Pembimbing :
dr. Maulana Muhamad, Sp. An
Oleh :
Veronica Noveni Desi Pauta
201906010073
KEPANITERAAN ANESTESIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIKA ATMA JAYA JAKARTA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH R. SYAMSUDIN, SH
PERIODE 29 NOVEMBER 2020 - 1 JANUARI 2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “Tatalaksana Jalan
Napas”. Referat ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas di Kepaniteraan Klinik
Departemen Ilmu Penyakit Saraf RSUD Syamsudin, SH. Sukabumi.
Penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan referat ini, terlebih kepada dr. Maulana Muhamad,
Sp. An selaku pembimbing dalam tugas referat ini yang telah menyediakan waktunya untuk
memberikan bimbingan, saran dan kritik. Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari
kata sempurna, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar dapat
memperbaiki kekurangan dari referat ini.
Penulis ingin memohon maaf apabila terdapat kesalahan penulisan atau perkataan
yang kurang berkenan. Akhir kata, penulis berharap agar isi referat ini dapat bermanfaat bagi
pembaca sehingga dapat menginspirasi berbagai pihak.
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Tatalaksana atau manajemen jalan napas adalah penilaian, perencanaan, dan
serangkaian prosedur medis yang dilakukan untuk mempertahankan atau
memulihkan ventilasi dan oksigenasi pasien. Dengan mempertahankan patensi jalan
napas, udara dapat mengalir dari hidung dan mulut menuju ke paru-paru. Tatalaksana
jalan napas merupakan keterampilan penting bagi dokter dalam situasi darurat dan
juga penting dalam praktik anestesi. Tatalaksana jalan napas rutin yang
diasosiasikan dengan proses anestesi umum terdiri dari:
● Penilaian jalan napas pre-anestetik
● Persiapan dan pengecekan peralatan
● Memposisikan pasien
● Prekosigenasi (denitrogenasi)
● Bag and mask ventilation
● Intubasi atau penempatan LMA (Laryngeal Mask Airway) apabila
terindikasi
● Konfirmasi penempatan selang intubasi
● Ekstubasi
4
Gambar 1. Anatomi jalan napas
Nasal cavity atau rongga hidung terbagi menjadi nasal fossae (saluran hidung)
dextra dan sinistra yang dipisahkan oleh septum nasalis. Deviasi septum nasal sering
ditemukan pada populasi dewasa, oleh karena itu perlu ditentukan sisi yang lebih
paten terlebih dahulu sebelum memasukkan instrumen melalui saluran hidung. Pada
dinding lateral terdapat tiga conchae yang membagi nasal fossae menjadi tiga meatus
yang berbentuk seperti gulungan. Meatus inferior yang terletak di antara conchae
inferior dan dasar nasal cavity dilewati saat pemasangan nasal airway device.
Penempatan nasal airway device yang tidak tepat dapat menyebabkan avulsi. Lapisan
mukosa nasal cavity kaya akan vaskularisasi sehingga biasanya diberikan
vasokonstriktor secara topika sebelum memasukkan instrumentasi untuk
meminimalisir risiko epistaksis.
5
Airway device lebih sering dimasukkan melalui rongga mulut karena ukuran
rongga hidung relatif lebih kecil dan berisiko signifikan mengalami trauma. Batas
superior rongga mulut berupa palatum durum dan palatum molle, sedangkan batas
inferiornya berupa lidah. Di bawah lidah, muskulus mylohyid memisahkan dasar
mulut dengan ruang sublingual dan ruang submental. Jika terjadi selulitis (angina
Ludwig) atau pembentukan hematoma di ruang ini, dapat menyebabkan elevasi dan
perpindahan lidah ke posterior sehingga pada akhirnya mengakibatkan obstruksi jalan
napas.
