Anda di halaman 1dari 23

CASE REPORT SESSION (CRS)

*Kepaniteraan Klinik Senior/ G1A220107

** Pembimbing/ dr. Lusiana Herawati Yamin, Sp.THT-KL

EPISTAKSIS

Andini Agustina, S.Ked*


G1A220107

Pembimbing :
dr. Lusiana Herawati Yamin, Sp.THT-KL**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN THT-KL RSUD RADEN MATTAHER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Case Report Session (CRS)

EPISTAKSIS

Oleh:
Andini Agustina, S.Ked
G1A220107

Kepaniteraan Klinik Senior


Bagian/SMF THT-KL RSUD Raden Mattaher
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan pada


November 2021

PEMBIMBING

dr. Lusiana Herawati Yamin, Sp.THT-KL

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Case Report Session (CRS) yang
berjudul “Epistaksis”. Tugas ini bertujuan agar penulis dapat lebih memahami
mengenai teori-teori yang diberikan selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di
Bagian THT-KL RSUD Raden Mattaher Jambi dan melihat penerapannya secara
langsung di lapangan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Lusiana
Herawati Yamin, Sp.THT-KL yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya
untuk membimbing penulis selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian
THT-KL RSUD Raden Mattaher Jambi.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada Case Report
Session (CRS) ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran untuk
menyempurnakan Case Report Session (CRS). Penulis mengharapkan semoga Case
Report Session (CRS) ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Jambi, November 2021

Penulis

3
DAFTAR ISI

BAB I

PENDAHULUAN

Epistaksis atau mimisan ialah keluarnya darah dari hidung. Epistaksis bisa
terjadi pada semua usia. Epistaksis ialah gejala bukan merupakan suatu penyakit dan
seringkali membutuhkan penanganan segera. Pada kasus epistaksis, harus dicari
terlebih dahulu penyebabnya baru bisa dilakukan penanganan segera.1

Menurut penelitian, sekitar 60% penduduk pernah mengalami epistaksis dan


6% diantaranya mencari bantuan medis. Insidensi epistaksis terjadi sekitar 108 per
100.000 penduduk pertahun. Di Amerika Serikat tercatat 17 per 100.000 penduduk
(6%). Insidensi tertinggi pada kasus epistaksis didapatkan pada usia kurang dari 10
tahun dan usia lebih dari 40 tahun.2,3

Epistaksis terdiri dari anterior dan posterior. Dimana epistaksis anterior lebih
banyak terjadi pada anak-anak dan dewasa muda. Sedangkan epistaksis posterior
lebih sering terjadi pada orang tua dengan perdarahan akut yang berat. Penyebab dari
epistaksis ialah karena kelainan lokal yang serius atau penyakit sistemik. Perlu dicari
tahu penyebab dari epistaksis tersebut agar dapat dilakukan penatalaksanaan yang
tepat.1

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Hidung

2.1.1 Hidung luar


Hidung luar berbentuk piramid dengan bagiannya dari atas ke bawah
yaitu, yang paling atas pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi),
puncak hidung (tip), ala nasi, kolumela, dan yang paling bawah adalah lubang
hidung (nares anterior).1,4

Hidung dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan dan menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari os
nasal, prosesus frontalis os maksila, dan prosesus nasalis os frontal.
Sedangkan tulang rawan terdiri dari sepasang kartilago nasalis lateralis
superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior atau kartilago ala mayor
dan tepi anterior kartilago septum.1,4

