Anda di halaman 1dari 30

SMF/BAGIAN ILMU PENYAKIT THT-KL LAPORAN KASUS

RSUD dr. T. C. HILLERS JULI 2019

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

LARINGOPHARINGEAL REFLUX (LPR)

Disusun oleh :

Tekla Windyanita Sengi, S.Ked

(1508010004)

Pembimbing :

dr. Fransiska Tricia da Lopez, Sp. THT-KL

DIBAWAKAN DALAM KEPANITERAAN KLINIK

SMF/BAGIAN ILMU PENYAKIT THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA

RSUD dr. T. C. HILLERS


MAUMERE

2019
BAB 1

PENDAHULUAN

Laryngopharyngeal Reflux (LPR) terjadi ketika asam lambung dan enzim


pepsin naik dari lambung menuju esofagus dan mengiritasi laring dan faring. Gejala
dari LPR ini akan mengakibatkan perubahan suara, nyeri pada tenggorok, batuk
kering, susah menelan ataupun rasa penuh pada tenggorok. Adanya kegagalan dari
fungsi sfingter atas esofagus merupakan salah satu faktor untuk terjadinya LPR.
LPR termasuk dari salah satu manifestasi refluks ekstra esofagus yang
berhubungan dengan gastroesophageal reflux (GERD), hanya saja kejadian GERD
berhubungan dengan disfungsi dari sfingter bawah esofagus. Angka kejadian LPR
cukup sering, diperkirakan LPR menyerang sekitar 20% dari populasi dewasa di
Amerika Serikat dan pada beberapa studi dikatakan 50% yang mengalami suara
serak menderita LPR.
Gejala dari LPR harus dibedakan dari gejala GERD. Kebanyakan pasien
dengan LPR tidak mengeluhkan adanya rasa terbakar di dada. Tujuh puluh satu
persen penderita mengeluhkan suara serak yang disertai rasa penuh di tenggorokan.
Pada setiap penderita yang dicurigai menderita LPR harus dilakukan 2 penilaian
untuk melihat skor reflux. Penilaian tersebut adalah Reflux System Indtex (RSI) dan
Reflux Finding Score (RFS). Dua penilaian ini digunakan untuk menegakkan
diagnosis dari LPR.
Penatalaksanaan LPR dibagi menjadi 3 yaitu perubahan pola hidup dan
edukasi pasien, terapi medikamentosa dan bedah. Hal yang perlu diperhatikan dari
LPR adalah skrining untuk menilai adanya kanker esofagal karena LPR merupakan
salah satu faktor risiko untuk terjadinya esophageal adenocarcinoma (EAC) pada
orang dewasa karena dapat mengakibatkan perubahan mukosa esofagus dan
mengakibatkan karsinoma esofagus.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi

2.1.1 Anatomi Faring

Faring merupakan tabung muskular yang berukuran 12,5-14 cm yang


merentang dari bagian dasar tulang tengkorak sampai esofagus. Faring
berhubungan dengan hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan mulut
melalui ismus orofaring, sedangkan dibawahnya berhubungan dengan laring
melalui aditus laring dan kebawahnya berhubungan dengan esofagus. Faring
terbagi menjadi tiga, yaitu:

1. Nasofaring adalah bagian posterior rongga nasal yang membuka ke arah


rongga nasal melalui dua nares internal (koana). Pada nasofaring terdapat
dua tuba eustacius dan amandel faring (adenoid) adalah penumpukan
jaringan limfatik yang terletak di dekat nares internal. Pembesaran adenoid
dapat menghambat aliran udara.
2. Orofaring disebut juga mesofaring, dimana batas atasnya adalah palatum
mole, batas bawah adalah tepi atas epiglotis, batas depan rongga mulut,
sedangkan ke belakang dengan vertebra servikal.
3. Laringofaring atau hipofaring merupakan bagian paling kaudal dari faring
dan tempat di mana tenggorokan berhubungan dengan esofagus. Batas
superiornya adalah tepi atas epiglotis, batas anterior adalah laring, batas
inferior adalah esofagus, serta batas posterior adalah vertebra servikal.
Laringofaring terletak inferior dari epiglotis dan melebar hingga lokasi di
mana jalur ini bercabang menjadi jalur pernapasan (laring) dan pencernaan
(esofagus). Pada titik ini, laringofaring berhubungan langsung/menyatu
dengan esophagus secara posterior. Esofagus mengalirkan makanan dan
cairan menuju lambung; sedangkan udara masuk ke laring pada bagian
anterior. Ketika menelan, makanan akan masuk ke jalurnya sedangkan
aliran udara akan sementara terhenti.

2.1.2 Anatomi Laring

Laring merupakan bagian yang terbawah dari saluran napas bagian atas.
Bentuknya menyerupai limas segitiga terpancung, dengan bagian atas lebih besar
daripada bagian bawah. Batas atas laring adalah aditus laring, sedangkan batas
bawahnya ialah batas kaudal kartilago krikoid.

Bangunan kerangka laring tersusun dari satu tulang, yaitu tulang hyoid dan
beberapa buah tulang rawan. Tulang hyoid berbentuk seperti huruf ‘U’ yang
permukaan atasnya dihubungkan dengan lidah, mandibula dan tengkorak oleh
tendo dan otot. Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago epiglottis,
kartilago tiroid, kartilago krikoid, kartilago aritenoid, kartilago kornikulata,
kartilago kuneiformis, dan kartilago tritisea.

Gerakan laring dilaksanakan oleh kelompok otot-otot ekstrinsik dan intrinsik.


Otot-otot ekstrinsik terutama bekerja pada laring secara keseluruhan, sedangkan
otot-otot intrinsik menyebabkan gerakan bagian-bagian tertentu yang berhubungan
dengan gerak pita suara. Otot ekstrinsik laring terdiri dari suprahioid (m.digastrikus,
m.geniohioid, m.stilohioid, m.milohioid) dan infrahioid (m.sternohioid,
m.omohioid, m.tirohioid). Otot intrinsik laring berada pada bagian lateral dan
posterior laring, otot-otot ini kebanyakan adalah otot aduktor. Laring dipersarafi
oleh cabang-cabang n.vagus yaitu, n.laringis superior dan n.laringis inferior. Kedua
saraf ini merupakan campuran saraf motorik dan sensorik.

