Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN KASUS

SINUSITIS MAKSILARIS

Disusun Oleh

Ridwan Nugraha (17-336)

Karina Antoinette Mastitianing (17-075)

Fina Rachma Destafany (17-087)

Pembimbing

dr. Farida Nurhayati, Sp. THT-KL, M. Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT-KL

PERIODE 05 NOVEMBER – 0-8 DESEMBER 2018

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

RSUD dr. CHASBULLAH ABDULMADJID BEKASI


LEMBAR PENGESAHAN

Laporan kasus dengan judul

“SINUSITIS MAKSILARIS”

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan kepaniteraan klinik Telinga

Hidung Tenggorok RSUD dr. Chasbullah Abdulmadjid Kota Bekasi periode

05 NOVEMBER – 08 DESEMBER 2018

Disusun oleh:

Ridwan Nugraha (17-336)

Karina Antoinette Mastitianing (17-075)

Fina Rachma Destafany (17-087)

Telah diterima dan disetujui dr. Farida Nurhayati, Sp. THT-KL, M. Kes selaku dosen
pembimbing departemen Telinga Hidung Tenggorok RSUD dr. Chasbullah Abdulmadjid
Kota Bekasi

Bekasi, 27 November 2018

dr. Farida Nurhayati, Sp. THT-KL, M. Kes


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan YME karena berkat dan rahmat-

Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Sinus Maksilaris” dengan

baik. Tujuan dari penyusunan laporan kasus ini guna memenuhi salah satu syarat

menyelesaikan kepaniteraan klinik ilmu penyakit THT-KL di RSUD dr. Chasbullah

Abdulmadjid Kota Bekasi.

Terimakasih kami ucapkan kepada dr. Farida Nurhayati, Sp. THT-KL, M. Kes Sp.

THT-KL selaku dosen pembimbing kami karena telah membantu mengarahkan serta

membimbing kami sehingga laporan kasus ini dapat kami selesaikan.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam laporan kasus ini. Oleh

karena itu penulis mohon maaf bila terdapat kesalahan penulisan atau kata-kata yang kurang

berkenan di hati pembaca. Kritik dan saran dari pembaca sangat membantu sebagai masukan

bagi penulis di kemudian hari. Semoga laporan kasus ini dapat memberi informasi yang

bermanfaat bagi pembaca pembaca dan tentunya bagi penulis yang sedang menjalani

kepaniteraan klinik stase THT RSUD dr. Chasbullah Abdulmadjid Kota Bekasi. Terima kasih

atas perhatian pembaca.

Bekasi, 27 November 2018

Penulis
DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ................................................................. i

Kata Pengantar ................................................................. ii

Daftar Isi ................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ................................................................. 1

BAB II LAPORAN KASUS

2.1. Identitas Pasien ................................................................. 2

2.2. Anamnesis Pasien ................................................................. 2

2.3. Pemeriksaan Fisik Pasien ................................................................. 2

2.4. Resume Pasien ................................................................. 3

2.5. Diagnosis Pasien ................................................................. 3

2.6. Tatalaksana Pasien ................................................................. 3

2.7. Prognosis Pasien ................................................................. 3

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anatomi Sinus Paranasal ................................................................. 4

3.2. Fisiologi Sinus Paranasal ................................................................. 8

3.3. Definisi Sinusitis ............................................................... . 9

3.4. Epidemiologi Sinusitis ................................................................. 9

3.5. Klasifikasi Sinusitis ................................................................ . 12

3.6. Etiologi dan Faktor Risiko Sinusitis .......................................................... 13

3.7. Patofisiologi Sinusitis ........................................................ . 13

3.8. Gejala Klinis Sinusitis ................................................................ . 14


3.9. Diagnosis Sinusitis ................................................................ . 16

3.10. Tatalaksana Sinusitis ................................................................. 20

3.11. Komplikasi Sinusitis ................................................................. 22

3.12. Prognosis Sinusitis ................................................................. 24

BAB IV PEMBAHASAN ................................................................. 25

BAB V KESIMPULAN ................................................................. 27

DAFTAR PUSTAKA ................................................................. 28


BAB I

PENDAHULUAN

Sinusitis merupakan inflamasi dari mukosa sinus paranasal. Sinusitis yang terjadi seringkali

disertai rhinitis, sehingga pada beberapa studi sering juga disebut rhinosinusitis. Sinusitis dapat terjadi

pada sinus maxillaris, frontalis, ethmoidalis dan sphenoidalis. 1

Sinus merupakan bagian dari fisiologi hidung terutama berfungsi pada pengaturan udara yang

masuk serta pembentukan mukus. Terjadinya sumbatan akibat adanya peradangan dapat menimbulkan

gejala nyeri pada pasien. Hal ini paling sering terjadi pada sinus ethmoidalis dan juga sinus maxillaris

yang diperkirakan terutama karena letak anatomis ostia sinus. 1

Infeksi virus, bakteri ataupun adanya deviasi septum merupakan beberapa penyebab

terjadinya sinusitis. Seringkali sinusitis juga disebabkan oleh infeksi ditempat lain seperti di gigi

rahang atas yang menyebar ke sinus. Sinusitis dapat menjadi berbahaya bila menimbulkan komplikasi

ke orbita dan intrakranial serta meningkatkan gejala asma yang sulit diobati.2

Di Amerika, sinusitis terdiagnosa pada 1 dari 8 orang pasien, dan setiap tahunnya terdapat 30

juta kasus sinusitis yang dapat didiagnosis. Sedangkan di Indonesia, sinusitis merupakan kasus yang

sering terjadi. Pada buku panduan klinis yang dibuat oleh PERHATI KL, sinusitis kronik menjadi

salah satu dari tiga penyakit yang paling sering terjadi sehingga di bahas pada buku panduan tersebut.

