SINUSITIS MAKSILARIS
Disusun Oleh
Pembimbing
“SINUSITIS MAKSILARIS”
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan kepaniteraan klinik Telinga
Disusun oleh:
Telah diterima dan disetujui dr. Farida Nurhayati, Sp. THT-KL, M. Kes selaku dosen
pembimbing departemen Telinga Hidung Tenggorok RSUD dr. Chasbullah Abdulmadjid
Kota Bekasi
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan YME karena berkat dan rahmat-
Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Sinus Maksilaris” dengan
baik. Tujuan dari penyusunan laporan kasus ini guna memenuhi salah satu syarat
Terimakasih kami ucapkan kepada dr. Farida Nurhayati, Sp. THT-KL, M. Kes Sp.
THT-KL selaku dosen pembimbing kami karena telah membantu mengarahkan serta
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam laporan kasus ini. Oleh
karena itu penulis mohon maaf bila terdapat kesalahan penulisan atau kata-kata yang kurang
berkenan di hati pembaca. Kritik dan saran dari pembaca sangat membantu sebagai masukan
bagi penulis di kemudian hari. Semoga laporan kasus ini dapat memberi informasi yang
bermanfaat bagi pembaca pembaca dan tentunya bagi penulis yang sedang menjalani
kepaniteraan klinik stase THT RSUD dr. Chasbullah Abdulmadjid Kota Bekasi. Terima kasih
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Sinusitis merupakan inflamasi dari mukosa sinus paranasal. Sinusitis yang terjadi seringkali
disertai rhinitis, sehingga pada beberapa studi sering juga disebut rhinosinusitis. Sinusitis dapat terjadi
Sinus merupakan bagian dari fisiologi hidung terutama berfungsi pada pengaturan udara yang
masuk serta pembentukan mukus. Terjadinya sumbatan akibat adanya peradangan dapat menimbulkan
gejala nyeri pada pasien. Hal ini paling sering terjadi pada sinus ethmoidalis dan juga sinus maxillaris
Infeksi virus, bakteri ataupun adanya deviasi septum merupakan beberapa penyebab
terjadinya sinusitis. Seringkali sinusitis juga disebabkan oleh infeksi ditempat lain seperti di gigi
rahang atas yang menyebar ke sinus. Sinusitis dapat menjadi berbahaya bila menimbulkan komplikasi
ke orbita dan intrakranial serta meningkatkan gejala asma yang sulit diobati.2
Di Amerika, sinusitis terdiagnosa pada 1 dari 8 orang pasien, dan setiap tahunnya terdapat 30
juta kasus sinusitis yang dapat didiagnosis. Sedangkan di Indonesia, sinusitis merupakan kasus yang
sering terjadi. Pada buku panduan klinis yang dibuat oleh PERHATI KL, sinusitis kronik menjadi
salah satu dari tiga penyakit yang paling sering terjadi sehingga di bahas pada buku panduan tersebut.
Pada penelitian di RSUP Haji Adam Malik tahun 2011, didapatkan insidensi penyakit ini paling
sering pada rentang umur 31-45 tahun (31,6%), perempuan lebih rentan mendapat rinosinusitis kronis
(54,2%) dan keluhan utama yang paling banyak didapati adalah hidung tersumbat (56,8%).3,4,5
BAB II
LAPORAN KASUS
Membran Timpani Intak, Refelek Cahaya (+) Intak, Reflek cahaya (+)
Pasien datang ke Poliklinik THT datang dengan keluhan utama hidung terasa
tersumbat. Pasien terkadang merasa nyeri kepala terutama di bagian pipi dan terkadang
mencium bau tidak enak seperti bau amis. Pasien juga mengaku sering bersin-bersin bila
terkena debu. Pada saat pemeriksaan fisik, ditemukan hipertrofi konka bilateral dan livid.
2.6. Tatalaksana
Asam traneksamat
Dexketrofen
- Edukasi: Pasien diharuskan tidur dalam posisi miring setelah operasi. Pipi kanan pasien
dapat dikompres menggunakan es setelah operasi, maupun bila terjadi perdarahan. Pasien
juga disarankan untuk rajin memakai masker apabila berada di lingkungan yang mungkin
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Anatomi
3.1.1. Anatomi Hidung
Hidung dibagi menjadi dua bagian, yaitu hidung bagian luar dan hidung
bagian dalam (rongga nasal) yang dibatasi oleh apertura piriformis. 5
Hidung bagian luar memiliki ukuran dan bentuk yang berbeda pada setiap
orang. Pada bagian atas, terdapat cartilago nasi lateralis yang membentuk atap, lalu
kartilago alaris major dengan crus lateral dan medial akan membentuk sayap hidung.
