Hans Christian NIM : 102011079 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Alamat Korespondensi : hansschristian@gmail.com Pendahuluan Kebersihan diri dan lingkungan merupakan salah satu faktor untuk menjaga diri kita untuk terhindar dari suatu penyakit. Bila sudah terkena suatu penyakit, maka penatalaksanaan yang tepat harus dilakukan untuk mendapatkan kesembuhan. Tetapi hal yang paling baik adalah dengan mencegah penyakit tersebut, maka dari itu lebih baik mencegah daripada mengobati. Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk mencegah suatu penyakit. Dimulai dari diri kita sendiri untuk bagaimana berpikir sehat sehingga tidak mudah terkena penyakit, serta sadar akan kebersihan lingkungan,karena lingkungan yang bersih bisa menjaga kita dari berbagai penyakit. Disentri merupakan suatu infeksi yang menimbulkan luka yang menyebabkan tukak terbatas di colon yang ditandai dengan gejala khas disebut sebagai sindroma disentri,yakni: sakit di perut yang sering disertai dengan tenesmus,berak-berak,dan tinja,mengandung darah dan lendir. Adanya darah dan lekosit dalam tinja merupakan suatu bukti bahwa kuman penyebab disentri tersebut menembus dinding kolon dan bersarang di bawahnya. Disentri paling sering disebabkan oleh E.hystolitica atau kuman genus Shigella. Anamnesis Anamnesis adalah pengambilan data yang dilakukan oleh seorang dokter dengan cara melakukan serangkaian wawancara dengan pasien (autoanamnesis), keluarga pasien atau dalam keadaan tertentu dengan penolong pasien (aloanamnesis). Berbeda dengan wawancara biasa, anamnesis dilakukan dengan cara yang khas, yaitu berdasarkan pengetahuan tentang penyakit dan dasar-dasar pengetahuan yang ada di balik terjadinya suatu penyakit serta bertolak dari masalah yang dikeluhkan oleh pasien.
Berdasarkan anamnesis yang baik dokter akan menentukan beberapa hal mengenai hal-hal berikut. 1 2
1. Penyakit atau kondisi yang paling mungkin mendasari keluhan pasien (kemungkinan diagnosis) 2. Penyakit atau kondisi lain yang menjadi kemungkinan lain penyebab munculnya keluhan pasien (diagnosis banding) 3. Faktor-faktor yang meningkatkan kemungkinan terjadinya penyakit tersebut (faktor predisposisi dan faktor risiko) 4. Kemungkinan penyebab penyakit (kausa/etiologi) 5. Faktor-faktor yang dapat memperbaiki dan yang memperburuk keluhan pasien (faktor prognostik, termasuk upaya pengobatan) 6. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang medis yang diperlukan untuk menentukan diagnosisnya
Selain pengetahuan kedokterannya, seorang dokter diharapkan juga mempunyai kemampuan untuk menciptakan dan membina komunikasi dengan pasien dan keluarganya untuk mendapatkan data yang lengkap dan akurat dalam anamnesis. Lengkap artinya mencakup semua data yang diperlukan untuk memperkuat ketelitian diagnosis, sedangkan akurat berhubungan dengan ketepatan atau tingkat kebenaran informasi yang diperoleh. 2
Melalui skenario yang ada, dapat diketahui bahwa seorang perempuan berusia 22 tahun datang dengan keluhan mencret sejak 3 hari yang lalu, sebanyak 8 kali sehari, konsistensi cari, ampas kehijauan, berbuih, terdapat darah dan lendir, berbau busuk, demam, muntah, sertai disertai kembung. Hal-hal yang perlu ditanyakan oleh seorang dokter pada pasien tersebut (melalui autoanamnesis) adalah anamnesis umum (nama, alamat, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan dan lain lain ), keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit keluarga, lingkungan tempat tinggal dan lain-lain. a. Keluhan utama Yaitu gangguan atau keluhan yang dirasakan penderita sehingga mendorong ia untuk datang berobat dan memerlukan pertolongan serta menjelaskan tentang lamanya keluhan tersebut. Keluhan utama merupakan dasar untuk memulai evaluasi pasien. 2
3
b. Riwayat penyakit sekarang Penyakit yang bermula pada saat pertama kali penderita merasakan keluhan itu. Tentang sifat keluhan itu yang harus diketahui adalah: 1) Tempat 2) Kualitas penyakit 3) Kuantitas penyakit 4) Urutan waktu 5) Situasi 6) Faktor yang memperberat atau yang mengurangi 7) Gejala-gejala yang berhubungan
c. Riwayat penyakit dahulu Riwayat penyakit yang pernah diderita di masa lampau yang mungkin berhubungan dengan penyakit yang dialaminya sekarang. 2
