Epistaksis
Oleh:
Kelompok 3
Athaya Fadhillah 1940312158
Oktavia Wulandari 1940312151
Regial Fajrin Putra 1840312702
Aprilla Sundari Cloudya 1840312706
Bilqis Elfarianti 1940312166
Galuh Yudhi Widya Saputra 1840312206
Preseptor :
1
1.2 Batasan masalah
Makalah ini membahas tentang anatomi hidung luar, definisi,
epidemiologi, etiologi, faktor risiko, patogenesis, diagnosis, tatalaksana,
komplikasi dan prognosis epistaksis.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi
untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung.
Kerangka tulang terdiri atas :
a. Tulang hidung
b. Prosesus frontalis os maksila
c. Prosesus nasalis os frontal
3
Diantara konka inferior dan dasar hidung terdapat meatus inferior, diantara
konka media dan konka inferior terdapat meatus medial, dan disebelah atas konka
media terdapat meatus superior.
4
Gambar 2.3 Anatomi dinding medial hidung dalam
5
yaitu ujung arteri palatina mayor dan arteri sphenopalatina. Bagian depan hidung
diperdarahi oleh cabang dari arteri fasialis.
Pleksus Kiesselbach merupakan anastomosis dari arteri etmoidalis anterior,
arteri palatina mayor, arteri sphenopalatina, dan arteri labialis superior yang terletak
di anterior rongga hidung. Pleksus Kiesselbach letaknya superficial dan tidak
terlindungi sehingga mudah cedera karena trauma. Lebih dari 90% kasus epistaksis
terjadi akibat perdarahan di pleksus Kiesselbach atau sering disebut Little’s area di
septum nasal.
Perdarahan posterior berasal dari pleksus Woodruff yang terletak di rongga
hidung bagian belakang atas atau konka media yang merupakan anastomosis dari
arteri sphenopalatina dan arteri etmoidalis posterior.7
6
2.1.2 Fisiologi Hidung
Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka
fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah :8
1) Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning),
penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan
dan mekanisme imunologik local.
2) Fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman)
dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu
3) Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses
berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang
4) Fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi
terhadap trauma dan pelindung panas
Refleks nasal, iritasi mukosa hidung akan menyebabkan reflex bersin dan
napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur,
lambung, dan pancreas.
2.2 Epistaksis
2.2.1 Definisi
Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung, bukan merupakan suatu
penyakit, melainkan suatu gejala dari suatu kelainan. Epistaksis sebagian besarnya
dapat berhenti sendiri.1
2.2.2 Epidemiologi
Insidensi epistaksis secara global masih belum diketahui secara pasti.
Diperkirakan 60% dari populasi dunia pernah mengalami satu kali episode
epistaksis selama hidupnya, dan 6% diantaranya mencari pertolongan medis. 2 Di
Amerika serikat epistaksis menyumbangkan kasus emergensi kedua terbanyak pada
otolaryngology setelah sakit tenggorok, dan menyumbangkan 0,5% dari semua
kasus emergensi. Angka kejadian tersering pada anak anak usia kurang dari 10
tahun, dan orang tua usia lebih dari 50 tahun. Pada anak-anak kejadian tersering
disebabkan oleh trauma dan kebiasaan mengorek hidung, sedangkan pada orang tua
sering disebabkan oleh penyakit sistemik seperti hipertensiatau adanyaneoplasma.2
7
2.2.3 Etiologi9,10
Epistaksis sesuatu yang multifaktorial. Etiologi dari mimisan dapat
dikategorikan tergantung pada penyebab seperti lokal, sistemik, lingkungan, dan
berhubungan dengan obat.
1. Penyebab Lokal
8
mengalami mimisan, sangat penting untuk mempertimbangkan
angiofibroma nasofaringeal juvenile, jinak tetapi agresif dan tumor yang
dapat menyebar ke struktur yang berdekatan dan menyebabkan perdarahan
luas. Kasus neoplasia jarang; namun, penting bagi dokter melakukan
pemeriksaan yang teliti untuk menyingkirkan kemungkinan ini dengan
pasti.
d) Iatrogenik
9
topikal dengan koagulasi plasma argon, tamoksifen oral, asam traneksamat oral,
bevacizumab submukosal, bevacizumab oral, dan skleroterapi. Bevacizumab
intravena dan thalidomid telah dilaporkan efektif dan aman dalam mengurangi
insiden epistaksis pada pasien HHT; namun, penelitian lebih lanjut dibutuhkan
untuk memvalidasi manfaat dalam meningkatkan kualitas hidup. Banyak pasien
yang menderita penyakit perdarahan lain yang mengalami epistaksis berulang. Hal
ini penting untuk mempertimbangkan adanya diatesis hemoragik saat mengobati
pasien dengan epistaksis spontan berulang.