Dibagian tengah terdapat kartolago septi nasi. Dari bagian luar, nampak pangkal
hidung, dorsum nasi, puncak hidung, ala nasi dan lubang hidung. 6
Sinus paranasal memiliki inervasi, suplai darah dan drainase yang berbeda-
beda. Sinus frontalis dipersarafi oleh V1 (nervus supraorbital), diperdarahi oleh arteri
etmoidalis dan memiliki drainase melalui duktus frontonasal ke hiatus semilunaris
(meatus media). Sinus ethmoidalis dipersarafi oleh V1 (percabangan dari nervus
nasosiliaris) dan V2 (percabangan dari orbital), diperdarahi oleh arteri etmoidalis, dan
memiliki drainase dari ethmoid anterior ke hiatus semilunaris (meatus media) dan dari
tengah ke meatus media. Sinus sphenoidalis dipersarafi oleh V2 Ipercabangan dari
infraorbitl dan alveolar), diperdarahi oleh arteri faringealis (dari maxilaris) dan
memiliki drainase ke dalam recessus sphenoedmoidalis diatas konka superior. Sinus
maxillaris dipersarafi oleh V2 (percabangan dari intraorbital dan alvelar, diperdarahi
oleh arteri infraorbital dan alveolar, dan memiliki drainase ke dalam hiatus
6
semilunaris (meatus media).
3.2. Fisiologi Hidung
a. Fungsi Respirasi
Secara anatomis, hidung merupakan sebuah tempat tahanan udara sebelum masuk
ke dalam jalan nafas. Sehingga pada hidung, udara dapat diatur tekanannya,
dibersihkan dan dihangatkan. Hal ini untuk membantu agar kualitas udara yang
masuk memiliki kualitas yang lebih baik serta bersih dari partikel-partikel yang
tidak dibutuhkan. Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut
lendir. Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 370C. Fungsi
pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel
dan adanya permukaan konka dan septum yang luas. Partikel debu, virus, bakteri,
dan jamur yang terhirup bersama udara akan disaring di hidung oleh: rambut
(vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat
pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan reflex
bersin. 2,5
b. Fungsi Penghidu
Hidung bekerja sebagai indera penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada
atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau
dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik
napas dengan kuat. 2,5
c. Fungsi Fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.
Pada bunyi tertentu seperti “m”, “n” dan “ing”, resonansi hidung merupakan hal
yang penting. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau
hilang, sehingga terdengar suara sengau (rhinolalia). Terdapat 2 jenis rhinolalia
yaitu rhinolalia aperta yang terjadi akibat kelumpuhan anatomis atau kerusakan
tulang di hidung dan mulut. Yang paling sering terjadi karena stroke, dan rhinolalia
oklusa yang terjadi akibat sumbatan benda cair (ketika pilek) atau padat (polip,
tumor, benda asing) yang menyumbat. 2,5
d. Fungsi Mukosiliar
Sinus merupakan rongga berisi udara dengan epitel kolumnar pseudostratifikasi,
bersilia yang diselingi sel-sel goblet. Silia di hidung akan menyapu mukosa menuju
pembukaan ostial. Obstruksi sinus ostia dapat menyebabkan penumpukan lendir dan
penurunan oksigenasi di rongga sinus.
Bila terjadi obstruksi di ostial, tekanan di rongga sinus dapat menurun, yang dapat
menimbulkan gejala nyeri pada pasien, terutama di daerah frontal. 2,5
e. Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor reflex yang berhubungan dengan saluran
cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan
reflex bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi
kelenjar liur, lambung, dan pankreas. 2
a. Sinusitis Akut
Sinusitis Maksilaris
Sinusitis maksilaris akut biasanya didahului infeksi saluran napas atas yang
ringan. Alergi hidung kronik, benda asing dan deviasi septum nasi merupakan faktor
predisposisi local yang paling sering ditemukan.Deformitas rahang-wajah, terutama
palatoskisis, dapat menimbulkan masalah pada anak. Anak-anak ini cenderung
menderita infeksi nasofaring atau sinus kronik dengan angka insidens yang lebih
tinggi. Sedangkan gangguan geligi bertanggung jawab atas sekitar 10 persen infeksi
sinus maksilaris akut.
