Anda di halaman 1dari 54

LAPORAN KASUS

OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK TIPE AMAN AKTIF


AURIKULA DEXTRA DENGAN RHINITIS ALERGI
PERSISTEN RINGAN

Oleh:

Yussi Septiana 112018010

Pembimbing:

dr. Riza Rizaldi, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN

PERIODE 19 OKTOBER 2020 – 21 NOVEMBER 2020


2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................................1
LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN KASUS.....................................................................2
DAFTAR ISI...........................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................4
1.1 Latar Belakang.....................................................................................4
1.2 Tujuan Penulis.........................................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................5
2.1 Anatomi Telinga……………………......................................................................5
2.1.1 Telinga tengah…….....................................................................................5
2.2 Anatomi Hidung....................................................................................................10
2.3 Otitis Media Supuratif Kronik.........................................................................15
2.3.1 Etiologi OMSK....................................................................16
2.3.2 E p i d e m i o l o g i O M S K . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1 6
2.3.3 K l a s i f i k a s i O M S K . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1 6
2.3.4 Patofisiologi OMSK..........................................................17
2.3.5 Gejala Klinis OMSK......................................................18
2.3.6 K o m p l i k a s i O M S K . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2 1
2.3.6.1 Komplikasi Intratemporal..........................................................23
2.3.6.2 Komplikasi Intrakranial..............................................................24
2.3.7 Tatalaksana OMSK....................................................................26
2.4 R i n i t i s A l e r g i . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3 0
2.4.1 Etiologi Rinitis Alergi .........................................................................31
2.4.2 Faktor Resiko…………………………………………………………31
2.4.3 Patofisiologi Rinitis Alergi.....................................................................34
2.4.4 Klasifikasi Rinitis Alergi.................................................36
2.4.5 Gejala Klinik Rinitis Alergi............................................................37
2.4.6 Diagnosis Klinis Rinitis Alergi...........................................................38
2.4.7 Penatalaksanaan Rinitis Alergi.......................................................40
2.4.8 Komplikasi Rinitis Alergi............................................................42
BAB III LAPORAN KASUS............................................................................43
BAB IV PEMBAHASAN.............................................................................51
BAB V KESIMPULAN...........................................................................................52
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................53

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Otitis media adalah suatu peradangan pada sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah,
tuba eustachius, antrum mastoid atau sel-sel mastoid. Otitis media dibagi menjadi otitis
media supuratif dan otitis media nonsupuratif. Pada masing-masing klasifikasi, otitis
media bisa dalam bentuk akut maupun kronis. Pada laporan kasus ini akan dibahas
mengenai otitis media supuratif yang bersifat kronis atau disingkatsebagai OMSK, atau
dalam bahasa awam disebut sebagai congek. Otitis media supuratif kronis (OMSK)
merupakan radang pada telinga tengah yang ditandai dengan adanya perforasi membran
timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah. Sekret bisa keluar terus menerus atau
hilang timbul, sekret mungkin encer atau pun kental. OMSK ini juga dibagi menjadi 2,
yaitu OMSK tipe tenang (tipe mukosa/tipe benigna) dan OMSK tipe bahaya (tipe
tulang/tipe maligna).
Secara umum, prevalensi OMSK di Indonesia ini antara 3,8% dan pasien OMSK
merupakan 25% dari jumlah kasus pasien-pasien yang berobat di poliklinik THT di rumah
sakit. Kehidupan sosial ekonomi yang rendah, lingkungan yang kurang bersih, status
kesehatan serta gizi yang buruk merupakan faktor yang menjadi dasar meningkatnya
prevalensi OMSK di negara berkembang.

1.2 Tujuan Penulis


Tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk memenuhi tugas kepaniteraan
klinik bagian Ilmu Telinga, Hidung, dan Tenggorokan (THT) FK UKRIDA di RSUD
Tarakan dan laporan ini juga dibuat untuk memperluas wawasan para pembaca mengenai
OMSK tipe bahaya dengan harapan pembaca dapat mengerti dan memahami tentang
OMSK berdasarkan teori dan membandingkannya dengan kasus yang ditemukan di
lapangan.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Telinga


2.1.1 Telinga Tengah
Telinga tengah atau rongga timpani adalah ruang dalam tulang temporal yang
berisi tulang pendengaran. Rongga timpani bagian lateral dibatasi oleh membran
timpani, medial oleh dinding lateral telinga dalam berturut-
turut dari atas ke bawah kanalis semisirkularis horizontal, kanalis fasialis, tingkap
lonjong, tingkap bundar, promontorium. Batas atas dengan tegmen timpani, batas
bawah bulbus jugularis, dan di depan dengan tuba eustachii.4,5
Menurut ketinggian batas superior dan inferior membran timpani, kavum
timpani dibagi menjadi tiga bagian, yaitu epitimpanum yang merupakan bagian
kavum timpani yang lebih tinggi dari batas superior membran timpani,
mesotimpanum yang merupakan ruangan di antara batas atas dengan batas bawah
membran timpani, dan hipotimpanum yaitu bagian kavum timpani yang terletak lebih
rendah dari batas bawah membran timpani. Diameter vertikal dan antero-posterior
rongga masing-masing sekitar 15 mm. Diameter transversal ukuran sekitar 6 mm. di
atas dan 4 mm. bawah, berlawanan pusat dari membran timpani itu hanya sekitar 2
mm.4,5
Di dalam kavum timpani terdapat tiga buah tulang pendengaran (osikel), dari
luar ke dalam maleus, inkus dan stapes. Dua otot tensor timpani (muskulus tensor
timpani) dan otot stapedius. Selain itu terdapat juga korda timpani merupakan cabang
dari nervus fasialis masuk ke kavum timpani dari analikulus posterior yang
menghubungkan dinding lateral. Saraf pleksus timpanikus yang berasal dari n. timpani
cabang dari nervus glosofaringeus dan dengan nervus karotikotimpani yang berasal
dari pleksussimpatetik disekitar arteri karotis interna 4,5

5
Gambar 1. Telinga Luar8

Membran timpani (membrana timpani) memisahkan rongga timpani dari dasar


meatus akustik eksternal. Ini adalah membran, tipis semitransparan, bentuknya
hampir oval, agak lebih luas atas dari bawah, dan diarahkan sangat miring ke bawah
dan ke dalam sehingga membentuk sudut sekitar lima puluh lima derajat dengan lantai
meatus. Diameternya terpanjang adalah ke bawah dan ke depan, panjang vertical rata-
rata 9-10 mm, ukuran diameter terpendek antero posterior yang 8-9 mm.. Sebagian
besar dari lingkar adalah menebal dengan ketebalan 0.1 mm, dan membentuk sebuah
cincin fibrokartilaginosa yang tetap dalam sulkus timpani di ujung bagian dalam
meatus. Manubrium malleus yang melekat erat pada permukaan medial membran
sejauh pusatnya, yang menarik ke arah rongga timpani, permukaan lateral membran
demikian cekung, dan bagian yang paling tertekan cekung ini bernama Umbo.
Secara Anatomis membrana timpani dibagi dalam 2 bagian yaitu pars tensa yang
merupakan bagian terbesar dari membran timpani suatu per-mukaan yang tegang dan
bergetar dengan sekelilingnya yang menebal dan melekat di anulus timpanikus pada
sulkus timpanikus pada tulang dari tulang temporal. Pars flaksida atau membran
Shrapnell, letaknya dibagian atas muka dan lebih tipis dari pars tensa. Pars flaksida
dibatasi oleh 2 lipatan yaitu plika maleolaris anterior (lipatan muka) dan plika
maleolaris posterior (lipatan belakang).1,5,6

Membran timpani mempunyai tiga lapisan yaitu :


1. Stratum kutaneum (lapisan epitel) berasal dari liang telinga.

6
2. Stratum mukosum (lapisan mukosa) berasal dari kavum timpani.
3. Stratum fibrosum (lamina propria) yang letaknya antara stratum kutaneum dan
mukosum.

Gambar 2. Anatomi membran tympani9

Arteri dari membran timpani berasal dari cabang auricularis dari maxillary
internal, yang ramifies bawah lapisan kulit, dan dari cabang stylomastoideum dari
aurikularis posterior, dan cabang timpani dari maxillary internal, yang didistribusikan
pada permukaan mukosa. Vena superfisial terbuka ke jugularis eksternal, yang pada
permukaan dalam mengalirkan sebagian ke dalam sinus melintang dan pembuluh darah
dari dura mater, dan sebagian menjadi pleksus pada tabung pendengaran. Membran
menerima saraf utamanya pasokan dari cabang auriculotemporal mandibula tersebut;
cabang auricularis nervus vagus, dan cabang timpani dari glossopharingeus juga
menyediakan itu.4
Tabung pendengaran (tuba auditiva, tuba Eustachio) adalah saluran melalui
rongga timpani berhubungan dengan bagian hidung faring. Panjangnya kira-kira 36 mm,
dan. Arahnya adalah ke bawah, ke depan, dan medial, membentuk sudut sekitar 45
derajat dengan bidang sagital dan salah satu dari 30 sampai 40 derajat dengan bidang
horisontal. Hal ini dibentuk sebagian dari tulang, sebagian dari tulang rawan dan
jaringan fibrosa. 4,5
Tuba eustachius, terdiri dari 2 bagian yaitu : bagian tulang yang terdapat pada
bagian belakang dan pendek (1/3 bagian) dan bagian tulang rawan yang terdapat pada
bagian depan dan panjang (2/3 bagian). Fungsi tuba Eusthachius untuk ventilasi telinga

7
yang mempertahankan keseimbangan tekanan udara di dalam kavum timpani dengan
tekanan udara luar, drainase sekret yang berasal dari kavum timpani menuju ke
nasofaring dan menghalangi masuknya sekret dari nasofaring menuju ke kavum
timpani. Tabung dibuka selama deglutition oleh Salpingopharyngeus dan tubæ
Dilatator. Yang terakhir muncul dari kait tulang rawan dan dari bagian membran tabung,
dan menyatu di bawah ini dengan Tensor veli palatini.3-5

Gambar 3. Tuba eustachi, dalam pemotongan sumbu panjang.9

Korda timpani saraf dilepaskan dari wajah saat melewati bawah belakang
rongga timpani, sekitar 6 mm. dari foramen stylomastoideum. Ini berjalan ke atas dan
ke depan dalam kanal, dan memasuki rongga timpani, melalui lobang (iter korda
posterius) pada dinding posteriornya, dekat dengan permukaan medial batas posterior
dari membran timpani dan pada tingkat dengan ujung atas manubrium malleus. Ini
melintasi rongga timpani, antara lapisan berserat dan lendir dari membran timpani,
melintasi manubrium malleus, dan muncul dari rongga melalui foramen terletak di
ujung bagian dalam fisura petrotympanic, dan bernama iter korda anterius (kanal dari
Huguier). Kemudian turun antara eksternus Pterygoideus dan internus pada permukaan
medial dari spina angularis dari sphenoid, yang kadang-kadang alur, dan bergabung,
pada sudut akut, batas posterior dari nervus lingualis. Ini menerima serat eferen

8
beberapa dari akar motorik, ini memasuki ganglion submaxillary, dan melalui itu
didistribusikan ke kelenjar submaxillary dan sublingual, sebagian besar serat yang
sangat aferen, dan seterusnya lanjutan melalui substansi otot lidah ke selaput lendir
meliputi anterior yang dua-pertiga, mereka merupakan saraf rasa untuk bagian ini lidah.
Sebelum bersatu dengan nervus lingualis yang Korda timpani bergabung dengan
cabang kecil dari ganglion otic.

