Anda di halaman 1dari 14

 

PENDAHULUAN

Sindrom dumping merupakan suatu kumpulan gejala yang sering terjadi setelah
gastrektomi terutama gastrektomi distal dengan tehnik Billroth II (teknik operasi dengan
membuang bagian antrum lambung dan menarik bagian jejunum untuk menggantikan bagian
antrum lambung). Sindrom ini terjadi karena pengosongan lambung setelah operasi
 berlangsung dengan sangat cepat. Hal ini selalu terjadi pasca pembedahan gaster, sekarang
tergantung dari individu yang mengalami pembedahan, bila individu tersebut dapat
 beradaptasi dengan baik maka tidak akan terjadi masalah, namun bila individu tersebut tdiak
dapat beradaptasi dengan baik akan terjadi masalah sindrom dumping. Hal ini yang
mengakibatkan setiap penderita memiliki keluhan dan derajat penyakit yang berbeda.

PEMBAHASAN 

A.  Anamnesis
Anamnesis sangat diperlukan dalam suatu pemeriksaan, karena umumnya gejala, lokasi,
dan sebagainya sangatlah dipahami oleh pasien. Untuk pasien dengan keluhan abdomen
anamnesis memegang peranan penting, karena seperti telah dikatakan tadi bahwa pasien
t erutama lokasi keluhan.1
sangat memahami gejala klinis dari keluhan tersebut, terutama

a.  Anamnesis umum


1.  Identitas pasien
Identias perlu ditanyakan untuk memastikan bahwa pasien yang dihadapi adalah
memang benar pasien yang dimaksud, selain itu identitas juga perlu untuk data
 penelitian, asuransi, dan sebagainya.
Indentitas biasanya meliputi nama lengkap pasien, umur atau tanggal lahir, jenis
kelamin, nama orang tua atau suami atau istri atau penanggung jawab, alamat,
bangsa dan agama. 
 pendidikan, pekerjaan, suku bangsa

Dari kasus yang didapat dari hasil anamnesis didapatkan usia pasien adalah 45
tahun.

1
 

2.  Keluhan utama


Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan pasien yang membawa pasien pergi
ke dokter.
Dari kasus didapatkan pasien merasa tidak enak pada ulu hati, lemas dan
 berkeringat, 30 menit setelah makan. Pasien juga menjalani operasi lambung
dengan diagnosis ulkus gaster kronik 2 minggu
mi nggu yang lalu.
 b.  Anamnesis terarah
Pada anamnesis terarah kita mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan
keluhan utama pasien.
1.  Riwayat penyakit sekarang
Dari kasus diatas kita mendapatkan bahwa pasien mengalami gangguan pada
saluran cernanya. Hal-hal penting yang dapat kita tanyakan pada pasien adalah
nafsu makan, berat badan, disfagia, diet, konsumsi alkohol, nyeri, muntah, distensi
abdomen, diare, tinja. (lihat tabel 1)

Pertanyaan Uraian
 Nafsu makan Baik/buruk. Perubahan yang baru terjadi, mis intoleransi
makanan spesifik
Berat badan Berkurang/bertambah/tetap. Jika mengalami perubahan
 berapa banyak dan berapa lama ?
Disfagia Adanya kesulitan menelan ? Disebabkan oleh nyeri atau
tahanan ? Jenis makanan apa ? Keadaan yang menyebabkan
hambatan ? kapan terjadinya ? apakah terjadi regurgitasi ?
Diet Termasuk tentang obat-obatan (terutama obat pencuci perut,
obat yang merangsang lambung, antibiotik dan steroid)
Konsumsi Berapa lama ?
alkohol
 Nyeri abdominal Keadaan ? Penjalaran ? Efek makanan ? Efek gerakan usus ?
Muntah Berapa banyak ? berapa sering ? Isi ? Ada darah ?
Distensi  Nyeri ? Muntah ? Gerakan usus berkurang atau tidak ? Flatus
abdomen ?
Diare Seberapa sering ? Dalam jumlah besar atau sedikit ? Darah ?
Mukus ? Pus ? Gejala penyerta ? Baru melakukan perjalanan

