PEMBAHASAN
2.1 BAHASA
1. Pengertian Bahasa
Istilah bahasa dalam bahasa Indonesia, sama dengan language, dalam bahasa
Inggris, taal dalam bahasa Belanda, sprache dalam bahasa Jerman, lughatun dalam
bahasa Arab dan bahasa dalam bahasa Sansekerta. Istilah-istilah tersebut, masing-masing
mempunyai aspek tersendiri, sesuai dengan pemakainya, untuk menyebutkan suatu unsur
kebudayaan yang mempunyai aspek yang sangat luas, sehingga merupakan konsep yang
tidak mudah didefinisikan, seperti yang diungkapkan oleh para ahli.
Secara sederhana, bahasa dapat diartikan sebagai alat untuk menyampaikan sesuatu yang
terlintas di dalam hati. Namun, lebih jauh bahasa bahasa adalah alat untuk beriteraksi
atau alat untuk berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan,
konsep atau perasaan. Dalam studi sosiolinguistik, bahasa diartikan sebagai sebuah
sistem lambang, berupa bunyi, bersifat arbitrer, produktif, dinamis, beragam dan
manusiawi (Chaer dan Leonie Agustina, 2010: 11).
Bahasa adalah sebuah sistem, artinya, bahasa dibentuk oleh sejumlah komponen yang
berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan. Sistem bahasa berupa lambang-lambang
bunyi, setiap lambang bahasa melambangkan sesuatu yang disebut makna atau konsep.
Karena setiap lambang bunyi itu memiliki atau menyatakan suatu konsep atau makna,
maka dapat disimpulkan bahwa setiap suatu ujaran bahasa memiliki makna. Contoh
lambang bahasa yang berbunyi nasi melambangkan konsep atau makna sesuatu yang
biasa dimakan orang sebagai makanan pokok.
Pengertian Bahasa menurut (Depdiknas, 2005: 3)Bahasa pada hakikatnya adalah ucapan
pikiran dan perasan manusia secara teratur, yang mempergunakan bunyi sebagai alatnya.
Menurut Harun Rasyid, Mansyur & Suratno (2009: 126) bahasa merupakan struktur dan
makna yang bebas dari penggunanya, sebagai tanda yang menyimpulkan suatu tujuan.
Sedangkan bahasa menurut kamus besar Bahasa Indonesia (Hasan Alwi, 2002: 88)
1
bahasa berarti sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh semua orang
atau anggota masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri
dalam bentuk percakapan yang baik, tingkah laku yang baik, sopan santun yang baik.
Masih banyak lagi definisi tentang bahasa yang dikemukakan oleh para ahli bahasa.
Setiap batasan yang dikemukakan tersebut, pada umumnya memiliki konsep yang sama,
meskipun terdapat perbedaaan dan penekanannya. Terlepas dari kemungkinan perbedaan
tersebut, dapat disimpulkan sebagaimana dinyatakan Linda Thomas dan Shan Wareing
(2007) dalam buku Bahasa, Masyarakat, dan Kekuasaan bahwa salah satu cara dalam
menelaah bahasa adalah dengan memandangnya sebagai cara sistematis untuk
menggabungkan unit-unit kecil menjadi unit-unit yang lebih besar dengan tujuan
komunikasi. Sebagai contoh, kita menggabungkan bunyi-bunyi bahasa (fonem) menjadi
kata (butir leksikal) sesuai dengan aturan dari bahasa yang kita gunakan. Butir-butir
leksikal ini kemudian digabungkan lagi untuk membuat struktur tata bahasa, sesuai
dengan aturan-aturan sintaksis dalam bahasa. Dengan demikian bahasa merupakan ujaran
yang diucapkan secara lisan, verbal secara arbitrer. Lambang, simbol, dan tanda-tanda
yang digunakan dalam bahasa mengandung makna yang berkaitan dengan situasi hidup
dan pengalaman nyata manusia.