6
Gambar 4. Kartilago penyusun laring Gambar 5. Vocal cord
Trakea pada orang dewasa sepanjang 10-15 cm, dimulai setinggi kartilago cricoid
dan memanjang sampai carina (setinggi vertebrae T5). Struktur ini terdiri dari 16-20
cincin kartilago berbentuk huruf “C” yang disatukan oleh jaringan fibroelastik,
sedangkan muskulus trakealis membentuk dinding posterior trakea. Di carina, trakea
bercabang menjadi bronkus dextra dan sinistra. Pada orang dewasa, bronkus dewasa
lebih vertikal daripada yang kiri sehingga kemungkinan untuk masuknya benda asing
atau endotracheal tube (ETT) ke lumen bronkus dextra lebih besar.
Inervasi saluran napas bagian atas berasal dari nervus kranialis. Membran mukosa
hidung memperoleh inervasi dari N. Oftalmikus (N. V1) pada bagian anterior dan N.
Maksilaris (N. V2) pada bagian posterior. Nervus palatinus memberikan serat
sensoris dari nervus trigeminal (V2) pada permukaan bagian superior dan inferior
dari palatum durum dan palatum mole. Nervus olfaktorius (N. I) mempersarafi
mukosa hidung untuk memberikan sensasi pembau. Nervus lingualis (subcabang dari
cabang mandibular (V3) dari nervus trigeminal) dan nervus glossofaringeal (N. IX)
memberikan sensasi umum pada 2/3 anterior dan 1/3 posterior dari lidah, secara
berurutan. Cabang dari nervus facialis (N. VII) dan nervus glossofaringeal
memberikan sensasi rasa pada area tersebut, secara berurutan. Nervus
glossofaringeal juga mempersarafi atap faring, tonsil, dan permukaan bawah dari
palatum molee. Nervus vagus (N. X) memberikan sensasi pada jalan napas di bawah
epiglottis. Cabang laryngeal superior dari vagus terbagi menjadi eksternal (motorik)
dan internal (sensorik) yang memberikan suplai sensoris pada daerah laring antara
epiglottis dan pita suara. Cabang lain dari vagus, yaitu nervus recurrent laryngeal,
mempersarafi daerah laring di bawah pita suara sekaligus trakea.
7
Otot pada laring dipersarafi oleh nervus reccurent laryngeal, dengan pengecualian
otot cricothyroid, yang dipersarafi oleh nervus laryngeal eksternal (motorik), cabang
daripada nervus laryngeal superior. Otot cricoarytenoid posterior mengabduksi vocal
cord, sementara otot cricoarytenoid lateral merupakan aduktor utama. Fonasi
melibatkan aksi simultan yang kompleks oleh beberapa otot laring. Adanya
kerusakan pada saraf motorik yang mempersarafi laring dapat menyebabkan
kelainan berbicara. Denervasi unilateral pada otot cricothyroid memberikan
gambaran klinis yang hamper tidak terlihat. Adanya kelumpuhan secara bilateral
pada nervus laryngeal superior dapat berakibat suara serak atau mudah lelah ketika
berbicara, akan tetapi jalan napas tidak terganggu.
8
kemungkinan intubasi sulit saat ini. Namun riwayat easy airway atau jalan napas
mudah sebelumnya tidak dapat mengeliminasi kemungkinan jalan napas sulit saat
ini. Selain itu, juga perlu ditanyakan apakah ada perubahan berat badan,
simptomatologi, dan kondisi patologi sejak induksi anestesi yang terakhir dijalani
pasien (jika ada). Akan lebih baik apabila dapat memperoleh catatan riwayat anestesi
sebelumnya karena dapat digunakan sebagai informasi yang berguna untuk
tatalaksana jalan napas. Kemudian melakukan peninjauan persistem untuk mencari
faktor potensial lainnya yang dapat memprediksi tatalaksana jalan napas sulit,
misalnya riwayat mendengkur (snoring) pada pasien dapat memprediksi sulitnya
mask ventilation.
