Anda di halaman 1dari 18

1

Disentri et causa Entamoeba hystolitica


Hans Christian
NIM : 102011079
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Alamat Korespondensi : hansschristian@gmail.com
Pendahuluan
Kebersihan diri dan lingkungan merupakan salah satu faktor untuk menjaga diri kita
untuk terhindar dari suatu penyakit. Bila sudah terkena suatu penyakit, maka penatalaksanaan
yang tepat harus dilakukan untuk mendapatkan kesembuhan. Tetapi hal yang paling baik adalah
dengan mencegah penyakit tersebut, maka dari itu lebih baik mencegah daripada mengobati.
Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk mencegah suatu penyakit. Dimulai dari diri kita sendiri
untuk bagaimana berpikir sehat sehingga tidak mudah terkena penyakit, serta sadar akan
kebersihan lingkungan,karena lingkungan yang bersih bisa menjaga kita dari berbagai penyakit.
Disentri merupakan suatu infeksi yang menimbulkan luka yang menyebabkan tukak
terbatas di colon yang ditandai dengan gejala khas disebut sebagai sindroma disentri,yakni: sakit
di perut yang sering disertai dengan tenesmus,berak-berak,dan tinja,mengandung darah dan
lendir. Adanya darah dan lekosit dalam tinja merupakan suatu bukti bahwa kuman penyebab
disentri tersebut menembus dinding kolon dan bersarang di bawahnya. Disentri paling sering
disebabkan oleh E.hystolitica atau kuman genus Shigella.
Anamnesis
Anamnesis adalah pengambilan data yang dilakukan oleh seorang dokter dengan cara
melakukan serangkaian wawancara dengan pasien (autoanamnesis), keluarga pasien atau dalam
keadaan tertentu dengan penolong pasien (aloanamnesis). Berbeda dengan wawancara biasa,
anamnesis dilakukan dengan cara yang khas, yaitu berdasarkan pengetahuan tentang penyakit
dan dasar-dasar pengetahuan yang ada di balik terjadinya suatu penyakit serta bertolak dari
masalah yang dikeluhkan oleh pasien.

Berdasarkan anamnesis yang baik dokter akan
menentukan beberapa hal mengenai hal-hal berikut.
1
2


1. Penyakit atau kondisi yang paling mungkin mendasari keluhan pasien (kemungkinan
diagnosis)
2. Penyakit atau kondisi lain yang menjadi kemungkinan lain penyebab munculnya keluhan
pasien (diagnosis banding)
3. Faktor-faktor yang meningkatkan kemungkinan terjadinya penyakit tersebut (faktor
predisposisi dan faktor risiko)
4. Kemungkinan penyebab penyakit (kausa/etiologi)
5. Faktor-faktor yang dapat memperbaiki dan yang memperburuk keluhan pasien (faktor
prognostik, termasuk upaya pengobatan)
6. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang medis yang diperlukan untuk menentukan
diagnosisnya

Selain pengetahuan kedokterannya, seorang dokter diharapkan juga mempunyai
kemampuan untuk menciptakan dan membina komunikasi dengan pasien dan keluarganya untuk
mendapatkan data yang lengkap dan akurat dalam anamnesis. Lengkap artinya mencakup semua
data yang diperlukan untuk memperkuat ketelitian diagnosis, sedangkan akurat berhubungan
dengan ketepatan atau tingkat kebenaran informasi yang diperoleh.
2

Melalui skenario yang ada, dapat diketahui bahwa seorang perempuan berusia 22 tahun
datang dengan keluhan mencret sejak 3 hari yang lalu, sebanyak 8 kali sehari, konsistensi cari,
ampas kehijauan, berbuih, terdapat darah dan lendir, berbau busuk, demam, muntah, sertai
disertai kembung. Hal-hal yang perlu ditanyakan oleh seorang dokter pada pasien tersebut
(melalui autoanamnesis) adalah anamnesis umum (nama, alamat, tempat dan tanggal lahir,
pekerjaan dan lain lain ), keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit keluarga,
lingkungan tempat tinggal dan lain-lain.
a. Keluhan utama
Yaitu gangguan atau keluhan yang dirasakan penderita sehingga mendorong ia untuk
datang berobat dan memerlukan pertolongan serta menjelaskan tentang lamanya keluhan
tersebut. Keluhan utama merupakan dasar untuk memulai evaluasi pasien.
2

