Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH KMB 3

(CA OROFARINGEAL)
Dosen Pembimbing: Arum Dwi Ningsih,S.Kep.,Ns.M.Kep

Disusun Oleh :

1. Debby Nabrina (163210052)


2. Hepy November (163210058)
3. Novia Rurita Leny.E (163210068)
4. Vinda Rahmadania (163210078)

Program Studi S1 Keperawatan


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
INSAN CENDEKIA MEDIKA
JOMBANG
2016-2018
Kata Pengantar

Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT yang mana atas
berkat dan pertolongan-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah ini. Terimakasih
juga kami ucapkan kepada dosen pembimbing yang turut membimbing kami
sehingga bisa menyelesaikan makalah ini sesuai waktu yang telah di tentukan.

Sholawat serta salam senantiasa kami haturkan kepada suri tauladan kita
Nabi Muhammad SAW yang selalu kita harapkan syafa’atnya di hari kiamat nanti.
Makalah ini kami buat dalam rangka untuk memperdalam pengetahuan dan pemahaman
mengenai Ca orofaringeal dengan harapan agar para pembaca bisa lebih
memperdalam pengetahuan tentang Mati Batang Otak, ini juga dibuat untuk memenuhi
tugas mata kuliah Keperawatan Makalah KMB 3. Dengan segala keterbatasan yang
ada, kami telah berusaha dengan segala daya dan upaya guna menyelesaikan makalah
ini. Kami menyadari bahwasanya makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca untuk
menyempurnakan makalah ini. Atas kritik dan sarannya kami ucapkan terimakasih.

Jombang, 10 Oktober 2018

i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ......................................................................................................................................... i
BAB I ...................................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ................................................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................................ 1
1.3 Tujuan .................................................................................................................................... 1
BAB II..................................................................................................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................................................... 3
2.1 ANTATOMI FISIOLOGI SISTEM .................................................................................... 3
2.2 PENGERTIAN ...................................................................................................................... 6
2.3 KLASIFIKASI ...................................................................................................................... 9
2.4 ETIOLOGI ............................................................................................................................ 9
2.5 PATOFISIOLOGI .............................................................................................................. 12
2.6 TANDA DAN GEJALA...................................................................................................... 13
2.7 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK ...................................................................................... 15
2.8 PENATALAKSANAAN ..................................................................................................... 17
BAB III ................................................................................................................................................. 20
ASUHAN KEPERAWATAN............................................................................................................... 20
3.1 PENGKAJIAN KEPERAWATAN ............................................................................................ 20
3.2 Pemeriksaan fisik ................................................................................................................ 22
3.3 Pemeriksaan penunjang ..................................................................................................... 22
3.4 DIAGNOSA KEPERAWATAN ........................................................................................ 23
3.5 PERENCANAAN KEPERAWATAN ............................................................................... 23
BAB IV ................................................................................................................................................. 26
PENUTUP ............................................................................................................................................ 26
KESIMPULAN ................................................................................................................................. 26
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 27

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tumor nasofaring adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel nasofaring.
Penyakit ini adalah tumor ganas yang relatif jarang ditemukan pada beberapa
tempat seperti Amerika Utara dan Eropa dengan insiden penyakit 1 per 100.000
penduduk. Tumor ganas ini lebih sering terdapat di Asia Tenggara termasuk Cina,
Hongkong, Singapura, Malaysia dan Taiwan dengan insiden antara 10 – 53 kasus
per 100.000 penduduk. Di Timur Laut India, insiden pada daerah endemik antara
25 – 50 kasus per 100.000 penduduk.Di Eskimo, Alaska, Greenland, dan Tunisia
insidennya juga meningkat yaitu 15-20 kasus per 100.000 penduduk per tahun.
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas kepala dan leher yang
terbanyak ditemukan di Indonesia yaitu sekitar 60% dan menduduki urutan ke-5
dari seluruh keganasan setelah tumor ganas mulut rahim, payudara, getah bening,
dan kulit (Roezin, 2013).
Di Indonesia, tumor ganas ini termasuk dalam urutan pertama tumor ganas
pada kepala dan leher dengan angka mortalitas yang cukup tinggi. Jenis penyakit
ini sangat tinggi populasinya di Negara-negara Asia tertentu, sehingga
menimbulkan dugaan bahwa faktor genetic ikut berperan dalam pathogenesis
penyakit. Penyakit karsinoma nasofaring (KNF) juga memiliki gejala yang
berbeda-beda dari setiap pasien, sehingga para medik sering mengalami kesulitan
saat harus melakukan diagnosa tanpa bantuan specialis atau pakar dalam hal ini
dokter specialis penyakit Telinga Hidung dan Tenggorokan (THT).

1.2 Rumusan Masalah


 Apa definisi, epidemiologi, dan etiologi dari tumor nasofaring?
 Bagaimana manifestasi klinik, patofisiologi, dan komplikasi & prognosis
dari tumor nasofaring?
 Bagaimana penatalaksanaan dan pencegahan dari tumor nasofaring?
 Bagaimana rencana asuhan keperawatan penyakit tumor nasofaring?

1.3 Tujuan
 untuk mengetahui definisi dan epidemiologi tumor nasofaring

1
 untuk mengetahui manifestasi klinik, etiologi dan patofisiologi tumor
nasofaring
 untuk mengetahui pemeriksaan diagnosis dan penatalaksanaan tumor
nasofaring
 untuk mengetahui rencana asuhan keperawatan penyakit tumor nasofaring

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANTATOMI FISIOLOGI SISTEM
1. Anatomi
Orofaring adalah bagian tengah dari faring yang menghubungkan bagian
superior nasofaring ke rongga mulut bagian anterior dan ke hipofaring bagian
inferior. Orofaring meluas melalui garis imajiner pada bidang horisontal melalui
palatum durum melalui tulang hyoid (Gambar. 2.1). Seperti membuka ke dalam
rongga mulut, dibatasi oleh papila sirkumvalata, pilar tonsil anterior, dan
pertemuan antara palatum durum dan palatum mole. Batas posterior orofaring
adalah dinding faring posterior, yang terletak pada bagian anterior fasia
prevertebral. Batas lateral yang meliputi fossae tonsil dan pilar, dan dinding faring
lateral. Batas superior berdekatan dengan batas inferior dari nasofaring. Secara
klinis, orofaring dibagi menjadi empat subsitus: dasar lidah, palatum mole, fossa
tonsil palatine dan pilar, dan dinding faring.

