FAKULTAS KEDOKTERAN
Disusun oleh :
(1508010004)
Pembimbing :
2019
BAB 1
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
Laring merupakan bagian yang terbawah dari saluran napas bagian atas.
Bentuknya menyerupai limas segitiga terpancung, dengan bagian atas lebih besar
daripada bagian bawah. Batas atas laring adalah aditus laring, sedangkan batas
bawahnya ialah batas kaudal kartilago krikoid.
Bangunan kerangka laring tersusun dari satu tulang, yaitu tulang hyoid dan
beberapa buah tulang rawan. Tulang hyoid berbentuk seperti huruf ‘U’ yang
permukaan atasnya dihubungkan dengan lidah, mandibula dan tengkorak oleh
tendo dan otot. Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago epiglottis,
kartilago tiroid, kartilago krikoid, kartilago aritenoid, kartilago kornikulata,
kartilago kuneiformis, dan kartilago tritisea.
Laring memiliki rongga laring yang memiliki batas atas aditus laring, batas
bawah bidang yang melalui pinggir bawah kartilago krikoid. Batas depannya ialah
permukaan belakang epiglotis, tuberkulum epiglotik, ligamentum tiroepiglotik,
sudut antara kedua belah lamina kartilago tiroid dan arkus kartilago tiroid. Batas
lateralnya ialah membrane kuadrangularis, kartilago aritenoid, konus elastikus, dan
arkus kartilago krikoid. Sedangkan batas belakangnya ialah m.aritenois transverses
dan lamina kartilago krikoid.
2.2.1 Definisi
2.2.2 Epidemiologi
2.2.3 Etiologi
Refluks secara retrograd dari asam lambung atau isinya seperti pepsin ke
saluran esofagus atas hingga mencapai laring dan menimbulkan cedera mukosa
Pajanan asam esofagus distal akan merangsang refleks vagal yang
menyebabkan terjadinya spasme bronkus, batuk, sering meludah, menyebabkan
perubahan inflamasi pada laring dan faring.
Defek pada enzim karbonat anhydrase isoenzyme III
2.2.4 Patofisiologi
LPR mengacu pada aliran balik isi lambung ke dalam laring, faring, dan
saluran aerodigestive atas. Pada individu normal, sfingter esofagus bagian atas
(UES) dan sfingter esofagus bagian bawah (LES) bekerja sama untuk mencegah
refluks isi lambung tersebut sampai ke esofagus. Dengan demikian, hal patologis
utama pada LPR yaitu pada disfungsi UES.
Fungsi utama dari UES adalah menjaga masuknya udara masuk kedalam
esofagus selama respirasi dan menjaga sekresi gaster masuk ke faring sewaktu
refluks. Adanya penyimpangan pada fungsi yang kedua tersebut diyakini sebagai
penyebab kerusakan primer pada LPR, yang bermanifestasi terjadinya refluks yang
mencapai laryngopharyng.
2.2.5 Diagnosis
Pada RFS, skor dinilai berdasarkan delapan temuan fisik yang berhubungan
dengan gejala LPR. Penilaian diukur berdasarkan grading dengan jumlah total skor
26. Apabila skor yang ditemukan lebih dari 7 maka dicurigai untuk terjadinya LPR.
KONDISI SKOR
1. Edema subglotis 0 = tidak ditemukan
2 = ditemukan
2. Obliterasi ventrikular 2 = sebagian
4 = komplit
3. Erithema / hiperemia 2 = hanya pada arythenoid
4 = tersebar difus
1 = ringan
4. Edema vocal cord 1 = edema ringan
2 = edema sedang
3 = edema berat
4 = polipoid
5. Edema laring difus 1 = edema ringan
2 = edema sedang
3 = edema berat
4 = obstruksi
6. Hipertrofi komisura-P 1 = edema ringan
2 = edema sedang
3 = edema berat
4 = obstruksi
7. Jaringan granulasi / granuloma 0 = tidak ditemukan
2 = ditemukan
8. Lendir endolaryngeal tebal 0 = tidak ditemukan
2 = ditemukan
TOTAL SKOR
Ada beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan pada setiap kasus yang
dicurigai LPR, yaitu :
1. Laringoskopi
Pemeriksaan dengan laringoskopi untuk LPR terbagi menjadi dua yaitu
laringoskopi indirek (indirect laryngoscopy/IL) dan laringoskopi fleksibel
(flexible fibreobtic laryngoscopy). Pada pemeriksaan ini biasanya akan
ditemukan hipertrofi dari komissura posterior, edema dan eritema pada plica
vokalis dan kerusakan pada ventrikular band. Pemeriksaan ini sangat
penting untuk menilai Reflux Finding Score. Adanya edema dan eritema
pada plika vokalis, walaupun bukan tanda patogmonis namun sudah dapat
menguatkan adanya tanda peradangan pada laring.
2. Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi biasanya tidak dilakukan saat awal, namun
pemeriksaan ini dapat menilai derajat beratnya dari perubahan mukosa pada
esofagus. Pada LPR hanya 30% temuan esofagitis pada pemeriksaan
endoskopi.
3. 24-hour pH Monitoring
Pemeriksaan pH 24 jam ini atau Prolonged Ambulatory pH Monitoring
berfungsi untuk menilai refluks yang terjadi pada kasus GERD maupun
LPR. Pemeriksaan ini biasanya dilakukan apabila pengobatan tidak
memberikan respon yang baik dan gejala yang ditampilkan cukup berat.
Pemeriksaan ini merupakan gold standard untuk LPR karena dapat
membedakan refluks asam yang terjadi pada sfingter esofagus atas ataupun
bawah. sehingga dapat menentukan adanya LPR atau GERD. Kelemahan
pemeriksaan ini adalah mahal, invasif dan tidak nyaman dan dapat
ditemukan hasil negative palsu sekitar 20%.Hal ini dikarenakan pola refluks
pada pasien LPR yang intermittent atau berhubungan dengan gaya hidup
sehingga kejadian refluks dapat tidak terjadi saat pemeriksaan.
2.2.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan LPR tidak lepas dari 3 kategori utama yaitu edukasi pasien
dan modifikasi gaya hidup dan diet, terapi medikomentosa serta terapi bedah. Hal
yang perlu diperhatikan bahwa penyakit ini merupakan penyakit dengan kondisi
kronik yang berulang sehingga pengobatan yang diberikan tidak akan menghasilkan
proses penyembuhan yang cepat.
Pada saat riwayat penyakit dan pemeriksaan klinis mengarah ke LPR, pasien
diinstruksikan untuk merubah gaya hidup dan pola makanan. Terapi Proton pump
inhibitor (PPI) pada awal diberikan dan pasien dinilai kembali setelah 3 bulan
terapi. Apabila terapi tidak respon maka akan dilakukan pemeriksaan lain dan
monitor yang berkelanjutan. Apabila terapi memperlihatkan kemajuan maka gejala
akan mereda dan pengobatan PPI akan diturunkan dosisnya.
Terapi definitif : pH
monitoring dan atau
pembedahan
3. Terapi Bedah
Tujuan terapi pembedahan adalah memperbaiki penahan/ barier pada daerah
pertemuan esofagus dan gaster sehingga dapat mencegah refluks seluruh isi gaster
kearah esofagus. Keadaan ini dianjurkan pada pasien yang harus terus menerus
minum obat atau dengan dosis yang makin lama makin tinggi untuk menekan asam
lambung. Sekarang ini tindakan yang sering dilakukan adalah funduplikasi
laparoskopi yang kurang invasif. Akan tetapi tindakan ini bukannya tanpa
komplikasi, perlu dokter yang berpengalaman dan mengerti mengenai anatomi
esofagus serta menguasai teknik funduplikasi konvensional agar angka komplikasi
dapat ditekan. Sehingga operasi ini bukan pilihan pertama pada kasus LPR.
