Anda di halaman 1dari 7

A.

Fragilitas Eritrosit
Fragilitas eritrosit adalah kemampuan sel darah merah untuk bertahan agar tidak
mengalami lisis dalam larutan hipotonik (Reddy, 2012). Ketika sel darah merah ditempatkan
dalam larutan hipotonik, air masuk ke dalam sel darah merah karena perbedaan tekanan
osmotik. Hal ini menyebabkan pembengkakan sel sampai volume maksimal tercapai,
kemudian terjadi kebocoran pada membran dan akhirnya sel darah merah lisis, lalu
melepaskan hemoglobin (Paleari, 2009).
B. Faktor yang Mempengaruhi Fragilitas Osmotik Eritrosit
Indeks fragilitas eritrosit dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya adalah lingkungan,
kondisi fisiologis dan kondisi patologis (Chikezie, 2009). Berikut adalah faktor-faktor yang
mempengaruhi fragilitas osmotik eritrosit:
1. Lingkungan
Lingkungan yang buruk akan mempengaruhi fragilitas eritrosit. Contohnya, pada
lingkungan yang tercemar timbal. Timbal menyebabkan defisiensi enzim G-6-PD dan
penghambatan enzim pirimidin-5-nukleotidase. Hal ini menyebabkan turunnya masa
hidup eritrosit dan meningkatkan kerapuhan membran eritrosit, sehingga terjadi
penurunan jumlah eritrosit (Patrick, 2006 dalam Dwilestari, 2012). Defisiensi enzim
ini secara herediter ditandai dengan basophilic stippling pada eritrosit (Barbosa, 2005
dalam Dwilestari, 2012).
2. Paparan Sinar Matahari
Paparan sinar matahari juga berpengaruh terhadap eritrosit. Paparan sinar
ultraviolet dari matahari dapat menyebabkan terbentuknya molekul oksigen singlet
(1O2), radikal superoksida (O2-), hidrogen peroksida (H2O2), radikal peroksil (ROO),
dan radikal hidroksil (OH). Radikal hidroksil (OH) ini merupakan oksidan yang
paling toksik karena dapat bereaksi dengan bermacam-macam senyawa elemen dalam
sel seperti protein, asam nukleat, lipid dan lain-lain, sehingga dapat dengan mudah
dan cepat merusak struktur sel atau jaringan. Reaksi radikal hidroksil (OH) dengan
protein dapat mempercepat terjadinya proteolisis (Adoe, 2006).
Membran eritrosit merupakan salah satu membran sel yang rentan terhadap
serangan radikal hidroksil (OH). Jika radikal hidroksil (OH) menyerang membran
sel, maka dapat terjadi lisis bahkan kematian eritrosit. Hal ini menyebabkan
terlepasnya hemoglobin dan dapat berlanjut menjadi anemia. Padahal hampir setiap
hari manusia terpapar sinar matahari, terutama bagi mereka yang dibawah terik sinar
matahari dan tidak menggunakan pelindung, seperti baju dengan tangan panjang, tabir
surya, maupun payung (Adoe, 2006).