3. Penyebab lingkungan
10
menunjukkan adanya kontribusi pada epistaksis berulang. Telah dilaporkan bahwa
inhibitor reuptake serotonin spesifik dan antibiotik dapat memicu epistaksis;
namun, kebanyakan episod perdarahannya ringan dan berhenti dengan mudah.
Secara keseluruhan, penting bagi dokter untuk mengarahkan pada riwayat
pengobatan pasien dengan epistaksis dan menentukan penyebab alternatif.
Pasien yang menjalani pengobatan dengan antikoagulan memiliki risiko tinggi
untuk mimisan; namun, belum ada pedoman yang jelas terkait pasien epistaksis
yang harus dirawat pada kasus pengingkatan international normalized ratio (INR)
5 atau lebih. Terdapat juga kontroversi lain terkait pasien dengan adanya risiko
tromboemboli dengan mimisan minor atau perdarahan dari sisi yang tidak dapat
dijangkau sebaiknya diobati dengan tindakan lokal atau intervensi bedah. Penelitian
lanjutan yang berkualitas tinggi dibutuhkan untuk menyelesaikan isu ini. Saat ini,
dokter mendasarkan pilihan metode pengobatan mereka pada sisi letak dan derajat
perdarahan, riwayat perdarahan, kemungkinan adanya perdarahanan yang lebih
berat, komorbid, termasuk hipertensi dan insufisiensi renal, tingkat INR, dan
adanya kemungkinan bahwa INR terbukti supraterapeutik dibandingkan beberapa
pengukuran sebelumnya. Pilihan pengobatan termasuk mengentikan pengobatan
warfarin, menghentikan warfarin dengan vitamin K, atau menginisiasi
pengembalian antikoagulan agresif untuk pasien dengan perdarahan yang jelas.
Selama hemostasis dapat dicapai, pasien dengan perdarahan hidung ringan dapat
dengan aman melanjutkan regimen warfarin mereka, tetapi dengan adanya
penyesuaian.
2.2.4 Patogenesis10
Perdarahan umunya disebabkan oleh erosi mukosa dan pembuluh darah yang
terpajan langsung dengan agen pencetus. Epistkasis anterior berasal dari pleksus
Kiesselbach pada septum bagian anterior atau dari arteri etmoidalis anterior.
Perdarahan vena/kapile tersebut mengakibatkan perembesan terus menerus, bukan
perdarahan masif seperti pada epistaksi posteriro, julah perdarahan biasanya lebih
masif hingga berisiko mengakibatkan gangguan jalan nafas, aspirasi darah, serta
perdarahan lebih sulit dikontrol.
Berikut ini dampak dari etiologi epistaksi sampai menimbulkan perdarahan.
11
1) Trauma menyebabkan ulserasi mukosa sehingga terjadi perdarahan,
2) Udara kering dengan kelembaban yang rendah dan obat-obatan topikal hidung
dapat mengiritasi mukosa,
2.2.5 Diagnosis
1. Anamnesis
Keluhan11
1. Keluar darah dari hidung
2. Harus ditanyakan secara spesifik mengenai
a. Lokasi keluarnya darah (depan rongga hidung atau ke tenggorok)
b.Banyaknya perdarahan
c. Frekuensi
d.Lamanya perdarahan
Faktor Risiko11,12
1. Trauma
2. Penyakit di hidung yang mendasari; rinosinusitis, rinitis alergi
3. Penyakit sistemik; kelainan pembuluh darah, nefritis kronik, DBD
4. Riwayat penggunaan obat-obatan; NSAID, aspirin, warfarin,
heparin, tiklodipin, semprot hidung, kortikosteroid
5. Tumor baik jinak maupun ganas yang terjadi di hidung, sinus
paranasal, atau nasofaring
6. Kelainan kongenital, misalnya hereditary hemorrhagic
telangiectasia/osler’s disease
7. Adanya deviasi septum
12
8. Pengaruh lingkungan, misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi,
tekanan udara rendah, atau lingkungan dengan udara yang sangat
kering
2. Pemeriksaan Fisik11,12
Bila pasien datang dengan epistaksis, perhatikan keadaan umum, nadi,
pernapasan, serta tekanan darahnya. Pasien diperiksa dalam posisi
duduk, biarkan darah mengalir keluar dari hidung sehingga bisa
dimonitor. Jika keadaan pasien lemah, sebaiknya pemeriksaan
dilakukan setengah duduk atau berbaring dengan kepala ditinggikan.
