Anda di halaman 1dari 30

1

DIFFICULT VENTILATION

Oleh
Zhafirah Rana Labibah
212011101055

Pembimbing
dr. Taufiq Gemawan, Med.Klin, Sp. An

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER


SMF/LAB ILMU ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
RSD dr. SOEBANDI JEMBER
2021
2

DIFFICULT VENTILATION

disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya SMF


Anestesiologi dan Terapi Intensif RSD dr. Soebandi Jember

Oleh
Zhafirah Rana Labibah
212011101055

Pembimbing
dr. Taufiq Gemawan, M.Ked.Klin, Sp. An

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER


SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
RSD dr. SOEBANDI JEMBER
2021
3

DAFTAR ISI

HALAMAN COVER
HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI
DAFTAR TABELv
DAFTAR GAMBARi
BAB 1. PENDAHULUAN
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Cedera Vertebra Cervikal
2.1.1 Definisi
2.1.2 Patofisiologi
2.1.3 Manifestasi Klinis
2.1.4 Diagnosis
2.1.5 Tatalaksana
2.2 Tindakan Operasi
2.2.1 Preoperatif
2.2.2 Perioperatif
2.2.3 Postoperatif
BAB 3. LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
3.2 Anamnesis
3.3 Pemeriksaan fisik
3.4 Pemeriksaan laboratorium
3.5 Pemeriksaan Radiologi
3.6 Diagnosis
3.7 Pre Operatif
3.8 Intra Operatif
3.9 Pasca Operatif
3.10Follow Up Pasien
4

BAB 4. PEMBAHASAN
4.1 Pre Operasi
4.2 Intra Operasi
4.3 Pasca Operasi
4.4 Follow Up
BAB 5. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1

BAB 1. PENDAHULUAN

Pada bidang anestesiologi, manajemen jalan nafas merupakan tindakan


yang penting. Manajemen jalan napas selama anestesi dan pada pasien sakit kritis
yang dirawat di unit perawatan intensif (ICU) telah mengalami kemajuan yang
signifikan sejak awal praktik anestesi. Manajemen jalan napas menjadi salah satu
keterampilan utama setiap ahli anestesi dan secara langsung memengaruhi
keselamatan pasien dalam pembedahan atau ICU. Namun, jalan napas yang sulit
sampai sekarang tetap menjadi salah satu tantangan terbesar ahli anestesi dengan
kemungkinan sulit atau gagal melakukan ventilasi. Ventilasi yang sulit merupakan
masalah yang sering dan signifikan ditemui selama anestesi yang menjadi faktor
utama yang mendasari morbiditas dan mortalitas terkait anestesi. Penyebab utama
dari kesulitan ventilasi termasuk gangguan aliran gas anestesi, obstruksi pada
sistem sirkulasi pernapasan, penurunan komplians paru, bronkospasme akut yang
parah, tension pneumotoraks, dan lesi massa endobronkial (Ozcan dkk., 2015).
Ventilasi sungkup adalah keterampilan paling dasar, namum, paling
penting dalam manajemen jalan napas. Ini adalah teknik utama sebelum intubasi
trakea atau penyisipan alat jalan napas. Perannya sebagai teknik penyelamatan
untuk ventilasi jika intubasi trakea gagal atau terbukti sulit. Oleh karena itu, ahli
anestesi harus memiliki kemampuan dan keterampilan ventilasi sungkup,
pengetahuan tentang penyebab sulit ventilasi sungkup, dan mengembangkan
pilihan manajemen alternatif ketika teknik ventilasi sungkup sulit atau tidak
mungkin (El-Orbany dan Woehlck, 2009).
Kejadian sulit ventilasi sekitar 1,4% dan ventilasi yang tidak mungkin
dilakukan sekitar 0,15%. Kombinasi ventilasi sungkup yang sulit dan intubasi
yang sulit ditemukan sebesar 0,4%, sedangkan insiden ventilasi sungkup yang
tidak mungkin dilakukan sebesar 0,2%. Akhirnya, kejadian “Cant ventilate, cant
intubate” sebesar 0,008% (Ramachandran dan Kheterpal, 2011). Pada makalah ini
akan dibahas bagaimana kesulitan ventilasi sungkup terjadi hingga memengaruhi
dalam proses manajemen jalan napas.
2

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
Saluran napas atas terdiri dari faring, hidung, mulut, laring, trakea, dan
bronkus. Mulut dan faring juga merupakan bagian dari saluran cerna bagian atas.
Struktur laring sebagian berfungsi untuk mencegah aspirasi ke dalam trakea.

Gambar 2.1 Anatomi Jalan Nafas

Terdapat dua jalan napas pada manusia, yaitu hidung yang mengarah ke
nasofaring dan mulut yang mengarah ke orofaring. Keduanya dipisahkan di
bagian anterior oleh palatum dan bergabung di bagian posterior di faring. Faring
adalah struktur fibromuskular berbentuk U yang memanjang dari dasar tengkorak
ke kartilago krikoid pada jalan masuk esofagus. I Bagian depannya terbuka ke
dalam rongga hidung, mulut, laring, nasofaring, orofaring dan laringofaring (pars
laryngeal). Nasofaring dipisahkan dari orofaring oleh bidang imajiner yang
memanjang ke posterior.
Di dasar lidah, epiglotis secara fungsional memisahkan orofaring dari
laringofaring (atau hipofaring). Epiglotis mencegah aspirasi dengan menutup
glotis selama menelan. Laring adalah kerangka kartilago yang disatukan oleh
3

ligamen dan otot. Laring terdiri dari sembilan tulang rawan, yaitu tiroid, krikoid,
epiglotis, dan (sepasang) arytenoid, corniculate, dan cuneiform. Kartilago tiroid

melindungi konus elasticus yang membentuk pita suara.


