Anda di halaman 1dari 36

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL REFARAT

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER Februari 2024


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

KARSINOMA SINONASAL

Oleh:
Venty Ayun Perdanasari
111 2018 2096

Pembimbing:
dr. Renato Vivaldi Kuhuwael, Sp.THT-KL

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK PADA


BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2024
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa :


Nama : Venty Ayun Perdanasari
NIM : 111 2018 2096
Universitas : Universitas Muslim Indonesia
Laporan Kasus : Karsinoma Sinonasal

Adalah benar telah menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik berjudul Abses Pretonsilar
dan telah disetujui serta telah dibacakan dihadapan supervisor pembimbing dalam
rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Ksesehatan THT-KL Makassar Fakultas
Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Makassar, Februari 2024

Menyetujui,

Dokter Pendidik Klinik Mahasiswa

dr. Renato Vivaldi Kuhuwael, Sp.THT-KL Venty Ayun Perdanasari


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Subhanahuwa Ta’ala atas segala rahmat
dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat ini sebagai salah satu
tugas kepaniteraan klinik pada BagianIlmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran
Universitas Muslim Indonesia.

Dalam referat ini penulis melakukan pembahasan mengenai “Karsinoma


Sinonasal”. Kami sangat menyadari bahwa penulisan referat ini belum mencapai
sebuah kesempurnaan. Oleh karena itu, kami dengan penuh harap beberapa saran dan
kritik saudara saudari yang dapat memperbaiki penulisan selanjutnya. Baik yang kami
tulis sendiri atau orang lain.

Akhir kata, semoga penulisan ini dapat memberikan sumbangsih bagi keilmuan
baik bagi diri sendiri, institusi terkait, dan masyarakat umum.

Makassar, Februari 2024

Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................1
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................... .2
KATA PENGANTAR...............................................................................3
DAFTAR ISI............................................................................................4
BAB I PENDAHULUAN........................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...............................................................6
2.1 Anatomi.............................................................................................7
2.2 Definisi............................................................................................12
2.3 Epidemiologi....................................................................................12
2.4 Etiologi............................................................................................13
2.5 Patofisiologi.....................................................................................14
2.7 Klasifikasi........................................................................................10
2.8 Tanda dan Gejala............................................................................15
2.9 Tatalaksana.....................................................................................20
2.10 Diagnosis Banding........................................................................24
2.11 Komplikasi.................................................................................... 25
2.12Prognosis.......................................................................................25
BAB III KESIMPULAN..........................................................................27
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................28
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Tumor sinonasal dimana terjadinya pertumbuhan sel (ganas) pada sinus

paranasal dan rongga hidung yang kemudian berkembang menjadi karsinoma

sinonasal. Tumor jinak pada hidung dan sinus paranasal sering ditemukan, tetapi

tumor yang ganas termasuk jarang, hanya 3% dari tumor kepala dan leher atau

kurang dari 1% dari seluruh tumor ganas. Sekitar 60-70% dari keganasan sinonasal

terjadi pada sinus maksilaris dan 20-30% terjadi pada rongga hidung sendiri.

Diperkirakan 10-15% terjadi pada sel-sel ethmoid(sinus), dan 1% ditemukan di sinus

frontal dan sphenoid. Lokasi hidung dan sinus paranasal(sinonasal) merupakan

rongga yang dibatasai oleh tulang-tulang wajah yang merupakan daerah yang

terlindung sehingga tumor yang tumbul di daerah ini sulit diketahui secara dini.

Lokasi rongga hidung dan sinus paranasal membuat tumor sangat dekat dengan

struktur vital. Masalah ini diperburuk oleh fakta bahwa manifestasi awal yang

terjadi(misalnya epistaksis unilateral, obstruksi nasi) mirip dengan kondisi awal yang

umum dikeluhkan tanpa adanya keluhan spesifik lainya. Oleh karena itu pasien dan

dokter sering mengabaikan atau meminimalkan presentasi awal dari tumor dan

mengobati tahap awal keganasan sebagai gangguan sinonasal jinak.1

Tumor ganas hidung dan sinus paranasal termasuk tumor yang sukar diobati

secara tuntas dan angka kesembuhan masih sangat rendah. Pasien dengan tumor

ganas sinonasal ditangani oleh tim spesialis menggunakan pendekatan holistik

multidisiplin ilmu. Pengobatan dapat berupa pembedahan, kemoterapi dan

radioterapi.1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi

A. Hidung

Hidung terdiri atas nasus externus dan cavum nasi. Nasus externus mempunyai

ujung yang bebas yang dilekatkan ke dahi melalui radix nasi. Lubang luar hidung

disebut nares. Kedua nares dibatasi oleh ala nasi dibagian lateral dan oleh septum nasi

dibagian medial. Rangka nasus externus dibagian atas dibatasi oleh os nasale,

processus frontalis ossis maxillaris pars nasalis ossis frontalis. Dibagian bawah

dibentuk oleh lempeng tulang rawan yaitu cartilago nasi superior dan inferior, dan

cartilago septi nasi.1

Gambar 1. Anatomi Tulang Hidung


Gambar 2. Anatomi Dinding Lateral Cavum Nasi

Gambar 3. Anatomi Nasal Externus

Cavum nasi terletak dari nares sampai choana. Dasar dari cavum nasi

dibentuk oleh processus palatinus maxillae dan lamina horizontalis ossis palatini

yaitu permukaan atas palatum durum. Bagian atap dibentuk oleh corpus os

sphenoidalis, lamina cribrosa, os ethmoidalis, os frontale, os nasale dan cartilago

nasi. Dinding lateral dari cavum nasi terdapat tiga tonjolan yaitu concha nasalis
superior, media dan inferior. Area dibawah stiap concha disebut meatus. Recessus

sphenoethmoidalis adalah daerah kecil yang terletak diatas concha nasalis superior

dan di depan corpus os sphenoidalis. Daerah ini terdapat muara dari sinus

sphenoidalis.1

Meatus nasi superior terletak dibawah dan lateral dari concha nasalis superior

dan terdapat muara dari sinus ethmoidalis posterior. Metaus nasi media terletak di

bawah dan lateral concha media. Pada dinding lateralnya terdapat bulla ethmoidalis.