3

b. Riwayat penyakit sekarang
Penyakit yang bermula pada saat pertama kali penderita merasakan keluhan itu.
Tentang sifat keluhan itu yang harus diketahui adalah:
1) Tempat
2) Kualitas penyakit
3) Kuantitas penyakit
4) Urutan waktu
5) Situasi
6) Faktor yang memperberat atau yang mengurangi
7) Gejala-gejala yang berhubungan

c. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit yang pernah diderita di masa lampau yang mungkin berhubungan
dengan penyakit yang dialaminya sekarang.
2

d. Riwayat keluarga
Segala hal yang berhubungan dengan peranan heredriter dan kontak antar anggota
keluarga mengenai penyakit yang dialami pasien. Dalam hal ini faktor-faktor sosial
keluarga turut mempengaruhi kesehatan penderita.
2

e. Riwayat pribadi
Segala hal yang menyangkut pribadi pasien. Mengenai peristiwa penting pasien
dimulai dari keterangan kelahiran, serta sikap pasien terhadap keluarga dekat. Termasuk
dalam riwayat pribadi adalah riwayat kelahiran. Riwayat imunisasi, riwayat makan,
riwayat pendidikan dan masalah keluarga.
2

f. Riwayat sosial
Mencangkup keterangan mengenai pendidikan, pekerjaan dan segala aktivitas di luar
pekerjaan, lingkungan tempat tinggal, perkawinan, tanggungan keluarga, dal lain-lain.
Perlu ditanyakan pula tentang kesulitan yang dihadapi pasien.
2

4

Pemeriksaan Fisik
Sebelumnya, kita lakukan dulu inspeksi untuk melihat keadaan umum dari pasien, dan
juga kesadaran dari pasien. Pasien yang menderita amebiasis, biasanya saat dilakukan palpasi
akan terasa nyeri tekan di kuadran bawah abdomen. Palpasi juga dilakukan untuk mengetahui
apakah ada pembesaran hati (hepatomegali) atau tidak, karena pada amebic abses hati, pada 30-
50% kasus terjadi hepatomegali. Selain itu, perlu juga dilakukan perkusi di daerah abdomen,
untuk mendengar suara dari organ di abdomen, serta dilakukan auskultasi untuk mendengar
bising usus dari pasien.
Setelah melakukan pemeriksaan inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi, maka
selanjutnya dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital yang meliputi suhu tubuh, tekanan nadi,
tekanan darah, dan frekuensi pernapasan untuk diketahui apakah terjadi peningkatan atau
penurunan dari masing-masing tanda-tanda vital tersebut.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk membantu diagnosa akan suatu penyakit, dalam
scenario ini adalah disentri. Diagnosis yang akurat merupakan hal yang sangat penting, karena
90% penderita asimtomatik E.histolytica dapat menjadi sumber infeksi bagi sekitarnya.
1. Pemeriksaan mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik tidak dapat membedakan E.histolytica dengan E. dispar. Selain
itu pemeriksaan berdasarkan satu kali pemeriksaan tinja sangat tidak sensitif. Sehingga peme-
riksaan mikroskopik sebaiknya dilakukan paling sedikit 3 kali dalam waktu 1 minggu
bal k unt uk kasus akut maupun kronik. Adanya sel darah merah dalam sitoplasma E.
histolytica stadium trofozoit merupakan indikasi terjadinya invasif amebiasis yang
hanya disebabkan oleh E. histolytica. Selain itu, motilitas stadium trofozoit akan menghilang
dalam waktu 20-30 menit. Karena itu bila tidak segera diperiksa, sebaiknya tinja disimpan
dalam pengawet polyvinil alcohol (pva) atau pada suhu 4C. Dalam hal yang terakhir,
stadium trofozoit dapat terlihat aktif sampai 4 jam. Selain itu pada sediaan basah dapat
ditemukan sel darah merah. Hal yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan mikroskopik
adalah keterlambatan waktu pemeriksaan, jumlah tinja yang tidak mencukupi, wadah tinja
5

yang terkontaminasi urin atau air, penggunaan antibiotik (tetrasiklin, sulfonamid), laksatif,
antasid, preparat antidiare (kaolin, bismuth), frekuensi pemeriksaan dan tinja tidak diberi
pengawet.
3


Gambar 1. Stadium trofozoit E.histolytica.
4
2. Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi antibodi
Sebagian besar orang yang tinggal di daerah endemis E. histolytica akan terpapar
parasit berulang kali. Kelompok tersebut sebagian besar akan asimtomatik dan
pemeriksaan antibodi sulit membedakan antara current atau previous infections.
Pemeriksaan antibodi akan sangat membantu menegakkan diagnosis pada kelompok
yang tidak tinggal di daerah endemis. Sebanyak 75-80% penderita dengan gejala yang
disebabkan E.histolytica memperlihatkan hasil yang positif pada uji serologi antibodi
terhadap E.histolytica.
3

Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai macam uji serologi seperti IHA, lateks
agglutinasi, counter-immunoelectrophoresis, gel diffusion test, uji komplemen dan
ELISA. Biasanya yang merupakan uji standar adalah IHA, sedangkan ELISA merupakan
alternatif karena lebih cepat, sederhana dan juga lebih sensitif. Antibodi IgG terhadap
antigen lektin dapat dideteksi dalam waktu 1 minggu setelah timbul gejala klinis baik pada
penderita kolitis maupun abses hati ameba. Bila hasilnya meragukan, uji serologi tersebut
6

dapat diulang.Walaupun demikian, hasil pemeriksaan tidak dapat membedakan current
infection dari previous infection. IgM anti-lektin terutama dapat dideteksi pada minggu
pertama sampai minggu ketiga pada seorang penderita kolitis ameba.
3

