Anda di halaman 1dari 42

BAGIAN ILMU ANESTESI

REFERAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
AGUSTUS 2022
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

MANAGEMENT AIRWAY

OLEH

Hafida Dewi Audinah I

105101101520

PEMBIMBING

dr. Dian Wirdiyani, M.Kes, Sp. An, KIC

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Anestesi

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2022
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Hafida Dewi Audinah I

NIM 105101101520

Judul Referat : Management Airway

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Anestesi Fakultas

Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Agustus 2022

Pembimbing

dr.Dian Wirdiyanti, M.Kes, Sp. An, KIC


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr. wb.

Alhamdulillah, marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan karunia-Nya, sehingga penulisan referat ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam semoga
selalu tercurahkan kepada Baginda Nabi Besar Muhammad SAW. Karena beliaulah sebagai
suritauladan dalam kehidupan dunia ini. Mudah-mudahan kita yang termasuk umatnya selalu
senantiasa dan setia kepadanya.
Referat dengan judul “Management Airway” ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat
pada waktunya sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu
Anestesi. Secara khusus penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang mendalam
kepada dr. Dian Wirdiyanti, M.Kes, Sp.An, KIC selaku pembimbing yang telah banyak
meluangkan waktu dengan tekun dan sabar dalam membimbing, memberikan arahan dan koreksi
selama prosespenyusunan tugas ini hingga selesai.
Penulis menyadari bahwa penyusunan referat ini belum sempurna adanya dan memiliki
keterbatasan tetapi berkat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, baik moral maupun material
sehingga dapat berjalan dengan baik. Akhir kata, penulis berharap agar referat ini dapat memberi
manfaat kepada semua orang.
Wassalamualaikum wr.wb.

Makassar, Agustus 2022

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Manajemen jalan napas adalah tindakan yang dikerjakan untuk melapangkan atau
membebaskan jalan napas dengan tetap memperhatikan kontrol servikal, yang bertujuan untuk
membebaskan saluran napas untuk menjamin keluar masuknya udara ke paru secara normal
sehingga menjamin kecukupan oksigen dalam tubuh. Waktu juga merupakan hal yang penting
dalam melakukan dukungan jalan napas. Tubuh memiliki simpanan oksigen yang terbatas dan
cepat habis dalam satu kali berhenti napas. Orang sehat memiliki saturasi oksigen maksimal
100% dan akan mulai menurun dan terjadi kerusakan otak dalam lima menit. Pada orang sakit
yang bernapas pada ruangan biasa akan mengalami penurunan saturasi segera setelah henti
napas.1

Oksigenasi dan ventilasi merupakan tujuan esensial dari manajemen jalan napas, ventilasi
yang tidak adekuat dapat disebabkan oleh beberapa hal. Pasien dengan napas spontan dapat terjadi
obstruksi jalan napas oleh karena makanan, darah, sekresi mukus berlebih dan obstruksi oleh
jaringan sekitarnya akibat berkurangnya tonus faringeal. Pasien yang sadar dengan obstruksi
saluran napas akan tampak distress napas yang lebih jelas, hal ini mungkin obstruksi akibat benda
asing, pembengkakan jaringan akibat infeksi, edema laring, tumor ataupun spasme laring. Pada
pasien yang tidak sadar meskipun pernapasan spontan tetap berisiko terjadi aspirasi cairan/bahan
dari lambung. Pasien tidak sadar harus dijamin jalan napas tetap lapang dan terjaga bila perlu
dengan pemasangan ventilator mekanik.1

Menurut ATLS (Advance Trauma Life Support, 2008), manajemen jalan napas merupakan
hal yang terpenting dalam resusitasi dan membutuhkan keterampilan yang khusus dalam
penatalaksanaan keadaan gawat darurat, oleh karena itu hal pertama yang harus dinilai adalah
kelancaran jalan napas, yang meliputi pemeriksaan jalan napas yang dapat disebabkan oleh benda
asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring atau trakea. Gangguan
jalan napas dapat timbul secara mendadak dan total, perlahan-lahan dan sebagian, dan progresif
dan/atau berulang. Kejadian yang berupa kematian-kematian dini karena masalah jalan napas
seringkali masih dapat dicegah, dan dapat disebabkan oleh kegagalan mengetahui adanya
kebutuhan jalan napas, ketidakmampuan untuk membuka jalan napas, kegagalan mengetahui
adanya jalan napas yang dipasang secara keliru, perubahan letak jalan napas yang sebelumnya
telah dipasang, kegagalan mengetahui adanya kebutuhan ventilasi dan aspirasi isi lambung ATLS
(Advance Trauma Life Support, 2008). Pengendalian jalan napas yang tidak baik telah
diidentifikasi menjadi penyebab kecacatan bahkan kematian yang dapat dicegah pada pasien
trauma dan henti jantung. Keberhasilan pertolongan terhadap penderita gawat darurat sangat
bergantung dari kecepatan dan ketetapan dalam memberikan pertolongan. Semakin cepat pasien
ditemukan maka semakin cepat pula pasien tersebut mendapat pertolongan sehingga terhindar dari
kecacatan atau kematian. Kondisi kekurangan oksigen merupakan penyebab kematian yang cepat.
Pasien dengan kekurangan oksigen dapat jatuh dengan cepat ke dalam kondisi gawat darurat
sehingga memerlukan pertolongan segera. Oleh karena itu, pengkajian pernapasan pada penderita
gawat darurat penting dilakukan secara efektif dan efisien.2