5
Gambar 2.1 Anatomi Hidung Luar5

2.1.2 Hidung dalam


Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk seperti terowongan dari
depan ke belakang yang dipisahkan oleh septum nasi dan di bagian tengahnya
menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi
bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares
posterior atau koana yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sama dengan ala nasi, atau lebih
tepat di belakang nares anterior disebut dengan vestibulum. Vestibulum
sendiri di lapisi oleh kulit yang memiliki banyak kelenjar sebasea dan rambut-
rambut panjang yang disebut vibrise.
Setiap kavum nasi memiliki 4 buah dinding, yaitu dinding medial,
lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung adalah septum nasi.
Septum nasi sendiri dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang
yaitu 1) lamina perpendikularis os etmoid, 2) vomer, 3) krista nasalis os
maksila dan 4) krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan yaitu 1)
kartilago septum (lamina kuadran agularis) dan 2) kolumela.
Pada dinding lateral dari hidung terdapat empat buah konka. Konka
terbesar dan letaknya paling bawah adalah konka inferior, yang lebih kecil
adalah konka media, dan yang lebih kecil lagi adalah konka superior,

6
sedangkan konka terkecil disebut konka suprema. Konka inferior merupakan
satu-satunya tulang yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid,
sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin
etmoid.
Diantara konka dengan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus. Ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan
superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung
dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara duktus
nasolakrimalis. Sedangkan meatus medius terletak diantara konka media
dengan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara
sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Meatus superior adalah
ruang diantara konka superior dengan konka media dan terdapat muara sinus
etmoid posterior dan sinus sfenoid.
Batas rongga hidung, dinding inferior adalah dasar rongga hidung dan
dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior dari hidung sangat
sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga
tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribriformis merupakan lempeng
tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang- lubang yang merupakan
tempat masuknya serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior dari rongga

7
hidung dibentuk oleh os sfenoid.1,4

Gambar 2.2 Anatomi Kavum Nasi6


Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah celah pada dinding lateral
hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. KOM sendiri
merupakan unit fungsional dan sebagai tempat ventilasi dan drenase dari
sinus-sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan
frontal. Jika terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi
perubahan patologis pada sinus.1,4

2.1.3 Perdarahan Hidung


Pasokan perdarahan hidung berasal dari sistem arteri karotis interna
dan arteri karotis eksterna, yaitu untuk dinding lateral dan dinding medial.
Perdarahan dinding lateral hidung, arteri yang berasal dari sistem arteri karotis
interna dan merupakan cabang dari a.oftalmika yaitu a.etmoidalis anterior dan
a.etmoidalis posterior. Sedangkan arteri yang berasal dari sistem a. karotis

8
eksterna terdiri dari cabang dari arteri sfenopalatina, cabang dari arteri
maksilaris interna, cabang dari arteri infraorbitalis, cabang dari arteri dentalis
anterior superior dan cabang-cabang dari arteri fasialis.

Pada septum nasi dibagian anterior inferior terdapat empat


anastomosis yaitu a.etmoidalis anterior, cabang septal a.labialis superior,
a.sfenopalatina dan a.palatina mayor. Pleksus Kiesselbach terletak superficial
dan merupakan daerah yang mudah berdarah pada udara pernapasan yang
kering atau bisa terjadi karena cedera akibat dikorek. Area ini adalah sumber
epitaksis pada anak-anak. Pleksus Woodruff merupakan pleksus vena yang
terletak di bawah ujung posterior dari konka inferior. Area ini adalah sumber
epitaksis posterior pada orang dewasa.1,4

2.1.4 Persarafan hidung


Fungsi persarafan ialah sebagai indra penghidu (penciuman). Tersusun
atas reseptor olfaktorius yang tersebar di mukosa olfaktorius pada septum nasi
bagian superior, konka superior dan konka media yang berdekatan dengan
lamina kibrosa.

Persarafan sensorik untuk hidung bearasal dari n.olftalmikus dan


n.maksilaris yang merupakan cabang dari n.trigeminus melalui ganglion
sfenopalatina. Persarafan ini turun melalui lamina kribrosa dari permukaan
bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor
penghidu pada mukosa olfaktorius didaerah sepertiga atas hidung. Persarafan
ini berperan dalam meneruskan sensasi perabaan, tekanan, suhu pada hidung
ke pusat otak.1,4

Ganglion sfenopalatina juga memberikan persarafan vasomotor atau


otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut saraf sensoris
dari n.maksila, serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan

9
serabut saraf simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina
terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.4

2.2 Fisiologi Hidung


Menurut teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi
fisiologis hidung dan sinus paranasal ialah :4

1) Sebagai fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning),


penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan
mekanisme imunologik local.