Gambar 4. Membrana timpani kanan dengan Korda timpani, dilihat dari dalam, dari belakang, dan dari atas.

2.2 Anatomi Hidung


Pada saluran nafas atas terdiri dari 1. Hidung (nasal), terdiri dari hidung bagian luar dan
hidung bagian dalam, 2. Sinus paranasal, 3. Faring, 4. Laring. Hidung bagian luar
berbentuk piramid dan terbagi menjadi beberapa bagian seperti pangkal hidung (bridge/
root/ radix), batang hidung(dorsum), puncak hidung( tip/ apex), ala nasi, kolumela, dan
lubang hidung(nares anterior). Kerarah inferior hidung memiliki dua pintu yang disebut
nares atau nostril yang terpisah oleh septum nasi, septum nasi yang berada pada bagian
annterior pemisah nares anterior disebut dengan kolumela. Dorsum hidung membentang
dari radix/root (dekat dengan pertengahan mata) dan apex(ujung lancip hidung).
Permukaan infero-lateral hidung berakhir pada alae nasi yang bulat.1-3

9
Penyangga hidung terdiri dari tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit, jaringan
ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan dan mengecilkan lubang
hidung. Rangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasale), processus frotaslis os
maxillae, dan bagian prosesus nasalis os frontalis. Rangka tulang rawan terdiri dari
kartilagosepti nasi, kartilagonasi lateral, dan kartilagoala nasi minor dan major /
kartilagonasalis lateralis inferior. (Gambar 9).4,7

Gambar 5. Struktur tulang hidung.4,7

Rongga hidung kearah anterior akan berhubungan dengan wajah melalui nares
anterior dan arah posterior akan berhubungan dengan nasopharynx melalui koana/ nares
posterior. Septum nasi akan memisahkan rongga hidung atau kavum nasi menjadi kavum
nasi kanan dan kiri. Pada rongga hidung setelah nares yang letaknya sesuai dengan ala nasi
pada bagian luar disebut dengan vestibulum, bagian ini akan dilapisi kulit yang memiliki
rambut hidung yang disebut vibrise berguna untuk menahan aliran partikel yang
terkandung dalam udara dan banyak kelenjar sebasea. Hidung memiliki 4 dinding yaitu
dinding medial, lateral, superior, dan inferior. Pada bagian medial terdapat septum nasi

10
yang terdiri dari 3 komponen yaitu lamina perpendikularis os. Etmoid pada bagian superior,
kartilagosepti nasi yang memanjang dari lubang hidung sampai perbatasan dengan tulang,
dan os. Vomer yang membentuk bagian posterior inferior. Bagain tulang dari septum nasi
yaitu lamina perpendikularis os etmoid, os vomer, krista nasalis os maksila, dan krista
nasalis os palatina. Sedangkan bagain tulang rawan terdiri dari kartilago septum nasi dan
kolumela.(gambar 10) Kearah dorsal vestibulum dibatasi oleh limen nasi dan kulit pada
vestibulum akan berubah menjadi lapisan mukosa.1-3

Gambar 6. Bagian Tulang Rongga Hidung.7

Dinding lateral hidung memperlihatkan 4 buah konka. Dari yang terbesar sampai
terkecil adalah konka inferior, media, superior, dan suprema. Konka inferior merupakan
tulang tersendiri yang melekat pada os maksila sedangakn konka superior, media, dan
suprema merupakan bagian dari os ethmoid. Diantara konka dan dinding lateral hidung
terdapat rongga sempit yang disebut dengan meatus. Meatus dibagi menjadi 3 yaitu meatus
superior, media, dan inferior. Di setiap meatus tersebut terdapat beberapa ludang yang
merupakan muara dari beberapa sinus. Di sebelah cranial dan dorsal terhadap concha
nasalis superior terdapat recessus speno-etmoidalis yang mengandung muara sinus
sphenoidalis. Meatus nasi superior yang terletak inferior terhadap concha nasalis superior
memperlihatkan sebuah lubang sebagai muara dari sinus ethmoidalis posterior. Meatus
nasi medius berada inferolateral terhadap concha nasalis medius, setinggi meatus medius
pada dinding lateral rongga hidung terdapat sebuah elevasi bulat yakni bulla ethmoidalis.
Bulla ethmoidalis dibentuk oleh ethmoidal sel atau agger nasi yang membentuk sinus

11
ethmoidalis medius yang bermuara pada bagian atas dari bulla tersebut. Letak bulla ini
berada diatas hiatus semilunaris yang merupakan celah berbentuk lengkung yang meluas
keatas sampai di sebelah depan bulla ethmoidalis. Disebelah infererior, hiatus ini menjadi
sebuah saluran yaitu infundibulum ethmoidale. Kedalam infundibulum ethmoidale ini
bermuara sinus ethmoidalis superior dan infundibulum ini berkesinambungan dengan
ductus nasofrontalis. Pada meatus nasi media terdapat muara dari sinus maksilaris yang
dibagian anteriornya terdapat muara dari sinus ethmoidalis anterior dan sinus frontalis.
Meatus nasi inferior, berada antara concha nasalis inferior dan dinding lateral hidung,
berisi muara ductus nasso lacrimalis(gambar 11). Rongga hidung memiliki batas-batas
tertentu. Pada bagian bawah dari rongga hidung terdapat bagian yang keras sebagai
pembatas dari rongga hidung dan mulut yaitu os palatum durum yang dilanjutkan bagian
yang mulai membelok ke arah nasopharynx adalah palatum molle dan os maksilla.
Dinding superior rongga hidung sempit dan melengkung dibentuk oleh lamina
kribriformis os ethmoidalis, tulang ini berlubang-lubang tempat masuknya serabut saraf
olfaktorius. Dinding medial dibatasi oleh septum nasi dan bagian lateral dibatasi oleh
konka pada rongga hidung.1-3

12
Gambar 7 . Rongga Hidung.4,7

Mekanisme pertahanan mukosa hidung yang terpenting adalah system mukosilia.


System ini terdiri dari silia epitel repiratorius, sel goblet dan palut lendir. Sebagian besar
permukaan kavum nasi dilapisi oleh mukosa respiratorius. Mukosa sinonasal secara histologis
terdiri dari mucous blanket (palut lendir), epitel kolumnal berlapus semu bersilia, membrana
basalis, lamina propia yang teridri dari lapisan subepitelial, lapisan media, dan lapisan kelenjar
profunda. Kulit pada vestibulum hidung sama seperti hidung bagian luar yang merupakan
epitel skuamosa berkeratinisasi terdiri dari vibrise, kelenjar sebasea dan kelenjar keringat. Pada
bagian anterior konka inferior epitel berkeratinisasi tadi bercampur dengan epitel skuamosa
tidak berkeratinisasi, epitel kolumnar tidak bersilia dan epitel respiratorius bersilia. Saat
mencapai nasofaring sel kolumner bercampur menjadi epitel skuamosa tidak berkeratinisasi
yang mirip dengan epitel rongga mulut.
Mukosa kavum nasi dilapisi oleh muko respiratorius dan mukosa olfaktorius. Sebagian
besar mukosa kavum nasi dilapisi oleh mukosa repiratorius. Mukosa respiratorius dilapisi oleh
epitel kolumnar pseudostratified bersilia yang merupakan kelanjutan dari sinus paranasal.
Epitel silia berperan dalam transportasi mukus dari kavum nasi ke nasofaring. Sedangkan atap
septum nasi dilapisi oleh mukosa olfaktorius.
Transport mukosilia adalah mekanisme pergerakan silua untuk mngalirkan sekret dari
kavum nasi ke nasofaring. Durasi dimana bahan partikel berjalan sepanjang permukaan kavum
nasi melalui transport mukosilia disebut dengan waktu transport mukosilia. Bentuk
sitoskeleton sel silia dan aktivitas dynein memungkinkan terjadinya Gerakan silua pada epitel
respiratorius secara metachronous. Silia bekerja menggerakkan sekresi mukus dari sel goblet
dan sekresi serous dari kelenjar hidung menuju nasofaring secara mekanik untuk

13
membersihkan udara inspirasi. Ujung silia dalam keadaan tegak akan masuk sepenuhnya
menembus gumpalan mukus dan menggerakkannya kea rah posterior Bersama-sama dengan
materi asing yang terperangkap di dalamnya ke arah esofagus. Lapisan cairan perisilia
dibawahnya yaitu cairan yang kurang viskus beserta partikel yang terlarut didalamnya juga
dialirkan ke arah posterior oleh aktivitas silia, tetapi mekanismenya belum diketahui dengan
jelas.
Kecepatan transport mukosilia sangat bervariasi. Pada orang sehat partikel yang ada
pada palut lendir dipindahkan oleh silia yang aktif dengan kecepatan 3-25mm/menit dan rata-
rata 6mm/menit. Adanya infeksi dapat menghambat system transport mukosilia yang efisien.
Sebuah penelitian mengatakan bahwa kecepatan transport mukosilia hidung pada penderita
rhinitis alergi menurun akibar sekresi hidung yang bersifat alkali, yang dimana merupakan
kondisi ildeal bagi fungsi silia. Walaupun demikian hal sebaliknya terjadi pada kasus rhinitis
alergi yang sangat lama, berkaitan dengan perubahan sifat reologi mukus hidung.