Pada penelitian di RSUP Haji Adam Malik tahun 2011, didapatkan insidensi penyakit ini paling

sering pada rentang umur 31-45 tahun (31,6%), perempuan lebih rentan mendapat rinosinusitis kronis

(54,2%) dan keluhan utama yang paling banyak didapati adalah hidung tersumbat (56,8%).3,4,5
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1. Identitas Pasien


- Nama : Tn. S
- Jenis Kelamin : Pria
- Umur : 49 tahun
- Agama : Islam
- Masuk RS : 22 November 2018
- No. RM : 03-45-08-42
2.2. Anamnesis Pasien
- Keluhan Utama : Hidung terasa tersumbat
- Keluhan Tambahan : nyeri kepala
- Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan utama hidung terasa tersumbat dan penuh. Kadang
pasien merasa sakit di bagian pipi dan terkadang tericium bau tidak enak dari hidung.
Pasien mengatakan bahwa pasien sering bersin-bersin terutama saat sedang bersih-bersih
ataupun terkena debu.
- Riwayat Penyakit Dahulu : TB (+)
- Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada
- Riwayat Alergi : Ada
2.3. Pemeriksaan Fisik
TELINGA KANAN KIRI
Nyeri Tekan Tragus (-) (-)

Auriculer Normal Normal


Liang Telinga Lapang Lapang
Isi Liang Telinga Serumen (-) Serumen (-)

Membran Timpani Intak, Refelek Cahaya (+) Intak, Reflek cahaya (+)

HIDUNG KANAN KIRI

Kavum Nasi Lapang Lapang

Sekret (-) (-)

Konka Hipertrofi, Livid Hipertrofi, Livid


TENGGOROKAN KANAN KIRI
Lidah Bersih
Uvula Di tengah
Faring Hiperemis (-)
Tonsil T1 T1
Dinding posterior faring Hiperemis (-), PND (+)

2.4. Resume Pasien

Pasien datang ke Poliklinik THT datang dengan keluhan utama hidung terasa

tersumbat. Pasien terkadang merasa nyeri kepala terutama di bagian pipi dan terkadang

mencium bau tidak enak seperti bau amis. Pasien juga mengaku sering bersin-bersin bila

terkena debu. Pada saat pemeriksaan fisik, ditemukan hipertrofi konka bilateral dan livid.

Terdapat nyeri tekan pada daerah maxillaris.

2.5. Diagnosis Pasien

- Sinusitis maxillaris dextra

- Hipertrofi konka inferior bilateral

2.6. Tatalaksana

- Anthrostomy maxillaris dextra

- Turbinektomi inferior KNDS

- Terapi medikamentosa post operasi:

 Cefotaxim (skin test)

 Asam traneksamat

 Dexketrofen

- Edukasi: Pasien diharuskan tidur dalam posisi miring setelah operasi. Pipi kanan pasien

dapat dikompres menggunakan es setelah operasi, maupun bila terjadi perdarahan. Pasien

juga disarankan untuk rajin memakai masker apabila berada di lingkungan yang mungkin

terpapar debu atau alergen lainnya.


2.1. Prognosis

- Quo ad vitam : Dubia ad bonam

- Quo ad functionam : Dubia ad bonam

- Quo ad sanationam : Dubia ad bonam


BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anatomi
3.1.1. Anatomi Hidung

Hidung dibagi menjadi dua bagian, yaitu hidung bagian luar dan hidung
bagian dalam (rongga nasal) yang dibatasi oleh apertura piriformis. 5
Hidung bagian luar memiliki ukuran dan bentuk yang berbeda pada setiap
orang. Pada bagian atas, terdapat cartilago nasi lateralis yang membentuk atap, lalu
kartilago alaris major dengan crus lateral dan medial akan membentuk sayap hidung.
Dibagian tengah terdapat kartolago septi nasi. Dari bagian luar, nampak pangkal
hidung, dorsum nasi, puncak hidung, ala nasi dan lubang hidung. 6

Gambar 1. Struktur hidung eksternal (Netter, 2010)


Udara akan masuk melalui hidung bagian dalam, yang mengalir melalui nares,
vestibulum, regio respiratori, regio olfaktoria dan koana. Septum nasi yang membagi
kavum nasi menjadi bagian kanan dan kiri. Septum Nasi terdiri dari lamina
perpendikularis (bagian dari os ethmoidales) dan vomer di bagian bawahnya. Nares
atau nostril merupakan tempat pertama udara mengalir masuk. Vestibula merupakan
bagian yang lebih lebar yang memiliki banyak vaskularisasi serta rambut-rambut
halus. Masuk ke bagian yang lebih dalam regio respiratoria, dimana terdapat tiga
konka di bagian lateral yaitu Konka nasal superior, medial dan inferior. Di bawah
setiap konka terdapat meatus nasalis. Os Pada bagian dasar terdapat os maxilla dan
palatum durum. Dibagian lebih dalam lagi terdapat regio olfaktoria yang terletak
apikal dimana terdapat saraf-saraf penciuman. Konka nasalis superior terletak pada
bagian atas, dimana saraf-saraf penciuman (fila olfaktorius) yang bersal dari bulbus
olfaktorius mulai masuk lamina cribosa dan penetrasi ke mukosa sekitar, termasuk
mukosa pada konka nasal superior. Choanae terdapat pada bagian posterior yang
menghubangkan dengan nasofaring. 6

Gambar 2. Tulang yang membentuk rongga hidung (Netter, 2010)


Gambar 3. Bagian lateral rongga hidung (Netter, 2010)
3.1.2 Anatomi Sinus Paranasal
Terdapat empat sinus paranasal yang terletak secara berpasangan. Sinus
paranasal yaitu sinus frontalis, ethmoidalis, maxillaris dan sphenoidalis. Sinus
dinamakan sesuai dengan letaknya masing-masing. Sinus paranasalis mengelilingi
daerah nasal dan juga orbital. Sinus paranasalis diselubungi oleh epitelium rspiratoria,
mengurangi beban pada tulang skeletasl, menjaga kehangatan dan kelembapan udara
yang dihirup, mengatur resonansi saat berbicara, dan mengalirkan sekresi mukus ke
dalam rongga nasal. Bersin dan juga meniup hidung akan membantu sekresi mukus
untuk keluar dari sinus paranasalis. 5
Gambar 4. Sinus Paranasalis (Netter, 2010)