d. Riwayat keluarga Segala hal yang berhubungan dengan peranan heredriter dan kontak antar anggota keluarga mengenai penyakit yang dialami pasien. Dalam hal ini faktor-faktor sosial keluarga turut mempengaruhi kesehatan penderita. 2
e. Riwayat pribadi Segala hal yang menyangkut pribadi pasien. Mengenai peristiwa penting pasien dimulai dari keterangan kelahiran, serta sikap pasien terhadap keluarga dekat. Termasuk dalam riwayat pribadi adalah riwayat kelahiran. Riwayat imunisasi, riwayat makan, riwayat pendidikan dan masalah keluarga. 2
f. Riwayat sosial Mencangkup keterangan mengenai pendidikan, pekerjaan dan segala aktivitas di luar pekerjaan, lingkungan tempat tinggal, perkawinan, tanggungan keluarga, dal lain-lain. Perlu ditanyakan pula tentang kesulitan yang dihadapi pasien. 2
4
Pemeriksaan Fisik Sebelumnya, kita lakukan dulu inspeksi untuk melihat keadaan umum dari pasien, dan juga kesadaran dari pasien. Pasien yang menderita amebiasis, biasanya saat dilakukan palpasi akan terasa nyeri tekan di kuadran bawah abdomen. Palpasi juga dilakukan untuk mengetahui apakah ada pembesaran hati (hepatomegali) atau tidak, karena pada amebic abses hati, pada 30- 50% kasus terjadi hepatomegali. Selain itu, perlu juga dilakukan perkusi di daerah abdomen, untuk mendengar suara dari organ di abdomen, serta dilakukan auskultasi untuk mendengar bising usus dari pasien. Setelah melakukan pemeriksaan inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi, maka selanjutnya dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital yang meliputi suhu tubuh, tekanan nadi, tekanan darah, dan frekuensi pernapasan untuk diketahui apakah terjadi peningkatan atau penurunan dari masing-masing tanda-tanda vital tersebut. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk membantu diagnosa akan suatu penyakit, dalam scenario ini adalah disentri. Diagnosis yang akurat merupakan hal yang sangat penting, karena 90% penderita asimtomatik E.histolytica dapat menjadi sumber infeksi bagi sekitarnya. 1. Pemeriksaan mikroskopik Pemeriksaan mikroskopik tidak dapat membedakan E.histolytica dengan E. dispar. Selain itu pemeriksaan berdasarkan satu kali pemeriksaan tinja sangat tidak sensitif. Sehingga peme- riksaan mikroskopik sebaiknya dilakukan paling sedikit 3 kali dalam waktu 1 minggu bal k unt uk kasus akut maupun kronik. Adanya sel darah merah dalam sitoplasma E. histolytica stadium trofozoit merupakan indikasi terjadinya invasif amebiasis yang hanya disebabkan oleh E. histolytica. Selain itu, motilitas stadium trofozoit akan menghilang dalam waktu 20-30 menit. Karena itu bila tidak segera diperiksa, sebaiknya tinja disimpan dalam pengawet polyvinil alcohol (pva) atau pada suhu 4C. Dalam hal yang terakhir, stadium trofozoit dapat terlihat aktif sampai 4 jam. Selain itu pada sediaan basah dapat ditemukan sel darah merah. Hal yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan mikroskopik adalah keterlambatan waktu pemeriksaan, jumlah tinja yang tidak mencukupi, wadah tinja 5
yang terkontaminasi urin atau air, penggunaan antibiotik (tetrasiklin, sulfonamid), laksatif, antasid, preparat antidiare (kaolin, bismuth), frekuensi pemeriksaan dan tinja tidak diberi pengawet. 3
Gambar 1. Stadium trofozoit E.histolytica. 4 2. Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi antibodi Sebagian besar orang yang tinggal di daerah endemis E. histolytica akan terpapar parasit berulang kali. Kelompok tersebut sebagian besar akan asimtomatik dan pemeriksaan antibodi sulit membedakan antara current atau previous infections. Pemeriksaan antibodi akan sangat membantu menegakkan diagnosis pada kelompok yang tidak tinggal di daerah endemis. Sebanyak 75-80% penderita dengan gejala yang disebabkan E.histolytica memperlihatkan hasil yang positif pada uji serologi antibodi terhadap E.histolytica. 3
Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai macam uji serologi seperti IHA, lateks agglutinasi, counter-immunoelectrophoresis, gel diffusion test, uji komplemen dan ELISA. Biasanya yang merupakan uji standar adalah IHA, sedangkan ELISA merupakan alternatif karena lebih cepat, sederhana dan juga lebih sensitif. Antibodi IgG terhadap antigen lektin dapat dideteksi dalam waktu 1 minggu setelah timbul gejala klinis baik pada penderita kolitis maupun abses hati ameba. Bila hasilnya meragukan, uji serologi tersebut 6
