Anda di halaman 1dari 42

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL REFERAT

DESEMBER 2021
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

RHINITIS ALERGI

INDAH SAKINAH SYAM


105505405719

Pembimbing :
dr. Hasnah Makmur, Sp. THT-KL

(Dibawakan dalam rangka tugas kepaniteraan klinik bagian Ilmu Kesehatan


THT-KL)

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2021
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menerangkan, bahwa:


Nama : Indah Sakinah Syam
NIM : 105505405719
Judul : RHINITIS ALERGI

Telah menyelesaikan Tugas Referat dalam rangka Kepanitraan Klinik di Bagian


Ilmu Kesehatan THT- KL Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Desember 2021

Pembimbing,

dr. Hasnah Makmur, Sp. THT-KL

i
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatu


Segala puji syukur bagi ALLAH, atas rahmat dan karunia-Nya lah,
akhirnya referat yang berjudul “Rhinitis Alergi” ini dapat diselesaikan dengan
baik. Referat ini ditujukan sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Makassar.

Berbagai hambatan dialami dalam penyusunan tugas referat ini. Namun


berkat bantuan saran, kritikan, dan motivasi dari pembimbing serta teman-teman
sehingga tugas ini dapat terselesaikan. Penulis sampaikan terima kasih banyak
kepada dr. Hasnah Makmur, Sp. THT-KL, selaku pembimbing yang telah
banyak meluangkan waktu dengan tekun dan sabar dalam membimbing,
memberikan arahan dan koreksi selama proses penyusunan tugas ini hingga
selesai.

Penulis menyadari bahwa referat ini masih memiliki banyak kekurangan,


penulis akan dengan senang hati menerima kritik dan saran demi perbaikan tugas
ini. Harapan penulis semoga referat ini bisa membawa manfaat bagi siapa saja
yang membacanya dan terkhusus kepada penulis.

Makassar, Desember 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING .................................................. i


KATA PENGANTAR........................................................................................ ii
DAFTAR ISI....................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................... 3
A. Anatomi dan Fisiologi ............................................................................... 3
B. Definisi....................................................................................................... 9
C. Etiologi ..................................................................................................... 10
D. Prevalensi.................................................................................................. 13
E. Patomekanisme......................................................................................... 13
F. Cara Masuknya Alergen........................................................................... 16
G. Klasifikasi Rinitis Alergi.......................................................................... 17
H. Gejala klinis.............................................................................................. 18
I. Pencegahan .............................................................................................. 19
J. Penegakkan Diagnosis ..............................................................................20
K. Diagnosis Banding ...................................................................................24
L. Penatalaksanaan ....................................................................................... 26
M. Komplikasi ............................................................................................... 33
N. Prognosis................................................................................................... 33
BAB III PENUTUP............................................................................................. 34
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 35

3
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Anatomi Cavum Nasi ......................................................................... 3


Gambar 2. Vaskularisasi Arteri Cavum Nasi........................................................ 6
Gambar 3. Vaskularisasi Vena Cavum Nasi......................................................... 6
Gambar 4. Innervasi Cavum Nasi......................................................................... 7
Gambar 5. Mekanisme Imunologik Rinitis Alerfi................................................ 16

4
BAB I

PENDAHULUAN

Rinitis alergi merupakan penyakit yang diperantarai IgE yang sebagian

besar disebabkan oleh faktor lingkungan paparan alergen pada individu yang

memiliki kecenderungan genetik, dan sebagian disebabkan oleh perubahan sistem

kekebalan tubuh mereka.1

Rinitis alergi (AR) adalah penyakit inflamasi kronis dari lapisan mukosa

hidung yang disebabkan oleh respons hipersensitivitas tipe I pada paparan alergen

inhalasi umum pada individu yang sensitif.2

Alergen umum yang terlibat dalam rinitis alergi terutama protein dan

glikoprotein yang ditemukan dalam partikel di udara. Debu partikel kotoran

tungau, residu kecoa dan bulu binatang adalah alergen yang umumnya dapat

memicu gejala intermiten atau persisten sepanjang tahun di daerah beriklim

sedang.1

Rinitis dipandang oleh beberapa orang sebagai penyakit sepele, tetapi

dapat mengganggu pekerjaan, sekolah, fungsi sehari-hari, pola tidur, dan kualitas

hidup.3

Rinitis alergi (AR) adalah penyakit inflamasi kronis yang mempengaruhi

10% hingga 30% orang Amerika dan 20% hingga 25% orang Kanada. Prevalensi

AR meningkat di seluruh dunia, mempengaruhi hingga 40% dari populasi global.

AR adalah bagian dari proses inflamasi sistemik dan dikaitkan dengan gangguan

inflamasi lainnya, termasuk asma, rhinosinusitis, dan konjungtivitis alergi. Karena

1
prevalensinya yang tinggi dan berdampak pada kualitas hidup, AR telah

diklasifikasikan sebagai penyakit pernapasan kronis utama.4

Tujuh puluh persen pasien dengan penyakit alergi dijumpai di masa kanak-

kanak, dan 70% pasien dengan penyakit non-alergi dijumpai pada masa dewasa,

pada usia lebih dari 20 tahun. Rinitis non-alergi dominan pada wanita.3

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI

ANATOMI HIDUNG

Cavum nasi adalah rongga yang dimulai pada nostril (apertura nasalis

anterior= nares anterior) dan berakhir pada nares posterior (choanae).9 Terbagi

dua oleh septum nasi yang terletak pada linea mediana.10

Gambar 1. Anatomi Cavum Nasi

1. Septum nasi

Merupakan dinding medial dari cavum nasi yang dibentuk oleh vomer di

bagian posterior-inferior, lamina perpendicularis ossis ethmoidalis di bagian

posterior-superior dan cartilago septalis yang berada di bagian anterior di antara

kedua tulang yang tersebut tadi.