Laring memiliki rongga laring yang memiliki batas atas aditus laring, batas
bawah bidang yang melalui pinggir bawah kartilago krikoid. Batas depannya ialah
permukaan belakang epiglotis, tuberkulum epiglotik, ligamentum tiroepiglotik,
sudut antara kedua belah lamina kartilago tiroid dan arkus kartilago tiroid. Batas
lateralnya ialah membrane kuadrangularis, kartilago aritenoid, konus elastikus, dan
arkus kartilago krikoid. Sedangkan batas belakangnya ialah m.aritenois transverses
dan lamina kartilago krikoid.

2.1.3 Anatomi Esofagus

Esofagus merupakan bagian saluran cerna yang menghubungkan hipofaring


dengan lambung. Bagian proksimalnya disebut introitus esofagus yang terletak
setinggi batas bawah kartilago krikoid atau setinggi vertebra servikal 6. Di dalam
perjalanannya dari daerah servikal, esofagus masuk ke dalam rongga toraks. Di
dalam rongga toraks , esofagus berada di mediastinum superior antara trakea dan
kolumna vertebra terus ke mediastinum posterior di belakang atrium kiri dan
menembus diafragma setinggi vertebra torakal 10 dengan jarak kurang lebih 3 cm
di depan vertebra. Akhirnya esofagus ini sampai di rongga abdomen dan bersatu
dengan lambung di daerah kardia.

Berdasarkan letaknya esofagus dibagi dalam bagian servikal, torakal dan


abdominal. Esofagus menyempit pada tiga tempat. Penyempitan pertama yang
bersifat sfingter terletak setinggi tulang rawan krikoid pada batas antara esofagus
dengan faring, yaitu tempat peralihan otot serat lintang menjadi otot polos.
Penyempitan kedua terletak di rongga dada bagian tengah, akibat tertekan
lengkung aorta dan bronkus utama kiri. Penyempitan ini tidak bersifat sfingter.
Penyempitan terakhir terletak pada hiatus esofagus diafragma yaitu tempat esofagus
berakhir pada kardia lambung. Otot polos pada bagian ini murni bersifat sfingter.
Inervasi esofagus berasal dari dua sumber utama, yaitu saraf parasimpatis nervus
vagus dan saraf simpatis dari serabut-serabut ganglia simpatis servikalis inferior,
nervus torakal dan n. Splangnikus.

2.1.2 Fisiologi Menelan

Proses menelan merupakan proses yang kompleks. Setiap unsur yang


berperan dalam proses menelan harus bekerja secara terintigrasi dan
berkesinambungan. Keberhasilan mekanisme menelan ini tergantung dari
beberapa faktor, yaitu:

1. Ukuran bulus makanan


2. Diameter lumen esofagus
3. Kontraksi peristaltik esofagus
4. Fungsi sfingter esofagus bagian atas dan bagian bawah
5. Kerja otot-otot rongga mulut dan lidah

Integrasi fungsional yang sempurna akan terjadi bila system neuromuskular


mulai dari susunan saraf pusat, batang otak, persarafan sensorik dinding faring dan
uvula, persarafan ekstrinsik esofagus serta persarafan intrinsik otot-otot esofagus
bekerja denggan baik, sehingga aktivitas motorik berjalan dengan lancar.
Kerusakan pada pusat menelan atau kerusakan pada organ-organ menelan dapat
menyebabkan kegagalan aktivitas komponen orofaring, otot lurik esofagus dan
sfingter esofagus bagian atas maupun bagian bawah.
Proses menelan dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu fase oral, fase faringeal
dan fase esophageal.
1. Fase Oral
Pada fase oral ini akan terjadi proses pembentukan bolus makanan yang
dilaksanakan oleh gigi geligi, lidah, palatum mole, otot-otot pipi dan saliva untuk
menggiling dan membentuk bolus dengan konsistensi dan ukuran yang siap untuk
ditelan. Proses ini berlangsung secara di sadari.
2. Fase Faringeal
Fase ini dimulai ketika bolus makanan menyentuh arkus faring anterior (arkus
palatoglosus) dan refleks menelan segera timbul. Bolus dengan viskositas yang
tinggi akan memperlambat fase faringeal, meningkatkan waktu gelombang
peristaltik dan memperpanjang waktu pembukaan sfingter esofagus bagian atas.
Bertambahnya volume bolus menyebabkan lebih cepatnya waktu pergerakan
pangkal lidah, pergerakan palatum mole dan pergerakan laring serta pembukaan
sfingter esofagus bagian atas. Waktu Pharyngeal transit juga bertambah sesuai
dengan umur.
3. Fase Esofageal
Pada fase esofageal proses menelan berlangsung tanpa disadari. Bolus
makanan turun lebih lambat dari fase faringeal yaitu 3-4 cm/ detik.
Fase ini terdiri dari beberapa tahapan :
1. Dimulai dengan terjadinya relaksasi m.kriko faring. Gelombang peristaltik
primer terjadi akibat kontraksi otot longitudinal dan otot sirkuler dinding
esofagus bagian proksimal. Gelombang peristaltik pertama ini akan diikuti
oleh gelombang peristaltik kedua yang merupakan respons akibat regangan
dinding esofagus.
2. Gerakan peristaltik tengah esofagus dipengaruhi oleh serabut saraf pleksus
mienterikus yang terletak diantara otot longitudinal dan otot sirkuler dinding
esofagus dan gelombang ini bergerak seterusnya secara teratur menuju ke
distal esofagus.
2.2 Laringopharingeal Reflux

2.2.1 Definisi

Laryngopharyngeal Reflux (LPR) adalah gejala kronis atau kerusakan


mukosa laring yang disebabkan oleh refluks abnormal isi lambung ke dalam saluran
napas bagian atas.