dapat diulang.Walaupun demikian, hasil pemeriksaan tidak dapat membedakan current infection dari previous infection. IgM anti-lektin terutama dapat dideteksi pada minggu pertama sampai minggu ketiga pada seorang penderita kolitis ameba. 3
Titer antibodi tidak berhubungan dengan beratnya penyakit dan respons terhadap pengobatan, sehingga walaupun pengobatan yang diberikan berhasil, titer antibodi tetap tidak berubah. Antibodi yang terbentuk karena infeksi E. histolytica dapat bertahan sampai 6 bulan, bahkan pernah dilaporkan sampai 4 tahun. 3
3. Deteksi antigen Antigen ameba yaitu Gal/Gal-Nac lectin dapat dideteksi dalam tinja, serum, cairan abses dan air liur penderita. Hal ini dapat dilakukan terutama menggunakan teknik ELISA, sedangkan dengan teknik CIEP temyata sensitivitasnya lebih rendah. Deteksi antigen pada tinja merupakan teknik yang praktis, sensitif dan spesifik dalam mendiagnosis amebiasis intestinalis. Walaupun demikian, tinja yang tidak segar atau yang diberi pengawet akan menyebabkan denaturasi antigen, sehingga memberikan hasil yang false negative. 3
Oleh karena itu, syarat melakukan ELISA pada tinja seseorang yang diduga menderita amebiasis intestinalis adalah tinja segar atau disimpan dalam lemari pendingin. Dengan menggunakan E. histolytica test II dapat dibedakan infeksi yang disebabkan oleh E. histolytica atau E. dispar. Pada penderita abses hati ameba deteksi antigen dapat dilakukan pada pus abses atau serumnya. 3 4. Pemeriksaan darah a. Hitung sel darah putih Hitung sel darah putih (SDP) digunakan untuk menilai distribusi dan morfologi SDP. Hal ini memberikan informasi yang lebih spesifik tentang kekebalan tubuh pasien terhadap hitung SDP sendiri. SDP diklasifikasikan sebagai salah satu dari lima tipe utama leukosit (neutrofil, eosinofil, basofil, limfosit, dan monosot) serta presentasi dari tipe tersebut. Hitung jenis adalah presentase tiap tipe SDP di dalam darah. Jumlah total pada tipe SDP diperoleh dengan mengalikan presentase masing-masing tipe SDP dengan hitung SDP total. Kadar yang tinggi dari leukosit ini berhubungan dengan berbagai gejala alergi dan 7
reaksi terhadap parasit. Hitung eosinofil kadang kala dilakukan sebagai uji follow up apabila terdapat kenaikan atau penurunan kadar eosinofil.
b. Peningkatan kadar alkali fosfatase (80%). c. Peningkatan kadar transaminase. d. Peningkatan ringan kadar bilirubin. e. Penurunan kadar albumin. f. Anemia ringan. g. Peningkatan laju endap darah (LED). 4,5
Diagnosis Kerja Disentri adalah inflamasi usus yang ditandai oleh buang air besar disertai darah dan lendir. Selain itu, juga disertai tenesmus dan kolik. Sedangkan amebiasis (disentri ameba) merupakan invasi usus besar oleh protozoa Entamoeba histolytica, yang menyebabkan ulkus mukosa yang menimbulkan nyeri, diare yang silih berganti dengan konstipasi, dan darah serta lendir keluar melalui anus sehingga disebut "disentri ameba". Jika ameba tersebut masuk sirkulasi portal hati, ameba tersebut dapat menyebabkan abses hati. 6
Etiologi Entamoeba histolytica merupakan suatu parasit yang sering ditemukan dalam usus besar manusia, primata tingkat tinggi tertentu, beberapa binatang jinak rumahan dan komensal. Sebagian besar kasusnya bersifat asimtomatik. Manusia merupakan hospes definitif, dan kucing, anjing, kera, tikus, marmot merupakan hospes reservoar parasit ini. Entamoeba histolytica dapat menimbulkan penyakit disentri ameba. Di samping itu, penyakit disentri juga dapat terjadi karena bakteri atau basil yang disebut dengan disentri basiler (shigellosis). 7 Morfologi dan Daur Hidup Dalam daur hidupnya, E.histolytica mempunyai 2 stadium, yaitu: trofozoit dan kista. Bila kista matang tertelan, ki st a tersebut t iba di l ambung masi h dal am keadaan ut uh karena di ndi ng ki st a t ahan t erhadap asam l ambung. Di rongga terminal usus halus, dinding kista dicernakan, terjadi ekskistasi dan keluarlah stadium trofozoit yang masuk ke rongga usus besar. Dari satu kista yang mengandung 4 buah inti, akan terbentuk 8 buah t rofozoi t . 3
