KARSINOMA SINONASAL
Oleh:
Venty Ayun Perdanasari
111 2018 2096
Pembimbing:
dr. Renato Vivaldi Kuhuwael, Sp.THT-KL
Adalah benar telah menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik berjudul Abses Pretonsilar
dan telah disetujui serta telah dibacakan dihadapan supervisor pembimbing dalam
rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Ksesehatan THT-KL Makassar Fakultas
Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.
Menyetujui,
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Subhanahuwa Ta’ala atas segala rahmat
dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat ini sebagai salah satu
tugas kepaniteraan klinik pada BagianIlmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran
Universitas Muslim Indonesia.
Akhir kata, semoga penulisan ini dapat memberikan sumbangsih bagi keilmuan
baik bagi diri sendiri, institusi terkait, dan masyarakat umum.
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................1
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................... .2
KATA PENGANTAR...............................................................................3
DAFTAR ISI............................................................................................4
BAB I PENDAHULUAN........................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...............................................................6
2.1 Anatomi.............................................................................................7
2.2 Definisi............................................................................................12
2.3 Epidemiologi....................................................................................12
2.4 Etiologi............................................................................................13
2.5 Patofisiologi.....................................................................................14
2.7 Klasifikasi........................................................................................10
2.8 Tanda dan Gejala............................................................................15
2.9 Tatalaksana.....................................................................................20
2.10 Diagnosis Banding........................................................................24
2.11 Komplikasi.................................................................................... 25
2.12Prognosis.......................................................................................25
BAB III KESIMPULAN..........................................................................27
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................28
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
sinonasal. Tumor jinak pada hidung dan sinus paranasal sering ditemukan, tetapi
tumor yang ganas termasuk jarang, hanya 3% dari tumor kepala dan leher atau
kurang dari 1% dari seluruh tumor ganas. Sekitar 60-70% dari keganasan sinonasal
terjadi pada sinus maksilaris dan 20-30% terjadi pada rongga hidung sendiri.
rongga yang dibatasai oleh tulang-tulang wajah yang merupakan daerah yang
terlindung sehingga tumor yang tumbul di daerah ini sulit diketahui secara dini.
Lokasi rongga hidung dan sinus paranasal membuat tumor sangat dekat dengan
struktur vital. Masalah ini diperburuk oleh fakta bahwa manifestasi awal yang
terjadi(misalnya epistaksis unilateral, obstruksi nasi) mirip dengan kondisi awal yang
umum dikeluhkan tanpa adanya keluhan spesifik lainya. Oleh karena itu pasien dan
dokter sering mengabaikan atau meminimalkan presentasi awal dari tumor dan
Tumor ganas hidung dan sinus paranasal termasuk tumor yang sukar diobati
secara tuntas dan angka kesembuhan masih sangat rendah. Pasien dengan tumor
radioterapi.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi
A. Hidung
Hidung terdiri atas nasus externus dan cavum nasi. Nasus externus mempunyai
ujung yang bebas yang dilekatkan ke dahi melalui radix nasi. Lubang luar hidung
disebut nares. Kedua nares dibatasi oleh ala nasi dibagian lateral dan oleh septum nasi
dibagian medial. Rangka nasus externus dibagian atas dibatasi oleh os nasale,
processus frontalis ossis maxillaris pars nasalis ossis frontalis. Dibagian bawah
dibentuk oleh lempeng tulang rawan yaitu cartilago nasi superior dan inferior, dan
Cavum nasi terletak dari nares sampai choana. Dasar dari cavum nasi
dibentuk oleh processus palatinus maxillae dan lamina horizontalis ossis palatini
yaitu permukaan atas palatum durum. Bagian atap dibentuk oleh corpus os
nasi. Dinding lateral dari cavum nasi terdapat tiga tonjolan yaitu concha nasalis
superior, media dan inferior. Area dibawah stiap concha disebut meatus. Recessus
sphenoethmoidalis adalah daerah kecil yang terletak diatas concha nasalis superior
dan di depan corpus os sphenoidalis. Daerah ini terdapat muara dari sinus
sphenoidalis.1
Meatus nasi superior terletak dibawah dan lateral dari concha nasalis superior
dan terdapat muara dari sinus ethmoidalis posterior. Metaus nasi media terletak di
bawah dan lateral concha media. Pada dinding lateralnya terdapat bulla ethmoidalis.