Gejala infeksi sinusitis maksilaris akut berupa demam, malaise dan nyeri
kepala yang tak jelas yang biasanya reda dengan pemberian analgesic biasa seperti
aspirin. Wajah terasa bengkak, penuh dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala
mendadak. Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri
pada palapasi dan perkusi.
Sinusitis Etmoidalis
Sinusitis Frontalis
Sinus Sfenoidalis
Sinusitis sfenoidalis akut amat jarang. Sinusitis ini dicirikan oleh nyeri
kepala yang mengarah ke vertex cranium. Namun penyakit ini lebih lazim menjadi
bagian dari pansinusitis, dan oleh karena itu gejalanya menjadi satu dengan gejala
infeksi sinus lainnya.
b. Sinusitis Kronik
Sinusitis kronik adalah sinusitis yang berlangsung lebih dari 3 bulan. Pada
sinusitis akut, perubahan patologik membrane mukosa berupa infiltrate
polimorfonuklear, kongesti vascular dan deskuamasi epitel permukaan yang semuanya
reversible. Gambaran patologik sinusitis kronik adalah kompleks dan irreversible.
Mukosa umumnya menebal , membentuk lipatan-lipatan-lipatan atau pseudopoli.
Epitel permukaan tampak mengalami deskuamasi, regenerasi , metaplasia.
Kriteria rinosinusitis akut dan kronis pada penderita dewasa dan anak
berdasarkan gambaran klinik dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kriteria Rinosinusitis Akut dan Kronik pada Anak dan Dewasa
Menurut International Conference on Sinus Disease 1993 & 2004.
Di Amerika, sinusitis terdiagnosa pada 1 dari 8 orang pasien, dan setiap tahunnya
terdapat 30 juta kasus sinusitis yang dapat didiagnosis. Sedangkan di Indonesia, sinusitis
merupakan kasus yang sering terjadi. Insiden terjadinya sinusitis meningkat seiring
dengan meningkatnya kasus asma, alergi, dan penyakit traktus respiratorius lainnya. Pada
buku panduan klinis yang dibuat oleh PERHATI KL, sinusitis kronik menjadi salah satu
dari tiga penyakit yang paling sering terjadi sehingga di bahas pada buku panduan
tersebut. Pada penelitian di RSUP Haji Adam Malik tahun 2011, didapatkan insidensi
penyakit ini paling sering pada rentang umur 31-45 tahun (31,6%), perempuan lebih
rentan mendapat rinosinusitis kronis (54,2%) Angka perbandingannya 20% perempuan
dibanding 11.5% laki-laki dan keluhan utama yang paling banyak didapati adalah hidung
tersumbat (56,8%).
3.6. Etiologi dan Faktor Resiko Sinusitis
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam
rhinitis terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung,
kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks osteo-
meatal, infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia seperti pada
sindroma Kartegener, dan di luar negeri adalah penyakit fibrosis kistik.
Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis
sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan
menyembuhkan rhinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis dengan foto polos
leher posisi lateral. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan yang berpolusi,
udara dingin dan kering, serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama-lama menyebabkan
perubahan mukosa dan merusak silia.2
Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media baik
untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut
sebagai rinosinusitis akut bakterial dan memerlukan antibiotik.
Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi), inflamasi
berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri berkembang. Selanjutnya terjadi perubahan
jaringan menjadi hipertrofi, polipoid atau pembentukan kista. Polip nasi dapat menjadi
manifestasi klinik dari penyakit sinusitis. Polipoid berasal dari edema mukosa, dimana
stroma akan terisi oleh cairan interseluler sehingga mukosa yang sembab menjadi
polipoid. Bila proses terus berlanjut, dimana mukosa yang sembab makin membesar dan
kemudian turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai, sehingga terjadilah
polip. Pada keadaan ini mungkin diperlukan tindakan operasi.7
Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, post nasal drip yang
menyebabkan batuk dan sesak pada anak. Untuk mendiagnosis rhinosinusitis
memerlukan 2 faktor mayor atau 1 faktor mayor 2 faktor minor. Jika hanya 1 faktor
mayor atau 2 faktor minor ini harus dimasukkan dalam diagnosis diferensial. 7
Tabel 2. SIGNS AND SYMPTOMS ASSOCIATED WITH DIAGNOSIS OF
RHINOSINUSITIS (1996) RHINOSINUSITIS TASK FORCE)
Kebas atau rasa penuh pada muka Demam (pada sinusitis kronik)
Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Kadang-kadang hanya 1
atau 2 dari gejala-gejala dibawah ini yaitu sakit kepala kronik, post-nasal drip, batuk kronik,
gangguan tenggorok, gangguan telinga, akibat sumbatan kronik muara tuba Eustachius,
gangguan ke paru seperti bronkitis (sino-bronkitis), bronkiektaksis dan yang penting adalah
serangan anak, mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis.