2.2.2 Epidemiologi

Pada penelitian yang di lakukan di amerika diperkirakan 75 juta penduduk


diperkirakan menderita GERD, dimana 50% dari populasi ini menunjukan gejala
LPR atau extraesophageal reflux (EER). Prevalensi pasien dengan keluhan LPR
berkisar antara 15-20% dan lebih dari 15% pasien tersebut berobat ke dokter
spesialis THT dengan manifestasi keluhan LPR. Kasus LPR 4-10% terdapat pada
pasien dengan PRGE.
Kejadian laringofaringeal refluks sering ditemukan di negara-negara barat
dengan angka kejadian 10-15% dan umumnya mengenai usia diatas 40 tahun
(35%). Faktor umur bisa dijadikan faktor prognosis yang menentukan keberhasilan
refluks laringofaring. Pada usia di atas 40 tahun terjadi perubahan mukosa laring
yaitu edema lapisan superfisial pada lamina propria terutama pada wanita setelah
menopause. Perubahan terjadi pada kelenjar di laring menyebabkan produksi
mukus berkurang, secara histologis pada usia tua sedikit ditemukan granular
retikulum endoplasmik dan aparatus Golgi di mukus dan serosa laring, sehingga
secara kualitas dan kuantitas sekresinya berkurang. Perubahan juga terjadi pada
mukosa epitel vokal fold menjadi lebih tipis, menyebabkan pada usia di atas 40
tahun keadaan laring menjadi rentan apabila terpapar zat asam sehingga
meningkatkan angka kejadian kasus LPR.

2.2.3 Etiologi

Beberapa penyebab yang dapat menimbulkan LPR adalah sebagai berikut

 Refluks secara retrograd dari asam lambung atau isinya seperti pepsin ke
saluran esofagus atas hingga mencapai laring dan menimbulkan cedera mukosa
 Pajanan asam esofagus distal akan merangsang refleks vagal yang
menyebabkan terjadinya spasme bronkus, batuk, sering meludah, menyebabkan
perubahan inflamasi pada laring dan faring.
 Defek pada enzim karbonat anhydrase isoenzyme III

2.2.4 Patofisiologi

LPR mengacu pada aliran balik isi lambung ke dalam laring, faring, dan
saluran aerodigestive atas. Pada individu normal, sfingter esofagus bagian atas
(UES) dan sfingter esofagus bagian bawah (LES) bekerja sama untuk mencegah
refluks isi lambung tersebut sampai ke esofagus. Dengan demikian, hal patologis
utama pada LPR yaitu pada disfungsi UES.

Ketika terjadi refluks pada UES, menyebabkan isi lambung tersebut


memungkinkan untuk melakukan kontak dengan segmen laringofaringeal. Asam
lambung dan enzim pepsin menyebabkan kerusakan langsung pada mukosa laring.
Hal ini menyebabkan gangguan pembersihan mukosiliar, menyebabkan lendir
stasis yang selanjutnya memperburuk iritasi mukosa dan memberikan kontribusi
untuk gejala pasien seperti post nasal drip, pembersihan tenggorokan, dan sensasi
globus. Iritasi cairan refluks secara langsung menyebabkan terjadinya batuk dan
tersedak (laringospasme) akibat sensitivitas saraf sensoris laring terangsang dengan
inflamasi lokal. Kombinasi faktor-faktor ini menyebabkan terjadinya edema plika
vokalis, ulkus kontak, dan granuloma yang menyebabkan timbulnya gejala LPR:
suara serak, globus pharyngeus, dan nyeri tenggorok.

Fungsi utama dari UES adalah menjaga masuknya udara masuk kedalam
esofagus selama respirasi dan menjaga sekresi gaster masuk ke faring sewaktu
refluks. Adanya penyimpangan pada fungsi yang kedua tersebut diyakini sebagai
penyebab kerusakan primer pada LPR, yang bermanifestasi terjadinya refluks yang
mencapai laryngopharyng.

Disfungsi dari sfingter esofagus bagian atas (UES) diyakini bukan


merupakan penyebab satu-satunya terjadi LPR, beberapa studi telah menemukan
aspek biokimia, mencatat korelasi antara LPR dan penurunan kadar isoenzim
karbonik anhidrase III (CA-III). Carbonic anhydrase isoenzyme III (CA III)
merupakan enzim dengan kemampuan buffer yang akan meningkat saat esofagus
berespon terhadap asam. Namun, CA III akan menurun pada jaringan laring yang
rusak akibat asam dan pepsin, hal ini akan semakin memperburuk proteksi laring.

2.2.5 Diagnosis

Diagnosa LPR ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta


pemeriksaan penunjang. Hal yang penting ditanyakan apakah ada perubahan suara
terutama perubahan suara yang intermitten di siang hari. Jika ada keluhan ini perlu
ada kecurigaan akan LPR. Gejala lain yang sering dikeluhkan pasien adalah rasa
seperti tersangkut di tenggorok (Globus sensation), mendehem (throat clearing),
batuk. Gejala lain seperti nyeri tenggorok, penumpukan dahak di tenggorok,
obstruksi jalan nafas intermiten, post nasal drip, wheezing, halitosis dan disfagia
dapat timbul. Suara serak merupakan gejala utama pada LPR yang paling nyata dan
utama. Gejala-gejala esofagus yang dapat ditemui pada pasien LPR seperti rasa
seperti terbakar di dada 37 % dan regurgitasi 3%. Pola hidup seperti kebiasaan
merokok dan mengkonsumsi alkohol, 92% ditemukan pada pasien dengan penyakit
refluks. Rokok dan alkohol sebagai salah satu penyebab penurunan tekanan
esofagus bawah, kelemahan tahanan mukosa, memanjangnya waktu pengosongan
lambung dan merangsang sekresi lambung.