Sebuah celah yang melengkung disebut hiatus semilunaris yang terletak tepat di
bawah bulla. Ujung anterior hiatus masuk ke dalam saluran yang berbentuk corong
disebut infundibulum. Sinus maxillaris bermuara pada meatus nasi media melalui
hiatus semilunaris. Sinus frontalis dan sinus ethmoidales anterior bermuara pada
infundibulum.1
Meatus nasi inferior terletak di bawah dan lateral concha inferior dan terdapat
muara dari ductus nasolacrimalis. Dinding medial atau septum nasi merupakan
cavum nasi kecuali vestibulum. Terdapat dua jenis membrana mukosa yaitu mukosa
atas concha nasalis superior dan recessus sphenoethmoidalis; juga melapisi daerah
septum nasi septum nasi yang berdekatan dengan atap. Fungsinya adalah
menerima rangsangan penghidu dan untuk fungsi ini mukosa memiliki sel-sel
penghidu khusus. Permukaan membrana mukosa tetap basah oleh sekret kelenjar
B. Sinus Paranasalis
berisi udara, berhubungan dengan cavum nasi melalui apertura yang relatif kecil. Sinus
maxillaris dan sphenoidalis pada waktu lahir terdapat dalam bentuk yang rudimenter,
setelah usianya delapan tahun menjadi cukup besar dan pada masa remaja sudah
terbentuk sempurna. Sinus berfungsi sebagai resonator suara dan mengurangi berat
tengkorak. Bila muara sinus tersumbat atau sinus terisi cairan kualitas suara jelas
berubah.1,2
Sinus maxillaris terletak di dalam corpus maxillaris. Sinus ini berbentuk piramid
dengan basis membentuk dinding lateral hidung dan apex di dalam processus
zygomaticus maxillae. Atap dibentuk oleh dasar orbita sedangkan dasar dibentuk oleh
processus alveolaris. Akar premolar pertama dan kedua serta molar ketiga dan kadang-
kadang akar dari caninus menonjol ke dalam sinus sehingga jika dilakukan ekstraksi
Sinus frontalis ada dua buah dan terdapat dalam os frontale dan dipisahkan oleh
septum tulang yang sering menyimpang dari bidang median. Setiap sinus berbentuk
segitiga, meluas ke atas, di atas ujung medial alis mata dan ke belakang ke bagian
sphenoidalis ada dua buah dan terletak di dalam corpus os sphenoidalis. Setiap sinus
Sinus ini terpisah dari orbita oleh selapis tipis tulang, sehinggga infeksi dengan mudah
menjalar dari sinus ke dalam orbita. Sinus ini terbagi menjadi tiga yaitu anterior, media
bermuara ke dalam meatus nasi medius, dan kelompok posterior bermuara ke dalam
meatus nasi superior. Membrana mukosa dipersarafi oleh n.ethmoidalis anterior dan
posterior. Sinus paranasal hampir tidak mempunyai aliran limfe, sehingga metastasis ke
kelenjar limfe sangat jarang terjadi dan bila ada, hal itu mungkin terjadi pada waktu
tumornya sudah meluas keluar dari sinus paranasal seperti nasofaring, mukosa pipi
atau kulit.1,2
Gambar 5. Sinus Paranasal
Ohngren pada tahun 1933 membuat teori tentang adanya suatu bidang imaginer
yang melalui kantus medius dan angulus mandibula. Bidang itu membagi rahang atas
(infrastruktur). Yang dimaksud suprastruktur adalah dinding tulang sinus maxilla bagian
posterior dan separuh bagian posterior dinding atas. Sisanya termasuk infrastruktur.