Gambar 2.2 Anatomi Laring

Saraf sensorik saluran napas bagian atas berasal dari saraf kranial.
Membran mukosa hidung dipersarafi oleh divisi ophthalmic (V1) nervus
trigeminal anterior (nervus etmoidalis anterior) dan pada bagian posterior oleh
divisi maxillary (V2) (nervus sphenopalatina). mendapat serabut saraf sensori dari
nervus trigeminus (V) untuk mempersarafi permukaan superior dan inferior dari
palatum molle dan palatum durum. Nervus olfaktoris (saraf kranial I)
menginervasi mukosa hidung untuk memberikan indera penciuman.
Nervuslingual (cabang dari divisi mandibula [V3] nervus trigeminal) dan nervus
glossopharyngeal (saraf kranial kesembilan) memberikan sensasi umum pada dua
pertiga anterior dan sepertiga posterior lidah. Cabang dari nervus fasialis (VII)
dan fnervus glossopharyngeal masing-masing memberikan sensasi rasa pada area
tersebut. Nervus glossopharyngeal juga mempersarafi atap faring, tonsil, dan
4

permukaan bawah palatum molle. Nervus vagus (saraf kranial kesepuluh)


memberikan sensasi ke jalan napas di bawah epiglotis. Nervus laringeal superior
yang merupakan cabang dari nervus vagus dibagi menjadi nervus laringeus
eksternal yang bersifat motoris dan nervus laringeus internal yang bersifat
sensoris untuk laring antara epiglotis dan pita suara. Cabang vagus yang lainnya,
yaitu nervus laringeal rekuren mempersarafi laring dibawah pita suara dan trakea.

Gambar 2.3 Persarafan Saluran Napas

Otot-otot laring dipersarafi oleh nervus laring rekuren dengan


pengecualian otot krikotiroid yang dipersarafi oleh nervus laring eksternal
(motorik) cabang dari nervus laring superior. Otot cricoarytenoid posterior
mengabduksi pita suara, sedangkan otot cricoarytenoid lateral adalah adduktor
utama.
Fonasi melibatkan tindakan simultan yang kompleks oleh beberapa otot
laring. Kerusakan pada saraf motorik yang mempersarafi laring menyebabkan
gangguan bicara. Gangguan persarafan unilateral dari otot krikotiroid
menyebabkan gangguan klinis yang sangat tidak kentara. Kelumpuhan bilateral
5

dari nervus laring superior dapat menyebabkan suara serak atau suara lemah,
tetapi tidak membahayakan kontrol jalan napas.
Paralisis unilateral dari nervus laringeus rekuren menyebabkan paralisis
pita suara ipsilateral yang menyebabkan penurunan kualitas suara. Dengan asumsi
nervus laring superior yang utuh, kelumpuhan nervus laring rekuren bilateral akut
dapat menyebabkan stridor dan gangguan pernapasan karena masih ada tekanan
otot krikotiroid yang tersisa. Masalah jalan napas lebih jarang pada kerusakan
nervus laring rekuren bilateral kronis karena adanya mekanisme kompensasi
(misalnya, atrofi otot laring).
Cedera bilateral pada nervus vagus mempengaruhi nervus laringeus
superior dan rekuren. Dengan demikian, denervasi vagus bilateral menghasilkan
pita suara flasid dan midposisi yang serupa saat setelah pemberian suksinilkolin.
Meskipun fonasi sangat terganggu pada pasien ini, kontrol jalan napas jarang
menjadi masalah.
Suplai darah untuk laring berasal dari cabang-cabang arteri tiroid. Arteri
krikotiroid muncul dari arteri tiroid superior itu sendiri, cabang pertama yang
keluar dari arteri karotis eksterna, dan melintasi membran krikotiroid bagian atas
yang memanjang dari kartilago krikoid ke kartilago tiroid. Arteri tiroid superior
ditemukan di sepanjang tepi lateral dari membrane krikotiroid. Arteri tiroidea
superior ditemukan sepanjang tepi lateral dari membran krikotiroid. Ketika
merencanakan krikotirotomi, anatomi dari arteri krikoid dan arteri tiroid harus
dipertimbangkan tetapi jarang berefek pada praktek klinis. Teknik paling baik
adalah untuk tetap pada garis tengah, antara kartilago krikoid dan tiroid.
Trakea dimulai di bawah kartilago krikoid dan meluas ke carina, titik di
mana bronkus utama kanan dan kiri bercabang, Di bagian anterior, trakea terdiri
dari cincin tulang rawan, sedangkan pada posterior, trakea adalah membrane
(Butterworth dkk., 2018).

2.2 Ventilasi Sungkup


Ventilasi sungkup adalah keterampilan paling dasar, namum, paling
penting dalam manajemen jalan napas. Ini adalah teknik utama sebelum intubasi
6

trakea atau penyisipan alat jalan napas. Perannya sebagi teknik penyelamatan
untuk ventilasi jika intubasi trakea gagal atau terbukti sulit. Oleh karena itu, ahli
anestesi harus memiliki kemampuan dan keterampilan ventilasi sungkup,
pengetahuan tentang penyebab sulit ventilasi sungkup, dan mengembangkan
pilihan manajemen alternatif ketika teknik ventilasi sungkup sulit atau tidak
mungkin. Ini bentuk titik awal dari mayoritas anestesi umum dan yang lebih
penting, ini adalah teknik fall-back penting untuk mempertahankan oksigenasi
selama gagal atau sulit intubasi (El-Orbany dan Woehlck, 2009).

