Anda di halaman 1dari 14

Jawaban DK Herwandi_I1011141003_Pemicu 2 _Modul

Hematologi dan Onkologi

1. Sel Darah Merah: Fungsi, Degradasi, Eritropoesis


Pembentukan eritrosit atau Eritropoesis dimulai dengan perkembangan
eritrosit yang ditandai dengan penyusutan ukuran (makin tua makin kecil),
perubahan sitoplasma (dari basofilik makin tua acidofilik), perubahan inti yaitu
nukleoli makin hilang, ukuran sel makin kecil, kromatin makin padat dan tebal,
warna inti gelap. Tahapan perkembangan eritrosit yaitu sebagai berikut:2,3

Gambar X. Pembentukan Sel Darah Merah Normal1

1) Proeritroblas
Proeritroblas merupakan sel yang paling awal dikenal dari seri eritrosit.
Proeritroblas adalah sel yang terbesar, dengan diameter sekitar 15-20µm. Inti
mempunyai pola kromatin yang seragam, yang lebih nyata dari pada pola
kromatin hemositoblas, serta satu atau dua anak inti yang mencolok dan
sitoplasma bersifat basofil sedang. Setelah mengalami sejumlah pembelahan
mitosis, proeritroblas menjadi basofilik eritroblas.2,3
2) Basofilik Eritroblas
Basofilik Eritroblas agak lebih kecil daripada proeritroblas, dan
diameternya rata-rata 10µm. Intinya mempunyai heterokromatin padat dalam
jala-jala kasar, dan anak inti biasanya tidak jelas. Sitoplasmanya yang jarang
nampak basofil sekali.2,3
3) Polikromatik Eritroblas (Rubrisit)
Polikromatik Eritoblas adalah Basofilik eritroblas yang membelah
berkali-kali secara mitotris, dan menghasilkan sel-sel yang memerlukan
hemoglobin yang cukup untuk dapat diperlihatkan di dalam sediaan yang
diwarnai. Setelah pewarnaan Leishman atau Giemsa, sitoplasma warnanya
berbeda-beda, dari biru ungu sampai lila atau abu-abu karena adanya
hemoglobin terwarna merah muda yang berbeda-beda di dalam sitoplasma
yang basofil dari eritroblas. Inti Polikromatik Eritroblas mempunyai jala
kromatin lebih padat dari basofilik eritroblas, dan selnya lebih kecil.2,3
4) Ortokromatik Eritroblas (Normoblas)
Polikromatik Eritroblas membelah beberapa kali secara mitosis.
Normoblas lebih kecil daripada Polikromatik Eritroblas dan mengandung inti
yang lebih kecil yang terwarnai basofil padat. Intinya secara bertahap menjadi
piknotik. Tidak ada lagi aktivitas mitosis. Akhirnya inti dikeluarkan dari sel
bersama-sama dengan pinggiran tipis sitoplasma. Inti yang sudah dikeluarkan
dimakan oleh makrofag-makrofag yang ada di dalam stroma sumsum tulang.2,3
5) Retikulosit
Retikulosit adalah sel-sel eritrosit muda yang kehilangan inti selnya,
dan mengandung sisa-sisa asam ribonukleat di dalam sitoplasmanya, serta
masih dapat mensintesis hemoglobin.1,2 Retikulosit dianggap kehilangan
sumsum retikularnya sebelum meninggalkan sumsum tulang, karena jumlah
retikulosit dalam darah perifer normal kurang dari satu persen dari jumlah
eritrosit. Dalam keadaan normal keempat tahap pertama sebelum menjadi
retikulosit terdapat pada sumsung tulang. Retikulosit terdapat baik pada
sumsum tulang maupun darah tepi. Di dalam sumsum tulang memerlukan
waktu kurang lebih 2 – 3 hari untuk menjadi matang, sesudah itu lepas ke dalam
darah.3
6) Eritrosit
Eritrosit merupakan produk akhir dari perkembangan eritropoesis. Sel
ini berbentuk lempengan bikonkaf dan dibentuk di sumsum tulang. Pada
manusia, sel ini berada di dalam sirkulasi selama kurang lebih 120 hari. Jumlah
normal pada tubuh laki – laki 5,4 juta/µl dan pada perempuan 4,8 juta/µl. setiap
eritrosit memiliki diameter sekitar 7,5 µm dan tebal 2 µm. Perkembangan
normal eritrosit tergantung pada banyak macam-macam faktor, termasuk
adanya substansi asal (terutama globin, hem dan besi). Faktor-faktor lain,
seperti asam askorbat, vitamin B12, dan faktor intrinsik (normal ada dalam
getah lamung), yang berfungsi sebagai koenzim pada proses sintesis, juga
penting untuk pendewasaan normal eritrosit. Pada sistem Eritropoesis dikenal
juga istilah Eritropoiesis inefektif, yang dimaksud Eritropoiesis inefektif
adalah suatu proses penghancuran sel induk eritroid yang prematur disumsum
tulang. Choi, dkk, dalam studinya bahwa pengukuran radio antara retikulosit
di sumsum tulang terhadap retikulosit di darah tepi merupakan ukuran yang
penting untuk bisa memperkirakan beratnya gangguan produksi SDM.4
Reference:
1. Guyton AC, Hall JE. Buku ajar fisiologi kedokteran Edisi 12. Philadelphia:
Elsevier. 2014.
2. Child JA. Buku saku hematologi klinik. Tanggerang: Binarupa Aksara. 2010.
3. Kaushansky K, Lichtman MA, Prchal JT, Levi MM, Press OW, Burns LJ, et
all. Williams Hematology 9 Edition. USA: McGraw-Hill Education. 2016.
4. Rodak BF, Fritsma GA, Keohane E. Hematology, 4th Edition. Philadelphia:
Saunders Company. 2012.