Tumor di daerah infrastruktur mempunyai prognosis yang jauh lebih baik daripada
2.2. Definisi
Karsinoma sinonasal adalah tumor ganas yang terdapat pada rongga hidung dan
sinus paranasal. Asal tumor primernya sulit diketahui apakah berasal dari rongga
hidung atau sinus paranasal karena biasanya pasien datang berobat saat penyakit
sudah stadium lanjut dan tumor sudah memenuhi rongga hidung dan sinus. Lokasi
hidung dan sinus paranasal (sinonasal) merupakan rongga hidung yang dibatasai oleh
tulang-tulang wajah yang merupakan daerah yang terlindung sehingga karsinoma yang
timbul di daerah ini sulit diketahui secara dini. Tipe histologi yang paling sering
ditemukan adalah karsinoma sel skuamosa dan kebanyakan berkembang dari sinus
maksilaris.3,4
Tumor ini bersifat agresif dan tumbuh sangat cepat sehingga mengikis dinding
sinus yang lain. Gejala-gejala dan tanda klinis semua tumor hidung dan paranasal
hampir mirip sehingga seringkali hanya pemriksaan histopatolgi saja yang dapat
menentukan jenisnya. Karsinoma sel skuamosa adalah jenis yang paling banyak
terjadi(70%), disusul oleh karsinoma tanpa diferensiasi dan tumor asal kelenjar.4
2.3. Epidemiologi
peringkat kedua yang paling umum setelah karsinoma nasofaring 1,2.Dari beberapa studi
epidemiologi dari berbagai negara menunjukkan adanya hubungan dengan paparan zat
kimia atau bahan industri lainnya seperti nikel, debu kayu, kulit, mebel tekstil dan lain-
lainya. Selain itu alkohol, asap rokok, makanan yang diasinkan atau diasap juga diduga
meningkatkan kejadian karsinoma sinonasal. Pria yang terkena 1,5 kali lebih sering
dibandingkan wanita dan 80% dari tumor ini terjadi pada orang berusia 48-85 tahyb.
Sekitar 60-70% dari keganasan sinonasal terjadi pada sinus makssilaris dan 20-30%
Prevalensi tumor ganas sinonasal paling banyak terjadi sebesar 77% pada
sinus maksilaris, 22% pada sinus ethmoidalis dan 1% pada sinus sphenoidalis dan
sinus frontalis.4
2.4. ETIOLOGI
Perubahan dari sel normal menjadi sel kanker dipengaruhi oleh banyak faktor
(multifaktor) dan bersifat individual atau tidak sama pada setiap orang. Faktor-faktor
2. Alkohol
3. Inhalan spesifik
meningkatkan resiko terjadinya kanker kavum nasi dan sinus paranasal, termasuk
diantaranya adalah :
a. Debu yang berasal dari industri kayu, tekstil, pengolahan kulit/kulit sintetis, dan
tepung.
6. Usia : Penyakit keganasan ini lebih sering didapatkan pada usia antara
7. Jenis Kelamin
Keganasan pada kavum nasi dan sinus paranasalis ditemukan dua kali lebih
2.5. Patofisiologi
Perubahan dari sel normal menjadi sel kanker dipengaruhi oleh multifaktor
seperti yang sudah dipaparkan di atas dan bersifat individual. Faktor resiko terjadinya
tumor semisal bahan karsinogen seperti bahan kimia inhalan, debu industri, sinar
ionisasi dan lainnya dapat menimbulkan kerusakan ataupun mutasi pada gen yang
mengatur pertumbuhan tubuh yaitu gen proliferasi dan diferensiasi. Dalam proses
diferensiasi ada dua kelompok gen yang memegang peran penting yaitu gen yang
onkogen). Untuk terjadinya transformasi dari satu sel normal menjadi sel kanker oleh
karsinogen harus melalui beberapa fase yaitu fase inisiasi dan fase promosi serta
progresi. Pada fase inisiasi terjadi perubahan dalam bahan genetik sel yang