2. Etika Berbahasa
Telah dijelaskan bahwa hubungan antara bahasa dan kebudayaan itu bersifat
koordinaif atau subordinatif yang keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat dan
saling memengaruhi. Menurut Masinambouw (dalam Crista, 2012: 2), yang mengatakan
bahasa sistem bahasa mempunyai fungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi
2
manusia didalam masyarakat, sehingga di dalam tindak laku berbahasa haruslah disertai
norma-norma yang berlaku di dalam budaya itu. Sistem tindak laku berbahasa menurut
norma-norma budaya disebut sebagai etika berbahasa atau tata cara berbahasa (Inggris:
linguistic etiquette, Geertz, 1973).
Etika berbahasa erat berkaitan dengan pemilihan kode bahasa, norma-norma sosial, dan
sitem budaya yang berlaku dalam satu masyarakat. Seseorang baru dapat dikatakan
pandai berbahasa apabila dia menguasai tata cara atau etika berbahasa itu. Kajian
mengenai etika berbahasa ini lazim disebut etnografi berbahasa. Menurut Kridalaksana
(1982: 14) dalam bahasa Indonesia ada 9 jenis kata untuk menyapa seseorang, yakni:
Aspek sosial budaya yang harus dipertimbangkan untuk menggunakan kata sapaan itu
adalah yang disapa itu lebih tua, sederajat, lebih muda, atau kanak-kanak; status sosial
lebih tinggi, sama, atau lebih rendah; situasinya formal atau tidak formal, akrab atau tidak
akrab, wanita atau pria; sudah dikenal atau belum dikenal, dan sebagainya. Setiap budaya
mempunyai aturan yang berbeda dalam mengatur volume dan nada suara. Para penutur
dari Sumatra Utara dalam berbahasa Batak menggunakan volume suara yang lebih tinggi
disbanding dengan para penutur bahasa Sunda dan Jawa. Selain itu, untuk tujuan-tujuan
tertentu volume dan nada suara ini juga biasanya berbeda.
Menurut jenis pemakaiannya, ragam bahasa dapat dibagi menjadi tiga, yaitu menurut
sudut pandang pokok persoalan, sasaran, dan perpaduan. Masing-masing dari kita berasal
dari budaya yang berlainan, sehingga pola tuturnya yang kita hasilkan pun beragam
3
sesuai dengan latar belakang budaya dan adat-istiadat. Seseorang yang akan bergabung
dengan komunitas tertentu harus mengenal pola tutur komunitas itu terlebih dahulu.
Pengenalan pola tutur dapat didasarkan pada luas pergaulan, pendidikan, profesi,
kegemaran, dan pengalaman. Adapun bidang yang dimaksud dalam hal ini adalah bidang
agama, politik, ilmu dan teknologi, industri, serta bidang-bidang lain yang berhubungan
dengan kehidupan kita.
4
Dalam konsep ini kebudayaan dapat dimaknai sebagai fenomena material, sehingga
pemaknaan kebudayaan lebih banyak dicermati sebagai keseluruhan sistem gagasan,
tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan bermasyarakat. Karenanya
tingkah laku manusia sebagai anggota masyarakat akan terikat oleh kebudayaan yang
terlihat wujudnya dalam berbagai pranata yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol bagi
tingkah laku manusia.
Bahasa merupakan unsur utama yang mengandung semua unsur kebudayaan manusia
lainnya. Kini, setelah unsur-unsur lain dari kebudayaan manusia itu telah berkembang,
Bahasa hanya merupakan salah satu unsur saja, tetapi memiliki fungsi yang sangat
penting bagi kehidupan manusia.