2.3 Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK)


Otitis media supurativa kronik(OMSK) sering disebut dengan congek pada kehidupan
sehari-hari. OMSK adalah infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi membran
timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus menerus atau hilang timbul. Sekret
dapat berupa sekret encer atau kental, bening atau nanah. OMA menjadi OMSK jika sudah
berlangsung lebih dari 2 bulan, jika kurang dari 2 bulan dapat disebut dengan otiits media
supurativa subakut.7,9

2.3.1 Etiologi OMSK


Bakteri yang dapat sering menyebabkan OMSK adalah Pseudomonas
aeruginosa, Stafilokokus aerus, Proteus, Klebsiela Pneumoniae, difteri, bakteri
anaerob(Bacteroides, Peptostreptokokus, proprionibakterium) dan jamur.
Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri tersering yang ditemukan pada sekret
OMSK. Faktor resiko dari OMSK adalah pengobatan OMA yang tidak adekuat,
kejadian ISPA, keadaan tempat tinggal yang padat dan tidak bersih, dan nutrisi yang
kurang. Beberapa studi menghubungkan kejadian OMSK dengan faktor lain seperti
perokok pasif, status sosial-ekonomi, dan ISPA tetapi belum terdapat kepastian.7,11

14
2.3.2 Epidemiologi OMSK
OMSK dapat terjadi pada setiap umur dan setiap ras. Kejadian pada negara
berkembang lebih banyak dari pada negara maju. Diperkirakan OMSK memiliki
angka kejadian sebanyak 65– 330 juta di seluruh dunia, 39-200 juta (60%) di
antaranya mengalami gangguan pendengaran. Pasifik barat dan asia tenggara
merupakan 85-90% populasi penderita OMSK dari seluruh dunia.pada asia tenggara,
yang memeiliki prevalensi tertinggi adalah india dengan prevalensi 7,8%. Pada
OMSK yang telah ditetapkan WHO prevalensi 1-2% dianggap rendah dan 3-6%
dianggap tinggi. Penelitian OMSK terakhir oleh Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia merupakan hasil Survei Nasional Kesehatan Indera Penglihatan dan
Pendengaran di 7 provinsi tahun 1993-1996, prevalensi ketulian 0,4% dan gangguan
pendengaran 16,8%. Penyebabnya, infeksi telinga tengah (3,1%) presbikusis (2,6%),
tuli akibat obat ototoksik (0,3%), tuli sejak lahir/kongenital (0,1%) dan tuli akibat
pemaparan bising. Di indonesia rata-rata angka kejadian gangguan pendengaran
adalah 2,6% (riskesdas, 2013).7,11

2.3.3 Klasifikasi OMSK


Pada OMSK terdapat perforasi membran timpani, perforasi ini memiliki letak
yang berbeda-beda sehingga dibedakan menjadi perforasi di darerah sentral, marginal,
dan atik. Perforasi sentral merupakan perforasi yang terdapat pada daerah pars tensa,
sedangkan di seluruh tepi perforasi masih terdapat sisa dari membran timpani.
Perforasi marginal merupakan perforasi yang sebagian perforasi berhubungan
langsung dengan anulus atau sulkus timpanikum. Perforasi atik merupakan perforasi
yang terletak pada pars flaksida.7
Terdapat 2 jenis OMSK yaitu OMSK tipe aman (tipe mukosa/ tipe benigna) dan
tipe bahaya (tipe tulang/ tipe maligna). Berdasarkan aktitivitas sekret yang keluar,
OMSK juga dapat dibedakan menjadi OMSK aktif dan tenang. OMSK aktif
merupakan OMSK yang disertai keluarnya sekret dari kavum timpani secara aktif,
sedangkan OMSK tenang hanya ditandai dengan kavum timpani yang terlihat basah
atau kering. OMSK tipe aman merupakan OMSK yang terbatas pada mukosa saja.
Perforasi pada OMSK tipe aman adalah perforasi yang terletak di sentral. OMSK tipe
aman jarang menyebabkan komplikasi yang berbahaya. Sedangkan OMSK tipe
bahaya adalah OMSK yang disertai dengan kolesteatoma. Perforasi membran timpani
pada OMSK tipe bahaya terletak pada merginal atau di atik. Pada perforasi yang

15
terletak pada bagian yang lebih perifer, epitel kulit (epitel skuamosa) dari liang telinga
masuk kedalam kavum timpani membentuk massa keratinaceus debris atau yang
dikenal dengan kolestearoma. Massa ini dapat berkembang menjadi besar dan
memiliki potensial mengerosi tulang dan memperluas infeksi. OMSK tipe bahaya
dapat menyebabkan komplikasi berbahaya seperti abses pada otak, meningitis, dan
paralisi dari saraf kranial VI.7,10

2.3.4 Patofisiologi OMSK


Perubahan tekanan udara, alergi, infeksi, dan sumbatan pada tuba eustachius
sehingga menggangu fungsi dari tuba. Gangguan fungsi tuba akan membuat tekanan
pada telinga tengah menjadi negatif. Perubahan tekanan negatif ini dapat membuat
terjadinya efusi yang dapat diperberat dengan infeksi virus dan alergi. Keadaan efusi
pada telinga tengah dapat menjadi OMA jika terjadi infeksi dari bakteri dari tuba
eustachius. OMA yang tidak diobati dengan baik dan bertahan lama merupakan
pemicu terjadinya OMSK. (gambar 15) Iritasi dan inflamasi pada telinga tengah
mengakibatkan edema mukosa telinga tengah. Inflamasi yang berkelanjunya pada
akhirnya akan menyebabkan ulkus dan hancurnya lapisan epitel pada mukosa. Host
akan berusaha melawan infeksi atau inflamasi, tetapi keadaan ini dapat memicu
terbentuknya granula pada mukosa(pada studi yang dilakukan oleh wang, sel-T pada
imunitas sel memiliki peran dalam pebentukan granula). Pada OMSK infeksi dapat
terjadi melalui perforasi pada membran timpani sehingga patogen dari liang telinga
dapat masuk. Inflamsi, infeksi, ulkus, dan pembentukan granul dapat berlangsung
terus menerus sampai menghancurkan bagian tulang pada sekitar yang menyebabkan
komplikasi.7,11,12

16
Gambar 8. Patogenesis OMSK.7

2.3.5 Gejala Klinis OMSK


Gejala klinis dari OMSK tipe bahaya seringkali menimbulkan komplikasi yang
berbahaya, maka perlu ditegakkan diagnosis dini. Walaupun diagnosis pasti baru
dapat ditegakkan di kamar operasi, namun beberapa tanda klinik dapat menjadi
pedoman akan adanya OMSK tipe bahaya, yaitu perforasi di marginal dan atik. Tanda
ini biasanya merupakan tanda dini dari OMSK tipe bahaya, sedangkan pada kasus
yang sudah lanjut dapat terlihat abses ataupun fistel retroaurikuler (belakang telinga),
polip atau jaringan granulasi di liang telinga luar yang berasal dari dalam telinga
tengah, terlihat kolesteatoma pada telinga tengah, sekret berbentuk nanah dan berbau
khas (aroma kolesteatoma) atau terlihat gambaran kolesteatoma pada foto rontgen
mastoid.
Pada OMSK tipe bahaya terdapat sekret yang berbau dan lebih sering purulen
dibandingkan dengan mukopurulen. Ketulian yang sangat berat sering terjadi karena
tulang tulang pendengaran sudah rusak, jika ditemukan polip dan jaringan granulasi
maka ditemukan perdarahan dari telinga yang terlihat. Gejala ini terjadi secara
insidous sehingga penderita tidak awas kapan awal terjadinya penyakitnya muncul,
tapi kebanyakan dari kasus – kasus yang ada, keluhan ini dimulai sejak masa kanak –
kanak.7,11
Terdapat beberapa gejala yang dapat timbul pada OMSK yaitu :
• Telinga berair (otore)

17
Sekret bersifat purulen (kental, putih) atau mukoid (seperti air dan encer)
tergantung stadium peradangan. Sekret yang mukus dihasilkan oleh aktivitas
kelenjar sekretorik telinga tengah dan mastoid. Pada OMSK tipe jinak, cairan
yang keluar mukus yang tidak berbau busuk yang sering kali sebagai reaksi
iritasi mukosa telinga tengah oleh perforasi membran timpani dan infeksi.
Keluarnya sekret biasanya hilang timbul. Meningkatnya jumlah sekret dapat
disebabkan infeksi saluran nafas atas atau kontaminasi dari liang telinga luar
setelah mandi atau berenang.
Pada OMSK stadium inaktif tidak dijumpai adannya sekret telinga.
Sekret yang sangat bau, berwarna kuning abu-abu kotor memberi kesan
kolesteatoma dan produk degenerasinya. Dapat terlihat keping-keping kecil,
berwarna putih, mengkilap. Pada OMSK tipe ganas unsur mukoid dan sekret
telinga tengah berkurang atau hilang karena rusaknya lapisan mukosa secara
luas. Sekret yang bercampur darah berhubungan dengan adanya jaringan
granulasi dan polip telinga dan merupakan tanda adanya kolesteatom yang
mendasarinya. Suatu sekret yang encer berair tanpa nyeri mengarah
kemungkinan tuberkulosis.7,11


Gangguan pendengaran
Ini tergantung dari derajat kerusakan tulang-tulang pendengaran.
Biasanya dijumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran.
Gangguan pendengaran mungkin ringan sekalipun proses patologi sangat hebat,
karena daerah yang sakit ataupun kolesteatom dapat menghantar bunyi dengan
efektif ke fenestra ovalis. Pada OMSK tipe maligna biasanya didapat tuli
konduktif berat karena putusnya rantai tulang pendengaran, tetapi sering kali
juga kolesteatom bertindak sebagai penghantar suara sehingga ambang
pendengaran yang didapat harus diinterpretasikan secara hati-hati.3,14

Penurunan fungsi koklea biasanya terjadi perlahan-lahan dengan


berulangnya infeksi karena penetrasi toksin melalui jendela bulat (foramen
rotundum) atau fistel labirin tanpa terjadinya labirinitis supuratif. Bila
terjadinya labirinitis supuratif akan terjadi tuli saraf berat. Hantaran tulang dapat
menggambarkan sisa fungsi koklea.7,11

• Otalgia (nyeri telinga)

18
Adanya nyeri tidak lazim dikeluhkan penderita OMSK dan bila ada
merupakan suatu tanda yang serius. Pada OMSK keluhan nyeri dapat karena
terbendungnya drainase pus. Nyeri dapat berarti adanya ancaman komplikasi
akibat hambatan pengaliran sekret, terpaparnya durameter atau dinding sinus
lateralis, atau ancaman pembentukan abses otak. Nyeri telinga mungkin ada
tetapi mungkin oleh adanya otitis eksterna sekunder. Nyeri merupakan tanda
berkembang komplikasi OMSK seperti petrositis, subperiosteal abses, atau
trombosis sinus lateralis.7,11

• Vertigo
Vertigo pada penderita OMSK merupakan gejala yang serius lainnya.
Keluhan vertigo seringkali merupakan tanda telah terjadinya fistel labirin akibat
erosi dinding labirin oleh kolesteatom. Pada penderita yang sensitif, keluhan
vertigo dapat terjadi karena perforasi besar membran timpani yang akan
menyebabkan labirin lebih mudah terangsang oleh perbedaan suhu. Penyebaran
infeksi ke dalam labirin juga akan menyebabkan keluhan vertigo. Vertigo juga
bisa terjadi akibat komplikasi serebelum. Fistula merupakan temuan yang serius,
karena infeksi kemudian dapat berlanjut dari telinga tengah dan mastoid ke
telinga dalam sehingga timbul labirinitis dan dari sana mungkin berlanjut
menjadi meningitis. Uji fistula perlu dilakukan pada kasus OMSK dengan
riwayat vertigo. Uji ini memerlukan pemberian tekanan positif dan negatif pada
membran timpani.7,11

2.3.6 Komplikasi OMSK


Komplikasi otitis media terjadi apabila sawar (barrier) pertahanan telinga
tengah yang normal dilewati, sehingga memungkinkan infeksi menjalar ke struktur di
sekitarnya. Pertahanan pertama ialah mukosa kavum timpani yang juga seperti
mukosa saluran napas, mampu melokalisasi infeksi. Bila sawar ini runtuh, masih ada
sawar kedua yaitu dinding tulang kavum timpani dan sel mastoid. Bila sawar ini
runtuh, maka struktur lunak di sekitarnya akan terkena. Runtuhnya periosteum akan
menyebabkan terjadinya abses subperiosteal, suatu komplikasi yang relative tidak
berbahaya. Apabila infeksi mengarah ke dalam, ke tulang temporal, maka akan
menyebabkan paresis n. fasialis atau labirinitis. Bila kea rah kranial, akan
menyebabkan abses ekstradural, tromboflebitis sinus lateralis, meningitis dan abses
otak.7