Evaluasi jalan napas merupakan langkah pertama yang harus dikerjakan dalam kasus
kegawatdaruratan. Evaluasi jalan napas memberikan kesimpulan tentang normal atau tidaknya
jalan napas dan potensial masalah yang akan dihadapi bila pasien memerlukan tindakan
manajemen jalan napas. Evaluasi jalan napas dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik umum,
serta beberapa manuever khusus jalan napas. Evaluasi jalan napas dilanjutkan dengan berbagai
tindakan untuk mengamankan jalan napas sesuai indikasi dan kondisi pasien.1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI
Saluran napas atas terdiri dari faring, hidung, mulut, laring, trakea, dan bronkus
batang utama. Mulut dan faring juga merupakan bagian dari saluran pencernaan bagian
atas. Struktur laring sebagian berfungsi untuk mencegah aspirasi ke dalam trakea.3
Ada dua bukaan jalan napas manusia: hidung, yang mengarah ke nasofaring, dan
mulut, yang mengarah ke orofaring. Bagian-bagian ini dipisahkan secara anterior oleh
langit-langit mulut, tetapi mereka bergabung ke posterior di faring (Gambar 1). Faring
adalah struktur fibromuskular berbentuk U yang memanjang dari dasar tengkorak ke tulang
rawan krikoid di pintu masuk ke kerongkongan. Ini membuka anterior ke dalam rongga
hidung, mulut, laring dan nasofaring, orofaring dan laringofaring, masing-masing.
Nasofaring dipisahkan dari orofaring oleh bidang imajiner yang meluas ke posterior. Di
dasar lidah, epiglotis secara fungsional memisahkan orofaring dari laringofaring (atau
hipofaring). Epiglotis mencegah aspirasi dengan menutupi glotis—pembukaan laring—
saat menelan. Laring adalah kerangka tulang rawan yang dipegang bersama-sama oleh
ligamen dan otot. Laring terdiri dari sembilan tulang rawan (Gambar 2): tiroid, krikoid,
epiglotis, dan (berpasangan) arytenoid, corniculate, dan cuneiform. Tulang rawan tiroid
melindungi conus elasticus yang membentuk pita suara.3
Gambar 1. Anatomi Jalan Napas3

Pasokan sensorik ke saluran napas bagian atas berasal dari nervus kranial (Gambar
3). Selaput lendir hidung dipersarafi oleh divisi oftalmik (V1) dari nervus trigeminal
anterior (nervus ethmoidalis anterior) dan oleh divisi rahang atas (V2) posterior (nervus
sphenopalatina). Nervus palatina memberikan sensorik serabut nervus trigeminal (V) ke
permukaan superior dan inferior palatum durum dan palatum. Nervus olfaktorius (nervus
kranial I) mempersarafi mukosa hidung untuk memberikan indera penciuman. Nervus
lingual (cabang dari divisi mandibula) [V3] nervus trigeminal) dan nervus
glossopharyngeal (nervus kranial kesembilan) memberikan sensasi ke dua pertiga anterior
dan posterior sepertiga dari lidah, masing-masing. Cabang dari nervus wajah (VII) dan
nervus glossopharyngeal memberikan sensasi rasa pada daerah tersebut masing-masing.
Nervus glosofaringeal juga mempersarafi atap faring, amandel, dan permukaan bawah
langit-langit lunak. Nervus vagus (saraf kesepuluh saraf kranial) memberikan sensasi pada
jalan napas di bawah epiglotis. Cabang laring superior nervus vagus bercabang menjadi
nervus eksternal (motorik), dan nervus laring internal (sensorik) yang menyediakan suplai
sensorik ke laring antara epiglotis dan pita suara. Cabang lain dari vagus, nervus laring
rekuren, mempersarafi laring di bawah pita suara dan trakea.3
Otot-otot laring dipersarafi oleh nervus laringeus rekuren, dengan pengecualian
otot krikotiroid, yang dipersarafi oleh nervus laring eksternal (motor), cabang dari nervus
laring. Otot cricoarytenoid posterior mengabduksi pita suara, sedangkan otot
cricoarytenoid lateral adalah adduktor utama.3
Fonasi melibatkan simultan yang kompleks tindakan oleh beberapa otot laring.
Kerusakan pada nervus motorik yang mempersarafi laring menyebabkan spektrum
gangguan bicara (Tabel 1). Denervasi unilateral otot krikotiroid menyebabkan temuan
klinis yang sangat halus. Kelumpuhan bilateral nervus laring superior dapat menyebabkan
suara serak atau mudah lelah, tetapi kontrol jalan napas tidak terancam.3

Gambar 2. Struktur tulang rawan yang terdiri dari laring3


Gambar 3. Pasokan saraf sensorik jalan napas3

Tabel 1. Efek cedera nervus laryngeal pada suara3

Saraf Efek dari cedera saraf


Nervus laryngeal superior
- Unilateral - Efek minimal
- Bilateral - Suara serak, suara lelah
Nervus laryngeal rekuren
- Unilateral - Suara serak
- Bilateral
Akut - Stridor, distress pernapasan
Kronik - Afonia
Nervus vagus
- Unilateral - Suara serak
- Bilateral - Afonia

Kelumpuhan unilateral dari saraf laring berulang menyebabkan kelumpuhan pita


suara ipsilateral, menyebabkan penurunan kualitas suara. Asumsi saraf laring superior
utuh, bilateral akut kelumpuhan saraf laring berulang dapat menyebabkan stridor dan
gangguan pernapasan karena ketegangan otot krikotiroid yang tersisa. Masalah jalan napas
lebih jarang terjadi pada kehilangan saraf laringeal rekuren bilateral kronis karena
pengembangan berbagai mekanisme kompensasi (misalnya, atrofi otot-otot laring).3

Cedera bilateral pada nervus vagus mempengaruhi keduanya nervus laryngeal


superior dan rekuren. Denervasi vagal bilateral menghasilkan asam, pita suara di posisi
tengah mirip dengan yang terlihat di belakang pemberian suksinilkolin. Meskipun fonasi
sangat terganggu pada pasien ini, jalan napas kontrol jarang menjadi masalah.3

Suplai darah laring berasal dari cabang dari arteri tiroid. Krikotiroid Arteri tiroid
berasal dari arteri tiroid superior itu sendiri, cabang pertama yang diberikan dari karotid
eksternal arteri, dan melintasi membran krikotiroid bagian atas (CTM), yang memanjang
dari kartilago krikoid ke kartilago tiroid. Arteri tiroid superior ditemukan di sepanjang tepi
lateral CTM.3

Gambar 4. Carina3

Trakea dimulai di bawah kartilago krikoid dan meluas ke carina, titik di mana kanan
dan bronkus batang utama kiri membelah (Gambar 4). Di bagian anterior, trakea terdiri
dari cincin tulang rawan; posterior, trakea adalah membran.
B. DEFINISI MANAGEMENT AIRWAY