Sebuah celah yang melengkung disebut hiatus semilunaris yang terletak tepat di

bawah bulla. Ujung anterior hiatus masuk ke dalam saluran yang berbentuk corong

disebut infundibulum. Sinus maxillaris bermuara pada meatus nasi media melalui

hiatus semilunaris. Sinus frontalis dan sinus ethmoidales anterior bermuara pada

infundibulum.1

Meatus nasi inferior terletak di bawah dan lateral concha inferior dan terdapat

muara dari ductus nasolacrimalis. Dinding medial atau septum nasi merupakan

osteocartilago yang ditutupi membrana mukosa. Membrana mukosa melapisi

cavum nasi kecuali vestibulum. Terdapat dua jenis membrana mukosa yaitu mukosa

olfactorius dan respiratorius. Membrana mukosa olfactorius melapisi permukaan

atas concha nasalis superior dan recessus sphenoethmoidalis; juga melapisi daerah

septum nasi septum nasi yang berdekatan dengan atap. Fungsinya adalah

menerima rangsangan penghidu dan untuk fungsi ini mukosa memiliki sel-sel

penghidu khusus. Permukaan membrana mukosa tetap basah oleh sekret kelenjar

serosa yang berjumlah banyak.1


Gambar 4. Anatomi Cavum Nasi

B. Sinus Paranasalis

Sinus paranasalis adalah rongga-rongga yang terdapat di dalam os maxilla, os

frontal, os ethmoidalis, dan os sphenoidalis. Sinus dilapisi oleh mucoperiosterum dan

berisi udara, berhubungan dengan cavum nasi melalui apertura yang relatif kecil. Sinus

maxillaris dan sphenoidalis pada waktu lahir terdapat dalam bentuk yang rudimenter,

setelah usianya delapan tahun menjadi cukup besar dan pada masa remaja sudah

terbentuk sempurna. Sinus berfungsi sebagai resonator suara dan mengurangi berat

tengkorak. Bila muara sinus tersumbat atau sinus terisi cairan kualitas suara jelas

berubah.1,2

Sinus maxillaris terletak di dalam corpus maxillaris. Sinus ini berbentuk piramid

dengan basis membentuk dinding lateral hidung dan apex di dalam processus

zygomaticus maxillae. Atap dibentuk oleh dasar orbita sedangkan dasar dibentuk oleh

processus alveolaris. Akar premolar pertama dan kedua serta molar ketiga dan kadang-

kadang akar dari caninus menonjol ke dalam sinus sehingga jika dilakukan ekstraksi

gigi tersebut dapat menyebabkan terbentuk fistula bahkan terjadi sinusitis.Sinus

maxillaris bermuara ke dalam meatus nasi medius melalui hiatus semilunaris.Karena

sinus ethmoidalis anterior dan sinus frontalis bermuara ke dalam infundibulum,


kemudian ke hiatus semilunaris, kemungkinan penyebaran infeksi dari sinus-sinus

tersebut ke sinus maxillaris sangat besar. Membrana mukosa sinus maxillaris

dipersarafi oleh n.alveolaris dan n.infraorbitalis.1,2

Sinus frontalis ada dua buah dan terdapat dalam os frontale dan dipisahkan oleh

septum tulang yang sering menyimpang dari bidang median. Setiap sinus berbentuk

segitiga, meluas ke atas, di atas ujung medial alis mata dan ke belakang ke bagian

medial atap orbita. Membrana mukosa dipersarafi oleh n.supraorbitalis. Sinus

sphenoidalis ada dua buah dan terletak di dalam corpus os sphenoidalis. Setiap sinus

akan bermuara ke dalam recessus sphenoethmoidalis di atas concha nasalis superior.

Membrana mukosa dipersarafi oleh n.ethmoidalis superior.1,2

Sinus ethmoidalis terdapat dalam os ethmoidale di antara hidung dan orbita.

Sinus ini terpisah dari orbita oleh selapis tipis tulang, sehinggga infeksi dengan mudah

menjalar dari sinus ke dalam orbita. Sinus ini terbagi menjadi tiga yaitu anterior, media

dan posterior.Kelompok anterior bermuara ke dalam infundibulum, kelompok media

bermuara ke dalam meatus nasi medius, dan kelompok posterior bermuara ke dalam

meatus nasi superior. Membrana mukosa dipersarafi oleh n.ethmoidalis anterior dan

posterior. Sinus paranasal hampir tidak mempunyai aliran limfe, sehingga metastasis ke

kelenjar limfe sangat jarang terjadi dan bila ada, hal itu mungkin terjadi pada waktu

tumornya sudah meluas keluar dari sinus paranasal seperti nasofaring, mukosa pipi

atau kulit.1,2
Gambar 5. Sinus Paranasal

Ohngren pada tahun 1933 membuat teori tentang adanya suatu bidang imaginer

yang melalui kantus medius dan angulus mandibula. Bidang itu membagi rahang atas

menjadi struktur superoposterior (suprastruktur) dan struktur inferoanterior

(infrastruktur). Yang dimaksud suprastruktur adalah dinding tulang sinus maxilla bagian

posterior dan separuh bagian posterior dinding atas. Sisanya termasuk infrastruktur.

Tumor di daerah infrastruktur mempunyai prognosis yang jauh lebih baik daripada

tumor di daerah suprastruktur.3


Gambar 6. Garis Ohngren

2.2. Definisi

Karsinoma sinonasal adalah tumor ganas yang terdapat pada rongga hidung dan

sinus paranasal. Asal tumor primernya sulit diketahui apakah berasal dari rongga

hidung atau sinus paranasal karena biasanya pasien datang berobat saat penyakit

sudah stadium lanjut dan tumor sudah memenuhi rongga hidung dan sinus. Lokasi

hidung dan sinus paranasal (sinonasal) merupakan rongga hidung yang dibatasai oleh

tulang-tulang wajah yang merupakan daerah yang terlindung sehingga karsinoma yang

timbul di daerah ini sulit diketahui secara dini. Tipe histologi yang paling sering

ditemukan adalah karsinoma sel skuamosa dan kebanyakan berkembang dari sinus

maksilaris.3,4

Tumor ini bersifat agresif dan tumbuh sangat cepat sehingga mengikis dinding

sinus yang lain. Gejala-gejala dan tanda klinis semua tumor hidung dan paranasal
hampir mirip sehingga seringkali hanya pemriksaan histopatolgi saja yang dapat

menentukan jenisnya. Karsinoma sel skuamosa adalah jenis yang paling banyak

terjadi(70%), disusul oleh karsinoma tanpa diferensiasi dan tumor asal kelenjar.4

