Anda di halaman 1dari 11

Peritonitis et Causa Perforasi Typhoid

Kelompok A9

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510

I. Pendahuluan

Peritonitis didefinisikan suatu proses inflamasi membran serosa yang membatasi


rongga abdomen dan organ-organ yang terdapat didalamnya. Peritonitis dapat bersifat lokal
maupun generalisata, bacterial ataupun kimiawi. Peradangan peritoneum dapat disebabkan
oleh bakteri, virus, jamur, bahan kimia iritan, dan benda asing. Berdasarkan sumber dan
terjadinya kontaminasi mikrobial, peritonitis diklasifikasikan menjadi: primer, sekunder, dan
tersier. Peritonitis primer disebabkan oleh infeksi monomikrobial. Sumber infeksi umumnya
ekstraperitonial yang menyebar secara hematogen. Ditemukan pada penderita serosis hepatis
yang disertai asites, sindrom nefrotik, metastasis keganasan, dan pasien dengan peritoneal
dialisis. Peritonitis sekunder merupakan infeksi yang berasal dari intraabdomen yang
umumnya berasal dari perforasi organ berongga. Peritonitis sekunder merupakan jenis
peritonitis yang paling umum, lebih dari 90% kasus bedah. Peritonitis tersier dapat terjadi
akibat peritonitis sekunder yang telah dilakukan interfensi pembedahan ataupun
medikamentosa. Kejadian peritonitis tersier kurang dari 1% kasus bedah.

Diketahui seorang laki – laki berusia 20 tahun dibawa ke UGD RS dengan keluhan
nyeri perut hebat pada seluruh perutnya sejak 6 jam yang lalu. Orang tua pasien mengatakan,
sejak 10 hari yang lalu, pasien demam yang naik turun terutama pada malam hari, disertai
mual, konstipasi, dan anoreksia. Sejak 3 hari yang lalu, keadaan pasien semakin melemah dan
hanya bisa berbaring di tempat tidur. Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum lemah, tekanan
darah 130/90 mmHg, nadi 95x/menit, frekuensi nafas 24x/menit, suhu 38,5c. Pada
pemeriksaan fisik abdomen, tampak distensi abdomen, nyeri tekan pada seluruh regio
abdomen, Defense musculair (+), bising usus (-).

II. Pembahasan

Anamnesis

1|Page
Anamnesis merupakan wawancara yang seksama terhadap pasien atau keluarga
dekatnya mengenai masalah yang menyebabkan pasien mendatangi pusat pelayanan
kesehatan. Perpaduan keahlian mewawancarai dan pengetahuan yang mendalam tentang
gejala (simptom) dan tanda (sign) dari suatu penyakit akan memberikan hasil yang
memuaskan dalam menentukan diagnosis kemungkinan sehingga membantu dalam
menentukan langkah pemeriksaan selanjutnya. 1,2

 Identitas Pasien bertujuan: mengetahui dan memastikan bahwa yang diperiksa benar-
benar pasien yang dimaksud dan tidak keliru dengan pasien lain. Identitas terdiri dari
nama, umur, tanggal lahir, jenis kelamin, alamat, agama dan suku bangsa.

 Riwayat Penyakit
- Keluhan utama, keluhan atau gejala yang menyebabkan pasien dibawa berobat.
Keluhan utama tidak selalu merupakan keluhan yang pertama disampaikan oleh
pasien. Keluhan utama tidak harus sejalan dengan diagnosis utama.
- Riwayat penyakit sekarang, menanyakan keluhan adanya nyeri, kaku atau
bengkak, jika ada salah satu ataupun ketiga keluhan tersebut, kemudian
ditanyakan dimana lokasi terasa nyeri, kaku atau bengkak, kemudian onset yaitu
dari kapan atau sejak kapan mulai terasa nyeri, kaku atau bengkak. Lalu durasi,
berapa lama keluhan berlangsung. Yang terakhir adalah adakah factor yang
memperberat seperti terasa nyeri atau kaku, ketika pagi hari, atau melakukan
aktivitas sehari-hari.
- Riwayat perjalanan penyakit pada dugaan penyakit keturunan (mis: asma)
ditanyakan adakah saudara sedarah ada yang mempunyai stigmata alergi.
- Riwayat penyakit dahulu, menanyakan apakah pasien pernah dirawat inap di
rumah sakit karena suatu penyakit.
- Riwayat sosial, menanyakan bagaimana kehidupan pasien sehari-hari seperti:
pekerjaan pasien, diet pasien, sanitasi pasien, tempat tinggal dan lingkungan
sekitar tempat tinggal pasien.