Dinding faring terdiri dari beberapa lapisan, yang terdiri dari bagian
permukaan sampai ke dalam mukosa, submukosa, fasia pharyngobasilar, otot
konstriktor (serabut superior dan bagaian atas tengah), dan fascia
buccopharyngeal. Anatomi bagain superfisial dari dinding lateral yang meliputi
pilar tonsil anterior (otot palatoglossus); jaringan tonsil palatine, yang terletak di
fossa tonsil; posterior pilar tonsil (otot palatopharyngeal); dan sebagian kecil dari
dinding faring lateral. Tonsil palatine, memiliki permukaan yang tidak teratur

3
dipenuhi dengan kripta, dimana tubulus dari epitelium menginvaginasi jauh ke
dalam jaringan limfoid dari tonsil.
Palatum mole adalah struktur fibromuskular yang menonjol ke posterior dan
ke bawah ke dalam orofaring. Terdiri dari mengenai langit-langit aponeurosis,
yang membentuk tulang skeletal dan termasuk tensor veli palatini, levator veli
palatine, uvular, palatoglossus, dan otot palatopharyngeal.
Dasar lidah adalah dinding anterior orofaring dan memanjang dari papila
sirkumvalata kembali ke ligamentum pharyngoepiglottic dan lipatan
glossoepiglottic. Tonsil linguinalis terletak pada bagian superfisial dan lateral
pada kedua sisi dan menyebabkan permukaan mukosa yang tidak teratur.
Sepasang vallekula menandai transisi dari dasar lidah ke epiglotis. Hubungan ini
menjelaskan mengapa penyebaran submukosa tumor dari dasar lidah mungkin
melibatkan laring supraglottic atau, sebaliknya, tumor laring dapat tumbuh
menjadi dasar lidah.
Sebagian besar orofaring diinervasi melalui persarafan sensorik dan motorik
melalui saraf glossopharyngeal (saraf kranial IX) dan vagus (saraf kranial X).
Saraf hypoglossal (kranial XII saraf) menginervasi persarafan motorik ke dasar
lidah. Persarafan motorik dan sebagian besar persarafan sensorik dari palatum
mole berasal dari saraf trigeminal.
Orofaring banyak diperdarahi oleh pembuluh darah yang kebanyakan berasal
dari cabang arterikarotid eksternal, khususnya faringeal asenden. Drainase
limfatik terutama untuk level I dan II, dengan struktur garis tengah seperti dasar
lidah, palatum mole, dan dinding posterior faring dialirkan ke kedua sisi leher.
Dinding faring posterior, palatum mole, dan daerah tonsil juga mengalir ke
kelenjar retropharyngeal, yang kemudian mengalir ke kelenjar getah bening pada
level II.
Orofaring dikelilingi tiga sisi ruang fasia yang potensial. Ruang
retropharyngeal adalah suatu area dari jaringan ikat longgar terletak di belakang
faring antara fasia buccopharyngeal faring dan lapisan alar dari fasia prevertebral.
Ruang retropharyngeal memanjang dari dasar tengkorak ke mediastinum superior
dan berkomunikasi dengan ruang parapharyngeal bagian lateral. Ruang
parapharyngeal didefinisikan oleh garis fasia yang memanjang dari dasar
tengkorak ke bagian kornu besar dari tulang hyoid dan lateral dinding faring.
Memiliki bentuk piramida terbalik, dan batasbatasnya termasuk bagian superior
4
adalah tengkorak, raphe pterygomandibular anterior, fascia prevertebral posterior,
dan faring medial. Batas lateral yang paling kompleks dan dibentuk oleh fasia
yang melapisi otot medial pterygoideus, sebagian dari mandibula, lobus bagian
dalam parotid, dan posterior belly otot digastrikus. Fasia ini meluas ke bagian
superior, menggabungkan ligamentum stylomandibular, dan berhubungan kuat
dengan fasia interpterygoid untuk menempel pada dasar tengkorak di aline lewat
medial ke foramen ovale dan spinosum. Hal ini juga memisahkan ruang
parapharyngeal dari fossa infratemporal dan ruang mastikator dan tempat saraf
trigeminal yang terakhir. 3
Ruang parapharyngeal dapat dibagi lagi oleh lapisan fasia berjalan dari otot
tensor veli palatini ke styloid dan struktur terkait menjadi dua kompartemen.
Kompartemen prestyloid mengandung lemak. bagian variabel tersebut yang lobus
mendalam parotid, dan cabang kecil tersebut yang saraf trigeminal ke palatini
tensor veli. Kompartemen pasca styloid mengandung arteri karotis, vena jugularis,
saraf kranialis IX sampai XII, rantai simpatis, dan kelenjar getah bening.
Terdapat beberapa aspek anatomi orofaringeal yang penting secara klinis.
permukaan tidak teratur dari dasar lidah dan tonsil membuat sulit untuk
mengidentifikasi tumor kecil. Saraf vagus dan glossopharingeus memiliki cabang
timpani dan auricular (saraf Jacobson dan Arnold), yang menyebabkan otalgia
berhubungan dengan tumor dari daerah ini. ruang retropharyngeal dan
parapharyngeal juga berfungsi sebagai rute potensial untuk penyebaran kanker.
Margin bedah mungkin sulit dicapai pada beberapa pasien karena struktur
orofaringeal kekurangan batas alam. Tumor yang melibatkan palatum atau pilar
tonsil dapat menyerang atau membungkus tulang mandibula atau maksila.
Keterlibatan otot-otot pengunyahan mengakibatkan rasa sakit dan trismus. Basis
tumor lidah bisa menyebar ke segala arah untuk melibatkan laring, amandel
palatine, atau lidah lisan
2. Fisiologi
Orofaring sangat penting untuk menghasilkan suara normal. respirasi, dan
penelanan. Fungsifungsi ini sangat terkoordinasi dan memerlukan input sensorik
dan motorik dan struktur yang utuh. Sebuah pemahaman yang rinci tentang
keadaan yang terkoordinasi sangat penting. Semua modalitas pengobatan dapat
mengakibatkan disfungsi.