Titer antibodi tidak berhubungan dengan beratnya penyakit dan respons terhadap
pengobatan, sehingga walaupun pengobatan yang diberikan berhasil, titer antibodi tetap
tidak berubah. Antibodi yang terbentuk karena infeksi E. histolytica dapat bertahan sampai
6 bulan, bahkan pernah dilaporkan sampai 4 tahun.
3

3. Deteksi antigen
Antigen ameba yaitu Gal/Gal-Nac lectin dapat dideteksi dalam tinja, serum, cairan
abses dan air liur penderita. Hal ini dapat dilakukan terutama menggunakan teknik ELISA,
sedangkan dengan teknik CIEP temyata sensitivitasnya lebih rendah. Deteksi antigen pada
tinja merupakan teknik yang praktis, sensitif dan spesifik dalam mendiagnosis amebiasis
intestinalis. Walaupun demikian, tinja yang tidak segar atau yang diberi pengawet akan
menyebabkan denaturasi antigen, sehingga memberikan hasil yang false negative.
3

Oleh karena itu, syarat melakukan ELISA pada tinja seseorang yang diduga menderita
amebiasis intestinalis adalah tinja segar atau disimpan dalam lemari pendingin. Dengan
menggunakan E. histolytica test II dapat dibedakan infeksi yang disebabkan oleh E.
histolytica atau E. dispar. Pada penderita abses hati ameba deteksi antigen dapat dilakukan
pada pus abses atau serumnya.
3
4. Pemeriksaan darah
a. Hitung sel darah putih
Hitung sel darah putih (SDP) digunakan untuk menilai distribusi dan morfologi SDP. Hal
ini memberikan informasi yang lebih spesifik tentang kekebalan tubuh pasien terhadap
hitung SDP sendiri. SDP diklasifikasikan sebagai salah satu dari lima tipe utama leukosit
(neutrofil, eosinofil, basofil, limfosit, dan monosot) serta presentasi dari tipe tersebut.
Hitung jenis adalah presentase tiap tipe SDP di dalam darah. Jumlah total pada tipe SDP
diperoleh dengan mengalikan presentase masing-masing tipe SDP dengan hitung SDP
total. Kadar yang tinggi dari leukosit ini berhubungan dengan berbagai gejala alergi dan
7

reaksi terhadap parasit. Hitung eosinofil kadang kala dilakukan sebagai uji follow up
apabila terdapat kenaikan atau penurunan kadar eosinofil.

b. Peningkatan kadar alkali fosfatase (80%).
c. Peningkatan kadar transaminase.
d. Peningkatan ringan kadar bilirubin.
e. Penurunan kadar albumin.
f. Anemia ringan.
g. Peningkatan laju endap darah (LED).
4,5

Diagnosis Kerja
Disentri adalah inflamasi usus yang ditandai oleh buang air besar disertai darah dan
lendir. Selain itu, juga disertai tenesmus dan kolik. Sedangkan amebiasis (disentri ameba)
merupakan invasi usus besar oleh protozoa Entamoeba histolytica, yang menyebabkan
ulkus mukosa yang menimbulkan nyeri, diare yang silih berganti dengan konstipasi, dan
darah serta lendir keluar melalui anus sehingga disebut "disentri ameba". Jika ameba tersebut
masuk sirkulasi portal hati, ameba tersebut dapat menyebabkan abses hati.
6

Etiologi
Entamoeba histolytica merupakan suatu parasit yang sering ditemukan dalam usus besar
manusia, primata tingkat tinggi tertentu, beberapa binatang jinak rumahan dan komensal.
Sebagian besar kasusnya bersifat asimtomatik. Manusia merupakan hospes definitif, dan
kucing, anjing, kera, tikus, marmot merupakan hospes reservoar parasit ini. Entamoeba
histolytica dapat menimbulkan penyakit disentri ameba. Di samping itu, penyakit disentri
juga dapat terjadi karena bakteri atau basil yang disebut dengan disentri basiler (shigellosis).
7
Morfologi dan Daur Hidup
Dalam daur hidupnya, E.histolytica mempunyai 2 stadium, yaitu: trofozoit dan
kista. Bila kista matang tertelan, ki st a tersebut t iba di l ambung masi h dal am
keadaan ut uh karena di ndi ng ki st a t ahan t erhadap asam l ambung. Di rongga
terminal usus halus, dinding kista dicernakan, terjadi ekskistasi dan keluarlah
stadium trofozoit yang masuk ke rongga usus besar. Dari satu kista yang mengandung 4
buah inti, akan terbentuk 8 buah t rofozoi t .
3

8

St adi um t r ofozoi t berukuran 10-60 mikron (sel darah merah 7 mikron);
mempunyai inti entameba yang terdapat di endoplasma. Ektoplasma bening homogen terdapat di
bagian tepi sel, dapat dilihat dengan nyata. Pseudopodium yang dibentuk dari ektoplasma, besar
dan lebar seperti daun, dibentuk dengan mendadak, pergerakannya cepat dan menuju suatu
ar ah ( l i ni er ) . Endopl asma ber but i r halus, biasanya mengandung bakteri atau sisa
makanan. Bila ditemukan sel darah merah disebut erythrophagocytosis yang merupakan
tanda patognomonik infeksi E. histolytica.
3