2) Sebagai fungsi penghidu karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan


reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu.

3) Sebagai fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu


proses bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang.

4) Sebagai fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala,


proteksi terhadap trauma dan pelindung panas.

5) Sebagai refleks nasal.

2.2.1 Fungsi respirasi


Saat inspirasi udara masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui
nares anterior, kemudia naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun
ke bawah ke arah nasofaring. Aliran udara dari hidung ini berbentuk
lengkungan atau arkus. Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh
palut lendir.

Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi
sedikit penguapan udara inspirasi oleh palut lendir, sedangkan pada musim
dingin akan terjadi sebaliknya. Suhu udara diatur sehingga berkisar 37̊ C.

10
Hidung berfungsi sebagai pengatur suhu melibatkan banyak pembuluh darah
di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas.

Untuk partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama
udara akan disaring di hidung oleh: a) rambut pada vestibulum nasi, b) silia, c)
palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-
partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin.4

2.2.2 Fungsi respirasi


Hidung juga berfungsi sebagai indra penghidu dan pencecap, karena
adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan
cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat. Fungsi
pengecapan hidung ialah untuk membedakan rasa manis, seperti perbedaan
rasa manis strawberi, jeruk, pisang atau coklat dan juga untuk membedakan
rasa asam yang berasal dari cuka dan asam jawa.4

2.2.3 Fungsi fonetik


Resonansi oleh hidung berfungsi untuk kualitas suara ketika berbicara
dan menyanyi. Jika terjadi sumbatan di hidung akan menyebabkan resonansi
berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). Hidung
juga membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah,
bibir, dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m, n, ng) rongga
mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.4

2.2.4 Fungsi refleks nasal


Mukosa hidung ialah reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Jika terjadi iritasi mukosa
hidung akan menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti. Rangsang bau
tertentu akan menyebabkan sekresi pada kelenjar liur, lambung dan pancreas.4

11
2.3 Epistaksis

2.3.1 Definisi
Epistaksis atau mimisan ialah keluarnya darah dari dalam hidung.
Epistaksis ialah gejala, bukan suatu penyakit dan sering terjadi sebagai tanda
kegawatdaruratan yang membutuhkan pertolongan segera. Epistaksis sendiri
dapat terjadi pada semua umur, baik bayi, anak-anak, remaja maupun usia
lanjut. Pada epistaksis yang ringan dapat berhenti sendiri tanpa memerlukan
bantuan medis, tetapi untuk epistaksis yang berat ialah masalah
kegawatdaruratan yang dapat berakibat fatal bila tidak segera ditangani. Pada
kasus ini, epistaksis harus dicari sebabnya terlebih dahulu baru dilakukan
penanganannya.1,4

2.3.2 Etiologi
Epistaksis seringkali timbul spontan tanpa dapat diketahui
penyebabnya, terkadang jelas bila disebabkan karena trauma. Epistaksis juga
dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada hidung atau kelainan sistemik.
Kelainan lokal sendiri misalnya trauma, kelainan anatomi, kelainan pembuluh
darah, infeksi lokal, benda asing, tumor, pengaruh udara lingkungan. Kelainan
sistemik sendiri seperti penyakit kardiovaskuler, kelainan darah, infeksi
sistemik, perubahan tekanan atmosfir, kelainan hormonal dan kelainan
kongenital.4

a. Trauma

Epistaksis atau mimisan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya


mengorek hidung dengan jari, benturan ringan, bersin atau mengeluarkan
ingus terlalu keras, atau bisa juga terjadi akibat trauma yang lebih hebat
seperti karena benturan atau pukulan pada hidung, jatuh atau kecelakaan lalu-