2
 

?
Tinja Ukuran, warna, bau, jumlah, berlemak sulit keluar ?
Tabel 1 Pertanyaan-pertanyaan penting yang dapat ditanyakan mengenai gangguan saluran cerna
Sumber : Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis h.77

2.  Riwayat penyakit dahulu


Hal-hal yang dapat ditanyakan adalah sebagai berikut : pernah mengalami keluhan
yang sama pada masa lalu, riwayat penyakit yang sama dalam lingkup keluarga
atau lingkungan sekitar tempat tinggal, riwayat kontak dengan penderita penyakit
dengan gejala yang sama, riwayat kontak dengan serangga ataupun tanaman,
riwayat pengobatan yang pernah diterima dari dokter dan obat yang dibeli sendiri
oleh pasien tanpa resep dokter.1

B.  Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan abdomen paling baik dilakukan pada pasien dengan keadaan berbaring dan
relaks, kedua tangan berada disamping dan pasien bernapas melalui mulut. Pasien
diminta untuk menekukkan kedua lutut dan pinggulnya sehingga otot-otot abdomen
mejadi relaks.2
a.  Inspeksi
Pada inspeski hal-hal yang perlu diperhatikan adalah hambatan pernapasan, nyeri
abdominal yang nyata, pergerakan abdomen yang terbatas, jaringan parut, vena-vena
yang dilatasi, gerak peristaltik yang dapat terlihat, kelainan-kelainan lain.

 b.  Auskultasi
Auskultasi berguna untuk mendegar bising usus. Pengalaman klinis sangat
membantu seorang dokter dalam memastikan bising usus yang normal.2
Bising usus yang meningkat ditemukan pada :
-  Setiap keadaan yang menyebabkan peningkatan peristaltik
-  Obstruksi usus
-  Diare
-  Jika terdapat darah dalam pencernaan yang menyebabakan peningkatan

 peristaltik
Bising usus menurun atau menghilang ditemukan pada

3
 

-  Paralisis usus (ileus)


-  Perforasi usus
-  Peritonitis generalisata
c.  Palpasi
Abdomen harus diperiksa secara sistematis, terutama jika pasien menderita nyeri
abdomen. Selalu tanyakan kepada pasien letak nyeri yang dirasa maksimal dan
 periksan bagian itu paling akhir.
Lakukan palpasi secara berurutan pada setiap kuadran, yang awal dilakukan tanpa
 penekanan yang berlebihan dengan tujuan untuk mengetahui adanya nyeri tekan dan
dilanjutkan dengan palpasi secara dalam untuk mengetahui massa.
Palpasi selanjutnya dilakukan pada organ-organ intra-abdomen yaitu hepar, lien dan
ginjal. Yang harus diperhatikan pada pemeriksaan organ intra-abdomen adalah
ukuran, konsistensi, permukaan, tepi, dan nyeri. 2

d.  Perkusi
Perkusi berguna (khusunya untuk pasien gemuk) untuk memastikan adanya
 pembesaran organ, khususnya hati,
h ati, limpa dan kandung kemih. Timpani merupakan
 bunyi perkusi paling sering ditemukan pada abdomen, hal ini disebabkan karena
adanya gas dalam lambung, usus kecil dan kolon.

C.  Pemeriksaan Penunjang


Radiologi
Bentuk pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan
radiologi. Pada pemeriksaan ini investigasi dilakukan dengan menggunakan barium
sebagai media kontrasnya. Pada sindrom dumping, umumnya terjadi gangguan pada
 pasase makanan dimana terjadi proses pengosongan lambung lebih cepat dibandingkan
keadaan normal. Pada pemeriksaan radiologi juga dapat digunakan Raybar untuk
menggantikan barium agar hasilnya lebih jelas terlihat. Medium kontras yang telah
dimasukan kedalam saluran cerna pasien kemudian akan dilihat pergerakannya dalam
waktu 5, 10, 20, 30, 45 dan 90 menit. 3