St adi um t rofozoi t dapat bersi fat patogen dan menginvasi jaringan usus
besar. Dengan aliran darah, menyebar ke jaringan hati, paru, otak, kulit dan vagina. Hal
tersebut disebabkan sifatnya yang dapat merusak jaringan sesuai dengan nama spesiesnya
E. histolytica (histo = jaringan, lysis = hancur). Stadium trofozoit berkembang biak
secara belah pasang. Secara morfologi stadium trofozoit E. histol yti ca ti dak dapat
dibedakakan dengan E. dispar, kecuali ditemukan sel darah merah dalam endoplasma.
Walaupun pada entamoeba yang apatogen ektoplasma tidak nyata dan hanya tampak bila
membentuk pseudopodium. Pada tinja segar, pseudopodium terlihat dibentuk perlahan-lahan
sehingga pergerakannya lambat.
3

Stadium kista dibentuk dari stadium trofozoit yang berada di rongga usus besar.
Di dal am rongga usus besar, stadium trofozoit dapat berubah menjadi stadium precyst
yang berinti satu (enkistasi), kemudian membelah menjadi berinti dua, dan akhirnya
berinti 4 yang dikeluarkan bersama tinja. Ukuran kista 10-20 mikron, berbentuk bulat atau
lonjong, mempunyai dinding kista dan terdapat inti entameba. Dalam tinja stadium ini
biasanya berinti 1 atau 4, kadang-kadang terdapat yang berinti 2. Di endoplasma terdapat
benda kromatoid yang besar, menyerupai lisong dan terdapat vakuol glikogen. Benda kromatoid
dan vakuol glikogen dianggap sebagai makanan cadangan, karena itu terdapat pada kista
muda.
3
Pada kista matang, benda kromatoid dan vakuol glikogen biasanya tidak ada lagi.
Stadium kista tidak patogen, tetapi merupakan stadium yang infektif. Dengan adanya dinding
kista, stadium kista dapat bertahan terhadap pengaruh buruk di luar badan manusia. Infeksi
terjadi dengan menelan kista matang.
3

9

Epidemiologi
Amebiasis terdapat di seluruh dunia.Prevalensi tinggi terutama di daerah tropik dan
subtropik,khususnya di negara yang keadaan sanitasi lingkungan dan keadaan sosio ekonominya
buruk. Di beberapa negara tropis,prevalensi antibodi terhadap E. histolytica mencapai 50%.Di
Indonesia,amebiasis kolon banyak ditemukan dalam keadaan endemi.Prevalensi E. histolytica di
berbagai daerah di Indonesia sekitar 10%-18%.
3
Penelitian epidemiologi memperlihatkan bahwa rendahnya status sosial ekonomi dan
kurangnya sanitasi merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi. Pada kelompok ini,
infeksi terjadi pada umur yang lebih muda. Di Meksiko prevalensi ditemukan 11% pada
kelompok umur 5-9 tahun,sedangkan di Bangladesh 30% pada kelompok 2-5 tahun.
3

Frekuensi infeksi E. histolytica diukur dengan jumlah pengandung kista. Perbandingan
berbagai macam amebiasis di Indonesia adalah sebagai berikut: amebiasis hati kadang-kadang
ditemukan, sedangkan amebiasis paru,kulit dan vagina jarang dan amebiasis otak lebih jarang
lagi dijumpai.
3

Amebiasis ditularkan oleh pengandung kista. Pengandung kista biasanya sehat tetapi ia
memegang peranan penting untuk penyebaran penyakit, karena tinjanya merupakan sumber
infeksi. Jadi,amebiasis tidak ditularkan oleh penderita amebiasis akut. Stadium kista matang
adalah bentuk infektif. Seorang pengandung kista yang menyajikan makanan (food handler)
misalnya koki hotel atau pelayan restoran, bila higiene perorangan kurang baik, dapat merupakan
sumber infeksi. Bila ia tidak mencuci tangannya setelah buang air besar, maka tangannya akan
terkontaminasi dengan tinjanya sendiri yang mengandung kista, kemudian kista akan disebarkan
melalui minum dan makanan. Sayuran yang ditanam dengan menggunakan tinja tersebut
mengandung kista maka sayuran akan terkontaminasi. Lalat dan lipas yang hinggap pada tinja
manusia yang mengandung kista, dapat memindahkan kista tersebut ke makanan/air minum.
3

Kista dapat hidup lama dalam air (10-14 hari). Dalam lingkungan yang dingin dan
lembab kista dapat hidup selama kurang lebih 12 hari. Kista juga tahan terhadap klor yang
terdapat dalam air ledeng dan kista akan mati pada suhu 50
0
C atau dalam keadaan kering.
3


