Anda di halaman 1dari 15

Schistosomiasis pada Manusia dan Pengobatannya

Yesika C. Mofu / 102013435


Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat
Email: yesikamofu@gmail.com

Pendahuluan

Schistosomiasis adalah penyakit yang disebabkan oleh sejenis parasit cacing dari famili
schistosomatidae yang memiliki habitat pada pembuluh darah sekitar usus atau kandung kemih.
Penyebaran schistosomiasis sangat luas didaerah tropis maupun subtropis. Diperkirakan penyakit
ini menginfeksi 200 sampai 300 juta orang pada 79 negara dan sebanyak 600 juta orang
mempunyai resiko terinfeksi (Meidcal Service Corporation International, 2012).1

Di Indonesia Schistosomiasis pada manusia hanya ditemukan didaerah dataran tinggi


Lembah Napu dan Lindu, Sulawesi Tengah yang disebabkan oleh cacing Schistosoma
Japonicum. Schistosomiasis adalah penyakit zoonotic dan merupakan masalah kesehatan
masyarakat. Infeksi schistosoma dapat menimbulkan gejala-gejala yang bersifat umum seperti
gejala keracunan, disentri, penurunan berat badan, penurunan nafsu makan, kekurusan dan
lambatnya pertumbuhan pada anak-anak. Sedang pada penderita yang sudah kronis dapat
menimbulkan pembengkakan hati yang umumnya berakhir dengan kematian. Pengendalian
Schistomiasis di Sulawesi Tengah diawali tahun 1974 melalui pengobatan penderita,
pemberantasan siput sebagai inang antara dengan molusida dan melaui agroengineering.
Walaupun secara umum program pengendalian menekan berhasil menekan angka infeksi, akan
tetapi dengan adanya orang yang masih terinfeksi menunjukkan reinfeksi masih terus
berlangsung dan masih mengancam kesehatan masyarakat setempat. Reinfeksi masih terus
berlangsung dimungkinkan karena masih adanya sumber infeksi yang berasal dari hewan
reservoir dan kebiasaan manusia yang masih kontak dengan larva infektif sehingga infeksi
berlangsung secara terus menerus. 1

1
Anamnesis2

a) Identitas: menanyakan nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, berasal darimana, agama,
pemberi informasi (misalnya pasien, keluarga,dll).
b) Keluhan utama: demam sejak 1 bulan yang lalu
c) Riwayat penyakit sekarang (RPS):
 Demam
1. Sudah sejak kapan ?
2. Demam terus-menerus atau hilang timbul (pagi ,siang, sore menjenlang
malam) ?
3. Menggigil atau tidak ?
 Keluhan penyerta 1,2
 Ada diare atau tidak ?
Sudah sejak kapan ?
Sehari berapa kali ? berapa banyak jika diukur dengan gelas Vit ?
Tinja cair atau padat ? lembek atau keras ?
Apakah ada darah, lendir, atau pus ?
Bagaimana baunya ?
 Ada penurunan nafsu makan? Penurunan berat badan ?
 Ada batuk pilek ?
 Disertai mual muntah atau tidak ?
 Merasa cepat lelah ? lemas ?
 Nyeri otot dan sendi ?
d) Riwayat Penyakit Dahulu (RPD):2
o Apakah pasien pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya ?
o Apakah pasien pernah dirawat di RS dalam jangka waktu yang lama ?
e) Riwayat Pengobatan :
 Sebelumnya sudah berobat ke RS, Puskesmas, atau klinik kesehatan ?
 Sebelumnya sudah minum obat ? obat apa yang diminum ? apakah ada
keluhan berkurang atau tidak ?
f) Riwayat Keluarga:
Keluarga pasien ada yang mengalami keluhan yang sama atau tidak ?
2
Kalau ada, apa hubungannya dengan pasien ? umur ?
g) Riwayat sosial :
 Merokok ? minum alkohol ?
 Kebiasaan mencuci atau mandi di sungai ?
 Hobby atau pekerjaan yang berkontak langsung dengan air di sungai atau
pertanian, dll ?
 Apakah tinggal dirumah yang padat penduduk atau tidak ? orang-orang
disekitar tempat tinggal pasien mengalami keluhan yang sama atau tidak ?
 Apakah pasien baru pulang dari daerah endemis atau tidak ?