4
 

Yang perlu diperhatikan adalah perbandingan pola gambaran radiologis usus halus antara
 pasien yang ingin diperiksa dengan orang normal sebagai kontrol. Tingkat perbedaan
dinyatakan dalam bentuk +, ++ dan +++ dimana semakin banyak tanda + menunjukan
semakin beda gambaran radiologis yang ditemukan. Selain itu pada usus besar yang
diperhatikan adalah tingkat pergerakan medium kontras di dalam usus besar. Pada pasien
sindrom dumping cenderung ditemukan gambaran usus halus yang berbeda dengan orang
normal serta tingkat pergerakan medium kontras yang semakin tinggi pada usus besar.
Selain itu fase pengosongan lambung juga ditemukan meningkat pada 67% pasien post
gastrektomi. Seperti kita ketahui bersama pengosongan lambung yang cepat merupakan
salah satu tanda sindrom dumping.3,4

Gambar 1: Radiologi sindrom dumping (kiri), dan normal (kanan)

: http://bowlyorker.com/videotrainings/gi-surgery/bariatric-surgery  
Sumber : 

Tes provokasi

Tes ini merupakan suatau modifikasi dari tes toleransi glukosa. Sebelum tes pasien harus
 berpuasa kurang lebih 12 jam, setelah itu pasien diberi 50 mg atau 70 mg larutan
glukosa. Lakukan pemeriksaan glukosa darah, nadi dan tekanan darah setiap 30 menit.
Tes ini dianggap positif apabila pada menit ke 120-180 terjadi hipoglikemia atau terjadi
 peningkatan denyut nadi lebih dari 10 bpm pada menit ke 10. Denyut nadi merupakan
indikator terbaik untuk sindrom dumping.5 

Gula darah

5
 

Kadar gula darah pada penderita penderita sindrom dumping cendrung akan turun,
dikarenakan karena cepatnya pasase dari lambung keduodenum mengakibatkan
terjadinya penyerapan karbohidrat dalam jumlah besar juga oleh doudenum, yang
kemudian akan meninggikan kadar gula darah, peningkatan kadar gula darah ini akan
merangsang pankreas untuk melepaskan insulin yang kemudian akan mengakibatkan
terjadinya penurunan kadar gula darah. Pemeriksaan gula darah ini bisa digunakan untuk
membedakan apakah terjadi sindrom dumping tipe lambat atau tipe dini, juga bisa
membedakan malabsorbsi yang terjadi karena gangguan pankreas.

D.  Diagnosis Kerja


Sindrom dumping tipe cepat
Manifestasi klinis sindrom dumping meliputi gejala gastrointestinal dan vasomotor (lihat
tabel 2). Tingkat keparahan gejala bervariasi pada setiap
seti ap individu.
Sindrom dumping tipe cepat terjadi dalam waktu 10 sampai 30 menit setelah makan.
Dimana terjadi percepatan pengosongan bahan-bahan hiperosmolar dari lambung ke
duodenum atau usus halus, diikuti dengan perpindahan cairan dari kompartemen
intravaskuler dalam lumen usus. Hal ini menyebabkan terjadinya distensi usus dan
 peningkatan kontraktilitas usus, keduanya dipercaya mendasari timbulnya gejala GI
seperti mual, kembung, kram perut dan diare eksplosif. Kebanyakan pasien yang
menderita sindom dumping memiliki gejala GI dan vasomotor.3 

Tabel 2. Gejala-gejala sindrom dumping


Sumber : Nutrition issues in gastroenterology, series 35

6
 

Untuk mempermudah identifikasi sindrom dumping, maka digunakan sistem skor.


Sistem skor ini disusun berdasarkan gejala yang dialami oleh pasien yang datang ke
dokter. Tabel sistem skor dapat dilihat dibawah ini.

Tabel 3 : Sistem skor untuk sindrom dumping


Sumber : 
:  http://www.medscape.org/viewarticle/707838_sidebar1

E.  Diagnosis Banding


Ada beberapa penyakit yang memiliki kemiripan gejala dengan sindrom dumping tipe
cepat, antara lain:
1.  Sindrom dumping tipe lambat
Tipe ini biasanya terjadi 2 sampai 3 jam setelah makan. Tipe ini lebih jarang

ditemukan dibanding dengan tipe cepat. Defek pada pengosongan lambung yang
terlalu cepat juga terjadi pada sindrom dumping tipe lambat, namun perbedaannya
 pada tipe lambat adalah hantaran karbohidrat yang terlalu cepat ke usus halus yang
kemudian diabsorpsi terlalu cepat sehingga menyebabkan hiperglikemia. Hal ini
merangsang sekresi insulin tubuh untuk menurunkan kadar glukosa dalam darah.
 Namun sekresi insulin tersebut berlebihan sehingga menyebabkan hipoglikemia.
Keadaan ini kemudian memicu kelenjar adrenal untuk melepaskan katekolamin,
yang memiliki efek menyebabkan takikardia, hiperhidrosis, pusing, hingga bingung.
Kunci untuk membedakan tipe lambat dari tipe cepat adalah perubahan kadar gula

darah yang cepat. Perubahan kadar gula darah yang cepat ini terjadi pada sindrom
dumping tipe lambat.5

7
 

2.  Dispepsia organik


Dispepsia merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari nyeri/tidak nyaman di
daerah epigatrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa penuh, sendawa,
regurgitasi dan rasa panas menjalar di badan. Kelainan organik disini berarti
 penyebab dispepsia tersebut adalah gangguan pada or
organ
gan baik oesophagus, lambung
maupun duodenum. Gangguan tersebut bisa berupa erosi hingga terbentuknya ulkus.
Keluhan dispepsia adalah keluhan yang sangat sering ditemukan dalam praktek
kedokteran sehari-hari. Diagnosis dispepsia organik ditegakkan melalui beberapa
tanda alarm di bawah ini, yaitu:
  Usia >45 tahun
  Hematemesis melena
  BB menurun >10 kg
  Anoreksia
  Riwayat tukak peptik
  Muntah persisten
  Anemia

Beberapa gangguan yang ditemukan pada sindrom dumping juga ditemukan pada
dispepsia organik seperti adanya nyeri ulu hati dan mual. Namun yang khas pada
sindrom dumping adalah sindrom ini sering ditemukan pada pasien pasca bedah
gaster. Sehingga dalam anamnesis harus diperhatikan sebaik mungkin. Selain itu
 pada sindrom dumping juga
j uga dapat ditemukan
ditem ukan diare karena cairan plasma tertarik
tertari k ke
4

dalam usus halus.


F.  Etiologi
Penyebab utama dari sindrom dumping adalah pembedahan lambung, misalnya
dengan prosedur billroth II, vagotomy, antrectomy, piloroplasty. Namun bisa juga
disebabkan oleh lemahnya sphincter pilorus sehingga pengosongan bahan
hiperosmotik yang cepat dari lambung ke usus. 4

8
 

Gambar 2 : Operasi Billroth I dan Billroth II


Sumber:  http://nursingcrib.com/perioperative-nursing/billroth-surgery/  
Sumber:

Gambar 3 : Operasi Roux-en-Y


Sumber : http://www.cedarparkbariatrics.com/pages/laparoscopic-roux-en-y-gastric-bypass  

G.  Epidemiologi
Sindrom dumping hampir mungkin terjadi pada semua pasien yang baru mengalami
operasi gaster. Sekitar 25-50% pasien dengan operasi gaster mengalami gejala mirip
sindrom dumping, namun hanya 1-5% yang mengalami sindrom dumping. Terjadinya
sindrom dumping sangat bervariasi dan bergantung dengan prosedur operasi yang
dialami, sekitar 50-60% pasien yang baru saja menjalani operasi dengan teknik Billroth
II, 5-15% sindrom dumping terjadi pada pasien yang mengalami truncal vagotomi, 15-
20% terjadi pada tindakan gastrectomi sebagian, dan hanya 2% terjadi pada vagotomi
yang selektif.5 