Pasien anak dipangku, badan dan tangan dipeluk, kepala dipegangi agar
tegak dan tidak bergerak.
a) Rinoskopi anterior
Pemeriksaan harus dilakukan secara berurutan dari anterior ke
posterior. Vestibulum, mukosa hidung, septum nasi, dinding
lateral hidung dan konka inferior harus diperiksa dengan cermat
untuk mengetahui sumber perdarahan.
b) Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada
pasien dengan epistaksis berulang untuk menyingkirkan
neoplasma.
c) Pengukuran tekanan darah
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis
hipertensi, karena hipertensi dapat menyebabkan epistaksis
posterior yang hebat dan sering berulang.
3. Pemeriksaan Penunjang11
Bila diperlukan:
1. Darah perifer lengkap
2. Skrining terhadap koagulopati (bleeding time, clotting time)
13
2.2.6 Tatalaksana
Prinsip tatalaksana epistaksis adalah perbaiki keadaan umum, cari sumber
pendarahan, hentikan pendarahan, dan cari faktor penyebab untuk mencegah
berulangnya pendarahan. Perhatikan keadaan umum, nadi, pernapasan dan tekanan
darah. Bila ada gangguan, atasi terlebih dahulu, misalnya dengan memasang infus.
Bila jalan napas tersumbat doleh darah atau bekuan darah, perlu dibersihkan atau
dihisap.4
Pasien dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, biarkan darah mengalir
keluar dari hidung sehingga bisa dimonitor. Kalau keadaannya lemah sebaiknya
setengah duduk atau berbaring dengan kepala yang ditinggikan. Harus diperhatikan
jangan sampai darah mengalir ke saluran pernapasan bawah. Pasien anak duduk
dipangku, badan dan tangan dipeluk, kepala dipegangi agar tidak bergerak-gerak.4
1. Pendarahan anterior
Pendarahan anterior seringkali berasal dari pleksus Kisselbach di septum
bagian depan. Apabila tidak berhenti dengan sendirinya, pendarahan
anterior, terutama pada anak, dapat dicoba dihentikan dengan menekan
hidung dari luar selama 10-15 menit, seringkali berhasil.4
14
dimasukkan sebanyak 2-4 buah, disusun dengan teratur dan harus dapat
menekan asal pendarahan. Tampon dipertahankan selama 2x24 jam, harus
dikeluarkan untuk mencegah infeksi hidung. Selama 2 hari ini dilakukan
pemeriksaan penunjang untuk mencari faktor penyebab epistaksis. Bila
pendarahan masih belum berhenti, dipasang tampon baru. 4
2. Pendarahan posterior
Untuk menanggulangi pendarahan posterior dilakukan pemasangan tampon
posterior, yang disebut tampon Bellocq. Tampon ini dibuat dari kasa padat
dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3 cm. Pada tampon ini terikat 3
utas benang, 2 buah di satu sisi dan satu buah di sisi yang berlawanan. 4
15
pada sebuah gulungan kain kasa didepan nares anterior, supaya tampon
yang terletak di nasofaring tetap di tempatnya. Benang lain yang keluar dari
mulut diikatkan secara longgar pada pipi pasien. Gunanya ialah untuk
menarik tampon keluar melalui mulut untuk menarik tampon keluar melalui
mulut setelah 2-3 hari. Hati-hati mencabut tampon karena dapat
menyebabkan laserasi mukosa.4
Bila pendarahan berat dari kedua sisi, misalnya pada kasus angiofibroma,
digunakan bantuan dua kateter masing-masing melalui kavum nasi kanan
dan kiri, dan tampon posterior terpasang ditengah-tengah nasofaring.4
Gambar 2.9 Kateter Foley 12-14 F dengan (A) balon 10mL untuk
tampon posterior dan (B) balon 30mL untuk tampon anterior.13
2.2.7 Komplikasi4
Akibat pendarahan yang hebat dapat terjadi aspirasi darah kedalam saluran
pernapasan bawah, juga dapat menyebabkan syok, anemia dan gagal ginjal.