memancing sel menjadi ganas akibat suatu onkogen, sedangkan pada fase promosi sel
yang telah mengalami inisiasi akan berubah menjadi ganas akibat terjadinya kerusakan
gen. Sel yang tidak melewati tahap inisiasi tidak akan terpengaruh promosi sehingga
tidak berubah menjadi sel kanker. Inisiasi dan promosi dapat dilakukan oleh karsinogen
yang sama atau diperlukan karsinogen yang berbeda. Sejak terjadinya kontak dengan
karsinogen hingga timbulnya sel kanker memerlukan waktu induksi yang cukup lama
yaitu sekitar 15-30 tahun. Pada fase induksi ini belum timbul kanker namun telah
terdapat perubahan pada sel seperti displasia. Fase selanjutnya adalah fase in situ
dimana pada fase ini kanker mulai timbul namun pertumbuhannya masih terbatas
jaringan tempat asalnya tumbuh dan belum menembus membran basalis. Fase in situ
Sel kanker yang bertumbuh ini nantinya akan menembus membrane basalis dan
masuk ke jaringan atau organ sekitarnya yang berdekatan atau disebut juga dengan
fase invasif yang berlangsung sekitar 1-5 tahun. Pada fase diseminasi (penyebaran)
sel-sel kanker menyebar ke organ lain seperti kelenjar limfe regional dan atau ke organ-
organ jauh dalam kurun waktu 1-5 tahun. Sel-sel kanker ini akan tumbuh terus tanpa
batas sehingga menimbulkan kelainan dan gangguan. Sel kanker ini akan mendesak
2.6. Klasifikasi
mukosa dari cavum nasi atau sinus paranasal yang meliputi keratinisasi dan non
keratinisasi. Jenis yang paling umum dan sering ditemukan pada karsinoma sinonasal
sekitar 70% dari semua kasus, jarang terjadi pada anak-anak dan lebih sering pada pria
dibandingkan wanita, terjadi pada rentang umur 55-65 tahun. Penyebab definif dari
SCC sinonasal tidak bisa ditentukan secara pasti. Faktor resiko meliputi terexpose
maxilla(60-70%), diikuti oleh cavum nasi (12-25%), sinus ethmoidalis (10-15%) dan
sinus frontalis dan sphenoidalis (1%). tapi ketika pertama kali dilihat tumor biasanya
sudah melibatkan hidung, sel ethmoidal dan antrum/maksila. Gejala berupa rasa penuh
hidung, pipi atau palatum, luka yang tidak kunjung sembuh atau ulkus, adanya massa
pada kavum nasi, pada kasus lanjut dapat terjadi proptosis, diplopia atau lakrimasi.8,9
Varian dari karsinoma sel squamosa yaitu karsinoma verukosa, papillary cell
perluasan lesi, invasi tulang dan perluasan pada struktur-struktur yang bersebelahan
infiltratif.8,9
Secara histologi, tumor ini identik dengan karsinoma sel skuamosa dari lokasi
mukosa lain pada daerah kepala dan leher. Ditemukan diferensiasi skuamosa, di
dalam bentuk keratin ekstraseluler atau keratin intraseluler (sitoplasma merah muda,
sarang, massa atau sebagai kelompok kecil sel-sel atau sel-sel individual. Invasi
ditemukan tidak beraturan. Sering terlihat reaksi stromal desmoplastik. Karsinoma ini
radioterapi, sedangkan pada tahap lanjut (T3-T4) dilakukan multimodal terapi seperti
terapi bedah diikuti dengan radioterapi atau kemoterapi post operatif. Pasien dengan
karsinoma sel squamosa nasal umumnya terlihat lebih awal dibandingkan pasien
dengan kanker maxilla. Karsinoma sel squamosa nasal jarang bermetastasis ke nodus
limfe dan rekuren. Ketika jenis ini terjadi, perkembangannya berlangsung sangat cepat.
Adanya gangguan lokal yang terjadi selain kanker, akan memperburuk prognosis.