3
2. Dinding lateral

Permukaan tidak rata dan dibentuk oleh bagian inferior dari lamina

criroformis yaitu merupakan bagian sentral dari atap cavum nasi, dan dari sini

melanjutkan dari arah caudo-anterior sampai pada vestibulum nasi ke arah caudo-

posterior sampai pada nasopharing.

Dibentuk oleh processus frontalis ossis maxillae dan os nasale di bagian

paling anterior, facies medialis ossis maxillae dan lamina perpendicularis ossis

palatini yang berada di bagian dorso-caudal.

Hiatus maxillae terletak pada dinding ini, dan di sebelah cranialis dinding

lateral cavum nasi berhubungan dengan dinding medial cavum orbita yang

dibentuk oleh labirinthus ethmoidalis dan sebagian dari os lacrimale. Pada dinding

ini terdapat 3 penonjolan yang disebut conchae nasales. Conchae nasalis superior

et media adalah bagian dari os ethmoidalis sedangkan concha nasalis inferior

adalah suatu lubang tersendiri. Sepertiga bagian cranialis membrana mucosa pada

dinding medial dan dinding lateral diperlengkapi oleh membrana mucosa

olfactoria, yang berwarna kekuning-kuningan.

Disebelah caudal concha nasalis superior terdapat meatus nasi superior, di

sebelah caudal concha nasalis media terdapat meatus nasi medius dan meatus nasi

inferior berada di sebelah caudalis concha nasalis inferior. Di sebalah cranialis

dari concha nasalis superior terdapat recessus sphenoethmoidalis ke dalam mana

bermuara sinus sphenoidalis. Cellulae ethmoidalis posteriores bermuara ke dalam

meatus nasi superior, dan ductus nasolacrimalis bermuara pada meatus nasi

inferior. Sinus paranasalis lainnya bermuara ke dalam meatus nasi medius. Daerah

4
peralihan yang berada diantara vestibulum nasi dan meatus nasi medius disebut

atrium meatus nasi.

Atap dari cavum nasi dibentuk oleh lamina cribrosa ossis ethmoidalis di

bagian anterior dan oleh permukaan atero-inferior dari corpus ossis sphenoidalis.

Lantai dari cavum nasi dibentuk oleh palatum durum.

3. Vaskularisasi Hidung

Vascularisasi hidung pada dinding lateral dibagi menjadi 4 kuadran, yaitu:

a. Kuadran antero-superior yang mendapat suplai darah dari ramus

eithmoidalis anterior (merupakan cabang dari a. Ophthalmica)

b. Kuadran antero-inferior mendapat suplau darah dari a. Infraorbitalis;

kuadran ini mendapat juga aliran dari r. Labialis superior (cabang dari

a. Facialis) dan r. palatinus major (cabang dari a. Maxillaris)

c. Kuadran postero-superior mendapat suplai darah dari ramus nasalis

posterior lateralis (cabang dari a. Maxillaris)

d. Kuadran postero-inferior yang dilayani oleh cabang-cabang dari a.

Palatina major dan a. Sphenopalatina (cabang dari a. Maxillaris)

Aliran darah venous dari bagian anterior dibawa menuju ke vena facialis

dan dari bagian posterior dibawa menuju ke venosus pharyngeus.10

Sedangkan pada septum nasi, mendapat suplai darah dari beberapa arteri,

yaitu: 10

a. Ramus sphenopalatinus yang dipercabangkan oleh a. Maxillaris

b. Ramus ethmoidalis anterior dan ramus ethmoidalis posterior yang

dipercabangkan oleh a. Ophthalmica

5
c. Ramus labialis superior yang dipercabangkan oleh a. Facialis

d. Ramus ascendens dari a. Palatina major.

Keempat arteri tersebut di atas membentuk anastomosis (plexus

kiesselbach), dan terletak di bagian anterior septum nasi, di dalam vestibulum nasi

dekat pada atrium dan di dekat meatus medius. Pembuluh darah vena berjalan

mengikuti arterinya.10

Gambar 2. Vaskularisasi arteri cavum nasi

Gambar 3. Vaskularisasi vena cavum nasi

6
4. Innervasi Hidung

Cavum nasi pada bagain septum nasi mendapat persarafan daric abang n.

ethmoidalis anterior di bagian antero-superior dan dari n. sphenopalatinus yang

dipercabangkan oleh ganglion pterygopalatinum di bagian postero-inferior.10

Dinding lateral dibagi menjadi 4 kuadran, sesuai daerah vaskularisasinya,

dimana:10

a. Kuadran antero-superior dipersarafi oleh n. ethmoidalis anterior

b. Kuadran antero-inferior dipersarfai oleh n. dentalis superior anterior

c. Kuadran postero-superior mendapat persarafan dari r. nasalis posterior

lateralis yang dipercabangkan oleh ganglion sphenopalatinum

d. Kuadran postero-inferior dilayani oleh r. nasalis posterior inferior

yang dipercabangkan oleh n. palatinus major.10

Gambar 4. Innervasi Cavum Nasi

7
FISIOLOGI HIDUNG

Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi

fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah fungsi respirasi, fungsi penghidu,

fungsi fonetik, refleks nasal.6

Fungsi Respirasi

Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares

anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke

arah nasofaring. Aliran udara di hidung ini berbentuk lengkungan atau arkus.

Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Pada

musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan

udara inspirasi oleh palut lendir, sedangkan pada musim dingin akan terjadi

sebaliknya.

Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37˚C. Fungsi

pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel

dan adanya permukaan konka dan septum yang luas.

Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara akan

disaring di hidung oleh rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, palut lendir.

Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar

akan dikeluarkan dengan refleks bersin.6

Fungsi Penghidu

Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pencecap dengan adanya

mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian

atas septum.

8
Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir

atau bila menarik napas dengan kuat.

Fungsi hidung untuk membantu indra pencecap adalah untuk membedakan

rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan, seperti perbedaan rasa manis,

strawberi, jeruk, pisang atau coklat. Juga untuk membedakan rasa asam yang

berasal dari cuka dan asam jawa.6

Fungsi Fonetik

Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan

menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau suara

hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia).

Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah,

bibir, dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m, n, ng) rongga

mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.6

Refleks Nasal

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan

saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan

menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti. Rangsangan bau tertentu akan

menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.6

B. DEFINISI

Rinitis alergi adalah penyakit yang dimediasi oleh Ig E yang terjadi setelah

paparan alergen dalam atau luar ruangan, seperti tungau debu, serangga, bulu

hewan, jamur, dan serbuk sari.5

9
Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun

2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal

dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh

IgE.6

C. ETIOLOGI7

Penyebab rinitis alergi dapat berbeda bergantung pada apakah gejalanya

musiman, abadi, atau sporadis/episodik. Beberapa pasien sensitif terhadap

beberapa alergen dan dapat mengalami rinitis alergi parenial dengan eksaserbasi

musiman.

a. Serbuk sari (pohon, rumput, dan gulma)

Serbuk sari pohon, bervariasi menurut lokasi geografis, jumlahnya tinggi

pada musim semi, meskipun beberapa spesies menghasilkan serbuk sari

mereka saat musim gugur. Keluarga pohon umum yang terkait dengan

rinitis alergi termasuk birch, oak, maple, cedar, zaitun, dan elm.

Serbuk sari rumput juga bervariasi menurut lokasi geografis. Sebagian

besar spesies rumput umum dikaitkan dengan rinitis alergi, termasuk

Kentucky bluegrass, orchard, redtop, timothy, vernal, meadow fescue,

Bermuda, dan parrenial rye. Sejumlah rumput ini bersifat reaktif silang,

yang berarti bahwa mereka memiliki struktur antigenik yang sama (yaitu,

protein yang dikenali oleh IgE spesifik dalam sensitisasi alergi).

Akibatnya, seseorang yang alergi terhadap satu spesies juga cenderung

sensitif terhadap sejumlah spesies lain. Serbuk sari rumput paling

10
menonjol dari akhir musim semi hingga musim gugur tetapi dapat hadir

sepanjang tahun di iklim yang lebih hangat.

Serbuk sari gulma juga bervariasi secara geografis. Banyak gulma, seperti

short ragweed, yang merupakan penyebab umum rinitis alergi di sebagian

besar Amerika Serikat, paling menonjol di akhir musim panas dan musim

gugur. Serbuk sari gulma lainnya hadir sepanjang tahun, terutama di iklim

yang lebih hangat. Gulma umum yang terkait dengan rinitis alergi

termasuk short ragweed, western ragweed, pigweed, sage, mugwort,

yellow dock, sheep sorrel, english plantain, lamb’s quarters, dan Russian

thistle.

b. Kondisi luar ruangan

Rinitis alergi perenial biasanya disebabkan oleh alergen di dalam rumah,

tetapi juga bisa disebabkan oleh alergen luar yang ada sepanjang tahun.

Di iklim yang lebih hangat, serbuk sari rumput dapat hadir sepanjang

tahun. Di beberapa iklim, seseorang mungkin bergejala karena pohon dan

rumput di musim panas serta jamur dan gulma di musim dingin.

c. Tungau debu rumah

Di Amerika Serikat, 2 spesies tungau debu rumah sering dikaitkan dengan

rinitis alergi yaitu Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides

pteronyssinus. Tungau ini dari manusia dan hewan peliharaan. Mereka

dapat ditemukan di karpet, furnitur berlapis kain, bantal, kasur, selimut,

dan boneka.

11
d. Hewan peliharaan

Alergi terhadap hewan peliharaan dalam ruangan adalah penyebab umum

dari rinitis alergi perenial. Anjing dan kucing merupakan hewan yang

paling sering menyebabkan alergi, walaupun burung dan hewan berbulu

lainnya yang dipelihara di dalam ruangan juga telah dilaporkan

menyebabkan alergi.

e. Hewan pengerat

Infestasi hewan pengerat dapat dikaitan dengan sensitisasi alergi.

f. Rinitis alergi sporadik

Rinitis alergi sporadis, episode rinitis alergi intermitten yang singkat,

disebabkan oleh paparan alergen yang terputus-putus. Paling sering

disebabkan oleh hewan peliharaan atau hewan yang jarang berkontakan

dengan seseorang. Rinitis alergi sporadis juga dapat disebabkan oleh

serbuk sari, jamur, atau alergen dalam ruangan yang biasanya tidak tidak

berkontakan dengan seseorang. Sementara alergi terhadap makanan

tertentu dapat menyebabkan rhinitis, seseorang yang terkena alergi

makanan juga biasanya terjadi gangguan pada gastrointestinal, kulit, dan

paru-paru.

g. Rinitis alergi akibat pekerjaan

Rinitis alergi akibat kerja, yang disebabkan oleh paparan alergen di

tempat kerja, dapat bersifat sporadis, musiman, atau tahunan. Orang-

orang yang pekerjaannya berhubungan dengan binatang (dokter hewan,

peneliti laboratorium, pekerja pertanian) mungkin memiliki gejala

12
episodik ketika terpapar hewan tertentu, gejala harian saat di tempat kerja,

atau bahkan gejala yang terus-menerus (yang dapat bertahan di malam

hari dan akhir pekan dengan sensitivitas yang parah karena sampai

peradangan fase akhir persisten).