Pemeriksaan Fisik

Bila pasien datang dengan nyeri abdomen, maka anamnesis suatu basis data
pembahasan kemungkinan diagnostik, tetapi keputusan tentang apakah dioperasi atau tidak,

2|Page
dibuat atas dasar pemeriksaan fisik yang harus dilakukan dalam cara tertib dan sistematik.
Enam gambaran utama pemeriksaan fisik mencakup (1) inspeksi, (2) palpasi, (3) perkusi, (4).

Inspeksi

Penampilan umum pasien bisa memberikan petunjuk tentang sifat penyakit.


Perubahan dalam keadaan mental, warna dan turgor kulit serta mata yang cekung bisa
manifestasi hipovolemia parah dan kolaps kardiovaskular mengancam. Pasien nyeri visera
terisolasi seperti yang ditemukan dalam obstruksi usus, bila sering mengubah posisi, tetapi
jika nyeri terlokalisasi atau ada iritasii peritoneum generalisata, maka sering pasien
menghindari gerakan. Posisi anatomi pasien sering diranjang patut diperhatikan. Pasisen
peritonitis yang luas sering membawa lututnya ke atas untuk merelaksasikan tegangan
abdomen. Pasien keadaan peradangan yang berkontak dengan muskulus psoas bisa
memfleksikan paha yang berhubungan.

Palpasi

Palpasi seharusnya dimulai sejauh mungkin dari pusat nyeri. Kemudian perlu
menentukan adanya defence muscular, atau spasme. Tempatkan tangan dengan lembut diatas
muskulair rectus dan tekan sedikit serta minta pasien menarik nafas dalam. Jika spasma
volunter, maka ahli bedah akan merasakan musculus rectus yang mendasari relaksasi. Tetapi
jika ada spasme sejati, maka ahli bedah akan merasa otot kaku tegang di keseluruhan siklus
pernafasan. Sering perasat ini akan menegakkan adanya peritonitis.

Perkusi

Perkusi abdomen harus selalu dilakukan dengan sangat lembut. Ia bermanfaat dalam
menilai jumlah distensi yang menyertai obstruksi usus dan dapat digunakan untuk
menyingkirkan adanya vesica urinarius terdistensi sebagai sebab nyeri abdomen akuta.
Mungkin yang terpenting, perkusi bermanfaat dalam membangkitkan rasa nyeri tekan
angulus costovertebralis menyertai infeksi tractus urinarius. Pada perkusi didapatkan suara
hipertimpani yang disebabkan adanya udara bebas pada abdomen.

Auskultasi

3|Page
Teknik auskultasi memerlukan penempatan lonceng stetoskop dengan lambat diatas
dinding abdomen anterior yang dimulai dengan kuadran kiri bawah, kemudian dalam empat
kuadran. Masa auskultasi 2 sampai 3 menit diperlukan untuk menentukan bahwa tidak ada
bising usus pasien. Waktu ini juga kemungkinan observasi wajah dan sikap pasien secara tak
terputus. Bila bising usus bernada tinggi yang timbul dalam dorongan yang bersamaan nyeri
menunjukkan obstruski usus halus.

Pada peritonitis, pemeriksaan fisik akan didapatkan distensi abdomen, kekakuan,


nyeri abdomen yang mereda, dan kekambuhan nyeri. Demam, takikardia, dan hipotensi juga
dapat ditemukan.

Manifestasi klinis

Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda – tanda
rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan defans
muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma. Peristaltik
usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan sementara usus. Bila telah terjadi peritonitis
bakterial, suhu badan penderita akan naik dan terjadi takikardia, hipotensi dan penderita
tampak letargik dan syok.3Rangsangan ini menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang
menyebabkan pergeseran peritonium dengan peritonium. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu
penderita bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri
jika digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes lainnya.3,5
Gambaran klinisnya tergantung pada luas peritonitis, berat peritonitis dan jenis
organisme yang bertanggung jawab. Peritonitis dapat lokal, menyebar, atau umum, gambaran
klinis pada peritonitis bakterial sekunder yaitu adanya nyeri abdominal yang akut. Nyeri ini
tiba-tiba, hebat, dan pada penderita perforasi (misal perforasi ulkus), nyerinya menjadi
menyebar keseluruh bagian abdomen. Pada keadaan lain (misal apendisitis), nyerinya mula-
mula dikarenakan penyebab utamanya, dan kemudian menyebar secara gradual dari fokus
infeksi. Selain nyeri, pasien biasanya menunjukkan gejala dan tanda lain yaitu nausea,
vomitus, syok (hipovolemik, septik, dan neurogenik), demam, distensi abdominal, nyeri tekan
abdomen dan rigiditas yang lokal, difus atau umum, dan secara klasik bising usus melemah
atau menghilang. Gambaran klinis untuk peritonitis non bakterial akut sama dengan
peritonitis bakterial. 3,4