Terdapat dua bentuk penilaian yang digunakan dalam menentukan


diagnosis LPR, yaitu reflux system index (RSI) dan reflux finding score (RFS).
Penilaian skor RSI didasarkan oleh 9 pertanyaan yang diberikan pada pasien, setiap
pertanyaan memiliki skala dari 0 sampai 5. Nilai 0 menampilkan tidak ada masalah
sedangkan nilai 5 diartikan sebagai masalah berat. Jumlah total dari RSI adalah 45
dan dicurigai LPR apabila skor RSI >13.

Apakah Beberapa Permasalahan Berikut Mengganggu 0 = tidak menganggu


Anda ? 5 = sangat mengganggu
1. Suara serak atau terdapat permasalahan dengan suara anda 0 1 2 3 4 5
2. Sering membersihkan dahak anda 0 1 2 3 4 5
3. Lendir berlebihan di tenggorokan atau post nasal drip 0 1 2 3 4 5
4. Kesulitan menelan makanan, minuman, atau pil 0 1 2 3 4 5
5. Batuk setelah anda makan atau berbaring 0 1 2 3 4 5

6. Kesulitan bernafas atau sering tersedak 0 1 2 3 4 5


7. Batuk yang sangat mengganggu 0 1 2 3 4 5
8. Sensasi sesuatu menempel di tenggorokan atau benjolan di 0 1 2 3 4 5
tenggorokan anda
9. Dada seperti terbakar (heartburn), nyeri dada, gangguan 0 1 2 3 4 5
pencernaan, atau refluks asam lambung
TOTAL SKOR

Pada RFS, skor dinilai berdasarkan delapan temuan fisik yang berhubungan
dengan gejala LPR. Penilaian diukur berdasarkan grading dengan jumlah total skor
26. Apabila skor yang ditemukan lebih dari 7 maka dicurigai untuk terjadinya LPR.
KONDISI SKOR
1. Edema subglotis 0 = tidak ditemukan
2 = ditemukan
2. Obliterasi ventrikular 2 = sebagian
4 = komplit
3. Erithema / hiperemia 2 = hanya pada arythenoid
4 = tersebar difus
1 = ringan
4. Edema vocal cord 1 = edema ringan
2 = edema sedang
3 = edema berat
4 = polipoid
5. Edema laring difus 1 = edema ringan
2 = edema sedang
3 = edema berat
4 = obstruksi
6. Hipertrofi komisura-P 1 = edema ringan
2 = edema sedang
3 = edema berat
4 = obstruksi
7. Jaringan granulasi / granuloma 0 = tidak ditemukan
2 = ditemukan
8. Lendir endolaryngeal tebal 0 = tidak ditemukan
2 = ditemukan
TOTAL SKOR

Ada beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan pada setiap kasus yang
dicurigai LPR, yaitu :
1. Laringoskopi
Pemeriksaan dengan laringoskopi untuk LPR terbagi menjadi dua yaitu
laringoskopi indirek (indirect laryngoscopy/IL) dan laringoskopi fleksibel
(flexible fibreobtic laryngoscopy). Pada pemeriksaan ini biasanya akan
ditemukan hipertrofi dari komissura posterior, edema dan eritema pada plica
vokalis dan kerusakan pada ventrikular band. Pemeriksaan ini sangat
penting untuk menilai Reflux Finding Score. Adanya edema dan eritema
pada plika vokalis, walaupun bukan tanda patogmonis namun sudah dapat
menguatkan adanya tanda peradangan pada laring.
2. Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi biasanya tidak dilakukan saat awal, namun
pemeriksaan ini dapat menilai derajat beratnya dari perubahan mukosa pada
esofagus. Pada LPR hanya 30% temuan esofagitis pada pemeriksaan
endoskopi.
3. 24-hour pH Monitoring
Pemeriksaan pH 24 jam ini atau Prolonged Ambulatory pH Monitoring
berfungsi untuk menilai refluks yang terjadi pada kasus GERD maupun
LPR. Pemeriksaan ini biasanya dilakukan apabila pengobatan tidak
memberikan respon yang baik dan gejala yang ditampilkan cukup berat.
Pemeriksaan ini merupakan gold standard untuk LPR karena dapat
membedakan refluks asam yang terjadi pada sfingter esofagus atas ataupun
bawah. sehingga dapat menentukan adanya LPR atau GERD. Kelemahan
pemeriksaan ini adalah mahal, invasif dan tidak nyaman dan dapat
ditemukan hasil negative palsu sekitar 20%.Hal ini dikarenakan pola refluks
pada pasien LPR yang intermittent atau berhubungan dengan gaya hidup
sehingga kejadian refluks dapat tidak terjadi saat pemeriksaan.
2.2.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan LPR tidak lepas dari 3 kategori utama yaitu edukasi pasien
dan modifikasi gaya hidup dan diet, terapi medikomentosa serta terapi bedah. Hal
yang perlu diperhatikan bahwa penyakit ini merupakan penyakit dengan kondisi
kronik yang berulang sehingga pengobatan yang diberikan tidak akan menghasilkan
proses penyembuhan yang cepat.

Pada saat riwayat penyakit dan pemeriksaan klinis mengarah ke LPR, pasien
diinstruksikan untuk merubah gaya hidup dan pola makanan. Terapi Proton pump
inhibitor (PPI) pada awal diberikan dan pasien dinilai kembali setelah 3 bulan
terapi. Apabila terapi tidak respon maka akan dilakukan pemeriksaan lain dan
monitor yang berkelanjutan. Apabila terapi memperlihatkan kemajuan maka gejala
akan mereda dan pengobatan PPI akan diturunkan dosisnya.

Suspect LPR RSI > 13 Terapi empiris,


berdasarkan gejala dan/atau perubahan gaya hidup,
klinis RSF > 7 PPI, H2B

Follow up setelah 3 bulan


Gejala menetap
namun keluhan
berkurang

Dosis PPI Gejala tidak


Gejala teratasi ditingkatkan responsif

Turunkan dosis Mengesampingkan alergi,


PPI dan H2B tidak patuh berobat, alkohol,
merokok, asma,
penyalahgunaan suara

Terapi definitif : pH
monitoring dan atau
pembedahan

1. Edukasi dan modifikasi gaya hidup dan diet


Pemeriksa harus menasehati pasien mengenai hal-hal yang dapat
meningkatkan aliran refluks asam lambung yaitu pasien sebaiknya tidak merokok
karena nikotin yang terkandung dalam rokok dapat merilekskan sfingter esofagus
dan merokok juga merangsang produksi asam lambung, Mengurangi berat badan
jika berlebih karena kelebihan berat badan meningkatkan tekanan di perut yang bisa
mendorong isi lambung melawan sfingter bawah esofagus, makan dengan porsi
kecil, lebih sering karena makan besar akan melebarkan perut dan meningkatkan
tekanan terhadap sfingter esofagus, tidak makan 2-3 jam sebelum tidur karena
berbaring dapat membuat isi lambung lebih mudah masuk esofagus oleh karena itu
harus meninggikan posisi kepala, tidak memakai pakaian yang ketat atau ikat
pinggang yang terlalu ketat karena bisa menekan perut, memaksakan isi lambung
ke esofagus. Pasien juga harus diingatkan untuk memodifikasi dietnya, seperti tidak
memakan makanan yang dapat mengiritasi lambung dan esofagus seperti kopi,
minuman berkarbonasi, coklat, jus citrus, alkohol, tomat ataupun makanan
berlemak. Selain itu, edukasi pasien mengenai jadwal pemberian obat PPI
(omeperazole, lansoprazole, dan pantoprazole) yang bekerja optimal bila diberikan
30-60 menit sebelum makan.
2. Terapi Medikamentosa
Terdapat 4 macam obat yang digunakan dalam terapi LPR yaitu PPI atau
Proton-pump Inhibitor, obat-obat antagonis H2, obat-obat prokinetik dan obat-obat
proteksi sel atau cytoprotective. PPI merupakan terapi LPR yang utama dan paling
efektif dalam menangani kasus refluks. Cara kerja PPI dengan menurunkan kadar
ion hidrogen cairan refluks tetapi tidak dapat menurunkan jumlah dan durasi
refluks. PPI dapat menurunkan refluks asam lambung sampai lebih dari 80%. Akan
tetapi efektifitas obat terhadap LPR tidak seoptimal efektifitasnya pada kasus
GERD. Akan tetapi pengobatan PPI ternyata cukup efektif dengan catatan harus
menggunakan dosis yang lebih tinggi dan pengobatan lebih lama dibandingkan
GERD. Rekomendasi dosis adalah 2 kali dosis GERD dengan rentang waktu 3
sampai 6 bulan. Salah satu kepustakaan menyebutkan rentang waktu pengobatan
dapat sampai 6 bulan atau lebih dengan menggunakan PPI 2 kali sehari untuk
memperbaiki laring yang cedera. Dalam penelitian sebelumnya Omeprazole
dengan dosis 20mg per hari disebut sebagai derivat PPI yang ampuh ternyata akhir-
akhir ini Lansoprazole dengan dosis 30 mg per hari dianggap lebih maksimal
dalam menekan asam lambung. PPI yang biasanya diberikan adalah Omeprazole
dengan dosis 20mg perhari (terapi rumatan). Obat lain yang dapat dipilih seperti
Lanzoprazole dengan dosis 30mg per hari.
Zat proteksi mukosa, sukralfat misalnya dapat digunakan untuk melindungi
mukosa dari cedera akibat asam dan pepsin. Pemeriksaan sedianya dilakukan rutin
setiap 3 bulan yang berguna memantau gejala atau mencari penyebab lain jika tidak
terjadi perbaikan. Obat lain yang sering digunakan adalah Antagonis reseptor H2
yaitu ranitidin dengan dosis 150 mg yang diberikan 2 kali sehari telah terbukti lebih
poten untuk menghambat sekresi gaster dibanding simetidin, meskipun ini masih
mempunyai keterbatasan dalam terapi LPR.
Agen prokinetik mempunyai efek mempercepat klirens esofagus dan
meningkatkan tekanan LES, akan tetapi mempunyai efek samping yang aritmia
ventrikuler dan diare, penggunaan cisapride sudah tidak direkomendasikan, karena
efek sampingnya. Tegaserod merupakan agen prokinetik yang saat ini dapat
digunakan untuk menurunkan refluks.

3. Terapi Bedah
Tujuan terapi pembedahan adalah memperbaiki penahan/ barier pada daerah
pertemuan esofagus dan gaster sehingga dapat mencegah refluks seluruh isi gaster
kearah esofagus. Keadaan ini dianjurkan pada pasien yang harus terus menerus
minum obat atau dengan dosis yang makin lama makin tinggi untuk menekan asam
lambung. Sekarang ini tindakan yang sering dilakukan adalah funduplikasi
laparoskopi yang kurang invasif. Akan tetapi tindakan ini bukannya tanpa
komplikasi, perlu dokter yang berpengalaman dan mengerti mengenai anatomi
esofagus serta menguasai teknik funduplikasi konvensional agar angka komplikasi
dapat ditekan. Sehingga operasi ini bukan pilihan pertama pada kasus LPR.
2.2.7 Komplikasi

Pada anak-anak, komplikasi LPR sering mengakibatkan masalah pada


saluran pernafasan seperti penyempitan di bawah pita suara atau subglotis stenosis,
ulkus dan suara serak. LPR juga dapat mengakibatkan disfungsi dari tuba
eustachius yang akan mengakibatkan otitis media akut dan otitis media efusi. Pada
orang dewasa, LPR dapat mengakibatkan perubahan mukosa esofagus dan
mengakibatkan karsinoma esofagus.

