Anda di halaman 1dari 43

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Pada Pasien Post Operasi Ileus
Obstruktif
2.1.1. Pengkajian
Pengkajian keperawatan merupakan suatu dari komponen dari
proses keperawatan yaitu suatu usaha yang dilakukan oleh perawat dalam
menggali permasalahan dari klien meliputi usaha pengumpulan data
tentang status kesehatan seorang klien secara sistematis, menyeluruh,
akurat, singkat, dan berkesinambungan (Arif Muttaqin, 2020).
1. Pengkajian Umum
Pada pengkajian pasien di unit rawat inap, poliklinik, bagian bedah
sehari, atau unit gawat darurat dilakukan secara komprehensif di mana
seluruh hal yang berhubungan dengan pembedahan pasien perlu
dilakukan secara seksama.
a. Identitas pasien : Meliputi Nama, umur, Tanggal lahir, jenis
kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, status perkawinan, suku
bangsa dan Nomor Rekam medis. Pengkajian ini diperlukan
agar tidak terjadi duplikasi nama pasien. Umur pasien sangat
penting untuk diketahui guna melihat kondisi pada berbagai
jenis pembedahan. Selain itu juga diperlukan untuk memperkuat
identitas pasien.
b. Keluhan Utama (diperbaiki)
Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan klien pada saat
dikaji. Pada umumnya keluhan yang di rasakan oleh pasien post
operasi ileus obstruktif adalah keluhan haus dan lapar.
Pasien biasanya menanyakan kapan boleh minum atau makan
pada perawat..
2. Riwayat kesehatan
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Mengungkapkan hal-hal yang menyebabkan klien mencari
pertolongan, Metode untuk pengkajian nutrisi adalah “ABCD”.
1) Antropometri measurements
2) Bio chemical data
3) Clinicals signs
4) Diet history.

1) Antropometri measurements
Pengkajian nutrisi yang meliputi:
a) Sistem pengukuran dan susunan tubuh dan
proporsi tubuh manusia.
b) Mengevaluasi pertumbuhan, mengkaji status
nutrisi, dan ketersediaan energi tubuh.
c) Identifikasi masalah nutrisi, meliputi : Tinggi
badan, berat badan, indeks massa tubuh, lipatan
trisep, LLA, LOLA.
2) Bio Chemical Data
Pengkajian nutrisi menggunakan nilai biokimia seperti:
Total limfosit, serum albumin, zat besi, creatinin, HB,
HT, keseimbangan nitrogen, kadar kolesterol, dll.
3) Clinical signs
Pemeriksaan fisik pada pasien yang berhubungan dengan
adanya mal nutrisi.
Prinsip: head to feet/ chephalo caudal.
4) Diet History
Mengkaji riwayat diet, meliputi :
a) Fead recall 24 jam : pola, jenis, dan frekuensi
makanan yang dikonsumsi dalam 24 jam.
b) Alergi, dan intoleransi terhadap makanan.
c) Faktor yang mempengaruhi pola makan.

b. Riwayat Penyakit Dahulu


Perlu dikaji apakah klien pernah menderita penyakit yang sama,
riwayat ketergantungan terhadap makanan/minuman, zat dan
obat-obatan, apakah klien sebelumnya pernah mengalami
penyakit pada sistem pencernaan atau adanya riwayat operasi
pada sistem pencernaan. Pada ileus obstruksi harus dicari
adanya riwayat operasi sebelumnya, tumor atau hernia.
c. Riwayat Penyakit Keluarga
Apakah ada anggota keluarga yang mempunyai riwayat
penyakit yang sama dengan klien.

3. Activity Daily Living


Nutrisi : Pada pasien post operasi pemenuhan nutrisi
biasanya terganggu karena adanya mual dan
muntah, nyeri abdomen, pasien yang
diharuskan puasa, dan sistem pencernaan yang
belum optimal.
Eliminasi : Pada pasien post operasi, sering mengalami
konstipasi dan tidak bisa flatus karena
peristaltik usus menurun.
Istirahat : Nyeri abdomen pasca operasi umumnya akan
menggangu pola istirat klien.
Aktivitas : Pasien post operasi ileus biasanya mengalami
kesulitan dalam ambulasi karena adanya
kelelahan dan nyeri yang dirasakan.
4. Pemeriksaan Fisik
Ada berbagai pendekatan yang digunakan dalam melakukan
pemeriksaan fisik, mulai dari pendekatan head to toe hingga pendekatan
per-system. Perawat dapat menyesuaikan konsep pendekatan
pemeriksaan fisik dengan kebijakan prosedur yang digunakan institusi
tempat bekerja. Pada pelaksanaannya, pemeriksaan yang dilakukan bisa
mencakup sebagian atau seluruh sistem, bergantung pada banyaknya
waktu yang tersedia dan kondisi preoperatif pasien.
a. Keadaan umum
Lemah, kesadaran menurun sampai syok hipovolemia suhu
meningkat, pernapasan meningkat, nadi meningkat, tekanan darah
meningkat.
b. Pemeriksaan fisik
1) Sistem kardiovaskular: tidak ada distensi vena jugularis, tidak
ada oedema, tekanan darah meningkat, BJ I dan BJ II terdengar
normal.
2) Sistem respirasi: pernapasan meningkat, bentuk dada normal,
dada simetris, sonor (kanan kiri), tidak ada wheezing dan tidak
ada ronchi
3) Sistem hematologi: terjadi peningkatan leukosit yang
merupakan tanda adanya infeksi.
4) Sistem perkemihan : produksi urin menurun BAK < 500 cc
5) Sistem muskuloskeletal: badan lemah, tidak bisa melakukan
aktivitas secara mandiri
6) Sistem integumen: tidak ada edema, turgor kulit menurun,
tidak ada sianosis, pucat
7) Sistem gastrointestinal:
Inspeksi : Dapat ditemukan tanda tanda
dehidrasi, yang mencakup turgor kulit
jelek maupun mulut dan lidah kering.
Pada abdomen harus dilihat adanya
distensi, parut abdomen. Pada pasien
post operasi akan ditemukan luka
bedah atau luka lubang colon. Inspeksi
pada penderita yang kurus/sedang juga
dapat ditemukan “darm contour”
(gambaran kontur usus) maupun
“darm steifung” (gambaran gerakan
usus), biasanya nampak jelas pada saat
penderita mendapat serangan kolik
yang disertai mual dan muntah dan
juga pada ileus obstruksi yang berat.
Penderita tampak gelisah dan
menggeliat sewaktu serangan kolik.
Palpasi : Pada palpasi didapatkan distensi
abdomen. Palpasi bertujuan mencari
adanya tanda iritasi peritoneum
apapun atau nyeri tekan, yang
mencakup “defance musculair”
involunter atau rebound dan
pembengkakan atau massa yang
abnormal. Nyeri yang terlokasi dan
terabanya massa menunjukkan adanya
strangulasi. Pada ileus paralitik pasien
hanya menyatakan perasaan tidak enak
pada perutnya. Tidak ditemukan
adanya reaksi peritoneal (nyeri tekan
dan nyeri lepas negatif).
Auskutasi : Pada auskultasi ileus obstruksi,
terdengar borborygmus nada tinggi
bersamaan dengan nyeri kolik, tetapi
temuan ini sering tidak ada beberapa
waktu lamanya pada obstruksi
strangulasi dan non-strangulasi. Bising
usus yang meningkat dan metallic
sound dapat didengar sesuai dengan
timbulnya nyeri pada obstruksi di
daerah distal.
Perkusi : Pada pasien ileus obstruksi terdengar
suara timpani saat melakukan
pemeriksaan dengan cara perkusi.
Pada ileus paralitik, perkusi timpani
dengan bising usus yang lemah dan
jarang bahkan dapat tidak terdengar
sama sekali.
8) Pemeriksaan rektum dan pelvis :
Bagian akhir yang diharuskan dari pemeriksaan adalah
pemeriksaan rektum dan pelvis. Pada pemeriksaan colok dubur
akan didapatkan tonus sfingter ani biasanya cukup namun ampula
recti sering ditemukan kolaps terutama apabila telah terjadi
perforasi akibat obstruksi. Mukosa rektum dapat ditemukan licin
dan apabila penyebab obstruksi merupakan massa atau tumor pada
bagian anorectum maka akan teraba benjolan yang harus kita nilai
ukuran, jumlah permukaan, konsistensi, serta jaraknya dari anus
dan perkiraan diameter lumen yang dapat dilewati oleh jari. Nyeri
tekan dapat ditemukan pada lokal maupun general misalnya pada
keadaan peritonitis. Kita juga menilai ada tidaknya feses di dalam
kubah rektum. Pada ileus obstruktif usus feses tidak teraba pada
colok dubur dan tidak ditemukan pada sarung tangan. Pada sarung
tangan dapat ditemukan darah apabila penyebab ileus obstruktif
adalah lesi intrinsic di dalam usus (Sjamsuhidajat & Jong, 2005)
5. Data psikologis
a. Status emosi : Apakah klien mampu mengontrol emosinya .
b. Kecemasan klien : Bagaimana tingkat kecemasan klien, bagian
terpenting dari pengkajian kecemasan perioperative adalah untuk
menggali peran orang terdekat, baik dari keluarga atau sahabat
pasien. Adanya sumber dukungan orang terdekat akan
menurunkan kecemasan
c. Konsep diri : Pasien dengan konsep diri positif lebih mampu
menerima operasi yang dialaminya dengan tepat
d. Citra tubuh : perawat mengkaji perubahan citra tubuh yang pasien
anggap terjadi akibat operasi. Reaksi individu berbeda-beda
bergantung pada konsep diri dan tingkat harga dirinya
e. Data sosial
- Pola komunikasi : Bagaimana gaya bicara klien
Pola interaksi
- Bagaimana interaksi klien dengan keluarga,
perawat,dan lingkungan sekitar.