9
 

Sindrom dumping dini lebih sering terjadi dibandingkan dengan sindrom dumping
lambat, sekitar 75% pasien mengalami sindrom dumping dini dan hanya 25% yang
mengalami sindrom dumping lambat. Dalam keadaan tertentu namun jarang dapat
ditemukan sindrom dumping dini dan lambat secara bersamaan.5,6

H.  Patofisiologi
Sindrom dumping dini terjadi karena adanya pengosongan lambung yang cepat sehingga
kimus yang berasal dari lambung masuk ke dalam duodenum masih dalam keadaan
hiperosmolar, dalam keadaan normal kimus yang berasal dari lambung dalam keadaan
isoosmotik saat masuk ke duodenum. Kimus hiperosmolar dalam duodenum akan
menarik air yang berasal dari plasma darah di pembuluh darah di sekitar duodenum dan
masuk ke lumen usus. Cairan yang masuk ke dalam lumen usus ini akan mengakibatkan
terjadinya distensi dalam usus halus, yang kemudian akan merangsang peningkatan
amplitudo dan frekuensi kontraksi usus halus. Proses ini dapat mengakibatkan terjadinya
 pembengkakan, nyeri perut, dan diare. Menumpuknya cairan di lumen yang berasal dari
 plasma darah ini akan mengakibatkan terjadinya
te rjadinya penurunan plasma darah dalam jumlah
j umlah
 besar, hal ini akan mengakibatkan hipovolemi
hipovolemi dengan takikardi, serta perasaan pusing.
Beberapa hormon usus diduga juga berperan dalam terjadinya sindrom dumping. Setelah
makan konsentrasi enteroglukagon
enteroglukagon,,  glukosa-dependent-insulinotropik peptida (GIP), -
 pancreatic polypeptide,
polypeptide, vasoactive intestinal polypeptide,
polypeptide,  gastrin-releasing peptide,
peptide,
 serotonin,, bradykinin
 serotonin bradykinin,, motilin
motilin,, dan neurotensin
neurotensin meningkat
 meningkat pada orang yang mengalami
sindrom dumping jika dibandingkan dengan pasien yang baru mengalami operasi gaster
tanpa sindrom dumping. Diantara semua hormon ini neurotensin merupakan hormon
yang diduga kuat paling berpengaruh terhadap terjadinya sindrom dumping. Meskipun
demikian belum dapat dipastikan bahwa hormon neurotensin dan beberapa peptida ini
dumping.6
 berperan dalan proses patogenesis dari sindrom dumping.

I.  Penatalaksanaan

Asupan Nutrisi
Pasien dengan sindrom dumping umumnya memiliki keluhan yang akan semakin
 bertambah seiring berjalannya waktu. Modifikasi diet pasien merupakan cara yang paling

 baik dalam mengatasi permasalahan akibat sindrom dumping. Cara


Car a makan yang terbaik
adalah dengan menghindari karbohidrat simpleks (monosakarida dan disakarida) dan

10
 

alkohol serta mengkonsumsi banyak serat dan karbohidrat kompleks. Pasien penderita
sindrom dumping harus sering makan dengan porsi yang sedikit dan menghindari minum
di sela-sela makan. Pasien boleh minum beberapa jam setelah makan maupun sesaat
setelah makan. Pasien juga dapat berbaring terlentang 30 menit setelah makan. Tindakan
ini dilakukan untuk memperlambat pengosongan lambung dan meningkatkan aliran balik
vena.6
Meskipun makan dalam porsi yang sedikit, nutrisi bagi penderita sindrom dumping dapat
tetap adekuat. Hal ini dilakukan dengan menyusun jenis bahan makanan yang dapat
disediakan bagi penderita. Berikut adalah contoh menu makanan yang diberikan pada
 penderita sindrom dumping:

  Makan Pagi
Buah (terutama jeruk)
Daging-dagingan
Sereal
Margarine dan mentega

  Makan Siang
Daging-dagingan
Sayuran (berwarna hijau gelap maupun kuning)
Sereal
Margarine dan mentega