10

Patofisiologi
Diare didahului dengan kontak antara stadium trofozoit E. histolytica dengan sel epitel
kolon, melalui antigen Gal/Gal Nac-lectin yang terdapat pada permukaan stadium trofozoit.
Antigen terdiri atas due kompleks disulfida dengan berat molekul masing-masing
170 kDa dan 35/31 kDa. Kedua rantai tersebut dihubungkan dengan protein 150 kDa. Sel
epitel usus yang berikatan dengan stadium trofozoit E. histolytica akan menjadi immobile
dalam waktu beberapa menit, kemudian granula dan struktur sitoplasma menghilang yang diikuti
dengan hancurnya inti sel.
3

Proses hancurnya inti sel. Proses ini diakibatkan oleh amoebapores, yang terdapat pada,
sitoplasma trofozoit E.histolytica. Amoebapores terdiri atas 3 rangkaian peptida. rantai pendek
dan dapat membuat pori-pori pada kedua lapisan lemak (lipid bilayer). Selanjutnya invasi
ameba ke dalam jaringan ekstra sel terjadi melalui sistein proteinase yang dikeluarkan
stadium trofozoit parasit. Sistein proteinase E. histolytica yang terdiri atas amebapain dan
histolisin akan melisiskan matriks protein ekstra sel, sehingga mempermudah invasi trofozoit ke
jaringan submukosa.
3

Stadium trofozoit memasuki submukosa dengan menembus lapisan muskularis mukosae,
bersarang di submukosa dan membuat kerusakan yang lebih luas dari pada di mukosa usus.
Akibatnya terjadi luka yang disebut ulkus ameba. Lesi biasanya merupakan ulkus kecil yang
letaknya tersebar di mukosa usus. Bentuk rongga ulkus seperti botol dengan lubang sempit dan
dasar yang lebar, dengan tepi yang tidak teratur agak meninggi dan menggaung, Proses yang
terjadi terutama nekrosis dengan lisis sel jaringan (histolisin). Bila terdapat infeksi sekunder,
terjadilah proses peradangan.
3

Proses ini dapat meluas di submukosa dan melebar ke lateral sepanjang sumbu usus,
maka kerusakan dapat menjadi luas sekali sehingga ulkus saling berhubungan dan terbentuk
sinus-sinus di bawah mukosa. Stadium trofozoit E. histolytica ditemukan dalam jumlah besar di
dasar dan dinding ulkus. Dengan peristaltic usus, stadium trofozoit dikeluarkan bersama isi ulkus
ke rongga usus, kemudian menyerang lagi mukosa usus yang sehat atau dikeluarkan bersama tinja.
Tinja itu disebut tinja disentri yaitu tinja yang bercampur lender, dan darah. Tempat yang menjadi
predileksi adalah sekum, rectum, sigmoid.
3

11

Manifestasi Klinis
Bentuk klinis yang dikenal adalah: 1) amebiasis intestinal dan (2) amebiasis ekstra-
intestinal. Amebiasis intestinal (amebiasis usus, amebiasis kolon) terdiri atas:
(a) Amebiasis kolon akut
Gejala klinis yang biasa ditemukan adalah nyeri perut dan diare yang dapat
berupa tinja cair, tinja berlendir atau tinja berdarah. Frekuensi diare dapat
mencapai 10 x perhari. Demam dapat ditemukan pada sepertiga penderi t a. Pasi en
t erkadang t i dak napsu makan sehi ngga berat badannya dapat menurun. Pada
stadium akut ditinja dapat ditemukannya darah, dengan sedikit leukosit serta stadium
trofozoit E. histolytica.
Diare yang disebabkan E. histolytica secara klinis sulit dibedakan dengan diare yang
disebabkan bakteri (Shigella, Salmonella, Escherichia coli, Campylobacter) yang sering
ditemukan di daerah tropik. Selain itu juga harus dibedakan dengan non infectious diare
seperti ischemic colitis, inflammatory bowel disease, diverticulitis, karena pada amebiasis
intestinalis penderita biasanya tidak demam.
3
(b) Amebiasis kolon menahun
Amebiasis kolon menahun mempunyai gejala yang tidak begitu jelas. Biasanya
terdapat gejala usus yang ringan, antara lain rasa tidak enak di perut, diare yang diselingi
obstipasi (sembelit). Gejala tersebut dapat di i kut i ol eh reakt i vasi gejala akut secara
periodik. Dasar penyakit ialah radang usus besar dengan ulkus menggaung, disebut juga
kolitis ulserosa amebik. Predileksi terutama di daerah apendiks atau sekum, jarang sekali
ditemukan di sigmoid. Komplikasi amebiasis intestinal dapat berupa acute necrotizing
colitis, toxic megacolon, ameboma, amebiasis kutis dan ulkus perianal yang dapat
membentuk fistula. Penderita dengan acute necrotizing colitis sangat jarang
ditemukan, tetapi angka kematian mencapai 50%.
3