2.3. Epidemiologi

Keganasan pada sinonasal jarang terjadi. Umumnya ditemukan di Asia dan

Afrika daripada di Amerika Serikat. Di bagian Asia, keganasan sinonasal adalah

peringkat kedua yang paling umum setelah karsinoma nasofaring 1,2.Dari beberapa studi

epidemiologi dari berbagai negara menunjukkan adanya hubungan dengan paparan zat

kimia atau bahan industri lainnya seperti nikel, debu kayu, kulit, mebel tekstil dan lain-

lainya. Selain itu alkohol, asap rokok, makanan yang diasinkan atau diasap juga diduga

meningkatkan kejadian karsinoma sinonasal. Pria yang terkena 1,5 kali lebih sering

dibandingkan wanita dan 80% dari tumor ini terjadi pada orang berusia 48-85 tahyb.

Sekitar 60-70% dari keganasan sinonasal terjadi pada sinus makssilaris dan 20-30%

terjadi pada rongga hidung sendiri.4

Prevalensi tumor ganas sinonasal paling banyak terjadi sebesar 77% pada

sinus maksilaris, 22% pada sinus ethmoidalis dan 1% pada sinus sphenoidalis dan

sinus frontalis.4

2.4. ETIOLOGI

Perubahan dari sel normal menjadi sel kanker dipengaruhi oleh banyak faktor

(multifaktor) dan bersifat individual atau tidak sama pada setiap orang. Faktor-faktor

yang dapat meningkatkan resiko terjadinya tumor sinonasal antara lain :6


1. Penggunaan tembakau

Penggunaan tembakau (termasuk di dalamnya adalah rokok, cerutu, rokok pipa,

mengunyah tembakau, menghirup tembakau) adalah faktor resiko terbesar penyebab

kanker pada kepala dan leher.

2. Alkohol

Peminum alkohol berat dengan frekuensi rutin.

3. Inhalan spesifik

Menghirup substansi tertentu, terutama pada lingkungan kerja, dapat

meningkatkan resiko terjadinya kanker kavum nasi dan sinus paranasal, termasuk

diantaranya adalah :

a. Debu yang berasal dari industri kayu, tekstil, pengolahan kulit/kulit sintetis, dan

tepung.

b. Debu logam berat : kromium, asbes

c. Uap isoprofil alkohol, pembuatan lem, formaldehyde, radium

d. Uap pelarut (gas “mustard” dan isopropanolol) yang digunakan dalam

memproduksi furniture dan sepatu.

4. Sinar ionisasi : Sinar radiasi; Sinar UV

5. Virus : Virus HPV, Virus Epstein-barr

6. Usia : Penyakit keganasan ini lebih sering didapatkan pada usia antara

45 tahun hingga 85 tahun.

7. Jenis Kelamin

Keganasan pada kavum nasi dan sinus paranasalis ditemukan dua kali lebih

sering pada pria dibandingkan pada wanita.


8. Paparan terhadap thorotrast yang merupakan zat kontras untuk pemeriksaan

radiologi sinus maxilla karena mengandung thorium radioaktif.

2.5. Patofisiologi

Perubahan dari sel normal menjadi sel kanker dipengaruhi oleh multifaktor

seperti yang sudah dipaparkan di atas dan bersifat individual. Faktor resiko terjadinya

tumor semisal bahan karsinogen seperti bahan kimia inhalan, debu industri, sinar

ionisasi dan lainnya dapat menimbulkan kerusakan ataupun mutasi pada gen yang

mengatur pertumbuhan tubuh yaitu gen proliferasi dan diferensiasi. Dalam proses

diferensiasi ada dua kelompok gen yang memegang peran penting yaitu gen yang

memacu diferensiasi (proto-onkogen) dan yang menghambat diferensiasi (anti

onkogen). Untuk terjadinya transformasi dari satu sel normal menjadi sel kanker oleh

karsinogen harus melalui beberapa fase yaitu fase inisiasi dan fase promosi serta

progresi. Pada fase inisiasi terjadi perubahan dalam bahan genetik sel yang

memancing sel menjadi ganas akibat suatu onkogen, sedangkan pada fase promosi sel

yang telah mengalami inisiasi akan berubah menjadi ganas akibat terjadinya kerusakan

gen. Sel yang tidak melewati tahap inisiasi tidak akan terpengaruh promosi sehingga

tidak berubah menjadi sel kanker. Inisiasi dan promosi dapat dilakukan oleh karsinogen

yang sama atau diperlukan karsinogen yang berbeda. Sejak terjadinya kontak dengan

karsinogen hingga timbulnya sel kanker memerlukan waktu induksi yang cukup lama

yaitu sekitar 15-30 tahun. Pada fase induksi ini belum timbul kanker namun telah

terdapat perubahan pada sel seperti displasia. Fase selanjutnya adalah fase in situ

dimana pada fase ini kanker mulai timbul namun pertumbuhannya masih terbatas
jaringan tempat asalnya tumbuh dan belum menembus membran basalis. Fase in situ

ini berlangsung sekitar 5-10 tahun.3,6

Sel kanker yang bertumbuh ini nantinya akan menembus membrane basalis dan

masuk ke jaringan atau organ sekitarnya yang berdekatan atau disebut juga dengan

fase invasif yang berlangsung sekitar 1-5 tahun. Pada fase diseminasi (penyebaran)

sel-sel kanker menyebar ke organ lain seperti kelenjar limfe regional dan atau ke organ-

organ jauh dalam kurun waktu 1-5 tahun. Sel-sel kanker ini akan tumbuh terus tanpa

batas sehingga menimbulkan kelainan dan gangguan. Sel kanker ini akan mendesak

(ekspansi) ke sel-sel normal sekitarnya, mengadakan infiltrasi, invasi, serta metastasis