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mencari karakteristik fisik yang dapat
mengindikasikan jalan napas sulit. Terdapat beberapa pemeriksaan fisik yang dapat
dilakukan, antara lain:
● Inspeksi wajah dan leher
Perhatikan apakah terdapat deformitas wajah, neoplasma pada wajah atau leher,
luka bakar pada wajah, goiter besar, leher pendek dan tebal, receding mandible,
adanya janggut, serta apakah terpasang cervical collar atau cervical traction
device. Adanya janggut dapat mengakibatkan kesulitan ventilasi karena sulit
untuk mempertahankan masker tetap rapat.
● Pengukuran lingkar leher
Lingkar leher yang berkaitan dengan kesulitan melakukan intubasi trakea
berbeda-beda pada tiap literatur. Berdasarkan Miller, lingkar leher lebih dari 43
cm sering dikaitkan dengan kesulitan melakukan intubasi trakea, sedangkan
berdasarkan Morgan lingkar lehernya lebih dari 27 cm.
● Indeks Massa Tubuh (IMT)
Risiko jalan napas sulit meningkat pada pasien dengan IMT ≥ 30 kg/m2.
Dikatakan bahwa lingkar leher yang besar bersifat lebih prediktif terhadap
kesulitan intubasi trakea daripada IMT yang tinggi.
● Inspeksi orofaring
Pemeriksaan dilakukan dengan meminta pasien membuka mulut selebar mungkin
lalu dilakukan inspeksi orofaring secara menyeluruh untuk mengidentifikasi
9
karakteristik patologis seperti neoplasma, palatum melengkung tinggi, dan
makroglosia.
● Jarak interinsisivus
Dilakukan pengukuran jarak interinsisivus superior dan inferior. Jarak
interinsisivus kurang dari 3 cm atau kurang dari lebar 2 jari mengindikasikan
adanya kemungkinan intubasi yang sulit.
● Klasifikasi Mallampati
Pemeriksaan Mallampati dilakukan untuk menilai ukuran lidah dalam kaitannya
dengan rongga mulut. Semakin besar lidah menghalangi pandangan terhadap
struktur faring, intubasi sulit semakin mungkin terjadi. Terdapat empat kelas
Mallampati yang ditetapkan berdasarkan visibilitas faucial pillar, uvula, dan
palatum molle ketika pasien dalam keadaan duduk tegak, kepala netral, mulut
terbuka, lidah dijulurkan, dan tidak ada fonasi. Semakin tinggi kelas Mallampati
menandakan visibilitas yang buruk dari struktur orofaring yang diakibatkan
ukuran lidah relatif besar sehingga pada akhirnya dapat mempersulit laringoskopi.
Klasifikasi Mallampati adalah sebagai berikut:
➔ Kelas I : dapat terlihat seluruh palatal arch, termasuk faucial pillar
bilateral, uvula, dan palatum molle
➔ Kelas II : dapat terlihat bagian atas faucial pillar, sebagian besar uvula,
dan palatum molle
➔ Kelas III : hanya dapat terlihat palatum molle dan palatum durum
➔ Kelas IV : hanya dapat terlihat palatum durum
10
Gigi insisivus yang relatif panjang dapat mengganggu laringoskopi. Selain itu
juga terjadi trauma pada gigi yang goyang, dapat berisiko lepas dan menyebabkan
aspirasi. Oleh karena itu gigi yang goyang sebaiknya dicabut sebelum dilakukan
laringoskopi. Cosmetic dental work seperti veneers, caps, crowns, dan bridges
berisiko mengalami kerusakan selama tatalaksana jalan napas.
● Jarak thyromental
Dilakukan pengukuran jarak antara mentum (dagu) dengan superior thyroid
notch, setidaknya harus ≥ lebar 3 jari atau 6,5 cm.
● Jarak sternomental
Pemeriksaan dilakukan dengan mengukur jarak antara sternal notch dengan dagu
dalam posisi kepala ekstensi penuh dan mulut tertutup. Apabila jaraknya < 12,5
berisiko sulit intubasi.
Tanda-tanda objektif obstruksi saluran napas yaitu agitasi (menunjukkan hipoksia),
sianosis, retraksi dan penggunaan otot napas tambahan, serta adanya suara abnormal
(snoring, gurgling, stridor, disfonia). Pada pemeriksaan awal gunakan oximeter
untuk mendeteksi oksigenasi yang tidak adekuat sebelum sianosis terbentuk.