12
lintas yang menyebabkan fraktur pada wajah. Selain itu juga bisa terjadi
akibat adanya benda asing tajam atau trauma akibat pembedahan.1,5

b. Kelainan pembuluh darah

Sering terjadi karena kongenital, seperti pembuluh darah lebih lebar,


tipis, jaringan ikat dan sel-selnya lebih sedikit.

c. Infeksi

Epistaksis juga bisa terjadi karena infeksi hidung dan sinus paranasal
seperti rinitis atiau sinusitis. Bisa juga terjadi karena infeksi spesifik seperti
rinitis jamur, tuberkulosis, lupus, sifilis atau lepra.

d. Tumor

Epistaksis juga bisa terjadi karena tumor jinak seperti hemangioma


dan papiloma. Dan dapat terjadi karena tumor ganas seperti karsinoma dan
sarcoma. Yang lebih sering terjadi pada angiofibroma, yang dapat
menyebabkan epistaksis berat.1,4

e. Penyakit kardiovaskuler

Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti yang terjadi pada


arteriosklerosis, nefritis kronik, sirosis hepatis atau diabetes melitus dapat
menyebabkan epistaksis. Epistaksis yang terjadi pada penyakit hipertensi
seringkali hebat dan dapat berakibat fatal.4

f. Kelainan darah

Kelainan darah bisa menjadi penyebab epistaksis antara lain yaitu


leukemia, trombositopenia, defisiensi vitamain K, bermacarn-macam anemia
serta hemofilia.

13
g. Kelainan kongenital

Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah


teleangiektiasis hemoragik herediter (hereditary hemonhagic teleangieclasis
atau sindrom Osler-Rendu-Weber disease). Penyakit ini meupakan penyakit
genetik yang ditandai karena pembulih darah abnormal pada kulit, selaput
mukosa dan organ tubuh dan sering menyebabkan perdarahan di saluran
cerna.1

h. Infeksi sistemik

Infeksi sistemik akut yang sering menyebabkan epistaksis yaitu


demam berdarah (dengue hemorhagic fever), demam tifoid, influenza dan
morbilli juga dapat disertai epistaksis.

i. Perubahan udara atau tekanan atmosfir

Epistaksis sering terjadi bila seseorang berada di tempat dengan cuaca


yang sangat dingin atau kering. Hal ini juga dapat disebabkan karena zat-zat
kimia di tempat industri yang dapat menyebabkan keringnya mukosa hidung.

j. Gangguan hormonal

Epistaksis juga dapat terjadi pada wanita hamil atau menopause karena
pengaruh perubahan hormonal.4

2.3.3 Klasifikasi
a. Epistaksis anterior

Epistaksis anterior terbanyak berasal dari pleksus Kiesselbach atau


bagian anterior lateral dari dinding hidung atau dari arteri etmoidalis anterior.
Kasus ini sering terjadi pada anak-anak, dan penyebab tersering adalah trauma
karena kebiasaan mengorek hidung sehingga keadaan mukosa yang hiperemis.

14
Biasanya pada epitaksis ini perdarahannya ringan, dan dapat dihentikan
dengan menekan cuping hidung atau kompres dengan es.1,4

Gambar 2.3 Epistaksis Anterior7

b. Epistaksis posterior

Epistaksis ini lebih jarang terjadi dibandingkan dengan epistaksis


anterior. Kebanyakan perdarahan berasal dari dinding posterior lateral dinding
hidung yaitu arteri etmoidalis posterior atau arteri sfenopalatina dan seringkali
terjadi perdarahan hebat yang sulit berenti sendiri. Pada epistaksis ini sulit
untuk menemukan titik perdarahannya. Epistaksis ini sebagian besar
mengenai orang dewasa di atas 40 tahun. Pada penderita hipertensi maupun
arteriosclerosis, perdarahan sering timbul spontan dan biasanya berat sehingga
perlu di bawa keruma sakit atau bisa dipasang dengan tampon posterior.1,5

15
Gambar 2.4 Epistaksis Posterior7

2.3.4 Diagnosa
Prinsip penatalaksanaan epistaksis adalah perbaiki keadaan umum,
cari sumber perdarahan, hentikan perdarahan, cari faktor penyebab untuk
mencegah berulangnya perdarahan. Untuk menegakkan diagnosis penyebab
terjadinya epistaksis diperlukan serangkaian pemeriksaan meliputi anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Sebelum melakukan
anamnesis harus diwaspadai adanya kedaruratan, maka perlu dilakukan
pemeriksaan keadaan umum :1,4

1. Lihat apakah pasien dalam keadaan compos mentis, dapat berjalan sendiri
atau tampak lesu, pucat maupun berkeringan dingin.

2. Lihat apakah ada perdarahan aktif, jika ada seberapa derasnya.

3. Perhatikan ABC (Airway, Breathing, Circulation).

4. Sebaiknya pasien diperiksan dengan posisi duduk dengan kepala menunduk


agar darah keluar melalui hidung, jangan dibiarkan kepala mengadah keatas
karena dapat masuk ke dalam saluran napas bawah. Dalam keadaan sangat
lemah, pasien dibaringakn dengan posisi tempat tidur ditinggikan agar darah
tidak mengalir kearah tenggorokan.

16
5. Pasien anak duduk dengan badan dan tangan dipeluk. Jika memberontak,
kepalanya dipegang oleh perwat atau keluarga pasien.

a. Anamnesis

Penanganan epistaksis yang tepat akan bergantung pada suatu


anamnesis yang cermat. Hal-hal penting yang perlu ditanyakan adalah sebagai
berikut:8

1. Apakah mimisan timbul spontan atau disebabkan oleh trauma?

2. Sudah berapa lama mimisan? Pertama kali atau berulang?

3. Lokasi perdarahan, apakah darah mengalir dari satu sisi atau kedua sisi
hidung, darah mengalir ke dalam tenggorokan (ke posterior) ataukah keluar
dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak?

4. Seberapa lama darah keluar, dan frekuensi perdarahan?

5. Riwayat perdarahan sebelunya? Baik pada pasien maupu keluarga pasien.

6. Riwayat hipertensi, diabetes melitus, anemia, leukemia, penyakit jantung,


hati atau ginjal maupaun gangguan perdarahan pada pasien maupun keluarga
pasien.

7. Riwayat pemakaian obat-obatan, seperti antikoagulan dan analgesik.

b. Pemeriksaan THT

Pemeriksaan rongga hidung, mulut maupun tenggorokan


menggunakan lampu kepala dengan spekulum hidung dan spatula lidah.
Carilah sumber perdarahan, apakah dari anterior maupun posterior. Jika
tersedia alat penghisap (suction), darah maupun bekuan darah diisap melalui
rongga hidung. Dapat juga dipasang tampon kapas atau kasa yang dibasahi
oleh larutan adrenalin 1/5000 dan lidokain/pantokain 2% kedalam rongga
hidung, kemudian biarkan dalam 10 menit. Setelah tampon dikeluarkan,
terlihat asal darah dari bagian anterior maupun posterior.1

17
2.3.5 Tatalaksana
a. Perdarahan anterior

Perdarahan anterior seringkali berasal dari pleksus Kisselbach di


septum bagian depan. Apabila perdarahan tidak berhenti dengan sendirinya,
dapat dicoba dihentikan dengan menekan hidung dari luar selama 10-15
menit, dan seringkali berhasil.

Jika sumber perdarahan dapat terlihat, tempat asal perdarahan dapat


dioleskan dengan larutan Nitras Argenti (AgNOs) 25-30%. Kemudian area
tersebut diberi krim antibiotik. Jika perdarahan masih terus berlangsung, maka
perlu dilakukan pemasangan tampon anterior yang dibuat dari kapas atau kasa
yang diberi pelumas vaselin atau salep antibiotik. Pemakaian pelumas ini
berguna supaya tampon mudah dimasukkan dan tidak menimbulkan
perdarahan baru saat dimasukkan amaupun dicabut. Tampon dimasukkan
sebanyak 2-4 buah, disusun dengan teratur dan harus dapat menekan asal
perdarahan. Tampon dipertahankan selama 2 x 24 jam, harus dikeluarkan
untuk mencegah infeksi hidung. Selama 2 hari ini dilakukan pemeriksaan
penunjang untuk rnencari faktor penyebab epistaksis. Jika perdarahan masih
belum berhenti, dapat dipasang tampon baru.4

Gambar 2.5 Pemasangan tampon anterior9

18
b. Perdarahan posterior

Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, karena biasanya


terjadi perdarahan hebat dan sulit dicari sumbernya dengan pemeriksaan
rinoskopi anterior. Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan
pemasangan tampon posterior, yang disebut tampon Bellocq. Tampon ini
dapat dibuat dari kasa padat dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3 cm.
Pada tampon ini terikat 3 utas benang, 2 buah di satu sisi dan sebuah di sisi
berlawanan.

Untuk memasang tampon posterior pada perdarahan satu sisi, dapat


digunakan bantuan dengan kateter karet yang dimasukkan dari lubang hidung
sampai tampak di orofaring, lalu ditarik keluar dari mulut. Pada ujung kateter
ini diikatkan dengan 2 benang tampon Bellocq, kemudian kateter ditarik
kembali melalui hidung sampai benang keluar dan dapat ditarik. Tampon
perlu didorong dengan bantuan jari telunjuk untuk dapat melewati palatum
mole masuk ke nasofaring. Jika masih ada perdarahan, maka dapat ditambah
tampon anterior ke dalam kavum nasi. Kedua benang yang keluar dari hidung
diikat pada sebuah gulungan kain kasa di depan nares anterior, supaya tampon
yang terletak di nasofaring tetap di tempatnya. Benang lain yang keluar dari
mulut diikatkan secara longgar pada pipi pasien. Berguna untuk menarik
tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari. Hati-hati dalam mencabut
tampon karena dapat menyebabkan laserasi mukosa.

Jika terjadi perdarahan berat dari kedua sisi, misalnya pada kasus
angiofibroma, dapat digunakan bantuan dua kateter masing-masing melalui
kavum nasi kanan dan kiri, dan tampon posterior terpasang di tengah
nasofaring. Sebagai pengganti tampon Bellocq, dapat digunakan kateter
Folley dengan balon. Akhir-akhir ini banyak tersedia tampon buatan pabrik
dengan balon yang khusus untuk hidung atau tampon dari bahan gel

19
hemostatik. Semakin meningkatnya pemakaian endoskop, akhir-akhir ini juga
dikembangkan teknik kauterisasi atau ligasi a.sfenopalatina dengan panduan
endoskop.4

Gambar 2.6 Pemasangan tampon posterior9

2.3.6 Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi karena epistaksisnya sendiri maupun akibat
dari usaha penanggulangan epistaksis. Komplikasi perdarahan yang hebat
dapat terjadi aspirasi darah ke dalam saluran napas bawah, juga dapat
menyebabkans syok, anemia dan gagal ginja. Turunnya tekanan darah secara
mendadak dapat menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri,
insufisiensi koroner sampai infark miokard sehingga dapat menyebabkan
kematian. Jika terjadi hal ini dapat dilakukan pemberian infus atau transfusi
darah secepatnya.

Komplikasi dari pembuluh darah yang terbuka dapat menyebabkan


infeksi, sehingga perlu diberikan antibiotik. Pemasangan tampon juga dapat
menyebabkan rinosinosisits, otitis media, septikemia atau toxic shock
syndrome. Maka dari itu, harus selalu diberikan antibiotik pada setiap

20
pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut. Jika
perdarahan masih berlanjut dipasang tampon baru.

Komplikasi epistaksis juga dapat terjadi hemotimpanum sebagai akibat


dari mengalirnya darah melalui tuba Eustachius dan air mata berdarah (blood
tears), akibat mengalirnya darah secara retrogad melalui duktus
nasolakrimalis.

Pemasangan tampon posterior (tampon Belloq) dapat menyebabkan


laserasi palatum mole atau sudut bibir, apabila benang yang keluar dari mulut
terlalu dekat dengan pipi. Kateter balon atau tampon balon tidak boleh
dipompa terlalu keras karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa hidung
atau septum.4

2.3.7 Pencegahan perdarahan berulang


Saat perdarahan sementara dapat diatasi dengan pemasangan tampon,
selanjutnya perlu dicari penyebabnya. Lakukan pemeriksaan laboratorium
darah lengkap, pemeriksaan fungsi hepar dan ginjal, gula darah, hemostasis.
Pemeriksaan foto polos atau CT scan sinus jika dicurigai ada sinusitis. Lalu
konsul ke dokter spesialis Penyakit Dalam atau Kesehatan Anak bila dicurigai
ada kelainan sistemik.4

21
BAB III

KESIMPULAN

Epistaksis atau mimisan ialah keluarnya darah dari dalam hidung. Epistaksis
merupakan gejala, bukan suatu penyakit dan sering terjadi sebagai tanda
kegawatdaruratan yang membutuhkan pertolongan segera. Pada epistaksis yang
ringan dapat berhenti sendiri tanpa memerlukan bantuan medis, tetapi untuk
epistaksis yang berat ialah masalah kegawatdaruratan yang dapat berakibat fatal bila
tidak segera ditangani. Sehingga epitaksis harus dicari sebabnya terlebih dahulu baru
dilakukan penanganannya.
Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada hidung maupun kelainan
sistemik dan berlokasi pada anterior maupun posterior hidung. Untuk menegakkan
diagnosis penyebab terjadinya epistaksis diperlukan serangkaian pemeriksaan
meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Prinsip
penatalaksanaan epistaksis adalah perbaiki keadaan umum, cari sumber perdarahan,
hentikan perdarahan, cari faktor penyebab untuk mencegah berulangnya perdarahan.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunkusumo E, Endiyarti F. Hidung dan Sinus Paranasal. In: Buku Teks


Komprehensif Ilmu THT-KL. Jakarta: EGC; 2019. 229-236 p.
2. Husni T, Hadi Z. Pendekatan Diagnosis dan Tatalaksana Epistaksis. J Ked N Med.
2019;2(2):26–32.
3. Alfiansyah V. Hubungan Usia dan Hipertensi dengan Kejadian Epistaksis Posterior
di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta. 2017.
4. Soepardi EA, Iskandar N, Bashuruddin J, Restuti RD, editors. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher FKUI. 7th ed. Jakarta;
2014. 96 - 100 p.
5. Saladin, Kenneth S. Anatomy & Physiology: The Unity of Form and Function, 2nd
ed. New York: McGraw-Hill, 2001.
6. Paulsen F, Waschke J.Sobotta: Atlas anatomi manusia: Kepala, leher, dan
neuroanatomi. Edisi ke 23. Jakarta:EGC, 2012
7. Marbun EM. Etiologi, Gejala dan Penatalaksanaan Epistaksis. J Kedokt Meditek.
2017;23(62):71-76.
8. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed. Wijaya C,
Effendi H, editors. Jakarta: EGC; 1997. 224-230 p.
9. Womack J, Kropa J . Epitaxis : Outpatient Management. Rutgers University Robert
Wood Johnson Medical School, New Brunswick, New Jersey. 2018

23

Anda mungkin juga menyukai