8
St adi um t r ofozoi t berukuran 10-60 mikron (sel darah merah 7 mikron); mempunyai inti entameba yang terdapat di endoplasma. Ektoplasma bening homogen terdapat di bagian tepi sel, dapat dilihat dengan nyata. Pseudopodium yang dibentuk dari ektoplasma, besar dan lebar seperti daun, dibentuk dengan mendadak, pergerakannya cepat dan menuju suatu ar ah ( l i ni er ) . Endopl asma ber but i r halus, biasanya mengandung bakteri atau sisa makanan. Bila ditemukan sel darah merah disebut erythrophagocytosis yang merupakan tanda patognomonik infeksi E. histolytica. 3
St adi um t rofozoi t dapat bersi fat patogen dan menginvasi jaringan usus besar. Dengan aliran darah, menyebar ke jaringan hati, paru, otak, kulit dan vagina. Hal tersebut disebabkan sifatnya yang dapat merusak jaringan sesuai dengan nama spesiesnya E. histolytica (histo = jaringan, lysis = hancur). Stadium trofozoit berkembang biak secara belah pasang. Secara morfologi stadium trofozoit E. histol yti ca ti dak dapat dibedakakan dengan E. dispar, kecuali ditemukan sel darah merah dalam endoplasma. Walaupun pada entamoeba yang apatogen ektoplasma tidak nyata dan hanya tampak bila membentuk pseudopodium. Pada tinja segar, pseudopodium terlihat dibentuk perlahan-lahan sehingga pergerakannya lambat. 3
Stadium kista dibentuk dari stadium trofozoit yang berada di rongga usus besar. Di dal am rongga usus besar, stadium trofozoit dapat berubah menjadi stadium precyst yang berinti satu (enkistasi), kemudian membelah menjadi berinti dua, dan akhirnya berinti 4 yang dikeluarkan bersama tinja. Ukuran kista 10-20 mikron, berbentuk bulat atau lonjong, mempunyai dinding kista dan terdapat inti entameba. Dalam tinja stadium ini biasanya berinti 1 atau 4, kadang-kadang terdapat yang berinti 2. Di endoplasma terdapat benda kromatoid yang besar, menyerupai lisong dan terdapat vakuol glikogen. Benda kromatoid dan vakuol glikogen dianggap sebagai makanan cadangan, karena itu terdapat pada kista muda. 3 Pada kista matang, benda kromatoid dan vakuol glikogen biasanya tidak ada lagi. Stadium kista tidak patogen, tetapi merupakan stadium yang infektif. Dengan adanya dinding kista, stadium kista dapat bertahan terhadap pengaruh buruk di luar badan manusia. Infeksi terjadi dengan menelan kista matang. 3
9
Epidemiologi Amebiasis terdapat di seluruh dunia.Prevalensi tinggi terutama di daerah tropik dan subtropik,khususnya di negara yang keadaan sanitasi lingkungan dan keadaan sosio ekonominya buruk. Di beberapa negara tropis,prevalensi antibodi terhadap E. histolytica mencapai 50%.Di Indonesia,amebiasis kolon banyak ditemukan dalam keadaan endemi.Prevalensi E. histolytica di berbagai daerah di Indonesia sekitar 10%-18%. 3 Penelitian epidemiologi memperlihatkan bahwa rendahnya status sosial ekonomi dan kurangnya sanitasi merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi. Pada kelompok ini, infeksi terjadi pada umur yang lebih muda. Di Meksiko prevalensi ditemukan 11% pada kelompok umur 5-9 tahun,sedangkan di Bangladesh 30% pada kelompok 2-5 tahun. 3
Frekuensi infeksi E. histolytica diukur dengan jumlah pengandung kista. Perbandingan berbagai macam amebiasis di Indonesia adalah sebagai berikut: amebiasis hati kadang-kadang ditemukan, sedangkan amebiasis paru,kulit dan vagina jarang dan amebiasis otak lebih jarang lagi dijumpai. 3
Amebiasis ditularkan oleh pengandung kista. Pengandung kista biasanya sehat tetapi ia memegang peranan penting untuk penyebaran penyakit, karena tinjanya merupakan sumber infeksi. Jadi,amebiasis tidak ditularkan oleh penderita amebiasis akut. Stadium kista matang adalah bentuk infektif. Seorang pengandung kista yang menyajikan makanan (food handler) misalnya koki hotel atau pelayan restoran, bila higiene perorangan kurang baik, dapat merupakan sumber infeksi. Bila ia tidak mencuci tangannya setelah buang air besar, maka tangannya akan terkontaminasi dengan tinjanya sendiri yang mengandung kista, kemudian kista akan disebarkan melalui minum dan makanan. Sayuran yang ditanam dengan menggunakan tinja tersebut mengandung kista maka sayuran akan terkontaminasi. Lalat dan lipas yang hinggap pada tinja manusia yang mengandung kista, dapat memindahkan kista tersebut ke makanan/air minum. 3
Kista dapat hidup lama dalam air (10-14 hari). Dalam lingkungan yang dingin dan lembab kista dapat hidup selama kurang lebih 12 hari. Kista juga tahan terhadap klor yang terdapat dalam air ledeng dan kista akan mati pada suhu 50 0 C atau dalam keadaan kering. 3
10
Patofisiologi Diare didahului dengan kontak antara stadium trofozoit E. histolytica dengan sel epitel kolon, melalui antigen Gal/Gal Nac-lectin yang terdapat pada permukaan stadium trofozoit. Antigen terdiri atas due kompleks disulfida dengan berat molekul masing-masing 170 kDa dan 35/31 kDa. Kedua rantai tersebut dihubungkan dengan protein 150 kDa. Sel epitel usus yang berikatan dengan stadium trofozoit E. histolytica akan menjadi immobile dalam waktu beberapa menit, kemudian granula dan struktur sitoplasma menghilang yang diikuti dengan hancurnya inti sel. 3
Proses hancurnya inti sel. Proses ini diakibatkan oleh amoebapores, yang terdapat pada, sitoplasma trofozoit E.histolytica. Amoebapores terdiri atas 3 rangkaian peptida. rantai pendek dan dapat membuat pori-pori pada kedua lapisan lemak (lipid bilayer). Selanjutnya invasi ameba ke dalam jaringan ekstra sel terjadi melalui sistein proteinase yang dikeluarkan stadium trofozoit parasit. Sistein proteinase E. histolytica yang terdiri atas amebapain dan histolisin akan melisiskan matriks protein ekstra sel, sehingga mempermudah invasi trofozoit ke jaringan submukosa. 3
Stadium trofozoit memasuki submukosa dengan menembus lapisan muskularis mukosae, bersarang di submukosa dan membuat kerusakan yang lebih luas dari pada di mukosa usus. Akibatnya terjadi luka yang disebut ulkus ameba. Lesi biasanya merupakan ulkus kecil yang letaknya tersebar di mukosa usus. Bentuk rongga ulkus seperti botol dengan lubang sempit dan dasar yang lebar, dengan tepi yang tidak teratur agak meninggi dan menggaung, Proses yang terjadi terutama nekrosis dengan lisis sel jaringan (histolisin). Bila terdapat infeksi sekunder, terjadilah proses peradangan. 3
Proses ini dapat meluas di submukosa dan melebar ke lateral sepanjang sumbu usus, maka kerusakan dapat menjadi luas sekali sehingga ulkus saling berhubungan dan terbentuk sinus-sinus di bawah mukosa. Stadium trofozoit E. histolytica ditemukan dalam jumlah besar di dasar dan dinding ulkus. Dengan peristaltic usus, stadium trofozoit dikeluarkan bersama isi ulkus ke rongga usus, kemudian menyerang lagi mukosa usus yang sehat atau dikeluarkan bersama tinja. Tinja itu disebut tinja disentri yaitu tinja yang bercampur lender, dan darah. Tempat yang menjadi predileksi adalah sekum, rectum, sigmoid. 3
11
Manifestasi Klinis Bentuk klinis yang dikenal adalah: 1) amebiasis intestinal dan (2) amebiasis ekstra- intestinal. Amebiasis intestinal (amebiasis usus, amebiasis kolon) terdiri atas: (a) Amebiasis kolon akut Gejala klinis yang biasa ditemukan adalah nyeri perut dan diare yang dapat berupa tinja cair, tinja berlendir atau tinja berdarah. Frekuensi diare dapat mencapai 10 x perhari. Demam dapat ditemukan pada sepertiga penderi t a. Pasi en t erkadang t i dak napsu makan sehi ngga berat badannya dapat menurun. Pada stadium akut ditinja dapat ditemukannya darah, dengan sedikit leukosit serta stadium trofozoit E. histolytica. Diare yang disebabkan E. histolytica secara klinis sulit dibedakan dengan diare yang disebabkan bakteri (Shigella, Salmonella, Escherichia coli, Campylobacter) yang sering ditemukan di daerah tropik. Selain itu juga harus dibedakan dengan non infectious diare seperti ischemic colitis, inflammatory bowel disease, diverticulitis, karena pada amebiasis intestinalis penderita biasanya tidak demam. 3 (b) Amebiasis kolon menahun Amebiasis kolon menahun mempunyai gejala yang tidak begitu jelas. Biasanya terdapat gejala usus yang ringan, antara lain rasa tidak enak di perut, diare yang diselingi obstipasi (sembelit). Gejala tersebut dapat di i kut i ol eh reakt i vasi gejala akut secara periodik. Dasar penyakit ialah radang usus besar dengan ulkus menggaung, disebut juga kolitis ulserosa amebik. Predileksi terutama di daerah apendiks atau sekum, jarang sekali ditemukan di sigmoid. Komplikasi amebiasis intestinal dapat berupa acute necrotizing colitis, toxic megacolon, ameboma, amebiasis kutis dan ulkus perianal yang dapat membentuk fistula. Penderita dengan acute necrotizing colitis sangat jarang ditemukan, tetapi angka kematian mencapai 50%. 3