bila tidak didiagnosis sejak dini dan di berikan terapi.6

2.6. Klasifikasi

Berikut ini merupakan klasifikasi dari karsinoma traktus sinonasal :7,8


Epitel Non epitel

Karsinoma sel squamous Chondrosarcoma


Differensiasi Osteogenic sarkoma
Squamous basaloid Soft tissue sarcoma
Adenosquamous Fibrosarcoma
Karsinoma sel nonsquamous Malignant fibrous
Adenoid cystic carcinoma histiocytoma
Mucoepidermoid carsinoma Hemangiopericytoma
Adenocarcinoma Angiosarcoma
Neuroendocrine carcinoma Kaposi’s sarcoma
Hyalinizing clear cell Rhabdomyosarcoma
carcinoma Lymphoploroferative
Melanoma maligna Lymphoma
Olfactory neuroblastoma Polymorphic
Sinonasal undifferentiated reticulosis
carcinoma Plasmacytoma
Metastatic
a. Karsinoma Sel Skuamosa
Karsinoma sel skuamosa adalah keganasan epitel yang berasal dari epitel

mukosa dari cavum nasi atau sinus paranasal yang meliputi keratinisasi dan non

keratinisasi. Jenis yang paling umum dan sering ditemukan pada karsinoma sinonasal

sekitar 70% dari semua kasus, jarang terjadi pada anak-anak dan lebih sering pada pria

dibandingkan wanita, terjadi pada rentang umur 55-65 tahun. Penyebab definif dari

SCC sinonasal tidak bisa ditentukan secara pasti. Faktor resiko meliputi terexpose

nikel, chloropenol, debu textil dan memiliki riwayat menderita papiloma

sinonasal(Schneiderian). Human papiloma virus menjadi penyebab dari beberapa

kasus yang ditemukan.8,9

Kebanyakan karsinoma sel skuamosa sinonasal yang timbul dalam sinus

maxilla(60-70%), diikuti oleh cavum nasi (12-25%), sinus ethmoidalis (10-15%) dan

sinus frontalis dan sphenoidalis (1%). tapi ketika pertama kali dilihat tumor biasanya

sudah melibatkan hidung, sel ethmoidal dan antrum/maksila. Gejala berupa rasa penuh

atau hidung tersumbat, epistaksis, rinorea, nyeri, parastesia, pembengkakan pada

hidung, pipi atau palatum, luka yang tidak kunjung sembuh atau ulkus, adanya massa

pada kavum nasi, pada kasus lanjut dapat terjadi proptosis, diplopia atau lakrimasi.8,9

Varian dari karsinoma sel squamosa yaitu karsinoma verukosa, papillary cell

squamous carcinoma, basaloid squamous cell carcinoma, spindle cell carcinoma,

adenosqamous carcinoma. Pemeriksaan radiologis, CT scan atau MRI didapatkan

perluasan lesi, invasi tulang dan perluasan pada struktur-struktur yang bersebelahan

seperti pada mata, pterygopalatine atau ruang infratemporal. Secara makroskopik,

karsinoma sel skuamosa kemungkinan berupa exophytic, fungating atau papiler.


Biasanya rapuh, berdarah, terutama berupa nekrotik, atau indurated, demarcated atau

infiltratif.8,9

i. Mikroskopik Keratinizing Squamous Cell Carcinoma

Secara histologi, tumor ini identik dengan karsinoma sel skuamosa dari lokasi

mukosa lain pada daerah kepala dan leher. Ditemukan diferensiasi skuamosa, di

dalam bentuk keratin ekstraseluler atau keratin intraseluler (sitoplasma merah muda,

sel-sel diskeratotik) dan/atau intercellular bridges. Tumor tersusun di dalam sarang-

sarang, massa atau sebagai kelompok kecil sel-sel atau sel-sel individual. Invasi

ditemukan tidak beraturan. Sering terlihat reaksi stromal desmoplastik. Karsinoma ini

dinilai dengan diferensiansi baik, sedang atau buruk.

Gambar 7. Mikroskopik Keratinizing Squamous Cell Carcinoma11

ii. Mikroskopik Non-Keratinizing Karsinoma (Cylindrical Cell, transitional)


Tumor ini merupakan tumor yang berbeda dari traktus sinonasal yang di
karakteristikkan dengan pola plexiform atau ribbon-like growth pattern. Dapat
menginvasi ke dalam jaringan dibawahnya dengan batas yang jelas. Tumor ini dinilai
dengan diferensiasi sedang ataupun buruk. Diferensiasi buruk sulit dikenal sebagai
skuamosa, dan harus dibedakan dari olfactory neuroblastoma atau karsinoma
neuroendokrin.8,9
Gambar 8. Mikroskopik Non-Keratinizing Karsinoma11
Secara umum, lesi dini (T1-T2) dapat dilakukan terapi bedah maupun

radioterapi, sedangkan pada tahap lanjut (T3-T4) dilakukan multimodal terapi seperti

terapi bedah diikuti dengan radioterapi atau kemoterapi post operatif. Pasien dengan

karsinoma sel squamosa nasal umumnya terlihat lebih awal dibandingkan pasien

dengan kanker maxilla. Karsinoma sel squamosa nasal jarang bermetastasis ke nodus

limfe dan rekuren. Ketika jenis ini terjadi, perkembangannya berlangsung sangat cepat.

Adanya gangguan lokal yang terjadi selain kanker, akan memperburuk prognosis.

Angka survival 5 tahun sebesar 60% sedangkan untuk karsinoma sel squamosa maxilla

42%.8,9

a. Undifferentiated Carcinoma
Merupakan karsinoma yang jarang ditemukan, sangat agresif dan

histogenesisnya tidak pasti. Undifferentiated carcinoma berupa massa yang cepat

memperbesar sering melibatkan beberapa tempat (saluran sinonasal) dan melampaui

batas-batas anatomi dari saluran sinonasal. Lokasi yang sering terjadi yaitu cavum

nasi, antrum maxilla, dan sinus ethmoidalis. Karsinoma jenis ini banyak terjadi pada

dekade 3-9 dan pertengahan pada dekade 6 dan juga laki-laki lebih banyak dibanding

wanita. Beberapa kasus terjadi setelah terapi radiasi karsinoma nasofaring.