12

2. Amebiasis ekstra-intestinal
Abses hati merupakan manifestasi ekstra-intestinal yang paling sering ditemukan.
Sebagian besar penderita, memperlihatkan gejala dalam waktu yang relatif singkat (2-4 minggu).
Penderita memperlihatkan gejala demam, batuk dan nyeri perut kuadran kanan atas. Bila
permukaan diafragma hati terinfeksi, maka pada penderita dapat terjadi nyeri pleura kanan atau
nyeri yang menjalar sampai bahu kanan.
3

Pada 10%-35% penderita dapat ditemukan gangguan gastrointestinal berupa mual,
muntah, kejang otot perut, perut kembung, diare dan konstipasi. Pada pemeriksaan fisik
dapat ditemukan hepatomegali. Pada fase sub-akut dapat di t emukan penurunan berat
badan, demam dan nyeri abdomen yang difus. Abses hati lebih banyak ditemukan pada
orang dewasa dibandingkan anak-anak. Kebanyakan abses terbentuk di lobus kanan hati,
biasanya soliter. Abses berisi nanah yang berwarna coklat. Dapat ditemukan leukositosis dan
peningkatan serum alkali fosfatase pada pemeriksaan darah. Komplikasi abses hati dapat
berupa penjalaran secara langsung ke pleura dan/atau perikardium, abses otak dan amebiasis uro-
genitalis.
3

Penatalaksanaan
Obat amebisid dapat dikelompokkan menjadi 2 katagori yaitu :
A. Obat yang bekerja pada lumen usus
Merupakan obat yang tidak diabsorpsi dengan baik dalam, usus, sehingga dapat
membunuh stadium trofozoit dan kista yang berada dalam lumen usus.
1. Paromomisin
Merupakan antibiotik golongan aminoglikosida yang tidak diabsorpsi dalam lumen
usus. Obat tersebut hanya membunuh stadium yang berada dalam lumen usus. Digunakan untuk
mengeliminasi kista setelah pengobatan dengan metronidazol atau tinidazol. Pemberiannya
harus hati-hati pada penderita dengan kelainan ginjal. Dosisnya adalah 25-35 mg/ kgbb/hari,
terbagi dalam 8 jam, selama 7 hari. Tidak dianjurkan penggunaan dalam jangka panjang karena
toksik.
3
13

2. Diloksanid furoat (furamid, entamizol)
Merupakan obat pilihan untuk E. histolytica yang berada dalam, lumen. Efek samping
yang Bering ditemukan adalah kembung. Mual, muntah dan diare kadang-kadang dilaporkan.
Dosisnya 3 kali 500 mg perhari selama 10 hari.
3
3. Iodoquinol (lodoksin)
Termasuk golongan hidroksikuinolin. Tidak boleh diberikan pada penderita dengan
gangguan fungsi ginjal. Dosisnya 3 kali 650 mg perhari selama 20 hari. Merupakan amebisid
luminal yang bekerja di lumen. Dapat digunakan untuk stadium kista setelah pemberian
nitrolmidazol.
3
B. Obat yang bekerja pada jaringan:
1. Emetin hidroklorida
Obat ini berkhasiat terhadap stadium trofozoit E.histolytica. Pemberian emetin ini efektif
bila diberikan secara parenteral, karena pada pemberian oral absorpsinya tidak sempurna. Dapat
diberikan melalui suntikan intramuskular atau subkutis setiap hari selama 10 hari. Pemberian
secara intravena toksisitasnya relatif tinggi, terutama terhadap otot jantung. Dosis maksimum
untuk orang dewasa adalah 65 mg sehari, sedangkan untuk anak di bawah 8 tahun, 10 mg
sehari. Lama pengobatan 4 sampai 6 hari. Pada orang tua dan orang yang sakit berat, dosis harus
dikurangi. Pemberian emetin tidak dianjurkan pada ibu hamil, penderita dengan gangguan
jantung dan ginjal.
3
Dehidroemetin relatif kurang toksik dibandingkan dengan emetin dan dapat diberikan
secara oral. Dosis maksimum adalah 0,1 gram sehari, diberikan selama 4 sampai 6 hari.
Emetin dan dehidroemetin efektif untuk pengobatan abses hati (amebiasis hati).
3
2.Metronidazol
Metronidazol merupakan obat pilihan untuk amebiasis koli atau abses hati ameba, karena
efektif terhadap stadium trofozoit dalam dinding usus dan jaringan. Obat ini tidak dapat
membunuh stadium kista. Efek sampingnya antara lain mual, muntah dan pusing. Pada infeksi
E. histolytica di lumen usus, hanya 50% parasit mati dengan obat ini. Karena itu dianjurkan
14

pemberian kombinasi obat metronidazol atau tinidazol dengan diloksanid furoat ditambah
paromomisin atau tetrasiklin.
3

