Anda di halaman 1dari 8

Herwandi_I1011141003_Pemicu 4_Modul Respirasi_2018

1. Klasifikasi - TB
2. Diagnosis – TB
Diagnosis TB paru
1) Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu
sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).
2) Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya
kuman TB. Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui
pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan
lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai
penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.
3) Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto
toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada
TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.

Diagnosis TB ekstra paru

1) Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk
pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran
kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang
belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya.
2) Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis dan
atau histopatologi yang diambil dari jaringan tubuh yang terkena.
Diagnosis TB pada Orang Dengan HIV AIDS (ODHA)
Pada ODHA, diagnosis TB paru dan TB ekstra paru ditegakkan sebagai berikut:
1) TB Paru BTA Positif, yaitu minimal satu hasil pemeriksaan dahak positif.
2) TB Paru BTA negatif, yaitu hasil pemeriksaan dahak negatif dan gambaran
klinis & radiologis mendukung Tb atau BTA negatif dengan hasil kultur TB
positif.
3) TB Ekstra Paru pada ODHA ditegakkan dengan pemeriksaan klinis,
bakteriologis dan atau histopatologi yang diambil dari jaringan tubuh yang
terkena.
Gambar X. Alur Diagnosis TB Paru
Penegakan TB Paru pada anak
Diagnosis penyakit TB anak merupakan hal yang sulit karena TB
anak merupakan TB primer yang seringkali tidak menunjukkan gejala yang
khas. Upaya pemeriksaan bakteriologis sebagai diagnosis pasti TB pada
anak sulit untuk dilakukan. Tuberkulosis paru pada anak jarang
memproduksi sputum. Umumnya anak belum mampu untuk
mengekspektorasi sputum. Upaya untuk mendapatkan sputum pada anak
dilakukan dengan menggunakan metode bilas lambung, namun demikian
hasil BTA (+) tetap rendah, yaitu berkisar 20−40%.
Karena sulitnya menemukan M. Tuberculosis sebagai etiologi dari
penyakit tuberculosis pada anak, maka salah satu yang diterapkan di sarana
pelayanan kesehatan dengan fasilitas terbatas adalah dengan menggunakan
sistim skoring. Parameter yang digunakan dalam sistem skoring ini adalah:
rirayat kontak dengan penderita dewasa, keadaan gizi, demam yang tidak
diketahui penyebabnya, batuk kronik. Parameter lainnnya, dari aspek
pemeriksaan fisik adalah: pembesaran kelenjar limfe, pembengkakan sendi
panggul, lutut, falang. Parameter dari aspek pemeriksaan pemeriksaan
penunjang berupa: uji tuberkulin dan foto thoraks.
Pada kriteria UKK Respirologi IDAI tahun 2007, adanya kontak
dengan penderita TB paru dewasa dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu:
(1) kontak tidak jelas, (2) laporan keluarga dengan BTA (-) atau tidak jelas,
(3) kontak dengan penderita dewasa BTA (+). Uji tuberkulin dibedakan
menjadi “positif” bila ukuran diameter >10 mm atau >5 mm pada keadaan
imunosupresi dan disebut “negatif” bila tidak memenuhi kriteria “positif”
tersebut. Status gizi pada sisten skoring PP IDAI ditentukan secara
antropometris meliputi berat badan dan tinggi badan. Hasil pengukuran
tersebut kemudian dikelompokkan menjadi kelompok dengan BB/TB
70−<90% atau BB/U 60−<80% dan kelompok gizi buruk dengan
manifestasi klinis gizi buruk atau BB/TB <70% atau BB/U <60%, masing-
masing mendapat skor 1dan 2. Kelompok BB/U ≥80% atau BB/TB≥90%
tidak mendapat skor.2,3, Demam tanpa sebab jelas adalah demam yang
tidak disertai gejala klinis lain dan telah berlangsung >2 minggu. Batuk pada
kriteria ini telah berlangsung >3 minggu dan tidak disebabkan oleh asma
atau infeksi saluran napas akut. Pembesaran kelenjar limfe adalah
pembesaran kelenjar limfe leher, aksila, dan/atau inguinal dengan diameter
>1 cm, jumlah >1, dan tidak nyeri. Pembengkakan tulang/sendi pada kriteria
ini adalah adanya pembengkakan pada tulang/sendi panggul, lutut, atau
falang. Gambaran foto toraks dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu (1)
kelompok pertama adalah foto toraks normal, (2) kelompok kedua adalah
gambaran sugestif TB meliputi adanya pembesaran kelenjar hilus atau
paratrakeal dengan/tanpa infiltrat, konsolidasi segmental/lobar, milier,
kalsifikasi dengan infiltrat, atelektasis, kavitas, dan efusi pleura.
Gejala sistemik yang sering timbul salah satunya adalah demam.