11
2.4.1 Mask Ventilation
Mask ventilation merupakan teknik tatalaksana jalan napas noninvasif
yang digunakan untuk mengalirkan oksigen atau gas anestesi dari breathing
system kepada pasien dengan membuat segel kedap udara pada wajah pasien
menggunakan face mask. Face mask tersebut didesain khusus mengikuti
kontur wajah dan dibuat dengan bahan transparan agar memudahkan tenaga
medis dalam mengamati gas yang terekshalasi serta muntahan pasien. Mask
ventilation yang efektif bergantung pada pemeliharaan segel atau seal antara
face mask dan wajah pasien serta patensi jalan napas.
Face mask biasanya dipegang oleh tangan kiri, dengan jari 1 dan 2
membentuk huruf “C” di sekitar ujung konektor sambil menekan face mask ke
wajah pasien, sedangkan jari 3 dan 4 mengangkat ramus mandibula serta jari 5
mengangkat sudut mandibula. Jari harus ditempatkan pada tulang mandibula
dan bukan pada jaringan lunak karena tekanan pada submandibular space
dapat menyebabkan obstruksi jalan napas dan kesulitan dalam melakukan mask
ventilation. Di saat yang bersamaan, tangan kanan meremas breathing bag
untuk memberikan ventilasi tekanan positif. Pada situasi tertentu seperti pada
pasien obesitas atau tidak memiliki gigi, mask ventilation dilakukan
menggunakan kedua tangan. Caranya adalah dengan memposisikan tangan kiri
seperti pada teknik satu tangan dan tangan kanan diposisikan di sisi lain
masker dalam posisi yang sama dengan tangan kiri.
12
2.4.2 Oral dan Nasal Airway
Hilangnya tonus otot saluran pernapasan atas pada pasien yang
teranestesi, dapat menyebabkan lidah dan epiglotis jatuh ke belakang akibat
pengaruh gravitasi, ke arah dinding posterior faring sehingga dapat menyumbat
saluran pernapasan. Oleh karena itu, untuk memaksimalkan patensi jalan
napas, mask ventilation dilakukan bersamaan dengan manuver jaw thrust dan
sniffing position. Jika kedua manuver tersebut kurang dapat mengatasi
obstruksi jalan napas, dapat digunakan artificial airway yang dimasukkan
melalui mulut atau hidung.
Oropharyngeal airway (OPA) paling sering digunakan. Bentuknya
mengikuti lengkungan lidah dan dapat menarik lidah dari faring posterior.
Pemasangan OPA dapat merangsang refleks laring dan faring berupa batuk,
muntah, atau spasme laring dan faring. Oleh karena itu, alat ini tidak cocok
digunakan pada pasien yang sadar atau teranestesi ringan. Pemasangan OPA
biasanya diawali dengan penekanan refleks jalan napas dan kadang diserati
dengan penekanan lidah menggunakan tongue blade. Cara menentukan ukuran
OPA adalah dengan mengukur jarak antara sudut mulut dengan sudut rahang
atau daun telinga pasien. OPA dimasukkan ke jalan napas dalam posisi
terbalik, dengan bagian yang melengkung mengarah ke atas, sampai
menyentuh palatum molle lalu diputar 180° hingga lengkungan menghadap ke
bawah, dan diselipkan tepat di atas lidah. Pada pasien anak, teknik rotasi OPA
dapat melukai mulut dan faring sehingga digunakan tongue blade untuk
menekan lidah lalu OPA dimasukkan dalam posisi lengkungannya menghadap
ke bawah.
13
Gambar 9. Teknik pemasangan OPA
Nasopharyngeal airway (NPA) lebih kurang merangsang refleks faring
dan laring dibandingkan OPA, sehingga dapat digunakan pada pasien sadar.