D. PREVALENSI1

Studi Internasional Asma dan Alergi pada Anak (ISAAC) mengungkapkan

peningkatan tren rinitis di seluruh dunia dengan prevalensi rata-rata 8-15% pada

anak-anak, dengan prevalensi pada populasi umum mulai dari 10-40% di negara-

negara industri. Studi tentang riwayat alami rinitis pada anak-anak telah

menunjukkan prevalensi 2,8% pada usia 4 tahun dan 11,8% pada usia 18 tahun

untuk rinitis non-alergi dan 3,4% dan 27,3% untuk rinitis alergi. Prevalensi pada

orang dewasa sebanyak 9,6% untuk rinitis non-alergi dan 29,8% untuk rinitis

alergi. Anak-anak dengan riwayat orang tua dengan penyakit atopik

memperlihatkan gejala lebih sering dan pada usia yang lebih muda dibandingkan

dengan riwayat orang tua non-alergi. Rinitis alergi didominasi oleh laki-laki dan

rinitis non-alergi didominasi perempuan pada usia remaja dan dewasa. Anak-anak

dan orang dewasa dengan rinitis alergi berisiko tinggi berkembang menjadi asma.

E. PATOFISIOLOGI6

Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan

tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase

yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC)

13
yang berlangsung sejak kontak dengan allergen sampai satu jam setelahnya dan

Late Phase Allergic Reaction Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang

berlangsung 2 sampai 4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktivitas)

setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48jam.

Pada kontak pertama dengan allergen atau tahap sensitasi, makrofag atau

monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan

menangkap allergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah

diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung

dengan molekul HLA kelas II membentuk peptide MHC kelas II (Mayor

Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper

(Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleuikin 1 (IL 1)

yang akan mengaktifkan Th 0 untuk berploriferasi menjadi Th 1 dan Th 2. Th 2

akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan IL-13. IL-4 dan

IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel

limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi immunoglobulin E (IgE). IgE di

sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan

sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif.

Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi.

Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan allergen yang sama maka

kedua rantai IgE akan mengikat allergen spesifik dan terjadi degranulasi

(pecahnya dinding sel) mastosit dan basophil dengan akibat terlepasnya mediator

kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamin. Selain

histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2

14
(PGD2), leukotrin D4 (LT D4), leukotrin C4 (LT C4), bradikinin, Platelet

Actifating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL3, IL4, IL5, IL6, GM-CSF

(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dll. Inilah yang disebut

reaksi alergi fase cepat (RAFC).

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga

menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamine juga

menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan

permeabilitas meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung

tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamine merangsang ujung saraf

vidianus juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi

pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molekul 1 (ICAM 1).

Pada reaksi fase lambat, sel mastosit akan melepaskan molekul kemotaktif

yang akan menyebabkan akumulasi sel eosinophil dan netrofil di jaringan target.

Respon ini tidak berhenti disini saja, tapi gejala akan berlanjut dan mencapai

puncak 6-8 jam, setelah pemaparan. Pada reaksi ini, ditandai dengan penambahan

jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinophil, limfosit, netrofil, basophil dan

mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3,IL4, IL5, dan

Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM 1

pada secret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah

akibat peranan eosinophil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti

Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major

Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini selain

factor spesifik (allergen) iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala

15
seperti asap rokok bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara

yang tinggi.

Gambar 5. Mekanisme Imunologik Rinitis Alergi

F. CARA MASUKNYA ALERGEN6

Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:

1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya

tungau debu rumah (D. Pteronyssinus, D. Farinae, B. Tropicalis), kecoa,

serpihan epitel kulit binatang (kucing, anjing), rerumputan (Bermuda

grass) serta jamur (Aspergillus Alternaria).

2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya

susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting dan kacang-kacangan.

16
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya

penisilin dan sengatan lebah.

4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan

mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan.

G. KLASIFIKASI RINITIS ALERGI

Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat

berlangsungnya terbagi 2, yaitu : 3, 6

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis) biasanya terjadi

pada negara yang mempunyai 4 musim. Umumnya disebabkan oleh

berbagai alergen serbuk (pollen) fan spora jamur

2. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun). Gejala pada penyakit ini timbul

intermitten atau terus-menerus, tanpa variasi musim. Alergen utama pada

orang dewasa disebabkan oleh tungau debu dan bulu binatang.

Saat ini digunakan klasifikaasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari

WHO Initiative ARIA (Allergic Rinitis anf its Impact on Asthma) tahun 2001,

yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi: 3, 6

1. Rinitis intermiten didefinisikan sebagai gejala yang berlangsung kurang

dari 4 minggu dan kurang dari 4 hari/minggu.

2. Rinitis persisten berlangsung kurang dari 4 minggu atau lebih dari 4

hari/minggu.

3. Rhinitis episodik dapat terjadi dengan paparan aeroalergen inhalansia

sporadis yang biasanya tidak ditemui oleh lingkungan dalam dan luar

17
ruangan pasien yang biasa, seperti mengunjungi rumah dengan hewan

peliharaan.