Pengelolaan jalan napas merupakan keterampilan yang harus dimiliki oleh para dokter dan
petugas kesehatan lainnya utamanya yang bekerja di ruang emergensi. Manajemen jalan napas
memerlukan penilaian, mempertahankan dan melindungi jalan napas dengan memberikan
oksigenasi dan ventilasi yang efektif. Manajemen jalan napas adalah tindakan yang dikerjakan
untuk melapangkan atau membebaskan jalan napas dengan tetap memperhatikan kontrol servikal,
yang bertujuan untuk membebaskan salurannapas untuk menjamin keluar masuknya udara ke paru
secara normal sehingga menjamin kecukupan oksigen dalam tubuh.1
Untuk pasien sadar, airway management dapat dilakukan dengan triple airway
manuever yaitu head tilt, chin lift dan jaw thrust, dan setelah itu dapat dilakukan teknik
pembebasan jalan napas dari sumbatan yaitu Heimlich atau abdominal thrust, back blow
dan chest thrust, dan apabila pasiennya tidak sadar dapat menggunakan teknik cross finger
dan finger swab.5

C. Macam-Macam Gangguan Jalan Napas


Obstruksi jalan napas dibagi menjadi 2 berdasarkan derajat sumbatan:
1. Obstruksi total
Keadaan dimana jalan napas menuju paru-paru tersumbat total, sehingga tidak ada
udara yang masuk ke paru-paru. Terjadi perubahan yang akut berupa hipoksemia yang
menyebabkan terjadinya kegagalan pernapasan secara cepat. Sementara kegagalan
pernapasan sendiri menyebabkan terjadinya kegagalan fungsi kardiovaskuler dan
menyebabkan pula terjadinya kegagalan sistem saraf pusat, dimana penderita
kehilangan kesadaran secara cepat diikuti dengan kelemahan motorik bahkan mungkin
pula dapat terjadi renjatan. Bila tidak dikoreksi dalam waktu 5-10 menit dapat
mengakibatkan asfiksia, henti napas dan henti jantung.6
Sumbatan jalan napas total, serupa dengan obstruksi parsial akan tetapi gejala lebih
hebat dan stridor menghilang. Retraksi lebih jelas, gerakan paradoksal lebih jelas, kerja
otot napas tambahan meningkat dan makin jelas. Sianosis lebih cepat timbul. Sumbatan
total tidak berbunyi dan menyebabkan asfiksia, henti napas dan henti jantung dalam
waktu 5-10 menit bila tidak dikoreksi. Sumbatan parsial berisik dan harus pula segera
dikoreksi karena dapat menyebabkan kerusakan otak, serta dapat menyebabkan henti napas dan
henti jantung. Tanda-tanda adanya sumbatan dapat mendengkur (snoring) berasal dari sumbatan
pangkal lidah. Cara mengatasi chin lift, jaw thrust, pemasangan pipa orofaring/nasofaring,
pemasangan endobronkial. Seperti berkumur (gargling) ada cairan di daerah hipofaring. Cara
mengatasi dengan finger sweep, dan suction. Stridor (crowing) sumbatan di plika vocalis. Cara
mengatasi dengan cricotirodotomi trakeostomi.6
2. Obstruksi parsial
Sumbatan pada sebagian jalan napas sehingga dalam keadaan ini udara masih dapat
masuk ke paru-paru walaupun dalam jumlah yang lebih sedikit. Bila tidak dikoreksi
dapat menyebabkan kerusakan otak. Hal ini yang perlu diwaspadai pada obstruksi
parsial yaitu udara dapat masuk, tetapi tidak keluar. Ditandai dengan adanya stridor,
retraksi otot napas didaerah supraklavikula, suprasternal, sela iga dan epigastrium
selama inspirasi. Napas paradoksal (saat inspirasi dinding dada menjadi cekung/datar
bukan mengembang atau membesar). Napas makin berat dan sulit. Ada tanda sianosis
yang merupakan tanda hipoksemia akibat obstruksi jalan napas yang berat.6

D. Penilaian Awal Jalan Napas


Penilaian awal jalan napas dilakukan dengan inspeksi, palpasi, dan auskultasi yang
ditujukan untuk menentukan apakah jalan napas terbuka dan terlindungi dan apakah masih
ada napas dan adekuat. Langkah-langkah yang dilakukan dalam pengelolaan jalan napas
adalah :1
• Look : lihat gerakan napas atau pengembangan dada, adanya retraksi sela iga, warna
mukosa/kulit dan kesadaran. Pasien diamati untuk mendapat tanda obyektif seperti
sianosis, frekuensi dan pola napas. Napas yang lambat atau cepat merupakan tanda
telah terjadi gangguan respirasi. Kelelahan otot pernapasan terjadi akibat
keterlibatan otot-otot bantu napas berupa retraksi otot suprasternal, supraklavikula,
atau interkostal. Lihat pengembangan dada apakah simetris atau asimetris. Cedera
dinding dada dapat mengakibatkan gerakan paradoksal dinding dada. Inspeksi dan
palpasi bagian tengah wajah dan mandibula harus dilakukan karena cedera di
daerah ini akan mengakibatkan kerusakan jalan napas. Leher harus dilihat secara
seksama apakah ada luka tembus, asimetris, atau pembengkakan yang dapat
menyebabkan gangguan jalan napas. Empisema subkutis menandakan adanya
cedera pada jalan napas.1
• Listen : dengarkan aliran udara pernapasan. Perubahan dan atau hilangnya suara
merupakan tanda adanya gangguan jalan napas. Suara normal menandakan jalan
napas baik. Stridor dapat terjadi akibat sumbatan sebagian jalan napas setinggi
laring atau setinggi trakea. Snoring biasanya akibat sumbatan sebagian jalan napas
setinggi faring. Afoni pada pasien sadar merupakan tanda buruk, pasien yang
membutuhkan napas pendek untuk bicara menandakan telah terjadi gagal napas.
Auskultasi didapatkan suara napas yang jernih dan sama. Hilangnya suara napas
dapat disebabkan oleh pneumothoraks, hemothoraks, dan efusi pleura. Sesak dan
mengi menandakan adanya obstruksi jalan napas.1
• Feel : rasakan adanya aliran udara pernapasan dengan menggunakan pipi penolong.
Buka mulut dan lihat jalan napas atas. Hati-hati jangan sampai leher terlalu ekstensi
dan memutar. Lihat dan keluarkan benda yang ada dalam mulut. Kenali apakah ada
pembengkakan lidah atau uvula, sumber perdarahan atau kelainan lain di orofaring.
Penggunaan tongue blade akan sangat menolong. Kemampuan pasien untuk secara
spontan mengeluarkan sekresi menandakan bahwa mekanisme proteksi jalan napas
masih baik. Pada pasien tidak sadar hilangnya gag refleks seringkali berkaitan
dengan hilangnya refleks proteksi jalan napas.1