Tabel 3. REQUIREMENTS FOR DIAGNOSIS OF CHRONIC RHINOSINUSITIS
(2003 TASK FORCE)
> 12 minggu Satu atau lebih dari gejala 1. perubahan pada hidung, polip, atau
gejala terus tersebut polypoid pembengkakan pada
menerus rhinoskopi anterior (dengan
decongestion) atau hidung
endoskopi
2. Edema atau eritema di meatus
tengah pada hidung endoskopi
3. Generalized atau lokal edema,
eritema, atau jaringan granulasi di
cavum hidung. Jika tidak
melibatkan meatus tengah,foto
diperlukan untuk diagnosis
4. Foto untuk memperjelas diagnosis
(foto polos atau computerized
tomography)
3. Diagnosis Sinusitis
Anamnesis
Riwayat rinore purulen yang berlangsung lebih dari 7 hari, merupakan keluhan yang
paling sering dan paling menonjol pada rinosinusitis akut. Keluhan ini dapat disertai
keluhan lain seperti sumbatan hidung, nyeri/rasa tekanan pada muka, nyeri kepala,
demam, ingus belakang hidung, batuk, anosmia/hiposmia, nyeri periorbital, nyeri gigi,
nyeri telinga dan serangan mengi (wheezing) yang meningkat pada penderita asma.8
Pada rinositis akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada anak sering ada
pembengakakan dan kemerahan di daerah kantus medius.
Palpasi Nyeri tekan pada pipi dan nyeri ketuk di gigi menunjukan adanya
sinusitis maksila. Pada sinusitis frontal terdapat nyeri tekan di dasar sinus frontal, yaitu
pada bagian medial atap orbita. Sinusitis etmoid menyebabkan rasa nyeri tekan di daerah
kantus medius.8
Gambar 7. Foto lateral menunjukkan gambaran air fluid level di sinus maksilla
(Kennedy, 2009)
Figure 3. Cornal CT scan of patient with significant right
maxiallry and ethmoid sinus onstruction and air-fluid level of
left maxillary sinus
3.10. Penatalaksanaan
1. Mempercepat penyembuhan
2. Mencegah komplikasi
3. Mencegah perubahan menjadi kronik
Prinsip penatalaksanaan rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang dewasa
dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan medikamentosa dan pembedahan. Pada
rinosinusitis kronik (tanpa polip nasi), terapi pembedahan mungkin menjadi pilihan yang
lebih baik dibanding terapi medikamentosa. Adanya latar belakang seperti alergi, infeksi dan
kelainan anatomi rongga hidung memerlukan terapi yang berlainan juga.8,9,10
Terapi Medikamentosa
Terapi Pembedahan
Terapi bedah yang dilakukan bervariasi dimulai dengan tindakan sederhana dengan
peralatan yang sederhana sampai operasi menggunakan peralatan canggih endoskopi.
Beberapa jenis tindakan pembedahan yang dilakukan untuk rinosinusitis kronik tanpa polip
nasi ialah:13
1. Sinus maksila:
a. Irigasi sinus (antrum lavage)
b. Nasal antrostomi
c. Operasi Caldwell-Luc
2. Sinus etmoid:
a. Etmoidektomi intranasal, eksternal dan transantral
3. Sinus frontal:
a. Intranasal, ekstranasal
b. Frontal sinus septoplasty
c. Fronto-etmoidektomi
4. Sinus sfenoid :
a. Trans nasal
b. Trans sfenoidal
5. FESS (functional endoscopic sinus surgery), dipublikasikan pertama kali oleh
Messerklinger tahun 1978. Indikasi tindakan FESS adalah:
a. Sinusitis (semua sinus paranasal) akut rekuren atau kronis
b. Poliposis nasi
c. Mukokel sinus paranasal
d. Mikosis sinus paranasal
e. Benda asing
f. Osteoma kecil
g. Tumor (terutama jinak, atau pada beberapa tumor ganas)
h. Dekompresi orbita / n.optikus
i. Fistula likuor serebrospinalis dan meningo ensefalokel
j. Atresia koanae
k. Dakriosistorinotomi
l. Kontrol epistaksis, Tumor pituitari, ANJ, tumor pada skull base
3.11. KOMPLIKASI
Pada era pra antibiotika, komplikasi merupakan hal yang sering terjadi dan seringkali
membahayakan nyawa penderita, namun seiring berkembangnya teknologi diagnostik dan
antibiotika, maka hal tersebut dapat dihindari. Komplikasi rinosinusitis kronik tanpa polip
nasi dibedakan menjadi komplikasi orbita, oseus/tulang, endokranial dan komplikasi
lainnya.6,11
1.1.Komplikasi orbita :
a) Selulitis periorbita
b) Selulitis orbita. Edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif
menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk
c) Abses subperiosteal. Pus terkumpul di antara periorbita dan dinding
tulang orbita menyebabkan proptosis dan kemosis
d) Abses orbita. Pada tahap ini, pus telah menembus periosteum dan
bercampur dengan isi orbita
e) Trombosis sinus kavernosus. Komplikasi ini merupakan akibat
penyebaran bakteri melalui saluran vena ke dalam sinus kavernosus di m
anaselanjutnya terbentuk suatu tromboflebitis septic.
3.12. Prognosis
Prognosis untuk penderita sinusitis akut yaitu sekitar 40 % akan sembuh secara
spontan tanpa pemberian antibiotik. Terkadang juga penderita bisa mengalami relaps setelah
pengobatan namun jumlahnya sedikit yaitu kurang dari 5 %. Komplikasi dari penyakit ini
bisa terjadi akibat tidak ada pengobatan yang adekuat yang nantinya akan dapat
menyebabkan sinusitis kronik, meningitis, brain abscess, atau komplikasi extra sinus lainnya.
Sedangkan prognosis untuk sinusitis kronik yaitu jika dilakukan pengobatan yang dini maka
akan mendapatkan hasil yang baik.13
BAB IV
PEMBAHASAN
Seorang laki-laki usia 49 tahun datang berobat ke Poliklinik THT-KL dengan keluhan
hidung tersumbat dan penuh sejak 4 minggu SMRS. Keluhan hidung tersumbat dirasakan
hilang timbul. Pasien juga mengeluhkan adanya cairan yang keluar melalui hidung. Cairan
berwarna kuning kehijauan dan tercium bau yang tidak enak. Kadang pasien juga merasakan
ada cairan yang turun dari belakang hidung ke tenggorok, nyeri pada pipi sebelah kanan dan
dalam satu minggu terakhir pasien juga mengeluhkan sakit kepala. Pasien juga mengatakan
sering bersin-bersin terutama saat sedang bersih-bersih.
Berdasarkan anamnesis pasien mengaku hidung terasa penuh dan tersumbat serta adanya
pengeluaran cairan bening yang lama kelamaan berubah menjadi kuning kehijauan, kental
dan berau. Hal ini sesuai dengan teori bahwa organ-organ yang membentuk KOM
(kompleks osteo meatal) letaknya berdekatan dan apabila terjadi edema, mukosa yang
berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat.
Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya
transudasi berupa serous. Kondisi ini biasanya di anggap sebagai rhinosinusitis non bakterial
dan biasanya akan sembuh dalam beberapa hari. Jila kondisi ini menetap, sekret yang
terkumpul dalam sinus akan menjadi mediator yang baik untuk pertumbuhan bakteri sehingga
sekter akan berubah menjadi purulen.
Sinusitis akut dapat disebabkan oleh rinitis akut, infeksi faring, infeksi gigi rahang atas
(dentogen), dan trauma. Gejala klinis dapat berupa demam dan rasa lesu. Pada hidung
dijumpai ingus kental. Dirasakan nyeri didaerah infraorbita dan kadang-kadang menyebar ke
alveolus. Penciuman terganggu dan ada perasaan penuh dipipi waktu membungkuk ke depan.