Pemeriksaan Penunjang

4|Page
1. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya leukositosis, hematokrit yang
meningkat dan asidosis metabolik. Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal
mengandung banyak protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit; basil
tuberkel diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara
laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar
diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat.4
2. Barium Meal
Pasien dipuasakan sepanjang malam sebelum pemeriksaan. Kontras ganda didapatkan
dengan cara memasukkan gas kedalam lambung dengan menggunakan bubuk
effervescene. Pemberian glukagon atau buscopan secara intravena akan menekan
motilitas dan memperbaiki kualitas film. Pemeriksaan dilakukan dibawah panduan
fluroskopi, kemudian beberapa film diambil pada berbagai proyeksi lambung yang
terisi gas dan barium. Sambungan gastroesofageal diobservasi untuk mengetahui
apakah terdapat refluks.
3. Gambaran Radiologi
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan
dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada peritonitis dilakukan foto
polos abdomen 3 posisi, yaitu :4
a. Tiduran telentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi anteroposterior
(AP).
b. Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar
horizontal proyeksi AP.
c. Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal,
proyeksi AP.

Gambaran radiologis peritonitis karena perforasi dapat dilihat pada pemeriksaan foto
polos abdomen 3 posisi. Pada dugaan perforasi apakah karena ulkus peptikum,
pecahnya usus buntu atau karena sebab lain, tanda utama radiologi adalah :4

a. Posisi tiduran, didapatkan preperitonial fat menghilang, psoas line menghilang, dan
kekaburan pada cavum abdomen.
b. Posisi duduk atau berdiri, didapatkan free air subdiafragma berbentuk bulan sabit
(semilunair shadow).

5|Page
c. Posisi LLD, didapatkan free air intra peritonial pada daerah perut yang paling tinggi.
Letaknya antara hati dengan dinding abdomen atau antara pelvis dengan dinding
abdomen.

Jadi gambaran radiologis pada peritonitis yaitu adanya kekaburan pada cavum
abdomen, preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan adanya udara bebas subdiafragma
atau intra peritoneal.6,7

Working Diganosis

Peritonitis et causa perforasi typhoid, terjadi karena salmonella thypi yang menyerang
jaringan atau organ limfoid, seperti limpa yang membesar. Juga jaringan limfoid di ileum,
yaitu plak peyeri terserang dan hyperplasi (membesar). Jaringan rapuh dan mudah rusak oleh
gesekkan makanan padat yang melaluinya. Inilah mengapa pasien tiphoid harus diberi makan
lunak, agar tidak merusak lapisan plak peyeri. Plak peyeri yang membesar akan semakin
menipis dengan gesekkan, sehingga pembuluh darah setempat ikut rusak dan timbul
pendarahan, yang kadang-kadang cukup hebat. Bila ini berlangsung terus, ada kemungkinan
dinding usus tidak tahan dan pecah (perforasi), diikuti peritonitis yang dapat berakhir fatal.3

Differential Diagnosis

- Peritonitis Primer

Pada dewasa, peritonitis primer sering berhubungan dengan sirosis hati


(biasanya disebabkan karena alkoholisme). Manifestasi paling sering adalah demam,
dimana dilaporkan pada 80% pasien. Asites juga ditemukan namun hampir selalu
mendahului infeksi. Nyeri abdomen, timbulnya gejala akut, dan iritasi peritoneum
saat pemeriksaan fisik dapat membantu diagnosis. Bakteri basilus gram negatif seperti E.
coli sangat sering ditemukan, organisme gram positif seperti streptococci,enterococci,
atau bahkan pneumococci terkadang ditemukan.8