Pada skenario : perempuan berusia 35 tahun, keluhan utama: demam 1 bulan yang lalu. Keluhan
disertai dengan diare disertai tinja yang belendir dan berdarah, BB menurun, dan malaise. Pasien
merupakan seorang wisatawan dan memiliki hobby berenang.

Pemeriksaan Fisik3

Konjuntiva : anemis

Sklera : tidak ikterik

Keadaan umum : sakit sedang

Kesadaran :compos mentis

TTV

Pada schistosomiasis akut dapat ditemukan :

 Limfadenopati
 Hepatosplenomegali
 Gatal pada kulit
 Demam
 Urtikaria

Pada schistosomiasis kronik bisa ditemukan :3

3
 Hipertensi portal dengan distensi abdomen, dan hepatosplenomegaly.
 Gagal ginjal dengan anemia
 Gagal jantung kanan

Pada skenario : pasien tampak pucat, mata: anemis. Limfadenopati menyeluruh. Hepar :
hepatomegali.

Pemeriksaan Penunjang2,3

 Pemeriksaan tinja dan urin


Ditemukannya telur-telur dalam tinja dan urin atau biopsi mukosa merupakan suatu
diagnosa pasti. Pada S.hematobium lebih sering ditemukan pada sedimen urin, kurang
ditemukan dalam tinja. Urin dikumpulkan 24 jam atau antara jam 09.00 pagi hingga jam
14.00 siang. Telur-telur dapat juga ditemukan dengan biopsi mukosa buli-buli dan hati..
pada infeksi S.mansoni & S.japonicum telur-telur dapat ditemukan dengan pemeriksaan
tinja secara langsung dengan cara konsentrasi atau kuantitatif Kato-Katz. Dikatakan
infeksi berat bila ditemukan telur-telur lebih dari 400 butir dalam 1 gram tinja. Bila
hasilnya negatif dapat diupayakan dengan biopsi mukosa rectum pada lesi peradangan
atau granulasi atau secara acak pada 2-3 mukosa normal.
 Uji serologi1,3
Tes immunodiagnosis dapat digunakan bila hasil pemeriksaan urin atau tinja negatif.
Hasil yang akurat diperoleh setelah terpajan 6-8 minggu dengan air yang tercemar dengan
serkaria. Disini diperiksa antibodi terhadap cacing dewasa, sistosomula, dan serkaria
dengan tes sebai berikut : ELISA, FAST, Tes Wastern blot, Immunoblot, dll. Hasil tes
tidak ada hubungan dengan beratnya infeksi. Tes antigen darah dan urin sensitif dapat
membedakan infeksi baru atau lama. Hilangnya antigen yang beredar 5-10 hari
pascaterapi menandakan kesembuhan
 Hematologi rutin
Pada pemeriksaan hematologi rutin yang dihitung adalah eritrosit, leukosit, dan
trombosit. Pada infeksi parasit biasanya ditemukan eosinophil meningkat. Eosinophil
merupakan salah satu dari jenis leukosit. Normal eosinophil pada darah hanya 1-4%.

4
Pada skenario : pemeriksaan lab didapatkan eosinophilia. Pemeriksaan tinja ditemukan telur
berbentuk bulat dengan tonjolan kecil pada bagian lateral kutub.