5
Mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan yang bersifat koordinatif ada dua hal yaitu
hubungan kebahasaan dan kebudayaan itu seperti anak kembar siam, dua buah fenomena
yang terikat erat seperti hubungan sisi satu dengan sisi yang lain pada sekeping uang
logam (Silzer dalam Crista, 2012: 1). Jadi, pendapat ini mengatakan kebahasaan dan
kebudayaan merupakan dua fenomena yang berbeda, tetapi hubungannya sangat erat
sehingga tidak dapat dipisahkan, sejalan dengan konsep Masinambouw. Hal kedua yang
menarik dalam hubungan koordinatif ini adalah adanya hipotesis yang sangat
controversial, yaitu hipotesis dari dua pakar linguistik ternama, yakni Edward Sapir dan
Benjamin Lee Whorf. Hipotesis ini dikenal dengan nama hipotesis Sapir dan Whorf.
Perbedaan-perbedaan budaya dan jalan pikiran manusia tersebut bersumber dari
perbedaan bahasa. Bahasa itu memengaruhi kebudayaan dan jalan pikiran manusia, maka
ciri-ciri yang ada dalam suatu bahasa akan tercermin pada sikap dan budaya penuturnya.
Contoh, katanya dalam bahasa Barat ada sistem kala yaitu penutur bahasa memerhatikan
dan terikat waktu, misalnya pada musim panas pukul 21.00 matahari masih bersinar
dengan terang, tetapi kanak-kanak karena sudah menjadi kebiasaan disuruhnya tidur
karena katanya hari sudah malam. Sebaliknya, bagi orang Indonesia karena dalam
bahasanya tidak ada sistem kala, menjadi tidak memperhatikan waktu, seperti acara yang
sudah terjadwalkan waktunya bisa mundur satu jam. Itulah sababnya uangkapan jam
karet hanya ada di Indonesia.
6
Dalam masyarakat tutur Indonesia kalau ada orang memuji, misalnya dengan mengatakan
Bajumu bagus sekali!, atau Wah rumah saudara besar sekali, maka yang dipuji akan
menjawab pujian itu dengan nada menolak merendah, misalnya dengan mengatakan Ah,
ini cuma baju murah kok dan Yah, beginilah namanya juga rumah di kampung!. Akan
tetapi kalau itu terjadi dalam budaya Inggris, tentu akan dijawab dengan kata Terima
kasih!. Contoh lain, dalam budaya Indonesia hanya laki-laki yang dapat mengawini atau
menikahi wanita, sedangkan wanita tidak dapat mengawini atau menikahi laki-laki, sebab
kalimat dalam budaya Inggris, baik laki-laki maupun wanita dapat menikahi lawan
jenisnya. Dalam budaya Indonesia, informasi-informasi (dalam bentuk tindak tutur) lebih
sering disampaikan secara tidak langsung dengan menggunakan bahasa kias atau bahasa
isyarat, tetapi dalam budaya Inggris lebih umum disampaikan secara langsung dengan
alat komunikasi verbal.
Hal ini jelas memperlihatan bahwa tidak selamanya bahasa itu mempengaruhi budaya.
Namun ada kalanya budaya mempengaruhi bahasa. Menjadi wajar, manakala teori sapir-‐
Whorf masih dipertanyakan saat ini. Bahkan dalam tindakan sehari-‐hari, kebanyakan
budaya lebih dahulu ada disbanding bahasa. Misal dalam masyarakat Aceh, alat yang
digunakan untuk membajak sawah disebut langlai. Benda itu (langlai) semula tidak ada
nama, namun setelah bendanya tercipta dan menjadikebiasaan manusia membajak sawah
dengan benda tersebut, barulah kemudian muncul nama (bahasa) untuk menyebutkan
benda tersebut.
Ada juga yang berpendapat cara berfikir mempengaruhi cara bahasa atau dengan kata lain
pikiran yang masuk kebudayaan mempengaruhi bahasa. Wardhaugh dalam Sibarani
(1992:109), menyatakan pikiran (kebudayaan mental) mengarahkan bahasa menjadi
bahasa yang berisi, bermakna dan bermanfaat. Jikalau terjadi keruskan dalam pikiran
seseorang , maka akan mempengaruhi bahasanya. Mungkin bahasa orang yang
mengalami kerusakan pikiran ini masih dapat dimengerti, tetapi makna, manfaatdan
tujuan tidak dapat dipahami. Padahal bahasa sebagai system komunikasi harus dapat
dipahami makna dan tujuannya terutama bagi penyapa dan pesapa.