Angka survival 5 tahun sebesar 60% sedangkan untuk karsinoma sel squamosa maxilla
42%.8,9
a. Undifferentiated Carcinoma
Merupakan karsinoma yang jarang ditemukan, sangat agresif dan
batas-batas anatomi dari saluran sinonasal. Lokasi yang sering terjadi yaitu cavum
nasi, antrum maxilla, dan sinus ethmoidalis. Karsinoma jenis ini banyak terjadi pada
dekade 3-9 dan pertengahan pada dekade 6 dan juga laki-laki lebih banyak dibanding
epistaksis, proptosis, bengkak periorbital, diplopia, nyeri wajah, dan termasuk gejala
pola pertumbuhan yang bervariasi, termasuk trabekular, pola seperti lembaran, pita,
lobular, dan organoid. Sel-sel tumor berukuran sedang hingga besar dan bentuk bulat
hingga oval dan memiliki inti sel pleomorfik dan hiperkromatik, anak inti menonjol,
sitoplasma eosinofilik, rasio inti dan sitoplasma tinggi, aktivitas mitosis meningkat
hidup 18 bulan dan survival 5 tahun kurang dari 20%. Pengobatan dapat dilakukan
b. Adenokarsinoma Sinonasal
Adenokarsinoma dikenal sebagai tumor glandular maligna dan tidak menunjukkan
ganas nasal dan sinus paranasal. Secara klinis merupakan neoplasma agresif lokal,
sering ditemukan pada laki-laki dengan usia antara 40 hingga 70 tahun. Tumor ini
timbul di dalam kelenjar salivari minor dari traktus aerodigestivus bagian atas. Sering
ditemukan pada sinus maksilaris dan etmoid. Gejala utama berupa hidung tersumbat,
nyeri, massa pada wajah dengan deformasi dan atau proptosis dan epistaksis,
Gambaran histologi yang dapat ditemukan adalah tipe cribriform, tubular, dan
solid. Tipe cribriform paling sering ditemukan dengan gambaran khas penampakan
lunak dan tulang di sekitarnya dan jarang bermetastasis. Terapi pembedahan dan
adjuvant radioterapi adalah pengobatan pilihan yang umum digunakan untuk terapi
1. Anamnesis
diagnosis keganasan di hidung dan sinus paranasal. Kurang lebih 9-12 % keganasan di
hidung dan sinus paranasal stadium awal bersifat asimptomatis. Riwayat terpapar
bahan-bahan kimia karsinogen yang dihubungkan dengan pekerjaan atau lingkungan
Gejala yang dikeluhkan oleh pasien tergantung dari asal primer tumor serta arah dan
perluasannya. Tumor di dalam sinus maxilla biasanya tanpa gejala. Gejala yang timbul
setelah tumor besar mendorong atau menembus dinding tulang meluas ke rongga
hidung, rongga mulut, pipi atau orbita. Gejala yang dikeluhkan dapat dikategorikan
sebagai berikut :
Gejala nasal.
Gejala nasal berupa obstruksi hidung unilateral dan rinorea. Jika ada Sekret,
sering sekret yang timbul bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tumor yang
besar dapat mendesak tulang hidung sehingga terjadi deformitas hidung. Khas
Gejala orbital.
Perluasan tumor kearah orbita menimbulkan gejala diplopia, proptosis atau
Gejala oral.
Perluasan tumor ke rongga mulut menyebabkan penonjolan atau ulkus di
palatum atau di prosesus alveolaris. Pasien mengeluh gigi palsunya tidak pas lagi
atau gigi geligi goyah. Seringkali pasien datang ke dokter gigi karena nyeri di gigi,
Gejala fasial
Perluasan tumor akan menyebabkan penonjolan pipi, disertai nyeri, anesthesia
Gejala intrakranial
Perluasan tumor ke intrakranial dapat menyebabkan sakit kepala hebat,
oftalmoplegia dan gangguan visus. Dapat disertai likuorea, yaitu cairan otak yang
keluar melalui hidung ini terjadi apabila tumor sudah menginvasi atau menembus
basis cranii. Jika perluasan sampai ke fossa kranii media maka saraf otak lainnya
bisa terkena. Jika tumor meluas ke belakang, terjadi trismus akibat terkenanya
2. Pemeriksaan Fisis
terdapat asimetri atau distorsi. Jika ada proptosis, perhatikan arah pendorongan
bola mata. Jika mata terdorong ke atas, berarti tumor berasal dari sinus maxilla, jika
ke bawah dan lateral berarti tumor berasal dari sinus frontal atau etmoid.
Selanjutnya periksa dengan seksama kavum nasi dan nasofaring melalui rinoskopi
anterior dan posterior. Permukaan yang licin merupakan pertanda tumor jinak
Jika dinding lateral kavum nasi terdorong ke medial berarti tumor berada di
sinus maksila. Untuk memeriksa rongga oral, disamping inspeksi lakukan juga
palpasi gusi rahang atas dan palatum, apakah ada nyeri tekan, penonjolan atau gigi
tumor pada stadium dini. Kita juga harus memeriksa telinga adakah tuli konduktif
unilateral tanpa kelainan telinga dan kelainan saraf cranial. Adanya pembesaran
kelenjar leher juga perlu dicari meskipun tumor ini jarang bermetastasis ke kelenjar
leher.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Biopsi
dan organ untuk mendiagnosa penyakit. Ini merupakan salah satu cara untuk
mengkonfirmasi diagnosis apakah tumor tersebut jinak atau ganas. Untuk yang
ukuran kecil, tumor dapat diangkat seluruhnya, sedangkan untuk ukuran besar
maka tumor hanya diambil sebagian untuk contoh pemeriksaan tumor yang
sudah diangkat.
