Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

LARYNGOPHARYNGEAL REFLUX (LPR)

Pembimbing: dr. Anna Maria Suciaty, Sp.THT-KL

Disusun oleh: Arianda Nurbani Widyaputri (030.09.028)

KEPANITRAAN KLINIK ILMU THT RS DR. H. MARZOEKI MAHDI PERIODE 13 JANUARI 2014 15 FEBRUARI 2014 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA
0

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya, Penulis dapat menyelesaikan referat ini sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penulisan referat ini, terutama kepada dr. Anna Maria Suciaty, Sp.THT selaku pembimbing yang telah memberikan waktu dan ilmu selama penulisan referat ini. Sebagai manusia Penulis menyadari masih banyak kekurangan pada referat ini, sehingga kritik dan masukan dari para pembaca akan sangat membantu penulis untuk menyempurnakan tulisan ini. Akhir kata Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya.

Bogor, 10 Februari 2014

Penulis, Arianda Nurbani Widyaputri

LEMBAR PENGESAHAN

Referat yang berjudul Laryngopharingeal Reflux (LPR) telah diterima dan disetujui pada hari Kamis, 6 Februari 2014 oleh dr. Anna Maria Suciaty, Sp.THT sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kepanitraan klinik Ilmu Penyakit Telinga, Hidung, dan Tenggorokan di Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi.

Bogor, 10 Februari 2014

Pembimbing, dr. Anna Maria Suciaty, Sp.THT-KL

PENDAHULUAN

Sejak akhir tahun 1960, refluks gastroesofageal telah dihubungkan dengan patogenesis dari beberapa penyakit ekstraesofageal termasuk laringitis. Walaupun hubungan patogenesis ini telah diperkuat dengan penelitian dan bukti temuan fisik, namun diagnosis serta terapi dari penyakit ini masih memerlukan bukti ilmiah.1 Berbagai gejala, kelainan fungsional dan struktural yang melibatkan laring, dan struktur yang berdekatan lainnya pada proksimal esofagus merupakan spektrum gangguan ini. Pasien dengan tanda dan gejala ekstraesofageal-refluks terkait merupakan 10% masalah yang ditemukan pada praktek otolaryngologi. Istilah seperti laryngopharyngeal reflux (LPR), supraesofageal GERD, atipikal GERD, dan komplikasi ekstraesofageal GERD digunakan untuk

menggambarkan kelompok tanda dan gejala ini. Meski gejala-gejala ini sebelumnya diperkirakan merupakan spektrum dari GERD, LPR dianggap sebagai penyakit yang berbeda dan memiliki penanganan yang berbeda pula dengan GERD. 2 Kegagalan untuk mendiagnosa LPR adalah hal yang berbahaya, sementara overdiagnose LPR dapat menyebabkan tindakan (pemeriksaan penunjang dan obat-obatan) yang sia-sia dan merugikan pasien. Proses serius lainnya yang mungkin dapat menyebabkan gejala yang sama seperti kanker laring juga perlu disingkirkan sebelum dilakukan tindakan konservatif pada LPR.3

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...... 1 LEMBAR PENGESAHAN ..... 2 PENDAHULUAN .... 3 BAB I ANATOMI A. FARING . 4 B. LARING 7 C. ESOFAGUS ... 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. GASTROESOFAGEAL REFLUKS ... 11 B. LARINGOFARINGEAL REFLUKS .. 17 KESIMPULAN .. 24 DAFTAR PUSTAKA ..... 25

BAB I ANATOMI

A. FARING Faring merupakan peralihan ruang antara rongga mulut dan sistem pernapasan dan pencernaan. Ia membentuk hubungan antara daerah hidung dan faring.4 Berdasarkan letaknya faring dapat dibagi menjadi nasofaring, orofaring, dan laringofaring (hipofaring).