7
3. Bahasa Dalam Kultur / Kebudayaan
Hubungan bahasa dengan kebudayaan memang erat sekali, bahkan sering sulit
mengidentifikasi hubungan antarkeduanya karena mereka saling mempengaruhi, saling
mengisi dan berjalan berdampingan. Menurut Nababan (1993:82) ada dua macam
hubungan bahasa dan kebudayaan, yakni (1) bahasa adalah bagian dari kebudayaan
(filogenetik), dan (2) seseorang belajar kebudayaan melalui bahasanya (ontogenetik).
Sebagai sarana kebudayaan, dilihat dari pemerkayaan kebudayaan Indonesia melalui
daerah dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Seperti dimaklumi penerima
kebudayaan hanya bisa terwujud apabila budaya itu dimengerti, dipahami, dan dijunjung
masyarakat pemakai bahasa itu. Bahkan sering dinyatakan bahwa kebudayan dapat
terjadi apabila ada bahasa, karena bahasalah yang memungkinkan terbentuknya
kebudayaan.
Tata cara berbahasa seseorang sangat dipengaruhi norma-‐norma budaya suku bangsa
atau kelompok masyarakat tertentu. Tata cara berbahasa orang sunda juga berbeda
dengan tata cara berbahasa orang Jawa meskipun mereka sama- ‐sama berbahasa
Indonesia. Hal ini menunjukkan kebudayaan yang sudah mendarah daging sangat
berpengaruh pada bahasa seseorang. Itulah sebabnya kita perlu memahami norma- ‐norma
kebudayaan sebelum atau selain mempelajari bahasa.
Dalam teori sapir-‐Whorf, kebiasaan tersebut timbul dari bahasa sehingga ia menegaskan
bahwa bahasa mempenagruhi budaya (kebiasaan). Dalam masyarakat Inggris yang tidak
terbiasa (budaya) makan nasi, mereka tidak memiliki kosa kata yang lengkap untuk
menyatakan beras, padi, dan nasi. Dalam bahasa Inggris hanya ada satu kata untuk itu
semua, yakni rice. Contoh lain pada masyarakat Eksimo karena sudah berbudaya hidup
dalam salju, sedangkan dalam ahasa Indonesia hanya ada satu kata ‘salju untuk
menyatakan salju dengan beragam jenisnya.Kita juga sering kesulitan dalam dalam
menerjemahkan kata-‐kata atau ungkapan dari suatu bahasa ke bahasa lain. Contoh,
perkataanvillage dalam bahasa Inggris tidaklah sama dengan ‘desa’ dalam bahasa
Indonesia. Sebab konsep villagedalam kebudayaan Inggris atau Amerika sangat berbeda
dari konsep ‘desa’ dalam ebudayaan Indonesia. Karena itu ungkapan yang pernah
8
dikeluarkan penulis asing menyebutkan kota Jakarta sebagai suatu big village akan hilang
artinya jika diterjemahkan dengan ‘desa yang besar’.
Tata cara berbahasa selalu dikaitkan dengan penggunaan bahasa sebagai system komunikasi.
Suara keras yang menyertai tanda verbal seorang ketika berkomunkasi dengan atasannya
mungkin dianggap kurang sopan. Akan tetapi mungkin hal itu dimaklumi apabila yang berbicara
itu orang dari suku Batak. Sebaiknya kalau kita menyapa atasan kita pagi- ‐pagi di kantor, adalah
wajar kalau kita menapa, “Selamat Pagi, Pak/Bu”, dan tidak wajar mengatakan Apa kabar
Pak/Bu”, karena kata-‐kata itu lebih tepat dipakai kepada orang yang setingkat dengan pembicara
dan bernada ragam santai. Artinya tata cara berbahasa seseorang dipengaruhi norma- ‐norma
budaya suku bangsa atau kelompok masyarakat tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa
kebudayaan yang sudah mendarah daging sangat berpenagruh pada bahasa seseorang.
Itulah sebabnya kita perlu mempelajari atau memahami norma-‐norma kebudayaan
sebelum atau selain mempelajari bahasa.
Gaya berbicara yang dimiliki individu dan menjadi ciri khasnya disebut dengan ideoiek
(Malmkjear, 1991: 344). Ketika seseorang berbicara, kita akan tahu apakah ia seorang
perempuan atau laki-laki, karena suara perempuan berbeda dari suara laki-laki, Selain itu,
juga akan dapat diketahui usia penutur tersebut, apakah anak-anak, orang dewasa, atau
orang lanjut usia. Sebagai contoh adalah ketika kita sedang berada di dalam kamar dan
kemudian kita mendengar ayah bercakap-cakap dengan temannya di luar kamar. Pada
saat salah seorang dari mereka berbicara, kita akan mengetahui siapakah yang sedang
berbicara, Sdbda, Volume // Nomor L September 2006: M - 49 ayah ataukah temannya,
meskipun kita tidak melihatnya. Dari gaya berbahasanya, kita dapat mengetahui identitas
9
penuturnya, karena kita dapat membedakan gaya berbahasa ayah dengan gaya berbahasa
temannya.
Pemilihan kata dalam berbahasa juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi identitas
seseorang. Pada masa pemerintah Orde Baru, misalnya, ketika sedang nnendengarkan
cuplikan pidato pejabat negara dalam suatu siaran berita di radio, kita dapat
mendengarkan seorang pejabat negara mengucapkan kata "diamanken". Begitu
mendengar kata "diamanken", akan segera diketahui identitas penjabat tersebut, yaitu
Presiden Soeharto. Hal ini karena pejabat tersebut sering mengucapkan kata itu dalam
pidatonya dan kemudian menjadi karakter yang membedakan dirinya dari orang lain,
karena orang lain akan mengatakan "diamankan", bukan "diamanken".
Sebagai identitas sosial, bahasa dapat digunakan untuk menunjukkan kelas sosial
seseorang. Seseorang yang berasal dari kelas sosial rendah mempunyai gaya berbahasa
yang berbeda dari orang yang berasal dari kelas sosial lebih tinggi. Gaya berbahasa orang
yang terdidik juga berbeda dari gaya berbahasa orang yang kurang terdidik. Hal ini
menjelaskan bahwa dalam suatu komunitas terdapat suatu variasi bahasa antara individu
yang berstatus sosial rendah dan yang berstatus sosial lebih tinggi.
Variasi bahasa yang didasarkan pada perbedaan status sosial disebut dengan diaiek sosial
atau sosioiek (Wardhaugh, 1988: 46). Sebagai contoh, dalam masyarakat Inggris pada
1950-an terdapat kata dengan pengertian yang sama dapat digunakan untuk membedakan
kelas sosial penuturnya. Masyarakat Inggris kelas atas menggunakan kata sitting room
dan lavatory, sedangkan masyarakat kelas bawah menggunakan kata lounge dan toilet.
Variasi bahasa yang sama juga terjadi dalam masyarakat India. Bahasa yang digunakan
oleh kasta Brahmana berbeda dari bahasa kasta bukan Brahmana. Untuk menyebutkan
kata "susu", misalnya, anggota kasta Brahmana menggunakan kata "haalu", sedangkan
anggota kasta bukan Brahmana menggunakan kata "aalif'. Para Brahmana di wilayah
Tamil menggunakan kata "tuungU1 untuk menyatakan tidur, sedangkan kasta bukan
Brahmana menggunakan kata "orange (Wardhaugh, 1988:46-47).