Sampai saat ini belum dilaporkan resistensi E.histolytica terhadap metromdazol.
Selain metronidazol, dapat juga diberikan tinidazol atau ornidazol dengan dosis yang
berbeda. Dosis metronidazol untuk orang dewasa adalah 3x750 mg/hari 7-10 hari. Pada ibu
hamil hindari pemakaiannya pada trimester I.
3
3. Klorokuin
Merupakan amebisid jaringan yang efektif terhadap amebiasis hati. Efek samping dan
toksisitasnya ringan, antara lain mual, muntah, diare, sakit kepala. Dosis untuk orang dewasa
adalah 1 gram sehari selama 2 hari, kemudian 500 mg sehari selama 2 sampai 3 minggu.
3

Pencegahan
Pencegahan amebiasis terutama ditunjukkan pada kebersihan perorangan dan kebersihan
lingkungan. Kebersihan perorangan antara lain mencuci tangan dengan bersih sesudah buang air
besar dan sebelum makan. Kebersihan lingkungan meliputi : memasak air minum sampai
mendidih sebelum diminum, mencuci sayuran sampai bersih atau memasaknya sebelum
dimakan, buang air besar di jamban, tidak menggunakan tinja manusia untuk pupuk, menutup
dengan baik makanan yang dihindangkan untuk menghindari kontaminasi oleh lalat, membuang
sampah ditempat sampah yang tertutup untuk menghindari lalat.
3

Diagnosis Banding
Disentri basilar disebabkan oleh Shigella, genus basilus Gram negatif. Beberapa spesies
menyebabkan disentriSh. boydii, Sh. dysenteriae, dan Sh. Flexneri di daerah tropis
ataupun subtropis. Sh. sonnei menyebabkan disentri di daerah beriklim sedang dan
merupakan jenis yang paling umum di Inggris. Organisme ini diekskresikan oleh pengidap
dan terbawa dalam feses mereka serta tangan, makanan, dan air yang terkontaminasi.
6
Pejamu mendapatkan infeksi melalui area yang terkontaminasi tersebut. Penyakit ini
sering terjadi pada anak kecil dan menular melalui oral-fekal. Pencegahan penyebaran
penyakit ini adalah melalui perhatian menyeluruh terhadap higiene personal. Pengobatan,
15

jika perlu, adalah dengan siprofloksasin atau trimetoprim. Kasus ringan tidak memerlukan
terapi obat.
8

Epidemiologi
Infeksi Shigella mudah terjadi di tempat pemukiman padat, sanitasi jelek, kurang air, dan
tingkat kebersihan perorangan yang rendah. Di daerah endemik infeksi Shigella merupakan 10-
15% penyebab diare pada anak. Sumber kuman Shigella yang alamiah adalah manusia
walaupun kera dan simpanse yang telah dipelihara dapat juga tertular. Jumlah kuman untuk
menimbulkan penyakit relatif sedikit, yaitu berkisar antara 10-100 kuman. Oleh karena itu sangat
mudah terjadi penularan secara fecal-oral, baik secara kontak langsung maupun akibat makanan
dan minuman yang terkontaminasi.
8

Di daerah tropis termasuk Indonesia, disentri biasanya meningkat pada musim kemarau di
mana S
.
flexnerii merupakan penyebab infeksi terbanyak. Sedangkan di negara-negara Eropa dan
Amerika Serikat prevalensinya meningkat di musim dingin. Prevalensi infeksi oleh S.
flexnerii di negara tersebut telah menurun sehingga saat ini S. sonnei adalah yang terbanyak.
8

Etiologi
Shigella termasuk kelompok enterobacteriaceae, yang bersifat gram negatif, anaerob
fakultatif dan sangat mirip dengan Escherichia coli. Beberapa sifat yang membedakan kuman ini
dengan E. coli adalah kuman ini tidak bergerak aktif, tidak memproduksi gas dalam media
glukosa dan pada umumnya laktosa negatif.
8

Dikenal 4 spesies Shigella dengan berbagai serotipenya yaitu: S. dysenteriae (12
serotipe), S. flexnerii (14 serotipe), S. boydii (15 serotipe) dan S. sonnei (1 serotipe). Keempat
spesies Shigella itu secara berurutan disebut sebagai golongan A, B, C, dan D.
8

Gejala klinis terberat terjadi pada infeksi S. dysenteriae, kuman ini juga sering
menyebabkan wabah di negara sedang berkembang. Sedangkan gejala klinis yang teringan adalah
akibat infeksi S.sonnei.
8



16

Patofisiologi
Semua strain kuman Shigella menyebabkan disentri, yaitu suatu keadaan yang ditandai
dengan konsistensi tinja biasanya lunak (tidak cair), disertai eksudat inflamasi yang mengandung
leukosit polymorphonuclear (PMN) dan darah.
8

Kolon merupakan tempat utama yang diserang Shigella namun ileum terminalis dapat juga
terserang. Pada kasus yang sangat berat dan mematikan, kuman dapat juga ditemukan pada
lambung serta usus halus.
8