- Peritonitis Tersier

Peritonitis tersier adalah peritonitis yang rekurens atau persisten setelah


dilakukan terapi yang adekuat terhadap SBP ataupun peritonitis sekunder. Penderita
dengan tersier peritonitis biasanya didapatkan abses atau flegmon dengan atau tanpa
adanya fistel. Sering muncul pada penderita dengan imunokompromi atau pada
penderita dengan kondisi komorbid. Penderita dengan peritonitis tersier memerlukan

6|Page
perawatan di ICU. Organisme yang resisten dan tidak biasa sering ditemukan pada
peritonitis tersier (mis: Enterococcus, Candida, Staphylococcus, Enterobacter, dan
Pseudomonas). Penderita dengan peritonitis tersier didapatkan komplek abses dan
peritonitis yang sulit terlokalisasi sehingga tidak dapat dilakukan drainase perkutan.
Terapi antibiotik kurang efektif pada peritonitis tersier, 90% dari kasus ini diperlukan
pembedahan ulang untuk kontrol dari sumber infeksi.8

- Apendisitis

Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis, dan


merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering.Dalam kasus ringan dapat
sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan
penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian cukup
tinggi, dikarenakan oleh peritonitis dan shock ketika umbai cacing yang terinfeksi
hancur. Apendisitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri.Gejala awal yang khas,
yang merupakan gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar (nyeri tumpul) di daerah
epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikus. Keluhan ini biasanya disertai
dengan rasa mual, bahkan terkadang muntah, dan pada umumnya nafsu makan
menurun. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan beralih ke kuadran kanan
bawah, ke titik Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas letaknya,
sehingga merupakan nyeri somatik setempat.Terkadang apendisitis juga disertai dengan
demam derajat rendah sekitar 37,5 -38,5oC.8

Etiologi

Peritonitis dapat disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen berupa inflamasi dan
penyulitnya misalnya perforasi appendisitis, perforasi tukak lambung, perforasi tifus
abdominalis. Ileus obstruktif dan perdarahan oleh karena perforasi organ berongga karena
trauma abdomen.7

a. Bakterial : Bacteroides, E.Coli, Streptococus, Pneumococus, proteus, kelompok


Enterobacter-Klebsiella, Mycobacterium Tuberculosa.
b. Kimiawi : getah lambung,dan pankreas, empedu, darah, urin, benda asing (talk,
tepung).4,7,9

Patofisiologi

7|Page
Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik yang bersifat akut yang disebabkan
oleh Salmonella typhi. Perforasi pada saluran pencernaan menunjukkan adanya lubang yang
terjadi pada dinding saluran pencernaan. Perforasi usus halus dilaporkan terjadi pada 0,5-3%
kasus. Keluarnya isi saluran pencernaan ke dalam rongga perut menyebabkan iritasi dan
peradangan pada rongga abdomen yang disebut peritonitis.Peritonitis ini sering menjadi fatal.
Komplikasi didahului dengan penurunan suhu, tekanan darah, dan peningkatan frekuensi
nadi. Perforasi usus ditandai oleh nyeri abdomen lokal pada kuadran kanan bawah akan tetapi
dilaporkan juga nyeri yang menyelubung. Kemudian akan diikuti muntah, nyeri pada
perabaan abdomen, defans muscular, hilangnya keredupan hepar dan tanda-tanda peritonitis
yang lain.
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang
menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi.
Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-
pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstruksi usus.3Peradangan menimbulkan
akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak
dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan
berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius,
sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena
tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal,
produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi
ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.6
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami
oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut
meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta
oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan
retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan
suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.10
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan
tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan
penurunan perfusi.6Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum
atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis
umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi
atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan

8|Page
dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-
lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan
mengakibatkan obstruksi usus.3Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat
menimbulkan ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan
peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus
sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat
bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah
sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya
terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat
terjadi peritonitis.5
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman S.
Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang tercemar. Sebagian
kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk keusus halus dan mencapai
jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini
komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus
biasanya terjadi pada penderita yang demam selama kurang lebih 2 minggu yang disertai
nyeri kepala, batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defans muskuler,
dan keadaan umum yang merosot karena toksemia.11

Penatalaksanaan

Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang
dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cerna
dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau
penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan
menghilangkan nyeri.3,12
Resusitasi hebat dengan larutan saline isotonik adalah penting. Pengembalian volume
intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksigen, nutrisi, dan mekanisme
pertahanan. Keluaran urine tekanan vena sentral, dan tekanan darah harus dipantau untuk
menilai keadekuatan resusitasi.
Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat.
Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian dirubah jenisnya setelah
hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme mana yang dicurigai
menjadi penyebab. Antibiotika berspektrum luas juga merupakan tambahan drainase bedah.