Di Indonesia terdapat berbagai macam suku bangsa antara lain Jawa, Sunda, Madura,
Bugis, dan Batak. Masing-masing suku bangsa tersebut mempunyai bahasa yang menjadi
10
ciri khas mereka. Suku Sunda, Jawa, dan Madura meskipun berada dalam satu pulau,
tetapi karena bahasanya berbeda. maka disebut sebagai suku-suku yang berbeda.
Sebaliknya sebuah kelompok masyarakat walaupun tidak berada dalam satu wilayah,
tetapi mempunyai bahasa yang sama, akan disebut sebagai satu suku. Di wilayah Provinsi
Lampung di Pulau Sumatera, misalnya, terdapat satu daerah yang bernama Kampung
Jawa. Masyarakat di wilayah tersebut dikenal dengan nama Japung, singkatan dari Jawa
Lampung. Masyarakat di Kampung Jawa tersebut menggunakan bahasa Jawa dalam
berkomunikasi sehari-hari, sehingga mereka dianggap sebagai masyarakat suku Jawa
meskipun tidak tinggal di pulau Jawa.
Hal serupa juga dapat ditemukan pada kelompok masyarakat kesukuan yang ada di
ibukota Jakarta. Mereka tinggal bersama dalam satu wilayah dan komunitas yang sama
dengan suku mereka dan berkomunikasi dengan bahasa suku mereka masing-masing.
Oleh karena itu, di Jakarta terdapat Kampung Bali, Kampung Ambon, Kampung Madura,
dan Kampung Bugis. Kesukuan mereka pada dasarnya ditentukan oleh wilayah asal
mereka, tetapi hal yang paling cepat digunakan untuk mengidentifikasikan identitas etnis
mereka adalah bahasa yang mereka gunakan. Misalnya saja, ketika sedang berjalan-jalan,
kita mendengar sekelompok orang berbicara dafam bahasa Madura. Kita dengan cepat
akan dapat menduga bahwa mereka berasal dari suku Madura. Contoh lainnya adalah
ketika kita mendengar seorang mengucapkan kata "kenapa" dengan bunyi [kenapa], maka
identitas etnis orang tersebut akan dapat segera diketahui, yaitu suku Batak, karena dalam
Bahasa Batak tidak terdapat bunyi Id, yang ada bunyi /e/. Etnis selain Batak
mengucapkan [kenapa], bukan [kenapa].
Penggunaan bahasa sebagai identitas nasional erat hubungannya dengan politik suatu
negara. Sebagai contoh adalah bahasa nasional Malaysia, yaitu bahasa Melayu dan
bahasa Indonesia. Pada dasarnya kedua bahasa tersebut bukanlah bahasa yang berbeda,
salah satunya hanya merupakan variasi dari bahasa lainnya. Akan tetapi, karena adanya
perbedaan wilayah dan politik, yaitu bahwa Malaysia dan Indonesia adalah dua negara
yang berbeda, maka kedua bahasa tersebut kemudian menjadi dua bahasa yang berbeda.
Pemerintah Malaysia menyatakan bahwa bahasa nasional mereka adalah bahasa Melayu,
bukan bahasa Indonesia; sedangkan pemerintah Indonesia menyatakan bahwa bahasa
11
nasional mereka adalah bahasa Indonesia, bukan bahasa Melayu, meskipun pada dasarnya
kedua bahasa tersebut adalah bahasa yang sama.