2.2.8 Prognosis

Angka keberhasilan terapi cukup tinggi bahkan sampai 90%, dengan catatan
terapi harus diikuti dengan modifikasi diet dan gaya hidup yang tepat. Dari salah
satu kepustakaan menyebutkan angka keberhasilan sekitar 83% setelah diberikan
terapi selama 6 minggu dengan PPI, dan sekitar 79% kasus mengalami kekambuhan
setelah berhenti berobat. Sedangkan prognosis keberhasilan dengan menggunakan
lanzoprazole selama 8 minggu memberikan angka keberhasilan sampai 80%.
BAB 3

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas pasien


Nama : Tn. HL
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 44 tahun
Alamat : Waturia
Agama : Katolik
Pekerjaan : Petani
Tanggal Pemeriksaan : 12 Juli 2019

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Rasa mengganjal pada tenggorok sejak 1 tahun yang lalu
Riwayat Penyakit sekarang
Pasien laki-laki berusia 44 tahun datang ke Poli THT dengan keluhan rasa
mengganjal pada tenggorok saat menelan sejak 1 tahun yang lalu. Pasien juga
mengalami sesak napas, sering mendehem, rasa berlendir dan kadang-kadang
batuk. Pasien tidak mengeluh nyeri menelan, nyeri tenggorok ataupun nyeri ulu
hati. Pasien masih bisa makan dan minum dengan baik.

Riwayat Penyakit Dahulu

Sebelumnya pasien tidak mengalami keluhan yang sama.

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan yang sama.

Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien memiliki kebiasaan minum alkohol.
Anamnesis Umum THT

Telinga Hidung Tenggorok Laring


Gatal :-/- Rinorre : - /- Sukar menelan :- Suara parau : -
Korek : + / + Buntu :-/- Sakit menelan :- Afonia :-
Nyeri :-/- Bersin :- Trismus :- Sesak nafas : +
Bengkak : - / - Dingin/lembab : - Ptyalismus : - Rasa sakit :-
Otore :-/- Debu rumah : - Rasa mengganjal : + Rasa mengganjal : +
Tuli :-/- Berbau :- Rasa berlendir :+
Tinitus :- Mimisan :- Rasa kering :-
Vertigo : - Nyeri hidung : -
Mual :- Suara sengau : -
Muntah : -

3.3 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan dilakukan tanggal 12 Juli 2019
Keadaan Umum: Tampak sakit ringan
Kesadaran ( GCS ) : E4 V5 M6 ( Compos Mentis )
Tanda-tanda Vital
TD : 100/700 mmHg
Nadi : 78 x/menit (regular dan kuat angkat)
RR : 20 x/menit

Status Lokalis THT


TELINGA PEMERIKSAAN TELINGA

Daun Telinga : Anotia (-/-), Mikrotia/makrotia (-/-), perikondritis


(-/-), kista (-/-), fistel (-/-)
Liang Telinga : Atresia (-/-), Serumen prop(-/-), epidermis prop
(-/-), kropus alineum (-/-), jaringan granulasi (-/-), Exocytosis (-/-
), Osteoma (-/-), furunkel (-/-)
Membran Timpani : hiperemis (-/-), retraksi (-/-), bulging (-/-),
atrofi (-/-), perforasi (-/-), bula (-/-), sekret (-/-), intak (+/+)
Retroauricular : Fistel (-/-), Kista (-/-), Abses (-/-)
HIDUNG RINOSKOPI ANTEIOR

Deformitas -/-
Hematoma -/-
Krepitasi -/-
Nyeri -/-
Rinoskopi anterior :
Fenomena palatum molle +/+

HIDUNG RINOSKOPI POSTERIOR

Rinoskopi posterior :
Massa : -
Polip : -
Sekret : -

MULUT

Bibir : Mukosa bibir basah


Lidah : Permukaan lidah kemerahan, tak tampak deviasi

FARING

Uvula
Palatum mole
Palatum durum
Plika anterior Dalam batas Normal
Tonsil
Plika posterior
Mukosa orofaring

LARING
Laringoskopi indirect :
Epiglotis : dalam batas normal
Plika Vokalis : Hiperemis (+/+)
Aritenoid : Hiperemis (+)

Reflux Symptoms Index :

Apakah Beberapa Permasalahan Berikut Mengganggu 0 = tidak menganggu


Anda ? 5 = sangat mengganggu
1. Suara serak atau terdapat permasalahan dengan suara anda 0 1 2 3 4 5
2. Sering membersihkan dahak anda 0 1 2 3 4 5
3. Lendir berlebihan di tenggorokan atau post nasal drip 0 1 2 3 4 5
4. Kesulitan menelan makanan, minuman, atau pil 0 1 2 3 4 5
5. Batuk setelah anda makan atau berbaring 0 1 2 3 4 5

6. Kesulitan bernafas atau sering tersedak 0 1 2 3 4 5


7. Batuk yang sangat mengganggu 0 1 2 3 4 5
8. Sensasi sesuatu menempel di tenggorokan atau benjolan di 0 1 2 3 4 5
tenggorokan anda
9. Dada seperti terbakar (heartburn), nyeri dada, gangguan 0 1 2 3 4 5
pencernaan, atau refluks asam lambung
TOTAL SKOR 21
Interpretasi : Total Skor RSI adalah 21 karena > 13 sehingga dicurigai
LPR
3.4 Diagnosis
Diagnosis Kerja
Laringopharingeal Reflux (LPR)
Diagnosis Banding
Gastroesophageal Reflux (GERD) adalah aliran retrogad isi lambung ke
dalam esofagus. LPR dan GERD berbeda yaitu pada GERD dimana keluhan
sering timbul saat berbaring dan berhubungan dengan kelainan sfingter
esofagus bawah. Perbedaan lain yang mencolok adalah keluhan rasa terbakar di
dada dan esofagitis sangat jarang ditemukan pada kasus LPR dibandingkan
dengan GERD. Keluhan rasa terbakar di dada ditemukan kurang dari 40% kasus
LPR sedangkan gejala esofagitis hanya 25%. Pada LPR refluks bersifat
intermiten dengan motilitas esofagus yang normal sedangkan GERD refluks
bersifat lebih lama dengan gangguan motilitas esofagus sering ditemukan.
Refluks pada LPR sering terjadi pada siang sedangkan kasus GERD, refluks
biasanya malam hari. Defek sfingter esofagus bawah dijumpai pada GERD
sedangkan pada LPR terjadi disfungsi sfingter atas esophagus dari segi
pengobatan kedua penyakit ini mirip namun medikamentosa LPR lebih lama
dan agresif dibandingkan penanganan GERD.
Laryngtis kronik merupakan suatu proses inflamasi pada laring yang dapat
disebabkan oleh sinusitis kronis, deviasi septum berat, polip hidung, atau
bronkitis kronis. Mungkin juga disebabkan vocal abuse seperti berteriak-teriak
atau biasa berbicara keras.dengan gejala seperti suara parau yang menetap, dan
rasa tersangkut ditenggorokan sehingga pasien sering mendehem tanpa
mengeluarkan sekret, karena mukosa yang menebal. Pada pemeriksaan tampak
mukosa menebal, permukaan tidak rata dan hiperemis,
3.5 Penatalaksanaan
Terapi Non Medikamentosa :
1. Menjelaskan kepada pasien mengenai modifikasi gaya hidup dan makanan
yang harus di hindari karena dapat memicu refluks asam lambung :
Makanan yang Harus dihindari pada Pasien Refluks Laringofaring