Gambaran klinis untuk tipe ini yaitu gejala berlangsung singkat, obstruksi nasal,

epistaksis, proptosis, bengkak periorbital, diplopia, nyeri wajah, dan termasuk gejala

kelainan nervus kranial. Gambaran mikroskopik berupa proliferasi hiperselular dengan

pola pertumbuhan yang bervariasi, termasuk trabekular, pola seperti lembaran, pita,

lobular, dan organoid. Sel-sel tumor berukuran sedang hingga besar dan bentuk bulat

hingga oval dan memiliki inti sel pleomorfik dan hiperkromatik, anak inti menonjol,

sitoplasma eosinofilik, rasio inti dan sitoplasma tinggi, aktivitas mitosis meningkat

dengan gambaran mitosis atipikal.

Gambar 9. Mikroskopis Undifferentiated carcinoma

Prognosis dari Undifferentiated Carcinoma buruk dengan median angka bertahan

hidup 18 bulan dan survival 5 tahun kurang dari 20%. Pengobatan dapat dilakukan

kombinasi kemoradiasi dan radikal reseksi.8,9,10

b. Adenokarsinoma Sinonasal
Adenokarsinoma dikenal sebagai tumor glandular maligna dan tidak menunjukkan

gambaran spesifik. Adenokarsinoma dijumpai 10 hingga 14% dari keseluruhan tumor

ganas nasal dan sinus paranasal. Secara klinis merupakan neoplasma agresif lokal,

sering ditemukan pada laki-laki dengan usia antara 40 hingga 70 tahun. Tumor ini
timbul di dalam kelenjar salivari minor dari traktus aerodigestivus bagian atas. Sering

ditemukan pada sinus maksilaris dan etmoid. Gejala utama berupa hidung tersumbat,

nyeri, massa pada wajah dengan deformasi dan atau proptosis dan epistaksis,

bergantung pada lokasinya.9,10

Gambaran histologi yang dapat ditemukan adalah tipe cribriform, tubular, dan

solid. Tipe cribriform paling sering ditemukan dengan gambaran khas penampakan

“swiss cheese”. Adenokarsinoma menyebar dengan menginvasi dan merusak jaringan

lunak dan tulang di sekitarnya dan jarang bermetastasis. Terapi pembedahan dan

adjuvant radioterapi adalah pengobatan pilihan yang umum digunakan untuk terapi

pada adenokarsinoma.Prognosisnya jelek dan biasanya penderita meninggal dunia

disebabkan penyebaran lokal tanpa adanya metastasis.9,10

Gambar 10. Mikroskopis Adenocasinoma Sinonasal


2.7. DIAGNOSIS

1. Anamnesis

Anamnesis yang lengkap dan menyeluruh sangat diperlukan dalam penegakkan

diagnosis keganasan di hidung dan sinus paranasal. Kurang lebih 9-12 % keganasan di

hidung dan sinus paranasal stadium awal bersifat asimptomatis. Riwayat terpapar
bahan-bahan kimia karsinogen yang dihubungkan dengan pekerjaan atau lingkungan

perlu diketahui untuk mencari kemungkinan faktor resiko.

Gejala yang dikeluhkan oleh pasien tergantung dari asal primer tumor serta arah dan

perluasannya. Tumor di dalam sinus maxilla biasanya tanpa gejala. Gejala yang timbul

setelah tumor besar mendorong atau menembus dinding tulang meluas ke rongga

hidung, rongga mulut, pipi atau orbita. Gejala yang dikeluhkan dapat dikategorikan

sebagai berikut :

 Gejala nasal.
Gejala nasal berupa obstruksi hidung unilateral dan rinorea. Jika ada Sekret,

sering sekret yang timbul bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tumor yang

besar dapat mendesak tulang hidung sehingga terjadi deformitas hidung. Khas

pada tumor ganas ingusnya berbau karena mengandung jaringan nekrotik.

 Gejala orbital.
Perluasan tumor kearah orbita menimbulkan gejala diplopia, proptosis atau

penonjolan bola mata, oftalmoplegia, gangguan visus dan epifora.

 Gejala oral.
Perluasan tumor ke rongga mulut menyebabkan penonjolan atau ulkus di

palatum atau di prosesus alveolaris. Pasien mengeluh gigi palsunya tidak pas lagi

atau gigi geligi goyah. Seringkali pasien datang ke dokter gigi karena nyeri di gigi,

tetapi tidak sembuh meskipun gigi yang sakit telah dicabut.

 Gejala fasial
Perluasan tumor akan menyebabkan penonjolan pipi, disertai nyeri, anesthesia

atau parestesia muka jika sudah mengenai nervus trigeminus.

 Gejala intrakranial
Perluasan tumor ke intrakranial dapat menyebabkan sakit kepala hebat,

oftalmoplegia dan gangguan visus. Dapat disertai likuorea, yaitu cairan otak yang

keluar melalui hidung ini terjadi apabila tumor sudah menginvasi atau menembus

basis cranii. Jika perluasan sampai ke fossa kranii media maka saraf otak lainnya

bisa terkena. Jika tumor meluas ke belakang, terjadi trismus akibat terkenanya

muskulus pterigoideus disertai anestesia dan parestesia daerah yang dipersarafi

nervus maksilaris dan mandibularis.10

2. Pemeriksaan Fisis

Saat memeriksa pasien, pertama-tama perhatikan wajah pasien apakah

terdapat asimetri atau distorsi. Jika ada proptosis, perhatikan arah pendorongan

bola mata. Jika mata terdorong ke atas, berarti tumor berasal dari sinus maxilla, jika

ke bawah dan lateral berarti tumor berasal dari sinus frontal atau etmoid.

Selanjutnya periksa dengan seksama kavum nasi dan nasofaring melalui rinoskopi

anterior dan posterior. Permukaan yang licin merupakan pertanda tumor jinak

sedangkan permukaan yang berbenjol-benjol, rapuh dan mudah berdarah

merupakan pertanda tumor ganas.