Peran penting bahasa Indonesia dalam tataran politik semakin ditegaskan oleh Ki Hajar
Dewantara dalam Kongres Bahasa Indonesia I di Solo pada tahun 1938 bahwa yang
dinamakan 'Bahasa Indonesia' yaitu bahasa Melayu yang sungguhpun pokoknya berasal
dari 'Melayu Riau' akan tetapi yang sudah ditambah, diubah, atau dikurangi menurut
keperluan zaman dan alam baru, hingga bahasa itu lalu mudah dipakai oleh rakyat seluruh
Indonesia; pembaruan bahasa Melayu hingga menjadi bahasa Indonesia itu harus
dilakukan oleh kaum ahli yang beralam baru, ialah alam kebangsaan Indonesia, bahasa
Indonesia memang berasal dari bahasa Melayu. Maka pantas, para pelopor kemerdekaan
Indonesia telah memilih Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Secara politik dan
diplomatik, keberadaan bahasa Indonesia memainkan peran yang sangat besar dalam
proses integrasi bangsa Indonesia yang dimulai sejak abad ke-16 sampai dengan abad ke-
19 dan diteruskan pada abad ke-20 melalui gerakan kebangsaan hingga terbentuknya
negara kesatuan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Bahasa Indoesia, sebagai
bahasa nasional dan bahasa resmi negara telah memainkan peran penting sampai
sekarang.
Memang, kehidupan manusia di manapun tidak akan pernah lepas dari politik. Alasan
paling sederhana, karena bahasa menjadi satu-satunya alat paling murah dan efektif untuk
memengaruhi massa untuk meraih kekuasaan, untuk melangsungkan nafsu politik.
Eksistensi bahasa dalam panggung politik adalah realitas. Tidak dapat dipungkiri. Maka
sangat wajar, dunia politik dan para politisi "menunggangi" bahasa untuk meraih simpati,
meraih popularitas hingga membangun citra di mata masyarakat. Ada politisi yang sok
santun dalam berbahasa, ada yang polos lagi lugas, bahkan ada yang sarkasme dan
meracik bahasa dalam ujaran kebencian.
DPR dan DPRD sebagai arena peperangan untuk meraih kekuasaan memang tidak dapat
dipisahkan dari bahasa. Bahasa sangat mungkin mewakili kasta politik. Karena bahasa
pula, politik dapat menjadi nista. Bahasa di panggung politik, sungguh berada di antara
kasta dan nista (Yunus, 2016). Bahasa yang menjadi alat kampanye, bahasa yang
menimbulkan multitafsir. Bahasa, sungguh menjadi "kendaraan" politik yang paling
12
murah untuk dieksploitasi. Bahkan bahasa, seringkali terdistorsi di ranah politik dan
diplomatik. Bahasa politik kini berdiri di antara kasta dan nista. Bahasa sebagai simbol
kasta politisi. Bahasa juga menjadi alat menistakan politisi itu sendiri. Karena bahasa,
sungguh menjadi cerminan politisi dan politik itu sendiri. "Sifat-sifat masyarakat
terutama dapat dipelajari dari bahasanya, yang memang menyatakan sesuatu yang hidup
dalam masyarakat tersebut" (Kailani, 2001).
Kini cara politisi berbahasa hanya membuat wacana baru dan mengundang perdebatan.
Makin menjauh dari nilai rasa bahasa dan hanya permainan kata-kata tanpa makna.
Bahasa politik sama sekali tidak memberikan keindahan dan metafora yang nyaman
untuk dirasakan. Karena bahasa politik, hanya menjadi simbol kasta dan alat menistakan.
Sadar akan dinamika bahasa di bidang politik, semua pemakai bahasa Indonesia termasuk
para politisi harus bertanggung jawab untuk mengembalikan slogan "bahasa
menunjukkan bangsa". Bahasa yang penuh kesantunan hakiki, bermakna realistis, dan
menjadi alat kebaikan. Bahasa Indonesia yang baik dan benar, bukan bahasa yang
diremehkan tapi merasa nasionalis. Timbulnya masalah bahasa di panggung politik,
sungguh menjadi bukti ketidakpedulian kita terhadap bahasa Indonesia itu sendiri. Bahasa
yang gagal menjadi "tuan rumah di negerinya sendiri". Maka wajar, kita lebih memilih
bahasa yang berbeda. Bukan memilih bahasa yang mempersatukan. Hari ini, ada
kecenderungan politisi dan masyarakat yang lebih memilih "bahasa yang berbeda".
13