Nasofaring Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah adalah palatum mole, ke depan adalah rongga hidung, sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal. Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan erat dengan beberapa struktur penting, seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring dengan resesus faring yang disebut fosa Rosenmuller, kantong Rathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan kartilago tuba Eustachius, koana, foramen jugulare, yang dilalui oleh n.glosofaring, n.vagus,

dan n.asesorius spinal saraf kranila dan v.jugularis interna, bagian laserum dan muara tuba Eustachius.5

Keterangan: Bintang (Superior Turbinate), IT (Inferior Turbinate), MT (Media Turbinate), V(tulang Vomer), panah hitam (torus tubarius)

Orofaring Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas bawahnya adalah tepi atas epiglotis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal. Struktur yang terdapa di rongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatine, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual, dan foramen sekum. 5

Hard palate Soft palate Tonsil Oropharynx Tongue Lips

Tonsil adalah masa yang terdiri dari jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya. Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatine, dan tonsil lingual yang ketiganya membentuk suatu lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. 5 Laringofaring Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas inferior ialah esophagus, serta batas posterior ialah vertebra servikal.

B. LARING Laring merupakan bagian yang terbawah dari saluran napas bagian atas. Bentuknya menyerupai limas segitiga terpancung, dengan bagian atas lebih besar daripada bagian bawah. Batas atas laring adalah aditus laring, sedangkan batas bawahnya ialah batas kaudal kartilago krikoid. 5 Bangunan kerangka laring tersusun dari satu tulang, yaitu tulang hyoid dan beberapa buah tulang rawan. Tulang hyoid berbentuk seperti huruf U yang permukaan atasnya dihubungkan dengan lidah, mandibula dan tengkorak oleh tendo dan otot. Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago epiglottis, kartilago tiroid, kartilago krikoid, kartilago aritenoid, kartilago kornikulata, kartilago kuneiformis, dan kartilago tritisea. 5 Gerakan laring dilaksanakan oleh kelompok otot-otot ekstrinsik dan intrinsik. Otot-otot ekstrinsik terutama bekerja pada laring secara keseluruhan, sedangkan otot-otot intrinsik menyebabkan gerakan bagian-bagian tertentu yang berhubungan dengan gerak pita suara. Otot ekstrinsik laring terdiri dari suprahioid (m.digastrikus, m.geniohioid, m.stilohioid, m.milohioid) dan infrahioid (m.sternohioid, m.omohioid, m.tirohioid). otot intrinsik laring berada pada bagian lateral dan posterior laring, otot-otot ini kebanyakan adalah otot aduktor. Laring dipersarafi oleh cabang-cabang n.vagus yaitu, n.laringis superior dan n.laringis inferior. Kedua saraf ini merupakan campuran saraf motorik dan sensorik. 5

Perdarahan laring berasal dari percabangan a.tiroid superior dan inferior. Arteri yang memperdarahi laring secara langsung dari kedua cabang arteri tersebut adalah a.laringis superior dan a.laringis inferior. 5

Laring memiliki rongga laring yang memiliki batas atas aditus laring, batas bawah bidang yang melalui pinggir bawah kartilago krikoid. Batas depannya ialah permukaan belakang epiglotis, tuberkulum epiglotik, ligamentum tiroepiglotik, sudut antara kedua belah lamina kartilago tiroid dan arkus kartilago tiroid. Batas lateralnya ialah membrane kuadrangularis, kartilago aritenoid, konus elastikus, dan arkus kartilago krikoid. Sedangkan batas belakangnya ialam m.aritenois transverses dan lamina kartilago krikoid. 5

C. ESOFAGUS Bagian saluran pencernaan ini merupakan tabung otot yang berfungsi menyalurkan makanan dari mulut ke lambung. Oesofagus diselaputi oleh epitel berlapis gepeng tanpa tanduk. Pada lapisan submukosa terdapat kelompokan kelenjar-kelenjar oesofagea yang mensekresikan mukus. Pada bagian ujung distal oesofagus, lapisan otot hanya terdiri sel-sel otot polos, pada bagian tengah, campuran sel-sel otot lurik dan polos, dan pada ujung proksimal, hanya sel-sel otot lurik. 4 Esofagus memiliki 3 daerah penyempitan, yaitu: 15cm dari gigi seri bagian atas, esophagus dimulai dari sfingter krikofaringeal. Bagian ini adalah bagian tersempit dari esophagus dan berada kurang lebih setinggi tulang vertebra servikal ke VI. 23cm dari gigi seri bagian atas, bagian esophagus ini berada setinggi percabangan bronkus dimana bersilangan dengan arkus aorta. 40cm dari gigi seri bagian atas, bagian esophagus menembus diafragma. Lower Esophageal Sphincter (LES) terletak pada bagian ini.6