19
Bila sawar tulang terlampaui, suatu dinding pertahanan ketiga yaitu jaringan
granulasi akan terbentuk. Pada otitis media supuratif akut atau suatu eksaserbasi akut
penyebaran biasanya melalui osteotromboflebitis (hematogen). Sedangkan pada kasus
yang kronis, penyebaran terjadi melalui erosi tulang. Cara penyebaran lainnya ialah
toksin masuk melalui jalan yang sudah ada, misalnya melalui fenestra rotundum,
meatus akustikus internus, ductus perilimfatik dan ductus endolimfatik.1
Dari gejala dan tanda yang ditemukan dapat diperkirakan jalan penyebaran
suatu infeksi telinga tengah ke intrakranial.7
• Penyebaran Hematogen
Penyebaran melalui osteotromboflebitis dapat diketahui dengan adanya
(1) komplikasi terjadi pada awal terjadinya infeksi atau eksaserbasi akut, dapat
terjadi pada hari pertama atau kedua sampai hari kesepuluh, (2) gejala
prodromal tidak jelas seperti didapatkan pada gejala meningitis local, (3) pada
operasi, didapatkan dinding tulang telinga tengah utuh dan tulang serta lapisan
mucoperiosteal meradang dan mudah berdarah, sehingga disebut juga
mastoiditis hemoragika.
• Penyebaran melalui erosi tulang
Penyebaran melalui erosi tulang dapat diketahui, bila (1) komplikasi
terjadi beberapa minggu atau lebih setelah awal penyakit, (2) gejala prodromal
infeksi local biasanya mendahului gejala infeksi yang lebih luas, misalnya
paresis n.fasialis ringan yang hilang timbul mendahukui paresis n.fasialis yang
total, atau gejala meningitis local mendahului meningitis purulent, (3) pada
operasi dapat ditemukan lapisan tulang yang rusak diantara focus supurasu
dengan struktur disekitarnya. Struktur jaringan lunak yang terbuka biasanya
dilapisi oleh jaringan granulasi.
• Penyebaran melalui jalan yang sudah ada
Penyebaran cara ini dapat diketahui bila, (1) komplikasi terjadi pada
awal penyakit, (2) ada serangan labirinitis atau meningitis berulang, mungkin
dapat ditemukan fraktur tengkorak, riwayat operasi tulang atau riwayat otitis
media yang sudah sembuh. Komplikasi intrakranial mengikuti komplikasi
labirinitis supuratif, (3) pada operasi dapat ditemukan jalan penjalaran melalui
sawar tulang yang bukan karena oleh erosi.

20
Pengenalan yang baik terhadap perkembangan suatu penyakit telinga merupakan
prasyarat untuk mengetahui timbulnya komplikasi. Bila dengan pengobatan
medikamentosa tidak berhasil mengurangi gejala klinik dengan tidak berhentinya
otorea dan pada pemeriksaan otoskopik tidak menunjukkan berkurangnya reaksi
inflamasi dan pengumpulan cairan maka harus diwaspadai kemungkinan terjadinya
komplikasi. Pada stadium akut, naiknya suhu tubuh, nyeri kepala atau adanya tanda
toksisitas seperti malaise, perasaan mengantuk (drowsiness), somnolen atau gelisah
yang menetap dapat merupakan tanda bahaya. Timbulnya nyeri kepala di daerah
oksipital atau parietal dan adanya keluhan mual muntah yang proyektil serta kenaikan
suhu badan yang menetap selama terapi diberikan merupakan tanda komplikasi
intrakranial.7

2.3.6.1 Komplikasi intratemporal


• Mastoiditis
Mastoiditis lebih mudah terjadi pada pasien yang tidak diberikan
antibiotik, lebih sering terjadi pada anak kecil. Patofisiologi OMSK yang
dapat menghancurkan mukosa dan tulang sehingga menginfeksi mastoid
dan sel mastoid yang berhubungan dengan telinga tengah. Pada akut
mastoiditis, eksudat purulen terkumpul pada rongga mastoid dan
membentuk kavitas seperti abses yang dapat terdeteksi pada pemeriksaan
CT-scan. Gejala mastoiditis adalah rasa sakit, eritema, dan edema pada
mastoid, gejala ini dapat diikuti gejala OMA. Terapi yang diberikan adalah
IV antibiotik dan mastoidektomi.11

• Paresis nervus fasialis


Paresis nervus fasialis dapat terjadi pada OMSK tipe aman ataupun
bahaya. Pada OMSK, kerusakan terjadi oleh erosi tulang oleh kolesteatom
atau granulasi, infeksi akan menyebar langsung ke kanalis fasialis. Perlu
diperhatikan apakah terlihat gejala seperti kelumpuhan pada wajah pasien.
Pada OMSK, 21hinitis dekompresi harus segera dilakukan tanpa menunggu
pemeriksaan elektrodiagnostik. Tindakan pembedahan dengan
pengangkatan mukosa terinfeksi, granula jaringan, dan pengeluaran pus
yang biasa dilakukan bersamaan dengan mastoidektomi.7,11,12

21
• Fistula labirin
Fistula di labirin dapat diketahui dengan tes fistula, yaitu dengan
memberikan tekanan udara positif maupun negative ke liang telinga melalui
otoskop Siegel dengan corong telinga yang kedap atau balon karet dengan
bentuk elips pada ujungnya yang dimasukan ke dalam liang telinga. Balon
karet dipencet dan udara didalamnya akan menyebabkan perubahan
tekanan udara di liang telinga. Bila fistula yang terjadi masih paten maka
akan terjadi kompresi dan ekspansi labirin membran. Tes fistula positif
akan menimbulkan nystagmus atau vertigo. Tes fistula bisa negative, bila
fistulanya sudah tertutup oleh karingan granulasi atau bila labirin sudah
mati/ paresis kanal.7

• Labirinitis
Labirinitis yang mengenai seluruh bagian labirin, disebut labirinits
umum (general), dengan gejala vertigo berat dan tuli saraf berat, sedangkan
labirinitis yang terbatas) labirinitis sirkumskripta menyebabkan terjadinya
vertigo saja atau tuli saraf saja. 7

• Petrositis
Sekitar sepertiga populasi manusia memiliki ruang udara pada tulang
temporal sampai ke tulang petrosum. Petrositis merupakan infeksi yang
menjalar dari ruang udara pada tulang temporal sampai apex tulang
petrosum. Gejala yang perlu dicurigai sebagai tanda terjadinya petrositis
adalah pasien otitis media yang mengalami diplopia. Gejala gradenigo
sindrom(retro-orbital terasa sakit, otorea presisten, dan abducens palsy)
dapat ditemukan. CT-scan dapat dilakukan untuk melihat penyebaran dari
infeksi tersebut. Pengobatan yang dapat dilakukan adalah pemeberian
antibiotic protocol komplikasi intrakranial dan operasi.7,11,12

2.3.6.2 Komplikasi intrakranial


• Thromboflebitis Sinus Lateralis

22
Thromboflebitis sinus lateral terjadi saat infeksi menjalar melalui tulang
mastoid ke sinus sigmoid. Gejala yang ditemukan seperi gangguan mental,
sakit kepala, rasa sakit pada retroaurikular, edema postaurikula, dan demam.
Demam yang tidak diketahui penyebabnya merupakan tanda pertama dari
infeksi pembuluh darah. Suhu tubuh pada awal onset akan menaik tetapi
jika sudah menjadi lebih parah suhu akan turun naik dengan perbedaan yang
drastis. Perbedaan suhu drastis ini menandakan sudah terjadinya sepsi
akibat emboli. Rasa nyeri tidak jelas jika belum terdapat abses pada
perisinus. Kultur antimikroba merupakan tahap awal dari tatalaksana dari
thromboflebitis sinus lateralis. Sebelum dilakukan pembedahan dilakukan
ligasi pada vena jugularis interna untuk mencegah embol yang menyebar
kedaerah lain. Tatalaksan yang dilakukan berupa pembedahan dengan
membuang sumber infeksi pada sel-sel mastoid, membuang tulang dan
dinding sinus yang nekrosis. Jika sudah terbentuk trombus harus dilakukan
drainase sinus.7,11,12

• Meningitis
Meningitis merupakan komplikasi tersering dari otitis media yang
menjalar ke sususnan saraf pusat. Meningitis terjadi akibat infeksi yang
berulang dan penyebarnya melalui pembuluh darah ke sususan saraf pusat.
Gejala meningitis seperti kaku duduk, demam, mual, muntah yang
terkadang berupa projektif, sakit kepala yang hebat. Jika dicurigai
meningitis maka harus diambil punksi lumbar untuk mengecek bakteri
patogennya. Pengobatan yang dilakukan berupa antibiotik spektrum luas
dan dilakukan pembedahan pada telinga tengah berupa
mastoidektomi.7,11,12

• Abses intrakranial
Abses intrakranial yang dapat terjadi adalah abses ekstradural, abses
subdural dan abses otak. Abses ekstradural merupakan abses yang terjadi
diantara tulang dan duramater. Pada OMSK hal ini berhubungan dengan
jaringan granulasi dan kolesteatoma yang menyebabkan erosi pada timpani
dan mastoid. Gejala yang dapat timbul berupa gejala meninitis atau

23
asimtomatik. Gejala terutama adalah nyeri telinga hebat dan nyeri kepala.
Pada pemeriksaan radiologi dapat dilihat tegmen timpani dan mastoid
tertembus dan terdapat abses. Penatalaksanaan dengan melakukan drainase.
Abses subdural biasanya merupakan perluasan dari thromboflebitis
melalui vena. Keadaan pasien pada abses subdural merupakan sakit berat
dengan gejala meningeal seperti sakit kepala, demam, dan penurunan
kesadaran sampai koma pada OMSK. Gejala kelainan susunan saraf pusat
seperti kejang, hemiplegia, dan tanda kernig positif. Pemeriksaan punksi
lumbar digunakan untuk membedakan abses subdural dengan meningitis,
pada abses subdural kadar protein normal dan tidak ditemukan bakteri.
Drainase pada abses subdural membutuhkan bantuan dari bedah saraf
karena nanah tidak keluar saat dilakukan mastoidektomi, pengeluaran
nanah dilakukan terlebih dahulu sebelum dilakukan mastoidektomi.
Abses otak muncul akibat penjalaran infeksi melalui tegmen timpani
atau tegmen mastoid yang mengalami erosi menuju lobus temporalis atau
serebelum. Gejala abses serebelum biasanya lebih jelas dari pada abses
lobus temporal. Gejala serebelum berupa ataksia, disdiadokinetis, dan
tremor intensif. Gejala pada abses lobus temporal berupa afasia. Jika terjadi
toksisitas maka dapat menunjukan gejala berupa nyeri kepala, demam,
muntah dan latagik. Suatu tanda nyata jika terjadi abses otak adalah nadi
melambat serta serangan kejang. Pemeriksaan cairan serebrospinal
memperlihatkan peningkatan protein serta tekanan cairan. Lokasi abses
dapat dideteksi menggunakan angiografi, ventrikulagrafi, dan tomografi.
Pengobatan abses otak adalah antibiotik parenteral dosis tinggi sesuai
dengan protokol komplikasi intrakranial dan drainase yang dibantu oleh
bedah saraf. Jika keadaan umum sudah lebih baik dapat dilakukan
mastoidektomi.7,11,12

2.3.7 Tatalaksana OMSK


Terapi OMSK tidak jarang memerlukan waktu lama, serta harus berulang-ulang.
Sekret yang keluar tidak cepat kering atau selalu kambuh lagi. Keadaan ini antara lain
disebabkan oleh satu atau beberapa keadaan, yaitu (1) adanya perforasi membran
timpani yang permanen, sehingga telinga tengah berhubungan dengan dunia luar, (2)
terdapat sumber infeksi di faring, nasofaring, hidung dan sinus paranasal, (3) sudah

24
terbentuk jaringan patologik yang ireversibel dalam rongga mastoid, dan (4) gizi dan
higiene yang kurang.
Pada waktu pengobatan haruslah dievaluasi faktor-faktor yang menyebabkan
penyakit menjadi kronik, perubahan-perubahan anatomi yang menghalangi
penyembuhan serta menganggu fungsi, dan proses infeksi yang terdapat di telinga.
Bila didiagnosis kolesteatom, maka mutlak harus dilakukan operasi, tetapi obat -
obatan dapat digunakan untuk mengontrol infeksi sebelum operasi.7,11,12
Prinsip pengobatan tergantung dari jenis penyakit dan luas infeksi, yang dapat dibagi
atas: konservatif dan operasi.7,11,12

2.3.7.1 OMSK tipe aman


• Otitis media supuratif kronik benigna tipe tenang
Keadaan ini tidak memerlukan pengobatan, dan di edukasi untuk jangan
mengorek telinga, air jangan masuk ke telinga sewaktu mandi, dilarang
berenang dan segera berobat bila menderita infeksi saluran nafas atas. Bila
fasilitas memungkinkan sebaiknya dilakukan operasi rekonstruksi
(miringoplasti, timpanoplasti) untuk mencegah infeksi berulang serta
gangguan pendengaran.12
• Otitis media supuratif kronik benigna tipe aktif
Prinsip pengobatan OMSK tipe aman aktif adalah :12

a. Membersihkan liang telinga dan kavum timpani dengan cuci telinga.


Tujuan toilet telinga adalah membuat lingkungan yang tidak sesuai untuk
perkembangan mikroorganisme, karena sekret telinga merupakan media
yang baik bagi perkembangan mikroorganisme. Bila sekret yang keluar
terus menerus, maka dapat diberikan obat pencuci telinga berupa larutan
H2O2 3% selama 3-5 hari.

b. Setelah sekret berkurang, maka terapi dapat dilanjutkan dngan


memberikan obat tetes telinga yang mengandung antibiotika dan
kortikosteroid. Mengingat pemberian obat topikal dimaksudkan agar
masuk sampai telinga tengah, maka tidak dianjurkan antibiotik yang
ototoksik misalnya neomisin dan lamanya tidak lebih dari 1 minggu. Cara
pemilihan antibiotik yang paling baik dengan berdasarkan kultur kuman
penyebab dan uji resistensi. Antibiotika topikal yang dapat dipakai pada

25
otitis media kronik adalah :12,15 Polimiksin B atau polimiksin E, Obat ini
bersifat bakterisid terhadap kuman gram negatif. Neomisin, Obat
bakterisid pada kuman gram positif dan negatif. Toksik terhadap ginjal
dan telinga.Kloramfenikol, Obat ini bersifat bakterisid terhadap basil
gram positif dan negatif kecuali Pseudomonas aeruginosa.

c. Pemilihan antibiotik sistemik untuk OMSK juga sebaiknya berdasarkan


kultur kuman penyebab. Pemberian antibiotika tidak lebih dari 1 minggu
dan harus disertai pembersihan sekret profus. Bila terjadi kegagalan
pengobatan, perlu diperhatikan faktor penyebab kegagalan yang ada pada
penderita tersebut.12,15 Dengan melihat konsentrasi obat dan daya
bunuhnya terhadap mikroba, antimikroba dapat dibagi menjadi 2
golongan. Golongan pertama daya bunuhnya tergantung kadarnya. Makin
tinggi kadar obat, makin banyak kuman terbunuh, misalnya golongan
aminoglikosida dan kuinolon. Golongan kedua adalah antimikroba yang
pada konsentrasi tertentu daya bunuhnya paling baik. Peninggian dosis
tidak menambah daya bunuh antimikroba golongan ini, misalnya
golongan beta laktam.12,15Untuk bakteri aerob dapat digunakan golongan
kuinolon (siprofloksasin dan ofloksasin) atau golongan sefalosforin
generasi III (sefotaksim, seftazidin, dan seftriakson) yang juga efektif
untuk Pseudomonas, tetapi harus diberikan secara parenteral.12,15 Untuk
bakteri anaerob dapat digunakan metronidazol yang bersifat bakterisid.
Pada OMSK aktif dapat diberikan dengan dosis 400 mg per 8 jam selama
2 minggu atau 200 mg per 8 jam selama 2-4 minggu.7

d. Apabila setelah pemberian medikamentosa, otorea tetap ada selama lebih


dari 3 bulan, maka idealnya harus dilakukan Tindakan mastoidektomi dan
timpanoplasti. Operasi ini bertujuan untuk menghentikan infeksi secara
permanen, memperbaiki membran timpani yang perforasi, mencegah
terjadinya komplikasi atau kerusakan pendengaran yang lebih berat, serta
memperbaiki pendengaran.

26
2.3.7.2 OMSK tipe bahaya
Pengobatan yang tepat untuk OMSK maligna adalah operasi. Pengobatan
konservatif dengan medikamentosa hanyalah merupakan terapi sementara
sebelum dilakukan pembedahan. Bila terdapat abses subperiosteal, maka insisi
abses sebaiknya dilakukan tersendiri sebelum kemudian dilakukan
mastoidektomi. Ada beberapa jenis pembedahan atau teknik operasi yang dapat
dilakukan pada OMSK dengan mastoiditis kronik, baik tipe benigna atau
maligna, antara lain :7
a. Mastoidektomi sederhana (simple mastoidectomy)
Operasi ini dilakukan pada OMSK tipe aman yang dengan pengobatan
konservatif tidak sembuh. Dengan tindakan operasi ini dilakukan
pembersihan ruang mastoid dari jaringan patologik. Tujuannya adalah
supaya infeksi tenang dan telinga tidak berair lagi. Pada operasi ini fungsi
pendengaran tidak diperbaiki.7
b. Mastoidektomi radikal
Operasi ini dilakukan pada OMSK tipe bahaya dengan infeksi atau
kolesteatom yang sudah meluas. Pada operasi ini rongga mastoid dan
kavum timpani dibersihkan dari semua jaringan patolgik. Dinding batas
antara liang telinga luar dan telinga tengah dengan rongga mastoid
diruntuhkan, sehingga ketiga daerah anatomi tersebut menjadi satu ruangan.
Tujuan operasi ini ialah untuk membuang semua jaringan patologik dan
mencegah komplikasi intrakranial, sementara fungsi pendengaran tidak
diperbaiki.7
Kerugian operasi ini ialah pasien tidak boleh berenang seumur hidupnya
dan harus kontrol teraut ke dokter. Modifikasi operasi ini ialah dengan
memasang tandur pada rongga operasi serta membuat meatoplasti yang
lebar sehingga rongga operasi kering permanen, tetapi terdapat cacat
anatomi, yaitu meatus liang telinga luar menjadi lebar. 7
c. Mastoidektomi radikal dengan modifikasi
Operasi ini dilakukan pada OMSK dengan kolesteatom di daerah atik, tetapi
belum merusak kavum timpani. Seluruh rongga mastoid dibersihkan dan
dinding posterior liang telinga direndahkan. Tujuan operasi ini adalah untuk
membuang semua jaringan patologik dari rongga mastoid dan
mempertahankan pendengaran yang masih ada. 7

27
d. Miringoplasti
Operasi ini merupakan operasi timpanoplasti yang paling ringan, dikenal
juga dengan timpanoplasti tipe I. Rekonstruksi hanya dilakukan di
membran timpani. Tujuan operasi ialah untuk mencegah berulangnya
infeksi telinga tengah pada OMSK tipe aman dengan perforasi yang
menetap. Operasi ini dilakukan pada OMSK tipe aman fase tenang dengan
ketulian ringan yang hanya disebabkan oleh perforasi membran timpani.7
e. Timpanoplasti
Operasi ini dikerjakan pada OMSK tipe aman dengan kerusakan yang lebih
berat atau OMSK tipe aman yang tidak bisa ditenagkan dengan pengobatan
medikamentosa. Tujuan operasi ialah untuk menyembuhkan penyakit serta
memperbaiki pendengaran.
Pada operasi ini selain rekonstruksi membran timpani sering kali harus
dilakukan juga rekonstruksi tulang pendengaran. Berdasarkan bentuk
rekonstruksi tulang pendengaran yang dilakukan maka dikenal istilah
timpanoplasti tipe II, III, IV, dan V. Sebelum rekonstruksi dikerjakan lebih
dahulu dilakukan eksplorasi kavum timpani dengan atau tanpa
mastoidektomi, untuk membersihkan jaringan patologis. Tidak jarang
operasi ini harus dilakukan 2 tahap dengan jarak waktu 6 s/d 12 bulan.7
f. Pendekatan ganda timpanoplasti (combined approach tympanoplasty)
Operasi ini merupakan teknik operasi timpanoplasti yang dikerjakan pada
kasus OMSK tipe aman dengan jaringan granulasi yang luas.Tujuan operasi
ini ialah untuk menyembuhkan penyakit dan memperbaiki pendengaran
tanpa melakukan teknik mastoidektomi radikal (tanpa meruntuhkan
dinding posterior liang telinga). Membersihkan kolesteatom dan jaringan
granulasi di membran timpani, dikerjakan melalui 2 jalan (combine
approach) yaitu melalui liang telinga dan rongga mastoid dengan
melakukan timppanotomi posterior. Teknik operasi ini pada OMSK tipe
bahaya belum disepakati oleh para ahli, oleh karena sering kambuhnya
kolesteatom kembali.7

28
Gambar 9. Algoritma tatalaksana OMSK7

29
2.4 Rhinitis Alergi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien
atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya
suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut.
Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) adalah kelainan pada
hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa
hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.7,10
Alergi adalah respons jaringan yang berubah terhadap antigen spesifik atau allergen.
Hipersensitivitas pejamu bergantung pada dosis antigen, frekuensi paparan, polesan
genetik dari individu tersebut, dan kepekaan relative tubuh pejamu.7,10
Rinitis alergik terjadi bilamana suatu antigen terhadap seorang pasien telah mengalami
sensitisasi, merangsang satu dari enam reseptor neurokimia hidung: reseptor histamin H1,
adrenoseptor-alfa, adrenoseptor-beta2, kolinoseptor, reseptor histamin H2 dan reseptor
iritan. Dari semua ini yang terpenting adalah reseptor histamin H1, dimana bila terangsang
oleh histamine akan meningkatkan tahanan jalan napas hidung, meneybabkan bersin, gatal,
dan rinore.7
2.4.1 Etiologi Rhinitis Alergi
Rhinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien
yang secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara jelas
memiliki peran penting. Pada 20 – 30% semua populasi dan pada 10 – 15% anak
semuanya atopi. Apabila kedua orang tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4 kali lebih
besar atau mencapai 50%. Peran lingkungan dalam dalam rinitis alergi yaitu alergen,
yang terdapat di seluruh lingkungan, terpapar dan merangsang respon imun yang
secara genetik telah memiliki kecenderungan alergi. Adapun alergen yang biasa
dijumpai berupa alergen inhalan yang masuk bersama udara pernapasan yaitu debu
rumah, tungau, kotoran serangga, kutu binatang, jamur, serbuk sari, dan lain-lain.7
Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan
ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti
urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung
dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang
menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis
alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama
tungau yaitu Dermatophagoidesfarinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur,
binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat. Faktor resiko untuk

30
terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi,
dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk
untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat
adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma
yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca. Berdasarkan cara masuknya
allergen dibagi atas:7
• Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu
rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
• Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu,
telur, coklat, ikan dan udang.
• Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin
atau sengatan lebah.
• Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.

2.4.2 Faktor resiko


• Studi populasi genetik
Meskipun dasar genetik dari rhinitis allergy telah di evaluasi secara intensif,
namun seluruh profil herediter dari rintis alergi belum sepenuhnya diklarifikasi
karena penyakit alergi dihasilkan dari interaksi yang kompleks antara gen dan
lingkungan serta usia dimana paparan terjadi.13

• Variasi dalam sensitisasi allergen antara daerah yang berbeda secara


geografis
Variasi global yang besar dalam pola sensitisasi allergen menunjukkan bahwa
lingkingan merupakan penentu penting dalam sensitisasi. Studi tentang migrasi
memberikan hasil seperti tes lakmus pada teori ini karena manifestasi alergi harus
berubah saat pasien berpindah diantara aera geografis yang berbeda.13
Casas dkk mengamati variasi geografis dalam konsesntrasi allergen tungau
dalam debu rumah, dengan tingkat yang lebih rendah di daerah yang lebih dingin
dan lebih kering, dengan hasil yang lebih tinggi di daerah yang lebih hangat dan
lebih lembab di eropa. Toppila-Salmi dkk menegaskan bahwa sensitisasi tungau
debu rumah pada populasi penderita asma di Finlandia secara signifikan lebih

31
rendah (kurang dari 10% pada penderita asma dan kontrol yang sehat), sedangkan
polisensitisasi lebih umum daripada monosensitisasi. Hal ini menimbulkan
pertanyaan apakah sensitisasi tungau debu rumah akan meningkat pada orang
yang bermigrasi dari garis lintang utara ke benua tropis.13
Andiappan dkk mendemonstrasikan bahwa 70-80% orang Tionghoa kelahiran
Singapura atau Malaysia dan kurang dari 20% migran baru dari Tiongkok peka
terhadap tungau debu rumah. Monosensitisasi terhadap tungau (lebih dari 80%)
adalah fenotipe tipikal pada keturunan Chinese kelahiran Singapura atau
Malaysia karena dari 30% dari mereka juga memiliki sIgE untuk allergen lain.
Menariknya para migran yang bermigrasi ke Singapura, daerah perkotaan tropis,
semakin peka terhadap tungau dan semakin menunjukkan gejala rhinitis alergi
dan asma. Lebih dari 40% migran dari Cina yang tinggal lebih dari 8 tahun di
Singapura memiliki SPT positif terhadap tungau debu rumah, sementara kurang
dari 20% dari mereka yang tinggal selama <3 tahun menjadi peka.13
Gas, debu dan asap yang terpapar di tempat kerja dapat bertindak sebagai bahan
pembantu yang dapat memfasilitasi sesitisasi terhadap tungau, dan individu yang
peka terhadap tungau mungkin sangat rentan terhadap efek inhalasi berbahaya.
Post et al menunjukkan bahwa pensinyalan Ca2+ memainkan peran penting
dalam disfungsi penghalang dan respon pro inflamasi dari epitel bronkial pada
paparan tungau dan dengan demikian dapat memiliki implikasi penting untuk
perkembangan asma alergi.13

• Kontroversi dalam “pawai atopik”


Manifestasi penyakit alergi yang umum adalah eksim, rhinitis alergi /
rhinokonjungtivitis, dan asma. Hal ini cenderung muncul pada urutan temporal
yang dikenal sebagai 'atopik march', yang secara klasik dimulai dengan eksim
pada anak usia dini diikuti oleh munculnya asma dan rhinitis alergi di kemudian
hari. Hal ini mengarah pada pertanyaan apakah eksim merupakan faktor
penyebab perkembangan penyakit atopik berikutnya, atau apakah ini kondisi
klinis ini merupakan manifestasi dari respon IgE yang berubah saat sistem
kekebalan tubuh matang. Analisis MeDALL (Mekanisme Perkembangan Alergi)
yang melibatkan 17 209 anak-anak berusia 4 tahun dan 14.558 anak-anak berusia
8 tahun dari tujuh kelompok kelahiran Eropa, secara statistik membagi anak-anak
menjadi beberapa kelompok dan dianalisis pada kedua periode usia. Dua

32
kelompok diidentifikasi dimana eksim, rhinitis alergi dan asma memiliki
prevalensi yang lebih tinggi secara signifikan di grup 2 dibandingkan dengan grup
1 (pada 8 tahun: 27,5%, 49,0% dan 36,9% berbanding 8,0%, 1,8% dan 1,1%).
Setelah stratifikasi dengan sesitisasi IgE, prevalensi dipertahankan. Studi ini
memberikan bukti statistic bahwa trio atopik klasik memang sekelompok
komorbiditas dari alergi.13
Namun pengelompokan trio atopik tidak memberikan hawaban atas
pertanyaan apakah satu Langkah dari ‘masrs’ merupakan faktor penyebab untuk
Langkah berikutnya. Teori kausal adalah salah satu yang menarik, karena
menyiratkan bahwa menghentikan Langkah pertama dari ‘pawai’ dapat
menghentikan perkembangan ke Langkah berikutnya. Hal ini membuktikan
hipotesis kausalitas, terutama yang serumit ini dan memerlukan beberapa
pendekatan termasuk bukti epidemiologis, bukti molekuler dan bukti fisiologis
serta studi intervensi yang dapat menunjukkan tahapan perkembangan.13
Dharmage dkk melakukan ulasan terhadap 17 studi longitudinal. Studi-studi
ini sejalan dalam menunjukkan bahwa pasien yang terkena eksim pada masa bayi
memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk selanjutnya berkembang menjadi
rhinitis alergi dan asma, memberikan bukti statistic yang kuat dalam
membuktikan hubungan temporal dari perjalanan atopik, tetapi itu bukan
merupakan bukti kausalitas. Hipotesis yang berlaku tentang kausalitas eksim ke
Langkah-langkah berikutnya berpusat di sekitar penghalang epitel yang rusak
yang mengarah ke penetrasi dan sensitisasi awal terhadap allergen yang memulai
perjalanan.13

• Faktor resiko orang tua


Westman dkk menemukan kelahiran 2413 anak dari orang tua yang terisolasi
meningkatkan kemungkinan rhinitis alergi, sedangkan tidak pada eksim dan asma.
Memiliki ketiga kondisi atopik (rhinitis alergi, eksim dan asma) memberikan
peluang yang tinggi untuk keturunan rhinitis alergi. Prevalensi rhinitis alergi
tertinggi (37,5%) ada pada anak yang orang tuanya menderita rhinitis alergi.
Atopi paternal dan maternal memberikan kemungkinan atopi yang serupa pada
keturunannya.13
Andersson dkk meninjau 16 studi (25 analisis) yang menyelidiki stres maternal
dan menemukan bahwa 21 analisis menunjukkan hubungan positif antara stres

33
maternal dan atopi. Dari empat analisis yang berhubungan dengan rhinitis alergi,
tiga ditemukan asosiasi positif. Ibu yang merokok dan tidak menyusui terbukti
menjadi predictor non rhinitis alergi yang lebih kuat, sedangkan mengi dan eksim
saat ini adalah predictor rhinitis alergi yang lebih kuat.13

Gambar 10. Faktor Resiko rhinitis alergi13

2.4.3 Patofisiologi Rhinitis Alergi


Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari
2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC)
yang berlangsung sejak kotak dengan allergen sampai 1 jam setelahnya dan Late
Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung
2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung sampai 24-48 jam. 8
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses,
antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul
HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompability
Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel
penyaji akan melepas sitokin seperti Interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0
untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2.7

34
Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4
dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel
limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE di
sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel
mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini
disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa
yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE
akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)
mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk
(Preformed Mediators) terutama histamine. Selain histamine juga dikeluarkan Newly
Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4),
Leukotrien C4(LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai
sitokin. (IL 3, IL 4, IL 5, IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating
Factor) dll. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). 8
Selain histamine merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan
rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion
Molecule 1 (ICAM 1). Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul
kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target.
Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan
mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan
penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil
dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan
Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM 1 pada
sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat
peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic
Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein
(MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik
(alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok,
bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembapan udara yang tinggi.8
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan
pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang
interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil
pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat
pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi

35
serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama
kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan
hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.1,3
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar
terdiri dari:8
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non
spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya
dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah
sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag
berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau
memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi
respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat
bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi
anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau
reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity).
Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT
adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi.

2.4.4 Klasifikasi Rhinitis Alergi


Dahulu rhinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya,
yaitu :8
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis).
Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang
mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen)
dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat ialah polinosis atau rino
konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan
mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial).

36
Gejala pada penyakit ini timbul intermitten atau terus menerus, tanpa variasi
musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering ialah
alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan. Alergen
inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan alergen diluar rumah
(outdoor). Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak dan
biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan
pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan perennial lebih ringan
dibandingkan dengan golongan musimantetapi karena lebih persisten maka
komplikasinya lebih sering ditemukan.
Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO
Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma), yaitu berdasarkan
sifat berlangsungnya dibagi menjadi:
- Intermiten (kadang-kadang), yaitu bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau
kurang dari 4 minggu.
- Persisten/ menetap, yaitu bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari
4 minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
- Ringan, yaitu bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
- Sedang atau berat, yaitu bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut
di atas.

2.4.5 Gejala Klinis Rhinitis Alergi


Gejala klinik rinitis alergi, yaitu: Gejala rinitis alergi yang khas ialah
terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang
normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu.
Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self
cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap
serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai bersin
patologis. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air
mata keluar (lakrimasi).1-3 Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit
kepala, masalah penciuman, mengi, penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal

37
drip. Beberapa orang juga mengalami lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu
makan dan sulit tidur.4
Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring.
Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintang – garis hitam melintang pada tengah
punggung hidung akibat sering menggosok hidung ke atas menirukan pemberian
hormat (allergic salute), pucat dan edema mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan.
Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau cair. Tanda di mata
termasuk edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata
(allergic shiner). Tanda pada telinga termasuk retraksi membran timpani atau otitis
media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba eustachii. Tanda faringeal termasuk
faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid. Tanda laringeal
termasuk suara serak dan edema pita suara. 1

2.4.6 Diagnosis Klinis Rhinitis Alergi


Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:8
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan
pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala
rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya
bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat
kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik,
yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin ini terutama
merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat
dilepaskannya histamine. Karena itu perlu ditanyakan adanya riwayat atopi pada
pasien. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak
air mata keluar (lakrimasi). Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama
pada anak-anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan
utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid
disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior
tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas
tersedia. Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di

38
daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi
hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering juga tampak anak
menggosok-gosok hidung karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini
disebut allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan
mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah,
yang disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit
yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi
(facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema
(cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak
seperti gambaran peta (geographic tongue).