2.2.1 Teknik Ventilasi


Penggunaan masker wajah dapat memfasilitasi pengiriman oksigen atau
gas anestesi ke pasien dengan membuat penguncian kedap udara dengan wajah
pasien Tepi sungkup berkontur dan sesuai dengan berbagai fitur wajah. Beberapa
desain sungkup tersedia. Masker transparan memungkinkan pengamatan gas
lembab yang dihembuskan dan pengenalan muntahan dengan segera. Kait
penahan yang mengelilingi orifice dapat dilekatkan pada head strap sehingga
masker tidak harus terus-menerus ditahan di tempatnya. Beberapa masker
pediatrik dirancang khusus untuk meminimalkan apparatus dead space.
Ventilasi sungkup yang efektif membutuhkan pemasangan sungkup yang
kedap udara dan jalan napas yang paten. Teknik sungkup wajah yang tidak tepat
dapat mengakibatkan mengempisnya kantong reservoir anestesi ketika katup
pembatas tekanan yang dapat disetel ditutup, biasanya menunjukkan kebocoran
besar di sekitar masker. Sebaliknya, timbulnya tekanan sirkuit pernapasan yang
tinggi dengan gerakan dada dan suara napas yang minimal menyiratkan adanya
obstruksi jalan napas atau pipa yang tersumbat.
Jika masker dipegang dengan tangan kiri, tangan kanan dapat digunakan
untuk menghasilkan ventilasi tekanan positif dengan meremas kantong
pernapasan. Sungkup dipegang pada wajah dengan tekanan ke bawah oleh ibu jari
kiri dan jari telunjuk. Jari tengah dan jari manis menggenggam mandibula untuk
memfasilitasi ekstensi sendi atlanto-oksipital. Tekanan jari harus ditempatkan
pada tulang mandibula dan bukan pada jaringan lunak yang menopang dasar
7

lidah, yang dapat menyumbat jalan napas. Jari kelingking ditempatkan di bawah
sudut rahang dan digunakan untuk mendorong rahang ke depan. Ini merupakan
manuver yang paling penting untuk memungkinkan ventilasi bagi pasien.
Dalam situasi sulit, dua tangan mungkin diperlukan untuk memberikan
dorongan rahang yang memadai dan untuk membuat sungkup tertutup rapat. Oleh
karena itu, asisten mungkin diperlukan untuk memeras kantong pernapasan (bag),
atau ventilator mesin dapat digunakan. Dalam kasus seperti itu, ibu jari menahan
sungkup ke bawah, dan ujung jari atau buku jari menggeser rahang ke depan.
Obstruksi selama ekspirasi mungkin karena tekanan ke bawah yang berlebihan
dari sungkup atau efek ball-valve dari jaw thrust. Pertama, dengan mengurangi
tekanan pada masker, dan yang terakhir dengan melepaskan dorongan rahang
selama fase siklus pernapasan ini. Seringkali sulit untuk membentuk masker yang
pas dengan pipi pasien edentulous. Ventilasi tekanan positif menggunakan masker
biasanya harus dibatasi hingga 20 cm H2O untuk menghindari inflasi lambung.
Jika jalan napas paten, meremas bag akan menyebabkan naiknya dada. Jika
ventilasi tidak efektif (tidak ada tanda-tanda dada naik, tidak ada CO2 end-tidal
yang terdeteksi, tidak ada kabut di sungkup), oral atau nasal airway dapat
ditempatkan untuk meringankan obstruksi jalan napas sekunder akibat jaringan
faring yang berlebihan. Ventilasi sungkup yang sulit sering ditemukan pada
pasien dengan obesitas morbid, janggut, dan deformitas kraniofasial.
Sebagian besar saluran udara pasien dapat dipertahankan dengan sungkup
wajah dan oral atau nasofaring airway. Ventilasi sungkup untuk waktu yang lama
dapat mengakibatkan cedera karena tekanan pada cabang saraf trigeminal atau
wajah. Karena tidak adanya tekanan positif jalan napas selama ventilasi spontan,
hanya sedikit gaya ke bawah pada masker wajah yang diperlukan untuk membuat
segel yang memadai. Jika sungkup wajah dan tali sungkup digunakan untuk waktu
yang lama, posisinya harus diubah secara teratur untuk mencegah cedera.
Perawatan harus dilakukan untuk menghindari sungkup atau kontak jari dengan
mata, dan mata harus ditutup lakban untuk meminimalkan risiko abrasi kornea
(Butterworth dkk., 2018).
8

2.2.2 Posisi Pasien untuk Tindakan Ventilasi


Posisi pada saat intubasi ialah leher dalam keadaan fleksi ringan,
sedangkan kepala dalam keadaan ekstensi. Posisi ini disebut sebagai sniffing
position. Posisi kepala dan leher yang tepat penting untuk mengoptimalkan
tampilan laring selama laringoskopi langsung dengan leher fleksi 35 derajat pada
dada dengan bantal di bawah occiput dan ekstensi 15 derajat kepala pada sendi
atlanto-oksipital. Penanda yang digunakan pada posisi ini adalah penyelarasan
meatus auditorius eksternal dengan sternum pasien pada dataran horizontal pada
posisi terlentang membuat intubasi endotrakeal menjadi optimal (Butterworth
dkk., 2018).

Gambar 2.4 Sniffing Position


9

2.3 Ventilasi Sungkup Sulit


2.3.1 Definisi
Menurut The American Society of Anesthesiologists (2013), kesulitan
ventilasi dengan sungkup atau supraglottic airway (SGA) adalah
ketidakmampuan dari ahli anestesi yang berpengalaman untuk menjaga SpO2 >90
% saat ventilasi dengan menggunakan masker wajah dan O2 inspirasi 100%,
dengan ketentuan bahwa tingkat saturasi oksigen pra ventilasi masih dalam batas
normal. Pada hal ini, tidal volume tidak dapat terpenuhi tanpa alat atau bantuan
eksternal jalan nafas, prosedur standar, atau intubasi.
Ahli anestesi tidak mungkin memberikan ventilasi yang adekuat karena
satu atau lebih dari masalah berikut, yaoti tidak adekuat segel sungkup, kebocoran
gas yang berlebihan, atau resistensi berlebihan untuk masuk atau keluarnya gas.
Tanda ventilasi tidak memadai menurut The American Society of
Anesthesiologists adalah pergerakan dada tidak ada atau tidak memadai, tidak ada
atau tidak memadai suara napas, tanda-tanda auskultasi dari obstruksi berat,
sianosis, udara masuk lambung atau dilatasi, penurunan atau saturasi oksigen yang
tidak memadai, tidak ada atau tidak memadai karbon dioksida yang dihembuskan,
tidak ada atau tidak memadai pengukuran spirometri dari aliran gas yang
dihembuskan, dan perubahan hemodinamik yang berhubungan dengan
hipoksemia atau hiperkarbia (misalhnya hipertensi, takikardia, aritmia) (the
American Society of Anesthesiologists, 2013).
Berikut ini adalah tabel beberapa pengertian sulit ventilasi sungkup yang
juga telah disarankan dan digunakan oleh berbagai kelompok peneliti:

Tabel 2.1 Definisi ventilasi sungkup sulit


Definisi Ventilasi Sungkup Sulit Referensi
Suatu kondisi yang berkembang ketika: 1) Tidak (the American Society of
mungkin bagi ahli anestesi tanpa bantuan untuk Anesthesiologists, 1993)
mempertahankan Spo2 90% menggunakan oksigen
10

100% dan ventilasi masker tekanan positif pada


pasien yang Spo2-nya 90% sebelum intervensi
anestesi; 2) Tidak mungkin bagi ahli anestesi tanpa
bantuan untuk mencegah atau membalikkan tanda-
tanda ventilasi yang tidak memadai selama ventilasi
masker tekanan positif
Ventilasi masker dianggap sulit ketika ada 1) (Langeron dkk., 2000)
Ketidakmampuan ahli anestesi untuk
mempertahankan saturasi oksigen 92%
menggunakan oksigen 100% dan ventilasi tekanan
positif tanpa bantuan, 2) Kebocoran aliran gas pada
masker wajah, 3) kebutuhan untuk meningkatkan
aliran gas lebih besar dari 15 L/menit dan
menggunakan katup penyiram oksigen lebih dari
dua kali, 4) tidak ada gerakan dada yang terlihat, 5)
kebutuhan untuk melakukan ventilasi sungkup dua
tangan, dan 6) Diperlukan penggantian operator.
Suatu kondisi yang berkembang ketika: 1) Tidak (the American Society of
mungkin bagi ahli anestesi untuk memberikan Anesthesiologists, tanpa
ventilasi masker wajah yang memadai karena satu tahun)
atau lebih masalah berikut: segel masker yang tidak
memadai, kebocoran gas yang berlebihan, atau
resistensi yang berlebihan terhadap masuk atau
keluarnya gas. 2) Tanda-tanda ventilasi masker
wajah yang tidak memadai termasuk (tetapi tidak
terbatas pada) gerakan dada tidak ada atau tidak
memadai, suara napas tidak ada atau tidak
memadai, tanda-tanda auskultasi obstruksi berat,
sianosis, masuknya atau dilatasi udara lambung,
penurunan atau saturasi oksigen yang tidak
memadai (Spo2) , tidak ada atau tidak memadainya
11

karbon dioksida yang dihembuskan, tidak ada atau


tidak memadainya pengukuran spirometrik aliran
gas yang dihembuskan, dan perubahan
hemodinamik yang berhubungan dengan
hipoksemia atau hiperkarbia.
Ventilasi masker yang sulit ketika ada tanda-tanda (Yildiz TS dkk., 2005)
ventilasi yang tidak memadai yang dibuktikan
dengan tidak adanya gerakan dada yang terlihat,
desaturasi oksigen, dan persepsi kebocoran aliran
gas yang parah di sekitar masker. Penulis
mengklasifikasikan tingkat kesulitan berdasarkan
manuver yang digunakan untuk membangun
ventilasi yang memadai.
Ventilasi masker yang sulit didefinisikan sebagai (Sachin Kheterpal dkk.,
ventilasi masker yang tidak memadai untuk 2006)
mempertahankan oksigenasi, ventilasi sungkup
yang tidak stabil, atau ventilasi sungkup yang
membutuhkan dua operator. Ventilasi masker yang
tidak mungkin dilambangkan dengan tidak adanya
pengukuran karbon dioksida end-tidal dan
kurangnya gerakan dinding dada yang terlihat
selama upaya ventilasi tekanan positif meskipun
ditambahkan adjuvant jalan napas dan personel
tambahan.

Definisi yang jelas diperlukan sebagai kriteria objektif untuk


menggambarkan secara tepat berbagai tahapan kontinum. Definisi bisa membantu
untuk menstandardisasi bahasa ketika menggambarkan situasi klinis tertentu.
Mengejar tujuan ini, Han dkk (2004) mengusulkan skala penilaian untuk
kemampuan melakukan ventilasi sungkup serupa dengan yang digunakan untuk
menilai tampilan laring selama laringoskopi direk. Grade 1 adalah mereka yang
12

dapat diventilasi dengan mudah dan Grade 4 adalah mereka yang tidak mungkin
untuk diventilasi. Pasien grade 3 dan 4 cenderung meningkatkan risiko ventilasi
yang tidak memadai setelah induksi anestesi. Skala ini untuk menstandardisasi
bahasa dan mencegah kebingungan dalam perbandingan data. Ada beberapa
batasan skala Han yang harus dipertimbangkan. Pertama, skala belum divalidasi.
Ini mungkin berguna untuk deskripsi klinis, tetapi mungkin tidak dapat
direproduksi atau cukup sensitif ketika digunakan untuk perbandingan data
dan/atau tujuan penelitian. Kedua, mirip dengan menilai tampilan laring,
interpretasi derajat sulit ventilasi sungkup sebagian subjektif dan tergantung
operator.