12
2. Amebiasis ekstra-intestinal Abses hati merupakan manifestasi ekstra-intestinal yang paling sering ditemukan. Sebagian besar penderita, memperlihatkan gejala dalam waktu yang relatif singkat (2-4 minggu). Penderita memperlihatkan gejala demam, batuk dan nyeri perut kuadran kanan atas. Bila permukaan diafragma hati terinfeksi, maka pada penderita dapat terjadi nyeri pleura kanan atau nyeri yang menjalar sampai bahu kanan. 3
Pada 10%-35% penderita dapat ditemukan gangguan gastrointestinal berupa mual, muntah, kejang otot perut, perut kembung, diare dan konstipasi. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hepatomegali. Pada fase sub-akut dapat di t emukan penurunan berat badan, demam dan nyeri abdomen yang difus. Abses hati lebih banyak ditemukan pada orang dewasa dibandingkan anak-anak. Kebanyakan abses terbentuk di lobus kanan hati, biasanya soliter. Abses berisi nanah yang berwarna coklat. Dapat ditemukan leukositosis dan peningkatan serum alkali fosfatase pada pemeriksaan darah. Komplikasi abses hati dapat berupa penjalaran secara langsung ke pleura dan/atau perikardium, abses otak dan amebiasis uro- genitalis. 3
Penatalaksanaan Obat amebisid dapat dikelompokkan menjadi 2 katagori yaitu : A. Obat yang bekerja pada lumen usus Merupakan obat yang tidak diabsorpsi dengan baik dalam, usus, sehingga dapat membunuh stadium trofozoit dan kista yang berada dalam lumen usus. 1. Paromomisin Merupakan antibiotik golongan aminoglikosida yang tidak diabsorpsi dalam lumen usus. Obat tersebut hanya membunuh stadium yang berada dalam lumen usus. Digunakan untuk mengeliminasi kista setelah pengobatan dengan metronidazol atau tinidazol. Pemberiannya harus hati-hati pada penderita dengan kelainan ginjal. Dosisnya adalah 25-35 mg/ kgbb/hari, terbagi dalam 8 jam, selama 7 hari. Tidak dianjurkan penggunaan dalam jangka panjang karena toksik. 3 13
2. Diloksanid furoat (furamid, entamizol) Merupakan obat pilihan untuk E. histolytica yang berada dalam, lumen. Efek samping yang Bering ditemukan adalah kembung. Mual, muntah dan diare kadang-kadang dilaporkan. Dosisnya 3 kali 500 mg perhari selama 10 hari. 3 3. Iodoquinol (lodoksin) Termasuk golongan hidroksikuinolin. Tidak boleh diberikan pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal. Dosisnya 3 kali 650 mg perhari selama 20 hari. Merupakan amebisid luminal yang bekerja di lumen. Dapat digunakan untuk stadium kista setelah pemberian nitrolmidazol. 3 B. Obat yang bekerja pada jaringan: 1. Emetin hidroklorida Obat ini berkhasiat terhadap stadium trofozoit E.histolytica. Pemberian emetin ini efektif bila diberikan secara parenteral, karena pada pemberian oral absorpsinya tidak sempurna. Dapat diberikan melalui suntikan intramuskular atau subkutis setiap hari selama 10 hari. Pemberian secara intravena toksisitasnya relatif tinggi, terutama terhadap otot jantung. Dosis maksimum untuk orang dewasa adalah 65 mg sehari, sedangkan untuk anak di bawah 8 tahun, 10 mg sehari. Lama pengobatan 4 sampai 6 hari. Pada orang tua dan orang yang sakit berat, dosis harus dikurangi. Pemberian emetin tidak dianjurkan pada ibu hamil, penderita dengan gangguan jantung dan ginjal. 3 Dehidroemetin relatif kurang toksik dibandingkan dengan emetin dan dapat diberikan secara oral. Dosis maksimum adalah 0,1 gram sehari, diberikan selama 4 sampai 6 hari. Emetin dan dehidroemetin efektif untuk pengobatan abses hati (amebiasis hati). 3 2.Metronidazol Metronidazol merupakan obat pilihan untuk amebiasis koli atau abses hati ameba, karena efektif terhadap stadium trofozoit dalam dinding usus dan jaringan. Obat ini tidak dapat membunuh stadium kista. Efek sampingnya antara lain mual, muntah dan pusing. Pada infeksi E. histolytica di lumen usus, hanya 50% parasit mati dengan obat ini. Karena itu dianjurkan 14
pemberian kombinasi obat metronidazol atau tinidazol dengan diloksanid furoat ditambah paromomisin atau tetrasiklin. 3