Diagnosis4

a. Working Diagnosis
Schistosomiasis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh cacing trematoda darah
Schistosoma japonicum dengan hospes perantara keong Onchomelania hupensis
lindoensis. Schistosomiasis juga sering disebut demam keong didaerah endemis di
Indonesia. Schistosomiasis di Indonesia hanya ditemukan di Provinsi Sulawesi Tengah
yaitu daerah tinggi lindu, Kabupaten Sigi dan dataran tinggi Napu dan dataran tinggi
Bada, Kabupaten Poso. 4
Schistosoma merupakan jenis trematoda darah. Kata schistosoma berasal dari “schist”
yang berarti suatu alur kanal yang panjang. Pada manusia dapat menyebabkan penyakit
Schistosomiasis atau bilharziasis. Ada lima jenis Schistosoma yang ditemukan pada
manusia ada 3 jenis, yaitu : S.japonicum, S.mansoni, S.hematobium. Setiap Schistosoma
menimbulkan gejala-gejala pada tubuh manusia, seperti urtikaria (gatal-gatal), demam,
diare, sindrom disentri, gejala pada paru dan sebagainya. Siklus hidup dari schistosoma
sama, hanya berbeda di genus hospes perantaranya yang menyebabkan penyakit
schistosomiasis pada manusia. penularan parasite ini melalu penetrasi kulit, mukosa
mulut, dan saluran cerna.
b. Diferential Diagnosis
Ada tiga jenis schistosoma yang dapat menyebabkan penyakit schistosomiasis, yaitu
:
Schistosoma japonicum. Jenis trematoda darah ini menyebabkan oriental
schistosomiasis, schistosoma japonica, penyakit Katamaya atau penyakit
keong. Hospesnya adalah manusia dan berbagai macam binatang seperti
anjing, kucing, rusa, tikus sawah (Ratus), dan sapi. Cacing ini ditemukan
didaerah Thailand, Malaysia, laos, Vietnam, dan juga Indonesia yang berada
di Sulawesi Tengah tepatnya di danau Lindu dan lembah Napu. Cacing
dewasa jantan berukuran kira-kira 1,5 cm dan yang betina 1,9 cm, hidupnya di
vena mesenterika superior. Telur dan jenis schistosoma ini terdapat spina atau

5
duri yang posisinya khas yaitu dibagian lateral dan kadang sulit terlihat. Telur
ditemukan di dinding usus halus dan juga alat dalam seperti hati. Kelainan
tergantung dari beratnya infeksi. Kelainan yang ditemukan pada stadium I
adalah gatal-gatal (urtikaria). Gejala intoksikasi disertai demam,
hepatomegali dan eosinophilia tinggi. Stadium 2 ditemukan sindrom disentri
dan stadium 3 ditemukan sirosis hati dan splenomegaly, biasanya pasien
terlihat lemah (emasiasi). Mungkin terdapat gejala saraf dan paru.
Schistosoma ini satu-satunya jenis trematoda darah yang berada di Indonesia
bagian Sulawesi Tengah (danau lindu dan lembah napu).2,3 Disana sudah
dilakukan pengobatan masal dengan prazikuantel yang dilakukan oleh
deprtemen kesehatan melalui Subdirektorat Pemberantasan Penyakit Menular
dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (Subdit, P2M&PLP) dengan hasil
yang cukup baik. Prevalensi dari 37% menjadi 1,5% setelah pengobatan.4
Schistosoma mansoni. Hospes definitive nya adalah manusia dank era baboon
di Afrika sebagian hospes reservoir. Pada manusia menyebabkan
Schistosomiasis usus. Distribusi cacing ini terdapat di Afrika, Arab, Amerika
selatan dan tengah. Telur dari jenis schistosoma initerdapat spina yang
posisinya khas di lateral dan jelas terlihat. Pada badan cacing jantan terdapat
tonjolan lebih kasar bila dibandingkan dengan S.japonicum dan
S.hematobium. cacing dewasa jantan berukuran kira-kira 1 cm dan yang betina
1,4 cm, tempat hidupnya di vena, kolon, dan rectum. Kelainan dan gejala yang
ditimbulkan sama seperti S.japonicum tetapi lebih ringan., dan spelomegaly
dapat menjadi berat sekali.
Schistosoma hematobium. Hospes definitive nya adalah manusia. Cacing ini
menyebabkan schistosomiasis kandung kemih. Baboon dan kera lain
dilaporkan sebagai Hospes reservoir. Dapat ditemukan di Afrika, Arab bagian
Timur; lembah Nil dan tidak ditemukan di Indonesia. 1 Telur dari schistosoma
ini terdapat spina yang posisinya khas yaitu spina terminalis dan mudah
terlihat. Cacing dewasa jantan berukuran 1,3cm dan untuk betina 2,0cm.
Hidupnya di vena panggul kecil, terutama di vena kandung kemih. Telur
ditemukan di urin dan alat dalam lain, juga di alat kelamin dan rectum.