Turunnya tekanan darah secara mendadak dapat menimbulkan hipotensi, hipoksia,
iskemia serebri, insufisiensi koroner, sampai infark miokard sehingga dapat
16
menyebabkan kematian. Dalam hal ini pemberian infus atau transfusi darah atau
transfusi darah harus dilakukan secepatnya. Akibat pembuluh darah yang terbuka
dapat terjadi infeksi, sehingga perlu diberikan antibiotik.
Pemasangan tampon dapat menyebabkan rinosinusitis, otitis media,
septikemia atau toxic shock syndrome. Oleh karena itu, harus selalu diberikan
antibiotik pada setiap pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon
harus dicabut. Bila pendarahan masih berlanjut dipasang tampon baru.
Selain itu dapat terjadi hemotimpanum sebagai akibat mengalirnya darah melalui
tuba Eustachius dan air mata berdarah (bloody tears), akibat mengalirnya darah
secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis.
Pemasangan tampon posterior (tampon Beloccq) dapat menyebabkan
laserasi palatum mole atau sudut bibir, jika benang yang keluar dari mulut terlalu
ketat dilekatkan pada pipi. Kateter balon atau tampon balon tidak boleh dipompa
terlalu keras karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa hidung atau septum.
2.2.8 Prognosis
Epistaksis anterior sering rekuren dan sembuh dengan sendirinya.
Epistaksis posterior biasanya lebih berat, persisten dan dapat mengancam jiwa. Saat
perdarahan dapat terkontrol, prognosisnya baik. Perdarahan berhenti dalam waktu
3 -5 hari dan penting untuk di follow up.14
17
BAB III
KESIMPULAN
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Nabil Abdulghany S., Abdulsalam Mahmoud Algamal. 2014. Relationship between
epistaxis and hypertention: Acause and effect or coincidence? J Saudi Heart Assos; 27:79-
79.
2. Foshee J, lloreta AM, Nyquist GG, Rosen MR. 2016. Epistaxis. In Rhinology hand
book.New York.p109-123
3. Mangunkusumo E dan Wardani RS. 2012. Epistaksis, dalam Buku ajar ilmu kesehatan
telinga hidung tenggorok kepala dan leher edisi ketujuh. Jakarta.P131-135
4. Endang., Retno S Wardani., 2012. Perdarahan Hidung dan Gangguan Penghidu di Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokkan Kepala dan Leher. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
5. Mangunkusumo, E. & Wardani, R. Dalam: Soepardi, E.A., Iskandar, N. & Restuti, R.D.
Epistaksis. Jakarta: FK UI; 2007.155.
6. Bull, P.D. Lecture Note on Disease of the Ear, Nose, and Throat. Oxford: Blackwell
Science; 2002.77-80
7. Gifford, T.O. & Orlandi, R.R. Epistaxis. Otolaryngol Clin North Am; 2008. 41 (3): 525-
36
8. Soetjipto D, Wardani R. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
dan Leher. Edisi Keenam. Jakarta : FK UI; 2007. p. 118- 122.
9. Kuo CL. Review : Update on the management of Epistaxis. Clinical Medicine and
Therapeutics 2019;1(1):5. DOI:10.24983/scitemed.cmt.2019.00106.
10. Anonim, Sinusitis, dalam ; Arif et all, editor. Kapita Selekta Kedokteran, Ed.3, Penerbit
Media Ausculapius FK UI, Jakarta 2001, 102 – 106.
11. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer. Jakarta: IDI; 2014.
12. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti R. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Jakarta: Fakultas kedokteran Universitas Indonesia;
2007.
13. Dhingra PL. Dhingra S. Diseases of Ear, Nose. 6th ed. New Delhi : Elsevier, 2014. Chapter
33: Epistaxis. p. 176-80.
14. Montague ML. Starritt NE. Scott-Brown’s Otorhinolaryngology Head & Neck Surgery.
8th ed. Florida : CRC Press, 2018. Chapter 22: Epistaxis; p. 241-50.
19