2. Anemia Defisiensi besi – Etiologi


Anemia defisiensi besi disebabkan oleh perdarahan kronik atau konsumsi
zat besi yang tidak adekuat sehingga sintesis hemoglobin tidak sempurna dan sel
darah merah yang hipokromik, mikrositik.

Reference:
1. Kumar V, Abbas AK,Aster JC. Robbins Basic Pathology. 9th edition. USA:
Elsevier Health Sciences; 2013.

3. Anemia Defisiensi besi – Tata Laksana

Prinsip penatalaksnaan ADB adalah mengetahui faktor penyebab dan


mengatasinya serta memberikan terapi penggantian dengan preparat besi. Sekitar 80-
85% penyebab ADB dapat diketahui sehingga penanganannya dapat dilakukan
dengan tepat. Pemberian preparat Fe dapat secara peroral atau
parenteral. Pemberian peroral lebih aman, murah dan sama efektifnya dengan
pemberian secara parenteral. Pemberian secara parenteral dilakuka pada penderita
yang tidak dapat memakan obat peroral atau kebutuhan besinya tidak dapat
terpenuhi secara peroral karena ada gangguan pencernaan. 1,2

Pemberian preparat besi


a. Pemberian preparat besi peroral
Garam ferous diabsorpsi sekitar 3 kali lebih baik dibandingkan garam feri.
Preparat yang tersedia berupa ferous glukonat, fumarat dan suksinat. Yang sering
dipakai adalah ferrous sulfat karena harganya yang lebih murah. Ferous glukonat, ferous
fumarat dan ferous suksinatdiabsorpsi sama baiknya. Untuk bayi tersedia preparat besi
berupa tetes (drop).1,3
Untuk mendapatkan respons pengobatan dosis besi yang dipakai 4-6 mg
besi/kgBB/hari. Dosis obat dihitung berdasarkan kandungan besi yang ada dalam
garam ferous. Garam ferous sulfat mengandung besi sebanyak 20%. Dosis obat
yang terlalu besar akan menimbulkan efek samping pada saluran pencernaan dan tidak
memberikan efek penyembuhan yang lebih cepat. Absorpsi besi yang terbaik adalah
pada saat lambung kosong, diantara dua waktu makan, akan tetapi dapat menimbulkan
efek samping pada saluran cerna. Untuk mengatasi hal tersebut pemberian besi dapat
dilakukan pada saat makan atau segera setelah makan meskipun akan mengurangi
absorpsi obat sekitar 40-50%. Obat diberikan dalam 2-3 dosis sehari. Tindakan
tersebut lebih penting karena dapat diterima tubuh dan akan meningkatkan
kepatuhan penderita. Preparat besi ini harus terus diberikan selama 2 bulan setelah
anemia pada penderita teratasi. Respons terapi dari pemberian preparat besi dapat
dilihat secara klinis dan dari pemeriksaan laboratorium, seperti tampak pada tabel di
bawah ini.1,2
Preparat terapi besi per oral : 3
- Fe sulfat (20 % Fe)
- Fe fumarat (33 % Fe)
- Fe succinate (12 % Fe)
- Fe gluconate (12 % Fe)