Demam biasanya tidak tinggi dan hilang timbul dalam jangka waktu yang
cukup lama. Manifestasi lain yang sering dijumpai adalah anoreksia, berat
badan yang tidak naik (turun, tetap, atau naik namun tidak sesuai dengan
grafik tumbuh), dan malaise (letih, lesu, lemah, dan lelah). Pada sebagian
besar TB paru pada anak tidak menunjukkan gejala batuk kronik, kecuali
bila terjadi limfadenitis regional yang menekan bronkus sehingga
merangsang reseptor batuk.
Kelenjar limfe superfisialis TB sering dijumpai terutama pada regio
koli anterior, submandibula, supraklavikula, aksila, dan inguinal. Biasanya
kelenjar yang terkena bersifat multipel, unilateral, tidak nyeri tekan, tidak
panas pada perabaan, dan dapat saling melekat (konfluens). Manifestasi
spesifik lain dapat melibatkan susunan saraf pusat (berupa meningitis TB),
tulang, kulit, mata, ginjal, peritoneum, dan lain-lain.
Uji tuberkulin masih memungkinkan dilakuan di sarana pelayanan
kesehatan dengan fasilitas terbatas. Uji tuberkulin dapat digunakan sebagai
penunjang diagnostik bekerja berdasarkan reaksi hipersensitivitas tipe
lambat. Reaksi hipersensitivitas tipe lambat ini mencapai puncaknya dalam
48−72 jam, sehingga indurasi yang terbentuk pada uji tuberkulin tersebut
dapat berfungsi sebagai alat uji diagnostik bila diukur dalam kurun waktu
tersebut.
Pada uji tuberkulin, yang diukur adalah indurasi yang terbentuk.
Pengukuran indurasi ini dilakukan dengan cara mengukur indurasi pada
diameter transversal, baik secara langsung maupun dengan cara sokal.
Untuk mengurangi bias dalam pengukuran indurasi, Sokal menggunakan
bolpoin untuk menentukan tepi indurasi pada diameter tranversal, kemudian
dilakukan pengukuran pada bekas tanda bolpoin tersebut. Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa pengukuran dengan metode bolpoin
memiliki reliabilitas yang lebih baik dan bias antar pengamat yang lebih
rendah bila dibandingkan dengan metode pengukuran secara langsung.
Hasil pengukuran indurasi uji tuberkulin dinyatakan dalam satuan
milimeter. Secara umum, indurasi >10 mm dinyatakan positif.
Hasil positif ini sebagian besar disebabkan oleh infeksi TB alamiah.
Apabila diameter indurasi 0-4 mm, dinyatakan bahwa uji tuberkulin negatif.
Diameter 5−9 mm dinyatakan positif meragukan. Hal ini dapat disebabkan
oleh kesalahan teknis, keadaan alergi, atau reaksi silang dengan M. atipik.
Pada keadaan tertentu, yaitu tertekannya sistem imun (imunokompromais).
Keadaan imunokompromais ini dapat dijumpai pada pasien dengan gizi
buruk, infeksi HIV, keganasan, morbili, pertusis, varisela, dan pasien yang
mendapat imunosupresan jangka panjang (≥2 minggu). Tedapat sejumlah
faktor dapat menyebabkan hasil uji tuberkulin negatif. Karena itu, hasil uji
tuberkulin negatif tidak menyingkirkan diagnosis TB. Faktor-faktor tersebut
antara lain dalam masa inkubasi, setelah mendapat vaksin hidup, campak,
pertusis, keganasan, dan malnutrisi berat. Di samping itu, hasil negatif juga
terjadi pada kesalahan penyuntikan dan faktor keakuratan pembacaan. Hasil
positif palsu pada uji tuberkulin terjadi pada beberapa keadaan meliputi
riwayat pemberian Bacille Calmette Guerin (BCG) sebelumnya, infeksi M.
atypic lainnya, dan pembacaan yang salah karena ada trau atau infeksi lain.
Bacillus Calmette Guerin merupakan infeksi TB buatan dengan bakteri M.
bovis yang dilemahkan sehingga kemampuannya dalam menyebabkan
reaksi tuberkulin menjadi positif walaupun tidak sekuat infeksi alamiah.
Adanya hematoma atau abses kecil pada daerah injeksi dapat diinterpretasi
sebagai indurasi jika ada trauma atau infeksi lainya pada daerah injeksi.
Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang, maka dilakukan pembobotan dengan sistem skor.
Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6 (>6), harus
ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat OAT (obat anti
tuberkulosis). Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan kearah
TB kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan diagnostik lainnya sesuai
indikasi, seperti bilasan lambung, patologi anatomi, pungsi lumbal, pungsi
pleura, foto tulang dan sendi funduskopi, CT-Scan, dan lain lainnya.
Diagnosis TB MDR
Diagnosis TB MDR dipastikan berdasarkan pemeriksaan biakan dan
uji kepekaan M.tuberkulosis. Semua suspek TB MDR diperiksa dahaknya
dua kali, salah satu diantaranya harus dahak pagi hari. Uji kepekaan
M.tuberculosis harus dilakukan di laboratorium yang telah tersertifikasi
untuk uji kepekaan. Sambil menunggu hasil uji kepekaan, maka suspek TB
MDR akan tetap meneruskan pengobatan sesuai dengan pedoman
pengendalian TB Nasional.
Reference:

1. Kementerian Nasional Kesehatan Republik Indonesia .Pedoman Nasional


Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta; 2011.

3. Definisi – Abses paru


Abses paru adalah infeksi destruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan paru
yang terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang berisi nanah (pus/nekrotik
debris) dalam parenkim paru pada satu lobus atau lebih yang disebabkan oleh
infeksi mikroba.

Reference:

1. Rasyid, A. Abses Paru dalam Sudoyo W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
–Ed. 6 Jilid 1. Jakarta: Interna Publishing; 2014.

4. Manifestasi klinis – abses paru


1) Prodomoral: demam, sesak napas, malaise, anoreksia
2) Batuk darah
3) Nyeri dada
4) Sianosis
5) Sputum kental berbau busuk
6) Batuk (+)
7) Berat badan turun
Reference:

1. Kumar, Abbas, Aster. Buku Ajar Patologi Robbins. –Ed. 9. Singapura:


Elsevier; 2015.

5. Patofisiologi - keganasan
6. Mekanisme pembentukan – sputum
Orang dewasa normal membentuk mukus sekitar 100 ml dalam saluran
pernafasan setiap hari. Mukus diafragma menuju faring oleh gerakan
pembersihan normal dari silia yang membatasi saluran pernafasan, jika
terbentuk mukus yang berlebihan maka proses normal pembersihan mungkin
tidak efektif lagi. Sehingga mukus tertimbun, jika hal ini terjadi maka membran
mukosa terangsang dan mukus ini dibatukan keluar sebagai sputum.

Mekanisme pembentukan sputum :

sel goblet mukosa



mukosa 100 ml perhari

gangguan abnormal
(terjadi penimbunan→ produksi berlebihan pada saluran pernafasan)

kerja silia ↓

membran mukosa terangsang

tekanan intratoracak + tekanan intra abdomen ↑

batuk + sekret mukosa keluar → sputum
Reference:

1. Price SA dan Wilson LM. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses – Proses


Penyakit. Dalam Wilson LM editor, Edisi 6. Jilid 2. Terj. Pandit
BU. Jakarta: EGC; 2013.

7. Mengapa dahak berwarna kuning kehiajauan

Anda mungkin juga menyukai