3. Vitamin E
Aktivitas zat radikal bebas dalam tubuh bisa dicegah oleh zat antioksidan, yang
berfungsi menghentikan aktivitas radikal bebas dan melindungi sel yang sehat dari
kerusakan. Vitamin E merupakan suatu zat penyapu radikal bebas lipofilik dan
antioksidan paling banyak di alam. Vitamin E berada di dalam lapisan fosfolipid
membran sel dan berfungsi melindungi asam lemak jenuh ganda dan komponen
membran sel lain dari oksidasi radikal bebas dengan memutuskan rantai peroksidase
lipid dengan cara menyumbangkan satu atom hidrogen dari gugus OH pada cincinnya
ke radikal bebas, sehingga terbentuk radikal vitamin E yang stabil dan tidak merusak.
Vitamin E berfungsi sebagai pelindung terhadap peroksidasi lipid di dalam membran
(Suhartono, et al. 2007, dalam Noradina, 2011).
4. Radikal Bebas
Radikal bebas adalah hasil oksidasi molekul di dalam tubuh. Sebenarnya, jika
diproduksi dalam jumlah yang sesuai, radikal bebas dibutuhkan bagi kesehatan dan
fungsi tubuh, yaitu untuk memerangi peradangan, membunuh bakteri merugikan serta
mengendalikan tonus otot polos pembuluh arah dan organ lain dalam tubuh. Tapi bila
diproduksi melebihi batas, radikal bebas dapat menyerang sel-sel tubuh. Radikal
bebas dapat mengganggu integritas sel dan dapat bereaksi dengan komponenkomponen sel, baik komponen struktural (molekul-molekul penyusun membran)
maupun komponen fungsional (protein, enzim-enzim, DNA) dengan merusak sel pada
komponen protein, DNA dan membran sel (polyunsaturated fatty acids), sehingga
membran selnya rusak dan menyebabkan gangguan pada integritas sel (Suhartono, et
al. 2007, dalam Noradina, 2011).

APKLIN
a. Anemia Defesiensi Besi
1) Definisi
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya
mineral Fe sebagai bahan yang diperlukan untuk pematangan eritrosit (Mansjoer,
2000). Menurut Bakta (2007), anemia defisiensi besi adalah anemia yang terjadi

karena kurangnya penyediaan besi

untuk eritropoesis karena tidak adanya

cadangan besi sehingga menyebabkan berkurangnya pembentukan hemoglobin.


2) Etiologi
Penyebab terjadinya anemia defisiensi besi ada beberapa macam yaitu (Bakta,
dkk., 2012):
a) Rendahnya masukan besi
Apabila konsumsi dari asupan makanan yang mengandung kadar yang sangat
rendah dari zat besi maka tubuh akan kekurangan zat besi. Seperti pada kasus
yaitu asupan makanan dengan seadanya dan terkadang hanya dengan kecap
ataupun garam akan membuat tubuh kekurangan zat mikro dan makro nutrien
khususnya zat besi.
b) Gangguan absorbsi besi
Gangguan pada absorbs yang terjadi baik secara luminal (di lambung) maupun
mucosal (di usus) maka akan menyebabkan tubuh kekurangan zat besi
meskipun makanan yang dimakan kaya akan zat besi.
c) Kehilangan akibat perdarahan menahun
o Saluran cerna
Tukak peptic : suatu penyakit terkait asam lambung yang dapat
menyebabkan luka sehingga bagian dari muskularis mukosa
lambung atau duodenum rusak. Penyebabnya adalah Helicobacter

pylori
Pemakaian NSAID : (Non Steroidal Anti Inflammatory Drug) yaitu

obat untuk analgesik dan antipiretik.


Kanker lambung
Kanker colon
Diverticulosis
Hemoroid
Infeksi cacing tambang
o Genitalia perempuan : akibat dari menorrhagia / metrorhagia
o Saluran kemih : hematuria
o Saluran napas : hemoptoe
d) Kebutuhan besi meningkat
Terjadi pada saat prematuritas anak dalam masa pertumbuhan dan kehamilan.
3) Patofisiologi
Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah SDM,
kuantitas hemoglobin, dan volume packed red blood cells (hematokrit) per 100 ml
darah. Dengan demikian, anemia bukan suatu diagnosis melainkan suatu cerminan
perubahan patofisiologik yang mendasar yang diuraikan melalui anamnesis yang
seksama, pemeriksaan fisik, dan konfirmasi laboratorium (Price & Wilson, 2005).

Karena jumlah efektif SDM berkurang, maka pengiriman

O2

ke jaringan

menurun. Kehilangan darah yang mendadak (30% atau lebih), seperti pada
perdarahan, mengakibatkan gejala-gejala hipovolemia dan hipoksia, termasuk
kegelisahan, diaforesis (keringat dingin), takikardia, napas pendek, dan
berkembang cepat menjadi kolaps sirkulasi atau syok. Namun, berkurangnya
massa SDM dalam waktu beberapa bulan (bahkan pengurangan sebanyak 50%)
memungkinkan mekanisme kompensasi tubuh untuk beradaptasi, dan pasien
biasanya asimtomatik, kecuali pada kerja fisik berat. Tubuh beradaptasi dengan: a)
meningkatkan curah jantung dan pernapasan, oleh karena itu meningkatkan
pengiriman O2 ke jaringan-jaringan oleh SDM,
b) meningkatkan pelepasan O2 oleh hemoglobin,
c) mengembangkan volume plasma dengan menarik cairan dari sela-sela jaringan,
dan
d) redistribusi aliran darah ke organ-organ vital (Price & Wilson, 2005).
Pada anemia berat, viskositas darah dapat turun hingga 1,5 kali viskositas air,
padahal normalnya kira-kira 3 kali viskositas air. Keadaan ini akan mengurangi
tahanan terhadap aliran darah dalam pembuluh darah perifer, sehingga jumlah
darah yang mengalir melalui jaringan dan kemudian kembali ke jantung jauh
melebihi normal. Hal tersebut akan sangat meningkatkan curah jantung. Selain itu,
hipoksia yang terjadi akibat penurunan transpor oksigen oleh darah akan
menyebabkan pembuluh darah jaringan perifer berdilatasi, yang selanjutnya
meningkatkan jumlah darah yang kembali ke jantung dan meningkatkan curah
jantung sampai nilai yang lebih tinggi, kadang-kadang tiga sampai empat kali nilai
normal. Jadi, salah satu efek utama dari anemia adalah peningkatan curah jantung
dan peningkatan beban kerja pemompaan jantung (Guyton & Hall, 2007)..
Peningkatan curah jantung pada anemia secara parsial mengimbangi efekefek pengurangan hantaran oksigen akibat anemia, karena walaupun tiap unit
sejumlah darah hanya mengangkut sejumlah kecil oksigen, namun kecepatan
aliran darah dapat cukup meningkat, sehingga jumlah oksigen yang dialirkan ke
jaringan sebenarnya hampir mendekati normal. Namun, bila pasien anemia mulai
berolah raga, jantung tidak mampu memompa jumlah darah lebih banyak daripada
jumlah yang dipompa sebelumnya. Akibatnya, selama berolah raga, saat terjadi
peningkatan kebutuhan jaringan akan oksigen, dapat timbul hipoksia jaringan
yang serius dan timbul gagal jantung akut (Guyton & Hall, 2007).

Salah satu dari tanda yang paling sering dikaitkan dengan anemia adalah
pucat. Keadaan ini umumnya diakibatkan dari berkurangnya volume darah,
berkurangnya hemoglobin, dan vasokonstriksi untuk memaksimalkan pengiriman
O2

ke organ-organ vital. Warna kulit bukan merupakan indeks yang dapat

dipercaya untuk pucat karena dipengaruhi pigmentasi kulit, suhu, dan kedalaman
serta distribusi bantalan kapiler. Bantalan kuku, telapak tangan, dan membran
mukosa mulut serta konjungtiva merupakan indikator yang lebih baik untuk
menilai pucat. Jika lipatan tangan tidak lagi berwarna merah muda, hemoglobin
biasanya kurang dari 8 gram (Price & Wilson, 2005)..
Takikardia dan bising jantung (suara yang disebabkan oleh peningkatan
kecepatan aliran darah) mencerminkan beban kerja dan curah jantung yang
meningkat. Angina (nyeri dada), khususnya pada orang tua dengan stenosis
koroner, dapat disebabkan oleh iskemia miokardium. Pada anemia berat, gagal
jantung kongestif dapat terjadi karena otot jantung yang anoksik tidak dapat
beradaptasi terhadap beban kerja jantung yang meningkat. Dispnea (kesulitan
bernapas), napas pendek, dan cepat lelah waktu melakukan aktivitas jasmani
merupakan manifestasi berkurangnya pengiriman

