Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

LARYNGOPHARYNGEAL REFLUX

Penulis:
Vanessa Bertha (112018097)

Pembimbing:
dr Benhard Banggas, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU THT


RUMAH SAKIT FMC
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
PERIODE 31 MEI 2021 – 3 JULI 2021
BOGOR 2021
BAB I
PENDAHULUAN
Refluks gastroesofagus terjadi diakibatkan perubahan histopatologi pada dinding mukosa
esofagus dan secara klinis didefinisikan sebagai Gastroesophageal Reflux Disease (GERD).
Refluks lambung yang terjadi di luar esofagus dan melalui organ pernapasan umumnya
menimbulkan gejala laring seperti batuk, suara serak, disfagia, globus dan nyeri tenggorokan.
Bisa juga muncul gejala hidung, sinus dan infeksi paru-paru.1
Laryngopharyngeal reflux (LPR) atau refluks laringofaring (RLF) adalah keadaan dimana
terjadinya aliran balik asam lambung ke daerah laring, faring, trakea dan bronkus yang
menyebabkan asam lambung kontak dengan jaringan pada traktus aerodigestif atas
sehingga menimbulkan jejas pada laringofaring dan saluran napas bagian atas yang disertai
dengan manifestasi penyakit pada mulut, faring, laring dan paru-paru. Prevalensi terjadinya
refluks asam sangat tinggi dimana GERD serta LPR merupakan suatu penyakit yang epidemik.
Refluks asam merupakan masalah umum yang terlihat pada 4–10% pasien yang datang ke
departemen rawat jalan Telinga Hidung Tenggorok (THT).1,2
Pada individu sehat, terdapat empat barier terhadap refluks yang membatasi laring yaitu
sfingter esofagus bawah, sfingter esofagus atas, peristaltik esofagus dan faktor resistensi epitel.
Adanya disfungsi pada salah satu yang di atas akan menyebabkan timbulnya gejala LPR. Dalam
praktis klinis, kebanyakan kasus LPR tidak terdeteksi karena “silent reflux” dan protokol
diagnostik dan terapeutik yang tidak adekuat sehingga pengobatan yang tepat biasanya tertunda.
Diagnosis LPR dibuat dengan menggunakan Koufman Reflux Symptom Index (RSI), Reflux
Finding Score (RFS) berdasarkan temuan pada fiberoptic nasopharyngo laryngoscopy, dan
persentase waktu paparan asam proksimal dengan pemantauan dual-probe pH.1-3
Manifestasi otolaryngological dari refluks asam laringofaring mencakup berbagai gejala
laring dan faring seperti perubahan suara, sensasi terbakar di daerah substernal /
epigastrik, regurgitasi, disfagia, sakit tenggorokan, batuk, sensasi benda asing di
tenggorokan, dan sering mendehem, yang ditemukan pada 4 sampai 10% pasien yang
berkonsultasi ke bagian Telinga Hidung Tenggorokan (THT) dan 1% pasien dalam perawatan
primer. Gejala yang paling umum dilaporkan adalah sensasi globus (88%), mendehem (82%),
dan gangguan suara seperti suara serak (79%). Gejala nyeri ulu hati terjadi pada kurang dari 40%
kasus, sedangkan esofagitis hanya terjadi pada 25% pasien LPR.1
BAB II TINJAUAN
PUSTAKA

2.1 Anatomi dan fisiologi


2.1.1 Anatomi faring
Berdasarkan letaknya, faring dibagi atas:
1. Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah adalah
palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang adalah vertebra
servikal. Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan erat
dengan beberapa struktur penting misalnya adenoid, jaringan limfoid pada
dinding lareral faring dengan resessus faring yang disebut fosa rosenmuller,
kantong rathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri,
torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring diatas penonjolan kartilago tuba
eustachius, konka foramen jugulare, yang dilalui oleh nervus glosofaring, nervus
vagus dan nervus asesorius spinal saraf kranial dan vena jugularis interna bagian
petrosus os.tempolaris dan foramen laserum dan muara tuba eustachius.4