Setelah melewati lambung dan usus halus, kuman ini menginvasi sel epitel mukosa kolon
dan berkeja di dalamnya. Perluasan invasi kuman ke sel disekitarnya melalui mekanisme cell to cell
transfer. Walaupun lesi awal terjadi di lapisan epitel respons inflamasi lokal menyertai cukup
berat, melibatkan leukosit makrofag. Hal tersebut menyebabkan edema, mikroabses, hilangnya sel
goblet, kerusakan arsitektur jaringan dan ulserasi mukosa. Bila penyakit berlanjut penumpukan
sel inflamasi pada lamina propia abses pada kripta merupakan gambaran yang utama.
8

Gejala Klinis
Masa tunas berkisar antara 7 jam sampai 7 hari. Pada dasarnya gejala klinis Shigeleosis
bervariasi. Lama gejala rerata 7 hari pada orang dewasa, berlangsung sampai 4 minggu. Disentri
basiler yang tidak diobati dengan baik dan berlangsung lama gejalanya menyerupai kolitis
ulserosa. Pada fase awal mengeluh nyeri perut bawah, rasa panas rektal disertai demam yang bisa
mencapai 40C. Selanjutnya berkurang tetapi tinja masih mengandung darah dan lender, tenesmus,
dan nafsu makan menurun. Pada anak mungkin didapatkan demam tinggi dengan atau tanpa
kejang, delirium, nyeri kepala, kaku kuduk, dan letargi.
8

Pengidap pasca-infeksi pada umumnya berlangsung kurang dari 4 minggu. Walaupun
jarang terjadi dilaporkan adanya pengidap Shigella yang men kuman bersama feses selama
bertahun. Pengidap tersebut biasanya sembuh sendiri, dan dapat mengalami gejala shigellosis
yang intermiten.
8

17

Diagnosis
Perlu dicurigai adanya shigellosis pada pasien yang datang dengan keluhan nyeri abdomen
bawah, rasa panas rectal, dan diare. Pemeriksaan mikroskopis tinja menunjukkan adanya
eritrosit dan leukosit PMN. Untuk memastikan diagnosis dilakukan kultur dan bahan tinja segar
atau hapus rectal. Sigmoidoskopi dapat memastikan diagnosis adanya colitis, namun
pemeriksaan tersebut pada umumnya tidak diperlukan, karena membuat pasien merasa sangat
tidak nyaman. Indikasi untuk melakukan sigmoidoskopi adalah bila segera diperlukan kepastian
diagnosis apakah gejala yang terjadi merupakan disentri atau manifestasi akut colitis ulserosa
idiopatik. Dalam keadaan tersebut, biopsi harus dikerjakan dalam waktu 4 hari dari saat gejala.
Pada fase akut infeksi Shigella, tes serologi tidak bermanfaat.
8
Prognosis
Prognosis dari amebiasis umumnya baik, terutama amebiasis intestinal bila berhasil
dideteksi dini dan di terapi dengan baik. Perlu diingat bahwa tidak ada kekebalan yang didapat
walaupun seseorang sudah pernah menderita amebiasis sebelumnya, dengan pengobatan dan
deteksi secara dini dan benar, angka mortalitas dapat ditekan dan mengurangi komplikasi yang
mungkin terjadi.
4

Kesimpulan
Secara khusus penyebab disentri dapat dibedakan menjadi dua yaitu disentri basiler dan
disentri amuba.Disentri basiler disebabkan infeksi bakteri golongan Shigella. Disentri basiler
biasanya menyerang secara tiba-tiba sekitar dua hari setelah kemasukan kuman/bakteri Shigella.
Gejalanya yaitu demam,mual dan muntah-muntah,diare dan tidak napsu makan. Gejala lainnya
yaitu perut terasa nyeri dan mengejang.
8
Disentri amoeba disebabkan oleh infeksi parasit Entamoeba histolytica dalam usus besar,
parasit tersebut dapat menyebabkan mulas, perut kembung,serta diare yang mengandung darah
dan bercampur lendir. Pencegahan yang harus dilakukan adalah dengan menjaga kebersihan diri
sendiri dan juga kebersihan lingkungan.
8

18

Daftar Pustaka
1. Gleadle, Jonathan. Pengambilan anamnesis. dalam : at a glance anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Jakarta : Penerbit Erlangga, 2007. h.1-17, 33-5.
2. Santoso M. Pemeriksaan fisik diagnosik. Jakarta: Bidang Penerbitan Yayasan Diabetes
Indonesia; 2004: 2-14.
3. Sutanto I, Ismid S, Sjarifuddin PK, Sungkar S. Buku ajar parasitologi kedokteran. Ed.4.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008: 103-18.
4. Lacasse A. Amebiasis. May 1, 2013 (cited 2013 August 06). Available from URL :
http://emedicine.medscape.com
5. Kawalak JP. Buku pegangan uji diagnosik. Ed. 3. Jakarta: EGC; 2009: 139-42.
6. Brooker C. Ensiklopedia Kedokteran. Jakarta: EGC, 2008.h.95.
7. Muslim HM. Parasitologi. Jakarta: EGC, 2009.h.2-3.
8. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Interna
Publishing., 2009.h.562-3.

Anda mungkin juga menyukai