f. Data spiritual

- Motivasi religi klien : Bagaimana keyakinan


klien terhadap penyakit yang di deritanya
- Persepsi klien terhadap penyakit nya :
Bagaimana persepsi klien terhadap penyakit
nya.
- Pelaksanaan ibadah sebelum dan sesudah sakit :
Bagaimana pelaksanaan ibadah klien sebelum
dan sat sakit, apakah ada perubahan atau tidak.
g. Sumber koping : perawat perioperative mengkaji adanya
dukungan yang dapat diberikan oleh anggota keluarga atau teman
pasien.
h. Pengetahuan, persepsi, pemahaman : dengan mengidentifikasi
pengetahuan, persepsi, pemahaman, pasien dapat membantu
perawat merencanakan penyuluhan dan tindakan untuk
mempersiapkan kondisi emosional pasien.
5. Pemeriksaan Penunjang
Sebelum pasien menjalani pembedahan, dokter bedah akan meminta
pasien untuk menjalani pemeriksaan diagnostic guna memeriksa adanya
kondisi yang tidak normal. Perawat bertanggung jawab mempersiapkan
dalam klien untuk menjalani pemeriksaan diagnostic dan mengatur agar
pasien menjalani pemeriksaan yang lengkap. Perawat juga harus mengkaji
kembali hasil pemeriksaan diagnostic yang perlu diketahui dokter untuk
membantu merencanakan terapi yang tepat.
a. Pemeriksaan Radiologi
1) Foto polos abdomen
2) Pemeriksaan radiologi dengan Barium Enema
3) CT-Scan
4) MRI
5) USG Abdomen
b. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium mungkin dapat membantu mencari
kausa penyakit dan menunjukkan gambaran dehidrasi dan
kehilangan volume plasma. Pemeriksaan yang penting untuk
dimintakan yaitu leukosit darah, kadar elektrolit, ureum, glukosa
darah dan amilasi. Leukositosi mungkin menunjukkan adanya
strangulasi. Pada urinalisa mungkin menunjukkan dehidrasi.
Analisa gas darah dapat mengindikasikan asidosis atau alkalosis
metabolik.

2.1.2. Diagnosis
Diagnosis keperawatan merupakan suatu penilaian klinis
mengenai respons pasien terhadap masalah kesehatan atau proses
kehidupan yang dialaminya baik yang beransung aktual maupun
potensial. Diagnosis keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi
respon pasien individu, keluarga dan komunitas terhadap situasi
yang berkaitan dengan kesehatan (PPNI, 2017).
Diagnosa Keperawatan yang mungkin timbul pada pasien post op
ileus obstruktif adalah : (sumber)
1. Nyeri akut berhubungan dengan insisi pada abdomen
2. Resiko Hipovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan
berlebih
3. Resiko infeksi berhubungan dengan luka insisi pada abdomen
4. Kesiapan Peningkatan Nutrisi berhubungan dengan intake
nutrisi tidak adekuat

2.1.3. Intervensi
Intervensi keperawatan adalah segala pengobatan yang
dikerjakan oleh perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan
penilaian klinis untuk mencapai luaran yang diharapkan. (Tim
Pokja SIKI DPP PPNI, 2018)
Menurut buku Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI
,2018) :
a. Definisi
Pola asupan nutrisi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme dan dapat ditingkatkan.

Tabel 2.1

DIAGNOSA INTERVENSI
Kesiapan Peningkatan Manajemen Nutrisi
Nutrisi b.d Intake nutrisi Observasi :
tidak adekuat - Identifikasi status nutrisi
- Identifikasi alergi dan intoleransi
makanan
- Identifikasi kebutuhan kalori dan
nutrient
- Identifikasi perlunya pemasangan
selang Nasogastrik (NGT)
- Monitor asupan makanan
- Monitor berat badan
- Monitor hasil pemeriksaan
Laboratorium
Terapeutik :
- Fasilitasi menentukan pedoman
diet (mis. Piramida makanan)
- Hentikan pemberian makanan
melalui selang Nasogatrik, jika
perlu.
Edukasi :
- Ajarkan diet yang diprogramkan
Kolaborasi :
- Kolaborasi pemberian medikasi
sebelum makan (mis. Pereda nyeri,
antiemetic)
- Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
- menentukan jumlah kalori dan
nutrient yang dibutuhkan, jika perlu.

Sumber gambar 2.1 : SDKI (2017), SLKI (2019), dan SIKI (2018)

2.1.4. Implementasi
Implementasi merupakan tahap keempat dari proses keperawatan
dimana rencana keperawatan dilaksanakan. Pada tahap ini, perawat harus
melakukan tindakan keperawatan yang ada dalam rencana keperawatan.
Tindakan dan respon pasien tersebut langsung dicatat dalam format
tindakan keperawatan. Dalam format implementasi keperawatan yang
harus didokumentasikan adalah tanggal dilakukannya tindakan, waktu,
nomor diagnosis, implementasi dan respon, paraf dan nama terang perawat
(Dinarti, dkk., 2013).
2.1.5. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan yaitu
menilai efektifitas rencana yang telah dibuat, strategi dan pelaksanaan
dalam asuhan keperawatan serta menentukan perkembangan dan
kemampuan pasien dalam mencapai sasaran yang telah diharapkan.
Tahapan evaluasi menentukan kemajuan pasien terhadap pencapaian hasil
yang diinginkan dan respons pasien terhadap dan keefektifian intervensi
keperawatan kemudian mengganti rencana perawatan jika diperlukan.
Tahap akhir dari proses keperawatan perawat mengevaluasi kemampuan
pasien ke arah pencapaian hasil.

2.2.Konsep Dasar Ileus Obstruktif


2.2.1 Pengertian
Usus merupakan salah satu bagian terpenting dalam sistem
pencernaan. Usus merupakan tempat terminal dalam pencernaan makanan
yang berfungsi dalam mengabsorpsi nutrisi dan mengsekresi endokrin.
Menurut definisi ileus adalah oklusi atau kelumpuhan usus yang mencegah
perjalanan ke depan dari isi usus, menyebabkan akumulasi di proksimal ke
lokasi penyumbatan (Vilz TO, 2017). Usus halus dan usus besar
merupakan bagian terpanjang pada saluran cerna. Ketika terjadi gangguan
akan berefek pada nutrisi dan transport air yang mengakibatkan
malabsorbsi, diare, proses infeksi, dan inflamasi (Kumar V, 2015).
Ileus obstruktif merupakan rusak atau hilangnya pasase isi usus
yang disebabkan oleh sumbatan mekanik sehingga isi lumen saluran cerna
tidak bisa disalurkan ke distal atau anus karena ada sumbatan/hambatan
yang disebabkan kelainan dalam lumen usus, dinding usus atau luar usus.
(Sjamsuhidajat, R&Wim, de Jong, 2017) Ileus obstruktif dapat diartikan
juga sebagai suatu keadaan dimana isi usus tidak bisa melewati lumen
usus karena adanya sumbatan atau hambatan mekanik. Sumbatan atau
hambatan ini dapat terjadi dikarenakan adanya kelainan di dalam lumen
usus, dinding usus, atau benda asing di luar usus yang menekan, dan juga
adanya kelainan vaskularisasi pada segmen usus sehingga dapat
menyebabkan nekrosis (Sari et al, 2015). Obstruksi dapat terjadi ketika
lumen usus menjadi tersumbat sebagian atau seluruhnya. Obstruksi sering
menyebabkan sakit perut, mual, muntah, konstipasi-sembelit, distensi, dan
mencegah pergerakan normal produk yang dicerna (Smith DA, Nehring
SM, 2018).
Berdasarkan etiopatogenesis ileus obstruktif diklasifikasikan dari
obstruksi mekanik dan fungsional, dari luas obstruksi dapat dibedakan
obstruksi partial atau komplit, serta berdasarkan jenis obstruksinya ileus
obstruktif dibedakan menjadi obstruksi sederhana, closed loop, dan
strangulasi. Obstruksi sederhana adalah obstruksi yang tidak disertai
terjepitnya pembuluh darah, closed loop obstruction terjadi jika kedua
segmen usus terlibat mengalami obstruksi, sedangkan pada obstruksi
strangulasi disertai terjepitnya pembuluh darah yang menyebabkan
terjadinya iskemia, ditandai dengan gejala umum yang berat
(Sjamsuhidajat, 2014; Warsinggih, 2018).

2.2.2 Anatomi
1. Usus Halus
Sebagian besar proses pencernaan dan penyerapan dalam sistem
pencernaan berada di usus halus. Usus halus terletak berlipat-lipat di
rongga abdomen, termasuk bagian terpanjang dari gastrointestinal yakni
terbentang dari ostium pyloricum gaster sampai plica ileocaecale.
Bentuknya berupa tabung dengan panjang sekitar 6-7 meter dan
diameternya menyempit dari ujung awal sampai ujung akhir (Drake,
Richard L., Vogl, A. Wayne, Mitchell, Adam W. M., 2014). Usus halus
memiliki tiga bagian yaitu duodenum, jejenum, dan ileum.
a. Duodenum
Duodenum adalah bagian dari usus halus yang terletak setelah
lambung dan menghubungkannya ke usus kosong (jejunum).
Duodenum berbentuk melengkung seperti huruf C, letaknya dekat
dengan caput pankreas dan berada di atas umbilicus. Panjangnya
sekitar 20-25 cm dan memiliki lumen paling lebar dibanding bagian
lainnya. Duodenum dibagi menjadi 4 bagian :
1) Pars superior : bagian ini terletak pada ostium pyloricum gaster
sampai collum vesicae fellea dan sering disebut sebagai ampulla.
(Drake et al, 2014)
2) Pars descendens : bagian ini terletak pada collum vesicae fellea
sampai ke tepi bawah vertebra L3, ada pars descendensterdapat
papilla duodeni major dan papilla duodeni minor. Papilla duodeni
majormerupakan pintu masuk ductus pancreaticus dan ductus
choledochus, sedangkan pada papilla duodeni minor merupakan
pintu masuk ductus pancreaticus accessorius. (Drake et al, 2014)
3) Pars inferior : bagian ini merupakan bagian terpanjang dan
menyilang pada vena cava inferior, aorta dan columna vertebralis.
(Drake et al, 2014)
4) Pars ascendens : bagian ini diperkirakan berjalan di sisi kiri atau
naik dari aorta sampai tepi atas vertebra L2 dan berakhir menjadi
flexura duodenojejunalis. (Drake et al, 2014)
b. Jejunum
Jejenum terletak di 2/5 bagian proksimal, diameternya lebih lebar dan
memiliki dinding yang lebih tebal dibanding ileum. Pada bagian dalam
mukosanya terdapat banyak lipatan yang menonjol mengelilingi lumen
yang disebut plicae circulares. Ciri khas jejunum terdapat arcade
arteriae yang tidak begitu terlihat dan vasa recta yang lebih panjang
dibanding milik ileum. (Drake et al, 2014)
c. Ileum
Ileum terletak di 3/5 bagian distal, ileum memiliki dinding yang lebih
tipis, plicae circulares yang kurang menonjol dan lebih sedikit, terdapat
banyak arteriae arcade dan lemak mesenterium. Ileum akan bermuara di
usus besar, yang merupakan tempat pertemuan sekum dan colon
ascendens. Tempat tersebut dikelilingi 2 lipatan yang menonjol ke
dalam usus besar yang disebut plica ileocaecale. (Drake et al, 2014)
2. Usus Besar
Usus besar memiliki panjang sekitar 1,5 m, dan memiliki lumen
dengan diameter yang lebih besar dibanding usus halus. Struktur usus
besar mulai dari caecum dan appendix vermiformis di regio inguinalis
dekstra lalu naik ke atas sebagai kolon ascendens melewati regio lateralis
dekstra menuju regio hypochondrium dextra, di bawah hepar belok ke kiri
membentuk fleksura coli dekstra (flexura hepatica) lalu menyeberangi
abdomen sebagai colon transversum menuju hypochondrium sinistra. Di
posisi tersebut yakni tepat di bawah lien, belok ke bawah membentuk
flexura coli sinistra (flexura lienalis) lalu berlanjut sebagai colon
descendens melewati regio lateralis sinistra menuju regio inguinalis
sinistra, saat masuk di bagian atas cavitas pelvis sebagai colon
sigmoideum lalu berlanjut sebagai rectum di dinding posterior cavitas
pelvis dan berakhir menjadi canalis analis. (Drake et al , 2014).
Usus besar memiliki perbedaan khas dibanding usus halus yaitu
diameter yang lebih besar, disertai taenia: taenia libera, taenia mesocolica,
dan taenia omentalis. Usus besar juga memiliki haustra dan plica
semilunares yang merupakan sakulasi dinding usus, serta appendices
epiploicae sebagai proyeksi lemak dari jaringan adipose tela subserosa.

Bagian-bagian pada usus besar :

1. Sekum
Pada sekum terdapat tonjolan sepanjang 8 cm yang disebut appendiks
vermivormis atau usus buntu.
2. Kolon
Kolon dibagi menjadi 4 bagian yaitu: kolon asenden (di kanan), kolon
transversum (di atas), kolon desenden (di kiri), dan kolon sigmoid (di
bawah).
3. Rektum
Panjang rektum kira-kira 20 cm setelah kolon sigmoid
4. Kanal anal
Kanal anal merupakan terminal dari rectum sepanjang 2-3 cm. Pintu
keluar dari kanal anal dinamakan anus. Pada anus terdapat sfingter
internal yang dikendalikan oleh otot polos dan sfingter eksternal yang
dikendalikan oleh otot lurik. (Modul ajar Anatomi dan fisiologi,
2019).

2.2.3 Klasifikasi
1) Menurut sifat sumbatan :
a. Obstruksi biasa
Terdapat sumbatan mekanis dalam lumen usus tanpa ada gangguan
pada pembuluh darah. (Pasaribu, Nelly, 2012)
b. Obstruksi strangulasi
Terdapat sumbatan dalam lumen usus yang disertai gangguan pada
pembuluh darah seperti adhesi, volvulus, hernia strangulasi dan
intususepsi. (Pasaribu, Nelly, 2012).
2) Menurut letak sumbatan :
a. Obstruksi tinggi
Obstruksi usus yang terjadi pada usus halus. (Pasaribu, Nelly, 2012)
b. Obstruksi rendah
Obstruksi usus yang terjadi pada usus besar. (Pasaribu, Nelly, 2012)
3) Menurut stadiumnya :
a. Obstruksi sebagian (partial)
Obstruksi usus yang terjadi hanya sebagian sehingga makanan
masih bisa lewat walaupun sedikit, defekasi sedikit, dan masih bisa
flatus. (Novi Indrayani, Margaretha. 2013)
b. Obstruksi sederhana
Obstruksi usus yang terjadi tidak disertai gangguan aliran darah.
(Novi Indrayani, Margaretha. 2013)
c. Obstruksi strangulasi (strangulated)
Obstruksi usus yang terjadi disertai gangguan aliran darah sehingga
terjadi iskemia dan berakhir dengan nekrosis atau gangren. (Novi
Indrayani, Margaretha. 2013)

2.2.1 Etiologi
Etiologi atau penyebab terjadinya Ileus obtruktif adalah sebagai berikut :
1. Adhesi
Merupakan perlengketan tunggal atau multipel di suatu tempat atau
pun meluas. (Sjamsuhidajat, R & Wim, de Jong, 2017) Perlengketan
tersebut terdiri dari jaringan ikat yang tipis serta jaringan fibrosis yang
lebih tebal, didalamnya terdapat saraf dan pembuluh darah. (Binda,
2009) Kasus obstruksi usus akibat adhesi seringnya terjadi setelah
minggu kedua dilakukannya operasi abdomen. (Behrman., et al, 2012)
2. Hernia Inkarserata
Hernia Inkarserata terjadi karena usus yang masuk ke dalam kantung
hernia terjepit oleh cincin hernia sehingga timbul gejala obstruksi
(penyempitan) dan strangulasi (sumbatan usus menyebabkan
terhentinya aliran darah ke usus). (Novi Indrayani, Margaretha. 2013)
3. Cacing Askariasis
Askariasis paling banyak hidup di jejunum, hingga jumlahnya
mencapai ratusan. Obstruksi karena Askariasis sering terjadi di ileum
terminal karena tempatnya paling sempit. Dinding usus akan
mengalami kontraksi dan di sekitarnya terjadi peradangan yang
tampak di peritoneum bagian permukaan. Obstruksi biasanya
disebabkan oleh adanya gumpalan padat yang merupakan gabungan
sisa makanan dan puluhan bahkan ratusan ekor cacing yang mati atau
hampir mati. (Sjamsuhidajat, R&Wim, de Jong, 2017). Daerah usus
yang dipenuhi cacing berisiko tinggi mengalami volvulus, strangulasi,
dan perforasi. (Novi Indrayani, Margaretha. 2013)
4. Volvulus
Volvulus merupakan keadaan dimana bagian usus terpuntir oleh usus
itu sendiri yang disebabkan kurang kuatnya fiksasi dinding usus dan
menggantung pada mesenterium. Hal tersebut dapat mengakibatkan
terjadinya obstruksi saluran cerna, saat terjadi obstruksi dapat
menghentikan nutrisi dan oksigen yang masuk ke usus (Jurnalis et al,
2013). Volvulus bisa terjadi di daerah sigmoid, sekum, fleksura lien,
dan kolon transversum. (M Hasbahceci et al, 2012)
5. Kelainan Kongenital
Contoh kasus kelainan kongeital berupa stenosis atau atresia dari salah
satu bagian saluran cerna, hal ini akan mengakibatkan terjadinya
obstruksi saat bayi mulai menyusui. (Sjamsuhidajat, R & Wim, de
Jong, 2017) Obstruksi tersebut dimungkinkan karena kurang
sempurnanya kanalisasi saluran cerna saat masih dalam kandungan.
Atresia merupakan terjadinya sumbatan yang disertai gejala obstruksi
total sedangkan stenosis merupakan terjadinya penyempitan yang
disertai dengan gejala obstruksi yang tidak total. (Pasaribu, Nelly,
2012)
6. Tumor
Tumor lebih sering menjadi penyebab invaginasi pada orang dewasa,
pada kasus obstruksi usus gejalanya tidak jelas sehingga tidak mudah
untuk dideteksi ada atau tidaknya kelainan kecuali disertai perdarahan
atupun peritonitis. Untuk obstruksinya dapat disebabkan oleh tumor
itu sendiri ataupun oleh invaginasi karena tumor. (Sjamsuhidajat, R &
Wim, de Jong, 2017)
7. Penyakit Hirschsprung
Penyakit Hirschprung paling sering menjadi penyebab obstruksi usus
letak rendah dan terjadi pada masa neonatus, hal ini bisa terjadi karena
kelainan inervasi pada usus ataupun tidak terdapat sel ganglion pada
dinding usus. (Pasaribu, Nelly, 2012)
8. Tumpukan Sisa Makanan
Kasus obstruksi yang jarang ditemukan adalah karena tidak sengaja
menelan serat buah atau biji buah yang sangat banyak, biasanya
obstruksi ini terjadi pada daerah ileum bagian terminal.
(Sjamsuhidajat, R&Wim, de Jong, 2017).

2.2.2 Patofisiologi
Patofisiologi pada obstruksi usus memiliki kesamaan antara
obstruksi usus mekanik maupun non mekanik. Hal yang dapat
membedakan keduanya yaitu pada obstruksi non mekanik, sejak awal
peristaltik mengalami hambatan namun pada obstruksi mekanik peristaltik
mula-mula diperkuat, kemudian intermitten, dan akhirnya hilang. Sekitar
6-8 liter cairan diekskresikan ke dalam saluran cerna setiap hari. Sebagian
besar cairan diasorbsi sebelum mendekati kolon. Ileus mengarah pada
akumulasi cairan dan gas pada tekanan intraluminal yang meningkat,
disfungsi mikrosirkulasi dinding usus, dan gangguan penghalang mukosa,
selanjutnya dapat menyebabkan pergeseran cairan, peritonitis transmigrasi,
dan hipovolemia (Vilz TO, 2017).
Peningkatan permeabilitas dan ekstravasasi menimbulkan retensi
cairan di usus dan rongga peritoneum lalu mengakibatakan terjadi
penurunan sirkulasi dan volume darah. Akumulasi gas dan cairan di
bagian proksimal mengakibatkan kolapsnya usus sehingga terjadi
distensi abdomen. Terjadi penekanan pada vena mesenterika yang
mengakibatkan kegagalan oksigenasi dinding usus sehingga aliran darah
ke usus menurun, terjadilah iskemi dan kemudian nekrotik usus. Pada usus
yang mengalami nekrotik terjadi peningkatan permeabilitas kapiler dan
pelepasan bakteri dan toksin sehingga terjadi perforasi. Dengan adanya
perforasi akan menyebabkan bakteri akan masuk ke dalam sirkulasi
sehingga terjadi sepsis dan peritonitis.
Fisiologi normal usus halus terdiri dari pencernaan makanan dan
penyerapan nutrisi. Mekanisme obstruksi apapun akan menghalangi
komponen fisiologis ini. Obstruksi usus halus akut menghasilkan
penurunan volume dan gangguan elektrolit. Kehilangan volume lebih
lanjut terjadi ketika isi usus tertahan di bagian usus yang tersumbat,
muntah, atau keluar di dinding usus atau rongga peritoneum. Kehilangan
air disertai dengan kehilangan elektrolit tergantung pada tingkat obstruksi.
Dengan meningkatnya tekanan intraluminal, penyerapan air dan natrium
berkurang dan sekresi luminal air, natrium, dan kalium meningkat. Selain
itu dapat terjadi edema dinding usus dan kebocoran protein. Strangulasi
mengakibatkan eksudat kaya protein dan elektrolit terakumulasi dalam
rongga peritoneum dan sekuestrasi infark darah di dinding usus terjadi.
Eksudat cairan peritoneum berubah dari cairan bening seperti plasma
menjadi darah (eksudat menggelap). Terdapat perubahan dalam ekologi
populasi bakteri dengan meningkatnya tipe koloni bakteri tinja di usus
proksimal terhadap obstruksi dan mengubah gradien proksimal ke distal
pada flora bakteri. Dengan strangulasi, perubahan fisiologis diperumit oleh
Pengaruh obstruksi kolon tidak sehebat pada obstruksi usus halus. Pada
kolon hampir tidak pernah terjadi strangulasi kecuali oleh volvulus.
Kehilangan cairan dan elektrolit di kolon berjalan lambat pada obstruksi
distal akibat dari fungsinya sebagai tempat penyimpanan feses yang secara
relatif sebagai alat penyerap sedikit sekali (Smith DA, Nehring SM, 2018:
Sjamsuhidajat, 2014).
2.2.3 Pathway

Gambar 2.1

2.2.4 Manifestasi Klinis


Terdapat 4 tanda kardinal gejala ileus obstruktif :
1. Nyeri kolik abdomen
2. Muntah
3. Distensi
4. Kegagalan buang air besar atau gas (konstipasi).

Gejala ileus obstruktif tersebut dapat bervariasi tergantung kepada :


1. Lokasi obstruksi
2. Lamanya obstruksi
3. Penyebab obstruksi
4. Ada atau tidaknya iskemia usus

Gejala utama dari obstruksi ialah nyeri kolik, mual, muntah dan obstipasi.
Nyeri kram abdomen bisa merupakan gejala penyerta yang berhubungan dengan
hipermotilitas intestinal proksimal daerah obstruksi. Nyeri menyebar dan jarang
terlokalisir, namun sering dikeluhkan nyeri pada bagian tengah abdomen.

Tanda-tanda obstruksi pada usus halus meliputi, distensi abdomen yang akan
sangat terlihat pada obstruksi usus halus bagian distal ileum, atau distensi bisa tak
terjadi bila obstruksi terjadi di bagian proksimal usus halus, dan peningkatan
bising usus. Hasil laboratorium terlihat penurunan volume intravaskuler, adanya
hemokonsentrasi dan abnormalitas elektrolit. Mungkin didapatkan leukositosis
ringan.

Kegagalan untuk defekasi dan flatus merupakan tanda yang penting untuk
membedakan terjadinya obstruksi komplit atau parsial. Defekasi masih terjadi
pada obstruksi letak tinggi karena perjalan isi lumen di bawah daerah obstruksi.
Diare yang terus menerus dapat juga menjadi tanda adanya obstruksi partial.
Tanda-tanda pada pemeriksaan fisik dapat saja normal pada awalnya, namun
distensi akan segera terjadi, terutama pada obstruksi letak rendah. Tanda awal
yang muncul ialah penderita segera mengalami dehidrasi. Massa yang teraba
dapat di diagnosis banding dengan keganasan, abses, ataupun strangulasi.

Tanda-tanda terjadinya strangulasi seperi nyeri terus menerus, demam,


takikardia, dan nyeri tekan bisa tak terdeteksi pada 10-15% pasien sehingga
menyebabkan diagnosis strangulasi menjadi sulit untuk ditegakkan. Pada
obstruksi karena strangulasi bisa terdapat takikardia, nyeri tekan lokal, demam,
leukositosis dan asidosis. Level serum dari amylase, lipase, lactate dehidrogenase,
fosfat, dan potassium mungkin meningkat. Penting dicatat bahwa parameter ini
tak dapat digunakan untuk membedakan antara obstruksi sederhana dan
strangulasi sebelum terjadinya iskemia irreversible

2.2.8 Pemeriksaan Penunjang


1. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada umunya tidak dapat dijadikan pedoman untuk
menegakkan diagnosis. Pada pemeriksaan laboratorium diperlukan
pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, BUN (blood urea nitrogen), ureum
amilase, dan kreatinin. Pada ileus obstruksi sederahana, hasil pemeriksaan
laboratoriumnya dalam batas normal. Selanjutnya ditemukan adanya
hemokonsentrasi leikositosis dan nilai elektrolit yang abnormal. Peningkatan
serum yang amilase sering didapatkan pada semua jenis ilues obstruksi,
terutama strangulasi. Penurunan dala kadar serum natrium, klorida dan
kalium merupakan manifestasi lanjut, dapat juga terjadi alkalosis akibat
muntah. Bila BUN didapatkan meningkat, menunjukkan hipovolemia dengan
azotemia prerenal.
2. Pemeriksaan Radiologi
Diagnosis ileus obstruksi biasanya dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan
radiologi.
3. Foto polos abdomen
Hal yang paling spesifik dari obstruksi usus halus ialah distensi usus halus
(diamater > 3 cm), adanya air fliud level pada posisi setengah duduk, dan
kekurangan udara pada kolon. Negatif palsu dapat ditemukan pada
pemeriksaan radiologi ketika letak obstruksi berada di proksimal usus halus
dan ketika lumen usus dipenuhi oleh cairan saja dengan tidak adanya udara.
Hal ini dapat mengakibatkan tidak adanya gambaran air fluid level ataupun
distensi usus. Pada ileus obstruksi kolon, pemeriksaan foto abdomen
menunjukkan adanya distensi pada bagian proksimal dari obstruksi. Selain
itu, tampak gambaran air fluid level yang berbentuk seperti tangga yang
disebut juga step laddmenunjukkane pattern karena cairan transudasi.
4. Foto Thorax
Foto thorax dapat menggambarkan adanya free air sickle yang terletak
dibawah difaragma kanan yang menunjukkan adanya perforasi usus. Foto
thorax dapat menggambarkan adanya free air sickle yang tertelatak dibawah
diafragma kanan yang menunjukkan perforasi usus.
5. CT Scan
Ct scan berguna untuk menentukan diagnosa dari obstruksi strangulasi dan
untuk menyingkirkan penyebab akut abdominal lain, terlebih jika klinis dan
temuan radiologis lain tidak jelas. Ct scan juga dapat membedakan penyebab
ileus obstruktif usus halus, yaitu penyebab ekstrinsik (seperti adhesi dan
hernia) (seperti malignansi dan penyakit chron). Obstruksi pada ct scan
ditandai dengan diameter usus sekitar 2,5 cm pada bagian proksimal menjadi
bagian yang kolaps dengan diameter kurang dari 1 cm.
Temuan lain pada obstruksi usus yaitu zona transisi dengan dilatasi usus
proksimal, dekompresi usus bagian distal, kontras intralumen yang tidak
dapat melewati bagian obstruksi, dan pada bagian kolon terdapat gas ataupun
cairan. Strangulasi ditandai dengan menebalnya dinding usus, pneumatosis
intestinalis (udara pada dinding usus), udara pada vena porta, dan
berkurangnya kontras intravena ke dalam usus yang terkena.
6. USG abdomen
USG merupakan pemeriksaan yang tidak invasif dan murah dibandingkan ct
scan, dan spesifisitas dari usg dilaporkan mencapai 100%. Pemeriksaan ini
dapat menunjukkan gambar dan penyebab dari obstruksidengan melihat
pergerarakan usus.

2.2.9 Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksaan adalah dekompresi bagian yang mengalami
obstruktif untuk mencegah perforasi. Tindakan operasi biasanya selalu diperlukan.
Menghilangkan penyebab obstruktif adalah tujuan kedua. Kadang-kadang suatu
penyumbatan sembuh dengan sendrinya tanpa pengobatan, terutama jika
disebabkan oleh perlengketan. Penderita penyumbatan usus harus dirawat di
rumah sakit. (Nurarif & Kusama,2015).

a. Persiapan
Pipa lambung harus di pasang untuk mengurangi muntah, mencegah aspirasi
dan mengurangi distensi abdomen (dekompresi). Pasien dipuaskan,
kemudian dilakukan juga resusitasi cairan dan elektrolit untuk perbaikan
keadaan umum. Setelah keadaan optimum tercapai barulah di lakukan
laparatomi. Pada obstruksi parsial atau karsinoma abdomen ditangani
dengan pemantauan konservatif. Nurarif & Kusama, 2015).
b. Operasi
Operasi dapat dilakukan bila sudah tercapai rehidrasi dan organ-organ vital
berfungsi dengan baik. Tindakan operasi dilakukan bila adanya strangulasi,
obstruksi lengkap, hernia inkasarata, atau tidak ada perbaikan dengan
pengobatan konservatif (pemasangan NGT, infus, oksigen, dan kateter).
Tetapi yang paling sering dilakukan adalah pembedahan sesegera mungkin
atau operasi darurat. Obstruksi usus menjadi salah satu kegawatan dalam
bedah abdominalis akibat keadaan umum yang memburuk dalam waktu
singkat. Maka dari itu ileus merupakan salah satu kegawatdaruratan yang
membutuhkan pertolongan segera. Pasien yang sudah terdiagnosa Ileus
obstruksi, harus segera dilakukan tindakan pembedahan sewaktu-waktu.
Keterlambatan pembedahan dapat menyebabkan berbagai komplikasi,
diantaranya 20% mengalami perforasi appendiks, peritonitis, abses
appendiks dan bahkan kematian. Obstruksi usus halus menempati sekitar
20% dari seluruh operasi darurat, apabila tidak ditangani maka tingkat
kematian mendekati 100%. Bila operasi dilakukan dalam 24-48 jam dapat
menurunkan angka kematian hingga kurang dari 10%. (Behman R, 2018:
Mellor K, 2018).
c. Pasca bedah
Pengobatan pasca bedah sangat penting terutama dalam hal cairan dan
elektrolit. Kita harus mencegah terjadinya gagal ginjal dan harus
memberikan kalori yang cukup. Perlu diingat bahwa pasca bedah usus
pasien masih dalam keadaan paralitik.

2.2.10 Komplikasi
Komplikasi dari ileus obstruksi dapat berupa nekrosis usus, perforasi
usus yang dapat menyebabkan peritonitis, syok septik, dan kematian. Usus
yang strangulasi mungkin mengalami perforasi yang mengakibatkan
materi dalam usus keluar ke peritoneum dan mengakibatkan peritonitis.
Meskipun tidak mengalami perforasi, bakteri dapat melintasi usus yang
permeabel dan masuk ke sirkulasi darah yang mengakibatkan syok septik.
1. Obstruksi Usus Halus
Dekompresi pada usus melalui selang usus halus atau nasogastrik
bermanfaat dalam mayoritas kasus obstruksi usus halus. Apabila usus
tersumbat secara lengkap, maka strangulasi yang terjadi memerlukan
tindakan pembedahan, sebelum pembedahan, terapi intra vena
diperlukan untuk mengganti kehilangan cairan dan elektrolit (natrium,
klorida dan kalium ). Tindakan pembedahan terhadap obstruksi usus
halus tergantung penyebab obstruksi. Penyebab paling umum dari
obstruksi seperti. Penyebab paling umum dari obstruksi seperti hernia
dan perlengketan. Tindakan pembedahannya adalah herniotomi.
2. Obstruksi Usus Besar
Apabila obstruksi relatif tinggi dalam kolon, kolonoskopi dapat
dilakukan untuk membuka lilitan dan dekompresi usus. Sekostomi,
pembukaan secara bedah yang dibuat pasa sekum, dapat dilakukan
pada pasien yang berisiko buruk terhadap pembedahan dan sangat
memerlukan pengangkatan obstruksi. Tindakan lain yang biasa
dilakukan adalah reseksi bedah utntuk mengangkat lesi penyebab
obstruksi. Kolostomi sementara dan permanen mungkin diperlukan
3. Konsep Dasar Pemenuhan Kebutuhan Nutrisi
2.3.1 Pengertian Kesiapan peningkatan Nutrisi
Kesiapan peningkatan nutrisi adalah kondisi yang telah siap untuk
mengatur pola nutrisi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik
dan dapat ditingkatkan (PPNI, 2017). Kesiapan peningkatan nutrisi
merupakan diagnosa keperawatan yang ditegakkan pada pasien yang
mengalami masalah Kesiapan peningkatan nutrisi. (Standar Diagnosa
Keperawatan Indonesia, 2018).

2.3.2 Etiologi
Menurut Wilkison (2013) adapun batasan karakteristik pada Kesiapan
Meningkatkan Nutrisi, antara lain :
a. Subjektif
1) Prilaku terhadap makanan dan minuman sesuai dengan tujuan
kesehatan
2) Mengungkapkan pengetahuan mengenai pilihan makanan dan
minuman yang sehat
3) Mengungkapkan keinginan untuk menigkatkan status gizi.
b. Objektif
1) Mengonsumsi makanan dan cairan Adekuat
2) Makan secara teratur
3) Mengikuti standar asupan yang sesuai
4) Mempersiapkan makanan dan menyiapkan minuman secara
aman.

Wilkinson (2013) juga berpendapat bahwa Kesiapan peningkatan Nutrisi


merupakan diagnose Kesejahteraan jadi tidak perlu menggunakan factor
yang berhubungan.

2.3.3 Pengertian Nutrisi


Nutrisi merupakan makanan yang mengandung cukup nilai gizi dan
tenaga untuk perkembangan, dan pemeliharaan kesehatan secara optimal.
(Indah, 2013). Nutrisi berasal dari kata nutrients artinya bahan gizi. Nutrisi
adalah proses tersedianya energi dan bahan kimia dari makanan yang
penting untuk pembentukan, pemeliharaan dan penggantian sel tubuh
(Sunarsih, 2016). Nutrient adalah zat organik dan anorganik dalam
makanan yang diperlukan tubuh agar dapat berfungsi untuk pertumbuhan
dan perkembangan, aktivitas, mencegah defisiensi, memeliharan kesehatan
dan mencegah penyakit, memelihara fungsi tubuh, kesehatan jaringan, dan
suhu tubuh, meningkatkan kesembuhan, dan membentuk kekebalan
(Sunarsih, 2016). Energi yang didapat dari makanan diukur dalam bentuk
kalori (cal) atau kilokalori (kcal). Kalori adalah jumlah panas yang
diperlukan untuk meningkatkan suhu 1 C dari 1 gr air. Kilokalori adalah
jumlah panas yang diperlukan untuk meningkatkan suhu 1 C dari 1 kg air
(Sunarsih, 2016).

2.3.4 Fungsi Nutrisi


Adapun fungsi nutrisi antara lain :
1. Sebagai penghasil energi bagi fungsi organ, gerakan dan kerja
fisik.
2. Sebagai bahan dasar untuk pembentukan dan perbaikan jaringan.
3. Sebagai pelindung dan pengatur.

2.3.4 Elemen Elemen Nutrisi


Dalam konsep dasar nutrisi kita mengenal sebuah istilah yang
disebut dengan nutrien. Nutrien adalah sejenis zat kimia organic atau
anorganik yang terdapat dalam makanan dan dibutuhkan oleh tubuh untuk
menjalankan fungsinya. Setiap nutrient memiliki komposisi kimia tertentu
yang akan menampilkan sekurang kurangnya satu fungsi khusus pada saat
makanan dicerna dan diserap oleh tubuh. Asupan makanan yang adekuat
terdiri atas enam zat nutrisi esensial (kelompok nutrient) yang seimbang.
Karbohidrat, lemak dan protein disebut energi nutrien karena
merupakan sumber energi dari makanan sedangkan vitamin, mineral dan
air merupakan substansi penting untuk membangun, mempertahankan dan
mengatur metabolisme jaringan tubuh.
1. Karbohidrat
Karbohidrat merupakan sumber energy utama tubuh. Karbohidrat akan
terurai dalam bentuk glukosa yang kemudian dimanfaatkan tubuh dan
kelebihan glukosa akan disimpan di hati dan jaringan otot dalam bentuk
glikogen.
a. Karbohidrat merupakan zat gizi yang terdapat dalam makanan,
pada umumnya dalam bentuk amilum.
b. Pembentukan amilum terjadi dalam mulut melalui enzim ptialin
yang ada dalam air ludah.
c. Penyerapan karbohidrat yang dimakan/dikonsumsi berupa
polisakarida, disakarida dan monosakarida.
d. Kebutuhan karbohidrat 60-75% dari kebutuhan energi total.
2. Protein
Protein merupakan unsur zat gizi yang sangat berperan dalam penyusunan
senyawa-senyawa penting seperti enzim, hormone, dan antibody.
a. Enzim protease (pepsin) yang terdapat dalam lambung mengubah
protein menjadi albuminosa dan pepton.
b. Protein diserap dalam bentuk asam amino dan bersama-sama
dengan darah di bawa ke hati kemudian dibersihkan dari toksin.
c. Kebutuhan protein 10-15% atau 0,8-1,0 g/kg BB dari kebutuhan
energi total.
3. Lemak
Lemak atau lipid merupakan sumber energy yang menghasilkan jumlah
kalori lebih besar daripada karbohidrat dan protein.
a. Pencernaan lemak dimulai dalam lambung.
b. Lambung mengeluarkan enzim lipase untuk mengupah sebagian
kecil lemak menjadi asam lemak dan gliserin.
c. Kebutuhan lemak 10-25% dari kebutuhan energi total.
4. Vitamin
Vitamin merupakan komponen organic yang dibutuhkan tubuh dalam
jumlah kecil dan tidak dapat diproduksi dalam tubuh. Vitamin sangat
berperan dalam proses metabolisme dalam fungsinya sebagai katalisator.
a. Vitamin adalah zat organik yang diperlukan tubuh dalam jumlah
sedikit, penting untuk melakukan fungsi metabolik.
b. Vitamin dibagi dalam dua kelas besar yaitu vitamin larut dalam air
(vitamin C, B1, B2, B6, B12) dan vitamin yang larut dalam lemak
(vitamin A, D, E dan K).
c. Pencernaan vitamin melibatkan penguraiannya.
5. Mineral
Mineral adalah ion anorganik esensial untuk tubuh karena peranannya
sebagai katalis dalam reaksi biokimia. Mineral dan vitamin tidak
menghasilkan energy, tetapi merupakan elemen kimia yang berperan
dalam mempertahankan proses tubuh.
1) Mineral tidak membutuhkan pencernaan, mineral diserap dengan
mudah melalui dinding usus halus secara difusi pasif maupun
transportasi aktif.
2) Jenis mineral : kalsium, fosfor, yodium, besi, magnesium zinc,
natrium.
3) Kira-kira 6% tubuh manusia dewasa terbuat dari mineral.
6. Air (cairan)
Air merupakan media transport nutrisi dan sangat penting dalam
kehidupan sel-sel tubuh. Setiap hari, sekitar 2 liter air masuk ke tubuh kita
melalui minum, sedangkan cairan digesif yang diproduksi oleh berbagai
organ saluran pencernaan sekitar 8-9 liter sehingga sekitar 10- 11 liter
cairan beredar dalam tubuh. Namun demikian, dari 10-11 liter cairan yang
masuk, hanya 50-200 ml yang dikeluarkan melalui feses, selebihnya
direabsorpsi.
1) Air merupakan zat makanan paling mendasar yang dibutuhkan oleh
tubuh manusia.
2) Tubuh manusia terdiri dari atas 50%-70% air.
3) Pada orang dewasa asupan air berkisar antara 1200-1500cc per
hari, namun dianjurkan sebanyak 1900 cc sebagai batas optimum

2.3.5 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Pemenuhan Nutrisi


Beberapa faktor yang mempengaruhi pemenuhan kebutuhan nutrisi
menurut Yulrina Ardhiyanti dan Risa Pitriani (2014) :
a. Pengetahuan Rendahnya pengetahuan mengenai manfaat makanan
dapat mempengaruhi pola konsumsi makan yang disebabkan oleh
kurangnya informasi, sehingga menyebabkan kesalahan dalam
pemenuhan kebutuhan gizi nutrisi.
b. Prasangka Berprasangka buruk terhadap beberapa jenis bahan
makanan yang mengandung nilai gizi yang tinggi dapat
mempengaruhi status gizi seseorang. Misalnya di beberapa daerah
tempe merupakan sumber protein nabati yang sangat murah dan
baik, namun tidak dikonsumsi sebagai makanan sehari-hari karena
dianggap mengkonsumsi tempe akan merendahkan derajat
seseorang.
c. Kebiasaan Kebiasaan yang merugikan atau pantangan terhadap
makanan tertentu bisa mempengaruhi status gizi. Misalnya di
beberapa daerah ada larangan makan pisang dan buah pepaya
untuk gadis remaja, padahal buah-buahan tersebut merupakan
sumber vitamin yang baik.
d. Kesukaan Memiliki kesukaan terhadap suatu jenis makanan yang
berlebihan dapat mengakibatkan kurangnya variasi makanan yang
dikonsumsi sehingga tubuh tidak memperoleh zat-zat gizi yang
dibutuhkan secara seimbang, sehingga mengakibatkan banyak
terjadi kasus malnutrisi pada remaja karena asupan gizinya tidak
sesuai dengan yang diperlukan tubuh.
e. Ekonomi Status ekonomi sangat berpengaruh dalam perubahan
status gizi. Penyediaan makanan bergizi membutuhkan dana yang
tidak sedikit, sehingga perubahan status gizi sangat dipengaruhi
oleh status ekonomi. Status ekonomi yang kurang biasanya
kesulitan dalam penyediaan makanan bergizi dan status ekonomi
yang cukup lebih mudah untuk menyediakan makanan yang
bergizi.

4. Konsep Dasar Manajemen Nutrisi


Manajemen Nutrisi adalah menyediakan dan meningkatkan
intake nutrisi yang seimbang. (Bulecheck et al,. 2016). Manajemen
nutrisi merupakan intervensi pengaturan diet yang adekuat untuk
mengurangi gejala penyakit, meningkatkan kenyamanan,
mencegah atau sebagai terapi malnutrisi. Manajemen nutrisi juga
merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas hidup
dengan cara mengurangi gajala penyakit sehingga dapat
memaksimalkan kesehatan individu.

Manajemen Nutrisi

Observasi

a. Identifikasi status nutrisi


b. Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
c. Identifikasi makanan yang disukai
d. Identifikasi kebutuhan kalori dan nutrient
e. Identifikasi perlunya pemasangan selang Nasogastrik
(NGT)
f. Monitor asupan makanan
g. Monitor berat badan
h. Monitor hasil pemeriksaan Laboratorium

Terapeutik

a. Lakukan Oral hygiene sebelum makan, jika perlu


b. Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis. Piramida
makanan)
c. Sajikan makanan yang menarik dan suhu yang sesuai
d. Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
e. Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
f. Berikan suplemen makanan, jika perlu
g. Hentikan pemberian makanan melalui selang Nasogatrik,
jika perlu.

Edukasi

a. Anjurkan posisi duduk, jika mampu


b. Ajarkan diet yang diprogramkan

Kolaborasi

a. Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan (mis.


Pereda nyeri, antiemetic)
b. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah
kalori dan nutrient yang dibutuhkan, jika perlu.
(Standar Diagnosis Keperaawatan Indonesia, 2018)

2.4.1. Manajemen Nutrisi pada pasien post op


Pada penelitian Elly dan Asmawati (2016) dikatakan bahwa lama
perawatan disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu faktor eksternal dan
faktor internal. Faktor eksternal yaitu asupan nutrisi inadekuat, teknik saat
operasi, obat yang dikonsumsi, dan manajemen luka. Sedangkan faktor
internal yaitu umur, gangguan sirkulasi, nyeri, dan penyakit penyerta (Elly
and Asmawati, 2016). Salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi
lama perawatan adalah asupan nutrisi pasien. Hal tersebut dikarenakan
nutrisi merupakan dasar untuk meningkatkan penyembuhan luka dan
mencegah terjadinya malnutrisi pada pasien, oleh karena itu penting untuk
diberikan nutrisi secara dini pada pasien pasca bedah. Hal tersebut sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Masood, et al (2021), penelitian ini
menunjukkan bahwa pasien yang menerima makanan secara dini memiliki
lama rawat di rumah sakit yang lebih pendek, nyeri yang lebih rendah,
skor, dan durasi ileus pasca operasi lebih pendek daripada pasien dengan
perawatan pasca operasi tradisional (Masood et al., 2021). Selain itu pada
penelitian yang dilakukan oleh Abadi (2017) menunjukkan bahwa semakin
dini pemberian nutrisi maka semakin besar manfaat sistemik bagi pasien.

Pasien bedah digestif biasanya akan mengalami peningkatan stres


metabolisme sehingga kebutuhan energi dan proteinpun meningkat.
Apabila hal tersebut tidak segera diatasi dengan pemberian zat gizi maka
akan terjadi pemecahan jaringan protein untuk memenuhi kebutuhan zat
gizi nya. Oleh karena itu penting untuk memberikan nutrisi secara dini
(Abadi, 2017). Pasien bedah digestif sangat beresiko mengalami
malnutrisi, hal tersebut dikarenakan fungsi saluran cerna gastrointestinal
yang belum optimal. Pasien yang mengalami obstruksi ileus sangat
membutuhkan zat gizi untuk membantu mengurangi atau menanggulangi
malnutrisi. Hal tersebut penting karena malnutrisi sendiri dapat
memperlambat proses penyembuhan luka pasca operasi. Oleh karena itu
perlunya melakukan dan menganalisis asuhan gizi dengan pemberian
nutrisi secara dini pada pasien bedah digestif khususnya pada pasien
obstruksi ileus. Salah satu cara untuk mencegah komplikasi pasca bedah
yaitu dengan cara pemberian nutrisi secara dini. Pemberian nutrisi pasca
bedah secara dini perlu dilakukan karena akan mempengaruhi
metabolisme tubuh, dan keadaan gizi pasien. Nutrisi yang diberikan secara
dini juga akan mencegah pasien mengalami malnutrisi. Selain itu,
pemberian nutrisi secara dini juga dapat mempersingkat lama hari rawat
dan akan mengurangi biaya perawatan (Dictara, Angraini and Musyabiq,
2018)
Pemberian nutrisi pada pasien pasca bedah biasa dinamakan dengan
diet pasca bedah (DPB). Diet pasca bedah adalah makanan atau nutrisi
yang diberikan kepada pasien setelah menjalani pembedahan. Pengaturan
makanan sesudah pembedahan tergantung pada macam pembedahan dan
jenis penyakit penyerta. Tujuan pemberian diet tersebut untuk
mengupayakan agar status gizi pasien tetap normal atau segera kembali
normal, mempercepat proses penyembuhan luka dan meningkatkan daya
tahan tubuh pasien dengan cara memberikan kebutuhan dasar, mengganti
kehilangan protein, glikogen, zat besi, dan zat gizi lain, memperbaiki
ketidakseimbangan elektrolit dan cairan, serta mencegah dan
menghentikan perdarahan. Makanan diberikan secara bertahap mulai dari
makanan cair, saring, lunak dan biasa. Perubahan bentuk makanan
tergantung dengan keadaan pasien, sehingga perlu dipantau bagaimana
pasien dalam menerima makanan (Dictara, Angraini and Musyabiq, 2018).
Jalur pemberian makanan untuk pasien dapat dilakukan secara oral,
enteral dan parenteral. Namun berdasarkan hasil penelitian Putu, et al
(2018) menyatakan bahwa sebaiknya pemberian nutrisi pada pasien pasca
bedah diberikan melalui enteral atau oral. Hal tersebut dikarenakan
makanan parenteral yang diberikan tidak mengandung kalori, protein
maupun vitamin C tetapi hanya mengandung elektrolit saja, akan tetapi
sebenarnya konsentrast multivitamin dapat ditambahkan ke dalam formula
parenteral. Vitamin C dapat disuntikkan langsung ke dalam pembuluh
vena atau lewat selang infus, dosis vitamin C yang direkomendasikan
dalam infus yaitu 300 mg/hari, vitamin C ini sangat penting bagi pasien
bedah untuk mempercepat penyembuhan luka. Sehingga penting untuk
menyeimbangkan asupan pasien baik dari parenteral maupun enteral atau
oral guna pemunuhan nutrisi pasien yang optimal (Putu et al., 2018).

2.4.2. Syarat Diet


Syarat diet pasca-operasi adalah memberikan makanan secara bertahap,
mulai dari bentuk cair, saring, lunak, dan biasa. Pemberian makanan dari
tahap ke tahap tergantung pada macam pembedahan dan keadaan pasien.
Diet yang disarankan adalah :
1. Mengandung cukup energi, protein, lemak, dan zat-zat gizi
2. Bentuk makanan disesuaikan dengan kemampuan penderita
3. Menghindari makanan yang merangsang (pedas, asam, dll)
4. Suhu makanan lebih baik bersuhu dingin.
5. Pembagian porsi makanan sehari diberikan sesuai dengan
kemampuan dan kebiasaan makan penderita.

2.4.3. Jenis Diet dan Pemberian


1. Diet Pasca-Bedah I (DPB I)
Diet ini diberikan kepada semua pasien pasca bedah:
a. Pasca-bedah kecil: setelah sadar dan rasa mual hilang
b. Pasca-bedah besar: setelah sadar dan rasa mual hilang serta ada tanda
tanda usus mulai bekerja

Cara Pemberian :

Selama 6 jam sesudah operasi, makanan yang diberikan berupa air


putih, teh manis, atau cairan lain seperti pada makanan cair jernih.
Makanan ini diberikan dalam waktu sesingkat mungkin, karena
kurang dalam semua zat gizi. Selain itu diberikan makanan
parenteral sesuai kebutuhan.

2. Diet Pasca-Bedah II (PDB II)


Diet ini diberikan kepada pasien pasca bedah besar saluran cerna atau
sebagai perpindahan dari Diet Pasca Bedah I.
Cara Pemberian :
Makanan diberikan dalam bentuk cair kental, berupa kaldu jernih,
sirup, sari buah, sup, susu, dan puding rata-rata 8-10 kali sehari
selama pasien tidak tidur. Jumlah cairan yang diberikan tergantung
keadaan dan kondisi pasien. Selain itu dapat diberikan makanan
parenteral bila diperlukan. DPB II diberikan untuk waktu sesingkat
mungkin karena zat gizinya kurang. Makanan yang tidak boleh
diberikan pada diet pasca-bedah II adalah air jeruk dan minuman
yang mengandung karbondioksida.
3. Diet Pascabedah III (DPB III)
DPB III diberikan kepada pasien pascabedah besar saluran cerna atau
sebagai perpindahan dari DPB II.
Cara Pemberian :
Makanan yang diberikan berupa makanan saring ditambah susu dan
biskuit. Cairan hendaknya tidak melebihi 2000 ml sehari. Selain
dapat diberikan Makanan Parenteral bila diperlukan. Makanan yang
tidak dianjurkan untuk DPB III adalah makanan dengan bumbu
tajam dan minuman yang mengandung karbondioksida.
4. Diet pasca bedah IV
Cara Pemberian :
Berupa nasi Tim dan lauk Tinggi Kalori Tinggi Protein. Makanan
tinggi kalori dan tinggi protein Berupa makanan seimbang.
Makanan yang dihindari dapat disesuaikan dengan kondisi klien,
Misalnya :
 Darah tinggi mengurangi konsumsi garam dan kolesterol
 Kencing manis mengurangi konsumsi gula
 Orang yang alergi terhadap makanan tertentu seperti telur, ikan
asin kacang harus dihindari.

2.4.4. Diet Makanan Cair


Makanan cair adalah makanan yang mempunyai konsistensi
cair hingga kental. Makanan ini diberikan kepada pasien yang
mengalami gangguan mengunyah, menelan, dan mencernakan
makanan yang disebabkan oleh menurunnya kesadaran, suhu
tinggi, rasa mual, muntah, pasca perdarahan saluran cerna, serta
pra dan pasca bedah. Makanan dapat diberikan secara oral atau
enteral.
Menurut konsistensi makanan, makanan cair terdiri atas
tiga jenis, yaitu: makanan cair jernih, makanan cair penuh, dan
makanan cair kental. Makanan cair jernih adalah makanan yang
disajikan dalam bentuk cairan jernih pada suhu ruang dengan
kandungan sisa (residu) minimal dan tembus pandang bila
diletakkan dalam wadah bening. Jenis cairan yang diberikan
tergantung pada keadaan penyakit atau jenis operasi yang dijalani.
Tujuan diet makanan cair jernih adalah untuk Memberikan
makanan dalam bentuk cair, yang memenuhi kebutuhan cairan
tubuh yang mudah diserap dan hanya sedikit meninggalkan sisa,
mencegah dehidrasi yang menghilangkan rasa haus.
Syarat diet makanan cair adalah:
1. Makanan diberikan dalam bentuk cair jernih
2. Bahan makanan hanya terdiri dari sumber karbohidrat
3. Tidak merangsang saluran cerna dan mudah diserap
4. Sangat rendah sisa
5. Diberikan hanya selama 1-3 hari
6. Porsi kecil dan diberikan sering.

Pada pasien dengan Bedah besar/bedah saluran cerna seperti


Laparatomi, maka akan dilakukan pengaturan diet sebagai berikut :

a. Pasien diwajibkan puasa selama 6-12 jam setelah dilakukan


prosedur operasi, tujuan nya adalah untuk menunggu sistem
pencernaan berfungsi kembali setelah pembiusan. Pemberian
nutrisi hanya dilakukan dengan cara parenteral.
b. Observasi bising usus pasien dengan cara melakukan Auskultasi
abdomen, rata rata kembalinya motilitas usus pasca operasi
adalah 6-8 jam.
c. Apabila bising usus aktif, instruksikan pasien untuk menelan
ludah dan melakukan Test feeding.
Menurut (Trijana pudji rahayu, 2019) Test feeding dilakukan
sebagai percobaan pemberian cairan untuk mengetahui fungsi
dan absorpsi lambung dan usus. Test feeding dilakukan dengan
cara menganjurkan pasien untuk minum atau memasukan cairan
langsung melalui NGT.
d. Jika pasien tidak mual/muntah, lanjutkan pemberian diet sesuai
intruksi dari Dokter penanggung jawab pasien.
e. Biasanya pemberian diet pasca bedah besar/ bedah saluran cerna
diawali dengan pemberian air putih, cairan jernih, atau makanan
cair jernih mulai 30ml/jam.
f. Selama pemberian nutrisi perhatikan juga keseimbangan cairan
dan elektrolit untuk menghindari dehidrasi dan syok.
g. Pemberian nutrisi secara peroral atau enteral, harus memenuhi
nilai gizi :
1) Energi : 25-45 kalori/kg BB
2) Protein : 1-1,5 g/kg BB (15-20 kalori total)
3) Lemak : 20-25% kalori total
4) Vitamin & mineral : vit C, vit K, vit A, zat besi, Zn
(untuk penyembuhan luka)
5) Cukup cairan & elektrolit.

Fokus penelitian dilakukan pada pasien post op ileus obtruktif hari


ke 1-3, maka pemenuhan nutrisi yang akan dilakukan adalah pemberian
diet makanan cair pada pasien baik secara Oral maupun Enteral.

1. SOP Pemberian Nutrisi Peroral


a. Definisi
SOP pemberian nutrisi per oral adalah suatu prosedur tindakan
pemenuhan makanan dan minuman melalui mulut klien.
b. Tujuan
Tujuan pemberian nutrisi per oral, antara lain: tercukupinya
keseimbangan nutrisi klien, dan sebagai sosialisasi antara klien-
perawat
c. Indikasi dan Kontraindikasi
Adapun indikasi pemberian nutrisi per oral yakni klien yang tidak
mampu makan secara mandiri yang disebabkan karena sakit atau
trauma tubuh. Sedangkan kontraindikasinya tidak ada.
d. Hal yang perlu dikaji
Fungsi gastrointestinal, dan tipe diet yang dapat ditoleransi oleh
klien, kemampuan klien menelan, nafsu makan klien, toleransi
terhadap makanan, jenis makanan yang disukai dan yang tidak
disukai, serta adanya alergi makanan.
e. Alat dan Bahan
1) Piring berisi makanan
2) Sendok
3) Garpu
4) Gelas minum yang berisi air hangat seta tutupnya
5) Sedotan
6) Tissu dalam tempatnya
7) Serbet
8) Baki untuk tempat membawa makanan
f. Prosedur Tindakan
FASE PRAINTERAKSI
1) Mengidentifikasi kemampuan klien dalam pemenuhan nutrisi
peroral
2) Mencuci tangan
3) Menyiapkan alat

FASE ORIENTASI
1) Mengucapkan salam & memperkenalkan diri
2) Menjelaskan tujuan prosedur tindakan
3) Menanyakan persetujuan klien/keluarga untuk dilakukan
tindakan

FASE KERJA
1) Membawa makanan dengan menggunakan baki
2) Menjaga privasi klien
3) Mendekatkan alat-alat yang akan digunakan
4) Meminta klien berpartisipasi dalam tindakan (mengatur posisi)
5) Memberikan penghargaan klien atas kerjasamanya
6) Membentangkan Serbek di bawa dagu klien
7) Duduk dengan posisi yang memudahkan pekerjaan
8) Menawari minum kepada klien
9) Menyuapkan makanan sedikit-demi dengan menggunakan
sendok atau garpu
10) Memperhatikan apakan makanan sudah ditelan habis klien
11) Setelah memberikan makanan klien diberikan minum
12) Membersihkan mulut klien dan sekitanya dengan tissue
FASE TERMINASI
1) Merapikan klien dan alat
2) Mengevaluasi respon klien
3) Minta terima kasih pada klien atas kerjasamanya
4) Mengucapkan salam
5) Mencuci tangan
6) Mendokumentasikan prosedur dalam catatan klien

2. Prosedur Tindakan pemberian Nutrisi melalui Nasogastrik Tube :


a. Definisi
Memberikan makan cair melalui selang lambung (enteral) adalah
proses memberikan melalui saluran cerna dengan menggunakan
selang NGT ke arah lambung.
b. Tujuan
1) Memenuhi kebutuhan nutrisi pasien
2) Mempertahankan fungsi usus
3) Mempertahankan integritas mucosa saluran cerna
4) Memberikan obat-obatan dan makanan langsung ke dalam
saluran pencernaan
5) Mempertahankan fungsi-fungsi imunologik mukosa saluran
cerna
c. Indikasi dan Kontraindikasi
Indikasi :
1) Klien yang tidak dapat makan/menelan atau klien tidak sadar
2) Klien yang terus-menerus tidak mau makan sehingga
membahayakan jiwanya, misalnya klien dengan gangguan
jiwa.
3) Klien yang muntah terus-menerus
4) Klien yang tidak dapat mempertahankan nutrisi oral adekuat
5) Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), Premature,
dismature
6) Perdarahan GI (Gastrointestinal)
7) Trauma multiple, pada dada dan abdomen
8) Pemberian Obat-obatan, cairan makanan
9) Pencegahan aspirasi penderita dengan intubasi jangka panjang
10) Operasi abdomen
11) Obstruksi saluran cerna

Kontra indikasi :

1) Fraktur tulang-tulang wajah dan dasar tengkorak


2) Penderita operasi esofagus dan lambung (sebaiknya NGT
dipasang saat operasi
d. Hal yang perlu dikaji
Fungsi gastrointestinal, dan tipe diet yang dapat ditoleransi oleh
klien, kemampuan klien menelan, nafsu makan klien, toleransi
terhadap makanan, jenis makanan yang disukai dan yang tidak
disukai, serta adanya alergi makanan.
e. Alat dan Bahan
1) Hanscoon
2) Spuit 20-50 cc
3) Bengkok
4) Stetoskop
5) Strip indikator pH (kertas lakmus) jika diperlukan
6) Formula makanan selang yang diresepkan
7) Makanan cair sesuai dengan kebutuhan dalam tempatnya,
dengan ketentuan suhu makanan harus hangat sesuai suhu
tubuh.
8) Air matang (Hangat)
9) Bila ada obat yang harus diberikan, dihaluskan terlebih dahulu
dan dicampurkan dalam makanan/ air, diberikan terakhir.
f. Prosedur Tindakan
FASE PRAINTERAKSI
1) Mengidentifikasi alergi dan intoleransi makanan klien
2) Mencuci tangan
3) Menyiapkan alat

FASE ORIENTASI
1) Mengucapkan salam & memperkenalkan diri
2) Menjelaskan tujuan prosedur tindakan
3) Menanyakan persetujuan klien/keluarga untuk dilakukan
tindakan

FASE KERJA
1) Mencuci Tangan
2) Memasang sarung tangan (Hanscoen)
3) Cek ketepatan selang di lambung, dengan cara :
 Buka klem NGT atau spuit NGT dan masukkan selang
ke dalam gelas berisi air. Posisi tepat jika tidak ada
gelembung udara.
 Buka klem dan lakukan pengisapan/ aspirasi cairan
lambung dengan menggunakan spuit NG. Cek cairan
lambung dengan menggunakan strip indikator pH. Posisi
tepat jika pH < 6.
 Buka klem dan cek dengan menggunakan stetoskop.
Masukkan 30 cc udara dalam spuit NGT dan masukkan
ke dalam lambung dengan gerakan cepat. Posisi tepat
jika terdengar suara udara yang dimasukkan (seperti
gelembung udara yang pecah)
4) Setelah yakin bahwa selang masuk ke lambung, Klem selang
NGT selama pengisian makanan cair ke dalam spuit.
5) Melalui corong masukkan air matang atau air teh sekurang-
kurangnya 15 cc. Pada tahap permulaan, corong dimiringkan
dan tuangkan makanan melalui pinggirnya. Setelah penuh,
corong ditegakkan kembali.
6) Buka klem perlahan-lahan
7) Alirkan makanan cair dengan perlahan. Atur kecepatan
dengan cara meninggikan spuit. Jika klien merasa tidak
nyaman dengan lambungnya, klem selang NGT beberapa
menit.
8) Jika makanan cair akan habis, isi kembali (jangan biarkan
udara masuk ke lambung)
9) Bila klien harus minum obat, obat harus dilarutkan dan
diberikan sebelum makanan habis.
10) Setelah makanan habis, selang dibilas dengan air masak.
Kemudian pangkal selang segera di klem.

FASE TERMINASI
1) Merapikan klien dan alat
2) Mengevaluasi respon klien
3) Berpamitan
4) Mencuci tangan
5) Mendokumentasikan tindakan

Anda mungkin juga menyukai