5
Proses menelan adalah proses yang paling kompleks. Fungsi tersebut dapat
dibagi menjadi empat tahap: (a) persiapan oral, (b) oral, (c) faringeal, dan (d)
esophageal. Orofaring memainkan peran penting dalam tiga tahap. Palatum molle
ditarik ke depan, sementara dasar lidah sedikit meningkat
selama kedua fase oral untuk mencegah makanan jatuh sebelum waktunya ke
faring.
Bolus makanan pada akhir fase oral didorong antara lidah dan palatum,
melewati dasar lidah dan lengkungan faucial, memicu fase faring. Fase ini
mencapai puncaknya dengan dorongan dari bolus makanan ke kerongkongan
melalui peristiwa berikut: (a) penutupan velopharyngeal, (b) elevasi dan
penutupan laring, (c) kontraksi otot-otot faring dan retraksi dari dasar lidah, dan
(d) pembukaan wilayah cricopharyngeal. Penggerak utama dari bolus melalui fase
faring adalah tekanan yang dikembangkan oleh dasar lidah; kontraksi faring dan
peristaltik berperan sebagian besar untuk menghapus materi sisa yang ada pada
akhir fase.
Operasi ekstirpasi dari orofaring dapat menyebabkan produksi berbicara yang
buruk, disfagia, dan aspirasi. Ini mungkin akibat dari ketidakmampuan
velopharyngeal, stenosis faring, fungsi yang
tidak layak dari tethering dasar lidah atau pengurangan volume, penurunan
kontraksi faring, denervasi sensorik, dan tertundanya pemicu menelan dari faring
karena sensasi yang menurun. Menghindari hal
tersebut, gejala sisa yang tidak diinginkan dapat dikurangi dengan pemilihan
pasien untuk operasi, rekonstruksi yang tepat, dan rehabilitasi kuat. Penggunaan
jaringan hemat intensitas termodulasi terapi
radiasi ("MRI") teknik radiasi tersebut dan rejimen yang kurang beracun mungkin
cocok dalam beberapa kasus. Evaluasi bicara dan menelan harus terjadi sebelum,
selama, dan setelah perawatan untuk memungkinkan terbaik hasil dan kualitas
hidup.

2.2 PENGERTIAN
Nasofaring merupakan suatu ruangan yang berbentuk mirip kubus, terletak
dibelakang rongga hidung. Diatas tepi bebas palatum molle yang berhubungan dengan
rongga hidung dan ruang telinga melalui koana dan tuba eustachius. Atap nasofaring

6
dibentuk oleh dasar tengkorak, tempat keluar dan masuknya saraf otak dan pembuluh
darah.
Dasar nasofaring dibentuk oleh permukaan atas palatum molle. Dinding depan
dibentuk oleh koana dan septum nasi dibagian belakang. Bagian belakang berbatasan
dengan ruang retrofaring, fasia prevertebralis dan otot dinding faring. Pada dinding
lateral terdapat orifisium yang berbentuk segitiga, sebagai muara tuba eustachius
dengan batas superoposterior berupa tonjolan tulang rawan yang disebut torus
tubarius. Sedangkan kearah superior terdapat fossa rossenmuller atau resessus lateral.
Nasofaring diperdarahi oleh cabang arteri karotis eksterna, yaitu faringeal asenden
dan desenden serta cabang faringeal arteri sfenopalatina. Darah vena dari pembuluh
darah balik faring pada permukaan luar dinding muskuler menuju pleksus pterigoid
dan vena jugularis interna. Daerah nasofaring dipersarafi oleh saraf sensoris yang
terdiri dari nervus glossofaringeus (N.IX) dan cabang maksila dari saraf trigeminus
(N.V2) yang menuju ke anterior nasofaring.
Kanker nasofaring adalah kanker yang berasal dari sel epitel nasofaring di
rongga belakang hidung dan belakang langit-langit rongga mulut. Kanker ini
merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak di temukan di
Indonesia. Hampir 60% tumor ganas dan leher merupakan kanker nasofaring,
kemudian diikuti tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%), laring (16%), dan
tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam prosentase rendah.
Karsinoma Nasofaring adalah tumor ganas yang berasal dari epitel mukosa
nasofaring atau kelenjar yang terdapat di nasofaring. Carsinoma nasofaring
merupakan karsinoma yang paling banyak di THT. Karsinoma nasofaring adalah
tumor ganas yang berasal dari sel epitel yang melapisi nasofaring. Tumor ini tumbuh
dari epitel yang meliputi jaringan limfoit, dengan predileksi di Fosa Rossenmuller
pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah
menjadi skuamosa dan atap nasofaring (Asroel, 2002). Tumor primer dapat mengecil,
akan tetapi telah menimbulkan metastasis pada kelenjar limfe.
Pada banyak kasus, nasofaring carsinoma banyak terdapat pada ras mongoloid yaitu
penduduk Cina bagian selatan, Hong Kong, Thailand, Malaysia dan Indonesia juga di
daerah India. Ras kulit putih jarang ditemui terkena kanker jenis ini. Selain itu, kanker
nasofaring juga merupakan jenis kanker yang diturunkan secara genetik.
1. Penggolongan Ca Nasofaring :
Ukuran tumor (T)
7
T Tumor
TO Tidak tampak tumor
T1 Tumor terbatas pada satu lokasi saja
Tumor terdapat pada dua lokalisasi
T2 atau lebih tetapi masih terbatas pada rongga
nasofaring
T3 Tumor telah keluar dari rongga nasofaring
T4 Tumor telah keluar dari rongga nasofaring yang telah
merusak tulang tengkorak atau saraf saraf otak

2. Regional Limfe Nodes

N0 Tidak ada pembesaran


Terdapat pembesaran tetapi homolatral dan masih
N1
bisa di gerakan
N2 Terdapat pembesaran kontralateral/bilateral dan masi
dapat digerakkan
N3 Terdapat pembesaran baik,
hemolateral,kontralatera,bilateral yang sudah melekat
pada jaringan sejkitar

3. Metatase Jauh(M)

M0 Tidak ada metatese jauh


M1 Metatase jauh

Stadium Tumor Nasofaring


a. Stadium I : T1 N0 dan M0
b. Stadium II : T2 N0 dan M0
c. Stadium III : T1/T2/T3 dan N1 dan M0 atau T3 dan N0 dan M0
d. Stadium IVa : T4 dan N0/N1 dan M0 atau T1/T2/T3/T4 dan N2 /N3