Hasil pemeriksaan patologi anatomi (PA) dengan cara seperti inilah yang
dijadikan gold standart atau diagnosis pasti suatu tumor. Bila hasilnya jinak,
maka selesailah pengobatan tumor tersebut, namun bila ganas atau kanker,
maka ada tindakan pengobatan selanjutnya apakah berupa operasi kembali atau
b. Pemeriksaan X-ray
Pada pemeriksaan X-ray sinus paranasal ada 4 macam posisi yang perlu
untuk mendapat hasil yang baik. Pertama, posisi waters paling baik untuk melihat
sinus maxilla. Kedua, posisi Caldwell untuk melihat sinus etmoid dan orbita.
Ketiga, posisi lateral untuk melihat sinus sphenoid dan dinding anterior dan
melihat sinus sphenoid dan etmoid posterior. Normal sinus x-ray dapat
menunjukkan sinus dipenuhi dengan gambaran seperti udara.. Tanda-tanda
scan.10
Gambar 11. Foto polos kepala tampak kista didalam sinus maksilaris
c. CT - Scan
CT-Scan lebih akurat dari pada plain film untuk menilai struktur tulang
sinus paranasal. Pasien beresiko tinggi dengan riwayat terpapar karsinogen,
nyeri persisten yang berat, neuropati kranial, eksoftalmus, kemosis, penyakit
sinonasal dan dengan gejala persisten setelah pengobatan medis yang adekuat
seharusnya dilakukan pemeriksaan dengan CT scan axial dan coronal dengan
kontras. CT scan merupakan pemeriksaan superior untuk menilai batas tulang
traktus sinonasal dan dasar tulang tengkorak. Penggunaan kontras dilakukan
untuk menilai tumor, vaskularisasi dan hubungannya dengan arteri karotis.10
Gambar 12. CT Scan Sinus Paranasal menunjukkan sebuah tumor yang berbentuk lobus tajam
sehingga terjadi peningkatan di kedua rongga hidung yang dapat meluas ke sinus etmoid, sinus
sphenoid dan nasofaring. Lesi menonjol ke dalam orbit kiri dan kedua sinus maksilaris.
d. Pemeriksaan MRI
daerah sekitar tumor dengan jaringan lunak, membedakan sekret di dalam nasal
melibatkan paparan terhadap radiasi ionisasi. Coronal MRI image terdepan untuk
mengevaluasi foramen rotundum, vidian canal, foramen ovale dan kanalis optik.
rendah yang normal dari Meckel cave signal berintensitas tinggi dari lemak di
dalam fossa pterygopalatine oleh signal tumor yang mirip dengan otak.
Gambar 13. a.CT-Scan terlihat karsinoma sinonasal ekstensif dengan destruksi tulang anterior
dan sekitar tulang orbita; b Coronal MRI; c Sagittal MRI; d Axial MRI
PET scan adalah cara untuk membuat gambar organ dan jaringan dalam
tubuh. Sejumlah kecil zat radioaktif disuntikkan ke tubuh pasien. Zat ini diserap
terutama oleh organ dan jaringan yang menggunakan lebih banyak energi.
lebih banyak zat radioaktif. Scanner kemudian mendeteksi zat ini untuk
4. Staging
Sistem TNM adalah suatu cara untuk melukiskan stadium kanker. Sistem TNM
Pasien dengan kanker sinus paranasal biasanya dirawat oleh tim spesialis
menggunakan pendekatan holistik multidisiplin ilmu. Setiap pasien menerima rencana
pengobatan yang disesuaikan untuk memenuhi kebutuhannya. Pilihan pengobatan
utama untuk tumor sinus paranasal meliputi:
Pembedahan
Terapi bedah yang dilakukan biasanya adalah terapi kuratif dengan reseksi
bedah. Pengobatan terapi bedah ini umumnya berdasarkan staging dari masing-masing
tumor. Secara umum, terapi bedah dilakukan pada lesi jinak atau lesi dini (T1-T2).