Makanan Tinggi Lemak dan Makanan yang digoreng : Mentega, keju,


susu, santan, gorengan, es krim, coklat dan daging merah

Makanan Pedas : Sambal

Sayur dan buah yang harus dihindari : Nanas, jeruk, lemon, tomat (saus
tomat)
Minuman yang harus dihindari : Alkohol, kopi, teh, minuman soda, jus
jeruk dan tomat

Terapi Medikamentosa :
1. Lanzoprazole 2x30 mg a.c
2. Ambroxol 3x30 mg
3.6 Perjalanan Penyakit
1. Kunjungan Pertama :
Tanggal : 19 Juni 2019
Keluhan : Rasa mengganjal di tenggorok saat menelan dan sesak napas
Pemeriksaan Fisik :
Tekanan darah : 100/90 mmHg
Laringoskopi inderect :
1. Plika vokalis : gerak (+/+), hiperemis (+/+)
2. Aritenoid : edema (-), hiperemis (+)

Diagnosis : Laringopharingeal Reflux

Penatalaksanaan : Lanzoprazole 2x30 mg a.c

2. Follow up Pasien 1
Tanggal : 27 Juni 2019
Keluhan : Kontrol LPR dengan keluhan rasa mengganjal pada tenggorok
berkurang, rasa berlendir pada tenggorok, flu, batuk dan sesak napas.
Pemeriksaan Fisik :
Tekanan darah : 90/60 mmHg
Laringoskopi inderect :
1. Epiglotis : : hiperemis (+)
2. Plika vokalis : hiperemis (+/+)

Diagnosis : Laringopharingeal Reflux

Penatalaksanaan : Lanzoprazole 2x30 mg a.c


3. Follow up Pasien 2
Tanggal : 6 Juli 2019
Keluhan : Rasa mengganjal berkurang , tenggorok masih berlendir, sesak
napas, sering mendehem.
Pemeriksaan Fisik :
Tekanan darah : 90/60 mmHg
Laringoskopi inderect :
1. Plika vokalis : hiperemis (+/+)

Diagnosis : Laringopharingeal Reflux

Penatalaksanaan : Lanzoprazole 2x30 mg a.c

4. Follow up Pasien 3

Tanggal : 12 Juli 2019

Keluhan : Rasa mengganjal berkurang , tenggorok masih berlendir, sesak


napas, sering mendehem dan kadang-kadang batuk.

Pemeriksaan Fisik :
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Laringoskopi inderect :
1. Plika vokalis : hiperemis (+/+)
2. Aritenoid : hiperemis (+)

Diagnosis : Laringopharingeal Reflux

Penatalaksanaan : Lanzoprazole 2x30 mg a.c, Ambroxol 3x30 mg


BAB 4

PEMBAHASAN

Dilaporkan kasus seorang pria 44 tahun dengan diagnosis


laryngopharyngeal reflux. Berdasarkan anamnesis, pasien dengan keluhan rasa
mengganjal pada tenggorok yang sudah dialami sejak 1 tahun yang lalu. Pasien
juga mengalami sesak napas, sering mendehem, rasa berlendir dan kadang-kadang
batuk. Hal ini sesuai dengan Koufman dan Survey internasional oleh American
Bronchoesophagological Association yang memaparkan gejala yang tersering dari
LPR, yaitu mendehem(98%), batuk lama (97%), globus faringeus (95%) dan suara
serak (95%).

Akibat terdapat disfungsi dari silia akan menyebabkan pengumpulan mukus


sehingga terjadi sensasi postnasal drip dan merangsang pengeluaran dahak. Iritasi
cairan refluks secara langsung menyebabkan terjadinya batuk dan tersedak
(laringospasme) akibat sensitivitas saraf sensoris laring terangsang dengan
inflamasi lokal. Kombinasi faktor-faktor ini menyebabkan terjadinya edema plika
vokalis, ulkus kontak, dan granuloma yang menyebabkan timbulnya gejala LPR:
suara serak, globus pharyngeus, dan nyeri tenggorok.

Pada pasien ini mempunyai riwayat minum-minuman alkohol. Hal ini


berhubungan dengan faktor hormonal yang dapat meningkatkan produksi asam di
lambung. Faktor hormonal pada sekresi asam dapat secara langsung menstimulasi
sel parietal dan kelenjar peptik untuk menghasilkan HCl dan pepsin.