NPA dimasukkan melalui salah satu lubang hidung yang bebas dari sumbatan
ke orofaring. NPA perlu dilubrikasi sebelum dimasukkan untuk mencegah
epistaksis. Jika selama proses pemasangan ditemui obstruksi jalan napas, stop
dan coba ulangi pada lubang hidung yang lain. Panjang NPA dapat diukur
dengan jarak dari nares (lubang hidung) sampai ke meatus telinga dan harus
2-4 cm lebih panjang daripada OPA. NPA sebaiknya tidak digunakan pada
pasien trombositopenia atau pasien yang sedang konsumsi antikoagulan
(adanya risiko epistaksis) dan pasien dengan fraktur basis cranii (karena
terdapat kemungkinan NPA dapat masuk ke ruang cranial.
14
2.4.3 Supraglottic Airway Devices (SAD)
Supraglottic airway atau extraglottic airway adalah alat yang secara
langsung dimasukkan ke dalam faring agar mencapai patensi jalan napas untuk
ventilasi, oksigenasi, dan pemberian gas anestesi tanpa harus melakukan
intubasi. SAD dapat digunakan pada ventilasi spontan maupun PPV.
Penggunaan SAD biasa dipilih dalam situasi gagal intubasi trakea atau
dinyatakan kemungkinan besar tidak berhasil. Salah satu varian SAD yang
sering digunakan yaitu Laryngeal Mask Airway (LMA). Berikut beberapa
kelebihan dan kekurangan LMA dibandingkan dengan face mask dan intubasi
trakea.
Tabel 2. Kelebihan dan kekurangan LMA
15
tersinyalir dari batuk dan pembukaan mulut ketika diperintahkan. LMA
tersedia dalam beberapa ukuran, sebagai berikut:
Tabel 3. Ukuran LMA
16
itu kembangkan cuff. Adanya obstruksi saat memasukkan LMA biasanya
akibat epiglotis terlipat ke bawah atau adanya laringospasme transient.
17
Gambar 13. Esophageal - Tracheal Combitube (ETC)
King Laryngeal Tube terdiri dari pipa dengan balon esofageal yang kecil
dan balon yang lebih besar untuk diletakkan di daerah hipofaring. Kedua balon
akan terinflasi bersamaan. Paru akan mengembang akibat udara yang melewati
kedua balon tersebut. Pada bagian distal balon esofageal terdapat port suction
yang dapat digunakan untuk dekompresi lambung. Apabila ventilasi terbukti
sulit setelah selang diinsersi dan cuff dikembangkan, tandanya pipa sudah
masuk terlalu dalam. Tarik pipa secara perlahan hingga komplians paru
meningkat.
18
2.4.4 Laringoskop
Laringoskop merupakan alat yang digunakan untuk memeriksa laring dan
membantu dalam melakukan intubasi trakea. Handle berisi baterai untuk
lampu yang berada pada ujung blade. Laringoskop yang paling sering
digunakan adalah laringoskop dengan blade Macintosh dan Miller. Pemilihan
blade berdasarkan preferensi pribadi dan struktur anatomi pasien.
19
Gambar 18. Glidescope Gambar 19. Airtraq
Dalam situasi tertentu laringoskop direk maupun indirek mungkin sulit
untuk digunakan. Misalnya pada pasien dengan unstable cervical spines, range
of motion sendi temporomandibular terbatas, atau kelainan jalan napas atas
kongenital atau acquired. Flexible fiberoptic bronchoscopes (FBO) dapat
digunakan agar dapat memperoleh visualisasi laring.
20
aliran udara dengan ukuran pipa besar, dan meminimalisir trauma jalan napas
dengan ukuran yang lebih kecil.