2. Orofaring
Disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas
bawahnya adalah tepi atas epiglotis kedepan adalah rongga mulut
sedangkan kebelakang adalah vertebra servikal. Struktur yang terdapat dirongga
orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatine, fosa tonsil serta arkus
faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum.4

Dinding posterior faring


Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat pada radang akut
atau radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot bagian
tersebut. Gangguan otot posterior faring bersama-sama dengan otot palatum mole
berhubungan dengan gangguan n.vagus.4
Fosa tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas lateralnya
adalah m.konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas
(upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang dinamakan fossa supratonsil. Fosa ini
berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah memecah ke luar
bila terjadi abses. Fosa tonsil diliputi oleh fasia yang merupakan bagian dari fasia
bukofaring dan disebu kapsul yang sebenar- benarnya bukan merupakan kapsul yang
sebena-benarnya.4
Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan
ikat dengan kriptus didalamnya.Terdapat macam tonsil yaitu tonsil faringal (adenoid),
tonsil palatina dan tonsil lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang
disebut cincin waldeyer. Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak di
dalam fosa tonsil. Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang
merupakan sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat
pada dasar lidah.4
Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang
disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang juga meliputi
kriptus. Di dalam kriptus biasanya biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang
terlepas, bakteri dan sisa makanan.4
Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut
kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga mudah
dilakukan diseksi pada tonsilektomi.Tonsil mendapat darah dari a.palatina minor,
a.palatina ascendens, cabang tonsil a.maksila eksterna, a.faring ascendens dan
a.lingualis dorsal.4
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh
ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat
foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila sirkumvalata.
Tempat ini kadang- kadang menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus dan secara
klinik merupakan tempat penting bila ada massa tiroid lingual (lingual
thyroid) atau kista duktus tiroglosus.Infeksi dapat terjadi di antara kapsul tonsila
dan ruangan sekitar jaringan dan dapat meluas keatas pada dasar palatum mole
sebagai abses peritonsilar.4
3. Laringofaring (hipofaring)
Batas laringofaring disebelah superior adalah tepi atas yaitu dibawah
valekula epiglotis berfungsi untuk melindungi glotis ketika menelan minuman
atau bolus makanan pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis (muara
glotis bagian medial dan lateral terdapat ruangan) dan ke esofagus, nervus laring
superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring. Sinus
piriformis terletak di antara lipatan ariepiglotika dan kartilago tiroid. Batas
anteriornya adalah laring, batas inferior adalah esofagus serta batas posterior adalah
vertebra servikal. Lebih ke bawah lagi terdapat otot-otot dari lamina krikoid dan di
bawahnya terdapat muara esophagus.4
Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring tidak
langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka struktur
pertama yang tampak di bawah dasar lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua
buah cekungan yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan
ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga “kantong pil”
(pill pockets), sebab pada beberapa orang, kadang-kadang bila menelan pil akan
tersangkut disitu.4
Dibawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega dan
perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang bentuk infantil
(bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat
menjadi demikian lebar dan tipisnya sehingga pada pemeriksaan laringoskopi
tidak langsung tampak menutupi pita suara. Epiglotis berfungsi juga untuk
melindungi (proteksi) glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada saat
bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus. Nervus laring superior
berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring. Hal ini penting
untuk diketahui pada pemberian anestesia lokal di faring dan laring pada tindakan
laringoskopi langsung.4
Gambar 1. Anatomi Laring.5

Ruang faringal
Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yaitu secara klinik mempunyai
arti penting, yaitu ruang retrofaring dan ruang parafaring.

1. Ruang retrofaring (retropharyngeal space)


Dinding anterior ruang ini adalah dinding belakang faring yang terdiri dari
mukosa faring, fasia faringobasilaris dan otot-otot faring. Ruang ini berisi jaringan
ikat jarang dan fasia prevertebratalis. Ruang ini mulai dari dasar tengkorak
di bagian atas sampai batas paling bawah dari fasia servikalis. Serat-serat jaringan
ikat di garis tengah mengikatnya pada vertebra.4
Di sebelah lateral ruang ini berbatasan dengan fosa faringomaksila. Abses
retrofaring sering ditemukan pada bayi atau anak. Kejadiannya ialah kerana
di ruang retrofaring terdapat kelenjar-kelenjar limfa. Pada peradangan kelenjar
limfa
itu, dapat terjadi supurasi, yang bilamana pecah, nanahnya akan tertumpah di
dalam ruang retrofaring. Kelenjar limfa di ruang retrofaring ini akan banyak
menghilang pada pertumbuhan anak.4

2. Ruang parafaring (pharyngo-maxillary fossa)


Ruang ini berbentuk kerucut denga dasarnya yang terletak pada dasar
tengkorak dekat foramen jugularis dan puncaknya pada komu mayus os
hioid. Ruang ini dibatasi di bagian dalam oleh m.konstriktor faring superior, batas
luarnya adalah ramus asenden mandibula yang melekat dengan m.pterigoid
interna dan bagian posterior kelenjar parotis.4
Fosa ini dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besarnya oleh os
stiloid dengan otot yang melekat padanya. Bagian anterior (presteloid) adalah
bagian yang lebib luas dan dapat mengalami proses supuratif sebagai akibat
tonsil yang meradang, beberapa bentuk mastoiditis atau petrositis, atau dari karies
dentis.4
Bagian yang lebih sempit di bagian posterior (post stiloid) berisi a.karotis
interna, v.jugularis interna, n.vagus, yang dibungkus dalam suatu sarung
yang disebut selubung karotis (carotid sheath). Bagian ini dipisahkan dari ruang
retro- faring oleh suatu lapisan fasia yang tipis.4

Gambar 2. Ruang Faringal.5


2.1.2 Fungsi laring
Fungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, pada waktu menelan, resonansi
suara dan untuk artikulasi. Terdapat 3 fase dalam menelan yaitu fase oral, fase faringeal
dan fase esophageal. Fase oral, bolus makanan dari mulut menuju ke faring. Gerakan
disini disengaja (voluntary). Fase faringeal yaitu pada waktu transport bolus makanan
melalui faring. Gerakan disini tidak disengaja (involuntary). Fase esofagal, disini
gerakannya tidak disengaja, yaitu pada waktu bolus makanan bergerak secara peristaltik
di esofagus menuju lambung.4
Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum
dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole kea rah dinding
belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan
mula-mula m.salpingofaring dan m.palatofaring, kemudian m.levator veli palatine
bersama-sama m.konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring
m.levator veli palatine menarik palatum mole ke atas belakang hamper mengenai dinding
posterior faring. Jarak yang tersisa ini diisi oleh tonjolan (fold of) Passavant pada dinding
belakang faring yang terjadi akibat 2 mavam mekanisme, yaitu pengangkatan faring
sebagai hasil gerakan m,palatofaring (bersama m.salpingofaring) dan oleh kontraksi
aktif m.konstriktor faring superior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak pada waktu
yang bersamaan. Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap pda
periode fonasi, tetapi ada pula pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul dan
hilang secara cepat bersamaan dengan gerakan palatum.4

2.1.3 Anatomi esofagus


Esofagus merupakan saluran otot vertikal antara hipofaring sampai ke lambung.
Panjangnya 23 sampai 25 cm pada orang dewasa. Di mulai dari batas bawah tulang rawan
krikoid atau setinggi vertebra C.VI, berjalan sepanjang leher, mediastinum superior dan
posterior, di depan vertebra servikal dan torakal, dan berakhir pada orifisium
kardia lambung setinggi vertebra Th.XI. Melintas melalui hiatus esofagus diafragma
setinggi vertebra Th.X.4
Esofagus dilapisi oleh epitel gepeng berlapis tak berkeratin yang tebal dan
memiliki dua sfingter yaitu sfingter atas dan sfingter bawah. Sfingter esofagus atas
merupakan daerah bertekanan tinggi dan daerah ini berada setinggi kartilago krikoid.
Fungsinya mempertahankan tonus, kecuali ketika menelan, bersendawa dan muntah.
Meskipun sfingter esofagus atas bukan merupakan barrier pertama terhadap refluks,
namun dia berfungsi juga untuk mencegah refluks keluar dari esofagus proksimal
menuju ke hipofaring.4
Sfingter bawah esophagus panjangnya kira-kira 3 cm, dapat turun 1-3 cm pada
pernafasan normal dan naik sampai 5 cm pada pernafasan dalam, merupakan daerah
bertekanan tinggi yang berada setinggi diafragma. Sfingter ini berfungsi mempertahankan
tonus waktu menelan dan relaksasi saat dilalui makanan yang akan memasuki lambung
serta mencegah refluks. Relaksasi juga diperlukan untuk bersendawa.4
Menurut letaknya esofagus terdiri dari beberapa segmen:
1. Segmen servikalis 5-6 cm (C.VI-Th.I)
2. Segmen torakalis 16-18 cm (Th. I-V)
3. Segmen diafragmatika 1-1,5 cm (Th. X)
4. Segmen abdominalis 2,5-3 cm (Th. XI)

Esofagus memiliki beberapa daerah penyempitan:


1. Daerah krikofaringeal, setinggi C. VI
2. Daerah ini disebut juga Bab el Mandeb / Gate of Tear, merupakan bagian
yang paling sempit, mudah terjadi perforasi sehingga paling ditakuti ahli
esofagoskopi.
3. Daerah aorta, setinggi Th. IV
4. Daerah bronkus kiri, setinggi Th. V
5. Daerah diafragma, setinggi Th. X
Gambar 3. Anatomi esofagus.6

2.1.4 Fisiologi menelan


Dalam proses menelan akan terjadi hal-hal sebagai berikut, (1) pembentukan bolus
makanan dengan ukuran dan konsistensi yang baik, (2) upaya sfingter
mencegah terhamburnya bolus ini dalam fase-fase menelan, (3) mempercepat
masuknya bolus makanan ke dalam faring pada saat respirasi, (4) mencegah
masuknya maknan dan minuman ke dalam nasofaring dan laring, (5) kerjasama yang
baik dari otot-otot rongga mulut untuk mendorong bolus makanan ke arah lambung, (6)
usaha untuk membersihkan kembali esofagus. Proses menelan di mulut, faring dan
esofagus secara keseluruhan akan terlibat secara berkesinambungan.4
2.2 Laryngopharyngeal Reflux (LPR)
2.2.1 Definisi
Keadaan dimana terjadinya aliran balik asam lambung ke daerah laring,
faring, trakea dan bronkus yang menyebabkan asam lambung kontak dengan jaringan
pada traktus aerodigestif atas sehingga menimbulkan jejas pada laringofaring dan saluran
napas bagian atas yang disertai dengan manifestasi penyakit pada mulut, faring, laring dan
paru-paru.1

2.2.2 Etiologi
Adanya kerusakan mukosa secara langsung akibat pajanan terhadap asam
yang biasanya ditemukan di esofagus, merusakkan epitel laring. Aliran silia terhambat
pada pH
5,0 dan benar-benar terhenti pada pH 2.0. Dengan penurunan aliran silia, maka
ada penurunan resistensi terhadap infeksi.3

2.2.3 Epidemiologi
Separuh dari keluhan laring yang dirujuk ke THT akhirnya didiagnosis
sebagai LPR. Perubahan pH akibat refluks terjadi pada 50% pasien dengan suara
serak, 64% dengan globus, 55% dengan batuk kronis dan 35% dengan disfagia. 7 10%
pasien datang ke klinik THT mempunyai simptom terkait dengan LPR dan 55% pasien
dengan suara serak mempunyai LPR yang memberi dampak terhadap kualitas suara
mereka.3

2.2.4 Patofisiologi
Patofisiologi LPR masih belum dipahami sepenuhnya. Terdapat beberapa
teori yang menjelaskan kerusakan pada mukosa laring. 1) Kontak langsung refluks
asam lambung dan pepsin ke esofagus proksimal dan sfingter esofagus atas yang
berlanjut dengan kerusakan mukosa faring, laring dan paru. 2) Pajanan asam esofagus
distal akan merangsang refleks vagal yang menyebabkan terjadinya spasme bronkus,
batuk, sering meludah, menyebabkan perubahan inflamasi pada laring dan faring.3,4 3)
Refluks lambung disertai dengan penyalahgunaan vokal tambahan yang menyebabkan
timbulnya gejala LPR.3 4) Stres dan disfungsi saraf otonom yang mungkin terlibat
terhadap munculnya LPR. Disregulasi saraf otonom dapat menyebabkan peningkatan
pembukaan sfingter esofagus bawah dan atas, dan beberapa kejadian refluks faring yang
terkait.8
2.2.5 Manifestasi klinis
Suara serak merupakan gejala yang paling umum dari LPR (100%) karena tidak
ditemukan pasien dengan GERD yang mengalami suara serak. 3 Pasien dapat mengalami
gejala lain seperti sensasi globus, sering mendehem, lendir yang berlebihan di tenggorok
atau postnasal drip.3,7,8 Sensasi globus dapat berupa tenggorokan terasa sesak, tidak
nyaman atau ada sesuatu yang mengganjal. Suara serak cenderung kambuh
dan bermanifestasi sebagai penurunan kualitas vokal, kekuatan, kejernihan atau stamina.
Rasa tidak nyaman dan lendir tenggorokan yang tidak menghilang juga sering ditemukan
dan mungkin dapat dikaitkan dengan postnasal drip.7 Nyeri tenggorokan, odinofagia,
halitosis dan regurgitasi juga gejala yang sering dilaporkan. 8 Harus diperhatikan juga
tanda bahaya yang memerlukan pasien untuk dirujuk secepatnya ke spesialis THT.
Tabel 1. Tanda bahaya LPR.7

2.2.6 Diagnosis
Sangat sulit mendiagnosis LPR hanya berdasarkan gejala. Reflux Symptom Index
(RSI) merupakan kuesioner yang digunakan untuk diagnosis, edukasi pasien
dan monitoring resolusi gejala secara bertahap. Skor RSI > 13 kemungkinan
mengarah ke LPR.7,8 Kelemahan RSI adalah kurangnya pertimbangan gejala umum
seperti sakit tenggorokan, odinofagia, halitosis atau regurgitasi dan kurangnya
pertimbangan frekuensi gejala. Oleh sebab itu, Reflux Symptom Score (RSS)
merupakan kuesioner yang baru diperkenalkan. Namun begitu, ada 22 item yang harus
diisi di kuesioner sehingga pasien
mengambil masa yang lama untuk menjawab setiap item yang ditanyakan. Maka,
RSS versi lebih pendek, RSS-12 telah diperkenalkan. RSS-12 terdiri dari 12 item klinis
yang menilai frekuensi dan tingkat keparahan gejala terkait LPR yang paling umum
serta dampaknya terhadap kualitas hidup. Skor RSS-12 > 11 menunjukkan LPR.8