Tabel 2.2 Klasifikasi penilaian kemampuan ventilasi


Klasifikasi Deskripsi/Definisi
Grade 0 Ventilasi sungkup tidak dicoba
Grade 1 Ventilasi sungkup
Grade 2 Ventilasi sungkup dengan jalan nafas
oral atau tambahan lainnya
Grade 3 Sulit ventilasi sungkup (inadekuat,
tidak stabil, atau teknik 2 orang)
Grade 4 Tidak dapat diventilasi sungkup

2.3.2 Patofisiologi
Ketidakmampuan untuk ventilasi sungkup yang memadai dapat
disebabkan oleh mekanisme dasar yang berbeda yang secara luas dapat dibagi
menjadi dua, yaitu terkait teknik dan terkait jalan napas. Kesalahan dalam teknik,
malfungsi peralatan, posisi kepala yang kurang optimal, efek samping obat-obatan
tertentu, obstruksi jalan napas parsial atau total secara patologis dapat
menyebabkan sulit ventilasi sungkup. Meskipun mekanisme yang mendasarinya
diperbaiki akan ada risiko kegagalan ventilasi sungkup yang berulang. Misalnya,
pasien obstructive sleep apnea merupakan risiko berulang kecuali jika patologi
faring dikoreksi. Di sisi lain, meskipun spasme laring karena anestesi ringan dapat
13

menyebabkan sulit ventilasi sungkup, anestesi yang memadai pada anestesi


berikutnya kemungkinan akan menghasilkan ventilasi sungkup yang mudah (El-
Orbany dan Woehlck, 2009).

Tabel 2.3 Patofisiologi ventilasi sungkup sulit


Patofisiologi Keterangan
Terkait Teknik 1. Operator: kurang pengalaman
2. Peralatan: ukuran masker tidak
sesuai, pemasangan sungkup
yang sulit (adanya jenggot,
anomaly wajah, retrognathia),
katup rusak, ukuran jalan
napas oral/hidung yang tidak
tepat
3. Posisi: posisi kepala dan lehar
kurang optimal
4. Tekanan krikoid yang
diterapkan tidak benar
5. Terkait obat: penutupan pita
suara yang diinduksi opiod,
kekakuan masseter yang
diinduksi suksinilkolin,
kedalaman anestesi yang tidak
memadai, kurangnya relaksasi
Terkait Jalan Napas 1. Obstruksi jalan napas atas
a. Lidah atau epiglotis
b. Jaringan lunak yang berlebihan
pada obesitas dan tidur yang
tidak sehat pada sleep apnea
c. Hyperplasia tonsil
d. Tumor mulut, rahang atas,
14

faring, atau laring


e. Edema jalan napas misalnya
upaya intubasi berulang,
trauma, angioedema
f. Spasme laring
g. Kompresi eksternal misalnya,
massa leher yang besar dan
hematom leher
2. Obstruksi jalan napas bawah
a. Bronkospasme parah
b. Tumor trakea atau bronkus
c. Massa mediastinum anterior
d. Paru-paru kaku
e. Benda asing
f. Pneumotoraks
g. Fistula bronkopleural
3. Deformitas dinding dada yang
parah atau kifoskoliosis yang
membatasi ekspansi dada
Sumber: El-Orbany dan Woehlck (2009)

2.3.3 Faktor yang Memengaruhi Ventilasi


1. Faktor anestesi
Faktor-faktor yang telah terbukti mempengaruhi ventilasi sungkup
adalah pengalaman dokter dan penggunaan peralatan. Keterampilan ventilasi
sungkup dicapai melalui pelatihan dan dipelihara melalui latihan yang teratur. Hal
ini membantu untuk mengatasi masalah umum seperti posisi pasien, manuver
jalan napas dan pengukuran peralatan. Penggunaan ukuran yang tidak tepat
oropharyngeal atau nasofaring airway tidak memperbaiki ventilasi sungkup dan
mungkin menyebabkan trauma dan perdarahan. Selanjutnya, ventilasi sungkup
15

mungkin sulit karena pengukuran sungkup yang digunakan atau kesalahan dengan
mesin anestesi.
Beberapa aspek anestesi umum itu sendiri diperkirakan memainkan
peran. Opioid dosis tinggi, kedalaman anestesi yang tidak memadai dan relaksasi
otot yang tidak memadai semua dapat menyebabkan untuk meningkatkan
kekakuan otot, penurunan pengembangan dinding dada dan sulit ventilasi
sungkup. Kekakuan dinding dada terkait dengan opioid dosis tinggi tidak terlihat
pada pasien dengan trakeostomi. Hal ini mengarah pada dugaan bahwa resistensi
terhadap ventilasi sungkup sebenarnya karena penutupan pita suara yang dapat
diperbaiki dengan relaksan otot. Faktor-faktor ini telah menyebabkan perdebatan
tentang waktu pemberian relaksan otot dan apakah mungkin untuk ventilasi
sungkup pada pasien sebelum pemberian relaksan otot. Relaksan otot dapat
membuat ventilasi sungkup lebih mudah dengan menghilangkan kekakuan dan
laringospasme, atau lebih sulit, dengan menyebabkan hilangnya tonus dan kolaps
saluran napas bagian atas. The 4th National Audit Project by the Royal College of
Anaesthetists and Difficult Airway Society (DAS) menemukan itu dalam beberapa
kasus, anestesi ringan dan keengganan untuk memberikan relaksan otot mungkin
telah menyebabkan cedera pada pasien. Oleh karena itu, dibuatlah rekomendasi
berikut:
1. Jika sungkup muka atau sungkup laring anestesi diperumit oleh kegagalan
ventilasi dan meningkatkan hipoksia, ahli anastesi harus mempertimbangkan
pemberian awal agen anestesi yang lebih lanjut dan atau relaksan otot untuk
menyingkirkan dan mengobati laringospasme.
2. Ahli anestesi tidak boleh membiarkan obstruksi jalan napas dan hipoksia untuk
berkembang ke tahap dimana pembedahan jalan nafas darurat diperlukan tanpa
memberikan relaksan otot (Registrar dkk., 2015).

2. Faktor pasien
Mampu mengantisipasi sulit ventilasi sungkup dapat membantu dokter
anestesi merumuskan rencana pengelolaan jalan napas yang aman untuk pasien.
Sebuah cara sederhana dan meyakinkan untuk menilai pasien adalah memeriksa
16

grafik anestesi mereka sebelumnya untuk setiap kesulitan yang


terdokumentasikan. Ini menyoroti pentingnya pencatatan yang baik dan juga
menunjukkan bagaimana sistem penilaian direproduksi untuk ventilasi sungkup
dapat memainkan peran penting dalam standarisasi komunikasi antara dokter
(Registrar dkk., 2015).
Faktor spesifik pasien bisa menjadi penyebab utama untuk ventilasi
sungkup sulit. Penilaian dapat dikategorikan seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 2.4

Tabel 2.4 Faktor pasien yang terkait dengan ventilasi sungkup sulit
Pembesaran jaringan lunak Abnormal anatomi
 Lidah besar/epiglottis  Edentulous
 Hiperplasia tonsilar  Berjenggot
 Oedem jalan nafas  Tumor jalan nafas atas atau
Reaksi fisiologis bawah
 Laringospasme  Kompresi ekstrinsik jalan
 Bronkospasme nafas
 Benda asing
 Pneumothorak
 Fistula bronkopleural
 Deformitas dinding dada
 Leher sebelumnya tidak disinar

Faktor penting lainnya termasuk obesitas, peningkatan usia, jenis


kelamin laki-laki, tingkat Mallampati, protrusi mandibula dan riwayat obstructive
sleep apnea. Berbagai nilai BMI telah digunakan dalam makalah penelitian
dengan nilai BMI terendah 26 kg/m2 menjadi prediktor signifikan secara statistik
sulit ventilasi sungkup. Lingkar leher tinggi (>40cm), yang terkait dengan
obesitas, juga meningkatkan kemungkinan sulit ventilasi sungkup. Bertambahnya
usia merupakan faktor risiko lain dan ini adalah mungkin karena hilangnya
17

elastisitas pada jaringan dan adanya penyakit paru-paru. Penilaian protrusi


mandibula memberikan indikasi untuk melakukan jaw thrust yang memadai dan
penting pada pasien berisiko kolaps saluran napas atas. Selain itu, juga merupakan
prediktor yang baik dari intubasi sulit. Para penulis menyarankan mnemonic
simpel untuk membantu mengingat prediksi ini: MMMMASK. Atau, Langeron
dkk. mengidentifikasi 5 kriteria yang merupakan faktor risiko independen
(OBESE) untuk sulit ventilasi sungkup (Registrar dkk., 2015). Kedua mnemonics
adalah sebagai berikut.

Tabel 2.5 Mnemonik MMMMASK fator pasien yang berhubungan dengan


ventilasi sulit
MMMMASK
M Male gender
M Mask seal which is affected by beard or being edentulous
M Mallampati grade 3 or 4
M Mandibular protrusion
A Age
S Snoring and obstructive sleep apnoea
K Kilograms (weight)
Sumber: Registrar dkk. (2015)

Tabel 2.6 Mnemonik OBESE fator pasien yang berhubungan dengan ventilasi
sulit
OBESE
O Obese (BMI >26kg/m2)
B Bearded
E Edentulous
S Snoring
E Eldery (>55 tahun)
Sumber: Registrar dkk. (2015)
18

Selain, akronim OBESE, ada akronim MOANS untuk memprediksi


ventilasi sungkup yang sulit.
1. M—Mask seal/male sex/Mallampati: Darah/debris, jenggot tebal pada wajah
akan memburukkan mask seal yang memadai. Mallampati skor 3 atau 4 dan
jenis kelamin laki-laki dan juga merupakan prediktor bebas dari kesulitan
ventilasi.
2. O—Obesity/obstruction: Wanita hamil trimester ketiga dan pasien dengan BMI
>26 kg per m2 mengalami desaturasi sehingga mengalami kesulitan BMV.
Jaringan berlebihan yang dimiliki oleh pasien tersebut menimbulkan resistensi
terhadap aliran udara di bagian atas jalan napas. Obstruksi yang disebabkan
oleh Ludwig angina, abses saluran napas bagian atas (mis. peritonsillar),
angioedema, epiglottitis, dan kondisi sama lainnya akan membuat BMV lebih
sulit.
3. A—Age: Beberapa penilaian dapat diterapkan sehubungan dengan apakah
tonus otot dan jaringan pasien relatif tidak elastis (tua) atau elastis jaringan
(muda). Orang yang berusia lebih dari 55 tahun lebih berisiko kesulitan BMV
akibat dari berkurangnya tonus otot dan jaringan pada pernapasanatas.
4. N—No teeth: Pada pasien edentulous, struktur wajahnya tidak mampu
menyokong BMV sehingga diperlukan dentures ketika BMV dan dikeluarkan
ketika akan intubasi
5. S—Stiff/snoring: Pasien dengan penyakit saluran napas reaktif dengan
obstruksi saluran napas ringan-sedang (asma dan penyakit paru obstruktif
kronik [COPD]), pasien dengan edema paru, sindrom gangguan pernapasan
akut (ARDS), pneumonia berat, atau kondisi lain yang mengurangi compliance
paru atau meningkatkan resistensi jalan napas terhadap BMV. Riwayat
mendengkur (sleep apnea) juga prediktor kesulitan BMV yang harus diketahui
dari anamnesis
Sehubungan dengan ventilasi sungkup tidak mungkin, lebih dari 50.000
anestesi dengan kejadian 0,15 % dan menunjukkan prediktor independen berikut:
radiasi leher, jenis kelamin pria, sleep apnea, Mallampati 3-4, dan kehadiran
jenggot. Radiasi leher adalah faktor yang paling signifikan dalam memprediksi
19

ventilasi masker tidak mungkin dilakukan dan itu juga merupakan faktor risiko
yang signifikan untuk intubasi sulit. Pertimbangan cermat rencana jalan nafas
pasien dengan sebelumnya pernah radiasi pada leher memungkinkan untuk
menyulitkan akses jalan napas melalui pembedahan.