Terlepas dari terminologi klasifikasi yang digunakan, semua bentuk rinitis

selanjutnya dicirikan oleh tingkat keparahannya: 3, 6

1. Rinitis ringan digambarkan sebagai rinitis yang tidak mengganggu

pekerjaan, sekolah, fungsi sehari-hari, atau pola tidur.

2. Rinitis sedang hingga berat mengganggu kualitas hidup dan mengganggu

aktivitas hidup sehari-hari dan/atau tidur.

3. Rhinitis berat begitu mencolok sehingga fungsi normal tidak dapat

berlangsung tanpa pengobatan.

H. GEJALA KLINIS7

Tanda dan gejala rinitis alergi meliputi:

 Bersin

 Gatal: Hidung, mata, telinga

 Rhinorrhea

 Post nasal drip

 Hidung tersumbat

 Anosmia

 Nyeri kepala

18
 Nyeri telinga

 Mata merah

 Mata bengkak

 Kelelahan

 Mengantuk

 Malaise

I. PENCEGAHAN3

Mengidentifikasi alergen atau iritan lingkungan yang memicu gejala rinitis

sangat penting dalam pengelolaan proses penyakit. Penyakit yang ringan biasanya

ditatalaksanai dengan tindakan pencegahan saja.

Pencegahan adalah pengobatan lini pertama dari segala bentuk rinitis.

Pedoman Rhinitis Alergi dan Dampaknya terhadap Asma (ARIA): Revisi 2010

merekomendasikan langkah-langkah pengendalian lingkungan untuk pencegahan

rinitis alergi.

Langkah-langkah pengendalian lingkungan untuk pencegahan dan pengobatan

rinitis alergi :

 Kontrol tungau debu

- Bungkus tempat tidur

- Cuci tempat tidur dan mainan pada suhu ≥ 60˚C

- Hindari penggunaan karpet

19
 Menghilangkan atau mengurangi pajanan terhadap alergen di tempat kerja

 Gunakan filter tungku partikular kecil

 Kontrol serbuk sari

- Tutup jendela

- Gunakan AC

- Batasi paparan luar ruangan

 Kontrol jamur

- Hindari ruang bawah tanah

- Kurangi kelembapan ruangan

 Hewan peliharaan

- Hindari hewan peliharaan di rumah

- Batasi hewan peliharaan di ruangan tanpa karpet

- Sering mandikan hewan peliharaan

- Lengkapi ruangan dengan filter udara partikular berefisiensi tinggi

J. PENEGAKKAN DIAGNOSIS

Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan : 6

1. Anamnesis

Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi

dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari

anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya

serangan bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari

atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini

20
merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri

(self cleaningg process). Bersin ini terutama merupakan gejala pada

RAAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya

histamin. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan

banyak,hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang

disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Sering kali gejala

yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang

keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya

gejala yang diutarakan oleh pasien.

2. Pemeriksaan Fisik

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat

atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala

persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan

nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik

lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata

yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala

ini disebut allergic shiner. Selain itu sering juga tampak anak

menggosok-gosok hidung, karena gatal, dengan punggung tangan.

Keadaan ini disebut sebagai allergic salute. Keadaan menggosok

hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis

melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang disebut allergic

crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi,

sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi-geligi (facies

21
adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema

(cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah

tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).

3. Pemeriksaan penunjang

 In vitro

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.

Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio immunosorbent

test) sering menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada

pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi

juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna

untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu

keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah

pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test)

atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan

sitologi hidung dari sekret hidung atau kerokan mukosa walaupun tidak

dapat memastikan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah

banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (> 5

sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan

sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.

 In vivo

22
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit,

uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-

point Titration/SET), SET dilakukan untuk alergen inhalasi dengan

menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat

kepekaannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat

alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.

Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan

adalah Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT),

namun sebagai baku emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan

provokasi (“Challenge Test”).

Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu 2

minggu. Karena itu pada “Challenge Test”, makanan yang dicurigai

diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya

diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan sampai suatu

ketika gejala menghilang dengan meniadakan jenis makanan.

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan tiga gejala (bersin dan

hidung gatal, rinore berair, dan blokade hidung), disertai dengan tes

eosinofil hidung positif, dan pengidentifikasian alergen penyebab,

berdasarkan reaksi kulit atau pengukuran antibodi IgE spesifik alergen

serum.8

Studi pencitraan yang digunakan dalam diagnosis dan evaluasi rinitis

alergi meliputi: 7

23
 Radiografi: Dapat membantu untuk mengevaluasi kemungkinan

kelainan struktural atau untuk membantu mendeteksi komplikasi atau

kondisi komorbid, seperti sinusitis atau hipertrofi adenoid

 CT- Scan: sangat membantu untuk mengevaluasi sinusitis akut atau

kronis

 MRI: sangat membantu dalam mengevaluasi sinusitis

K. DIAGNOSIS BANDING6

1. Rinitis Vasomotor

Rinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis

tanpa adanya infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan hormon (kehamilan,

hipertiroid), dan pajanan obat (kontrasepsi oral, antihipertensi, B-bloker,

aspirin, klorpromazin dan obat topikal hidung dekongestan).

Etiologi rinitis vasomotor : Neurogenik (disfungsi sistem otonom),

Neuropeptida, Nitrik oksida (NO), Trauma.

Pada rinitis vasomotor, gejala sering dicetuskan oleh berbagai

rangsangan non-spesifik, seperti asap/rokok, bau yang menyengat,

parfum, minuman beralkohol, makanan pedas, udara dingin, pendingin

dan pemanas ruangan, perubahan kelembaban, perubahan suhu luar,

kelelahan dan stres/emosi.