8
2.3 KLASIFIKASI
Para ahli palaentologi melakukan penelitian dan pemeriksaan sisi tulang
manusia purba dan menemukan kemungkinan karsinoma nasofaring pada zaman itu.
Hasil pemeriksaan tersebut menunjukkan tengkorak dijumpai destruksi tulang yang
dicurigai akibat komplikasi karsinoma nasofaring. Karsinoma nasofaring merupakan
tumor ganas karnisoma yang berasal dari epitel nasofaring, biasanya tumbuh dari
fossa Rosenmuller dan dapat meluas ke hidung, tenggorok dan telinga. Tumor ganas
ini paling banyak mengenai etnik China terutama yang berada di China Selatan.
Penemuan kasus baru KNF setiap tahun diberbagai dunia cukup bervariasi.
Penelitian di 17 negara Eropa menemukan rata-rata 187 kasus baru. Di Rio de Janeiro
ditemukan 16 kasus baru dan di Nigeria 12 kasus baru, sedangkan di Israel yang
mempunyai insiden KNF sedang, hanya ditemukan 3 kasus baru pada tiap tahun.
Kasus baru yang sangat banyak ditemukan di Hongkong 1146 kasus KNF. Sebagian
besar penderita KNF berumur diatas 20 tahun dengan umur paling banyak antara 50-
70 tahun. Penelitian di Taipe menjumpai umur rata-rata penderita lebih muda yaitu 25
tahun. Insiden KNF meningkat setelah umur 20 tahun dan tidak ada lagi peningkatan
insiden setelah umur 60 tahun.
KNF dapat terjadi pada setiap usia, namun sangat jarang dijumpai penderita di
bawah usia 20 tahun dan usia terbanyak antara 45-54 tahun. Laki-laki lebih banyak
dari wanita dengan perbandingan antara 2-3 : 1. Kanker nasofaring tidak umum
dijumpai di Amerika Serikat dan dilaporkan bahwa kejadian tumor ini di Amerika
Serikat adalah kurang dari 1 dalam 100.000 (Nasional Cancer Institute, 2009).
Di sebagian provinsi di Cina, dijumpai kasus KNF yang cukup tinggi yaitu 15-
30 per 100.000 penduduk. Selain itu, di Cina Selatan khususnya Hong Kong dan
Guangzhou,dilaporkan sebanyak 10-150 kasus per 100.000 orang per tahun.Insiden
tetap tinggi untuk keturunan yang berasal Cina Selatan yang hidup di negara-negara
lain. Hal ini menunjukkan sebuah kecenderungan untuk penyakit ini apabila
dikombinasikan dengan lingkungan pemicu (Nasional Cancer Institute, 2009)

2.4 ETIOLOGI
Terjadinya Ca Nasofaring mungkin multifaktorial, proses karsinogenesisnya
mungkin mencakup banyak tahap. Faktor yang mungkin terkait dengan timbulnya
kanker nasofaring adalah:
1. Kerentanan Genetik
9
Walaupun Ca Nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi kerentanan
terhadap Ca Nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif menonjol dan
memiliki fenomena agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (
Human luekocyte antigen ) dan gen pengode enzim sitokrom p4502E ( CYP2E1)
kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap Ca Nasofaring, mereka berkaitan
dengan timbulnya sebagian besar Ca Nasofaring . Penelitian menunjukkan bahwa
kromosom pasien Ca Nasofaring menunjukkan ketidakstabilan, sehingga lebih
rentan terhadap serangan berbagai faktor berbahaya dari lingkungan dan timbul
penyakit.
2. Virus EB (Eipstein-Barr)
Metode imunologi membuktikan virus EB membawa antigen yang
spesifik seperti antigen kapsid virus ( VCA ), antigen membran ( MA ), antigen
dini ( EA), antigen nuklir ( EBNA ) , dll. Virus EB memiliki kaitan erat dengan
Ca Nasofaring , alasannya adalah :
a) Di dalam serum pasien Ca Nasofaring ditemukan antibodi terkait virus EB
(termasuk VCA-IgA, EA-IgA, EBNA, dll) , dengan frekuensi positif maupun
rata-rata titer geometriknya jelas lebih tinggi dibandingkan orang normal dan
penderita jenis kanker lain, dan titernya berkaitan positif dengan beban tumor.
Selain itu titer antibodi dapat menurun secara bertahap sesuai pulihnya kondisi
pasien dan kembali meningkat bila penyakitnya rekuren atau memburuk.
b) Di dalam sel Ca Nasofaring dapat dideteksi zat petanda virus EB seperti
DNA virus dan EBNA.
c) Epitel nasofaring di luar tubuh bila diinfeksi dengan galur sel mengandung
virus EB, ditemukan epitel yang terinfeksi tersebut tumbuh lebih cepat ,
gambaran pembelahan inti juga banyak.
d) Dilaporkan virus EB di bawah pengaruh zat karsinogen tertentu dapat
menimbulkan karsinoma tak berdiferensiasi pada jaringan mukosa nasofaring
fetus manusia.

Ada beberapa mediator yang dianggap berpengaruh untuk timbulnya karsinoma


nasofaring ialah:

a) Zat Nitrosamin.
Didalam ikan asin terdapat nitrosamin yang ternyata merupakan mediator
penting. Nitrosamin juga ditemukan dalam ikan atau makanan yang diawetkan

10
di Greenland juga pada ” Quadid ” yaitu daging kambing yang dikeringkan di
Tunisia, dan sayuran yang difermentasi (asinan) serta taoco di Cina.
b) Keadaan sosial ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup.
Dikatakan bahwa udara yang penuh asap di rumah-rumah yang kurang baik
ventilasinya di Cina, Indonesia dan Kenya, meningkatkan jumlah kasus KNF.
Di Hongkong, pembakaran dupa rumah-rumah juga dianggap berperan dalam
menimbulkan KNF.
c) Kontak dengan zat karsinogenik.
Sering kontak dengan zat yang dianggap bersifat karsinogen yaitu zat yang
dapat menyebabkan kanker, antara lain Benzopyrene, Benzoathracene (sejenis
dalam arang batubara), gas kimia, asap industri, asap kayu dan beberapa
ekstrak tumbuhan-tumbuhan.
d) Ras dan keturunan.
Kejadian KNF lebih tinggi ditemukan pada keturunan Mongoloid
dibandingkan ras lainnya.Di Asia terbanyak adalah bangsa Cina, baik yang
negara asalnya maupun yang perantauan.Ras Melayu yaitu Malaysia dan
Indonesia termasuk yang banyak terkena.
e) Radang Kronis di daerah nasofaring.
Dianggap dengan adanya peradangan, mukosa nasofaring menjadi lebih rentan
terhadap karsinogen lingkungan.
f) Faktor Lingkungan
 Hidrokarbon aromatik, pada keluarga di area insiden tinggi kanker
nasofaring , kandungan 3,4 benzpiren dalam tiap gram debu asap mencapai
16,83 ug, jelas lebih tinggi dari keluarga di area insiden rendah.
 Unsur renik : nikel sulfat dapat memacu efek karsinognesis pada proses
timbulnya kanker nasofaring.
 Golongan nitrosamin : banyak terdapat pada pengawet ikan asin. Terkait
dengan kebiasaan makan ikan asin waktu kecil, di dalam air seninya
terdeteksi nitrosamin volatil yang berefek mutagenik.