Pada pemeriksaan tampak pembengkakan di pipi dan kelopak mata bawah. Pada rinoskopi
anterior tampak mukosa konka hiperemis dan edema. Pada rinoskopi posterior tampak
mukopus di nasofaring post nasal drip. Terapi medikamentosa berupa antibiotik selama 10-14
hari. Pengobatan local dengan inhalasi, pungsi percobaan dan pencucian.
Sinusitis kronik dapat disebabkan oleh pneumatisasi yang tidak memadai, makanan yang
tak memadai, reaksi atopic, lingkungan kotor, sepsis gigi dan variasi anatomi. Gejala berupa
kongesti atau obstruksi hidung, nyeri kepala setempat, sekret di hidung, sekret pasca nasal
(post nasal drip), gangguan penciuman dan pengecapan.
Pada rinoskopi anterior ditemukan sekret kental purulen dari meatus medius. Pada
rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring. Pengobatan sinusitis kronik
dilakukan secara konservatif dengan antibiotik selama 10 hari, dekongestan lokal dan
sistemik, juga dapat dilakukan diatermi gelombang pendek selama 10 hari di daerah sinus
maksila, pungsi dan irigasi sinus.
1. Transluminasi: pemeriksaan ini akan memberikan hasil yang bermakna apabila hanya
salah satu sinus yang terkena. Hasil pemeriksaan transluminasi positif menunjukkan
adanya perbedaan cahaya antara sinus yang normal dan sinus yang sakit
2. Foto water: merupakan salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat membantu dalam
penegakan diagnosa sinusitis. Hasil pemeriksaan foto waters menunjukkan
adanya gambaran perselubungan dengan gambaran penebalan dari mukosa atau dapat
ditemukan adanya gambaran air fluid level.
3. CT Scan: merupakan tes yang paling sensitif dalam mengungkapkan kelainan anatomis
selain melihat adanya cairan dalam sinus. Tetapi karena mahal, CT scan
jarang dipakai sebagai skrining awal dalam menegakan diagnosa sinusitis.
Sebelum dilakukan antrostomy sinusitis maxillaris dextra dan turbinektomi inferior KND
dilakukan beberapa pemeriksaan seperti pemeriksaan rontgen thoraks dan pemeriksaan
laboratorium darah. Pada hasil dari pemeriksaan radiologi dari gambaran rontgen SPN
didapatkan kesan sinusitis maxillaris dextra dan hipertrofi konka nasalis bilateral, dari hasil
foto thoraks didapatkan kesan TB paru lama, dari hasil ekg dengan hasil cardiac
compensated, dan dari pemeriksaan lab dalam batas normal.
Pada pasien ini dilakukan antrostomy sinusitis maxillaris dextra dan turbinektomi inferior
KNDS. Dimana komplikasi dari tindakan operasi berupa perdarahan dan gangguan
penciuman. Pemberian antibiotic juga diperlukan untuk mencegah infeksi pasca operasi.
BAB V
KESIMPULAN
Sinus paranasal terdiri dari empat pasang, yaitu sinus frontal, sinus etmoid,sinus maksila,
dan sinus sfenoid. Sinus paranasal dalam kondisi normal mengalirkan sekresi dari mukosa ke
daerah yang berbeda dalam kavum nasi. Sinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang
terjadi karena alergi atau infeksi virus, bakteri maupun jamur. Sinusitis bisa terjadi pada salah
satu dari keempat sinus yang ada (maksilaris, etmoidalis, frontalis atau sfenoidalis).
Sinusitis bisa bersifat akut (berlangsung selama 3 minggu atau kurang) maupun kronis
(berlangsung selama 3-8 minggu tetapi dapat berlanjut sampai berbulan-bulan
bahkan bertahun-tahun). Keluhan utama sinusitis akut adalah hidung tersumbat disertai nyeri
atau tekanan pada wajah dan sekret purulen, yang seringkali turun ke tenggorokan (postnasal
drip).
Prognosis untuk penderita sinusitis akut yaitu sekitar 40 % akan sembuh secaraspontan
tanpa pemberian antibiotik. Terkadang juga penderita bisa mengalami relaps setelah
pengobatan namun jumlahnya sedikit yaitu kurang dari 5 %. Komplikasi dari penyakit ini
bisa terjadi akibat tidak ada pengobatan yang adekuat yang nantinya akan dapat
menyebabkan komplikasi orbita atau intrakranial.
DAFTAR PUSTAKA