Sampai saat ini belum dilaporkan resistensi E.histolytica terhadap metromdazol. Selain metronidazol, dapat juga diberikan tinidazol atau ornidazol dengan dosis yang berbeda. Dosis metronidazol untuk orang dewasa adalah 3x750 mg/hari 7-10 hari. Pada ibu hamil hindari pemakaiannya pada trimester I. 3 3. Klorokuin Merupakan amebisid jaringan yang efektif terhadap amebiasis hati. Efek samping dan toksisitasnya ringan, antara lain mual, muntah, diare, sakit kepala. Dosis untuk orang dewasa adalah 1 gram sehari selama 2 hari, kemudian 500 mg sehari selama 2 sampai 3 minggu. 3
Pencegahan Pencegahan amebiasis terutama ditunjukkan pada kebersihan perorangan dan kebersihan lingkungan. Kebersihan perorangan antara lain mencuci tangan dengan bersih sesudah buang air besar dan sebelum makan. Kebersihan lingkungan meliputi : memasak air minum sampai mendidih sebelum diminum, mencuci sayuran sampai bersih atau memasaknya sebelum dimakan, buang air besar di jamban, tidak menggunakan tinja manusia untuk pupuk, menutup dengan baik makanan yang dihindangkan untuk menghindari kontaminasi oleh lalat, membuang sampah ditempat sampah yang tertutup untuk menghindari lalat. 3
Diagnosis Banding Disentri basilar disebabkan oleh Shigella, genus basilus Gram negatif. Beberapa spesies menyebabkan disentriSh. boydii, Sh. dysenteriae, dan Sh. Flexneri di daerah tropis ataupun subtropis. Sh. sonnei menyebabkan disentri di daerah beriklim sedang dan merupakan jenis yang paling umum di Inggris. Organisme ini diekskresikan oleh pengidap dan terbawa dalam feses mereka serta tangan, makanan, dan air yang terkontaminasi. 6 Pejamu mendapatkan infeksi melalui area yang terkontaminasi tersebut. Penyakit ini sering terjadi pada anak kecil dan menular melalui oral-fekal. Pencegahan penyebaran penyakit ini adalah melalui perhatian menyeluruh terhadap higiene personal. Pengobatan, 15
jika perlu, adalah dengan siprofloksasin atau trimetoprim. Kasus ringan tidak memerlukan terapi obat. 8
Epidemiologi Infeksi Shigella mudah terjadi di tempat pemukiman padat, sanitasi jelek, kurang air, dan tingkat kebersihan perorangan yang rendah. Di daerah endemik infeksi Shigella merupakan 10- 15% penyebab diare pada anak. Sumber kuman Shigella yang alamiah adalah manusia walaupun kera dan simpanse yang telah dipelihara dapat juga tertular. Jumlah kuman untuk menimbulkan penyakit relatif sedikit, yaitu berkisar antara 10-100 kuman. Oleh karena itu sangat mudah terjadi penularan secara fecal-oral, baik secara kontak langsung maupun akibat makanan dan minuman yang terkontaminasi. 8
Di daerah tropis termasuk Indonesia, disentri biasanya meningkat pada musim kemarau di mana S . flexnerii merupakan penyebab infeksi terbanyak. Sedangkan di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat prevalensinya meningkat di musim dingin. Prevalensi infeksi oleh S. flexnerii di negara tersebut telah menurun sehingga saat ini S. sonnei adalah yang terbanyak. 8
Etiologi Shigella termasuk kelompok enterobacteriaceae, yang bersifat gram negatif, anaerob fakultatif dan sangat mirip dengan Escherichia coli. Beberapa sifat yang membedakan kuman ini dengan E. coli adalah kuman ini tidak bergerak aktif, tidak memproduksi gas dalam media glukosa dan pada umumnya laktosa negatif. 8
Dikenal 4 spesies Shigella dengan berbagai serotipenya yaitu: S. dysenteriae (12 serotipe), S. flexnerii (14 serotipe), S. boydii (15 serotipe) dan S. sonnei (1 serotipe). Keempat spesies Shigella itu secara berurutan disebut sebagai golongan A, B, C, dan D. 8
Gejala klinis terberat terjadi pada infeksi S. dysenteriae, kuman ini juga sering menyebabkan wabah di negara sedang berkembang. Sedangkan gejala klinis yang teringan adalah akibat infeksi S.sonnei. 8
16
Patofisiologi Semua strain kuman Shigella menyebabkan disentri, yaitu suatu keadaan yang ditandai dengan konsistensi tinja biasanya lunak (tidak cair), disertai eksudat inflamasi yang mengandung leukosit polymorphonuclear (PMN) dan darah. 8
Kolon merupakan tempat utama yang diserang Shigella namun ileum terminalis dapat juga terserang. Pada kasus yang sangat berat dan mematikan, kuman dapat juga ditemukan pada lambung serta usus halus. 8