2.2.7 Komplikasi
2.2.8 Prognosis
Angka keberhasilan terapi cukup tinggi bahkan sampai 90%, dengan catatan
terapi harus diikuti dengan modifikasi diet dan gaya hidup yang tepat. Dari salah
satu kepustakaan menyebutkan angka keberhasilan sekitar 83% setelah diberikan
terapi selama 6 minggu dengan PPI, dan sekitar 79% kasus mengalami kekambuhan
setelah berhenti berobat. Sedangkan prognosis keberhasilan dengan menggunakan
lanzoprazole selama 8 minggu memberikan angka keberhasilan sampai 80%.
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Rasa mengganjal pada tenggorok sejak 1 tahun yang lalu
Riwayat Penyakit sekarang
Pasien laki-laki berusia 44 tahun datang ke Poli THT dengan keluhan rasa
mengganjal pada tenggorok saat menelan sejak 1 tahun yang lalu. Pasien juga
mengalami sesak napas, sering mendehem, rasa berlendir dan kadang-kadang
batuk. Pasien tidak mengeluh nyeri menelan, nyeri tenggorok ataupun nyeri ulu
hati. Pasien masih bisa makan dan minum dengan baik.
Deformitas -/-
Hematoma -/-
Krepitasi -/-
Nyeri -/-
Rinoskopi anterior :
Fenomena palatum molle +/+
Rinoskopi posterior :
Massa : -
Polip : -
Sekret : -
MULUT
FARING
Uvula
Palatum mole
Palatum durum
Plika anterior Dalam batas Normal
Tonsil
Plika posterior
Mukosa orofaring
LARING
Laringoskopi indirect :
Epiglotis : dalam batas normal
Plika Vokalis : Hiperemis (+/+)
Aritenoid : Hiperemis (+)
Sayur dan buah yang harus dihindari : Nanas, jeruk, lemon, tomat (saus
tomat)
Minuman yang harus dihindari : Alkohol, kopi, teh, minuman soda, jus
jeruk dan tomat
Terapi Medikamentosa :
1. Lanzoprazole 2x30 mg a.c
2. Ambroxol 3x30 mg
3.6 Perjalanan Penyakit
1. Kunjungan Pertama :
Tanggal : 19 Juni 2019
Keluhan : Rasa mengganjal di tenggorok saat menelan dan sesak napas
Pemeriksaan Fisik :
Tekanan darah : 100/90 mmHg
Laringoskopi inderect :
1. Plika vokalis : gerak (+/+), hiperemis (+/+)
2. Aritenoid : edema (-), hiperemis (+)
2. Follow up Pasien 1
Tanggal : 27 Juni 2019
Keluhan : Kontrol LPR dengan keluhan rasa mengganjal pada tenggorok
berkurang, rasa berlendir pada tenggorok, flu, batuk dan sesak napas.
Pemeriksaan Fisik :
Tekanan darah : 90/60 mmHg
Laringoskopi inderect :
1. Epiglotis : : hiperemis (+)
2. Plika vokalis : hiperemis (+/+)
4. Follow up Pasien 3
Pemeriksaan Fisik :
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Laringoskopi inderect :
1. Plika vokalis : hiperemis (+/+)
2. Aritenoid : hiperemis (+)
PEMBAHASAN
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Telah dilaporkan pasien laki-laki berusia 44 tahun datang ke Poli THT dengan
keluhan rasa mengganjal pada tenggorok saat menelan sejak 1 tahun yang lalu.
Pasien juga mengalami sesak napas, sering mendehem, rasa berlendir dan kadang-
kadang batuk. Pasien tidak mengeluh nyeri menelan, nyeri tenggorok ataupun nyeri
ulu hati. Pasien masih bisa makan dan minum dengan baik. Pasien mengeluh keluar
cairan dari hidung/pilek terus menerus sejak 2 minggu yang lalu. Hasil pemeriksaan
laringoskopi inderect menunjukkan terdapat hiperemis pada epiglotis dan aritenoid.
Penatalaksanaan yang diberikan kepada pasien adalah lanzoprazole dan ambroxole.
Pasien diminta kontrol untuk evaluasi keadaan dan pengobatan. Pasien disarankan
untuk mengubah gaya hidup dan menghindari makanan yang memicu peningkatan
asam lambung.
DAFTAR PUSTAKA