Berdasarkan letak anatominya, esophagus dibagia menjadi 3 bagian yaitu pars servikal (mulai dari krikofaringeal sampai suprasternal), pars torasik (mulai dari suprasternal sampai diafragma), dan pars abdominal (mulai dari diafragma sampai kardiak lambung).6 Perdarahan esophagus berbeda-beda sesuai dengan letak anatominya. Bagian pars servikal diperdarahi oleh a.tiroid inferior, pars torasik oleh cabang langsung dari aorta pars torasik, dan pars abdominal oleh a.frenikus dan a.gastrikus.6

10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. GASTROESOFAGEAL REFLUKS (GER) DEFINISI GER merupakan suatu keadaan dimana isi perut mengalami aliran balik atau regurgitasi melalui 11sophagus menuju bagian proksimal. Gastroesophageal reflux disease (GERD) adalah kondisi yang lebih serius dan kronis dari GER. GER yang terjadi lebih dari dua kali seminggu selama beberapa minggu bisa disebut GERD.7 ETIOLOGI GERD terjadi ketika sfingter esophageal distal yang bertindak sebagai katup antara esophagus dan lambung menjadi lemah atau rileks ketika seharusnya tidak sehingga menyebabkan isi perut naik ke esophagus. Biasanya disebabkan karena kelainan anatomi seperti hernia hiatal.7 FAKTOR PRESDIPOSISI Diet dan gaya hidup berperan penting dalam terjadinya GERD. Makanan dan minuman tertentu seperti coklat, peppermint, gorengan atau makanan berlemak, kopi, atau minuman beralkohol dapat mencetuskan refluks dan sensasi heartburn. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa merokok dapat menyebabkan relaksasi dari sfingter esophagus distal. Obesitas dan kehamilan dapat juga menjadi faktor predisposisi dari gejala-gejala GERD.8 GEJALA KLINIS Gejala klasik yang khas dari GERD adalah nyeri atau rasa tidak enak di epigastrium atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri biasanya dideskripsikan sebagai rasa terbakar (heartburn), kadang bercampur dengan gejala lainnya seperti: Disfagia
11

Mual Rasa pahit di lidah

Heartburn merupakan sensasi seperti terbakar atau tidak enak di dada tepatnya di belakang tulang dada. Biasanya keluhan ini muncul pada saat setelah makan atau malam hari dan memburuk bila dalam posisi berbaring atau membungkuk. Gejala yang timbul terkadang atipikal dan berasal dari ekstraesofageal, seperti: suara serak, laryngitis, dan batuk.9 PATOFISIOLOGI GERD terjadi melalui 3 mekanisme: 1) refluks spontan pada relaksasi LES yang tidak adekuat, 2) aliran retrogard yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan, 3) meningkatnya tekanan intrabdomen. Dengan demikian dapat diterangkan bahwa

pathogenesis terjadinya GERD menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esophagus dan faktor ofensif dari bahan refluksat. Yang termasuk faktor defensif esophagus adalah: Pemisah antirefluks Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurunnya tonus LES dapat menyebabkan timbulnya refluks retrogard pada saat terjadi peningkatan tekanan intrabdomen. Faktor-faktor yang dapat menurunkan tonus LES antara lain: 1) adanya hiatus hernia, 2) panjang LES (semakin pendek semakin rendah tonusnya), 3) obatobatan seperti antikolinergik, beta adrenergik, theofilin, opiat, dan lain-lain, 4) faktor hormonal.9 Namun menurut penelitian terakhir sebagian besar penderita GERD memiliki tonus LES yang baik, yang berperan dalam terjadinya GERD adalah Transient LES Relaxation (TLESR) yaitu relaksasi LES yang bersifat spontan dan berlangsung kurang dari 5 detik tanpa didahului proses menelan. Belum diketahui bagaimana terjadinya TLESR ini, namun diduga berhubungan dengan pengosongan lambung yang lambat dan dilatasi lambung.9 Bersihan asam dari lumen esophagus