Kelainan ini mempunyai gejala yang mirip dengan rinitis alergi,

namun gejala yang dominan adalah hidung tersumbat, bergantian kiri dan

24
kanan, tergantung pada posisi pasien. Selain itu terdapat rinore yang

mukoid atau serosa.

Diagnosis umumnya ditegakkan dengan cara ekslusi, yaitu

menyingkirkan adanya rinitis infeksi, alergi, okupasi, hormonal dan

akibat obat. Dalam anamnesis dicari faktor yang mempengaruhi

timbulnya gejala.

Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak gambaran yang khas

berupa edema mukosa hidung, konka berwarna gelap atau merah tua,

tetapi dapat pula pucat. Permukaan konka dapat licin atau berbenjol-

benjol (hipertrofi). Pada rongga hidung terdapat sekret mukoid, biasanya

sedikit. Akan tetapi pada golongan rinore sekret yang ditemukan ialah

serosa dan banyak jumlahnya.

Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan

kemungkinan rinitis alergi. Kadang ditemukan juga eosinofil pada sekret

hidung, tapi jumlahnya sedikit. Tes cukit kulit biasanya negatif. Kadar

IgE spesifik tidak meningkat.

2. Rinitis Medikamentosa

Rinitis medikamentosa adalah suatu kelalaian hidung berupa

gangguan respons normal vasomotor yang diakibatkan oleh pemakaian

vasokonstriktor topikal (tetes hidung atau semprot hidung) dalam waktu

lama dan berlebihan, sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang

menetap. Dapat dikatakan bahwa hal ini disebabkan oleh pemakaian obat

yang berlebihan (drug abuse).

25
Tanda dan gejala yang biasanya dikeluhkan pasien berupa hidung

tersumbat terus menerus dan berair. Pada pemeriksaan tampak

edema/hipertrofi konka dengan sekret hidung yang berlebihan. Apabila

diberi tampon adrenalin, edema konka tidak berkurang.

L. PENATALAKSANAAN

Tujuan pengobatan adalah untuk meringankan gejala dan menghilangkan

kesulitan dalam kehidupan sehari-hari. Pilih pengobatan berdasarkan tingkat

keparahan, jenis penyakit, dan gaya hidup.8

Berdasarkan Japanese guidelines for allergic rhinitis 2020, terapi pada rinitis

alergi diantaranya : 8

- Komunikasi dengan pasien. Farmakoterapi yang diberikan berdasarkan

tingkat keparahan dan jenis penyakit dengan komunikasi akan meningkatkan

kepuasan pasien dan QOL (quality of life).

- Terapi paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen

penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.6

 Tungau: pembersihan, dehumidifikasi, penutup selimut kontrol tungau,

dll.

 Pollen: penggunaan topeng, kacamata, dll.8

- Farmakoterapi

26
1. Stabilitator sel mast (semprotan hidung, obat oral)

Sejak pengembangan disodium cromoglicate (DSCG), agen lokal

(tetes mata dan semprotan hidung) dan agen oral seperti tranilast,

amlexanox, dan pemirolast potassium telah beredar di pasaran.

Mereka memiliki efek ringan. Untuk mencapai efek klinis yang cukup

diperlukan pemberian jangka panjang selama 2 minggu. Pemberian

yang terus-menerus akan memberikan hasil yang baik. Efek samping,

seperti kantuk dan mulut kering tidak terjadi.

2. Antagonis reseptor media kimia

a. Antagonis reseptor histamin H1 (Antihistamin)

- Antihistamin generasi pertama: Antihistamin generasi

pertama sering menyebabkan efek samping, seperti

kantuk, gangguan kinerja, dan mulut kering, tetapi

memiliki efek langsung pada bersin dan rinore berair.

Antihistamin generasi pertama dikontraindikasikan untuk

pasien dengan glaukoma, hiperplasia prostat dan asma

karena efek antikolinergik yang kuat. Penekanan sistem

saraf pusat pada anak-anak lebih kecil daripada orang

dewasa. Perlu diperhatikan untuk efek eksitasi, seperti

kejang. Sebagian besar antihistamin generasi pertama

dipasarkan sebagai OTC (over the counter) atau dijual

bebas.8 Contoh antihistamin generasi-1 yang biasa

digunakan adalah difenhidramin, klorfeniramin,

27
prometasin, siproheptadin. Untuk topikal biasa digunakan

azelastin.6

- Antihistamin generasi kedua, seperti ketotifen fumarat,

oksatomida, azelastine hidroklorida, emedastine

difumarat, dan mequitazine, sampai batas tertentu efektif

untuk penyumbatan hidung selain bersin dan rinorea.

Namun, dapat menyebabkan efek samping seperti kantuk

dan gangguan kinerja, pada fase awal. Efek samping dari

fase akhir seperti epinastine hidroklorida, ebastine,

cetiridine, fexofenadine, loratadine, olopatadine

hidroklorida, bepotastine besilate, dan levocetirizine, telah

berkurang. Indikasi prioritas adalah bersin ringan sampai

sedang dan jenis rinore. Kombinasikan dengan steroid

topikal tergantung pada tingkat keparahannya. Obat

kombinasi yang mengandung antihistamin (fexofenadine)

dan dekongestan oral (pseudoefedrin) sekarang tersedia.

Namun, indikasi prioritas untuk obat kombinasi ini adalah

jenis pollinosis hidung tersumbat sedang sampai berat dan

jenis penyumbatan hidung yang parah dari rinitis alergi

perenial.

b. Antagonis reseptor leukotrien (antileukotrien)

Leukotrien peptida, diproduksi dan dilepaskan oleh sel mast,

eosinofil, dan makrofag, memiliki efek relaksasi yang kuat pada

28
otot polos vaskular mukosa hidung, meningkatkan efek pada

permeabilitas vaskular, dan efek stimulasi pada migrasi eosinofil.