Sinus paranasal memiliki inervasi, suplai darah dan drainase yang berbeda-
beda. Sinus frontalis dipersarafi oleh V1 (nervus supraorbital), diperdarahi oleh arteri
etmoidalis dan memiliki drainase melalui duktus frontonasal ke hiatus semilunaris
(meatus media). Sinus ethmoidalis dipersarafi oleh V1 (percabangan dari nervus
nasosiliaris) dan V2 (percabangan dari orbital), diperdarahi oleh arteri etmoidalis, dan
memiliki drainase dari ethmoid anterior ke hiatus semilunaris (meatus media) dan dari
tengah ke meatus media. Sinus sphenoidalis dipersarafi oleh V2 Ipercabangan dari
infraorbitl dan alveolar), diperdarahi oleh arteri faringealis (dari maxilaris) dan
memiliki drainase ke dalam recessus sphenoedmoidalis diatas konka superior. Sinus
maxillaris dipersarafi oleh V2 (percabangan dari intraorbital dan alvelar, diperdarahi
oleh arteri infraorbital dan alveolar, dan memiliki drainase ke dalam hiatus
6
semilunaris (meatus media).
3.2. Fisiologi Hidung
a. Fungsi Respirasi
Secara anatomis, hidung merupakan sebuah tempat tahanan udara sebelum masuk
ke dalam jalan nafas. Sehingga pada hidung, udara dapat diatur tekanannya,
dibersihkan dan dihangatkan. Hal ini untuk membantu agar kualitas udara yang
masuk memiliki kualitas yang lebih baik serta bersih dari partikel-partikel yang
tidak dibutuhkan. Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut
lendir. Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 370C. Fungsi
pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel
dan adanya permukaan konka dan septum yang luas. Partikel debu, virus, bakteri,
dan jamur yang terhirup bersama udara akan disaring di hidung oleh: rambut
(vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat
pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan reflex
bersin. 2,5

b. Fungsi Penghidu
Hidung bekerja sebagai indera penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada
atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau
dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik
napas dengan kuat. 2,5

c. Fungsi Fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.
Pada bunyi tertentu seperti “m”, “n” dan “ing”, resonansi hidung merupakan hal
yang penting. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau
hilang, sehingga terdengar suara sengau (rhinolalia). Terdapat 2 jenis rhinolalia
yaitu rhinolalia aperta yang terjadi akibat kelumpuhan anatomis atau kerusakan
tulang di hidung dan mulut. Yang paling sering terjadi karena stroke, dan rhinolalia
oklusa yang terjadi akibat sumbatan benda cair (ketika pilek) atau padat (polip,
tumor, benda asing) yang menyumbat. 2,5

d. Fungsi Mukosiliar
Sinus merupakan rongga berisi udara dengan epitel kolumnar pseudostratifikasi,
bersilia yang diselingi sel-sel goblet. Silia di hidung akan menyapu mukosa menuju
pembukaan ostial. Obstruksi sinus ostia dapat menyebabkan penumpukan lendir dan
penurunan oksigenasi di rongga sinus.

Bila terjadi obstruksi di ostial, tekanan di rongga sinus dapat menurun, yang dapat
menimbulkan gejala nyeri pada pasien, terutama di daerah frontal. 2,5

e. Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor reflex yang berhubungan dengan saluran
cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan
reflex bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi
kelenjar liur, lambung, dan pankreas. 2

3.3. Definisi Sinusitis

Sinusitis di definisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Bila


mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, dan bila mengenai semua sinus maka
disebut pansinusitis. Sinusitis yang terjadi seringkali disertai rhinitis, sehingga sering
juga disebut rhinosinusitis.2

3.4. Klasifikasi Sinusitis

Konsensus Internasional tahun 1995 membagi sinusitis hanya akut dengan


batas sampai 8 minggu dan kronik jika lebih dari 8 minggu.Konsensus tahun 2004
membagi menjadi akut dengan batas sampai 4 minggu, subakut antara 4 minggu
sampai 3 bulan dan kronik jika lebih dari 3 bulan.
Sinusitis kronik dengan penyebab rinogenik umumnya merupakan lanjutan
dari sinusitis akut yang tidak terobati secara adekuat. Pada sinusitis kronik adanya
faktor predisposisi harus dicari dan diobati secara tuntas.
Menurut berbagai penelitian, bakteri utama yang ditemukan pada sinusitis akut
adalah Streptococcus pneumonia (30-50%), Hemophylus influenzae (20-40%) dan
Moraxella catarrhalis (4%). Pada anak, M. Catarrhalis lebih banyak ditemukan (20%).
Pada sinusitis kronik, faktor predisposisi lebih berperan, tetapi umumnya bakteri yang
ada lebih condong ke arah bakteri negatif gram dan anaerob.

Berdasarkan penyebabnya, dibagi menjadi sinusitis rhinogen apabila


penyebabnya infeksi pada hidung, dan sinusitis dentogen apabila penyebabnya infeksi
pada gigi.

a. Sinusitis Akut

Sinusitis Maksilaris
Sinusitis maksilaris akut biasanya didahului infeksi saluran napas atas yang
ringan. Alergi hidung kronik, benda asing dan deviasi septum nasi merupakan faktor
predisposisi local yang paling sering ditemukan.Deformitas rahang-wajah, terutama
palatoskisis, dapat menimbulkan masalah pada anak. Anak-anak ini cenderung
menderita infeksi nasofaring atau sinus kronik dengan angka insidens yang lebih
tinggi. Sedangkan gangguan geligi bertanggung jawab atas sekitar 10 persen infeksi
sinus maksilaris akut.

Gejala infeksi sinusitis maksilaris akut berupa demam, malaise dan nyeri
kepala yang tak jelas yang biasanya reda dengan pemberian analgesic biasa seperti
aspirin. Wajah terasa bengkak, penuh dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala
mendadak. Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri
pada palapasi dan perkusi.

Sinusitis Etmoidalis

Sinusitis etmoidalis akut lazim terjadi pada anak-anak, seringkali


bermanifestasi sebagai selulitis orbita. Pada dewasa seringkali bersama- sama dengan
sinusitis maksilaris, serta dianggap sebagai penyerta sinusitis frontalis yang tak dapat
dielakkan. Gejala berupa nyeri dan nyeri tekan diantara kedua bola mata dan di atas
jembatan hidung, drainase dan sumbatan hidung. Pada anak dinding lateral labirin
etmoidalis (lamina papirasea) seringkali merekah dan karena itu cenderung lebih
sering menimbulkan selulitis orbita.

Sinusitis Frontalis

Sinusitis frontalis akut hampir selalu bersama-sama dengan infeksi sinus


etmoidalis anterior. Sinus frontalis berkembang dari sel-sel udara etmoidalis anterior,
dan duktus nasalis frontalis yang berlekuk-lekuk berjalan amat dekat dengan sel-sel
ini. Maka faktor-faktor predisposisi infeksi sinus frontalis akut adalah sama dengan
faktor-faktor untuk infeksi sinus lainnya. Penyakit ini sering ditemukan pada dewasa,
dan selain daripada gejala nfeksi yang umum, pada sinusitis frontalis terdapat nyeri
kepala yang khas. Nyeri berlokasi di alis mata, biasanya pada pagi hari dan makin
memburuk menjelang tengah hari, kemudian perlahan-lahan mereda menjelang
malam. Tanda patognomonik adalah nyeri hebat pada palpasi atau perkusi di atas
daerah sinus yang terinfeksi.

Sinus Sfenoidalis

Sinusitis sfenoidalis akut amat jarang. Sinusitis ini dicirikan oleh nyeri
kepala yang mengarah ke vertex cranium. Namun penyakit ini lebih lazim menjadi
bagian dari pansinusitis, dan oleh karena itu gejalanya menjadi satu dengan gejala
infeksi sinus lainnya.

b. Sinusitis Kronik

Sinusitis kronik adalah sinusitis yang berlangsung lebih dari 3 bulan. Pada
sinusitis akut, perubahan patologik membrane mukosa berupa infiltrate
polimorfonuklear, kongesti vascular dan deskuamasi epitel permukaan yang semuanya
reversible. Gambaran patologik sinusitis kronik adalah kompleks dan irreversible.
Mukosa umumnya menebal , membentuk lipatan-lipatan-lipatan atau pseudopoli.
Epitel permukaan tampak mengalami deskuamasi, regenerasi , metaplasia.

Gejala sinusitis kronik tidak jelas,selama eksaserbasi akut , gejala- gejala


mirip dengan gejala sinusitis akut; namun, di luar masa itu gejala berupa suatu
perasaan penuh pada wajah dan hidung dan hipersekresi yang seringkali mukopurulen.
Gejala lain berupa nyeri kepala, hidung tersumbat dan gejala-gejala faktor predisposisi
seperti rhinitis alergika yang menetap. Batuk kronik dengan laryngitis kronik ringan
atau faringitis seringkali menyertai sinusitis kronik.

Sinusitis pada dasarnya bersifat rinogenik. Pada sinusitis kronik, sumber


infeksi berulang cenderung berupa suatu daerah stenotik, biasanya infundibulum
etmoidalis dan resesus frontalis. Karena inflamasi menyebabkan saling menempelnya
mukosa yang berhadapan dalam ruangan sempit ini, akibatnya terjadi gangguan
transport mukosiliar, menyebabkan retensi mucus dan mempertinggi pertumbuhan
bakteri dan virus. Infeksi kemudian menyebar ke sinus yang berdekatan. Pada sinusitis
maksilaris kronik yang mengenai satu sisi dengan ingus purulen dan napas berbau
busuk harus curiga adanya sinusitis dentogen. Sinusitis dentogen ini nerupakan salah
satu penyebab penting sinusitis kronik. Karena dasar sinus maksila adalah prosesus
alveolaris tempat akar gigi rahang atas, maka apabila terjadi infeksi gigi rahang atas
atau inflamasi jaringan periodontal mudah menyebar secara langsung ke sinus, atau
melalui pembuluh darah limfe.

Kriteria rinosinusitis akut dan kronis pada penderita dewasa dan anak
berdasarkan gambaran klinik dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kriteria Rinosinusitis Akut dan Kronik pada Anak dan Dewasa
Menurut International Conference on Sinus Disease 1993 & 2004.

3.5 Epidemiologi Sinusitis

Di Amerika, sinusitis terdiagnosa pada 1 dari 8 orang pasien, dan setiap tahunnya
terdapat 30 juta kasus sinusitis yang dapat didiagnosis. Sedangkan di Indonesia, sinusitis
merupakan kasus yang sering terjadi. Insiden terjadinya sinusitis meningkat seiring
dengan meningkatnya kasus asma, alergi, dan penyakit traktus respiratorius lainnya. Pada
buku panduan klinis yang dibuat oleh PERHATI KL, sinusitis kronik menjadi salah satu
dari tiga penyakit yang paling sering terjadi sehingga di bahas pada buku panduan
tersebut. Pada penelitian di RSUP Haji Adam Malik tahun 2011, didapatkan insidensi
penyakit ini paling sering pada rentang umur 31-45 tahun (31,6%), perempuan lebih
rentan mendapat rinosinusitis kronis (54,2%) Angka perbandingannya 20% perempuan
dibanding 11.5% laki-laki dan keluhan utama yang paling banyak didapati adalah hidung
tersumbat (56,8%).
3.6. Etiologi dan Faktor Resiko Sinusitis

Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam
rhinitis terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung,
kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks osteo-
meatal, infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia seperti pada
sindroma Kartegener, dan di luar negeri adalah penyakit fibrosis kistik.
Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis
sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan
menyembuhkan rhinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis dengan foto polos
leher posisi lateral. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan yang berpolusi,
udara dingin dan kering, serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama-lama menyebabkan
perubahan mukosa dan merusak silia.2

3.7. Patofisiologi Sinusitis

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan kelancaran


klirens dari mukosiliar di dalam kompleks osteo meatal (KOM). Disamping itu mukus
juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai pertahanan
terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan.
Organ-organ yang membentuk KOM letaknya saling berdekatan dan bila
terinfeksi organ yang membentuk KOM mengalami edema, sehingga mukosa yang
berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat
dialirkan karena ostium sinus tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam
rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, yang mula-mula cairan serosa.
Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinosinusitis non-bacterial dan biasanya dapat sembuh
sendiri dalam beberapa hari tanpa pengobatan.

Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media baik
untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut
sebagai rinosinusitis akut bakterial dan memerlukan antibiotik.
Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi), inflamasi
berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri berkembang. Selanjutnya terjadi perubahan
jaringan menjadi hipertrofi, polipoid atau pembentukan kista. Polip nasi dapat menjadi
manifestasi klinik dari penyakit sinusitis. Polipoid berasal dari edema mukosa, dimana
stroma akan terisi oleh cairan interseluler sehingga mukosa yang sembab menjadi
polipoid. Bila proses terus berlanjut, dimana mukosa yang sembab makin membesar dan
kemudian turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai, sehingga terjadilah
polip. Pada keadaan ini mungkin diperlukan tindakan operasi.7

3.8. Gejala Klinis Sinusitis

Keluhan utama sinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai nyeri/rasa


tertekan pada wajah dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok (post nasal
drip). Dapat disertai gejala sistemik seperti demam dan lesu.
Keluhan nyeri atau rasa tertekan di daerah sinus yang terkena merupakan ciri
khas sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa ditempat lain (referred
pain). Pada sinusitis maksila akut, keluhan nyeri pada daerah rahang atas, dapat
menimbulkan nyeri alih ke gigi&gusi, nyeri tekan regio maksilaris, bengkak dan
hiperemis pada pipi, keluar sekret dari hidung, dan pada rinoskopi anterior terlihat
sekret pada meatus media. Pada sinusitis frontalis akut , keluhan berupa sakit kepala
regio frontal (terlokalisasi pada daerah sinus), nyerti tekan di dasar sinus frontal,
bengkak pada kelopak mata atas, keluar sekret dari hidung, dan pada rinoskopi
anterior terlihat sekret pada meatus media. Pada sinusitis ethmoidalis akut, keluhan
berupa nyeri diantara atau belakang kedua bola mata, bengkak pada kelopak mata,
keluar sekret dari hidung. Pada sinusitis sfenoidalis akut, keluhan berupa sakit kepala,
terutama pada verteks, oksipital, dapat berupa nyeri alih ke regio mastoid, post nasal
discharge, dan pada rinoskopi anterior terlihat pus pada meatus superior.7

Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, post nasal drip yang
menyebabkan batuk dan sesak pada anak. Untuk mendiagnosis rhinosinusitis
memerlukan 2 faktor mayor atau 1 faktor mayor 2 faktor minor. Jika hanya 1 faktor
mayor atau 2 faktor minor ini harus dimasukkan dalam diagnosis diferensial. 7
Tabel 2. SIGNS AND SYMPTOMS ASSOCIATED WITH DIAGNOSIS OF
RHINOSINUSITIS (1996) RHINOSINUSITIS TASK FORCE)

Gejala Mayor Gejala Minor

Nyeri atau rasa tertekan pada muka Sakit kepala

Kebas atau rasa penuh pada muka Demam (pada sinusitis kronik)

Obstruksi hidung Halitosis

Sekret hidung yang purulen, post nasal Kelelahan


drip
Sakit gigi
Hiposmia atau anosmia
Batuk
Demam (hanya pada rinosinusitis akut) >
39ᵒC Nyeri, rasa tertekan atau rasa penuh pada
telinga

Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Kadang-kadang hanya 1
atau 2 dari gejala-gejala dibawah ini yaitu sakit kepala kronik, post-nasal drip, batuk kronik,
gangguan tenggorok, gangguan telinga, akibat sumbatan kronik muara tuba Eustachius,
gangguan ke paru seperti bronkitis (sino-bronkitis), bronkiektaksis dan yang penting adalah
serangan anak, mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis.
Tabel 3. REQUIREMENTS FOR DIAGNOSIS OF CHRONIC RHINOSINUSITIS
(2003 TASK FORCE)

Durasi Gejala Pemeriksaan Fisik

> 12 minggu Satu atau lebih dari gejala 1. perubahan pada hidung, polip, atau
gejala terus tersebut polypoid pembengkakan pada
menerus rhinoskopi anterior (dengan
decongestion) atau hidung
endoskopi
2. Edema atau eritema di meatus
tengah pada hidung endoskopi
3. Generalized atau lokal edema,
eritema, atau jaringan granulasi di
cavum hidung. Jika tidak
melibatkan meatus tengah,foto
diperlukan untuk diagnosis
4. Foto untuk memperjelas diagnosis
(foto polos atau computerized
tomography)

3. Diagnosis Sinusitis

Diagnosis ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan


penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan naso-
endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khas ialah
adanya pus di meatus medius (pada sinusitis maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau
di meatus superior (pada sinusitis etmoid posterior dan sphenoid). 8

Anamnesis

Riwayat rinore purulen yang berlangsung lebih dari 7 hari, merupakan keluhan yang
paling sering dan paling menonjol pada rinosinusitis akut. Keluhan ini dapat disertai
keluhan lain seperti sumbatan hidung, nyeri/rasa tekanan pada muka, nyeri kepala,
demam, ingus belakang hidung, batuk, anosmia/hiposmia, nyeri periorbital, nyeri gigi,
nyeri telinga dan serangan mengi (wheezing) yang meningkat pada penderita asma.8

Inspeksi Yang diperhatikan ialah adanya pembengkakan pada muka.


Pembengkakan di pipi sampai kelopak mata bawah yang berwarana kemerah-merahan
mungkin menunjukkan sinusitis maksila akut, Pembengkakan di kelopak mata atas
mungkin menunjukan sinusitis frontal akut. Sinusitis etmoid akut jarang menyebabkan
pembengkakan di luar, kecuali bila telah terbentuk abses.8

Pada rinositis akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada anak sering ada
pembengakakan dan kemerahan di daerah kantus medius.

Palpasi Nyeri tekan pada pipi dan nyeri ketuk di gigi menunjukan adanya
sinusitis maksila. Pada sinusitis frontal terdapat nyeri tekan di dasar sinus frontal, yaitu
pada bagian medial atap orbita. Sinusitis etmoid menyebabkan rasa nyeri tekan di daerah
kantus medius.8

Transiluminasi Transiluminasi mempunyai manfaat yang terbatas, hanya dapat


dipakai untuk memeriksa sinus maksila dan sinus frontal, bila pemeriksaan radiologik
tidak tersedia. Bila ada pemeriksaan transiluminasi tampak gelap di daerah infraorbita,
mungkin berarti antrum terisi oleh pus atau mukosa antrum menebal atau terdapat
neoplasma di dalam antrum. Bila terdapat kista yang besar di dalam sinus maksila, akan
tampak terang pada pemeriksaan transiluminasi, sedangkan pada foto Rontgen tampak
adanya perselubungan berbatas tegas di dalam sinus maksila. Transiluminasi pada sinus
frontal hasilnya lebih meragukan. Besar dan bentuk kedua sinus ini seringkali tidak
sama. Gambaran yang terang berarti sinus berkembang dengan baik dan normal,
sedangkan gambaran yang gelap mungkin berarti sinusitis atau hanya menunjukan sinus
yang tidak berkembang.8

Pemeriksaan Radiologik Bila dicurigai adanya kelainan di sinus paranasal,


maka dilakukan pemeriksaan radiologik. Posisi rutin yang dipakai ialah posisi Waters,
PA dan lateral. Posisi Waters terutama untuk melihat adanya kelainan di sinus maksila,
frontal, dan etmoid. Posisi PA untuk menilai sinus frontal dan posisi lateral untuk menilai
sinus frontal, sphenoid, dan etmoid. Metode mutakhir yang lebih akurat untuk melihat
kelainan sinus paranasal adalah pemeriksaan CT Scan. Potongan CT Scan yang rutin
dipakai adalah koronal dan aksial. Indikasi utama CT Scan hidung dan sinus paranasal
adalah sinusitis kronik, trauma (fraktur frontobasal), dan tumor. Kelainan akan terlihat
perselubungan, batas udara-cairan (air fluid level) atau penebalan mukosa. CT Scan sinus
merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena mampu menilai anatomi hidung dan
sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya.
Namun karena mahal hanya dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusitis kronik yang
tidak membaik dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan operator saat
melakukan operasi sinus.8

Sinuskopi Pemeriksaan ke dalam sinus maksila menggunakan endoskop.


Endoskop dimasukan melalui lubang yang dibuat di meatus inferior atau di fosa kanina.
Dengan sinuskopi dapat dilihat keadaan di dalam sinus, apakah ada sekret, polip, jaringan
granulasi, massa tumor atau kista, bagaimana keadaan mukosa dan apakah ostiumnya
terbuka.

Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus maksila


melalui meatus inferior, dengan alat endoskop bisa dilihat kondisi sinus maksila yang
sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi.8

Pemeriksaan Mikrobiologik Pemeriksaan mikrobiolgik dan tes resistensi


dilakukan dengan mengambil sekret dari meatus medius/superior, untuk mendapat
antibiotik yang tepat guna. Lebih baik lagi diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus
maksila.8

Gambar 5. Foto kepala posisi Waters (Kennedy, 2009)


Gambar 6. Foto Sinus Maksilaris Dextra posisi Waters (Kennedy, 2009)

Gambar 7. Foto lateral menunjukkan gambaran air fluid level di sinus maksilla
(Kennedy, 2009)
Figure 3. Cornal CT scan of patient with significant right
maxiallry and ethmoid sinus onstruction and air-fluid level of
left maxillary sinus

Source: James A Hadley, MD.

Gambar 8. Sinus paranasal normal pada foto Waters (James, 2012)

3.10. Penatalaksanaan

Tujuan utama penatalaksanaan sinusitis adalah:

1. Mempercepat penyembuhan
2. Mencegah komplikasi
3. Mencegah perubahan menjadi kronik

Prinsip penatalaksanaan rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang dewasa
dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan medikamentosa dan pembedahan. Pada
rinosinusitis kronik (tanpa polip nasi), terapi pembedahan mungkin menjadi pilihan yang
lebih baik dibanding terapi medikamentosa. Adanya latar belakang seperti alergi, infeksi dan
kelainan anatomi rongga hidung memerlukan terapi yang berlainan juga.8,9,10

Terapi Medikamentosa

Terapi medikamentosa memegang peranan dalam penanganan rinosinusitis kronik yakni


berguna dalam mengurangi gejala dan keluhan penderita, membantu dalam diagnosis
rinosinusitis kronik (apabila terapi medikamentosa gagal maka cenderung digolongkan
menjadi rinosinusitis kronik) dan membantu memperlancar kesuksesan operasi yang
dilakukan.8,9,10,11
Pada dasarnya yang ingin dicapai melalui terapi medikamentosa adalah kembalinya
fungsi drainase ostium sinus dengan mengembalikan kondisi normal rongga hidung. Jenis
terapi medikamentosa yang digunakan untuk rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang
dewasa antara lain:8,9,11

1. Antibiotika, merupakan modalitas tambahan pada rinosinusitis kronik mengingat terapi


utama adalah pembedahan. Jenis antibiotika yang digunakan adalah antibiotika spektrum
luas antara lain:
a. Amoksisilin + asam klavulanat
b. Sefalosporin: cefuroxime, cefaclor, cefixime
c. Florokuinolon : ciprofloksasin
d. Makrolid : eritromisin, klaritromisin, azitromisin
e. Klindamisin
f. Metronidazole
2. Antiinflamatori dengan menggunakan kortikosteroid topikal atau sistemik.
a. Kortikosteroid topikal : beklometason, flutikason, mometason
b. Kortikosteroid sistemik, banyak bermanfaat pada rinosinusitis kronik dengan polip
nasi dan rinosinusitis fungal alergi.

3. Terapi penunjang lainnya meliputi:


a. Dekongestan oral/topikal yaitu golongan agonis α-adrenergik
b. Antihistamin
c. Stabilizer sel mast, sodium kromoglikat, sodium nedokromil
d. Mukolitik
e. Antagonis leukotrien
f. Imunoterapi
g. Lainnya: humidifikasi, irigasi dengan salin, olahraga, avoidance terhadap iritan dan
nutrisi yang cukup

Terapi Pembedahan

Terapi bedah yang dilakukan bervariasi dimulai dengan tindakan sederhana dengan
peralatan yang sederhana sampai operasi menggunakan peralatan canggih endoskopi.
Beberapa jenis tindakan pembedahan yang dilakukan untuk rinosinusitis kronik tanpa polip
nasi ialah:13
1. Sinus maksila:
a. Irigasi sinus (antrum lavage)
b. Nasal antrostomi
c. Operasi Caldwell-Luc
2. Sinus etmoid:
a. Etmoidektomi intranasal, eksternal dan transantral
3. Sinus frontal:
a. Intranasal, ekstranasal
b. Frontal sinus septoplasty
c. Fronto-etmoidektomi
4. Sinus sfenoid :
a. Trans nasal
b. Trans sfenoidal
5. FESS (functional endoscopic sinus surgery), dipublikasikan pertama kali oleh
Messerklinger tahun 1978. Indikasi tindakan FESS adalah:
a. Sinusitis (semua sinus paranasal) akut rekuren atau kronis
b. Poliposis nasi
c. Mukokel sinus paranasal
d. Mikosis sinus paranasal
e. Benda asing
f. Osteoma kecil
g. Tumor (terutama jinak, atau pada beberapa tumor ganas)
h. Dekompresi orbita / n.optikus
i. Fistula likuor serebrospinalis dan meningo ensefalokel
j. Atresia koanae
k. Dakriosistorinotomi
l. Kontrol epistaksis, Tumor pituitari, ANJ, tumor pada skull base

3.11. KOMPLIKASI

Pada era pra antibiotika, komplikasi merupakan hal yang sering terjadi dan seringkali
membahayakan nyawa penderita, namun seiring berkembangnya teknologi diagnostik dan
antibiotika, maka hal tersebut dapat dihindari. Komplikasi rinosinusitis kronik tanpa polip
nasi dibedakan menjadi komplikasi orbita, oseus/tulang, endokranial dan komplikasi
lainnya.6,11

1.1.Komplikasi orbita :
a) Selulitis periorbita
b) Selulitis orbita. Edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif
menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk
c) Abses subperiosteal. Pus terkumpul di antara periorbita dan dinding
tulang orbita menyebabkan proptosis dan kemosis
d) Abses orbita. Pada tahap ini, pus telah menembus periosteum dan
bercampur dengan isi orbita
e) Trombosis sinus kavernosus. Komplikasi ini merupakan akibat
penyebaran bakteri melalui saluran vena ke dalam sinus kavernosus di m
anaselanjutnya terbentuk suatu tromboflebitis septic.

Gambar 9.Komplikasi orbita dikutip dari


https://www.msdmanuals.com/professional/eye-disorders/orbital-
diseases/preseptal-and-orbital-celluliti

1.2.Komplikasi oseus/tulang : Osteomielitis (maksila dan frontal)


1.3.Komplikasi endokranial:
a) Abses epidural / subdural
b) Abses otak
c) Meningitis
d) Serebritis
1.4.Komplikasi lain yang sangat jarang terjadi : abses glandula lakrimalis, perforasi
septum nasi, hilangnya lapangan pandang, mukokel/mukopiokel, septikemia.

3.12. Prognosis
Prognosis untuk penderita sinusitis akut yaitu sekitar 40 % akan sembuh secara
spontan tanpa pemberian antibiotik. Terkadang juga penderita bisa mengalami relaps setelah
pengobatan namun jumlahnya sedikit yaitu kurang dari 5 %. Komplikasi dari penyakit ini
bisa terjadi akibat tidak ada pengobatan yang adekuat yang nantinya akan dapat
menyebabkan sinusitis kronik, meningitis, brain abscess, atau komplikasi extra sinus lainnya.
Sedangkan prognosis untuk sinusitis kronik yaitu jika dilakukan pengobatan yang dini maka
akan mendapatkan hasil yang baik.13
BAB IV

PEMBAHASAN

Seorang laki-laki usia 49 tahun datang berobat ke Poliklinik THT-KL dengan keluhan
hidung tersumbat dan penuh sejak 4 minggu SMRS. Keluhan hidung tersumbat dirasakan
hilang timbul. Pasien juga mengeluhkan adanya cairan yang keluar melalui hidung. Cairan
berwarna kuning kehijauan dan tercium bau yang tidak enak. Kadang pasien juga merasakan
ada cairan yang turun dari belakang hidung ke tenggorok, nyeri pada pipi sebelah kanan dan
dalam satu minggu terakhir pasien juga mengeluhkan sakit kepala. Pasien juga mengatakan
sering bersin-bersin terutama saat sedang bersih-bersih.

Berdasarkan anamnesis pasien mengaku hidung terasa penuh dan tersumbat serta adanya
pengeluaran cairan bening yang lama kelamaan berubah menjadi kuning kehijauan, kental
dan berau. Hal ini sesuai dengan teori bahwa organ-organ yang membentuk KOM
(kompleks osteo meatal) letaknya berdekatan dan apabila terjadi edema, mukosa yang
berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat.
Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya
transudasi berupa serous. Kondisi ini biasanya di anggap sebagai rhinosinusitis non bakterial
dan biasanya akan sembuh dalam beberapa hari. Jila kondisi ini menetap, sekret yang
terkumpul dalam sinus akan menjadi mediator yang baik untuk pertumbuhan bakteri sehingga
sekter akan berubah menjadi purulen.

Sinusitis akut dapat disebabkan oleh rinitis akut, infeksi faring, infeksi gigi rahang atas
(dentogen), dan trauma. Gejala klinis dapat berupa demam dan rasa lesu. Pada hidung
dijumpai ingus kental. Dirasakan nyeri didaerah infraorbita dan kadang-kadang menyebar ke
alveolus. Penciuman terganggu dan ada perasaan penuh dipipi waktu membungkuk ke depan.
Pada pemeriksaan tampak pembengkakan di pipi dan kelopak mata bawah. Pada rinoskopi
anterior tampak mukosa konka hiperemis dan edema. Pada rinoskopi posterior tampak
mukopus di nasofaring post nasal drip. Terapi medikamentosa berupa antibiotik selama 10-14
hari. Pengobatan local dengan inhalasi, pungsi percobaan dan pencucian.

Sinusitis kronik dapat disebabkan oleh pneumatisasi yang tidak memadai, makanan yang
tak memadai, reaksi atopic, lingkungan kotor, sepsis gigi dan variasi anatomi. Gejala berupa
kongesti atau obstruksi hidung, nyeri kepala setempat, sekret di hidung, sekret pasca nasal
(post nasal drip), gangguan penciuman dan pengecapan.
Pada rinoskopi anterior ditemukan sekret kental purulen dari meatus medius. Pada
rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring. Pengobatan sinusitis kronik
dilakukan secara konservatif dengan antibiotik selama 10 hari, dekongestan lokal dan
sistemik, juga dapat dilakukan diatermi gelombang pendek selama 10 hari di daerah sinus
maksila, pungsi dan irigasi sinus.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan diantaranya:

1. Transluminasi: pemeriksaan ini akan memberikan hasil yang bermakna apabila hanya
salah satu sinus yang terkena. Hasil pemeriksaan transluminasi positif menunjukkan
adanya perbedaan cahaya antara sinus yang normal dan sinus yang sakit
2. Foto water: merupakan salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat membantu dalam
penegakan diagnosa sinusitis. Hasil pemeriksaan foto waters menunjukkan
adanya gambaran perselubungan dengan gambaran penebalan dari mukosa atau dapat
ditemukan adanya gambaran air fluid level.
3. CT Scan: merupakan tes yang paling sensitif dalam mengungkapkan kelainan anatomis
selain melihat adanya cairan dalam sinus. Tetapi karena mahal, CT scan
jarang dipakai sebagai skrining awal dalam menegakan diagnosa sinusitis.

Sebelum dilakukan antrostomy sinusitis maxillaris dextra dan turbinektomi inferior KND
dilakukan beberapa pemeriksaan seperti pemeriksaan rontgen thoraks dan pemeriksaan
laboratorium darah. Pada hasil dari pemeriksaan radiologi dari gambaran rontgen SPN
didapatkan kesan sinusitis maxillaris dextra dan hipertrofi konka nasalis bilateral, dari hasil
foto thoraks didapatkan kesan TB paru lama, dari hasil ekg dengan hasil cardiac
compensated, dan dari pemeriksaan lab dalam batas normal.

Pada pasien ini dilakukan antrostomy sinusitis maxillaris dextra dan turbinektomi inferior
KNDS. Dimana komplikasi dari tindakan operasi berupa perdarahan dan gangguan
penciuman. Pemberian antibiotic juga diperlukan untuk mencegah infeksi pasca operasi.
BAB V

KESIMPULAN

Sinus paranasal terdiri dari empat pasang, yaitu sinus frontal, sinus etmoid,sinus maksila,
dan sinus sfenoid. Sinus paranasal dalam kondisi normal mengalirkan sekresi dari mukosa ke
daerah yang berbeda dalam kavum nasi. Sinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang
terjadi karena alergi atau infeksi virus, bakteri maupun jamur. Sinusitis bisa terjadi pada salah
satu dari keempat sinus yang ada (maksilaris, etmoidalis, frontalis atau sfenoidalis).
Sinusitis bisa bersifat akut (berlangsung selama 3 minggu atau kurang) maupun kronis
(berlangsung selama 3-8 minggu tetapi dapat berlanjut sampai berbulan-bulan
bahkan bertahun-tahun). Keluhan utama sinusitis akut adalah hidung tersumbat disertai nyeri
atau tekanan pada wajah dan sekret purulen, yang seringkali turun ke tenggorokan (postnasal
drip).

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan


penunjang. Prinsip penatalaksanaan sinusitis adalah mempercepat penyembuhan, mencegah
komplikasi dan mencegah perubahan menjadi kronik.

Prognosis untuk penderita sinusitis akut yaitu sekitar 40 % akan sembuh secaraspontan
tanpa pemberian antibiotik. Terkadang juga penderita bisa mengalami relaps setelah
pengobatan namun jumlahnya sedikit yaitu kurang dari 5 %. Komplikasi dari penyakit ini
bisa terjadi akibat tidak ada pengobatan yang adekuat yang nantinya akan dapat
menyebabkan komplikasi orbita atau intrakranial.
DAFTAR PUSTAKA

1. Rosenfeld R, Piccirillo J, Chandrasekhar S, Brook I, Kumar K, Kramper M, Orlandi


R, Palmer J, Patel Z, Peters A, Walsh S, Corrigan M. Clinical Practice Guidance
(Update): Adult Sinusitis. Otolaryngology – Head and Neck Surgery, 2015;152(2S)
S1–S39.
2. Iskandar N, Supardi EA. (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorokan. Edisi Ketujuh, Jakarta FKUI, 2012.
3. Arivalagan P, Rambe A. Gambaran Rinosinusitis Kronik Di RSUP Haji Adam Malik
pada Tahun 2011. E-Jurnal FK USU, 2013; 1(1).
4. Trimartani, Panduan Praktis Klinis, Tindakan, Clinical Pathway di THT-KL, PP
PERHATI-KL, 2015.
5. Adam GL, Boies LR, Higler PA. (eds) Buku Ajar Penyakit THT, Edisi Keenam,
Philadelphia : WB Saunders, 1989. Editor Effendi H. Cetakan III. Jakarta, Penerbit
EGC, 1997.
6. Hansen JT. Netter's Clinical Anatomy. 2nd ed. O’Grady E, editor. Philadelphia:
Saunders Elsevier; 2010.
7. Boies, A. Buku ajar penyakit Telinga Hidung Tenggorok, Edisi 6. Jakarta: EGC.2002.
8. Kennedy DW, International Conference On Sinus Disease, Terminology, Staging,
Therapy. Ann Otol Rhinol Laryngol 2009; 104 (Suppl. 167):7-30

9. Mulyarjo. Terapi medikamentosa pada rinosinusitis. In Mulyarjo, Soedjak S,


Kentjono WA, Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap perkembangan
terkini diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya: Dep./SMF THT-KL
Univ.Airlangga,2004; 59-65.
10. Clerico DM. Medical treatment of chronic sinus disease. In Kennedy DW, Bolger
WE, Zinreich SJ, eds. Diseases of the sinuses diagnosis and management. Hamilton:
BC Decker Inc,2001;155-165.
11. Chiu AG, Becker DG. Medical management of chronic rhinosinusitis. In Brook I, eds.
Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor & Francis, 2006;
219-229.
12. Selvianti, Kristyono I. Patofisiologi, Diagnosis dan Penatalaksanaan rhinosinusitik
kronik tanpa polip nasi pada orang dewasa. Available at:
http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers. Cited on 25th Nov 2018.
13. Iskandar N, Supardi EA. (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorokan. Edisi Keempat, Jakarta FKUI, 2000; 91, 122-31.

Anda mungkin juga menyukai