Terkadang, pembedahan dengan margin/batas yang luas tidak dapat dilakukan karena
dekatnya lokasi tumor dengan struktur-struktur penting pada daerah kepala, serta batas
tumor yang tidak jelas. Radiasi post operatif sangat dianjurkan untuk mengurangi
insiden kekambuhan lokal. Pada beberapa kasus eksisi paliatif ataupun debulking perlu
dekompresi saraf optik dan rongga orbita, serta untuk drainase sinus paranasalis yang
mengalami obstruksi.
bedah seperti reseksi endoskopi nasal, transnasal, sublabial, sinus paranasalis, lateral
rhinotomy atau kombinasi dari bedah endoskopi dan bedah terbuka (open surgery).
Dalam memilih terapi bedah yang optimal, seorang ahli harus mempertimbangkan
dengan seksama dalam memilih pendekatan endonasal daripada prosedur klasik yaitu
midfacial degloving. Jenis reseksi pada tumor rongga hidung dan sinus paranasal
ditentukan oleh lokasi lesi dan perluasannya. Tumor yang berasal dari dalam sinus
( maksilektomi terbatas) terdiri dari reseksi pada satu atau dua dinding maksila kecuali
palatal. Pada kebanyakan pasien, dinding anterior sebagian dibuang beserta dengan
salah satu dinding tengah atau dasar orbita. Defek tipe II (maksilektomi subtotal)
meliputi reseksi pada lengkung maksila, palatal, dinding anterior dan lateral (lima
dinding dasar), dengan tetap menjaga dasar orbita. Defek tipe III (maksilektomi total)
meliputi reseksi keenam dinding maksila. Defek tipe ini dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe
IIIa, dimana isi orbita tetap dijaga dan tipe IIIb, dimana isi orbita diikutsertakan. Defek
tipe IV (orbitomaksilektomi) meliputi reseksi pada isi orbita dan kelima dinding atas
gangguan nutrsi, adanya metastasis jauh, invasi tumor ganas ke fascia prevertebral, ke
sinus kavernosus, dan keterlibatan arteri karotis pada pasien-pasien dengan resiko
tinggi, serta adanya invasi bilateral tumor ke nervus optik dan chiasma optikum.
Keuntungan dari pendekatan bedah endoskopik adalah mencegah insisi pada daerah
wajah, angka morbiditas rendah, dan lamanya perawatan di rumah sakit lebih singkat.
Reseksi luas dari tumor kavum nasi dan sinus paranasalis dapat menyebabkan
1. Radioterapi
stadium I dan II, atau dalam kombinasi dengan operasi dalam setiap tahap penyakit
sebagai adjuvant radioterapi (terapi radiasi yang diberikan setelah dilakukannya terapi
utama seperti pembedahan). Pada tahap awal kanker sinus paranasal, radioterapi
dianggap sebagai terapi lokal alternatif untuk operasi. Radioterapi melibatkan
penggunaan energi tinggi, penetrasi sinar untuk menghancurkan sel-sel kanker di zona
yang akan diobati. Terapi radiasi juga digunakan untuk terapi paliatif pada pasien
dengan kanker tingkat lanjut. Jenis terapi radiasi yang diberikan dapat berupa teleterapi
didasarkan pada jenis histopatologi karena ada yang bersifat radiosensitif dan
sebaliknya.11,12
2. Kemoterapi
terapi lokal, upaya terbaik untuk mengendalikan sel-sel kanker beredar dalam tubuh
tubuh) dalam bentuk suntikan atau obat oral. Bentuk pengobatan ini disebut kemoterapi
dan diberikan dalam siklus (setiap obat atau kombinasi obat-obatan biasanya diberikan
setiap tiga sampai empat minggu). Tujuan kemoterapi untuk terapi tumor sinonasal
ataupun untuk debulking pada lesi-lesi masif eksternal. Pemberian kemoterapi dengan
radiasi diberikan pada pasien-pasien dengan resiko tinggi untuk rekurensi seperti
pasien dengan hasil PA margin tumor positif setelah dilakukan reseksi, penyebaran
2.9. Komplikasi
Komplikasi keganasan sinus terkait dengan pembedahan dan rekonstruksi.