Contoh obat yang tersedia seperti pranlukast dan montelukast

yang efektif untuk hidung tersumbat. Efeknya meningkat dengan

pemberian yang berkepanjangan. Efek yang sebanding dengan

antihistamin dapat dicapai untuk bersin dan rinore dalam waktu 4

minggu. Indikasi utama adalah pengobatan gejala tipe sumbatan

hidung sedang atau ringan dan gejala tipe sedang dengan keluhan

utama sumbatan hidung, tidak terjadi efek samping mengantuk.

c. Prostaglandin D2 dan antagonis reseptor tromboksan A2

Ramatroban meningkatkan permeabilitas pembuluh darah di

mukosa hidung dan menekan migrasi eosinofil dengan memblokir

reseptor tromboksan, dan menekan migrasi eosinofil dengan

memblokir CRTh2 (chemoattractant reseptor-homologous

receptor expressed on Th2 cell), bagian dari reseptor

prostaglandin D2. Indikasi utama untuk pengobatan gejala

sumbatan hidung dan gejala tipe kombinasi dengan keluhan

utama sumbatan hidung. Agen berinteraksi dengan beberapa obat

lain, tetapi tidak menyebabkan efek samping kantuk.

3. Inhibitor sitokin Th2: sitokin IPD produksi sitokin Th2, seperti IL-4

dan IL-5, di limfosit T untuk mengurangi peradangan alergi. Tidak

ada efek samping kantuk, terjadi.

4. Steroid

29
a. Steroid semprotan hidung : Beclomethasone propionate,

fluticasone propionate, mometasone furoate, fluticasone furoate,

dan dexamethasone cipecilate tersedia. Semua agen memiliki efek

lokal yang kuat dalam jumlah kecil, dan diserap dengan buruk

dan mudah terdegradasi. Dengan demikian, mereka memiliki

sedikit efek samping sistemik. Sangat efektif untuk bersin, rinore

berair, dan pembengkakan mukosa hidung, efeknya terasa dalam

waktu 1-3 hari. Dapat terjadi sedikit iritasi hidung, rasa kering,

dan epistaksis.

b. Steroid oral: Hanya untuk kasus yang sulit diobati dengan

sumbatan hidung yang parah dan gejala laringofaring, tidak dapat

dikontrol dengan steroid semprot hidung, prednisolon (20-40 mg /

hari) dapat diberikan untuk 4-7 hari pada awal pengobatan.

Perhatikan efek samping yang mungkin terjadi.

5. Alpha-simpatomimetik (vasokonstriktor topikal hidung

[dekongestan]): Alpha-simpatomimetik bekerja pada sebuah reseptor

otot polos pembuluh darah menyebabkan vasokonstriksi dan untuk

sementara meringankan pembengkakan mukosa hidung Pemberian

terus menerus jangka panjang menyebabkan rinitis medikamentosa.

Untuk pollinosis yang paling parah dapat diberikan 2-3 kali sehari

selama 1-2 minggu.

6. Farmakoterapi lainnya: Agen allassotherapy nonspesifik, persiapan

biologis, dan obat-obatan herbal dapat digunakan.

30
- Imunoterapi spesifik (konvensional, prosedur cepat, sublingual)

Imunoterapi spesifik subkutan (SCIT) telah digunakan selama abad terakhir.

Efeknya yang ditunjukkan dapat diberikan melalui mekanisme imunologis.

Sebagai catatan, sel mast lokal menurun, keseimbangan Th1 / Th2 diubah,

dan sel T regulator meningkat. Dibutuhkan beberapa bulan untuk

mengembangkan efek, membutuhkan injeksi rutin selama ≥3 tahun. Reaksi

anafilaksis sistemik dapat ditemukan pada sebagian kecil kasus.

1) Indikasi: Terapi ini diindikasikan untuk pengobatan pasien berusia ≥6

tahun, tanpa gejala sistemik yang parah, yang dapat diberikan

adrenalin darurat. Kecuali pada pasien yang diterapi ß-bloker atau

asma berat. Meskipun terapi ini tidak memiliki efek berbahaya pada

wanita hamil, terapi ini tidak boleh diberikan selama kehamilan.

2) Implementasi

a) Spesialis harus meresepkan ekstrak antigen dan menangani

reaksi sistemik, seperti syok anafilaksis.

b) Pada pasien dengan komplikasi asma, hindari terapi ini selama

periode paroksismal. Pada pasien dengan pollinosis, hindari

memulai terapi ini selama serbuk sari yang menjadi penyebab

menyebar.

c) Untuk injeksi awal, kurangi konsentrasi ambang batas untuk

reaksi intradermal menjadi 1/10. Sebelum injeksi, tanyakan

lebih dari satu dokter atau profesional perawatan kesehatan

tentang konsentrasi dan dosis.

31
d) Sebelum meningkatkan konsentrasi larutan berair atau

mengganti lot, lakukan tes intradermal. Untuk pasien dengan

eritema berdiameter ≥50 mm, lakukan dengan tes hati-hati dan

monitoring pasien selama 20-30 menit setelah injeksi.

e) Lakukan terapi minimal 3 tahun. Efek terapeutik sering

berlanjut selama beberapa tahun setelah penghentian

pemberian.

f) Anjurkan pasien untuk melanjutkan terapi.