3. Pemeriksaan Penunjang
In vitro :
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) seringkali
menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu
macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronchial atau
urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi
atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih
bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio Imuno Sorbent
Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan
sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna
sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak
menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (>5sel/lap) mungkin
disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan
adanya infeksi bakteri.
In Vivo :
Allergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point
Titration/SET), SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan
allergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan
SET, selain alergen penyebab juga derajat tinggi serta dosis inisial untuk
desensitisasi dapat diketahui.

39
Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan adalah
Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai baku
emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”).
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu 5 hari. Karena itu
pada “Challenge Test”, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah
berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi,
jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika
gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.

2.4.7 Penatalaksanaan Rhinitis Alergi


Terapi dari rhinitis alergi dapat mengikuti algoritma menurut WHO initiative
ARIA 2019 dengan menggunakan skala VAS (Visual Analog Scale). Dengan VAS
pasien bisa menilai secara keseluruhan bagaimana gejala dan tanda rhinitis alergi
dapat menganggu aktivitas sehari-hari yaitu skala 0 (tidak menganggu) sampai skala
10 (sangat menganggu). Nilai VAS ini dapat diklasifikasikan secara retrospektif,
dengan membuat kelompok nilai dari diari pasien alergi dimana VAS >5 rinitis alergi
tidak terkontrol, VAS 2-5 rinitis alergi terkontrol Sebagian, VAS <2 rinitis alergi
terkontrol secara baik.14

40
Gambar 11. Algoritma pada pasien yang tidak diobati dan yang diobati menggunakan VAS.14

1. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan
eliminasi.
2. Simptomatis
a. Medikamentosa-Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang
bekerja secara inhibitorkomppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan
merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai inti
pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau
tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi
dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi
-2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat
menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta

41
mempunyai efek kolinergik. Preparat simpatomimetik golongan agonis
adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi
dengan antihistamin atau tropikal. Namun pemakaian secara tropikal hanya
boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis
medikamentosa.
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala trauma sumbatan hidung
akibat respons fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering
dipakai adalah kortikosteroid tropikal (beklometosa, budesonid, flusolid,
flutikason, mometasonfuroat dan triamsinolon). Preparat antikolinergik
topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore,
karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel efektor.
b. Operatif
Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila
konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara
kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau triklor asetat.
c. Imunoterapi
Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi dan
hiposensitasi membentuk IgG blocking antibody dan penurunan IgE.
Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya berat, berlangsung lama dan
hasil pengobatan lain belum memuaskan.

2.4.8 Komplikasi Rhinitis Alergi


- Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands,
akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit
T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa,
- Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
- Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal.
Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang
menyebabkan sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan
udara rongga sinus

42
BAB III
LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA


UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
Jl. Terusan Arjuna No. 6, Kebon Jeruk, Jakarta-Barat

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT THT
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Hari / Tanggal Ujian / Presentasi Kasus : Sabtu, 7 November 2020
SMF PENYAKIT THT
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN JAKARTA

Nama : Yussi Septiana Tanda tangan


Nim : 112018010
......................

Dr. Pembimbing/ penguji : dr. Riza Rizaldi Sp.THT-KL ......................

IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny.H Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 37 tahun Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Pendidikan : SMA
Alamat : Petamburan Status menikah : Menikah

ANAMNESA
Diambil secara : Autoanamnesis
Pada tanggal : 4 November 2020 Jam: 12.30 WIB
Keluhan Utama:
Keluar cairan dari telinga kanan sejak 2 bulan SMRS

Keluhan Tambahan:
Telinga kanan terasa nyeri tetapi hilang timbul. Ada keluhan yang sama pada telinga kiri 1
tahun yang lalu.

43
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke poliklinik RSUD Tarakan dengan keluhan keluar cairan dari telinga
kanan sejak kurang lebih 2 bulan SMRS. Cairan yang keluar hilang timbul, berwarna bening
dengan konsistensi sedikit kental dan berbau. Pasien pernah mengalami keluhan yang sama
pada telinga kiri sekitar 1 tahun yang lalu tetapi tidak pernah berobat. Sebelum keluar cairan
pada telinga kanan, pasien mengatakan telinga tersebut sempat masuk air saat berenang, yang
kemudian timbul keluhan nyeri pada telinga dan telinga seperti tertutup disertai rasa seperti
ada air di dalam telinga. Keluhan demam sebelum keluar cairan dari telinga disangkal. Nyeri
telinga dirasakan terutama oleh pasien sebelum keluar cairan, setelah cairan keluar nyeri yang
dirasakan mulai mereda dan menjadi hilang timbul.. Pasien mengatakan ada penurunan
pendengaran pada telinga sebelah kiri. keluhan seperti pusing berputar, berdenging pada
telinga, mual muntah, nyeri kepala dan kejang disangkal oleh pasien. Rasa kebas pada wajah
atau mulut mencong juga disangkal oleh pasien.
Pasien mengatakan sebelumnya memang sering bersin-bersin di pagi hari dan terutama
apabila terkena pewangi ruangan ataupun asap. Keluhan seperti ini sudah dirasakan sejak kecil.
Keluhan bersin di pagi hari ini dirasakan hampir setiap hari tetapi tidak sampai menganggu
aktivitasnya sehari-hari. Pasien mengatakan tidak pernah keluar ingus dari hidung tetapi pasien
merasakan ada ingus yang mengalir di belakang tenggorokan, keluhan ini dirasakan hilang
timbul. Pasien mengatakan tidak ada keluhan demam, hidung berbau, pilek di salah satu hidung,
ingus bercampur darah, hidung tersumbat dan nyeri di wajah sekitar hidung. Tidak ada riwayat
trauma pada wajah atau kepala dan gigi berlubang.
Pasien sering minum minuman dingin dan selalu tidur diruangan ber-AC dengan suhu
sekitar 16-20°C. pasien mengatakan rutin membersihkan rumah dari debu, membersihkan AC
setiap 3 bulan sekali dan rutin mengganti sprei serta sarung bantal. Tidak ada keluarga yang
memiliki Riwayat asma atau alergi. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit kronis seperti
diabetes melitus.

Riwayat Penyakit Dahulu:


Tidak ada

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. STATUS LOKALIS

44
Telinga
Dextra Sinistra
Bentuk daun telinga Mikrotia (-), makrotia (-), Mikrotia (-), makrotia (-),
anotia (-), cauliflower (-) , anotia (-), cauliflower (-) ,
cryptotia (-), satyr ear (-),bat’s cryptotia (-), satyr ear (-),bat’s
ear (-) ear (-)
Kelainan Kongenital Mikrotia (-), makrotia (-) atresia Mikrotia (-), makrotia (-)
(-), fistula (-), bat’s ear (-), atresia (-), fistula (-), bat’s ear
anotia (-), stenosis canalis (-), (-), anotia (-), stenosis canalis
cyptotia (-), satyr ear (-) (-), cyptotia (-), satyr ear (-)
Radang Tanda radang : Nyeri (-), Tanda radang : Nyeri (-),
hiperemis (-),hipertemi(-), hiperemis (-),hipertemi(-),
edema (-) edema (-)
Nyeri tekan tragus Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Penarikan daun telinga Nyeri tarik(-) Nyeri tarik (-)
kelainan pre-, infra-, Fistula (-), hematoma (-), Fistula (-), hematoma (-),
retroaurikuler laserasi (-), abses (-), sikatriks (- laserasi (-), abses (-), sikatriks
), massa (-), hiperemis (-), nyeri (-), massa (-), hiperemis (-),
tekan (-), hipertermi (-), edema nyeri tekan (-), hipertermi (-),
(-), tumor (-), tragus aksesorius edema (-), tumor (-), tragus
(-), vulnus (-) aksesorius (-), vulnus (-)
region mastoid Massa(-), hiperemis(-), odem(- Massa(-),hiperemis(-),odem(-),
), nyeri (-), abses (-), hipertemi nyeri(-),abses(-),hipertemi (-)
(-)
liang telinga lapang, furunkel (-), jar. lapang, furunkel (-), jar.
granulasi (-), serumen (-), edem granulasi (-), serumen (-), edem
(-), sekret (+) mukoserosa dan (-), sekret (-), darah (-),
berbau, darah (-), hiperemis (- hiperemis (-), kolesteatom (-),
), kolesteatom (-), stenosis (-), stenosis (-), atresia (-),sekret (-
atresia (-), laserasi (-), ), laserasi (-), perdarahan aktif
perdarahan aktif (-), benda (-). benda asing (-), hifa (-)
asing (-), hifa (-)

45
Membran Timpani Perforasi sentral (+), refleks Perforasi sentral (+), refleks
cahaya (-), hiperemis (-), cahaya (-), hiperemis (-),
bulging (-), retraksi (-), bulging (-), retraksi(-)
timpanosklerosis (-), timpanosklerosis(-),
hemotimpanum (-) hemotimpanum (-)

Tes Penala
Kanan Kiri
Rinne Positif negatif
Weber Lateralisasi ke sinistra
Swabach Sesuai pemeriksa Memanjang
Penala yang dipakai 512 Hz
Kesan : tuli konduktif pada telinga kiri pada frekuensi 512Hz

Hidung
Dextra Sinistra
Bentuk Saddle nose (-), hump nose (-), Saddle nose (-), hump nose (-),
agenesis (-), hidung bifida (-), agenesis (-), hidung bifida (-),
atresia nares anterior (-), atresia nares anterior (-),
deformitas (-) deformitas (-)
Tanda peradangan Hiperemis (-), hipertermi (-), Hiperemis (-), hipertermi (-),
nyeri (-), massa (-) nyeri (-), massa (-), functio
laesa (-)
Daerah sinus frontalis Nyeri tekan (-), nyeri ketuk (-), Nyeri tekan (-), nyeri ketuk (-),
dan maxillaris krepitasi (-) krepitasi (-)
Vestibulum laserasi (-), sekret (-), furunkel laserasi (-), sekret (-), furunkel
(-), krusta (-), hiperemis (-), (-), krusta (-), hiperemis (-),
hipertermi (-), nyeri (-), massa hipertermi (-), nyeri (-), massa
(-) (-)
Cavum Nasi Lapang, sekret (-), massa (-), Lapang, sekret (-), massa (-),
krusta (-), benda asing (-) krusta (-), benda asing (-)
hiperemis (-) hiperemis (-)

46
Konka inferior Hipertrofi (-), hiperemis (-), Hipertrofi (-), hiperemis (-),
livide (+), edema (+) livide (+), edema (+)
Meatus nasi inferior sekret (-), massa (-) sekret (-), massa (-)

Konka Medius Edema (+), hipertrofi (-), Edema (+), hipertrofi (-),
hiperemis (-), livide (+), konka hiperemis (-), livide (+), konka
bulosa (-) bulosa (-)
Meatus nasi medius sekret (-), massa (-) sekret (-), massa (-)
Septum nasi Deviasi (-), spina (-), hematoma Deviasi(-), spina (-), hematoma
(-), abses (-), perforasi (-) (-), abses (-), perforasi (-)

Pemeriksaan Transluminasi
Sinus Frontal kanan, Kiri : Positif
Sinus Maxilla kanan, Kiri : Positif

Tenggorok
Pharynx
Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan
Dinding pharynx Hiperemis (-), granula (-), ulkus (-), perdarahan aktif (-), clotting
(-), post nasal drip (-), massa (-)
Arcus simetris (+/+), hiperemis (-/-), edema (-/-), ulkus (-/-), laserasi (-/-)
Tonsil T1-T1, hiperemis (-/-), edema (-/-), ulkus (-/-), detritus (-/-),
pseudomembran (-/-), kriptus (-/-)
Uvula Terletak di tengah, hiperemis (-/-), bifida (-/-), massa (-/-),
memanjang (-/-), edema (-/-)
Gigi Caries dentis (-), gigi berlubang (-)
Lain-lain

Kelenjar Getah Bening


Tidak adanya pembesaran KGB leher pada pemeriksaan inspeksi dan palpasi.