O2 . Sakit kepala, pusing,

pingsan, dan tinitus (telinga berdengung) dapat mencerminkan berkurangnya


oksigenasi pada sistem saraf pusat. Pada anemia yang berat dapat juga timbul
gejala-gejala saluran cerna seperti anoreksia, mual, konstipasi atau diare, dan
stomatitis (nyeri pada lidah dan membran mukosa mulut). Gejala-gejala umumnya
disebabkan oleh keadaan defisiensi, seperti defisiensi zat besi (Price & Wilson,
2005).
4) Gejala Klinis
Tanda dan gejala klinis Anemia Defisiensi Besi digolongkan menjadi 3 bagian,
yaitu:
a) Gejala Umum
Gejala umum anemia juga dikenal sebagai sindrom anemia (anemic
syndrome) yang berupa kumpulan gejala anemia, antara lain berupa
kelemahan tubuh, lesu, mudah lelah, mata berkunang kunang, telinga
mendenging, pucat, sulit bernafas, keringat dingin, pusing, penurunan daya
konsentrasi, dan daya tahan tubuh menurun (Kartamihardja, 2008).
b) Gejala Khas Anema Defisiensi Besi
Gejala khas anemia defisiensi besi merupakan gejala yang tidak
ditemukan pada anemia jenis lainnya, antara lain (Bakta, dkk., 2012):

Koilonychia/ kuku sendok/ spoon nail, yaitu kuku berubah menjadi rapuh,
bergaris garis vertical dan menjadi cekung sehingga mirip seperti
sendok.

Gambar 4.4. Koilonychia atau Kuku Sendok (Kumar, V., et al., 2012).
Atrofi papil lidah, barupa permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap

yang disebabkan karena hilangnya papil lidah


Stomatitis angularis / cheilosis, yaitu adanya keradangan pada sudut mulut

sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan


Disfagia, yaitu berupa nyeri menelan yang disebabkan karena rusaknya

epitel hipofaring
Atrofi mukosa gaster, yaitu mengakibatkan akhloridia
Pica, yaitu keinginan untuk memakan bahan yang tidak biasa, misalnya

tanah liat, es, lem, dll


Sindroma Plummer Vinson/ Sindrom Paterson Kelly, merupakan kumpulan

gejala anemia hipokromik mikrositik, atrofi papil lidah, dan disfagia.


c) Gejala Penyakit Dasar
Gejala penyakit dasar yaitu gejala yang ditimbulkan dari penyakit yang
mendasari terjadinya anemia defisiensi besi tersebut. Contohnya pada anemia
yang disebabkan karena penyakit cacing tambang ditemukan dyspepsia, parotis
membengkak, dan kulit telapak tangan berwarna kuning mirip jerami. Pada
anemia karena perdarahan kronik akibat kanker kolon ditemuka adanya gejala
gangguan kebiasaan buang air besar atau gejala lain tergantung pada lokasi kanker
tersebut (Bakta, dkk., 2012).

DAPUS
Bakta, I.M., K. Suega, dan T.G. Dharmayuda. 2012. Anemia Defisiensi Besi dalam Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed. 5 (pp. 1127-1137). Jakarta: Interna Publishing.
Chikezie, P. C., Uwakwe, A. A., & Monago, C. C. 2009. Studies of human HbAA
erythrocyte osmotic fragility index of non malarious blood in the presence of five
antimalarial drugs.
Paleari, Renata & Andrea Mosca. 2009. Controversies on the osmotic fragility test. (diakses
dari://www.enerca.org/media/upload/pdf/wp2_annex_7_newsletter_fragility_osmotic_test_DOCUMENTS1_154.pdf, pada tanggal 13
September 2014)

Anda mungkin juga menyukai