Gambar 5. Look, listen dan feel


E. Pengelolaan Jalan Napas Tanpa Alat
Setiap tahun banyak orang meninggal akibat tersedak. Tersedak adalah adanya benda
asing yang menyumbat atau menutup jalan napas baik total maupun parsial. Benda asing
(makanan atau objek lainnya) yang menutup tenggorokan atau jalan napas akan
mengakibatkan menurunnya oksigen dalam darah sehingga korban tersedak akan menjadi
lemas, dan lama kelamaan akhirnya akan meninggal dunia (kerusakan otak sampai
kematian). Kejadian tersedak dapat diidentifikasi dengan cara korban tidak mampu
berbicara, batuk dan bernapas dengan normal atau bahkan mengalami penurunan
kesadaran.9
a. Cara membuka jalan napas
1. Head tilt
Maneuver untuk membuka jalan napas pada korban atau pasien yang tidak sadar.
Maneuver ini dilakukan dengan cara membaringkan pasien atau korban kemudian
leher diekstensikan dengan tujuan menarik lidah pada bagian belakang.9
2. Chin lift
Maneuver ini sama seperti pada Head tilt maneuver akan tetapi ditambahi dengan
menarik dagu secara lembut ke atas. Sehingga sering maneuver tersebut sering
digabungkan manjadi head tilt – chin lift maneuver.9
3. Jaw thrust
Maneuver untuk membuka jalan napas pasien yang tidak sadar. Tindakan ini
dilakukan pada pasien atau korban yang dicurigai mengalami cedera tulang
belakang dan cervical bertujuan mengurangi pergerakan yang tidak diinginkan.
Cara melakukan maneuver ini adalah dengan meletakkan telapak tangan dipipi
korban, jari tangan diletakkan disudut rahang dan tarik keatas sehingga lidah dan
laring terpisah yang pada akhirnya akan membuka jalan napas.9
Gambar 6. Head tilt-chin lift, jaw thrust

b. Teknik Pembersihan Jalan Napas


1. Finger sweep
Finger sweep merupakan suatu teknik untuk membersihkan obstruksi pada
jalan napas pada pasien yang tidak sadar. Teknik ini dilakukan dengan cara
membuka mulut dengan salah satu tangan penolong menggenggam rahang bawah
dan lidah diantara ibu jari dan jari-jari. Penolong kemudian mencoba menyapu
benda asing keluar dari mulut korban dengan jari. Penolong harus melihat secara
jelas benda asing yang terdapat dalam mulut korban karena jika salah akan
mengakibatkan dorongan benda asing masuk ke dalam saluran pernapasan lebih
dalam. Jika penolong ragu atau tidak yakin dengan benda asing yang terlihat dalam
mulut korban maka tindakan ini sangat tidak dianjurkan.9
Gambar 7. Finger sweep dan cross finger

2. Cross finger
Salah satu teknik yang dapat dengan mudah digunakan oleh satu operator
untuk mempertahankan mulut terbuka selama penyisipan SAD adalah “cross
finger”. Teknik ini melibatkan menyilangkan jari telunjuk dan ibu jari tangan
operator yang tidak dominan seperti bilah gunting. Sementara jari telunjuk
bertumpu pada gigi rahang atas, ibu jari diletakkan di atas gigi rahang bawah dan
keduanya bersilang, menghasilkan pembukaan mulut. Manuever ini tidak hanya
memberikan pembukaan mulut (MO) yang memadai tetapi juga meniadakan
kebutuhan akan manuever lain seperti head tilt-chin lift. Penggunaan manuever
cross finger dapat memungkinkan profesional kesehatan untuk mengamankan jalan
napas tanpa perlu menunggu orang yang lebih ahli dalam membebaskan jalan
napas. Teknik serupa telah diusulkan oleh Canadian Red Cross Society dalam
manual pertolongan pertama mereka untuk penempatan jalan napas orofaringeal.10
F. Penanganan Tersedak
1. Back Blow
Dikenal juga dengan back slaps. Tindakan ini dilakukan dengan memberikan
pukulan sebanyak 5 kali dengan menggunakan tangan penolong. Back blows dapat
menciptakan vibrasi dan tekanan yang kuat pada jalan napas sehingga mampu
mengeluarkan benda asing yang menyumbat jalan napas. Cara melakukan tindakan ini,
apabila korban dewasa maka penolong berdiri tepat dibelakang korban dan pada
korban anak-anak maka penolong dewasa harus berlutut dibelakang korban.
Selanjutnya, letakkan tangan penolong tepat didada korban sebagai penyangga dan
berikan lima kali pukulan diantara tulang scapula korban dan jika belum berhasil maka
lanjutkan Heimlich maneuver. American Heart Association menyatakan bahwa back
blows kurang efektif dilakukan pada korban dewasa dibandingkan pada infant.9

Gambar 9. Back blow pada orang dewasa

Gambar 10. Back blow pada anak


2. Abdominal Thrust/ Heimlich Maneuver
Maneuver ini juga dikenal dengan abdominal thrust atau dorongan perut,
merupakan salah satu maneuver yang bertujuan untuk membebaskan jalan napas pada
korban dengan sumbatan jalan napas total. Maneuver ini pertama kali dikenalkan oleh
dr. Henry J. Heimlich pada tahun 1974. Heimlich maneuver dilakukan dengan cara
penolong berdiri dibelakang korban (korban dewasa sadar) dengan membentuk kuda-
kuda untuk menjaga keseimbangan dengan salah satu kaki diantara kedua kaki korban.
Lilitkan tangan penolong pada pinggang korban dan kepalkan tangan penolong,
letakkan diatas pusar atau dibawah processus xiphoideus korban dan pegang kepalan
tangan tadi. Hentakkan kuat-kuat kearah atas seperti mengangkat korban. Lakukan

hentakan tersebut 5-10 kali sampai benda asing keluar dari jalan napas. Pada korban
yang sedang hamil atau obesitas teknik ini menjadi tidak efektif sehingga dilakukan
teknik lain yakni chest thrust.9