Terdapat dua tipe cuff: tekanan tinggi (volume rendah) dan tekanan rendah
(volume tinggi). Cuff yang bertekanan tinggi lebih diasosiasikan dengan proses
iskemi pada mukosa trakea dan kurang cocok untuk intubasi dalam waktu yang
lama. Cuff yang bertekanan rendah dapat meningkatkan kejadian nyeri
tenggorokan (area kontak mukosa lebih besar), aspirasi, ekstubasi spontan, dan
kesulitan insersi (cuff yang kaku). Akan tetapi, hingga saat ini tetap dipilih
yang cuff bertekanan rendah karena jarang menyebabkan kerusakan mukosa
jalan napas. Sebagai tambahan, tekanan cuff juga dapat meningkat selama
anestesi umum akibat difusi dari N2O dari mukosa trakea ke cuff selang
endotrakeal.
21
2.5 Positioning
Ketika melakukan manipulasi terhadap jalan napas, maka perlu dilakukan
positioning yang benar. Penyelarasan aksis faringeal dan oral dapat dicapai dengan
posisi “sniffing”. Apabila suspek cedera servikal, maka kepala harus tetap dalam
posisi netral selama seluruh proses manipulasi jalan napas. Stablisasi inline leher
harus dijaga selama tatalaksana jalan napas pada pasien ini. Pasien dengan obesitas
morbid harus diposisikan 30° ke atas, karena FRC (functional residual capacity)
pasien obesitas menurun ketika dalam posisi supine, yang akan menyebabkan
deoksigenasi secara cepat dan ventilasi terganggu. Posisi yang paling baik yaitu
posisi sniffing dengan elevasi kepala setinggi 5-10 cm di atas meja dan ekstensi
sendi antlantooksipital. Bantal diletakkan di bawah tulang servikal untuk
memfleksikan bagian tersebut.
2.6 Preoksigenasi
Preoksigenasi dengan O2 menggunakan face mask harus mendahului semua
intervensi tatalaksana jalan napas. O2 diberikan beberapa menit melalui face mask
sebelum dilakukan induksi anestesi. Tujuannya adalah untuk membersihkan N2O
dari FRC (cadangan O2 pasien). Mengingat kebutuhan O2 normal 200-250 ml/menit,
pasien dengan preoksigenasi kemungkinan memiliki cadangan O2 selama 5-8 menit.
Meningkatkan durasi apnea tanpa proses desaturasi meningkatkan keamanan, apabila
induksi anestesi tertunda. Kondisi yang meningkatkan kebutuhan O2 (sepsis,
kehamilan) dan penurunan FRC (obesitas morbid, kehamilan, asites), dapat
menurunkan periode apnea sebelum desaturasi muncul. Asumsikan jalan napas
pasien paten, maka O2 yang diinsuflasikan ke faring dapat meningkatkan periode
apnea yang telah ditolerir pasien. Dikarenakan oksigen masuk ke darah dari FRC
lebih cepat daripada CO2 meninggalkan sirkulasi, maka tekanan negatif terbentuk di
alveolus, menarik O2 lebih banyak ke paru (apneic oxygenation). Dengan aliran O2
100% dan jalan napas yang paten, saturasi arterial dapat dipertahankan lebih lama
walaupun tanpa ventilasi, sehingga dapat memberikan waktu untuk melakukan
beberapa intervensi jalan napas apabila ditemukan jalan napas yang sulit.
22
2.7 Teknik Laringoskopi dan Intubasi
2.7.1 Indikasi Intubasi
Tujuan intubasi atau pemasangan TT adalah untuk membuat dan melindungi
akses jalan napas. Hal ini merupakan prosedur yang rutin dilakukan dalam anestesi
umum. Intubasi diindikasikan pada pasien yang berisiko mengalami aspirasi dan
pada pasien yang hendak menjalani prosedur pembedahan pada kepala dan leher atau
rongga tubuh. Selain itu juga dilakukan pada pasien yang akan diposisikan dalam
posisi tertentu sehingga jalan napas menjadi lebih sulit diakses (pembedahan dengan
posisi pronasi, atau kepala pasien yang berotasi menjauh dari meja kerja anestesi).
Mask ventilation atau ventilasi dengan LMA biasanya sudah cukup untuk prosedur
bedah minor seperti cystoscopy, pemeriksaan di bawah anestesia, perbaikan hernia
inguinalis, pembedahan ekstremitas, dan lain-lain.