Respons terhadap pemberian besi pada ADB


Efek samping pemberian preparat besi peroral lebih sering terjadi pada orang
dewasa dibandingkan bayi dan anak. Pewarnaan gigi yang bersifat sementara. 1,2
Tabel 3: Respons pemberian besi
Waktu setelah Pemberian besi Respons
12-24 jam Penggantian enzim besi intraselular,
keluhan subjektif berkurang, nafsu
makan bertambah
36-48 jam Respons awal dari sumsum tulang
hiperplasia eritroid
48-72 jam Retikulosis, puncaknya pada hari ke 5-7

b. Pemberian preparat besi parenteral


Pemberian besi secara intramuskular menimbulkan rasa sakit dan harganya
mahal. Dapat menyebabkan limfadenopati regional dan reaksi alergi. Kemampuan
untuk menaikkan kadar Hb tidak lebih baik dibanding peroral. Preparat yang sering
dipakai adalah dekstran besi. Larutan ini mengandung 50 mg besi/ml. Dosis
dihitung berdasarkan:1,3
Dosis besi (mg) — BB(kg) x kadar Hb yang diinginkan (g/dl) x 2,5

c. Transfusi darah
Transfusi darah jarang diperlukan. Transfusi darah hanya diberikan pada
keadaan anemia yang sangat berat atau yang disertai infeksi yang dapat mempengaruhi
respons terapi. Koreksi anemia berat dengan transfusi tidak perlu secepatnya, malah
akan membahayakan karena dapat menyebabkan hipervolemia dan dilatasi jantung.
Pemberian PRC dilakukan secara perlahan dalam jumlah yang cukup untuk
menaikkan kadar Hb sampai tingkat aman sambil menunggu respon terapi besi.1,2

Reference:
1. Raspati H, Reniarti L, dkk. Anemia defisiensi besi. Buku Ajar Hematologi
Onkologi Anak. Cetakan ke-2.. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2006.
2. Soegijanto S. .Anemia defisiensi besi pada bayi dan anak. Jakarta :IDI; 2004.
3. Abdussalam,M. Diagnosis, pengobatan pencegahan anemia defisiensi besi pada
bayi dan anak. Anemia defisiensi besi.Yogyakarta: MEDIKA Fakultas
Kedokteran UGM; 2005.

4. Anemia Hemolitik – Definisi


Anemia yang disebabkan oleh pemendekan masa hidup akibat kerusakan
disertai kehancuran sel darah merah.

Reference:

1. Kumar V, Abbas AK,Aster JC. Robbins Basic Pathology. 9th edition. USA:
Elsevier Health Sciences; 2013.

2. Anemia Hemolitik – Tata Laksana


Pentalaksanaan anemia hemolitik tergantung pada jenis dan penyebab dari
anemia itu sendiri. Adapun tatalaksana yang dapat diberikan adalah:1
a. Anemia hemolitik akibat defek membran
Bentuk utama pengobatan adalah splenektomi walaupun ini tidak boleh
dilakukan kecuali diindikasikan secara klinis karena anemia atau batu empedu,
sebab terdapat resiko sepsis pasca-splenektomi, khususnya pada awal masa
anak-anak. Asam folat diberikan pada kasus yang berat untuk mencegah
terjadinya defisiensi folat.
b. Anemia hemolitik akibat kelainan metabolisme eritrosit
Menghentikan pemakaian obat pencetus, mengobati infeksi yang mendasari.
Mempertahankan keluaran urin yang tinggi, dan melakukan transfusi darah bila
perlu untuk anemia berat. Bayi yang kekurangan G6PD mempunyai
kecenderungan untuk menderita ikterus neonatorum dan pada kasus yang berat
mungkin memerlukan fototerapi dan transfusi-tukar.
c. Anemia hemolitik akibat autoimun
Beberapa tatalaksana yang didapatkan adalah:
1) Singkirkan penyebab yang mendasari (misal metildopa, Fludarabin)
2) Kortikosteroid. Prednisolon adalah pengobatan lini pertama yang umum
diberikan; 60 mg per hari adalah dosis awal biasa untuk orang dewasa dan
kemudian harus dikurangi sedikit demi sedikit. Pasien dengan IgG dominan
pada eritrosit memperlihatkan respon yang baik, sedangkan pasien dengan
komplemen dominan pada eritrosit sering berespons buruk terhadap
kortikosteroid maupun splenektomi.
3) Splenektomi mungkin berguna untuk dilakukan pada pasien yang tidak
berespons baik atau gagal mempertahankan kadar hemoglobin yang
memuaskan dengan dosis steroid yang cukup kecil. Pemeriksaan ambilan Cr51
oleh organ dapat membantu memastikan apakah limpa merupakan tempat
destruksi yang dominan atau bukan dan dengan demikian, dapat digunakan
untuk memperkirakan kegunaan splenektomi.
4) Imunosupresi dapat dicoba setelah gagal menggunakan cara lain, tetapi tidak
selalu berguna. Azatioprin, siklofosfamid, klorambusil, siklosporin, dan
mikrofenolat mefotil telah dicoba.
5) Asam folat diberikan pada kasus berat
6) Transfusi darah mungkin ddiperlukan jika anemia berat dan menimbulkan
gejala. Darah harus memiliki ketidakcocokan paling sedikit dan jika spesifitas
antibodi diketahui, dipilih darah donor yang tidak mengandung antigen yang
sesuai. Pasien juga dengan cepat membuat aloantibodi terhadap eritrosit
donor.

Reference:

1. Hoffbrand, A V, et al. Kapita Selekta Hematologi. Edisi 4. Jakarta: EGC;


2012. Hal 18-69.
3. Thalasemia – Epidemiologi
Talasemia ditemukan terutama di Asia Tenggara dan kepulauan Mediterania,
tahalasemia tersebar di Afrika, Timur Tengah, India dan Asia Tenggara. Angka
kariernya mencapai 40-80%.
Pada beberapa Negara, frekuensinya rendah di Afrika, tinggi di mediterania
dan bervariasi di Timur Tengah, India dan Asia Tenggara. HbE yang merupakan
varian talasemia sangat tinggi di wilayah ini. Tingginya frekuensi talasemia juga
mempengaruhi kekebalan HbE ini terdapat malaria plasmodium falsiparum yang
berat. Hal ini membuktikan penyakit ini disebabkan oleh mutasi baru dan
penyebarannya dipengaruhi oleh seleksi lokal oleh malaria. Kenyataan bahwa
mutasi tersebut berbeda di setiap populasi, menunjukkan seleksi ini baru terjadi
dalam beberapa ribu tahun.

Reference:

1. Permono, H. B. et al. Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak. Jakarta: Ikatan


Dokter Anak Indonesia; 2005.

2. Thalasemia – Prognosis
Talasemia beta homozigot umumnya meninggal pada usia muda dan jarang
mencapai usia dekade ke – 3. Walaupun digunakan antibiotik untuk mencegah
infeksi dan pemberian Chelating agents untuk mengurangi hemosiderosis. Apabila
dikemudian hari transplantasi sum – sum tulang dapat diterapkan maka prgnosis
akan baik karena diperoleh penyembuhan.
Talasemia mayor pada umumnya prognosa jelek, biasanya orang dengan
talasemia mayor jarang mencapai umur dewasa walaupun ada yang melaporkan
bahwa dengan mempertahankan kadar Hb yang tinggi dapat memperpanjang umur
penderita sampai 20 tahun.

Reference:

Kosasih E. N sindrom talasemia dalam : Soeparman. Waspadji. S. Ilmu penyakit


dalam jilid 2 Jakarta : Balai penerbit FKUI 2000.
3. Transfusi Darah

Pemberian tranfusi darah ditujukan untuk mempertahankan dan


memperpanjang umur atau masa hidup pasien dengan cara mengatasi komplikasi
anemia, memberi kesempatan pada anak untuk proses tumbuh kembang,
memperpanjang umur pasien. Terapi tranfusi darah dimulai pada usia dini ketika ia
mulai menunjukkan gejala simtomatik. Transfusi darah dilakukan melalui
pembuluh vena dan memberikan sel darah merah dengan hemoglobin normal.
Untuk mempertahankan keadaan tersebut, transfusi darah harus dilakukan secara
rutin karena dalam waktu 120 hari sel darah merah akan mati. Khusus untuk
penderita beta thalassemia intermedia, transfuse darah hanya dilakukan sesekali
saja, tidak secara rutin. Sedangkan untuk beta thalssemia mayor (Cooley’s Anemia)
harus dilakukan secara teratur

Tranfusi darah diberikan bila Hb anak < 7 gr/dl dyang diperiksa 2x berturut
dengan jarak 2 mingg dan bila kadar Hb > 7 gr/dl tetapi disertai gejala klinis seperti
Facies Cooley, gangguan tumbuh kembang, fraktur tulang curiga adanya
hemopoisis ekstrameduler. Pada penanganan selanjutnya, transfusi darah diberikan
Hb ≤8 gr/dl sampai kadar Hb 11-12 gr/dl. Darah diberikan dalam bentuk PRC, 3
ml/kgBB untuk setiap kenaikan Hb 1 g/dL.

4. Pengaruh susu formula pada kasus?


Figure 32-5 USEFUL PERIPHERAL BLOOD AND RED BLOOD CELL FEATURES IN THE EVALUATION
OF ANEMIA. A, Normal red blood cells (RBCs). Note the central pallor is one-third the diameter of the entire cell.
B, Rouleaux formation is indicative of increased plasma protein. C, Agglutination indicates an antibody-mediated
process such as cold agglutinin disease. D, Polychromatophilic cell. The gray-blue color is attributable to RNA and
the
cell is equivalent to a reticulocyte, which must be identified with a reticulocyte stain. E, Basophilic stippling. This
also
is attributable to increased RNA caused either by a left shift in erythroid cells or lead toxicity. F, Hypochromic
microcytic
cells typical of iron-deficiency anemia. Note the widened central pallor and the “pencil” cell in the lower left. G,
Macroovalocyte
as can be seen in either megaloblastic anemia or myelodysplastic syndrome. H, Microspherocytes typical of
hereditary spherocytosis. I, Elliptocytes (ovalocytes) from a patient with hereditary elliptocytosis. J, RBC
fragments
from thermal injury (burn patient). K, Nucleated RBC. L, Howell-Jolly bodies indicative of splenic dysfunction or
absence. M, Pappenheimer bodies from a patient with sideroblastic anemia. N, Cabot ring, as can be seen in
megaloblastic
anemia or MDS. O, Malarial parasites (Plasmodium falciparum). P, Schistocyte typical of a microangiopathic
hemolytic anemia. Q, Tear-drop form indicates marrow fibrosis and extramedullary hematopoiesis. R, Echinocyte
(Burr
cell) with rounded edges. S, Acanthocyte (spur cell) with more irregular pointed ends. This was from a patient with
neuroacanthocytosis. They can also be seen in patients with liver disease and lipid abnormalities. T, “Bite” cell
from a
patient with glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD) deficiency. U, Sickle cell, from a patient with
homozygous
sickle cell disease. V, Hemoglobin C crystal. W, Target cells. X, Hemoglobin C disease. Note that the RBC in
center
has condensed hemoglobin at each pole. Y, Heinz body preparation (supravital stain) from a patient with G6PD
deficiency.
Note that the cells to the right have increased precipitated hemoglobin.