Abdominal thrust manuver, juga dikenal sebagai Heimlich manuver,


digunakan untuk menangani obstruksi jalan napas bagian atas yang disebabkan oleh
benda asing. Keterampilan ini biasanya diajarkan selama kelas Basic Life Support
(BLS) dan Advanced Cardiac Life Support (ACLS), tetapi tidak pernah mendapat
perhatian sebanyak kompresi dada dan napas bantuan. Abdominal thrust bisa
dilakukan pada anak-anak dan orang dewasa melalui teknik yang berbeda.7
Saat ini, Heimlich manuver diterima dan diajarkan selama BLS dan ACLS untuk
orang dewasa yang sadar, namun back blow masih merupakan rekomendasi untuk
bayi, dan kompresi dada direkomendasikan untuk pasien yang tidak sadar.7 Abdominal
thrust direkomendasikan terutama untuk pasien yang lebih tua, yang tulang rusuknya
lebih rapuh lebih mungkin untuk patah pada chest thrust, dan untuk anak-anak.8
Gambar 11. Heimlich maneuver pada korban yang mampu berdiri dan Pada
korban yang tidak sadarkan diri

3. Chest Thrust
Dilakukan pada situasi khusus. Teknik ini bisa dilakukan pada korban anak usia <1
tahun, korban yang hamil, dan pada orang yang obesitas. Kontraindikasinya yakni
pada korban usia lanjut. Jika korban sadar, penolong berdiri dibelakang korban dan
letakkan lengan melingkar dibawah ketiak korban (seperti pada posisi Heimlich
maneuver). Penolong mengepalkan tangan dengan posisi ibu jari ditengah kepalan dan
letakkan tepat ditengah tulang dada bukan pada processuss xiphoideus atau tulang
rusuk. Selanjutnya, lakukan hentakan sebanyak lima kali sampai benda asing keluar
dari jalan napas korban. Pada korban yang tidak sadarkan diri maka segera lakukan
Basic Life Support.9
Abdominal thrust dan chest thrust dirancang untuk menghasilkan peningkatan
tekanan intrathoraks yang cepat. Situasi khusus memang ada dimana satu teknik
lebih disukai. Chest thrust harus digunakan untuk pasien obesitas jika penolong
tidak dapat melingkari perut korban. Jika korban tersedak berasa pada tahap akhir
kehamilan, penolong harus menggunakan chest thrust daripada abdominal thrust.
Chest thrust cenderung menyebabkan regurgitasi daripada abdominal thrust. Selain
itu, chest thrust direkomendasikan untuk bayi karena abdominal thrust lebih
mungkin menyebabkan kerusakan organ (misalnya, ke hati atau limpa).8
Gambar 12. a. Chest thrust maneuver pada korban yang sadar; b. Pada korban yang
tidak sadarkan diri9

G. Pengelolaan Jalan Napas Dengan Alat


Hilangnya tonus otot jalan napas bagian atas menyebabkan lidah epiglotis jatuh ke
belakang ke arah dinding posterior faring. Mengubah posisi kepala atau jaw thrust
merupakan teknik yang disukai untuk membebaskan jalan napas. Untuk mempertahankan
jalan napas lapang jalan napas buatan dapat dimasukkan melalui mulut atau hidung untuk
membuat adanya aliran udara antara lidah dengan dinding faring bagian posterior. Pasien
yang sadar dapat terjadi batuk atau spasme laring pada saat memasang jalan napas buatan
bila refleks laring masing intak. Pemasangan oral airway kadang difasilitasi dengan

penekanan refleks jalan napas dan kadang dengan menekan lidah dengan spatel
lidah.11 Beberapa alat sudah tersedia untuk mempertahankan jalan napas.
1. Oropharyngeal airway (OPA)
Oropharyngeal airway (OPA) adalah tambahan jalan napas yang digunakan untuk
mempertahankan atau membuka jalan napas dengan menghentikan lidah menutupi
epiglotis. Dalam posisi ini, lidah dapat mencegah seseorang bernapas. Hal ini terkadang
terjadi ketika seseorang menjadi tidak sadarkan diri karena otot-otot di rahang
mengendur sehingga menyebabkan lidah menyumbat jalan napas. 13 Oropharyngeal
airway atau guedel’s airway berbentuk S yang berguna untuk menahan lidah yang
menutup dinding posterior faring sehingga udara dapat mengalir dan penghisapan dapat
dilakukan melalui mulut. Sangat efektif untuk pasien napas spontan tetapi terdapat
gangguan refleks batuk. OPA digunakan dengan ukuran yang sesuai. Cara mengukur
dengan meletakkan salah satu ujungnya di sudut mulut dan ujung lainnya harus
mencapai sudut mandibula. OPA pada dewasa umumnya berukuran small (80
mm/oropharyngeal airway no 3), medium (90 mm/oropharyngeal airway no 4), dan
large (100 mm/oropharyngeal airway no 5).1
2. Nasopharyngeal airway (NPA)
NPA dapat berguna untuk mempertahankan jalan napas pada pasien yang sadar
juga, yang bermanfaat jika intubasi bukan tujuan, intubasi perlu ditunda, atau intubasi
terjaga diperlukan.14
Nasopharyngeal airway adalah pipa karet elastik berbentuk seperti terompet tanpa
cuff yang dapat dimasukkan melalui lubang hidung masuk ke dalam faring. Digunakan
pada pasien intoksikasi atau kesadaran menurun yang tidak dapat menggunakan OPA.
Efektif pada keadaan trauma, trismus atau penghalang lain yang menyulitkan
masuknya OPA. NPA yang sesuai dengan pasien harus diukur mulai dari ujung hidung
hingga telinga dan kira-kira 2-4 cm lebih panjang dari OPA. NPA sebaiknya tidak
digunakan pada pasien dengan gangguan perdarahan adanya risiko epistaksis. Juga
tidak digunakan pada patah tulang basis cranii. Setiap pipa yang dimasukkan melalui
hidung harus dilumbrikasi.1
NPA tidak menyebabkan pasien muntah dan oleh karena itu merupakan rute
tambahan jalan napas terbaik pada pasien sadar dan pilihan yang lebih baik pada pasien