23
Gambar 22. Sniffing position dan intubasi dengan blade Macintosh
24
Cuff kemudian dikembangkan dengan sedikit udara yang cukup untuk
membentuk segel ketika PPV dimulai. Overinflasi dapat melukai mukosa trakea.
Setelah terintubasi, maka dada dan epigastrium harus segera diauskultasi, dan
kapnograf (tes definitive) dimonitor untuk memastikan lokasi intratrakeal. Fiberoptic
Broncoscopy dapat dimasukkan melalui selang dan memvisualisasi cincin trakea
serta karina dapat mengonfirmasi penempatan yang sudah tepat. Setelah
dikonfirmasi tepat, maka selang ditape untuk diamankan posisinya. Tanda-tanda dari
intubasi bronkial adalah adanya peningkatan PIP (peak inspiratory pressure). Lokasi
selang yang tepat juga dapat dikonfirmasi ulang dengan mempalpasi cuff pada
cekungan sternum ketika mengkompresi balon utama dengan tangan yang lainnya.
Cuff tidak boleh dirasakan di atas kartilago cricoid, karena lokasi intralaryngeal yang
lama akan menyebabkan serak postop, dan meningkatkan terjadinya ekstubasi
aksidental. Rontgen toraks juga dapat digunakan untuk mengonfirmasi posisi selang.
25
2.7.4 Intubasi Nasotrakeal
Intubasi nasotrakeal memiliki cara yang sama dengan intubasi oral kecuali selang
endotrakeal dimasukkan melalui hidung dan nasofaring hingga ke orofaring sebelum
dilakukan laringoskopi. Lubang hidung dipilih dimana pasien bernapas lebih mudah.
Phenylephrine (0,5%-0,25%) atau tetes hidung tolazoline menyebabkan
26
vasokonstriksi dan menyusutkan membrane mukosa. Apabila pasien masih bangun,
maka pemberian salap anestetik lokal, spray, dan blokade saraf dapat dilakukan.
Selang endotrakeal dilubrikasi dengan gel larut dalam air yang dioles pada lantai
hidung, dibawah turbinate inferior, tegak lurus terhadap wajah. Bevel selang harus
diarahkan secara lateral menjauhi turbinate. Masukkan ETT ke lubang hidung.
Arahkan ke bawah secara vertikal, pada sudut kanan secara horizontal hingga trakea,
kembangkan cuff dan auskultasi pada kedua lapangan paru. Pada pasien dengan
trauma wajah penggunaan pipa trakea atau NGT berisiko masuk ke rongga
intracranial.
27
(tahan napas dan batuk), sementara tanpa reaksi termasuk fase dalam. Apabila pasien
sudah dapat membuka matanya atau pergerakan yang bermakna sudah terlihat maka
pasien sudah dalam fase bangun dan siap untuk dilakukan ekstubasi.
Ekstubasi pada pasien sadar biasanya diasosiasikan dengan adanya batuk karena
selang endotrakeal. Reaksi ini meningkatkan laju nadi, tekanan vena sentral, tekanan
arterial, tekanan intracranial, tekanan intra abdominal, dan tekanan intraocular. Hal
ini dapat menyebabkan wound dehiscence dan risiko perdarahan. Adanya selang
endotrakeal pada pasien asma yang sudah sadar juga dapat menginduksi
bronkospasme. Oleh karena itu, biasanya diberikan IV lidokain 1,5 mg/kg 1-2 menit
sebelum suctioning dan ekstubasi; akan tetapi, ekstubasi ketika dalam fase anestesia
dalam dapat dipilih pada pasien yang tidak dapat mentoleransi efek seperti
ini(apabila pasien tidak dalam risiko aspirasi atau tidak memiliki jalan napas yang
sulit dijaga setelah pelepasan selang endotrakeal).