Jika dinding lateral kavum nasi terdorong ke medial berarti tumor berada di

sinus maksila. Untuk memeriksa rongga oral, disamping inspeksi lakukan juga

palpasi gusi rahang atas dan palatum, apakah ada nyeri tekan, penonjolan atau gigi

goyang. Pemeriksaan nasoendoskopi dan sinuskopi dapat membantu menemukan

tumor pada stadium dini. Kita juga harus memeriksa telinga adakah tuli konduktif

unilateral tanpa kelainan telinga dan kelainan saraf cranial. Adanya pembesaran
kelenjar leher juga perlu dicari meskipun tumor ini jarang bermetastasis ke kelenjar

leher.

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Biopsi

Biopsi adalah pengangkatan sejumlah kecil jaringan untuk pemeriksaan

dibawah mikroskop. Apusan sampel di ambil untuk mengevaluasi sel, jaringan,

dan organ untuk mendiagnosa penyakit. Ini merupakan salah satu cara untuk

mengkonfirmasi diagnosis apakah tumor tersebut jinak atau ganas. Untuk yang

ukuran kecil, tumor dapat diangkat seluruhnya, sedangkan untuk ukuran besar

maka tumor hanya diambil sebagian untuk contoh pemeriksaan tumor yang

sudah diangkat.

Hasil pemeriksaan patologi anatomi (PA) dengan cara seperti inilah yang

dijadikan gold standart atau diagnosis pasti suatu tumor. Bila hasilnya jinak,

maka selesailah pengobatan tumor tersebut, namun bila ganas atau kanker,

maka ada tindakan pengobatan selanjutnya apakah berupa operasi kembali atau

diberikan kemoterapi atau radioterapi.

b. Pemeriksaan X-ray

Pada pemeriksaan X-ray sinus paranasal ada 4 macam posisi yang perlu

untuk mendapat hasil yang baik. Pertama, posisi waters paling baik untuk melihat

sinus maxilla. Kedua, posisi Caldwell untuk melihat sinus etmoid dan orbita.

Ketiga, posisi lateral untuk melihat sinus sphenoid dan dinding anterior dan

posterior sinus frontal dan maxilla. Keempat, posisi submentovertex untuk

melihat sinus sphenoid dan etmoid posterior. Normal sinus x-ray dapat
menunjukkan sinus dipenuhi dengan gambaran seperti udara.. Tanda-tanda

kanker pada pemeriksaan x-ray sebaiknya dikonfirmasi dengan pemeriksaan CT

scan.10

Gambar 11. Foto polos kepala tampak kista didalam sinus maksilaris

c. CT - Scan
CT-Scan lebih akurat dari pada plain film untuk menilai struktur tulang
sinus paranasal. Pasien beresiko tinggi dengan riwayat terpapar karsinogen,
nyeri persisten yang berat, neuropati kranial, eksoftalmus, kemosis, penyakit
sinonasal dan dengan gejala persisten setelah pengobatan medis yang adekuat
seharusnya dilakukan pemeriksaan dengan CT scan axial dan coronal dengan
kontras. CT scan merupakan pemeriksaan superior untuk menilai batas tulang
traktus sinonasal dan dasar tulang tengkorak. Penggunaan kontras dilakukan
untuk menilai tumor, vaskularisasi dan hubungannya dengan arteri karotis.10
Gambar 12. CT Scan Sinus Paranasal menunjukkan sebuah tumor yang berbentuk lobus tajam
sehingga terjadi peningkatan di kedua rongga hidung yang dapat meluas ke sinus etmoid, sinus
sphenoid dan nasofaring. Lesi menonjol ke dalam orbit kiri dan kedua sinus maksilaris.

d. Pemeriksaan MRI

MRI menggunakan medan magnet. Dipergunakan untuk membedakan

daerah sekitar tumor dengan jaringan lunak, membedakan sekret di dalam nasal

yang tersumbat yang menempati rongga nasal, menunjukkan penyebaran

perineural, membuktikan temuan imaging pada sagital plane, dan tidak

melibatkan paparan terhadap radiasi ionisasi. Coronal MRI image terdepan untuk

mengevaluasi foramen rotundum, vidian canal, foramen ovale dan kanalis optik.

Sagital image berguna untuk menunjukkan replacement signal berintensitas

rendah yang normal dari Meckel cave signal berintensitas tinggi dari lemak di

dalam fossa pterygopalatine oleh signal tumor yang mirip dengan otak.
Gambar 13. a.CT-Scan terlihat karsinoma sinonasal ekstensif dengan destruksi tulang anterior
dan sekitar tulang orbita; b Coronal MRI; c Sagittal MRI; d Axial MRI

e. Pemeriksaan Positron Emission Tomography (PET)

PET scan adalah cara untuk membuat gambar organ dan jaringan dalam

tubuh. Sejumlah kecil zat radioaktif disuntikkan ke tubuh pasien. Zat ini diserap

terutama oleh organ dan jaringan yang menggunakan lebih banyak energi.

Karena kanker cenderung menggunakan energi secara aktif, sehingga menyerap

lebih banyak zat radioaktif. Scanner kemudian mendeteksi zat ini untuk

menghasilkan gambar bagian dalam tubuh. Sering digunakan untuk keganasan

kepala dan leher untuk staging dan surveillance.

4. Staging

Sistem TNM adalah suatu cara untuk melukiskan stadium kanker. Sistem TNM

didasarkan atas 3 kategori. Masing–masing kategori dibagi lagi menjadi subkategori

untuk melukiskan keadaan masing– masing pada T(tumor, sampai dimana

perluasannya), N (nodul, kelenjar limfe regional yang terkena), dan M (metastasis).

Pembuatan sistem klasifikasi berguna untuk mrencanakan terapi, meramalkan

prognosis, mengevaluasi hasil pengobatan, keseragaman informasi antar sentra di

dunia dan membantu penelitian mengenai tumor ganas.11


Sistem TNM adalah suatu cara untuk melukiskan stadium kanker. Sistem TNM

didasarkan atas 3 kategori. Masing–masing kategori dibagi lagi menjadi subkategori

untuk melukiskan keadaan masing– masing pada T(tumor, sampai dimana

perluasannya), N (nodul, kelenjar limfe regional yang terkena), dan M (metastasis).

Pembuatan sistem klasifikasi berguna untuk mrencanakan terapi, meramalkan

prognosis, mengevaluasi hasil pengobatan, keseragaman informasi antar sentra di

dunia dan membantu penelitian mengenai tumor ganas.11


2.8. Tatalaksana

Pasien dengan kanker sinus paranasal biasanya dirawat oleh tim spesialis
menggunakan pendekatan holistik multidisiplin ilmu. Setiap pasien menerima rencana
pengobatan yang disesuaikan untuk memenuhi kebutuhannya. Pilihan pengobatan
utama untuk tumor sinus paranasal meliputi:
 Pembedahan

Terapi bedah yang dilakukan biasanya adalah terapi kuratif dengan reseksi

bedah. Pengobatan terapi bedah ini umumnya berdasarkan staging dari masing-masing

tumor. Secara umum, terapi bedah dilakukan pada lesi jinak atau lesi dini (T1-T2).

Terkadang, pembedahan dengan margin/batas yang luas tidak dapat dilakukan karena

dekatnya lokasi tumor dengan struktur-struktur penting pada daerah kepala, serta batas

tumor yang tidak jelas. Radiasi post operatif sangat dianjurkan untuk mengurangi

insiden kekambuhan lokal. Pada beberapa kasus eksisi paliatif ataupun debulking perlu

dilakukan untuk mengurangi nyeri yang hebat, ataupun untuk membebaskan

dekompresi saraf optik dan rongga orbita, serta untuk drainase sinus paranasalis yang

mengalami obstruksi.

Tumor yang berlokasi di kavum nasi dapat dilakukan berbagai pendekatan

bedah seperti reseksi endoskopi nasal, transnasal, sublabial, sinus paranasalis, lateral

rhinotomy atau kombinasi dari bedah endoskopi dan bedah terbuka (open surgery).

Dalam memilih terapi bedah yang optimal, seorang ahli harus mempertimbangkan

dengan seksama dalam memilih pendekatan endonasal daripada prosedur klasik yaitu

melalui pendekatan rhinostomi lateral, rhinostomi medial, transfasial, transoral, dan

midfacial degloving. Jenis reseksi pada tumor rongga hidung dan sinus paranasal
ditentukan oleh lokasi lesi dan perluasannya. Tumor yang berasal dari dalam sinus

maxilaris diangkat dengan cara maxilektomi.11,12

Menurut MSKCC, maksilektomi dibagi menjadi IV yaitu defek tipe 1

( maksilektomi terbatas) terdiri dari reseksi pada satu atau dua dinding maksila kecuali

palatal. Pada kebanyakan pasien, dinding anterior sebagian dibuang beserta dengan

salah satu dinding tengah atau dasar orbita. Defek tipe II (maksilektomi subtotal)

meliputi reseksi pada lengkung maksila, palatal, dinding anterior dan lateral (lima

dinding dasar), dengan tetap menjaga dasar orbita. Defek tipe III (maksilektomi total)

meliputi reseksi keenam dinding maksila. Defek tipe ini dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe

IIIa, dimana isi orbita tetap dijaga dan tipe IIIb, dimana isi orbita diikutsertakan. Defek

tipe IV (orbitomaksilektomi) meliputi reseksi pada isi orbita dan kelima dinding atas

maksila dengan tetap menjaga bagian palatal.


Gambar 14. Jenis Maksilektomi
Kontraindikasi absolut untuk terapi pembedahan adalah pasien dengan

gangguan nutrsi, adanya metastasis jauh, invasi tumor ganas ke fascia prevertebral, ke

sinus kavernosus, dan keterlibatan arteri karotis pada pasien-pasien dengan resiko

tinggi, serta adanya invasi bilateral tumor ke nervus optik dan chiasma optikum.

Keuntungan dari pendekatan bedah endoskopik adalah mencegah insisi pada daerah

wajah, angka morbiditas rendah, dan lamanya perawatan di rumah sakit lebih singkat.

Reseksi luas dari tumor kavum nasi dan sinus paranasalis dapat menyebabkan

kecacatan/kerusakan bentuk wajah, gangguan berbicara dan kesulitan menelan. Tujuan

utama dari rehabilitasi post pembedahan adalah penyembuhan luka,

penyelamatan/preservasi dan rekonstruksi dari bentuk wajah, restorasi pemisahan

oronasal, hingga memfasilitasi kemampuan berbicara, menelan, dan pemisahan kavum

nasi dan kavum cranii.11,12

1. Radioterapi

Terapi radiasi juga disebut radioterapi kadang-kadang digunakan sendiri pada

stadium I dan II, atau dalam kombinasi dengan operasi dalam setiap tahap penyakit

sebagai adjuvant radioterapi (terapi radiasi yang diberikan setelah dilakukannya terapi

utama seperti pembedahan). Pada tahap awal kanker sinus paranasal, radioterapi
dianggap sebagai terapi lokal alternatif untuk operasi. Radioterapi melibatkan

penggunaan energi tinggi, penetrasi sinar untuk menghancurkan sel-sel kanker di zona

yang akan diobati. Terapi radiasi juga digunakan untuk terapi paliatif pada pasien

dengan kanker tingkat lanjut. Jenis terapi radiasi yang diberikan dapat berupa teleterapi

(radiasi eksternal) maupun brachyterapi (radiasi internal). Pemberian radioterapi

didasarkan pada jenis histopatologi karena ada yang bersifat radiosensitif dan

sebaliknya.11,12

2. Kemoterapi

Kemoterapi biasanya diperuntukkan untuk terapi tumor stadium lanjut. Selain

terapi lokal, upaya terbaik untuk mengendalikan sel-sel kanker beredar dalam tubuh

adalah dengan menggunakan terapi sistemik (terapi yang mempengaruhi seluruh

tubuh) dalam bentuk suntikan atau obat oral. Bentuk pengobatan ini disebut kemoterapi

dan diberikan dalam siklus (setiap obat atau kombinasi obat-obatan biasanya diberikan

setiap tiga sampai empat minggu). Tujuan kemoterapi untuk terapi tumor sinonasal

adalah sebagai terapi tambahan (baik sebagai adjuvant maupun neoadjuvant),

kombinasi dengan radioterapi (concomitant), ataupun sebagai terapi paliatif.