2.3.4 Manajemen
Pengelolaan ventilasi sungkup sulit dapat dibagi menjadi dua skenario:
dicurigai dan tak terduga. Pada sulit ventilasi sungkup yang dicurigai, langkah-
langkah sederhana yang dapat diambil seperti mencukur jenggot, penurunan berat
badan dan menjaga gigi palsu in situ untuk memperbaiki segel dan
menghilangkan mereka segera sebelum intubasi. Beberapa dokter anestesi
menemukan bahwa merapikan jenggot dengan jelly bisa memperbaiki penguncian
sungkup, namun pengelolaan yang optimal adalah mencukur jenggot dengan
kerjasama pasien. Rencana jalan napas harus dibentuk dan didiskusikan dengan
asisten anestesi untuk memungkinkan persiapan peralatan yang diperlukan.
Preoksigenasi optimal sangat penting dengan tujuan memberikan peningkatan
waktu apneu untuk memungkinkan lebih banyak waktu untuk manajemen jalan
napas sebelum saturasi oksigen pasien menurun. Posisi yang tepat dari pasien
membantu meningkatkan waktu apneu dengan mengurangi atelektasis. Pada
pasien obesitas, telinga harus pada tingkat yang sama seperti sternalis notch dan
mungkin ada kebutuhan untuk meninggikan pasien. Peninggian posisi leher pasien
membantu untuk memperbaiki baik ventilasi dan tampilan laringoskopi dengan
menyelaraskan mulut, sumbu faring dan laring.
Metode alternatif untuk mempertahankan oksigenasi pasien
menggunakan Transnasal Humidified Rapid-Insufflation Ventilatory Exchange
(THRIVE). Aliran tinggi oksigen yang dilembabkan terus-menerus dihantarkan
transnasal pre dan post induksi anestesi sebelum jalan nafas definitif aman.
THRIVE hanya bekerja jika jalan napas tetap paten, yang merupakan kunci sukses
ventilasi sungkup, jadi jika dimungkinkan untuk menggunakan THRIVE maka itu
memungkin untuk dilakukan ventilasi sungkup. Dalam kasus di mana ada tanda-
20

tanda yang mengarah sulit ventilasi sungkup dan berpotensi intubasi sulit, intubasi
fiberoptik mungkin pilihan yang tepat.
Jika sulit ventilasi sungkup diprediksi tetapi intubasi mudah diketahui
sebelumnya, dipertimbangkan untuk rapid sequence induction. Manfaat dari
pendekatan ini adalah onset lebih cepat dari blokade neuromuskular untuk
memfasilitasi intubasi lebih awal tanpa perlu untuk ventilasi sungkup. Risiko yang
terkait dengan ini adalah multipel dan harus dianggap dasar case by case. Risiko
utama termasuk desaturation dalam waktu onset relaksasi otot dan kegagalan
untuk intubasi. Dalam kasus elektif rencana cadangan untuk risiko ini akan
menyisipkan supraglottic airway devices untuk menyediakan ventilasi tetapi
dalam kasus-kasus darurat tanpa berpuasa, ini berisiko terjadi aspirasi.
Pertimbangan harus diberikan untuk intubasi fiberoptik terjaga pada pasien ini.
Kunjungan pra operasi harus termasuk diskusi tentang pilihan dan risiko dengan
pasien.
Ketika ventilasi sungkup tiba-tiba sulit, manajemen menjadi proses yang
dinamis. Ada yang tidak setuju algoritma dewasa tapi the Association of
Paediatric Anaesthetists of Great Britain and Ireland bersama dengan DAS telah
menghasilkan suatu algoritma untuk sulit MV pada anak usia 1-8 tahun. Ada
algoritma yang diusulkan oleh El-Orbany dan Woehlck merinci langkah-langkah
manajemen dalam sulit MV. Meskipun kebanyakan kelompok anestesi belum
mengadopsi ini, itu merupakan pendekatan yang bijak untuk masalah ini.
Langkah pertama dalam manajemen: mengoptimalkan posisi pasien dan
penggunaan tambahan saluran napas seperti jalan nafas oropharyngeal dan
nasofaring, aplikasi berkelanjutan dari tekanan positif jalan nafas, memeriksa
kedalaman anestesi, relaksasi otot dan mengurangi tekanan krikoid. Jika kesulitan
menetap, yaitu saturasi yang menurun atau ada penurunan dari end- tidal karbon
dioksida kemudian harus memanggil bantuan untuk teknik 2 orang (atau 4 tangan)
dan/atau perubahan operator dan minta untuk trolley jalan nafas sulit. Jika ini
tidak memperbaiki situasi dan saturasi sekarang < 90 %, situasi harus dianggap
sebagai skenario ventilasi sungkup tidak mungkin.
21

Jika tidak mungkin ventilasi sungkup berlanjut, pertimbangkan untuk


membangunkan pasien, namun hal ini tidak selalu pilihan yang baik. Jika obat
pemblokiran neuromuskuler telah diberikan mungkin tepat untuk mencoba
intubasi pada saat ini atau, dalam kasus rocuronium, untuk mempertimbangkan
reversal dengan sugammadex. Jika tidak dapat intubasi, kemudian 2 upaya
penyisipan SAD akan sesuai jika belum dicoba. Jika pemblokir neuromuskuler
belum diberikan maka penyisipan dari SAD adalah sebuah alternatif. Dengan
SAD in situ, pertimbangan harus diberikan untuk menggunakan saluran untuk
memfasilitasi intubasi. Jika saturasi oksigen tetap turun ini sekarang skenario
Can’t Intubate Can’t Ventilate (CICV) dan membutuhkan penyelamatan teknik
dalam bentuk baik saluran krikotiroidotomi atau bedah krikotiroidotomi (Registrar
dkk., 2015).
22

Gambar 2.5 Algoritma ventilasi sungkup yang sulit (Registrar dkk., 2015)