3) Imunoterapi sublingual (SLIT)

Saat ini, SLIT diizinkan di Jepang untuk reaksi terhadap alergen,

serbuk sari cedar Jepang dan tungau debu. Indikasi SLIT saat ini

adalah konfirmasi alergen positif terhadap serbuk sari cedar Jepang

atau tungau debu oleh reaksi kulit atau IgE spesifik pada pasien

berusia ≥5 tahun. Alergen diberikan sebagai cairan atau tablet setiap

hari dalam dosis cara eskalasi selama minimal 2 atau 3 tahun.

Kontraindikasinya adalah penyakit serius yang memerlukan

penggunaan a ß-bloker, asma tidak stabil di mana steroid sistemik

mungkin diperlukan, pengobatan dengan obat anti-kanker, penyakit

autoimun yang parah, atau kasus-kasus di mana pengobatan tidak

boleh digunakan pada pasien karena efek sampingnya. Inokulasi

sublingual harus ditangguhkan dalam kasus kehamilan, cedera mulut

atau ulkus, atau jika terapi odonto berat diperlukan. Namun, jika

32
kehamilan terjadi saat terapi ini diberikan, imunoterapi alergen,

termasuk injeksi subkutan, umumnya dianggap aman.

- Perawatan operatif

Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),

konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu

diperkirakan bila konka inferior hipertrofi berat tidak berhasil dikecilkan

dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.6

M. KOMPLIKASI6,7

Komplikasi yang dapat timbul dari rinitis alergi sebagai berikut :

1. Sinusitis akut atau kronik

2. Otitis media

3. Disfungsi tuba eustachius

4. Rinosinusitis

N. PROGNOSIS9

Diyakini bahwa prevalensi rinitis alergi memuncak pada masa remaja dan

secara bertahap menurun seiring bertambahnya usia. Dalam sebuah studi

longitudinal, pada saat usia 23 tahun, 54,9% pasien menunjukkan

peningkatan gejala, dengan 41,6% dari mereka bebas gejala. Pasien yang

gejalanya timbul pada usia yang lebih muda kemungkinan untuk mengalami

perbaikan tinggi. Tingkat keparahan rinitis alergi dapat bervariasi dari waktu

ke waktu dan tergantung pada berbagai faktor seperti lokasi dan musim.

33
Sekitar 50% pasien yang menerima imunoterapi alergi rumput mencatat

peningkatan gejala yang berlanjut 3 tahun setelah penghentian terapi.

BAB III

PENUTUP

Rinitis alergi adalah penyakit yang dimediasi oleh Ig E yang terjadi setelah

paparan alergen dalam atau luar ruangan, seperti tungau debu, serangga, bulu

hewan, jamur, dan serbuk sari dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan

tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.

Rinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang

secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Peran lingkungan pada

kejadian rinitis alergi sangat penting, ditinjau dari faktor alergen yang

mensensitisasi terjadinya penyakit ini. Pengobatan paling efektif dari rinitis alergi

adalah menghindari faktor penyebab yang dicurigai (avoidance), dimana apabila

tidak dapat dihindari dapat dibantu dengan terapi medikamentosa hingga

pembedahan. Pasien dengan rinitis alergi tanpa komplikasi yang respon dengan

pengobatan memiliki prognosis baik.

34
35
DAFTAR PUSTAKA

1. Eifan AO, Durham SR. Pathogenesis of rhinitis. Clin Exp Allergy. 2016

Sep;46(9):1139-51. doi: 10.1111/cea.12780. PMID: 27434218.

2. Drazdauskaitė G, Layhadi JA, Shamji MH. Mechanisms of Allergen

Immunotherapy in Allergic Rhinitis. Curr Allergy Asthma Rep. 2020 Dec

12;21(1):2. doi: 10.1007/s11882-020-00977-7. PMID: 33313967; PMCID:

PMC7733588.

3. Beard S. Rhinitis. Prim Care. 2014 Mar;41(1):33-46. doi:

10.1016/j.pop.2013.10.005. Epub 2013 Nov 28. PMID: 24439879;

PMCID: PMC7119310.

4. May JR, Dolen WK. Management of Allergic Rhinitis: A Review for the

Community Pharmacist. Clin Ther. 2017 Dec;39(12):2410-2419. doi:

10.1016/j.clinthera.2017.10.006. Epub 2017 Oct 25. PMID: 29079387.

5. Sur DK, Plesa ML. Treatment of Allergic Rhinitis. Am Fam Physician.

2015 Dec 1;92(11):985-92. PMID: 26760413.

6. Irawati N, Rusmono N. 2020. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok Kepala & Leher Edisi Ketujuh. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

7. Jean T. 2021. Allergic Rhinitis. Medscape.com Diakses pada tanggal 12

Desember 2021 di Allergic Rhinitis: Practice Essentials, Background,

Pathophysiology (medscape.com)

8. Okubo K, Kurono Y, Ichimura K, Enomoto T, Okamoto Y, Kawauchi H,

Suzaki H, Fujieda S, Masuyama K; Japanese Society of Allergology.

36
Japanese guidelines for allergic rhinitis 2020. Allergol Int. 2020

Jul;69(3):331-345. doi: 10.1016/j.alit.2020.04.001. Epub 2020 May 27.

PMID: 32473790.

9. Akhouri S, House SA. Allergic Rhinitis. 2021 Mar 31. In: StatPearls

[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan–. PMID:

30844213.

10. Basri MI, Djayalangkara H, Lisal JI, dkk. 2016. Buku Ajar Biomedik 2.

Makassar: Departemen Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas

Hasanuddin

37

Anda mungkin juga menyukai