Bagaimanapun caranya ekstubasi baik pasien sadar atau ketika masih dalam
pengaruh anestesi yang kuat, maka faring pasien harus dilakukan suction sebelum
ekstubasi untuk menurunkan potensi aspirasi karena darah dan secret. Sebagai
tambahan, maka pasien juga harus di ventilasi dengan 100% oksigen apabila menjadi
sulit untuk menjaga jalan napas setelah selang endotrakeal dicabut. Sebelum
dilakukan ekstubasi, maka selang endotrakeal dilepas tape dan cuff harus di deflasi.
Selang kemudian sekali tarik secara pelan, dan langsung diberikan face mask untuk
penghantaran oksigen selama perpindahan ke ruang PACU.
28
2.9 Teknik Pertahanan Jalan Napas Metode Surgikal
Jalan napas dengan metode surgical dapat dilakukan ketika dalam kondisi can’t
intubate can’t ventilate. Pilihannya mencakupi cricothyrotomy pembedahan,
cricothyrotomy dengan kateter/jarum, kateter transtracheal dengan jet ventilation,
dan intubasi retrograde.
Cricothyrotomy pembedahan meliputi insisi surgical pada membrane cricothyroid
(CTM) dan penempatan selang pernapasan. Akhir akhir ini, beberapa alat berupa
jarum/cricothyrotomy dilator sudah tersedia. Tidak seperti teknik pembedahan,
dimana insisi horizontal dibuat sepanjang membrane CTM, maka alat ini
menggunakan kateter Seldinger/kawat/dilator. Kateter dipasang pada jarum dan
dimasukkan melewati membrane cricothyroid. Ketika udara dilakukan aspirasi, maka
29
kabel pemandu dimasukkan melalui kateter menuju trakea. Dilator kemudian
dimasukkan melalui kabel pemandu, dan selang pernapasan kemudian dipasang.
Apabila terdapat sistem jet ventilation, maka dapat disambungkan. Kateter yang
terpasang harus aman, apabila tidak aman maka tekanan dari sistem jet akan
mendorong kateter keluar dari jalan napas dan dapat menyebabkan emfisema
subkutan. Seburan singkat oksigen ( sekitar 1detik) cukup untuk ventilasi pasien.
Alternatif lain yaitu dengan spuit 3 cc yang dipasang ke kateter. Setelah itu, konektor
ETT diameter 7 mm dapat dipasang ke spuit itu dan disambungkan ke sirkuit
pernapasan atau AMBU bag. Seperti sistem jet, maka ekshalasi yang cukup harus
terjadi untuk mencegah barotrauma.
30
BAB III
KESIMPULAN
Tatalaksana atau manajemen jalan napas dilakukan untuk menjaga patensi jalan
napas dan pertukaran udara (ventilasi). Tindakan paling penting untuk keberhasilan
resusitasi adalah segera membebaskan jalan napas. Airway management mencegah
terjadinya obstruksi jalan napas yang disebabkan oleh lidah, saluran napas itu sendiri,
benda asing dan cairan tubuh seperti darah dan cairan lambung yang teraspirasi.
Pengelolaan jalan napas dibagi menjadi non-invasif dan invasif ditentukan berdasarkan
keadaan klinis pasien serta keterampilan operator. Manajemen jalan napas diperlukan
untuk mengatasi kesulitan jalan napas (Difficult Airway). Morbiditas dan mortalitas
akibat kegagalan jalan napas dapat dihindari. Dampak dari kegagalan jalan napas
menyebabkan terhentinya suplai oksigen ke jaringan salah satunya kerusakan otak hingga
berujung kematian. Oleh karena itu penilaian dan pengelolaan jalan napas sangat
dibutuhkan untuk mengatasi hal ini.
31
DAFTAR PUSTAKA
1. Morgan GE, Mikhail MS, Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan
&Mikhailʼs clinical anesthesiology. Sixth edition. New York: McGraw-Hill;
2018.
2. Miller RD, Pardo MC. Basic of anesthesia. Sixth Edition, Saunders: Elsevier;
2011.
3. Henry S, Brasel K, Steward RM. Advanced Trauma Life Support. Tenth edition.
Chicago: American College of Surgeons; 2018.
32