9|Page
Harus tersedia dosis yang cukup pada saat pembedahan, karena bakteremia akan berkembang
selama operasi.6,10
Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi
laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang menghasilkan jalan
masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka serta ditutup. Jika peritonitis terlokalisasi,
insisi ditujukan diatas tempat inflamasi. Tehnik operasi yang digunakan untuk
mengendalikan kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari saluran
gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus menerus dapat dicegah
dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi viskus yang perforasi.
Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan menggunakan
larutan kristaloid (saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi ketempat yang tidak
terkontaminasi maka dapat diberikan antibiotika ( misal sefalosporin ) atau antiseptik (misal
povidon iodine) pada cairan irigasi. Bila peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya tidak
dilakukan lavase peritoneum, karena tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteria
menyebar ketempat lain. 2,3
Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa drain itu
dengan segera akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat menjadi tempat
masuk bagi kontaminan eksogen. Drainase berguna pada keadaan dimana terjadi kontaminasi
yang terus-menerus (misal fistula) dan diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi yang tidak
dapat direseksi.4,7

Komplikasi

Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana komplikasi
tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu : 9

a. Komplikasi dini ; Septikemia dan syok septic, syok hipovolemik, sepsis intra
abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan multi system, abses
residual intraperitoneal, portal pyemia (misal abses hepar).
b. Komplikasi lanjut: Adhesi, Obstruksi intestinal rekuren

Prognosis

Mortalitas tetap tinggi antara 10 % – 40 %,prognosa lebih buruk pada usia lanjut dan
bila peritonitis sudah berlangsung lebih dari 48 jam.

10 | P a g e
III. Kesimpulan

Peritonitis adalah peradangan pada peritonium yang merupakan pembungkus visera


dalam rongga perut. Gejala Klinis nyeri ini tiba-tiba, hebat menyebar keseluruh bagian
abdomen. Tanda lain yaitu nausea, vomitus, syok (hipovolemik, septik, dan neurogenik),
demam, distensi abdominal, nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difus atau umum,
dan secara klasik bising usus melemah atau menghilang. Prognosis Buruk bila tidak ditangani
dengan baik.

IV. Daftar Pustaka


1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam . Edisi
V. Jakarta: Interna Publishing; 2009. h.25-76. 2871-80.
2. Houghton RA, Gray D, editor. Chamberlain’s gejala dan tanda dalam kedokteran
klinis. Ed ke-13. Jakarta:PT Indeks; 2010.h.3-45, 362-86.
3. Arief M, Suprohaita, Wahyu.I.K, Wieiek S. Bedah digestif. Dalam: Kapita Selekta
Kedokteran, Edisi 3, Jilid: 2. Jakrta: Media Aesculapius FKUI; 2000.h 302-21.
4. Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I. Abdomen akut. Dalam: Radiologi
Diagnostik. Jakarta: Gaya Baru; 1999.h.256-7.
5. Wim de jong, Sjamsuhidayat.R. Gawat abdomen. Dalam: Buku ajar Ilmu Bedah.
Jakarta Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1997.h.221-39.
6. Sulton, David. Gastroenterologi. Dalam: Buku ajar Radiologi untuk Mahasiswa
Kedokteran, Edisi5. Jakarta: Hipokrates; 1995.h.34-8.
7. Kumpulan catatan kuliah. Radiologi abdomen. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta; 1997.
8. Longo D, Fauci A, Kasper D, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J. Harrison;s
principles of internal medicine ed.18. USA: McGraw Hill Professional;
2011.h.1076-9, 2516.
9. Schwartz, Shires, Spencer. Principles of Surgery, sixth edition; 1989.
10. Balley and Love’s. Short Practice of Surgery, edisi 20. England: ELBS; 1988.
11. Sjaifoelloh N. Demam tifoid. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1,
Edisi 3. Jakarta: FKUI; 1996.h.435-42.
12. Philips Thorek, Surgical Diagnosisthird edition. Toronto: Toronto University of
Illnois College of Medicine; 1997.

11 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai