masalah kegawatdaruratan yang dapat berakibat fatal bila
tidak segera ditangani. Sehingga epitaksis harus dicari sebabnya terlebih dahulu baru
dilakukan penanganannya.
Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada hidung maupun kelainan
sistemik dan berlokasi pada anterior maupun posterior hidung. Untuk menegakkan
diagnosis penyebab terjadinya epistaksis diperlukan serangkaian pemeriksaan
meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Prinsip
penatalaksanaan epistaksis adalah perbaiki keadaan umum, cari sumber perdarahan,
hentikan perdarahan, cari faktor penyebab untuk mencegah berulangnya perdarahan.
22
DAFTAR PUSTAKA
23