RESUME
Seorang pasien perempuan berusia 37 tahun datang dengan keluhan otore pada telinga
kanan sejak 2 bulan SMRS. Sekret mukoserosa dan berbau. Pasien pernah mengalami keluhan

47
yang sama pada telinga kiri sekitar 1 tahun yang lalu tetapi tidak pernah berobat. Sebelum
keluar cairan pasien sempat merasakan nyeri pada telinga dan setelah cairan keluar nyeri
telinga mereda. Keluhan demam sebelum keluar cairan dari telinga disangkal. Pasien
mengatakan ada penurunan pendengaran pada telinga sebelah kiri. keluhan seperti pusing
berputar, berdenging pada telinga, mual muntah, nyeri kepala dan kejang disangkal oleh pasien.
Rasa kebas pada wajah atau mulut mencong juga disangkal oleh pasien.
Sejak kecil pasien sering bersin-bersin terutama di pagi hari dan apabila terkena
pewangi ruangan atau asap. Keluhan ini dirasakan hampir setiap hari tetapi tidak sampai
menganggu aktivitas. Pasien merasakan ada ingus yang mengalir di belakang tenggorokan.
Pada pemeriksaan fisik telinga ditemukan perforasi sentral pada membran timpani kiri
dan kanan. Terdapat sekret bening di telinga kanan. Pada pemeriksaan penala didapatkan kesan
tuli konduktif pada telinga kiri dengan frekuensi 512Hz. Pada pemeriksaan hidung didapatkan
konka inferior dan media kiri kanan livide dan edema.

DIAGNOSIS KERJA
Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) Tipe Aman Aktif AD
Dasar yang mendukung:
Anamnesis:
• Otore pada telinga kanan sejak 2 bulan
• Tidak ditemukan gejala komplikasi pada intratemporal dan intrakranial
Pemeriksaan Fisik:
• Pada telinga kanan didapatkan perforasi sentral pada membran timpani
• Pada pemeriksaan terdapat sekret
• Tidak ditemukan kolesteatoma

Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) Tipe Aman Tenang AS


Dasar yang mendukung:
Anamnesis:
— Riwayat otore dari telinga kiri sejak kurang lebih 1 tahun SMRS
— Tidak ditemukan gejala komplikasi pada intratemporal dan intrakranial
Pemeriksaan Fisik:
— Pada telinga kiri didapatkan perforasi sentral pada membran timpani
— Pada pemeriksaan tidak terlihat adanya sekret

48
— Tidak ditemukan kolesteatoma

Rhinitis Alergi Persisten Ringan


Dasar yang mendukung:
Anamnesis:
• Sering bersin pada pagi hari dan terutama saat mencium pewangi ruangan atau asap
• Keluhan dirasakan hampir setiap hari
• Keluhan tidak menganggu aktivitas sehari-hari
Pemeriksaan fisik:
• Pada rhinoskopi anterior tampak mukosa hidung edema dan berwarna livid

TATALAKSANA
OMSK Tipe Aman Aktif AD
• Cuci telinga H2O2 3% 3 x 5 gtt AD selama 3 hari, dilanjutkan dengan pemberian
antibiotik tetes telinga (Mis: Kloramfenikol, ofloxacin atau ciprofloxacin) bila sekret
sudah berkurang
• Amoxicilin 3 x 500mg, selama 7 hari kemudian disesuaikan dengan hasil kultur
OMSK Tipe Aman Tenang AS
• Stimulasi epitelialisasi tepi perforasi (rujuk ke spesialis THT)
Rhinitis Alergi Persisten Ringan
• Loratadine 1 x 10mg

EDUKASI
• Menjaga agar telinga tidak kemasukan air, tidak berenang
• Mempertahankan kondisi tubuh sehat
• Berobat segera apabila ada batuk pilek
• Hindari alergen dan iritan yang dapat menimbulkan alergi
• Jangan menggosok hidung dan mata

PROGNOSI
Ad vitam : ad bonam
Ad sanationam : ad bonam

49
Ad fungtionam : dubia ad bonam

50
BAB IV
PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik THT yang dilakukan pada pasien ini, maka
dapat ditegakkan diagnosis kerja Otitis Media Supuratif Kronis Tipe Aman Aktif Aurikula
Dekstra dan Otitis Media Supuratif Kronis Tipe Aman Tenang Aurikula Sinistra dan Rhinitis
Alergi Persisten Ringan
Hasil anamnesis yang mendukung diagnosis OMSK Tipe Aman aktif AD adalah adanya
otore pada telinga kanan sejak 2 bulan SMRS dan tidak ditemukan tanda-tanda komplikasi
intratemporal dan intrakranial. Hasil anamnesis yang mendukung diagnosis OMSK Tipe Aman
tenang OS adalah adanya Riwayat otore pada telinga kiri 1 tahun yang lalu dan tidak ditemukan
adanya tanda-tanda komplikasi intratemporal dan intrakranial. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan adanya perforasi sentral pada membran timpani kiri dan kanan. Terdapat sekret
mukoserosa pada liang telinga kanan.
Hasil anamnesis yang mendukung diagnosis Rhinitis Alergi Persisten Ringanadalah
Riwayat bersin di pagi hari dan terutama Ketika pasien mencium pewangi ruangan atau asap.
Pasien juga sering merasa ada cairan yang turun ke tenggorokan. Keluhan dirasakan hampir
setiap hari tetapi tidak menganggu aktivitas. Pada rhinoskopi anterior ditemukan konka inferior
dan media edema serta livide. Pada pemeriksaan tenggorokan juga tampak dinding faring
posterior bergranul dan edem.
Untuk penatalaksanaan OMSK, telinga kanan dapat diberikan Cuci telinga H2O2 3% 3 x 5
gtt AD selama 3 hari, dilanjutkan dengan pemberian antibiotik tetes telinga (Mis:
Kloramfenikol, ofloxacin atau ciprofloxacin) bila sekret sudah berkurang Amoxicilin 3 x
500mg, selama 7 hari kemudian disesuaikan dengan hasil kultur. Untuk telinga kiri dapat
dirujuk ke spesialis THT untuk stimulasi epitelisasi tepi perforasi.
Untuk rhinitis alergi pemberian pengobatan dengan antihistamin. Antihistamin yang
diberikan pada pasien adalah golongan kedua yang tidak memiliki efek sedative agar tidak
menganggu aktivitas sehari-hari yaitu loratadine 1 x 10 mg.

51
BAB V
KESIMPULAN

Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) merupakan suatu infeksi kronis di telinga tengah
dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah lebih dari 2 bulan
secara terus menerus atau hilang timbul, sekret dapat encer atau kental, bening atau berupa
nanah. OMSK ini dibagi menjadi dua jenis yaitu OMSK tipe aman dan OMSK tipe bahaya.
Dan berdasarkan aktivitas sekret juga dibagi menjadi dua yaitu OMSK tipe aktif dan OMSK
tipe tenang.
OMSK ini sering didahului oleh penyakit ISPA. Komplikasi dari penyakit ini cukup berbahaya,
karena tidak hanya komplikasi dibagian telinga saja melainkan dapat menjalar sampai ke
intrakranial. Namun, dengan pemberian terapi yang adekiat, komplikasi ini bisa dicegah.
Prognosis untuk penyakit ini secara umum baik bula diterapi dengan cepat dan tepat sehingga
tidak muncul komplikasi yang serius.

52
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjarifuddin, Bashiruddin J, Bramantyo B. Kelumpuhan Nervus Fasialis Perifer. In :


Soepardi EA, Iskandar N editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala Leher. 6th ed. Jakarta : Balai Penerbit FK-UI, 2007.
2. Meritt HH. A. Texbook of Neurogy : Injury to Cranial and Peripheral Nerves, Philadelphia;
1967. p. 378-81
3. K.J.Lee. Essential Otolaryngology and Head and Neck Surgery. IIIrd Edition, Chapter 10 :
Facial Nerve Paralysis.2006.
4. Soepardi.E.A, N.Iskandar, J.Bashiruddin, R.D.Restuti. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Vol VI(6). Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2011.
5. Henry Gray. American Journal of Anatomy. Diunduh dari
http://www.bartleby.com/107/230.html
6. Aboet, A. Radang Telinga Tengah Menahun. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
Tetap dalam Bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher pada
Fakultas Kedokteran USU. Medan; 2007.
7. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, restuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan telinga
hidung tenggorok kepala dan leher. 7th ed. Jakarta: badan penerbit FKUI; 2017.
8. Mescher AL. The respiratory system. Dalam: Junqueira’s basic histologi text & atlas. 13rd
ed. USA: MC Graw Hill; 2013.
9. Paulsen F, Waschke J. Sobotta: Atlas of human anatomy internal organs. 15th ed. Munich:
Elsevier; 2011.
10. Mangunkusumo E. Buku teks komprehensif ilmu THT-KL telinga, hidung, tenggorokan
kepala-leher. Jakarta: penerbit buku kedokteran EGC; 2019.
11. Roland PS. Chronic suppurative otitis media. Updated 2017 mar[cited 2020 november 05].
Avaible on: https://emedicine.medscape.com/article/859501-overview.
12. World Health Organization. Chronic suppurative otitis media burden of illness and
management options. Upload 2004 [cited 2020 november 5]. Avaible on:
http://www.who.int/pbd/publications/Chronicsuppurativeotitis_media.pdf.
13. Ng CL, Wang DY. Latest developments in allergic rhinitis in Allergy for clinicians and
researchers. Allergy 2015; 70: 1521–1530
14. Bousquet J et al. Next generation Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma (ARIA)
guidelines for allergic rhinitis based on Grading of Recommendations Assessment,

53
Development and Evaluation (GRADE) and real world evidence. J Allergy Clin Immnunol
2019.

54

Anda mungkin juga menyukai