6
Kelainan terutama ditemuka di dinding kandung kemih. Gejalanya dapat
berupa kelainan kandung kemih, hematuria dan dysuria bila terjadi sistitis,
sindrom disentri, ditemukan bila terjadi kelainan di rectum.4

Etiologi5

Schistosomiasis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit Schistosoma japonicum.

Filum : Platyhelmintes
Kelas : Trematoda
Subkelas : Dignea
Ordo : Strigeidida
Subordo : Strigeata
Genus : Schistosoma
Spesies : Schistosoma japonicum, Schistosoma mansoni, Schistosoma hematobium
Schistosomiasis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit schistosoma, yaitu sejenis
parasit berbentuk cacing yang menghuni pembuluh darah usus atau kandung kemih orang yang
terinfeksi.

Schistosomiasis dapat menginfeksi seseorang yang memiliki kontak langsung dengan air
bersih dimana air tersebut terkontaminasi dengan parasit schistosoma, seperti berenang, mencuci
di pinggiran sungai, menyeberangi, dll.3,5 Schistosoma berkembangbiak didalam keong jenis
khusus yang menetap di air yaitu Onchomelania hupensis lindoensis, Biomphalaria sp,dan
Bulinus sp, dimana mereka dilepaskan untuk bebas berenang didalam air. Jika mereka mengenai
kulit seseorang, mereka akan melakukan penetrasi sehingga masuk kedalam tubuh seseorang
yang terinfeksi dan bergerak melalui aliran darah menuju paru-paru. Dimana mereka menjadi
cacing pita dewasa. Cacing pita dewasa tersebut masuk melalui aliran darah menuju tempat akhir
didalam pembuluh darah kecil di kandung kemih atau usus, dan mereka akan menetap disitu
untuk beberapa waktu. Cacing pita dewasa tersebut meletakkan telur-telur dalam jumlah besar
pada dinding kandung kemih atau usus. Telur-telur tersebut menyebabkan jaringan setempat
rusak dan meradang, yang menyebabkan pendarahan, dan pembentukkan jaringan parut.
Beberapa telur masuk kedalam kotoran (tinja) atau kandung kemih. Jikakotoran kandung kemih

7
atau tinja pada orang yang terinfeksi memasuki air bersih, telur-telur akan menetas, dan parasit
schistosoma memasuki keong untuk memulai siklusnya kembali.5

Schistosoma mansoni dan schistosoma japonicum biasanya menetap didalam pembuluh


darah kecil pada usus. Beberapa telur mengalir dari usus melalui aliran darah menuju ke hati.
Akibatnya peradangan hati bisa menyebabkan terbentuknya jaringan parut dan meningkatkan
tekanan didalam pembuluh darah yang membawa darah antara saluran usus dan hati (pembuluh
darah portal). Tekanan darah tinggi didalam pembuluh darah portal (hipertensi portal) bisa
menyebabkan pembesaran pada limpa.

Gambar 1. Cacing S.japonicum6 Gambar 2. Cacing S.mansoni

Gambar 3. Cacing S.hematobium


Gambar 4. Telur Schistosoma6

Epidemiologi1,3,5

8
Diseluruh dunia, lebih dari 200 juta orang menderita Schistosomiasis, 20 juta diantaranya
menderita sakit berat, dan 120 juta menunjukkan tanda-tanda klinis. Serta menjadi ancaman bagi
500-600 juta orang di 74 negara berkembang. Pada tahun 2015 dilaporkan oleh WHO, ada 243
juta orang memerlukan pengobatan untuk Schistosomiasis, dengan jumlah orang yang dilaporkan
telah dirawat untuk Schistosomiasis pada tahun 2015 ada 28,1 juta. Secara global, ditemukan
200.000 kematian yang dikaitkan dengan Schistosomiasis per tahun.

Schistosomiasis tersebar di Negara-negara Asia, Afrika, Amerika latin dan Timur Tengah. Di
Asia, cacing ini tersebar di 7 negara, antara lain Jepang, Cina, Philphina, Indonesia, Malysia,
Kamboja, Laos, dan Thailand. Di Asia, penyakit ini disebut Schistosomiasis japonicum atau
dinamakan juga Oriental schistosomiasis atau penyakit Katayama atau penyakit demam keong
yang disebabkan oleh cacing Schistosoma japonicum.

Di Indonesia, penyakit ini baru ditemukan di lembah Lindu (Kec. Kulawi, Kab. Donggala) dan
lembah Napu-Besoa (Kec. Lore, Kab. Poso) yang terletak di Sulawesi Tengah. Schistosomiasis
masih menjadi ancaman bagi lebih dari 25.000 penduduk dikedua daerah endemis tersebut.
Prevalensi Schistosomiasis di lembah Lindu pada tahun 2012 (0,64%) dan tahun 2013 (0,17%)
memperlihatkan kecenderungan yang menurun. Sementara di lembah Napu pada tahun 2012
(0,70%) dan tahun 2013 (1,71%) memperlihatkankecenderungan yang meningkat.

Patofosiologi7

Kelainan yang ditimbulkan oleh infeksi Schistosoma japonicum sangat berhubungan dengan
respon imun hospes terhadap antigen dari cacing dan telurnya. Resepon imun ini sendiri
dipengaruhi oleh Intensitas infeksi. Respon imun pada penderita schistosomiasis mempengaruhi
perjalanan penyakit, antara lain menimbulkan perubahan patologi berupa pembentukan
granuloma dan gangguan terhadap organ, mempunyai efek proteksi terhadap kejadian infeksi
berat atau bahkan cacing schistosoma dapat bertahan selama beberapa tahun meskipun hospes
mempunyai respon imun yang kuat. Organ yang sering diserang adalah usus, kandung kemih dan
hati.

9
Gambar 5. Siklus hidup Schistosoma

Siklus hidup

Untuk cacing S.japonicum, hospes perantaranya adalah keong air jenis Onchomelania hupensis
lindoensis. Mirasidium kemudian menembus masuk kedalam tubuh keong air dan berkembang
biak menjadi sporokista I, kemudian sporokista II, dan terakhir adalah stadium serkaria.2,3

Serkaria kemudian meninggalkan keong air, berenang mencari hospes definitifnya yaitu manusia
dan binatang. Bila tidak menemukan hospesnya, maka dalam waktu 48-72 jam, serkaria akan
mati. Infeksi pada manusia dan binatang terjadi dengan cara serkaria menembus kulit. Dalam
tubuh hospes definitif serkaria berubah menjadi schistosomulum, masuk kedalam pembuluh
darah atau saluran limfe lalu akan dibawa masuk ke jantung kanan, paru-paru, jatung kiri dan
selanjutnya melalui peredaran darah besar ke vena usus dan menjadi dewasa didalam vena
porta.5

Cacing S.japonicum hidupnya terutama didalam vena porta dan vena mesenterica superior.
Cacing betina mengeluarkan telur didalam pembuluh darah, dan telur tersebut menembus keluar
dari pembuluh darah, masuk kedalam jaringan sekitarnya. Selanjutnya telur dapat masuk

10
kedalam lumen usus dan ditemukan didalam tinja, sebagian telur yang tertinggal di jaringan akan
menimbulkan kelainan berupa pembentukan pseudoabses disekitar telur kumudian dibentuk
pseudotubercle. Dan sebagian telur juga akan mengalir dengan aliran darah masuk ke alat-alat
dalam tubuh terutama hati. Terlur yang terdapat didalam tinja akan menetas didalam air dan
keluarlah larva yang disebut mirasidium., larva ini bersilia dan dapat berenang didalam air untuk
mencari hospes perantaranya. 4,5

Manifestasi klinis8

Penyakit Schistosomiasis akut dapat ditandai dengan gejala demam (nokturna), malaise,myalgia,
nyeri kepala, nyeri abdomen, batuk non produktif. Gejala ini dapat terjadi sebelum ditemukannya
telur didalam feses dan akan mencapai puncaknya pada minggu ke 6-8 setelah infeksi.