12

Faktor-faktor yang berperan pada bersihan asam dari esophagus adalah gravitasi, peristaltik, ekskresi air liur dan bikarbonat. Setelah terjadinya refluks, sebagian besar bahan refluksat akan kembali ke lambung dengan dorongan peristaltik yang dirangsang dengan proses menelan. Sisanya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang dieksresi oleh kelenjar saliva dan kelenjar esophagus.9 Mekanisme bersihan ini sangat penting, karena makin lama kontak antara bahan refluksat dengan esophagus makin besar kemunginan terjadinya esofagitis.9 Ketahanan epithelial esophagus Berbeda dengan lambung dan duodenum, esophagus tidak memiliki lapisan mukus yang melindungi mukosa esophagus.9

Yang dimaksud dengan faktor ofensif dari bahan refluksat adalah potensi daya rusak refluksat. Kandungan lambung yang menambah potensi daya rusak terdiri dari HCl, pepsin, garam empedu, dan enzim pankreas.9

13

DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu diagnosi GERD antara lain: Foto saluran cerna atas dengan kontras Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat bentuk anatomi dari saluran cerna bagian atas, apakah ada kelainan anatomi yang dapat menjadi faktor predisposisi dari timbulnya GERD misal hernia hiatal.7 Endoskopi Teknik yang dipakai adalah Trans Nasal Endosopy (TNE). Pemeriksaan dilakukan untuk melihat keadaan esophagus, menilai derajat kerusakan, dan melakukan biopsy jaringan untuk melihat kelainan patologi anatomi.7
14

Monitoring pH esophagus Pemeriksaan ini mengukur jumlah cairan atau asam di kerongkongan seseorang saat orang tersbeut melakukan kegiatan normal, termasuk makan dan tidur. Pemeriksaan ini dilakukan dengan memasukkan nasogastric probe ke dalam lambung yang dibiarkan selama 24 jam dan akan diambil kembali ketika pemeriksaan sudah selesai.7

Manometri esophageal Manometri esophageal berguna untuk mengukur kekuatan otot esophagus. Dari pemeriksaan ini dapat ditentukan apakah penyebab GERD pada pasien adalah akibat kelemahan otot sfingter.7

PENATALAKSANAAN Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya hidup, terapi medikamentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini dilakukan terapi endoskopik. Modifikasi gaya hidup Hal-hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup adalah sebagai berikut: 1) meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta menghindari makan sebelum tidur setidaknya 3 jam sebelumnya, 2) berhenti merokok dan mengkonsumsi alcohol, 3) mengurangi konsumsi lemak serta mengurangi jumlah makanan yang dimakan, 4) menurunkan berat badan, 5) menghindari makanan/minuman seperti coklat, teh, peppermint, dna minuman bersoda, 6) hindari penggunaan obat-obatan yang dapat menurunkan LES.9 Terapi medikamentosa Obat-obatan yang dapat dipakai untuk terapi GERD antara lain; o Antagonis reseptor H2 (Simetidin, Ranitidin) Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan sampai sedang serta tanpa komplikasi.9 o Obat-obatan prokinetik (Metoklopramid, Domperidon) Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk pengobatan GERD karena penyakit ini dianggap lebih condong kearah gangguan motilitas. Namun pada praktiknya, pengobatan GERD sangat bergantung kepada penekanan sekresi asam lambung.9
15