setengah sadar yang mungkin tidak mentoleransi OPA karena refleks muntah. NPA
juga membantu ketika mulut pasien sulit dibuka, misalnya, jika ada angioedema,
trismus, atau faktor lainnya.14
Sementara NPA adalah tambahan jalan napas untuk pasien yang sulit untuk
ventilasi dan oksigenasi, mereka hanya bertindak sebagai jembatan baik pasien stabil
yang bernapas tanpa bantuan atau pasien yang membutuhkan jalan napas yang aman
melalui endotrakeal atau nasotrakeal (NT) intubasi.14
Ada banyak indikasi ketika rute hidung adalah rute pertama dan kadang-kadang
satu-satunya untuk intubasi. Dalam keadaan darurat, penyedia layanan kesehatan harus
mempertimbangkan intubasi NT ketika pasien datang dengan refleks muntah yang
kuat, pembukaan mulut yang terbatas, makroglosia, ketidakstabilan tulang belakang
leher, kyphosis serviks yang parah, radang sendi parah, massa intraoral, kelainan
struktural, trismus atau angioedema. Dalam pengaturan pra-operasi, intubasi NT harus
dipertimbangkan pada pasien yang membutuhkan operasi maksilofasial atau prosedur
gigi.14
Lebih lanjut, intubasi NT ditoleransi lebih baik daripada intubasi endotrakeal pada
pasien sadar dan oleh karena itu harus dipertimbangkan ketika ada kebutuhan untuk
intubasi sadar. Keadaan dimana ini bermanfaat adalah ketika pasien memiliki saturasi
oksigen yang terus-menerus rendah terlepas dari upaya preoksigenasi dan juga ketika
jalan napas yang sulit diantisipasi.14

A.

B.
Gambar 13. A. Oropharyngeal airway; B. Nasyopharyngeal airway

3. Sungkup Ventilasi
Penggunaan sungkup dapat mengalirkan oksigen dari sistem napas ke pasien.
Lingkaran sungkup muka disesuaikan dengan bentuk muka pasien. Sungkup muka
dapat disambungkan mesin melalui konektor. Ventilasi yang efektif memerlukan jalan
yang bebas dan sungkup muka yang rapat dan tidak bocor. Teknik pemasangan
sungkup yang tidak tepat dapat menyebabkan reservoir bag kempes walaupun klepnya
ditutup. Hal ini menunjukkan adanya kebocoran sekeliling sungkup. Sebaliknya
tekanan sirkuit napas yang tinggi dengan pergerakan dada dan suara pernapasan yang
minimal menunjukkan adanya obstruksi jalan napas. Bila sungkup muka dipegang
dengan tangan kiri, tangan kanan digunakan untuk melakukan ventilasi dengan tekanan
positif dengan memompa kantong napas. Sungkup muka dipasang dengan penekanan
pada badan sungkup dengan ibu jari dan telunjuk. Jari tengah dan jari manis menarik
mandibula untuk ekstensi sendi atlantooccipital. Tekanan jari-jari harus pada
mandibula, jangan pada jaringan lunak yang menopang dasar lidah karena dapat terjadi
obstruksi jalan napas. Jari kelingking ditempatkan ditempat dibawah sudut mandibula
dan digunakan untuk manuever jaw thrust yang paling penting untuk dapat melakukan
ventilasi pasien. Pada situasi yang sulit diperlukan dua tangan untuk mendapat jaw
thrust yang adekuat dan sungkup muka yang rapat karena itu diperlukan seorang asisten
untuk memompa kantong. Obstruksi selama ekspirasi dapat disebabkan karena tekanan

kuat dari sungkup muka atau efek ball-valve dari jaw thrust. Terkadang sulit
memasang sungkup rapat di muka. Membiarkan gigi palsu pada tempatnya atau
memasukkan gulungan kasa ke rongga mulut mungkin dapat menolong mengatasi
kesulitan ini. Tekanan normal ventilasi jangan sampai melebihi 20 cm H2O untuk
mencegah udara masuk ke lambung. Kebanyakan jalan napas pasien dapat
dipertahankan dengan sungkup muka, OPA dan NPA. Ventilasi dengan sungkup muka
dalam jangka panjang dapat menimbulkan cedera akibat tekanan pada cabang saraf
trigeminal atau facialis. Bila sungkup muka dan ikatan sungkup digunakan dalam
jangka lama maka posisi harus sering diubah untuk menghindari cedera. Hindari
tekanan pada mata, dan mata sebaiknya diplester untuk menghindari risiko abrasi
kornea.1
4. Intubasi Endotrakeal
Intubasi endotrakeal adalah suatu teknik memasukkan suatu alat berupa pipa ke
dalam saluran pernapasan bagian atas. Pipa endotrakeal digunakan untuk
menghantarkan gas anestesi langsung ke trakea dan memfasilitasi ventilasi dan
oksigenasi. Pipa endotrakeal terbuat dari plastik Polyvinyl Chlorida yang merupakan
cetakan dari bentukan jalan napas. Bahan dari ETT harus bersifat radiopaq untuk
mengetahui posisi ujung distal ke carina dan transparan agar dapat dilihat sekresi atau
aliran udara yang dibuktikan oleh adanya pengembungan uap air pada lumen pipa
selama ekshalasi. Pipa Murphy memiliki lubang (Murphy eye) untuk menurunkan
resiko oklusi bagian bawah pipa yang berbatas langsung dengan carina atau trakea.9
Intubasi endotrakea hingga saat ini masih merupakan baku emas pengelolaan jalan
napas. Intubasi endotrakea sering kali dicapai melalui prosedur laringoskopi direk.
Selain menggunakan laringoskop konvensional, intubasi trakea dapat dilakukan
dengan bantuan laringoskop video atau bronkoskop fleksibel. Tujuan intubasi
endotrakea meliputi:12
- Mempertahankan patensi jalan napas
- Melindungi jalan napas dari aspirasi
- Memungkinkan ventilasi tekanan positif
- Memungkinkan napas kendali dengan oksigen 100%
- Jalur pemberian obat-obat tertentu saat henti jantung