Tabel 2. Reflux Symptom Index (RSI)7


Tabel 3. Reflux Symptom Score-12 (RSS-12).8

Selain itu, dapat dilakukan laringoskopi serta videostreboskopi dengan temuan


paling umum pada LPR adalah hipertrofi komisura posterior, eritema arytenoid dan orofaring dan
eritema pilar anterior.3,7,8 Hasil laringoskopi dapat diukur menggunakan Reflux Finding
Score (RFS) walaupun jarang dilakukan.7
Dual pH with Multichannel Intraluminal Impedance Testing (MII-pH)
Penelitian menunjukkan MII-pH dianggap lebih efektif untuk diagnosis LPR,
terutama pada pasien yang tidak ada respon terhadap terapi PPI.9 MII-pH mendeteksi refluks dari
lambung ke esofagus dan dapat mengukur seberapa banyak dan seberapa asam refluks tersebut.
Dari hasil tes MII-pH, LPR dikategorikan ke beberapa tipe:9,10
a. pH < 4: Reflux acid (RA)
b. pH ≥ 4: Weak/ non-acid reflux (RnA)
c. Mixed reflux

Gambar 4. MII-pH.11
24h Hypopharyngeal-esophageal MII catheter with dual pH (HEMII-pH)
HEMII-pH mendeteksi pergerakan bolus dengan mengukur perubahan resistensi listrik
dan dapat mengukur pH refluks dari esofagus ke faring. Indikasi penggunaan masih belum
ditetapkan namun sering digunakan kepada pasien yang tidak respon terhadap terapi
empirik dan pasien dengan kondisi tertentu seperti alergi, rinosinusitis kronis dll. Diagnosis
LPR dibuat berdasarkan adanya ≥ 1 acid atau non-acid hypopharyngeal reflux event (HRE). Dari
hasil tes HEMII-pH, LPR diklasifikasikan kepada RA apabila pH < 4 dan RnA apabila pH ≥
4.8,12

Gambar 5. HEMII-pH.13
Gambar 6. Temuan oral dan orofaring pada LPR.8

Tabel 4. Reflux Finding Score (RFS).7


2.2.7 Diagnosis banding
Keluhan laring yang mirip dengan manifestasi LPR memiliki perbedaan yang luas.
RPL paling umum salah didiagnosis sebagai GERD. Sensasi globus dapat
dieksklusi karena gejala ini dapat dirasakan pada kedua-dua LPR dan GERD.3

Tabel 5. Perbedaan LPR dan GERD.7

2.2.8 Tatalaksana
a. Medikamentosa
Proton pump inhibitors (PPIs)
PPI menurunkan sekresi H+ lambung melalui ikatan kovalen dengan H+/K+
ATPase. Hambatan terhadap pompa proton meningkatkan pH droplet refluks
dan membatasi aktivitas ekstraseluler pepsin pada jaringan saluran aerodigestif
bagian atas.7,8,14,15 Yang paling sering digunakan adalah omeprazole dengan
dosis 20mg. Pemberian dua kali sehari yaitu sebelum makan pada pagi dan sore
hari menghambat sekitar 80% dari maksimal output asam.14

Histamine H2R
Penggunaan H2R dosis tunggal dianggap tidak berkesan dibandingkan pemberian
PPIs dua kali sehari. Selain itu, pemberian ranitidin dosis tunggal setiap hari sebelum
tidur lebih mahal dibandingkan PPIs dua dosis.14
Prokinetik
Pemberian tambahan golongan prokinetik bersamaan PPIs masih kontroversional,
meskipun ia dapat meningkatkan tekanan sfingter esofagus. Perbaikan gejala yang lebih
bagus dilaporkan pada beberapa studi tentang pemberian prokinetik sebagai
tambahan kepada PPIs. Namun, beberapa studi lain tidak mendapatkan hasil yang sama.14