Setelah melewati lambung dan usus halus, kuman ini menginvasi sel epitel mukosa kolon dan berkeja di dalamnya. Perluasan invasi kuman ke sel disekitarnya melalui mekanisme cell to cell transfer. Walaupun lesi awal terjadi di lapisan epitel respons inflamasi lokal menyertai cukup berat, melibatkan leukosit makrofag. Hal tersebut menyebabkan edema, mikroabses, hilangnya sel goblet, kerusakan arsitektur jaringan dan ulserasi mukosa. Bila penyakit berlanjut penumpukan sel inflamasi pada lamina propia abses pada kripta merupakan gambaran yang utama. 8
Gejala Klinis Masa tunas berkisar antara 7 jam sampai 7 hari. Pada dasarnya gejala klinis Shigeleosis bervariasi. Lama gejala rerata 7 hari pada orang dewasa, berlangsung sampai 4 minggu. Disentri basiler yang tidak diobati dengan baik dan berlangsung lama gejalanya menyerupai kolitis ulserosa. Pada fase awal mengeluh nyeri perut bawah, rasa panas rektal disertai demam yang bisa mencapai 40C. Selanjutnya berkurang tetapi tinja masih mengandung darah dan lender, tenesmus, dan nafsu makan menurun. Pada anak mungkin didapatkan demam tinggi dengan atau tanpa kejang, delirium, nyeri kepala, kaku kuduk, dan letargi. 8
Pengidap pasca-infeksi pada umumnya berlangsung kurang dari 4 minggu. Walaupun jarang terjadi dilaporkan adanya pengidap Shigella yang men kuman bersama feses selama bertahun. Pengidap tersebut biasanya sembuh sendiri, dan dapat mengalami gejala shigellosis yang intermiten. 8
17
Diagnosis Perlu dicurigai adanya shigellosis pada pasien yang datang dengan keluhan nyeri abdomen bawah, rasa panas rectal, dan diare. Pemeriksaan mikroskopis tinja menunjukkan adanya eritrosit dan leukosit PMN. Untuk memastikan diagnosis dilakukan kultur dan bahan tinja segar atau hapus rectal. Sigmoidoskopi dapat memastikan diagnosis adanya colitis, namun pemeriksaan tersebut pada umumnya tidak diperlukan, karena membuat pasien merasa sangat tidak nyaman. Indikasi untuk melakukan sigmoidoskopi adalah bila segera diperlukan kepastian diagnosis apakah gejala yang terjadi merupakan disentri atau manifestasi akut colitis ulserosa idiopatik. Dalam keadaan tersebut, biopsi harus dikerjakan dalam waktu 4 hari dari saat gejala. Pada fase akut infeksi Shigella, tes serologi tidak bermanfaat. 8 Prognosis Prognosis dari amebiasis umumnya baik, terutama amebiasis intestinal bila berhasil dideteksi dini dan di terapi dengan baik. Perlu diingat bahwa tidak ada kekebalan yang didapat walaupun seseorang sudah pernah menderita amebiasis sebelumnya, dengan pengobatan dan deteksi secara dini dan benar, angka mortalitas dapat ditekan dan mengurangi komplikasi yang mungkin terjadi. 4
Kesimpulan Secara khusus penyebab disentri dapat dibedakan menjadi dua yaitu disentri basiler dan disentri amuba.Disentri basiler disebabkan infeksi bakteri golongan Shigella. Disentri basiler biasanya menyerang secara tiba-tiba sekitar dua hari setelah kemasukan kuman/bakteri Shigella. Gejalanya yaitu demam,mual dan muntah-muntah,diare dan tidak napsu makan. Gejala lainnya yaitu perut terasa nyeri dan mengejang. 8 Disentri amoeba disebabkan oleh infeksi parasit Entamoeba histolytica dalam usus besar, parasit tersebut dapat menyebabkan mulas, perut kembung,serta diare yang mengandung darah dan bercampur lendir. Pencegahan yang harus dilakukan adalah dengan menjaga kebersihan diri sendiri dan juga kebersihan lingkungan. 8
18
Daftar Pustaka 1. Gleadle, Jonathan. Pengambilan anamnesis. dalam : at a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta : Penerbit Erlangga, 2007. h.1-17, 33-5. 2. Santoso M. Pemeriksaan fisik diagnosik. Jakarta: Bidang Penerbitan Yayasan Diabetes Indonesia; 2004: 2-14. 3. Sutanto I, Ismid S, Sjarifuddin PK, Sungkar S. Buku ajar parasitologi kedokteran. Ed.4. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008: 103-18. 4. Lacasse A. Amebiasis. May 1, 2013 (cited 2013 August 06). Available from URL : http://emedicine.medscape.com 5. Kawalak JP. Buku pegangan uji diagnosik. Ed. 3. Jakarta: EGC; 2009: 139-42. 6. Brooker C. Ensiklopedia Kedokteran. Jakarta: EGC, 2008.h.95. 7. Muslim HM. Parasitologi. Jakarta: EGC, 2009.h.2-3. 8. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Interna Publishing., 2009.h.562-3.