11
2.5 PATOFISIOLOGI

Virus eipstein barr riwayat keluarga


Sel terinfeksi oleh EBV kerusakan DNA pada sel
dimana pola kromosannya
abnormal

Menstimulasi pembedahan sel terbenyuk sel-sel


muatan
abnormal Yang tidak terkontrol

Deferensiasi dan poliferasi protein pola kromoson abnormal


Laten (EB NA-1)

Pertumbuhan sel kanker pad kromoson ekstra terlalu


nasofaring (utama pada fossa
rossamuller) edikit translokasi
kromoson
Metastase sel-sel kanker
Ke kelenjar getah bening melalui sifat kanker di turunkan
Aliran limfe

Pertumbuhan dan
perkembangan sel merusakan sel-sel epitel kulit

sel kanker kelenjar Kerusakan integritas kulit


getah bening
Gangguan integritas kulit
Benjolan massa pada leher
Bagian samping

Menembus kelenjar dan


mengenai otak Dibawahnya

Kelenjar melekat pada otot


dan sulit Sigerakkan Indikasi kemoterapi

Nyeri perangsangan elektrik zona


Pencetus kemoreseptor
Diventrikel IV otak

mual muntah

perubahan nutrizi (-)


dari kebutuhan

12
Sudah hampir dipastikan ca.nasofaring disebabkan oleh virus eipstein barr.
Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya protein-protein laten pada penderita
ca. nasofaring. Sel yang terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protein tertentu yang
berfungsi untuk proses proliferasi dan mempertahankan kelangsungan virus didalam
sel host. Protein tersebut dapat digunakan sebagai tanda adanya EBV, seperti EBNA-
1 dan LMP-1, LMP-2A dan LMP-2B. EBNA-1 adalah protein nuclear yang berperan
dalam mempertahankan genom virus. EBV tersebut mampu aktif dikarenakan
konsumsi ikan asin yang berlebih serta pemaparan zat-zat karsinogen
yang menyebabkan stimulasi pembelahan sel abnormal yang tidak terkontrol,
sehingga terjadi differensiasi dan proliferasi protein laten (EBNA-1). Hal inilah yang
memicu partum buhan sel kanker pada nasofaring, dalam hal ini terutama pada fossa
Rossenmuller

2.6 TANDA DAN GEJALA


Tanda dan Gejala yang sering ditemukan pada kanker nasofaring adalah :
1. Gejala Dini
Karena KNF bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, maka diagnosis dan
pengobatan yang sedini mungkin sangat diperlukan.
a) Gejala telinga
 Sumbatan tuba eustachius atau kataralis
Pasien mengeluh rasa penuh di telinga, rasa berdengung kadang-kadang
disertai dengan gangguan pendengaran.Gejala ini merupakan gejala yang
sangat dini.
 Radang telinga tengah sampai perforasi membran timpani
Keadaan ini merupakan kelainan lanjutan yang terjadi akibat penyumbatan
muara tuba, dimana rongga telinga tengah akan terisi cairan. Cairan yang
diproduksi makin lama makin banyak, sehingga akhirnya terjadi perforasi
membran timpani dengan akibat gangguan pendengaran.
b) Gejala Hidung
 Epistaksis
Dinding tumor biasanya rapuh sehingga oleh rangsangan dan sentuhan
dapat terjadi perdarahan hidung atau epistaksis. Keluarnya darah ini

13
biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur
dengan ingus, sehingga berwarna kemerahan.
 Sumbatan hidung
umbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam
rongga hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis,
kadang-kadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus
kental. Gejala telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas
untuk penyakit ini, karena juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek
kronis, sinusitis dan lainlainnya. Epistaksis juga sering terjadi pada anak
yang sedang menderita radang. Hal ini menyebabkan keganasan nasofaring
sering tidak terdeteksi pada stadium dini (Roezin & Anida, 2007 dan
National Cancer Institute, 2009).
c) Gejala Lanjut
 Pembesaran kelenjar limfe leher
Tidak semua benjolan leher menandakan kekhasan penyakit ini jika
timbulnya di daerah samping leher, 3-5 cm di bawah daun telinga dan tidak
nyeri. Benjolan biasanya berada di level II-III dan tidak dirasakan nyeri,
karenanya sering diabaikan oleh pasien. Sel-sel kanker dapat berkembang
terus, menembus kelenjar dan mengenai otot di bawahnya. Kelenjarnya
menjadi lekat pada otot dan sulit digerakan. Keadaan ini merupakan gejala
yang lebih lanjut. Pembesaran kelenjar limfe leher merupakan gejala utama
yang mendorong pasien datang ke dokter.
 Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar
Karena nasofaring berhubungan dengan rongga tengkorak melalui beberapa
lubang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi, seperti penjalaran
tumor melalui foramen laserum akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI dan
dapat juga mengenai saraf otak ke-V, sehingga dapat terjadi penglihatan
ganda (diplopia). Proses karsinoma nasofaring yang lanjut akan mengenai
saraf otak ke IX, X, XI, dan XII jika penjalaran melalui foramen jugulare,
yaitu suatu tempat yang relatif jauh dari nasofaring. Gangguan ini sering
disebut dengan sindrom Jackson.Bila sudah mengenai seluruh saraf otak
disebut sindrom unilateral.Dapat juga disertai dengan destruksi tulang
tengkorak dan bila sudah terjadi demikian biasanya prognosisnya buruk.

14
 Gejala akibat metastasis
Sel-sel kanker dapat ikut bersama aliran limfe atau darah, mengenai organ
tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring, hal ini yang disebut metastasis
jauh.Yang sering ialah pada tulang, hati dan paru. Jika ini terjadi
menandakan suatu stadium dengan prognosis sangat buruk (Nutrisno ,
Achadi, 1988 dan Nurlita, 2009).

2.7 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK


1. pemeriksan kelenjar limfe leher
Perhatikan pemeriksaan kelenjar limfe rantai jugularis interna, rantai nervus
aksesorius dan rantai arteri vena transversalis koli apakah terdapat pembesaran
(Desen, 2008).
2. pemeriksaan nasofaring
Nasofaring diperiksa dengan cara rinoskopi posterior, dengan atau tanpa
menggunakan kateter (American Cancer Society, dan Soetjipto, 1989).
 Rinoskopi posterior tanpa menggunakan kateter
Nasofaringoskopi indirek menggunakan kaca dan lampu khusus untuk menilai
nasofaring dan area yang dekat sekitarnya.Pada pasien dewasa yang tidak
sensitif, pemeriksaan ini dapat dilakukan. Tumor yang tumbuh eksofitik dan
sudah agak besar akan dapat tampak dengan mudah.
 Rinoskop posterior menggunakan kateter
Nasofaringoskopi direk, dokter menggunakan sebuah fibreoptic scope ( lentur,
menerangi, tabung sempit yang dimasukkan ke rongga hidung atau mulut)
untuk menilai secara langsung lapisan nasofaring.
Dua buah kateter dimasukkan masing-masing kedalam rongga hidung kanan
dan kiri, setelah tampak di orofaring, uung katater tersebut dijepit dengan
pinset dan ditarik keluar selanjutnya disatukan dengan masing-masing ujung
kateter yang lainnya
3. Pemeriksaan saraf cranial
Ditujukan pada kecurigaan paralisis otot mata, kelompok otot kunyah dan
lidah kadang perlu diperiksa berulang kali barulah ditemukan hasil positif (Desen,
2008).
4. CT Scan