Untuk dapat melakukan intubasi endotrakea melalui laringoskopi direk,


diperlukan persiapan yang optimal untuk mencapai tingkat keberhasilan dan keamanan
yang baik. Persiapan laringoskopi direk meliputi pengaturan posisi pasien,
preoksigenasi adekuat, dan memastikan ketersediaan serta fungsi peralatan yang
dibutuhkan. Selain hal-hal tersebut, keberadaan asisten terlatih yang dapat membantu
proses laringoskopi dan intubasi sangatlah dianjurkan.12

Posisi pasien untuk laringoskopi dan intubasi yang optimal adalah dengan
memosisikan pasien dalam posisi sniffing. Pada posisi tersebut, aksis anatomis dari

mulut, faring dan laring terletak hampir sejajar sehingga memudahkan visualisasi
laring.12

Peralatan yang dibutuhkan untuk intubasi trakea melalui laringoskopi direk


meliputi laringoskop, pipa trakea, stylet, spuit untuk mengembangkan balon pipa
trakea, pipa dan alat penghisap, peralatan untuk ventilasi, dan sumber oksigen.12

Tabel 1. Pemilihan ukuran pipa endotrakea.12

Bayi cukup Dewasa


Usia Anak
bulan Laki-laki Perempuan
Panjang (cm) 12 14 + 24 24
Diameter
3,5 4+ 7,5 – 9,0 7,0 – 7,5
Internal (mm)

Prosedur tindakan intubasi

Sebelum melakukan tindakan intubasi yang pelu diperhatikan oleh operator


(intubator) adalah kesiapan alat dan pasien harus dipastikan lengkap dan siap. Selain
operator, dalam tindakan ini juga diperlukan adanya seorang asisten untuk membantu
kelancaran dan kesiapan. Asisten operator harus berada di sisi kanan berdekatan
dengan kepala pasien, sedangkan posisi operator berada dibagian atas kepala (tempat
tidur) pasien. Ketika semua sudah siap, asisten segera ambil dan pegang laringoskop
dengan tangan kiri. Jangan lupa untuk membuka dan mengunci blade dan handle
laringoskop (machintos atau miller) serta pastikan lampunya menyala. Bersamaan
dengan ini, tangan kanan asisten harus segera menyiapkan selang endotrakeal dan
suction. Pada akhir persiapan jangan lupa untuk memberikan anastesi dan obat agen
paralitik setelah 2 – 3 menit. Setelah otot pasien relax, segera lakukan tindakan intubasi.
letakkan ibu jari pada rahang pasien, jika ada benda asing lakukan pembebasan jalan
napas. Jika ada cairan, darah, atau pasien muntah segera lakukan suctioning. Setelah
semua aman dan operator siap, masukkan laringoskop melalui sisi kanan mulut pasien
dengan halus dan tepat. Gunakan blade untuk menahan lidah untuk memperjelas
pandangan operator dan epiglottis akan terlihat. Usahakan untuk tidak menimbulkan

trauma pada gigi pasien. Apabila pita suara atau vocal cords terlihat segera minta
selang endotrakeal dan operator menerimanya dengan menggunakan tangan kanan.
Masukkan selang endotrakeal menyusuri blade laringoskop sampai masuk ke dalam
trakea (panjang selang endotrakeal yang telah masuk ditambah sepanjnag 2 – 3 cm).
Selanjutnya, minta asisten untuk mengembangkan balloon cuff dengan ukuran 10mL.
Lakukan auskultasi suara paru untuk memastikan keamanan pemasangan selang dada.9
Gambar 16. Prosedur laringoskop direk

Gambar 17. Posisi sniffing pada intubasi


Gambar 18. Tindakan intubasi. a. Posisi laringoskop lurus diatas mulut pasien, b.
Blade dimasukkan kedalam mulut pasien dengan menahan lidah dan epiglottis, c.
Selang endotrakeal dimasukkan ke dalam trakea sampai pita suara, c. Laringoskop telah
dikeluarkan dari mulut dan balloon cuff dikembangkan, e. Selang endotrakeal
diberikan fiksasi.

5. Supraglotik Airway
Penggunaan BMV memiliki banyak keterbatasan sehingga baku emas untuk
memberikan ventilasi yang efektif dan mencegah aspirasi isi lambung adalah intubasi
trakea. Intubasi trakea merupakan keterampilan yang tidak mudah untuk dipelajari dan
membutuhkan latihan yang rutin untuk mempertahankan keterampilan tersebut.
Penggunaan alat jalan napas supraglotik relatif lebih mudah dilakukan dalam
memfasilitasi pertukaran udara, terutama untuk praktisi yang kurang berpengalaman.12
Alat jalan napas supraglotik yang paling banyak digunakan adalah laryngeal mask
airway (LMA) yang dikembang oleh Dr. Archie Brain pada awal tahun 1980-an. Ada
banyak jenis LMA yang telah diperkenalkan, meliputi LMA Classic, LMA ProSeal,
LMA Fastratch. Alat jalan napas supraglotik lain juga banyak bermunculan seperti
Combitube, Rush Easytube, AirQ Intubating Laryngeal Airway, dan Ambu Aura-i. Alat
jalan napas supraglotik generasi terbaru memiliki saluran khusus untuk akses drainase
lambung sehingga dapat mengurangi risiko regurgitasi dan aspirasi.12
Alat jalan napas supraglotik memiliki keuntungan, yaitu pengetahuan dan instruksi
untuk penempatan perangkat ini dapat dipahami dalam waktu yang relatif singkat. Alat
jalan napas supraglotik terbukti cukup efektif sebagai perangkat penyelamat jalan
napas dalam kondisi gawat darurat, baik didalam maupun diluar rumah sakit.12
Penggunaan alat jalan napas supraglotik dikontraindikasikan apabila terdapat
obstruksi dari glotis atau supraglotis, risiko aspirasi, dan pada pasien dengan
pembukaan mulut atau ekstensi leher yang sangat terbatas.12
Teknik pemasangan alat jalan napas supraglotik sangat bervariasi, berikut
merupakan teknik pemasangan LMA sebagai jalan napas supraglotik yang paling
banyak digunakan saat ini:12
• Tentukan ukuran LMA yang akan dipasang berdasarkan berat badan pasien
• Untuk mengurangi risiko terlipatnya epiglotis, dianjurkan untuk
mengempiskan sepenuhnya LMA sebelum pemasangan
• Balon LMA sebaiknya diberikan gel berbahan dasar air sebagai pelumas
• Apabila tidak terdapat kontraindikasi, kepala dan leher pasien diposisikan
dalam posisi sniffing (menengadahkan kepala) untuk membantu membuka
mulut pasien
• Untuk memudahkan pemasangan, manuever pengangkatan rahang bawah
dapat dilakukan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk tangan yang tidak
dominan
• LMA dimasukkan ke dalam mulut dengan meletakkan jari telunjuk pada
perbatasan sungkup dan pipa LMA, menekan balon LMA terhadap palatum
sambil mendorong LMA masuk ke orofaring mengikuti lengkungan dinding
faring posterior. Tahanan akan dirasakan pada saat LMA menempati
hipofaring dan LMA tidak didorong lebih lanjut
• Balon LMA kemudian dikembangkan dengan udara secukupnya sampai
tidak terdeteksi kebocoran pada saat dilakukan ventilasi tekanan positif
• Posisi pasien dikembalikan pada posisi netral dan LMA difiksasi dengan
pita perekat pada wajah pasien.