o Sukralfat Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan pertahanan mukosa esophagus sebagai buffer terhadap HCl di esophagus serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat ini cukup aman diberikan karena bekerja secara topical (sitoproteksi).9 o Penghambat pompa proton (Omeprazol, Lansoprazol, Pantoprazol) Golongon obat ini merupakan drugs of choice dalam pengobatan GERD. Golongan obat ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal. Obat ini sangat efektif dalam menghilangkan keluhan serta penyembuhan lesi esophagus, bahkan pada esofagitis erosive derajat berat serta yang refrakter dengan golongan antagonis reseptor H2.9 Terapi bedah Terapi bedah merupakan terapi alternatif yang penting jika terapi medikamentosa gagal, atau pada pasien GERD dengan striktur berulang. Umunya pembedahan yang dilakukan adalah fundoplikasi. Pada prinsipnya operasi fundoplikasi ini bertujuan untuk menigkatkan tekanan pada bagian distal esophagus sehingga mencegah terjadinya refluks. Operasi ini dapat dilakukan dengan laparotomi maupun dengan teknik endoskopi. Akhir-akhir ini mulai dikembangkan pilihan terapi endoskopi pada pasien GERD, yaitu 1) penggunaan energi radiofrekuens, 2) plikasi gastrik endoluminal, 3) implantasi endoskopik, yaitu menyuntikkan zat sehingga lumen esophagus bagian distal menjadi lebih kecil.9

Teknik operasi fundoplikasi: parsial (Taupet atau Bore) dan komplit (Nissen atau Rossetti)

16

KOMPLIKASI GERD yang tidak diterapi akan menimbulkan komplikasi jangka panjang yang serius, seperti: Esofagitis Striktur esophagus, hal ini dapat menyebabkan gangguan menelan Masalah pada saluran napas Barrets esophagus 7

B. LARINGOFARIGEAL REFLUKS (LPR) DEFINISI LPR adalah suatu kondisi dimana terjadi gerakan retrograde dari isi lambung ke dalam saluran aerodigestif atas (kerongkongan, faring, laring, rongga mulut dan nasofaring). Penyakit ini sering salah didiagnosis atau kurang terdiagnosis.10 LPR dikenal juga dengan berbagai istilah seperti supraesofageal GERD, atipikal GERD, dan komplikasi ekstraesofageal GERD. ETIOLOGI Etiologi terjadinya refluks pada LPR sebagian besar masih belum diketahui, meskipun disfungsi Upper Esophageal Sphincter (UES) telah dihipotesiskan sebagai faktor yang memungkinkan. Walaupun dismotilitas dan disfungsi LES mempunyai peranan penting pada GERD, namun hal itu berkebalikan pada LPR. Bahkan pada pemeriksaan manometri, pada LPR sering ditemukan tidak aadanya gangguan dismotilitas.11 GEJALA KLINIS Pada orang dewasa gejala klinis dapat berupa heartburn atau terasa pahit di belakang tenggorokan, namun gejala klinis GERD lainnya jarang ditemukan. Beberapa gejala yang biasa dikeluhkan oleh pasien antara lain:

17

Sering berdeham untuk membersihkan tenggorokan Batuk-batuk lama Suara serak Perasaan seperti gumpalan di leher yang tidak hilang saat menelan Post nasal drip atau produksi mucus yang berlebihan Sulit menelan Sulit bernapas Nyeri tenggorok12

PATOFISIOLOGI Terdapat 2 hipotesis tentang bagaimana asam lambung menimbulkan respon patologis pada ekstraesofageal. Teori yang pertama, kerusakan struktur laring dan jaringan sekitarnya akibat kontak langsung dengan asam. Teori yang kedua, asam lambung pada esophagus distal menstimulasi refleks vagal yang menyebabkan bronkokonstriksi dan batuk-batuk kronis sehingga menyebabkan lesi pada mukosa. Kedua mekanisme ini bisa juga terjadi secara bersamaan.13 Terdapat 4 barier untuk melindungi daerah aerodigestif bagian atas dari bahan refluks, yaitu: Lower Esophageal Sphincter (LES) Fungsi motorik esophagus dalam proses pembersihan asam Resistensi mukosa esophagus Upper Esophageal Sphincter (UES)