2.3.5 Komplikasi
Sulit ventilasi sungkup dapat menyebabkan berbagai komplikasi dengan
perhatian utama menjadi kegagalan untuk mengoksidasi pasien menyebabkan
kematian, cidera otak hipoksia atau iskemia miokard. Komplikasi lain termasuk
luka pada mata, hidung dan mulut. Cedera mata dapat terjadi karena trauma
langsung dari masker atau jari; gas kering bocor dari masker bisa sendiri
menyebabkan kerusakan. Tambahan jalan napas hidung dapat menyebabkan
bagian palsu dan perdarahan yang selanjutnya dapat kompromi jalan napas. Pasien
23

dapat mengembangkan cedera tekanan akibat penggunaan kekuatan berlebihan


dengan sungkup terhadap hidung. Mulut dan orofaring berisi banyak struktur yang
mungkin terluka selama sulit ventilasi sungkup; ini termasuk gigi, bibir, langit-
langit lunak, uvula dan saraf. Kurangnya pelumasan dan penggunaan kekuatan
yang berlebihan untuk penyisipan tambahan jalan napas dapat meningkatkan
risiko trauma jenis ini.
Dengan meningkatnya kesulitan di ventilasi sungkup ada kecenderungan
untuk meningkatkan tekanan inflasi melalui katup adjustable pressure - limiting
(APL) pada mesin anestesi. Hal ini dapat menyebabkan lingkaran setan: jika jalan
napas tidak paten, udara akan diarahkan langsung ke perut meningkatkan tekanan
dalam lambung. Hal ini pada gilirannya menyebabkan pengangkatan diafragma
dan penurunan pemenuhan (pengembangan) paru-paru, yang mengarah ke lebih
sulit ventilasi sungkup. Untuk menghindari inflasi lambung katup APL harus terus
dijaga untuk kebutuhan minimum dan di bawah 20cmH2O. Ini secara khusus
dibahas dalam pedoman pediatrik yang menyarankan penyisipan tabung
nasogastrik jika muncul distensi lambung. Selain itu, jika jalan napas paten dan
berventilasi dengan tekanan tinggi, peningkatan tekanan dalam dada bisa
kompromi aliran balik vena dan menimbulkan hipotensi dan penurunan perfusi
koroner (Registrar dkk., 2015).
24

BAB 3. KESIMPULAN

Ventilasi sulit menjadi salah satu tantangan terbesar ahli anestesi. Ahli
anestesi harus memiliki kemampuan dan keterampilan untuk intubasi sehingga
bisa menyelamatkan banyak nyawa. Ventilasi termasuk dalam manajemen jalan
napas. Jalan napas sulit bisa mengancam nyawa pasien. Ventilasi yang sulit
merupakan masalah yang sering dan signifikan ditemui selama anestesi yang
menjadi faktor utama yang mendasari morbiditas dan mortalitas terkait anestesi.
Perannya adalah sebagai teknik penyelamatan jika intubasi trakea gagal atau
terbukti sulit. Oleh karena itu, ahli anestesi harus memiliki kemampuan dan
keterampilan ventilasi sungkup, pengetahuan tentang penyebab sulit ventilasi
sungkup, dan mengembangkan pilihan manajemen alternatif ketika teknik
ventilasi sungkup sulit atau tidak mungkin sehingga bisa menyelamatkan nyawa
pasien.
25

DAFTAR PUSTAKA

Butterworth, D. C. Mackey, J. D. Wasnick, G. Baldini, F. Carli, C. E. Cowles, M.


A. Frölich, M. Giesecke, S. Hosur, B. M. Ilfeld, S. J. Madison, E. R.
Mariano, B. P. McGlinch, M. Ramsay, R. W. Rosenquist, dan B. M.
Vrooman. 2018. Morgan & Mikail’s Clinical Anesthesiology. Edisi 6. United
States of America: McGraw Hill Company, Inc.
El-Orbany, M. dan H. J. Woehlck. 2009. Difficult mask ventilation. Anesthesia
and Analgesia. 109(6):1870–1880.
Han, R., K. K. Tremper, S. Kheterpal, dan M. O’Reilly. 2004. Grading scale for
mask ventilation. Anesthesiology
Langeron, O., E. Masso, C. Huraux, M. Guggiari, A. Bianchi, P. Coriat, dan B.
Riou. 2000. Prediction of difficult mask ventilation. Anesthesiology
Ozcan, A. D., A. But, Ş. M. Aksoy, N. K. Güven, dan C. Döger. 2015. A case of
difficult ventilation. J Anesth Clin Res. 6(5)
Ramachandran, S. K. dan S. Kheterpal. 2011. Difficult mask ventilation: does it
matter? Anaesthesia. 66(SUPPL. 2):40–44.
Registrar, A., R. V. Hospital, dan N. Ireland. 2015. Tutorial 321 difficult mask
ventilation. World Anaesthesia Tutorial of the Week. 1–7.
Sachin Kheterpal, R. Han, K. K. Tremper, A. Shanks, A. R. Tait, M. O’Reilly,
dan T. A. Ludwig. 2006. Incidence and predictors of difficult and impossible
mask ventilation. Anesthesiology
the American Society of Anesthesiologists. 1993. Practice guidelines for
management of the difficult airway: a report by the american society of
anesthesiologists’ task force on management of the difficult airway.
Anesthesiology
the American Society of Anesthesiologists. 2013. Practice guidelines for
management of the difficult airway: an updated report by the american
society of anesthesiologists task force on management of the difficult airway.
Anesthesiology. 118(2)
the American Society of Anesthesiologists. tanpa tahun. Practice guidelines for
26

management of the difficult airway: an updated report by the american


society of anesthesiologists task force on management of the difficult airway.
2003
Yildiz TS, Solak M, dan Toker K. 2005. The incidence and risk factors of difficult
mask ventilation. J Anaesth

Anda mungkin juga menyukai