  Makan Malam
Daging-dagingan
Sereal
Salad
Buah segar, tanpa ditambah gula

Jenis obat yang dapat diberikan adalah okreotida asetat. Obat ini merupakan suatu analog
somatostatin yang bekerja panjang. Obat ini efektif bagi sindrom dumping berat. Obat ini
memperbaiki keadaan dumping dengan memperlambat fase pengosongan lambung,
menginhibisi pelepasan insulin dan menurunkan sekresi peptida pada traktus
gastrointestinal. Secara umum 90% pasien sindrom dumping berat menunjukan tanda

11
 

 perbaikan dengan menggunakan obat ini. Pada keadaan akut, terapi okreotida
menurunkan gejala penyakit secara umum, denyut nadi, serta kadar insulin dalam plasma
darah. Efek samping yang dapat muncul akaibat penggunaan obat ini adalah steatorea.
Hal ini dimungkinkan karena efek inhibisi okreotida pada sekresi kelenjar eksokrin
 pankreas. Selain itu juga dapat muncul hipoglikemia, sakit pada tempat suntikan dan
kolelithiasis sebagai efek samping penggunaan okreotida.
Obat lainnya yang dapat digunakan ialah acarbose. Obat ini adalah suatu alphaglycoside
hydrolase inhibitor yang poten yang bekerja bersamaan dengan absorpsi karbohidrat.
Obat ini bekerja dengan cara menghambat perubahan pati dan sukrosa menjadi
monosakarida serta mengurangi kenaikan kadar glukosa dan insulin dalam darah. Dosis
yang digunakan pada pasien pasca operasi adalah 50 mg/100 mg.

Terapi Bedah
Dalam kondisi dimana pasien tidak responsif terhadap pengobatan yang diberikan
maupun kondisi dimana pasien tidak mampu melanjutkan pengobatan akibat kontra
indikasi yang ada, maka operasi bedah ulang dapat dilakukan. Jenis pembedahan yang
dapat dilakukan meliputi rekonstruksi pilorus, interposisi jejunum, pengubahan Billroth
II menjadi Billroth I  seanatomis mungkin, serta konversi ke Roux-en-Y
gastrojejunostomi. Tingkat keberhasilan operasi ini belum pasti, umumnya dalam jangka
 pendek timbul efek yang baik namun sering terjadi kegagalan dalam jangka panjang.7 
Sindrom dumping dapat terjadi pada pasien pasca operasi piloroplasti. Operasi ini
merupakan tindakan memotong dan merekonstruksi pilorus sehingga menjadi lebih
relaks dan lebar. Penanganan bagi sindrom dumping karena penyebab ini adalah dengan
merekonstruksi kembali pilorus sehingga menjadi lebih kuat. Namun sekali lagi tindakan
ini ada efek sampingnya yaitu statisnya bolus di lambung akibat sphincter pilorus terlalu
kuat.
Konversi Billroth II menjadi Billroth I meningkatkan gejala penyakit pada 75% pasien.
Keuntungan utama prosedur ini ialah berjalan proses penghantaran makanan secara
fisiologis ke duodenum. Namun prosedur ini sulit untuk dilakukan. Secara umum
 prosedur ini telah digantikan oleh konversi Roux-en-Y. Konversi ini berhasil dengan
 baik pada 85-90% pasien
p asien yang sebelumnya
seb elumnya menjalani operasi Billroth I maupun Billroth
II. Konversi Roux-en-Y terbukti menjadi tindakan bedah terbaik berdasarkan data yang

12
 

ada dan juga memiliki komplikasi jangka panjang yang lebih sedikit dibanding prosedur
lainnya.6,7