15
Pemeriksaan tomografi, CT Scan nasofaring merupakan pemeriksaan yang
paling dipercaya untuk menetapkan stadium tumor dan perluasan tumor. Pada
stadium dini terlihat asimetri dari resessus lateralis, torus tubarius dan dinding
posterior nasofaring
5. X-ray dada
Jika pasien telah didiagnosa karsinoma nasofaring, foto polos x-ray dada
mungkin dilakukan untuk menilai penyebaran kanker ke paru (American Cancer
Society, 2011 dan Soetjipto, 1989).
6. Magnetic Resonance Imaging (MRI) scan
MRI memiliki resolusi yang baik terhadap jaringan lunak, dapat serentak
membuat potongan melintang, sagital koronal, sehingga lebih baik dari CT. MRI
selain dengan jelas memperlihatkan lapisan struktur nasofaring dan luas lesi, juga
dapat secara lebih dini menunjukkan infiltrasi ke tulang. Dalam membedakan
antara pasca fibrosis pasca radioterapi dan rekurensi tumor, MRI juga lebih
bermanfaat (Desen, 2008 dan American Cancer Society, 2011) .
7. Foto Thoraks
Untuk memastikan adanya destruksi pada tulang dasar tengkorak serta adanya
metastasis jauh (Soetjipto, 1989).
8. Biopsi
Penghapusan sel atau jaringan sehingga dapat dilihat dibawah mikroskop oleh
patologi untuk memastikan tanda-tanda kanker. Biopsi nasofaring dapat dilakukan
dengan 2 cara dari hidung atau dari mulut. Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa
melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga
hidung menyulusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke
lateral dan dilakukan biopsi. Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan
kateter nelaton yang dimasukkan melalui hidung dan ujung keteter yang berada
dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama-sama ujung keteter yang di
hidung.Demikian juga dengan keteter yang dihidung disebelahnya, sehingga
palatum mole tertarik ke atas.Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah
nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau
memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut, massa tumor akan
terlihat lebih jelas. Biopsi tumor nasofaring umumnya dilakukan dengan anestesi
topikal dengan xylocain 10%
9. Pemeriksaan darah
16
Untuk mengetahui adanya metastasis jauh

2.8 PENATALAKSANAAN
a. Medik
Untuk penyakit tumor nasofaring, ada beberapa terapi yang perlu dilakukan untuk
mendukung pemulihan kondisi pasien diantaranya:
 Radioterapi
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam
penatalaksanaan KNF.Modalitas utama untuk KNF adalah radioterapi dengan
atau tanpa kemoterapi
Radioterapi adalah metode pengobatan penyakit maligna dengan
menggunakan sinar peng-ion, bertujuan untuk mematikan sel-sel tumor
sebanyak mungkin dan memelihara jaringan sehat disekitar tumor agar tidak
menderita kerusakan terlalu berat. Karsinoma nasofaring bersifat
radioresponsif sehingga radioterapi tetap merupakan terapi terpenting. Jumlah
radiasi untuk keberhasilan melakukan radioterapi adalah 5.000 sampai 7.000
cGy. Dosis radiasi pada limfonodi leher tergantung pada ukuran sebelum
kemoterapi diberikan. Pada limfonodi yang tidak teraba diberikan radiasi
sebesar 5000 cGy, <2 cm diberikan 6600 cGy, antara 2-4 cm diberikan 7000
cGy dan bila lebih dari 4 cm diberikan dosis 7380 cGy, diberikan dalam 41
fraksi 5,5 minggu
Hasil pengobatan yang dinyatakan dalam angka respons terhadap
penyinaran sangat tergantung pada stadium tumor. Makin lanjut stadium
tumor, makin berkurang responsnya.Untuk stadium I dan II, diperoleh respons
komplit 80% – 100% dengan terapi radiasi.Sedangkan stadium III dan IV,
ditemukan angka kegagalan respons lokal dan metastasis jauh yang tinggi,
yaitu 50% – 80%.Angka ketahanan hidup penderita KNF dipengaruhi
beberapa factor diantaranya yang terpenting adalah stadium penyakit.
 Kemoterapi
Secara definisi kemoterapi adalah segolongan obat-obatan yang dapat
menghambat pertumbuhan kanker atau bahkan membunuh sel kanker. Obat-
obat anti kanker dapat digunakan sebagian terapi tunggal (active single
agents), tetapi pada umumnya berupa kombinasi karena dapat lebih

17
meningkatkan potensi sitotoksik terhadap sel kanker. Selain itu sel-sel yang
resisten terhadap salah satu obat mungkin sensitive terhadap obat lainnya.
Dosis obat sitostatika dapat dikurangi sehingga efek samping menurun.
Beberapa regimen kemoterapi yang antara lain cisplatin, 5-
Fluorouracil, methotrexate, paclitaxel dan docetaxel. Tujuan kemoterapi
untuk menyembuhkan pasien dari penyakit tumor ganas. Kemoterapi bisa
digunakan untuk mengatasi tumor secara lokal dan juga untuk mengatasi sel
tumor apabila ada metastasis jauh.
Pemberian kemoterapi adjuvant yang dimaksud adalah pemberian
sitostatika lebih awal yang dilanjutkan pemberian radiasi. Maksud dan tujuan
pemberian kemoterapi neoadjuvan untuk mengecilkan tumor yang sensitif
sehingga setelah tumor mengecil akan lebih mudah ditangani dengan radiasi.
Kemoterapi neoadjuvan telah banyak dipakai dalam penatalaksanaan
kanker kepala dan leher. Alasan utama penggunaan kemoterapi neoadjuvan
pada awal perjalanan penyakit adalah untuk menurunkan beban sel tumor
sistemik pada saat terdapat sel tumor yang resisten.Vaskularisasi intak
sehingga perjalanan ke daerah tumor lebih baik. Terapi bedah dan radioterapi
sepertinya akan memberi hasil yang lebih baik jika diberikan pada tumor
berukuran lebih kecil.
Kemoterapi concurrent diberikan bersamaan dengan radiasi. Umumnya
dosis kemoterapi yang diberikan lebih rendah. Biasanya sebagai
radiosensitizer. Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada KNF ternyata
dapat meningkatkan hasil terapi terutama pada stadium lanjut atau pada
keadaan relaps. Hasil penelitian menggunakan kombinasi cisplatin
radioterapi pada kanker kepala dan leher termasuk KNF, menunjukkan hasil
yang memuaskan. Cisplatin dapat bertindak sebagai agen sitotoksik dan
radiation sensitizer. Jadwal optimal cisplatin masih belum dapat dipastikan,
namun pemakaian sehari-hari dengan dosis rendah, pemakaian 1 kali
seminggu dengan dosis menengah, atau 1 kali 3 minggu dengan dosis tinggi
telah banyak digunakan.
b. Keperawatan.
 Operasi
Tindakan operasi pada penderita KNF berupa diseksi leher radikal dan
nasofaringektomi. Disekresi leher dilakukan jika masih terdapat sisa kelenjar
18
pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat bahwa tumor
primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan melalui pemeriksaan
radiologi. Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan
pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak
berhasil diterapi dengan cara lain.
 Perawatan paliatif
Hal-hal yang perlu perhatian setelah pengobatan radiasi.Mulut terasa kering
disebabkan oleh kerusakan kelenjar liur mayor maupun minor sewaktu
penyinaran. Gangguan lain adalah mukositis rongga mulut karena jamur, rasa
kaku didaerah leher karena fibrosis jaringan akibat penyinaran, sakit kepala,
kehilangan nafsu makan dan kadang-kadang muntah atau rasa mual.
Perawatan paliatif diindikasikan langsung untuk mengurangi rasa nyeri,
mengontrol gejala dan memperpanjang usia.