CONTROL OF IRON ENTRY INTO PLASMA BY FERROPORTIN AND HEPCIDIN


IN THE REGULATION OF SYSTEMIC IRON HOMEOSTASIS. Ferroportin, a
multitransmembrane-spanning protein that is the only known iron exporter in humans, is expressed
at high concentrations on the basolateral membrane of duodenal enterocytes, reticuloendothelial
macrophages, and hepatocytes (not shown). Plasma hepcidin binds to a specific extracellular domain
of ferroportin, inducing the binding and then autophosphorylation of cytosolic Janus kinase 2
(JAK2). JAK2 then phosphorylates ferroportin, leading to ferroportin internalization by clathrincoated
pits and its subsequent degradation in the lysosome. See text for details. DMT1, Divalent
metal transporter 1.
Figure 33-7 TRANSCRIPTIONAL REGULATION OF HEPCIDIN EXPRESSION IN HEPATOCYTES.
Hepatic hepcidin synthesis
is regulated by iron, erythropoietic iron requirements, inflammation, and endoplasmic reticulum (ER) stress. Bone
morphogenetic
protein 6 (BMP6) is the key endogenous regulator of hepcidin synthesis. BMP6 initiates a signaling cascade by
binding to the BMP
coreceptor hemojuvelin and to two type I and two type II BMP receptors (BMPR I-II) on the surface of hepatocytes.
Neogenin may
act to stabilize hemojuvelin. BMP6 binding is followed by phosphorylation of sons of mothers against
decapentaplegic (SMAD)1/5/8
and formation of the SMAD1/5/8–SMAD4 complex, which translocates to the nucleus and activates the promoter of
the hepcidin
gene (HAMP). The soluble form of hemojuvelin, cleaved by furin, seems to compete for BMP binding with
membrane-anchored
hemojuvelin. SMAD7, stimulated by iron, interferes with SMAD4 hepcidin activation. TMPRSS6 (transmembrane
protease, serine
6; matriptase-2) inhibits BMP6 induction of hepcidin synthesis by cleaving hemojuvelin from the cell membrane.
HFE (the hemochromatosis
protein) interacts with TfR1 and likely also with TfR2 to modulate hepcidin synthesis through the BMP6-HJV-
SMAD
pathway and, possibly, through alternative routes involving the extracellular signal–regulated kinase 1 and 2
(ERK1/2), mitogenactivated
protein (MAP) kinases, and furin. Erythropoietin (EPO), growth differentiation factor15 (GDF15), and twisted
gastrulation
(TWSG1), have been proposed as mediators of hepcidin suppression by erythropoietic iron demand but the
erythroid factors involved
remain uncertain. The inflammatory cytokine IL6 induces hepcidin expression through a Janus kinase (JAK) signal
transducer and
activator of transcription (STAT) signaling pathway. Other cytokines and the BMP6-HJV-SMAD pathway may also
be involved along
with ER stress (not shown), possibly mediated by the transcription factor cyclic AMP response element–binding
protein H (CREBH)
or by the stress-inducible transcription factors CCAAT/enhancer-binding protein (C/EBP) homologous protein
(CHOP) and CCAATenhancer-
binding protein-alpha (C/EBPα). See text for details. HIF, Hypoxia inducible factor; RBC, red blood cell.
PATHOPHYSIOLOGY OF SEVERE FORMS OF β-THALASSEMIA. The diagram outlines the pathogenesis of
clinical abnormalities
resulting from the primary defect in β-globin chain synthesis. RBC, Red blood cell.
Figure 38-9 BONY ABNORMALITIES IN A PATIENT WITH SEVERE β-THALASSEMIA. A and B, “Hair-
on-end” appearance of the skull,
especially obvious in the close-up view shown in part B. C, Distortion of the maxillary bones, as well as poor
development of the sinus cavities caused
by opaque masses of extramedullary erythropoiesis. D, Squaring and convexity abnormalities of the hands.

Anda mungkin juga menyukai