J.  Komplikasi

Sindrom dumping yang terjadi secara terus menerus dapat berkembang menjadi sindrom
malabsorpsi. Pada sindrom ini terjadi gangguan penyerapan makanan oleh vili-vili usus.
Umumnya pasien memiliki keluhan diare, steatorea, distensi lambung serta penurunan
 berat badan.
Pada sindrom dumping tipe dini komplikasi yang paling berbahaya adalah timbulnya
shock akibat penurunan tekanan darah. Seperti yang diketahui pada sindrom dumping tipe
ini banyak cairan plasma yang tertarik ke dalam usus akibat hiperosmotisitas makanan
yang masuk ke dalam usus. Hal ini dapat menyebabkan gejala kekurangan pasokan darah
seperti dehidrasi hingga lemas. Dalam tingkat yang parah dapat menyebabkan shock

akibat turunnya tekanan darah. Selain itu, pada hipoglikemia akibat dumping sindrom tipe
lambat dapat memicu terjadinya gangguan pada otak karena organ ini membutuhkan
glukosa sebagai sumber energi utama. Hal ini dapat membawa pada komplikasi lain yang
dikenal sebagai koma hipoglikemia.5

K.  Pencegahan
Pencegahan yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya sindrom dumping yang
terpenting adalah saat sebelum dilakukan tindakan operasi. Pilihan pembedahan yang
memiliki resiko terkecil terjadinya sindrom dumping merupakan tindak pencegahan yang

terbaik. Misalnya untuk pasien dengan ulkus peptik, tindak vagotomi yang selektif
memiliki kemungkinan untuk terjadinya sindrom dumping postoperatif lebih kecil,
mesikpun demikian tindakan vagotomi yang selektif ini memiliki kemungkinan
terjadinya rekurensi ulkus peptik lebih besar dibandingkan dengan tindakan vagotomi
menyeluruh. Meskipun demikian managemen untuk sindrom dumping lebih sulit
dibandingkan managemen bila terjadi rekurensi ulkus peptik. Bila reseksi perlu
dilakukan para ahli bedah berpendapat bahwa teknik Roux-en-Y gastrojejunostomy
merupakan prosedur yang memiliki resiko terjadinya sindrom dumping. Mesikpun
demikian Roux-en-Y gastrojejunostomy memiliki masalah postoperative sendiri berupa

Roux stasis sindrom, dan obstruksi. Bila memungkinkan prosedur Billroth I lebih baik

13
 

dilakukan dibandingkan dengan antrectomy, karena prosedur ini memungkinkan


mungkin.6
 perubahan lambung seanatomis mungkin.

L.  Prognosis
Prognosis sindrom dumping pada umumnya baik, jika pasien mengikuti
men gikuti anjuran diet.

PENUTUP

Kesimpulan

Sindrom dumping terjadi karena gangguan sfingter pilorus, dimana terlalu cepatnya pasase
makanan dari lambung ke duodenum, hal ini mengakibatkan makanan dari lambung masih
terlalu hiperosmolar. Makanan hiperosmolar menarik plasma darah sebagai kompensasi
tubuh, dan akhirnya mengakibarkan terjadinya distensi dan peningkatan gerakan peristaltik
 pada usus halus.

Daftar Pustaka

1.  Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku ajar ilmu bedah edisi 2. Jakarta: EGC. 2005.h: 559
2.  Welsby PD, Qlintang S. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta: EGC.
2009.h: 77-85
3.  Duthie HL, McKellar NJ. Radiological appearances in the postgasterectomy in
dumping syndrome. 2000.h.171-7.

4.  Yamada T, Alpers DH, Kalloo AN, et all. Textbook of gastroenterology. 2006.
Oxford: Wiley-Blackwell.h:1060-3
5.  Townseed CM, Beauchamp RD, Evers BM. Sabiston text book of surgery the
 biological basis of modern surgical practice 18 th edition. Texas: Saunders Elsevier.
Els evier.
2006.h. 1252-5
6.  Parrish CR. Nutrition issues in gastroenterology series 35. 2006.h.32-44
7.  Haye
Hayes,
s, C.Peter., Mackay, Thomas. Churcill’s pocketbook of medicine (edisi bahasa
indonesia, alih bahasa : devi h. ronardy). Jakarta: ECG; 2001. p.125-7

14

Anda mungkin juga menyukai