Alginate dan magaldrate


Temuan baru subtipe LPR yaitu LPR asam, asam lemah, campuran dan non-asam
dengan adanya tes Multichannel Intraluminal Impedance and pH (MII-pH). Studi terbaru
menunjukkan mayoritas pasien mengalami LPR tipe non-acid reflux (RnA) dan tipe
campuran. Mekanisme patofisiologi tipe ini masih belum diketahui namun tipe ini
mungkin terlibat dalam aktivitas tripsin dan garam empedu terkonjugasi dan tak
tekonjugasi di mukosa traktus aerodigestif bagian atas.14
Garam empedu yang tak terkonjugasi dan tripsin efektif pada pH di atas
6,0 sedangkan garam empedu terkonjugasi lebih efektif dalam lingkugan asam.
Pemberian alginate atau magaldrate bersamaan PPIs dilaporkan adanya perbaikan
gejala yang signifikan pada pasien LPR tipe non-asam dan tipe campuran, Penggunaan
alginate dan magaldrate boleh dipertimbangkan sebagai terapi primer LPR.14

b. Non-medikamentosa
Modifikasi gaya hidup
Diet dan perubahan perilaku tetap menjadi terapi pertama dari LPR, terutama pada
kasus LPR yang ringan. Diet alkali, protein, rendah lemak dan rendah asam efektif karena
jenis makanan ini dicerna dengan baik dan juga mengurangi relaksasi sfingter esofagus.14
Kebanyakan pengobatan gagal karena terapi medikamentosa sahaja tidak cukup
tanpa perubahan gaya hidup. Pasien tidak diperbolehkan untuk makan 3 jam sebelum
tidur dan membiarkan perut kosong sepenuhnya sebelum berbaring. Makan malam
haruslah sedikit dan ‘makanan pemicu’ seperti makanan yang digoreng, tomat, jeruk,
mint, cokelat, saus
asam, jus, kopi, minuman berkarbonasi, alkohol dan merokok harus dihindari pada waktu
malam. Pasien harus makan malam dengan perlahan dan tetap tegak sampai waktu tidur.7
Hindari memakai pakaian ketat dan pasien obesitas harus mengurangi
lingkar pinggang. Obesitas sentral menyebabkan deposit lemak antara esofagus distal
dan diafragma sehingga mengganggu fungsi sfingter bawah. Pasien harus meninggikan
kepala tempat tidur sebanyak 15cm menggunakan bata rumah atau buku.
Meninggikan kepala menggunakan bantal tidak adekuat karena hanya menyebabkan
fleksi leher sedangkan yang diharapkan adalah elevasi dada.7

Gambar 5. Algoritma penatalaksanaan LPR.8


2.2.9 Prognosis
LPR jangka panjang yang tidak diobati dapat menyebabkan cedera vokal kronis
dengan jaringan parut yang dihasilkan dari plica vocalis. LPR juga dapat dikaitkan
dengan GERD yang tidak diobati yang dapat menyebabkan esofagitis Barrett jika tidak
diobati.3

2.2.10 Komplikasi
Komplikasi jangka panjang yang signifikan akibat LPR yang tidak diobati
atau terdeteksi seperti batuk kronis, laringitis rekuren, gangguan pada rongga mulut atau
ulkus dan cedera atau infeksi bronkopulmoner rekuren. LPR juga diidentifikasi sebagai
faktor risiko karsinoma laring, meskipun sangat jarang terjadi. Hubungan antara
LPR dan karsinoma laring saat ini masih belum jelas dan sedang diteliti.3
BAB III
KESIMPULAN