Tabel 2. Panduan pemilihan ukuran LMA berdasarkan berat badan pasien12


Dewasa Dewasa Dewasa
Usia Anak- Anak-
Bayi berukuran berukuran berukuran
pasien anak anak
kecil sedang besar
Berat
Badan <6,5 6,5 – 20 20 – 30 >30 <70 >70
(kg)
Ukuran
1 2 2,5 3 4 5
Masker
Volume
Mencapai Mencapai Mencapai Mencapai Mencapai
Cuff 2–4
10 15 20 30 30
(mL)

Gambar 19. Teknik pemasangan LMA


BAB III KESIMPULAN

Manajemen jalan napas merupakan keterampilan yang harus dimiliki oleh para dokter dan
petugas kesehatan lainnya, utamanya yang bekerja di ruang emergensi. Manajemen jalan napas
adalah tindakan yang dikerjakan untuk melapangkan atau membebaskan saluran napas dengan
tetap memerhatikan kontrol servikal, yang bertujuan untuk membebaskan saluran napas untuk
menjamin keluar masuknya udara ke paru secara normal sehingga menjamin kecukupan oksigen
dalam tubuh. Manajemen jalan napas diindikasikan pada pasien yang mengalami gangguan jalan
napas utamanya obstruksi jalan napas. Sebelum melakukan manajemen jalan napas perlu
dilakukan penilaian terhadap pernapasan pasien dengan cara melihat, mendengar dan merasakan
pernapasan setiap pasien yang akan dilakukan tindakan. Posisi pasien sangat penting untuk
keberhasilan manajemen jalan napas dan posisi yang diharapkan disebut posisi sniffing. Adapun
tindakan melapangkan jalan napas dapat dilakukan dengan alat dan tanpa alat. Tindakan tanpa alat
biasanya dilakukan dengan beberapa manuever seperti head tilt, chin lift, dan jaw thrust sedangkan
dengan alat dapat menggunakan pipa oropharyngeal, pipa nasopharyngeal dan pipa endotrakeal.
DAFTAR PUSTAKA

1. I Made, IDN Wibawa, Ketut Suega, Ketut Suardamana. Emergency in Internal


Medicine :Innovation for Future. PT. Percetakan Bali, Denpasar. 2016
2. Sugiyarto, Rifai. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Dengan Metode Simulasi Pertolongan
Pertama (Management Airway) Pada Penyintas Dengan Masalah Sumbatan Jalan Nafas
Pada Masyarakat Awam Di Kec. Sawit Kab. Boyolali. Poltekkes Kemenkes Surakarta
Jurusan Keperawatan. Volume 4, No 2. 2019
3. Butterworth IV JF, Mackey DC, Wasnick JD. Airway Management. Dalam: Morgan &
Mikhail’s. Clinical Anesthesiology. Fifth Edition. 2013
4. Sherwood L. Introduction to Human Physiology. 8th edition. Canada : Nelson Education,
Ltd. 2013
5. Luthfia R, Ari W. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang Pemberian Pertolongan
Pertama (Management Airway) Korban Tenggelam di Kolam Renang Gunung Merah,
Bandar Jaya, Kecamatan Terbanggi Besar, Kabupaten Lampung Tengah. 2021
6. Russi CJ, Kassutto Z. Basic Airway Management in Reichman EF, editors. Emergency
Medicine Procedures 2nd ed. New York: Mc Graw Hill education Medicine; 2013
7. Rodriguez JA, Ladd M, Brandis D. Abdominal Thrust Maneuver. [Updated 2021 Jun 3].
In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021
8. Stanley FM. Foreign Body Airway Obstruction. Medical Emergencies in the Dental Office.
7th edition. 2015
9. Santoso T. Keperawatan Gawat Darurat. Chakra Brahmanda Lentera. 2019
10. Sharma J, Kumar P, Singhal S. Crossed-scissor Manoeuvre – An Underutilised Technique
of Mouth Opening For Airway Management: Boon for Out of Hospital Situations.
Department of Anaesthesiology, All India Institute of Medical Sciences, India. 2020
11. Prasenohadi. Manajemen Jalan Napas. In Swidarmoko B, Dwi Santoso A, editors
Pulmonologi Intervensi dan Gawat Darurat Napas. Jakarta: Departemen Pulmonologi dan
Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI; 2010
12. Rehatta NM, Hanindito E, Tantri AR, Redjeki IS, Soenarto RF, Bisri DY, Musba AMT,
Lestari MI. Anestesiologi dan Terapi Intensif. Buku Teks KATI-PERDATIN. 2019
13. Castro D, Freeman LA, Orofaringeal Airway. [Diperbarui 2021 Agustus 1]. Di: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): Penerbitan StatPearls; 2021
14. Atanelov Z, Aina T, Amin B, dkk. Jalan Nasofaring. [Diperbarui 2021 Sep 28]. Di:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): Penerbitan StatPearls; 2021
15. Triple Airway Manoeuvre. Expert in My Pocket. 2014.
http://expertinmypocket.com.au/triple-airway-manoeuvre/
16. Choking : First Aird. A step-by-step guide explaining what to to in a choking emergency.
Mayo Clinic Staff. 2020
17. What is Back Blows and Chest Thrusts Maneuver. 2013.
https://laerdal.force.com/HelpCenter/s/article/What-is-Back-blows-maneuver

Anda mungkin juga menyukai