19
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 PENGKAJIAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian Keperawatan
Identitas
a) Nama
b) Tempat tanggal lahir
c) Umur
d) Jenis Kelamin
e) Agama
f) Warga Negara
Penanggung Jawab
a) Nama
b) Alamat
c) Hubungan dengan klien
Riwayat kesehatan
a) Keluhan Utama
Leher terasa nyeri, semakin lama semakin membesar, susah menelan, badan
merasa lemas, serta BB turun drastis dalam waktu singkat.
b) Riwayat Kesehatan Sekarang
Pasien mengeluh lemas,sulit menelan, nyeri da nada benjolan pada bagian
pipi dan leher serta pasien mengeluh mual muntah, nafsu mkan menurun dan
leher susah digerakkan dan suara menjadi serak.
c) Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Pasien pernah dirawat dirumah sakit 2 bulan yang lalu dengan keluhan yang
sama
d) Riwayat Kesehatan Keluarga
Anggota keluarga tidak ada yang menderita penyakit yang sama dan keluarga
juga tidak memiliki riwayat keturununan seperti DM, Hipertensi
Pengkajian bio,psiko,sosial dan spiritual
a) Pasien mengatakan tidak pernah mengalami kesulitan dalam bernapas baik
sebelum masuk rumah sakit maupun setelah masuk rumah saki
b) Makan

20
Makan Sebelum masuk rumah sakit pasien biasa makan 2-3 sehari dan habis 1
porsi Selama dirawat di rumah sakit pasien mengeluh tidak nafsu makan dan
susah menelan disertai mual dam muntah 3 kali (± 1500 cc) pasien hanya
mampu menghabiskan 1/3 porsi makanan setiap makan
c) Minum
Minum sebelum masuk rumah sakit pasien biasa minum 5 gelas perhari, selama
dirumah sakit pasien minum 2-3 gelas perhari
d) Elimasi
Pasien tidak mengalami gangguan pola eliminasi baik sebelim masuk rumah
sakit maupun setelah dirawat di rumah sakit
e) Gerak dan aktifitas
Pasien mengatakan sedikir lemas, tetapi pasien mampu melakukan aktifitas
sendiri seperti makan, berpakaian , walupun kadang-kadang dibbantu oleh
keluarganya
f) Istirahat tidur
Pasien mengatakan tidak ada gangguan dalam tidurnya. Dengan jam tidur
pukul 22:00-06:00 WITA
g) Kebersihan diri
Sebelum masuk rumah sakit pasien mengatakan mandi 1x sehari, setelah
masuk rumah sakit pasien hanya di lap dengan air hangat oleh keluarganya 1x
dalam sehari
h) Rasa nyaman
Pada saat pengkajian pasien mengeluh nyeri pada bagian pipi dan leher, nyeri
hilang timbul, nyeri dirasakan seperti tertusuk-tusuk dengan skala nyeri 6 dari
skala 0-10 pasien Nampak meringis
i) Rasa aman
Pasien terlihattenang, tidak cemas dan gelisah
j) Sosialisasi dan komunikasi
Pasien dapat berinteraksi dengan perwat dan dokter, serta pasien tidak
mengalami kesulitan dalam bersosilisasi dengan keluarga maupaun lingkungan
rumah sakit walaupun suara sedikit serak
k) Prestasi dan produktifitas
Sebelum sakit pasien bekerja sebagai petani
l) Ibadah
21
Sebelum sakit Pasien menjalankan ibadah sesuai kepercayaan dan selama sakit
tidak menjalankan ibadah
m) Rekreasi
Sebelum masuk rumah sakit pasien menghabiskan waktu dengan bertani
n) Belajar
Pasien mengerti tentang tindakan pengobatan yang diberikan walaupun sesekali
bertanya dengan perawat
3.2 Pemeriksaan fisik
Keadaan umum
a) Kesan umum : lemah
b) Kesadran : compos mentis
c) Warna kulit : sao matang
d) Turgor kulit : elastis
Pemeriksaan fisik
a) Kepala : simetris, benuk lonjong, rammbut hitam tersebar merata, tidak ada
benjolan tidak ada nyeri tekan dan tidak ada lesi
b) Mata : simetris kornea normal, reflek pupil +/+ sklera putih,
Telinga : simetris pendengaran kurang baik
c) Mulut : keberihan gigi dan mulut cukup
d) Leher : terdapat benjolan dileher
e) Thorax : simetris, tidak ada nyeri gerakan teratur, tidak ada benjolan
f) Abdomen : simetris yidak ada lesi, tidak kembung
g) Ekstermitas : atas: terpasang infus ditangan kiri terdapat lesi bawah: tidak
terdapat varises
3.3 Pemeriksaan penunjang
No Parameter Hasil Satuan Nilai Remrks
rujukan
1. WBC 1,97 X10 3/uL 4,10-11,00 rendah
2. NE% 80,10 % 47,00-80,00
3. LY% 12,70 % 13,00-40,00
4. MO% 3,30 % 2,00-11,00

22
3.4 DIAGNOSA KEPERAWATAN
a) Gangguan rasa nyaman : nyeri
b) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
c) Kerusakan integritas kulit
3.5 PERENCANAAN KEPERAWATAN
a) Gangguan rasa nyaman : nyeri
Domain 12: Kenyamanan
Kelas 1: Kenyamanan fisik
Kode (00214)
Batasan karakteristik:
 Ansietas
 Berkeluh kesah
 Gangguan pola tidur
 Gatal
 Gejala distress
 Gelisah
 Iritabilitas
 Ketidakmampuan untuk relaks
 Kurang puas dengan keadaan
 Menagis
 Merasa dingin
 Merasa kurang senang dengan situasi
 Merasa hangat
 Merasa lapar
 Merasa tidak nyamana
 Merintih
 Takut

Faktor yang berhubungan

 Gejala terkait penyakit


 Kurang control situasi

23
 Kurang pengendalian lingkungan
 Kurang privasi
 Program pengobatan
 Stimuli lingkungan yang menggangu
Sumber daya tidak adekuat (mis, finansial, pengetahuan, dan social)
NOC
 Status kenyamanan
 Status kenyamanan lingkungan
 Status kenyamanan fisik
 Status kenyamanan psikospritual
 Status kenyamanan sosiokultural
NIC
Manajemen lingkungan (6482)
 Tentukan tujuan pasien dan keluarga dalam mengelola lingkungan dan
kenyamanan yang optimal
 Hindari ganguan yang tidak perluh dan berikan untuk waktu istirahat
 Sesuaikan suhu ruanagn yang paling menyamanakan individu jika
memungkinkan
Posisikan pasien untuk memfasilitasi kenyamanan
b) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Domain 2 :nutrisi
Kelas 1 makan
Kode (00002)
Batasan karakteritik
 Berat badan 20% atau lebih di bawah rentang berat badan ideal
 Bising usus hiperaktif
 Cepat kenyang setelah makan
 Diare
 Gangguan sensai rasa
 Kehilangan rambut berlebihan
 Kelemahan otot
 Untuk menelan
 Kesalahan informasih

24
 Kesalahan persepsi
 Ketidakmampuan memakan makanan
 Kram abdomen
 Kurang informasih
 Kurang minat pada makana
 Kurang minat pada minuman
 Membran mukosa pucat
 Nyeri abdomen
 Sariawan rongga mulut

Faktor yang berhubungan

 Faktor bilogis
 Faktor ekonomi
 Gangguan psikososial
 Ketidakmampuan makan
 Ketidakmampuan mencrna makanan
 Ketidakmampuan mengabsorbsi nutrient
 Kurang asupan makanan
NOC
 Status nutrisi
NIC
Manajemen nutrisi
 Tentukan status gisi pasien dan kemampuan pasien untuk memenuhi
kebutuhan gisi
 Identifikasi alergi (adanya ) alergi atau intoleransi makanan yang dimiliki
pasien
 Tentukan jumlah kalori dan jenis nutrisi yang dibutuhkan untuk memenuhi
persyaratan gisi
 Anjurkan psien mengenai modifikasi dire yang diperlukan
 Anjurkan pasien terkait dengan kebutuhan diet untuk kondisi sakit
 Monitor kalori dan asupan makanan
 Monitor kecendrugan terjadinya penurunan dan kenaikan berat badan

25
BAB IV

PENUTUP

KESIMPULAN
Sebagian besar (90%) karsinoma sel skuamosa yang timbul dari pangkal lidah, langit-
langit lunak, tonsil palatina fosa dan pilar, dan dinding faring lateral dan posterior.
Nonepithelial tumor seperti karsinoma kelenjar ludah kecil dan sarkoma jarang terjadi

Tembakau dan penyalahgunaan alkohol adalah prediktor terkuat mengembangkan


karsinoma orofaringeal. Infeksi HPV sangat terlibat dalam orang tidak terkena merokok atau
alkohol. Mengunyah sirih di negara berkembang juga merupakan faktor risiko

Tanda-tanda termasuk sakit tenggorokan, sakit mulut, disfagia, penurunan berat


badan, massa leher, dan trismus. Pasien harus dirujuk ke telinga, hidung, dan ahli bedah
tenggorokan untuk diagnosis histologi kanker.

Staging adalah melalui CT scan atau MRI kepala dan leher dengan kontras, diikuti
oleh tiga endoskopi dengan anestesi umum. Namun, PET scan baik sendiri atau
dikombinasikan dengan CT scan telah menjadi metode yang dapat diterima.

Rejimen pengobatan bervariasi tergantung pada stadium kanker dan melibatkan


operasi, kemoterapi, radiasi, dan antibodi monoklonal. Pasien harus dikelolaoleh sebuah tim
multidisiplin untuk mengoptimalkan hasil.

26
DAFTAR PUSTAKA
Dhingra PL. Tumors of Oropharynx. In: Disease of Ear, nose and Throat. 4th Edition.
New Delhi; 2009; p. 250–253.
Chung BJ, Oh JI, Choi KY, et al. Pattern of cervical lymph node metastasis in tonsil
cancer: predictive factor analysis of contralateral and retropharyngeal lymph node metastasis.
Oral Oncol. 2011;47(8):758–762.
Kami RJ, Rich IT, Sinha P. et al. Transoral laser microsurgery: a new approach for
unknown primaries of the head and neck. Laryngoscope. 2011;121:1194–1201.

Rassekh CH, Janecka IP. Calhoun KH. Lower lip splitting inci- sions: anatomic
considerations. Laryngoscope 1995;105(8):880–883.
Christopoulos E, Canan R, Segas T, et al. Transmandibular approaches to the oral
cavity and oropharynx a functional assessment. Arch Ow laryngol Head Neck Surg.
1992;118:1164–1167.
Herawati, Sri & Rukmini, Sri. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga, Hidung,
Tenggorokan Untuk Mahasiswa Fakultar Kedokteran gigi. Jakarta: EGC
Arima,Aria,C, 2006. Paralisis Saraf Kranial Multipel pada Karsinoma Nasofaring.
[diakses melalui http://library.usu.ac.id/download/fk/ D0400193.pdf pada 17 Oktober 2014]
Fuda Cancer Hospital Guangzhou,2002. Nasopharynx Carcinoma Therapy After The
Failure of Coventional Therapy. China: Fuda Cancer Hospital Guangzhou. [diakses melalui
http:// www.orienttumor.com/id/Kanker_ nasofaring. htm. pada17 Oktober 2014]
Herdman, T. Heather. 2010. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2009-
2011. Jakarta: EGC
Judith, M. Wilkinson. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Dengan Intervensi
NIC dan Kreteria Hasil NOC. Jakarta: EGC
Maqbook,M., 2000. Tumours Of Nasopharynx. In:Textbook Of Ear,Nose And Throat
Disease.Edition 9,Srinagar:Jay Pee Brothers,250-253]
National Cancer Institute, 2013. Nasopharyngeal Cancer Treatment. [diakses pada 30
Oktober 2014 melalui
http://www.cancer.gov/cancertopics/pdq/treatment/nasopharyngeal/Patient/page2].
Roezin & Anida. 2007. Karsinoma Nasofaring Dalam:Buku Ajar Telinga
Hidung,Tenggorok Kepala Dan Leher.Edisi 6. Jakarta: FKUI
Universitas Sumatra Utara. 2010. Karnisoma Nasofaring. Medan: USU Press

27

Anda mungkin juga menyukai