Kemoterapi dapat mengurangi rasa nyeri akibat tumor, mengurangi obstruksi,

ataupun untuk debulking pada lesi-lesi masif eksternal. Pemberian kemoterapi dengan

radiasi diberikan pada pasien-pasien dengan resiko tinggi untuk rekurensi seperti

pasien dengan hasil PA margin tumor positif setelah dilakukan reseksi, penyebaran

perineural, ataupun penyebaran ekstrakapsular pada metastasis regional.11,12

2.9. Komplikasi
Komplikasi keganasan sinus terkait dengan pembedahan dan rekonstruksi.

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi yaitu :

1. Perdarahan : untuk menghindari perdarahan arteri etmoid anterior dan posterior


dan arteri sfenopalatina dapat dikauter atau diligasi.
2. Kebocoran cairan otak : cairan otak dapat bocor dekat dengan basis cranii. Tanda
dan gejala yang terjadi termasuk rinorhea yang jernih, rasa asin dimulut, dan
tanda halo. Perawatan konservatif dengan tirah baring dan drainase lumbal dapat
dilakukan selama 5 hari bersama antibiotik. Jika gagal, harus dilakukan intervensi
pembedahan.
3. Epifora : hal ini sering terjadi saat pembedahan disebabkan oleh obstruksi pada
aliran traktus lakrimalis. Endoskopik lanjutan dan tindakan dakriosisto rhinostomi
mungkin perlu dilakukan.
4. Diplopia : perbaikan dasar orbita yang tepat adalah kunci untuk menghindari
komplikasi ini. Jika terjadi diplopia, penggunaan kacamata prisma merupakan
terapi yang paling sederhana.12

2.10. Prognosis

Pada umumnya prognosis kurang baik. Banyak sekali faktor yang

mempengaruhi prognosis keganasan pada sinonasal. Faktor-faktor tersebut seperti

perbedaan diagnosis histologi, asal tumor primer, perluasan tumor, pengobatan yang

diberikan sebelumnya, status batas sayatan, terapi adjuvan yang diberikan, status

imunologis, lamanya follow up dan banyak lagi faktor lain yang dapat berpengaruh

terhadap agresifitas penyakit dan hasil pengobatan yang tentunya berpengaruh juga

terhadap prognosis penyakit ini. Pengobatan multimodalitas akan memberikan hasil

yang terbaik dalam mengontrol tumor primer dan akan meningkatkan angka ketahanan

hidup 5 tahun sebesar 75% untuk seluruh stadium tumor.12


BAB III

KESIMPULAN

Karsinoma sinonasal adalah penyakit di mana sel-sel kanker ditemukan dalam

jaringan sinus paranasal dan jaringan sekitar hidung. Pria terkena 1,5 kali lebih sering

dibandingkan wanita, dan 80% dari tumor ini terjadi pada orang berusia 45-85 tahun.

Sekitar 60-70% dari keganasan sinonasal terjadi pada sinus maksilaris dan 20-30%

terjadi pada rongga hidung sendiri. Diperkirakan 10-15% terjadi pada sinus ethmoidal

dengan minoritas sisa neoplasma ditemukan di sinus frontal dan sphenoid.

Paparan asap hasil sisa industri, terutama debu kayu, merupakan faktor resiko

utama yang telah diketahui untuk tumor ganas sinonasal. Efek paparan ini mulai timbul

setelah 40 tahun atau lebih sejak pertama kali terpapar dan menetap setelah

penghentian paparan. Pasien dengan tumor sinus paranasal biasanya dirawat oleh tim

spesialis menggunakan pendekatan holistik multidisiplin ilmu. Tingkat rata-rata

ketahanan hidup bagi pasien dengan tumor sinus maksilaris sekitar 40% selama 5

tahun. Tumor yang berada pada tahap awal memiliki angka kesembuhan hingga 80%.

Pasien dengan tumor yang dioperasi dan dilakukan terapi radiasi memiliki tingkat

kelangsungan hidup kurang dari 20%.


DAFTAR PUSTAKA

1. Roezin A, Armiyanto. Tumor Hidung dan Sinonasal. dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher: edisi 6. Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD, editor. 2007. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. hal : 178-81.
2. Hilger PA, Adam GL. Penyakit Hidung dan Tumor-Tumor Ganas Kepala Leher. dalam :
BOEIS Buku Ajar Penyakit THT : edisi 6. Effendi H, Santoso RAK, editor. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC. hal : 235-7, 429-44.
3. Rosen, ST. Head and Neck Cancer. 2004. USA : Kluwer Academic Publishers. hal : 161-
169.
4. Snell, R. S. Kepala dan Leher. dalam: Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi
6. 2006. Jakarta : EGC. hal 252-256
5. Faller, A, Schuenke,M. The Respiratory System. dalam : The Human Body. New York. Georg
Thieme Verlag; 2004;hal 335-338
6. Dhingra P. Anatomy of Nose. in : Disease of Ear, Nose, and Throat 4th edition. 2010. India :
Elsevier. hal 130-5,141,165.
7. Budiman, B., Yurni. Maksilektomi Total Dengan Eksenterasi Orbita Pada Karsinoma
Mukoepidermoid Sinonasal . 2012. Padang : Fakultas Departemen Telinga Hidung
Tenggorok-Bedah Kepala Leher Kedokteran Universitas Andalas/ RS. Dr. M.Djamil
Padang. hal 1-15.
8. Carrau RL, MD. Malignant Tumor of the Nasal Cavity and Sinuses. [cited on 14 Maret
2015]. Available from : http://emedicine.medscape.com/article /846995-
overview#showall
9. Surakardja, IDG. Tumor Hidung dan Sinus Paranasal. dalam : Onkologi Klinik. 2000.
Fakultas kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo Surabaya. hal : 85-103.
10. Salam KS, Choudhury AA, Hossain MD, et al. Clinicopathological Study of Sinonasal
Malignancy. Bangladesh J Otorhinolaryngology 2009; 15(2):55-9.
11. American Society of Clinical Oncology. Nasal Cavity and Paranasal Sinus Cancers. 2011.
USA. [cited on 14 Maret 2015]. Available from : http://www.
cancer.net/cancer-types/nasal-cavity-and-paranasal-sinus-cancer
12. Probst,R., Grever, G., Iro, H. Disease of the Nose, Paranasal Sinuses, and Face. dalam :
Basic Otorhinolaryngology. 2006. New York : Thieme. hal 64-67.

Anda mungkin juga menyukai