LPR adalah salah satu gangguan disfungsi aerodigestif yang paling umum dan penting,
namun kurang terdiagnosis dan kurang dirawat di perawatan primer. Gangguan ini
memiliki dampak signifikan pada kualitas hidup, namun sering sulit didiagnosis karena gejala
dan tanda yang bervariasi dan kurangnya indikator diagnostik yang pasti. Terapi yang tepat
dengan modifikasi gaya hidup haruslah adekuat untuk mengelakkan komplikasi akibat LPR
yang berkepanjangan.
Daftar pustaka
1. Salihefendic N, Zildzic M, Cabric E. Laryngopharyngeal Reflux Disease - LPRD. Med
Arch (Sarajevo, Bosnia Herzegovina) [Internet]. 2017 Jun;71(3):215–8. Available from:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/28974837
2. Sa’an N binti, Asyari A, Fitri F. Gambaran Pasien Laryngopharyngeal Reflux di Bagian
Poliklinik THT-. J Ilmu Kesehat Indones. 2020;1(2):43–9.
3. Brown J, Shermetaro C. Laryngopharyngeal Reflux. In Treasure Island (FL); 2021.
4. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Dwi Restuti R. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala & Leher. 7th ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;
2017.
5. THANC Guide. Nasopharyngeal Cancer: Anatomy [Internet]. [cited 2021 Juli 13].
Available from: https://thancguide.org/cancer-
types/throat/pharyngeal/nasopharyngeal/anatomy/
6. Ferhatoglu MF. Anatomy of Esophagus. In: Chai TKE-J, editor. Rijeka: IntechOpen;
2017. p. Ch. 1. Available from: https://doi.org/10.5772/intechopen.69583
7. Fraser-Kirk K. Laryngopharyngeal reflux: A confounding cause of aerodigestive
dysfunction . Aust Fam Physician [Internet]. 2017 Jan 1;46:34–9. Available from:
http://www.racgp.org.au/afp/2017/januaryfebruary/laryngopharyngeal-reflux-a-
confounding-cause-of-aerodigestive-dysfunction/
8. Lechien JR, Saussez S, Muls V, Barillari MR, Chiesa-Estomba CM, Hans S, et al.
Laryngopharyngeal Reflux: A State-of-the-Art Algorithm Management for Primary Care
Physicians. Vol. 9, Journal of Clinical Medicine . 2020.
9. Amsyar Akil M, Ayu Hasroni RS, Kadir A, Akil F. The correlation between the
characteristic of reflux based on 24 hours-multichannel intraluminal impedance-ph
monitoring with the quality of life of refractory laryngopharyngeal reflux patients.
Medico-Legal Updat. 2020;20(3):701–7.
10. Sakin YS, Vardar R, Sezgin B, Cetin ZE, Alev Y, Yildirim E, et al. The diagnostic value
of 24-hour ambulatory intraesophageal pH-impedance in patients with laryngopharyngeal
reflux symptoms comparable with typical symptoms. United Eur Gastroenterol J.
2017;5(5):632–40.
11. Lai C-J, Chang W-C, Huang C-H, Liu C-M, Lo Y-C, Cheng Y-J. Detecting intraoperative
gastric regurgitation by using preattached esophageal multichannel intraluminal
impedance and pH monitoring on a solid-state manometry: a case series study. J Clin
Monit Comput [Internet]. 2020;34(4):853–9. Available from:
https://doi.org/10.1007/s10877-019-00380-2
12. Lechien JR, Hans S, Bobin F, Calvo-Henriquez C, Saussez S, Karkos PD. Atypical
Clinical Presentation of Laryngopharyngeal Reflux: A 5-Year Case Series. J Clin Med
[Internet]. 2021;10(11). Available from: https://www.mdpi.com/2077-0383/10/11/2439
13. Hoppo T, Sanz AF, Nason KS, Carroll TL, Rosen C, Normolle DP, et al. How much
pharyngeal exposure is “normal”? Normative data for laryngopharyngeal reflux events
using hypopharyngeal multichannel intraluminal impedance (HMII). J Gastrointest Surg
[Internet]. 2012 Jan;16(1):16—24; discussion 24—5. Available from:
https://europepmc.org/articles/PMC4091908
14. Lechien JR, Mouawad F, Barillari MR, Nacci A, Khoddami SM, Enver N, et al.
Treatment of laryngopharyngeal reflux disease: A systematic review. World J Clin cases
[Internet]. 2019 Oct 6;7(19):2995–3011. Available from:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/31624747
15. Chiba T. Laryngopharyngeal reflux disease (LPRD) –Review article-. Med Res Arch.
2017;5(2).

Anda mungkin juga menyukai