2.10. Prognosis
perbedaan diagnosis histologi, asal tumor primer, perluasan tumor, pengobatan yang
diberikan sebelumnya, status batas sayatan, terapi adjuvan yang diberikan, status
imunologis, lamanya follow up dan banyak lagi faktor lain yang dapat berpengaruh
terhadap agresifitas penyakit dan hasil pengobatan yang tentunya berpengaruh juga
yang terbaik dalam mengontrol tumor primer dan akan meningkatkan angka ketahanan
KESIMPULAN
jaringan sinus paranasal dan jaringan sekitar hidung. Pria terkena 1,5 kali lebih sering
dibandingkan wanita, dan 80% dari tumor ini terjadi pada orang berusia 45-85 tahun.
Sekitar 60-70% dari keganasan sinonasal terjadi pada sinus maksilaris dan 20-30%
terjadi pada rongga hidung sendiri. Diperkirakan 10-15% terjadi pada sinus ethmoidal
Paparan asap hasil sisa industri, terutama debu kayu, merupakan faktor resiko
utama yang telah diketahui untuk tumor ganas sinonasal. Efek paparan ini mulai timbul
setelah 40 tahun atau lebih sejak pertama kali terpapar dan menetap setelah
penghentian paparan. Pasien dengan tumor sinus paranasal biasanya dirawat oleh tim
ketahanan hidup bagi pasien dengan tumor sinus maksilaris sekitar 40% selama 5
tahun. Tumor yang berada pada tahap awal memiliki angka kesembuhan hingga 80%.
Pasien dengan tumor yang dioperasi dan dilakukan terapi radiasi memiliki tingkat
1. Roezin A, Armiyanto. Tumor Hidung dan Sinonasal. dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher: edisi 6. Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD, editor. 2007. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. hal : 178-81.
2. Hilger PA, Adam GL. Penyakit Hidung dan Tumor-Tumor Ganas Kepala Leher. dalam :
BOEIS Buku Ajar Penyakit THT : edisi 6. Effendi H, Santoso RAK, editor. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC. hal : 235-7, 429-44.
3. Rosen, ST. Head and Neck Cancer. 2004. USA : Kluwer Academic Publishers. hal : 161-
169.
4. Snell, R. S. Kepala dan Leher. dalam: Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi
6. 2006. Jakarta : EGC. hal 252-256
5. Faller, A, Schuenke,M. The Respiratory System. dalam : The Human Body. New York. Georg
Thieme Verlag; 2004;hal 335-338
6. Dhingra P. Anatomy of Nose. in : Disease of Ear, Nose, and Throat 4th edition. 2010. India :
Elsevier. hal 130-5,141,165.
7. Budiman, B., Yurni. Maksilektomi Total Dengan Eksenterasi Orbita Pada Karsinoma
Mukoepidermoid Sinonasal . 2012. Padang : Fakultas Departemen Telinga Hidung
Tenggorok-Bedah Kepala Leher Kedokteran Universitas Andalas/ RS. Dr. M.Djamil
Padang. hal 1-15.
8. Carrau RL, MD. Malignant Tumor of the Nasal Cavity and Sinuses. [cited on 14 Maret
2015]. Available from : http://emedicine.medscape.com/article /846995-
overview#showall
9. Surakardja, IDG. Tumor Hidung dan Sinus Paranasal. dalam : Onkologi Klinik. 2000.
Fakultas kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo Surabaya. hal : 85-103.
10. Salam KS, Choudhury AA, Hossain MD, et al. Clinicopathological Study of Sinonasal
Malignancy. Bangladesh J Otorhinolaryngology 2009; 15(2):55-9.
11. American Society of Clinical Oncology. Nasal Cavity and Paranasal Sinus Cancers. 2011.
USA. [cited on 14 Maret 2015]. Available from : http://www.
cancer.net/cancer-types/nasal-cavity-and-paranasal-sinus-cancer
12. Probst,R., Grever, G., Iro, H. Disease of the Nose, Paranasal Sinuses, and Face. dalam :
Basic Otorhinolaryngology. 2006. New York : Thieme. hal 64-67.