Jika gejala-gejala ini tidak segera di obati maka akan menimbulkan reaksi fibrotik pada
Schistosomiasis kronis :4,8

 Gejala sistemik akut (Demam Katamaya) dapat terjadi pada infeksi primer 2-6 minggu
 Jika pembuluh darah usus terinfeksi secara kronis : perut tidak nyaman, nyeri, dan
pendarahan (terlihat pada kotoran), yang bisa mengakibatkan anemia.
 Jika organ hati yang terkena dan tekanan pembuluh darah portal tinggi: pembesaran hati
dan limpa, muntah darah (hematemesis) dalam jumlah banyak.
 Paru (fibrosis paru)
 Limfadenopati
 Kandung kemih (hematuria,dysuria, sistitis, dll)
 Jika otak atau tulang belakang yang terinfeksi secara kronis (jarang terjadi) : kejang atau
kelemahan otot.

Penatalaksanaan9

Pemberantasan schistosomiasis telah dilakukan sejak tahun 1960-an. Beberapa jenis obat telah
dicoba, mulai dari Pottasium Antimony Tartate (PAT), Miracil A, B,C,D, Oxaminiquine,
Niridazole, Oltipraz, sampai ditemukannya Praziquantel pada tahun 1970-an, sedangkan untuk
profilaksis di Cina telah menemukan obat derivate artemisinin. Ternyata dari obat yang dicoba,

11
Praziquantel mempunyai spektrum yang luas dan efek samping yang tidak berat. Praziquantel
ditemukan oleh Merck dan Bayer AG pada tahun 1972.

Praziquantel mempunyai efek farmakologi sebagai berikut :

a. Stimulasi aktivitas motoric


b. Induksi kontraksi spamodik pada otot, dan
c. Merusak tegument daric acing Schistosoma sp.

10-30 menit sesudah paparan obat baik secara in vitro maupun in vivo tampak kerusakan
tegument yang sangat ekstensif dari S. japonicum. Praziquantel mempunyai pengaruh terhadap
morfologi, motilitas, dan viabilitas dari mirasidium yang telah menetas. Praziquantel sangat
efektif membunuh cacing dewasa tetapi tidak menunjukkan efek yang jelas pada sistosomula.
Dengan demikian pengobatan dengan Praziquantelakan menurunkan morbiditas dengan sangat
signifikan, tetapi akan terjadi reinfeksi dan kembali ke tingkat prevalensi sebelumnya apabila
tidak ada penanggulangan lain untuk mencegah terjadi reinfeksi. Dengan dasar inilah maka para
peneliti Cina telah mengembangkan derivate arthemisinin yaitu arthemeter dan arthesunate
sebagai kemoprofilaktik terhadap schistosomiasis. 5,9

Spesies Schistosoma Dosis Praziquatentel

S.mansoni, S.hematobium, S.intercalatum 40mg/kgBB oral perhari dan dibagi dalam dua
dosis perhari

S,japonicum, S.mekongi 60mg/kgBB oral perhari dibagi dalam 3 dosis


perhari

Komplikasi 9

Komplikasi yang sering terjadi dari penyakit ini antara lain :

 Splenomegaly (pembesaran limpa)


 Malnutrisi (gizi buruk)
 Hipertensi portal ( peningkatan tekanan aliran darah portal diatas 10-12 mmHg)

12
 Hipertensi pulmonal
 Gangguan fungsi hati
 Gangguan usus besar
 Epilepsi atau neuritis optika akibat dari penimbunan telur-telur Schistosoma.

Pencegahan 2,3,4

 Memberikan penyuluhan kepada masyarakat di daerah endemis tentang cara-cara


penularan dan cara pemberantasan penyakit ini.
 Buang air besar dan buang air kecil di jamban yang sudah disediakan, agar telur
cacing tidak mencapai sumber-sumber air tawar yang mengandung keong sebagai
hospes perantara.
 Pengawasan terhadap hewan yang terinfeksi schistosoma, walaupun memang sulit
untuk dilakukan.
 Memperbaiki cara-cara irigasi dan pertanian; untuk mencegah pemajanan dengan
air yang terkontaminasi (contoh: gunakan sepatu bot karet). Untuk mengurangi
penetrasi serkaria setelah terpajan dengan air yang terkontaminasi dalam waktu
singkat atau secara tidak sengaja, yaitu kulit yang basah dengan air yang diduga
terkontaminasi dapat dikeringkan dengan handuk dan mengoleskan alkohol 70%
segerapada kulit untuk membunuh serkaria.
 Memberantas tempat perindukan keong dengan moluskisida, tapi harus
dipertimbangkan secara ekonomi karna membutuhkan biaya yang besar.
 Persediaan air minum, air untuk mandi dan mencuci pakaian sebaiknya diambil dari
sumber yang bebas sekaria atau air yang sudah diberi obat untuk membunuh
serkarianya.
 Obati penderita didaerah endemisdengan praziquantel untuk mencegah penyakit
berlanjut dan mengurangi penularan.
 Para wisatawan yang mengunjungi daerah endemis harus diberitahu akan resiko
penularan dan cara pencegahan.

13
Kesimpulan

Schsistosomiasis merupakan infeksi yang disebkan oleh sejenis cacing trematoda yang
hidup didalam pembuluh darah vena meseenterica atau pembuluh darah vena kandung kemih
dari seseorang selama bertahun-tahun. Yang dapat ditularkan melalui air yang mengandung
betuk larva yang berenang bebas, yang sebelumnya berkembang di tubuh keong. Gejala klinis
yang timbul tergantung pada jumlah dan letak telur pada tubuh manusia sebagai inang. Gejala
utamanya adalah p-ada hati, saluran pencernaan, dan gejala-gejala seperti diare, sakit perut,
pembesaran hati dan limpa, serta pembesaran KGB. Gejala sistemik akut (Demam Katamaya)
dapat terjadi pada infeksi primer setelah terpajan, yaitu sebelum atau pada saat telur diletakkan.
Dengan memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang cara penularan dan cara
pemberantasan penyakit ini diharapkan dapat menurunkan morbiditas akibat penyakit ini.
Pengobatan dengan Praziquantel sangat efektif dalam mengobati segala bentuk Schistosomiasis.

Daftar Pusaka

14
1. Nadisastra Djaenudin, Ridad Agoes, Parasitologi kedokteran, Ditinjau dari Organ Tubuh
yang Diserang, Cetakan 1, EGC 2013.
2. Schistosoma japonicum in Potensial Risk Regions of China,2008-2012’. International
Journal of Enviromental Research and Public Health, 11; 2278-2287.
3. Medical Service Corporation International (MCI), 2012. Schistosomiasis, Enviromental
Health and Diseases Control.
4. Hariyanto, M E., 2008.’ Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 1 (5): 219-225.
5. ‘Billharzia: Pathology, Diagnosis, Management and Control .’Tropical Medicine Surgery,
1(4):1-9.
6. https://www.google.co.id/search?dcr=0&tbm=isch&sa=1&ei=phccWo_zK4PYvAS
7. Rsuj di, S.R., 2011.’Schistosomiasis, Hubungan Respon Imun dan Perubahan Patologi’.
Majalah Kedokteran Andalas, 35 (2): 83-90.
8. Sudomo M. 2011. Schistosomiasis Control in Indonesia. Majalah Parasitologi Indonesia
13 (1-2): 1-10.
9. Staf Pengajar Departemen Parasitologi, 2013. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran, Edisi
4. FKUI, Jakarta.

15

Anda mungkin juga menyukai