18

Epitel bersilia pada saluran napas sangat sensitif, sehingga kegagalan dari keempat mekanisme diatas dapat dengan mudah merusak silia epitel. Disfungsi dari silia ini akan menyebabkan penumpukan mukus menimbulkan gejala sering berdeham. Iritasi langsung oleh asam lambung pada saluran napas atas akan menyebabkan spasme laring dan menimbulkan batuk kronis.13 DIAGNOSIS Diagnosis LPR dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Untuk membantu dari anamnesis telah dibuat scoring Reflux Symptoms Index (RIS). RIS ini berguna untuk mendokumentasikan gejala LPR dan menilai derajat keparahan LPR. Skor total maksimal 45, dan skor diatas 13 menegakkan diagnosis LPR secara pasti.14

Dalam pemeriksaan fisik, untuk membantu diagnosis LPR dibuat Reflux Finding Score (RFS). RFS adalah indeks yang dirancang untuk menilai keparahan klinis berdasarkan temuan laryngoskopi. Skor berkisar dari 0 (normal) sampai 26 (paling parah), dengan skor 11 atau di atas dianggap menjadi indikasi LPR.15

19

(A) posterior pharyngeal wall cobblestoning, (B) interarytenoid bar with erythema, (C) posterior commissure with erythema and surface irregularity, (D) posterior cricoid wall edema, (E) arytenoid complex with apex edema, erythema, and medial wall erythema, (F) true vocal folds with edema, (G) false vocal folds erythema, (H) anterior commissure erythema, (I) epiglottis erythema, and (J) aryepiglottic fold edema.

20

Walau pun terkadang sudah tampak jelas diagnosis LPR dari kedua skor tersebut terkadang masih terjadi misdiagnose. Hal ini disebabkan karena gejala LPR yang tidak spesifik dan hampir mirip dengan penyakit lainnya, terutama keluha suara serak. Table berikut adalah contoh menyingkirkan diagnosis banding dari LPR:

Dalam mendiagnosis LPR penting untuk menyingkirkan kemungkinan kanker laring atau keganasan lainnya yang mungkin menyebabkan gejala klinis yang serupa. Oleh karena itu penting sekali untuk mencegah terjadinya underdiagnose dan overdiagnose pada LPR. Beberapa pemeriksaan penunjang berikut dapat digunakan untuk membantu diagnosis dari LPR: Barium esophagografi Pemeriksaan ini berguna untuk melihat kelainan struktural yang mungkin mendukung diagnosis kea rah GERD, misal hiatal hernia, striktur esophagus, atau penyempitan distal esophagus. Secara keseluruhan, barium esophagografi hanya memiliki sensitivitas 33% dalam mendiagnosis refluks.13 Laringoskopi Laringoskopi adalah prosedur yang biasa dilakukan untuk mendiagnosis LPR. Pemeriksaan dengan menggunakan flexible laryngoscopy lebih sensitive namun tidak lebih spesifik dari menggunakan rigid laryngoscopy dalam mendeteksi kerusakan jaringan laring.13 Endoskopi
21

Ditemukannya tanda-tanda peradangan esophagus pada pemeriksaan endoskopi tidak memberatkan GERD sebagai etiologi dalam gangguan supraesofageal. Namun pemeriksaan ini dapat membantu klinisi untuk menerangkan penyakitnya pada pasien. Gambaran esofagitis tidak selalu ditemukan pada pasien LPR. Monitoring pH faringoesofageal Monitoring ini pernah dianggap sebagai standar untuk mendiagnosis refluks. Namun, modalitas diagnostic ini kurang sensitif pada mereka dengan manifestasi gejala ekstraesofageal dari GERD. Selain itu, data terakhir menunjukkan bahwa temuan abnormal pemantauan pH tidak dapat memprediksi respon dari terapi. Pada pemeriksaan ini pH probe distal diletakkan 5 cm di atas LES dan pH probe proksimal diletakkan 20 cm di atas LES. Lalu pada daerah faring diletakkan pH probe ke 3 untuk merekam perubahan asam yang terjadi.16 PENATALAKSANAAN Edukasi dan perubahan perilaku Perubahan perilaku yang sangat penting temasuk menurunkan berat badan, berhenti merokok, dan hindari minuman beralkohol. Diet yang ideal meliputi pantangan terhadap coklat, lemak, buah yang asam, minuman bersoda, makanan pedas, red wine, kafein, dan makan tengah malam. Perubahan perilaku menunjukkan perubahan yang signifikan pada penderita LPR yang disertai dengan terapi medikamentosa. Edukasi mengenai aturan meminum obat 30 sampai 60 menit sebelum makan juga penting untuk optimalisasi kerja obat.17 Medikamentosa Terdapat empat kategori obat yang dapat dipakai untuk terapi LPR, yaitu golongan penghambat pompa poton, agonis reseptor H2, agen prokinetik, dan krioprotektan mukosa. Penghambat pompa proton merupakan pilihan utama dalam pengobatan medikamentosa LPR. Obat ini paling efektif dalam mengataasi GERD yang meilabtkan esophagus. Walaupun efektif namun dosisi yang lebih tinggi dan durasi waktu yang lebih lama dibutuhkan dibandingkan dengan penyakit esophagus akibat GERD.18 Operasi
22

Jika penatalaksanaan dengan medikamentosa gagal sedangkan pasien terbukti memilki volume refluks yang tinggi dan memiliki LES yang inkompeten maka ini merukan indikasi untuk dilakukannya prosedur operasi. Fundoplikasi baik yang komplit (Nissen atau Rossetti) maupun parsial (Taupet atau Bore) adalah prosedur yang paling sering dilakukan. Tujuan dari operasi ini adalah untuk mengembalikan fungsi LES yang nantinya akan menurunkan episode terjadinya refluks.19

KOMPLIKASI LPR yang tidak diobati akan menyebabkan komplikasi seperti: odinofagia, batuk-batuk kronis, sinusitis, infeksi telinga, pembengkakan pita suara, ulkus pada plika vokalis, pembentukan granuloma (massa) di tenggorokan, dan perburukan asma, emfisema, serta bronchitis. LPR yang dibiarkan saja juga kemungkinan berperan dalam perkembangan kanker pada daerah laring.20
23

KESIMPULAN

LPR adalah suatu kondisi dimana terjadi gerakan retrograde dari isi lambung ke dalam saluran aerodigestfe atas (kerongkongan, faring, laring, rongga mulut dan nasofaring). Etiologi drai LPR sampai saat ini diperkirakan akibat disfungsi dari Upper Esophagus Sphincter (UES) sehingga menyebabkan refluk asam lambung sampai ke daerah faring. Gejala klinis dari LPR tidak spesifik dan sangat beragam, namun kebanyakan pasien mengeluhkan rasa mengganjal di tenggorokan, batuk-batuk lama, dan suara serak. Diagnosis LPR dapat ditegakkan dengan bantuan skoring Reflux Symptoms Index (RSI) dan Reflux Finding Score (RFS). Terapi utama pada LPR adalah pemberian PPI. GERD dan LPR memiliki banyak kesamanaan mulai dari etiologi, faktor predisposisi, patofisiologi, sampai dengan penatalaksanaan. Masih ada beberapa referensi yang

menyampaikan bahwa kedua penyakit ini saling berhubungan. Kebanyakan menyatakan bahwa LPR merupakan kelanjutan atau komplikasi dari GERD yang gagal diobati. Namun kenyataannya dari beberapa jurnal penelitian ditemukan bahwa hampir sebagian besar pasien dengan LPR tidak memiliki gejala klinis bahkan kelainan anatomi seperti yang telah dikemukakan pada tinjauan pustaka mengenai GERD.

24

DAFTAR PUSTAKA

1. Cherry J, Margulies SI. Contact ulcer of the larynx. Laryngoscope. Nov 1968;78(11):193740. 2. Ford CN. Evaluation and management of laryngopharyngeal reflux. JAMA. Sep 28 2005;294(12):1534-40. 3. Maronian NC, Azadeh H, Waugh P, Hillel A. Association of laryngopharyngeal reflux disease and subglottic stenosis. Ann Otol Rhinol Laryngol. Jul 2001;110(7 Pt 1):606-12. 4. Sistem Pencernaan. Available at: http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/Bb1-Digesti.pdf. Accessed on: 21 January 2014 5. Soepardi E.A, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti R.D. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Ed.VI. 2007. Jakarta: Balai Penerbut FKUI. hlm 6. Gray H. Chapter 35: Mediastinum. In: Standring S, ed. Gray's Anatomy: The Anatomical Basis of Clinical Practice. 40th ed. New York, NY: Churchill Livingstone Elsevier; 2008:939-57. 7. Gastroesophageal Reflux (GER) and Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) in Adults. Available at : http://digestive.niddk.nih.gov/ddiseases/pubs/gerd/. Updated on: 23 August 2013. Accessed on: 21 January 2014. 8. Gastroesophageal Reflux Disease (GERD). Available at: http://www.webmd.com/heartburngerd/guide/reflux-disease-gerd-1?page=4. Updated on: 21 June 2013. Accessed on: 21 January 2014. 9. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Ed.V. Jakarta: Interna Publishing. 2007. hlm 482, 480-1. 10. Laryngopharyngeal Reflux. Available at: http://www.medicalobserver.com.au/news/laryngopharyngeal-reflux. Updated on: 30 April 2013. Accessed on: 4 February 2014. 11. Ossakaow SJ, Elta G, Colturi T, et al. Esophageal reflux and dysmotility as the basis for persistent cervical symptoms. Ann Otol Rhinol Laryngol 1987;96:387392.

25

12. Laryngopharyngeal Reflux (Silent Reflux). Available at: http://www.webmd.com/heartburngerd/guide/laryngopharyngeal-reflux-silent-reflux?page=2. Updated on: 25 August 2012. Accessed on: 22 January 2014. 13. Burton LK Jr, Murray JA, Thompson DM. Ear, nose, and throat manifestations of gastroesophageal reflux disease. Complaints can be telltale signs. Postgrad Med. Feb 2005;117(2):39-45. 14. Rating Laryngopharingeal Reflux Severity: How Do Two Common Instrument Compare. Available at: http://www.enttoday.org/details/article/531917/Rating_Laryngopharyngeal_Reflux_Severity _How_Do_Two_Common_Instruments_Compare.html. Accessed on: 4 February 2014. 15. Belafsky PC, Postma GN, Koufman JA. The validity and reliability of the Reflux Finding Score (RFS). Laryngoscope. 2001;111:1313-1317 16. Ahmed TF, Khandwala F, Abelson TI, et al. Chronic laryngitis associated with gastroesophageal reflux: prospective assessment of differences in practice patterns between gastroenterologists and ENT physicians. Am J Gastroenterol. Mar 2006;101(3):470-8. 17. Steward DL, Wilson KM, Kelly DH. et al. Proton pump inhibitor therapy for chronic laryngo-pharyngitis: a randomized placebo-control trial. Otolaryngol Head Neck

Surg. 2004;131:342-350 18. Berardi RR. A critical evaluation of proton pump inhibitors in the treatment of gastroesophageal reflux disease. Am J Manag Care. 2000;6:S491-S505 19. Hopkins C, Yousaf U, Pedersen M. Acid reflux treatment for hoarseness

[protocol]. Cochrane Database Syst Rev2005(3) Accession No. 00075320-10000000-03935 20. Laryngopharyngeal Reflux. Available at: http://my.clevelandclinic.org/head-neck/diseasesconditions/hic-laryngopharyngeal-reflux-lpr.aspx. Accessed on: 22 January 2014.

26

Anda mungkin juga menyukai