Pasien berusia 44 tahun sehingga faktor umur bisa dijadikan faktor


prognosis yang menentukan keberhasilan refluks laringofaring. Pada usia di atas 40
tahun terjadi perubahan mukosa laring yaitu edema lapisan superfisial pada lamina
propria terutama pada wanita setelah menopause. Perubahan terjadi pada kelenjar
di laring menyebabkan produksi mukus berkurang, secara histologis pada usia tua
sedikit ditemukan granular retikulum endoplasmik dan aparatus Golgi di mukus dan
serosa laring, sehingga secara kualitas dan kuantitas sekresinya berkurang.
Perubahan juga terjadi pada mukosa epitel vokal fold menjadi lebih tipis,
menyebabkan pada usia di atas 40 tahun keadaan laring menjadi rentan apabila
terpapar zat asam sehingga meningkatkan angka kejadian kasus LPR.

Berdasarkan Refluks simptom indeks dengan anamnesis mendehem 4, post


nasal drip 5, kesulitan bernapas atau sering tersedak 4, merasa ada sesuatu yang
mengganjal di tenggorokan 5, Batuk yang sangat mengganggu 3. Total skor 21
sehingga melebihi 13, oleh karena itu pasien dicurigai LPR.

Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan laringoskopi indirect menunjukkan


terdapat hiperemis pada epiglotis dan aritenoid. Meskipun tidak khas, adanya
penebalan, kemerahan dan edema terutama di posterior laring (laringitis posterior)
paling sering ditemukan. Meskipun tidak patognomonis, laringitis posterior yang
ditandai laring yang menebal, kemerahan, dan edema, merupakan gejala yang
sering ditemukan pada penderita LPR. Eritema/hiperemis pada laring bukan
merupakan tanda yang patognomonis untuk LPR tetapi lebih dari 50% pasien LPR
terdapat eritema/hiperemis.

Pasien diberikan edukasi dan disarankan untuk merubah kebiasaan yaitu


menghindari alkohol dan menghindari makanan yang dapat memicu refluks asam
lambung. Pasien mendapat terapi ambroxol 3x1 dan Lanzoprazole 2x1. Consensus
Conference Report on LPR merekomendasikan pemberian PPI sehari dua kali dan
pemberian diteruskan sampai enam bulan. Proton pump inhibitor (PPI) saat ini
merupakan obat anti-LPR yang paling poten. PPI juga dapat menekan produksi
asam lambung. Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa PPI lebih efektif
pada pengobatan LPR jika dibandingkan dengan H2 reseptor antagonis. Obat PPI
mempunyai efek langsung terhadap H+, K+, ATPase yang merupakan enzim
sebagai pompa proton di dalam jalur produksi asam di sel parietal yang
menyebabkan penghambatan enzim tersebut. PPI mengeliminasi dan mengurangi
produksi asam dengan cara mengurangi aktivitas pepsin dan mengurangi
terpaparnya jaringan oleh produksi asam.
BAB 5

KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

Telah dilaporkan pasien laki-laki berusia 44 tahun datang ke Poli THT dengan
keluhan rasa mengganjal pada tenggorok saat menelan sejak 1 tahun yang lalu.
Pasien juga mengalami sesak napas, sering mendehem, rasa berlendir dan kadang-
kadang batuk. Pasien tidak mengeluh nyeri menelan, nyeri tenggorok ataupun nyeri
ulu hati. Pasien masih bisa makan dan minum dengan baik. Pasien mengeluh keluar
cairan dari hidung/pilek terus menerus sejak 2 minggu yang lalu. Hasil pemeriksaan
laringoskopi inderect menunjukkan terdapat hiperemis pada epiglotis dan aritenoid.
Penatalaksanaan yang diberikan kepada pasien adalah lanzoprazole dan ambroxole.
Pasien diminta kontrol untuk evaluasi keadaan dan pengobatan. Pasien disarankan
untuk mengubah gaya hidup dan menghindari makanan yang memicu peningkatan
asam lambung.
DAFTAR PUSTAKA

1. Yunizaf M, Iskandar M. Penyakit Refluks Gastroesofagus Dengan Manifestasi


Otolaringologi. Dalam: Soepardi E, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti R,
Penyunting. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala &
Leher Edisi Keenam. Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia:
2016:303-09
2. Leonard R, Kendall K, Laryngopharyngeal reflux, in Dysphagia Assessment
and Treatment Planning, United Kingdom, plural publishing, 2008: 71-84
3. Spencer M. Laryngopharyngeal Reflux and Singers: Diabolus in Gula. Journal
of Singing. 2006: 63(2):177-81
4. Smith J, Houghton L. The Oesephagus and Cough: Laryngo-pharyngeal
Reflux, Microaspiration and Vagal Reflexes. Smith and Houghton Cough
Journal. 2013: 9(12): 1-4
5. Rees L, et al. The Mucosal Immune Response to Laryngopharyngeal Reflux.
American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine. 2008: 177: 1187-
88.
6. Mattoo O, Muzaffar R, Mir A, Yousuf A, Charag A, Ahmad A.
Laryngipharyngeal Reflux: Prospective Study Analyzing Various Nonsurgical
Treatment Modalities for LPR. Interntional Journal of Phonosurgery and
Laryngology. 2012: 2 (1): 5-7
7. Hermani B, Rusmarjono. Odinofagia. Dalam : Soepardi EA, dkk (eds). Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, edisi 6.
Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2016; hal
212-5
8. Soepardi EA, Esofagoskopi. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Hidung dan
Telinga Kepala dan Leher, edisi 6. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2016; hal 231-6.
9. Patti MG, Herbella FA, and Korn M. Benign & Malignant Disorders of the
Esophagus Current Diagnosis and Treatment Otolaryngology Head and Neck.
Lange: 2008:486.
10. Tarafder K, Datta P, Amin A, Chowdhury M, Tariq A, Das P.
Laryngopharyngeal Reflux – A New Paradigm of Airway Disease. Science
Journal of Medicine and Clinical Trials. 2012: 1-5
11. Raghunandhan S, Nagasundaram J, Natarajan K, Prashant S, Karneswaran M.
Videostroboscopy in Laryngopharyngeal Reflux Disorder. International
Journal of Phonosurgery and Laryngology. 2011: 1(2): 52-56

Anda mungkin juga menyukai