TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Pada Pasien Post Operasi Ileus
Obstruktif
2.1.1. Pengkajian
Pengkajian keperawatan merupakan suatu dari komponen dari
proses keperawatan yaitu suatu usaha yang dilakukan oleh perawat dalam
menggali permasalahan dari klien meliputi usaha pengumpulan data
tentang status kesehatan seorang klien secara sistematis, menyeluruh,
akurat, singkat, dan berkesinambungan (Arif Muttaqin, 2020).
1. Pengkajian Umum
Pada pengkajian pasien di unit rawat inap, poliklinik, bagian bedah
sehari, atau unit gawat darurat dilakukan secara komprehensif di mana
seluruh hal yang berhubungan dengan pembedahan pasien perlu
dilakukan secara seksama.
a. Identitas pasien : Meliputi Nama, umur, Tanggal lahir, jenis
kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, status perkawinan, suku
bangsa dan Nomor Rekam medis. Pengkajian ini diperlukan
agar tidak terjadi duplikasi nama pasien. Umur pasien sangat
penting untuk diketahui guna melihat kondisi pada berbagai
jenis pembedahan. Selain itu juga diperlukan untuk memperkuat
identitas pasien.
b. Keluhan Utama (diperbaiki)
Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan klien pada saat
dikaji. Pada umumnya keluhan yang di rasakan oleh pasien post
operasi ileus obstruktif adalah keluhan haus dan lapar.
Pasien biasanya menanyakan kapan boleh minum atau makan
pada perawat..
2. Riwayat kesehatan
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Mengungkapkan hal-hal yang menyebabkan klien mencari
pertolongan, Metode untuk pengkajian nutrisi adalah “ABCD”.
1) Antropometri measurements
2) Bio chemical data
3) Clinicals signs
4) Diet history.
1) Antropometri measurements
Pengkajian nutrisi yang meliputi:
a) Sistem pengukuran dan susunan tubuh dan
proporsi tubuh manusia.
b) Mengevaluasi pertumbuhan, mengkaji status
nutrisi, dan ketersediaan energi tubuh.
c) Identifikasi masalah nutrisi, meliputi : Tinggi
badan, berat badan, indeks massa tubuh, lipatan
trisep, LLA, LOLA.
2) Bio Chemical Data
Pengkajian nutrisi menggunakan nilai biokimia seperti:
Total limfosit, serum albumin, zat besi, creatinin, HB,
HT, keseimbangan nitrogen, kadar kolesterol, dll.
3) Clinical signs
Pemeriksaan fisik pada pasien yang berhubungan dengan
adanya mal nutrisi.
Prinsip: head to feet/ chephalo caudal.
4) Diet History
Mengkaji riwayat diet, meliputi :
a) Fead recall 24 jam : pola, jenis, dan frekuensi
makanan yang dikonsumsi dalam 24 jam.
b) Alergi, dan intoleransi terhadap makanan.
c) Faktor yang mempengaruhi pola makan.
f. Data spiritual
2.1.2. Diagnosis
Diagnosis keperawatan merupakan suatu penilaian klinis
mengenai respons pasien terhadap masalah kesehatan atau proses
kehidupan yang dialaminya baik yang beransung aktual maupun
potensial. Diagnosis keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi
respon pasien individu, keluarga dan komunitas terhadap situasi
yang berkaitan dengan kesehatan (PPNI, 2017).
Diagnosa Keperawatan yang mungkin timbul pada pasien post op
ileus obstruktif adalah : (sumber)
1. Nyeri akut berhubungan dengan insisi pada abdomen
2. Resiko Hipovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan
berlebih
3. Resiko infeksi berhubungan dengan luka insisi pada abdomen
4. Kesiapan Peningkatan Nutrisi berhubungan dengan intake
nutrisi tidak adekuat
2.1.3. Intervensi
Intervensi keperawatan adalah segala pengobatan yang
dikerjakan oleh perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan
penilaian klinis untuk mencapai luaran yang diharapkan. (Tim
Pokja SIKI DPP PPNI, 2018)
Menurut buku Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI
,2018) :
a. Definisi
Pola asupan nutrisi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme dan dapat ditingkatkan.
Tabel 2.1
DIAGNOSA INTERVENSI
Kesiapan Peningkatan Manajemen Nutrisi
Nutrisi b.d Intake nutrisi Observasi :
tidak adekuat - Identifikasi status nutrisi
- Identifikasi alergi dan intoleransi
makanan
- Identifikasi kebutuhan kalori dan
nutrient
- Identifikasi perlunya pemasangan
selang Nasogastrik (NGT)
- Monitor asupan makanan
- Monitor berat badan
- Monitor hasil pemeriksaan
Laboratorium
Terapeutik :
- Fasilitasi menentukan pedoman
diet (mis. Piramida makanan)
- Hentikan pemberian makanan
melalui selang Nasogatrik, jika
perlu.
Edukasi :
- Ajarkan diet yang diprogramkan
Kolaborasi :
- Kolaborasi pemberian medikasi
sebelum makan (mis. Pereda nyeri,
antiemetic)
- Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
- menentukan jumlah kalori dan
nutrient yang dibutuhkan, jika perlu.
Sumber gambar 2.1 : SDKI (2017), SLKI (2019), dan SIKI (2018)
2.1.4. Implementasi
Implementasi merupakan tahap keempat dari proses keperawatan
dimana rencana keperawatan dilaksanakan. Pada tahap ini, perawat harus
melakukan tindakan keperawatan yang ada dalam rencana keperawatan.
Tindakan dan respon pasien tersebut langsung dicatat dalam format
tindakan keperawatan. Dalam format implementasi keperawatan yang
harus didokumentasikan adalah tanggal dilakukannya tindakan, waktu,
nomor diagnosis, implementasi dan respon, paraf dan nama terang perawat
(Dinarti, dkk., 2013).
2.1.5. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan yaitu
menilai efektifitas rencana yang telah dibuat, strategi dan pelaksanaan
dalam asuhan keperawatan serta menentukan perkembangan dan
kemampuan pasien dalam mencapai sasaran yang telah diharapkan.
Tahapan evaluasi menentukan kemajuan pasien terhadap pencapaian hasil
yang diinginkan dan respons pasien terhadap dan keefektifian intervensi
keperawatan kemudian mengganti rencana perawatan jika diperlukan.
Tahap akhir dari proses keperawatan perawat mengevaluasi kemampuan
pasien ke arah pencapaian hasil.
2.2.2 Anatomi
1. Usus Halus
Sebagian besar proses pencernaan dan penyerapan dalam sistem
pencernaan berada di usus halus. Usus halus terletak berlipat-lipat di
rongga abdomen, termasuk bagian terpanjang dari gastrointestinal yakni
terbentang dari ostium pyloricum gaster sampai plica ileocaecale.
Bentuknya berupa tabung dengan panjang sekitar 6-7 meter dan
diameternya menyempit dari ujung awal sampai ujung akhir (Drake,
Richard L., Vogl, A. Wayne, Mitchell, Adam W. M., 2014). Usus halus
memiliki tiga bagian yaitu duodenum, jejenum, dan ileum.
a. Duodenum
Duodenum adalah bagian dari usus halus yang terletak setelah
lambung dan menghubungkannya ke usus kosong (jejunum).
Duodenum berbentuk melengkung seperti huruf C, letaknya dekat
dengan caput pankreas dan berada di atas umbilicus. Panjangnya
sekitar 20-25 cm dan memiliki lumen paling lebar dibanding bagian
lainnya. Duodenum dibagi menjadi 4 bagian :
1) Pars superior : bagian ini terletak pada ostium pyloricum gaster
sampai collum vesicae fellea dan sering disebut sebagai ampulla.
(Drake et al, 2014)
2) Pars descendens : bagian ini terletak pada collum vesicae fellea
sampai ke tepi bawah vertebra L3, ada pars descendensterdapat
papilla duodeni major dan papilla duodeni minor. Papilla duodeni
majormerupakan pintu masuk ductus pancreaticus dan ductus
choledochus, sedangkan pada papilla duodeni minor merupakan
pintu masuk ductus pancreaticus accessorius. (Drake et al, 2014)
3) Pars inferior : bagian ini merupakan bagian terpanjang dan
menyilang pada vena cava inferior, aorta dan columna vertebralis.
(Drake et al, 2014)
4) Pars ascendens : bagian ini diperkirakan berjalan di sisi kiri atau
naik dari aorta sampai tepi atas vertebra L2 dan berakhir menjadi
flexura duodenojejunalis. (Drake et al, 2014)
b. Jejunum
Jejenum terletak di 2/5 bagian proksimal, diameternya lebih lebar dan
memiliki dinding yang lebih tebal dibanding ileum. Pada bagian dalam
mukosanya terdapat banyak lipatan yang menonjol mengelilingi lumen
yang disebut plicae circulares. Ciri khas jejunum terdapat arcade
arteriae yang tidak begitu terlihat dan vasa recta yang lebih panjang
dibanding milik ileum. (Drake et al, 2014)
c. Ileum
Ileum terletak di 3/5 bagian distal, ileum memiliki dinding yang lebih
tipis, plicae circulares yang kurang menonjol dan lebih sedikit, terdapat
banyak arteriae arcade dan lemak mesenterium. Ileum akan bermuara di
usus besar, yang merupakan tempat pertemuan sekum dan colon
ascendens. Tempat tersebut dikelilingi 2 lipatan yang menonjol ke
dalam usus besar yang disebut plica ileocaecale. (Drake et al, 2014)
2. Usus Besar
Usus besar memiliki panjang sekitar 1,5 m, dan memiliki lumen
dengan diameter yang lebih besar dibanding usus halus. Struktur usus
besar mulai dari caecum dan appendix vermiformis di regio inguinalis
dekstra lalu naik ke atas sebagai kolon ascendens melewati regio lateralis
dekstra menuju regio hypochondrium dextra, di bawah hepar belok ke kiri
membentuk fleksura coli dekstra (flexura hepatica) lalu menyeberangi
abdomen sebagai colon transversum menuju hypochondrium sinistra. Di
posisi tersebut yakni tepat di bawah lien, belok ke bawah membentuk
flexura coli sinistra (flexura lienalis) lalu berlanjut sebagai colon
descendens melewati regio lateralis sinistra menuju regio inguinalis
sinistra, saat masuk di bagian atas cavitas pelvis sebagai colon
sigmoideum lalu berlanjut sebagai rectum di dinding posterior cavitas
pelvis dan berakhir menjadi canalis analis. (Drake et al , 2014).
Usus besar memiliki perbedaan khas dibanding usus halus yaitu
diameter yang lebih besar, disertai taenia: taenia libera, taenia mesocolica,
dan taenia omentalis. Usus besar juga memiliki haustra dan plica
semilunares yang merupakan sakulasi dinding usus, serta appendices
epiploicae sebagai proyeksi lemak dari jaringan adipose tela subserosa.
1. Sekum
Pada sekum terdapat tonjolan sepanjang 8 cm yang disebut appendiks
vermivormis atau usus buntu.
2. Kolon
Kolon dibagi menjadi 4 bagian yaitu: kolon asenden (di kanan), kolon
transversum (di atas), kolon desenden (di kiri), dan kolon sigmoid (di
bawah).
3. Rektum
Panjang rektum kira-kira 20 cm setelah kolon sigmoid
4. Kanal anal
Kanal anal merupakan terminal dari rectum sepanjang 2-3 cm. Pintu
keluar dari kanal anal dinamakan anus. Pada anus terdapat sfingter
internal yang dikendalikan oleh otot polos dan sfingter eksternal yang
dikendalikan oleh otot lurik. (Modul ajar Anatomi dan fisiologi,
2019).
2.2.3 Klasifikasi
1) Menurut sifat sumbatan :
a. Obstruksi biasa
Terdapat sumbatan mekanis dalam lumen usus tanpa ada gangguan
pada pembuluh darah. (Pasaribu, Nelly, 2012)
b. Obstruksi strangulasi
Terdapat sumbatan dalam lumen usus yang disertai gangguan pada
pembuluh darah seperti adhesi, volvulus, hernia strangulasi dan
intususepsi. (Pasaribu, Nelly, 2012).
2) Menurut letak sumbatan :
a. Obstruksi tinggi
Obstruksi usus yang terjadi pada usus halus. (Pasaribu, Nelly, 2012)
b. Obstruksi rendah
Obstruksi usus yang terjadi pada usus besar. (Pasaribu, Nelly, 2012)
3) Menurut stadiumnya :
a. Obstruksi sebagian (partial)
Obstruksi usus yang terjadi hanya sebagian sehingga makanan
masih bisa lewat walaupun sedikit, defekasi sedikit, dan masih bisa
flatus. (Novi Indrayani, Margaretha. 2013)
b. Obstruksi sederhana
Obstruksi usus yang terjadi tidak disertai gangguan aliran darah.
(Novi Indrayani, Margaretha. 2013)
c. Obstruksi strangulasi (strangulated)
Obstruksi usus yang terjadi disertai gangguan aliran darah sehingga
terjadi iskemia dan berakhir dengan nekrosis atau gangren. (Novi
Indrayani, Margaretha. 2013)
2.2.1 Etiologi
Etiologi atau penyebab terjadinya Ileus obtruktif adalah sebagai berikut :
1. Adhesi
Merupakan perlengketan tunggal atau multipel di suatu tempat atau
pun meluas. (Sjamsuhidajat, R & Wim, de Jong, 2017) Perlengketan
tersebut terdiri dari jaringan ikat yang tipis serta jaringan fibrosis yang
lebih tebal, didalamnya terdapat saraf dan pembuluh darah. (Binda,
2009) Kasus obstruksi usus akibat adhesi seringnya terjadi setelah
minggu kedua dilakukannya operasi abdomen. (Behrman., et al, 2012)
2. Hernia Inkarserata
Hernia Inkarserata terjadi karena usus yang masuk ke dalam kantung
hernia terjepit oleh cincin hernia sehingga timbul gejala obstruksi
(penyempitan) dan strangulasi (sumbatan usus menyebabkan
terhentinya aliran darah ke usus). (Novi Indrayani, Margaretha. 2013)
3. Cacing Askariasis
Askariasis paling banyak hidup di jejunum, hingga jumlahnya
mencapai ratusan. Obstruksi karena Askariasis sering terjadi di ileum
terminal karena tempatnya paling sempit. Dinding usus akan
mengalami kontraksi dan di sekitarnya terjadi peradangan yang
tampak di peritoneum bagian permukaan. Obstruksi biasanya
disebabkan oleh adanya gumpalan padat yang merupakan gabungan
sisa makanan dan puluhan bahkan ratusan ekor cacing yang mati atau
hampir mati. (Sjamsuhidajat, R&Wim, de Jong, 2017). Daerah usus
yang dipenuhi cacing berisiko tinggi mengalami volvulus, strangulasi,
dan perforasi. (Novi Indrayani, Margaretha. 2013)
4. Volvulus
Volvulus merupakan keadaan dimana bagian usus terpuntir oleh usus
itu sendiri yang disebabkan kurang kuatnya fiksasi dinding usus dan
menggantung pada mesenterium. Hal tersebut dapat mengakibatkan
terjadinya obstruksi saluran cerna, saat terjadi obstruksi dapat
menghentikan nutrisi dan oksigen yang masuk ke usus (Jurnalis et al,
2013). Volvulus bisa terjadi di daerah sigmoid, sekum, fleksura lien,
dan kolon transversum. (M Hasbahceci et al, 2012)
5. Kelainan Kongenital
Contoh kasus kelainan kongeital berupa stenosis atau atresia dari salah
satu bagian saluran cerna, hal ini akan mengakibatkan terjadinya
obstruksi saat bayi mulai menyusui. (Sjamsuhidajat, R & Wim, de
Jong, 2017) Obstruksi tersebut dimungkinkan karena kurang
sempurnanya kanalisasi saluran cerna saat masih dalam kandungan.
Atresia merupakan terjadinya sumbatan yang disertai gejala obstruksi
total sedangkan stenosis merupakan terjadinya penyempitan yang
disertai dengan gejala obstruksi yang tidak total. (Pasaribu, Nelly,
2012)
6. Tumor
Tumor lebih sering menjadi penyebab invaginasi pada orang dewasa,
pada kasus obstruksi usus gejalanya tidak jelas sehingga tidak mudah
untuk dideteksi ada atau tidaknya kelainan kecuali disertai perdarahan
atupun peritonitis. Untuk obstruksinya dapat disebabkan oleh tumor
itu sendiri ataupun oleh invaginasi karena tumor. (Sjamsuhidajat, R &
Wim, de Jong, 2017)
7. Penyakit Hirschsprung
Penyakit Hirschprung paling sering menjadi penyebab obstruksi usus
letak rendah dan terjadi pada masa neonatus, hal ini bisa terjadi karena
kelainan inervasi pada usus ataupun tidak terdapat sel ganglion pada
dinding usus. (Pasaribu, Nelly, 2012)
8. Tumpukan Sisa Makanan
Kasus obstruksi yang jarang ditemukan adalah karena tidak sengaja
menelan serat buah atau biji buah yang sangat banyak, biasanya
obstruksi ini terjadi pada daerah ileum bagian terminal.
(Sjamsuhidajat, R&Wim, de Jong, 2017).
2.2.2 Patofisiologi
Patofisiologi pada obstruksi usus memiliki kesamaan antara
obstruksi usus mekanik maupun non mekanik. Hal yang dapat
membedakan keduanya yaitu pada obstruksi non mekanik, sejak awal
peristaltik mengalami hambatan namun pada obstruksi mekanik peristaltik
mula-mula diperkuat, kemudian intermitten, dan akhirnya hilang. Sekitar
6-8 liter cairan diekskresikan ke dalam saluran cerna setiap hari. Sebagian
besar cairan diasorbsi sebelum mendekati kolon. Ileus mengarah pada
akumulasi cairan dan gas pada tekanan intraluminal yang meningkat,
disfungsi mikrosirkulasi dinding usus, dan gangguan penghalang mukosa,
selanjutnya dapat menyebabkan pergeseran cairan, peritonitis transmigrasi,
dan hipovolemia (Vilz TO, 2017).
Peningkatan permeabilitas dan ekstravasasi menimbulkan retensi
cairan di usus dan rongga peritoneum lalu mengakibatakan terjadi
penurunan sirkulasi dan volume darah. Akumulasi gas dan cairan di
bagian proksimal mengakibatkan kolapsnya usus sehingga terjadi
distensi abdomen. Terjadi penekanan pada vena mesenterika yang
mengakibatkan kegagalan oksigenasi dinding usus sehingga aliran darah
ke usus menurun, terjadilah iskemi dan kemudian nekrotik usus. Pada usus
yang mengalami nekrotik terjadi peningkatan permeabilitas kapiler dan
pelepasan bakteri dan toksin sehingga terjadi perforasi. Dengan adanya
perforasi akan menyebabkan bakteri akan masuk ke dalam sirkulasi
sehingga terjadi sepsis dan peritonitis.
Fisiologi normal usus halus terdiri dari pencernaan makanan dan
penyerapan nutrisi. Mekanisme obstruksi apapun akan menghalangi
komponen fisiologis ini. Obstruksi usus halus akut menghasilkan
penurunan volume dan gangguan elektrolit. Kehilangan volume lebih
lanjut terjadi ketika isi usus tertahan di bagian usus yang tersumbat,
muntah, atau keluar di dinding usus atau rongga peritoneum. Kehilangan
air disertai dengan kehilangan elektrolit tergantung pada tingkat obstruksi.
Dengan meningkatnya tekanan intraluminal, penyerapan air dan natrium
berkurang dan sekresi luminal air, natrium, dan kalium meningkat. Selain
itu dapat terjadi edema dinding usus dan kebocoran protein. Strangulasi
mengakibatkan eksudat kaya protein dan elektrolit terakumulasi dalam
rongga peritoneum dan sekuestrasi infark darah di dinding usus terjadi.
Eksudat cairan peritoneum berubah dari cairan bening seperti plasma
menjadi darah (eksudat menggelap). Terdapat perubahan dalam ekologi
populasi bakteri dengan meningkatnya tipe koloni bakteri tinja di usus
proksimal terhadap obstruksi dan mengubah gradien proksimal ke distal
pada flora bakteri. Dengan strangulasi, perubahan fisiologis diperumit oleh
Pengaruh obstruksi kolon tidak sehebat pada obstruksi usus halus. Pada
kolon hampir tidak pernah terjadi strangulasi kecuali oleh volvulus.
Kehilangan cairan dan elektrolit di kolon berjalan lambat pada obstruksi
distal akibat dari fungsinya sebagai tempat penyimpanan feses yang secara
relatif sebagai alat penyerap sedikit sekali (Smith DA, Nehring SM, 2018:
Sjamsuhidajat, 2014).
2.2.3 Pathway
Gambar 2.1
Gejala utama dari obstruksi ialah nyeri kolik, mual, muntah dan obstipasi.
Nyeri kram abdomen bisa merupakan gejala penyerta yang berhubungan dengan
hipermotilitas intestinal proksimal daerah obstruksi. Nyeri menyebar dan jarang
terlokalisir, namun sering dikeluhkan nyeri pada bagian tengah abdomen.
Tanda-tanda obstruksi pada usus halus meliputi, distensi abdomen yang akan
sangat terlihat pada obstruksi usus halus bagian distal ileum, atau distensi bisa tak
terjadi bila obstruksi terjadi di bagian proksimal usus halus, dan peningkatan
bising usus. Hasil laboratorium terlihat penurunan volume intravaskuler, adanya
hemokonsentrasi dan abnormalitas elektrolit. Mungkin didapatkan leukositosis
ringan.
Kegagalan untuk defekasi dan flatus merupakan tanda yang penting untuk
membedakan terjadinya obstruksi komplit atau parsial. Defekasi masih terjadi
pada obstruksi letak tinggi karena perjalan isi lumen di bawah daerah obstruksi.
Diare yang terus menerus dapat juga menjadi tanda adanya obstruksi partial.
Tanda-tanda pada pemeriksaan fisik dapat saja normal pada awalnya, namun
distensi akan segera terjadi, terutama pada obstruksi letak rendah. Tanda awal
yang muncul ialah penderita segera mengalami dehidrasi. Massa yang teraba
dapat di diagnosis banding dengan keganasan, abses, ataupun strangulasi.
2.2.9 Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksaan adalah dekompresi bagian yang mengalami
obstruktif untuk mencegah perforasi. Tindakan operasi biasanya selalu diperlukan.
Menghilangkan penyebab obstruktif adalah tujuan kedua. Kadang-kadang suatu
penyumbatan sembuh dengan sendrinya tanpa pengobatan, terutama jika
disebabkan oleh perlengketan. Penderita penyumbatan usus harus dirawat di
rumah sakit. (Nurarif & Kusama,2015).
a. Persiapan
Pipa lambung harus di pasang untuk mengurangi muntah, mencegah aspirasi
dan mengurangi distensi abdomen (dekompresi). Pasien dipuaskan,
kemudian dilakukan juga resusitasi cairan dan elektrolit untuk perbaikan
keadaan umum. Setelah keadaan optimum tercapai barulah di lakukan
laparatomi. Pada obstruksi parsial atau karsinoma abdomen ditangani
dengan pemantauan konservatif. Nurarif & Kusama, 2015).
b. Operasi
Operasi dapat dilakukan bila sudah tercapai rehidrasi dan organ-organ vital
berfungsi dengan baik. Tindakan operasi dilakukan bila adanya strangulasi,
obstruksi lengkap, hernia inkasarata, atau tidak ada perbaikan dengan
pengobatan konservatif (pemasangan NGT, infus, oksigen, dan kateter).
Tetapi yang paling sering dilakukan adalah pembedahan sesegera mungkin
atau operasi darurat. Obstruksi usus menjadi salah satu kegawatan dalam
bedah abdominalis akibat keadaan umum yang memburuk dalam waktu
singkat. Maka dari itu ileus merupakan salah satu kegawatdaruratan yang
membutuhkan pertolongan segera. Pasien yang sudah terdiagnosa Ileus
obstruksi, harus segera dilakukan tindakan pembedahan sewaktu-waktu.
Keterlambatan pembedahan dapat menyebabkan berbagai komplikasi,
diantaranya 20% mengalami perforasi appendiks, peritonitis, abses
appendiks dan bahkan kematian. Obstruksi usus halus menempati sekitar
20% dari seluruh operasi darurat, apabila tidak ditangani maka tingkat
kematian mendekati 100%. Bila operasi dilakukan dalam 24-48 jam dapat
menurunkan angka kematian hingga kurang dari 10%. (Behman R, 2018:
Mellor K, 2018).
c. Pasca bedah
Pengobatan pasca bedah sangat penting terutama dalam hal cairan dan
elektrolit. Kita harus mencegah terjadinya gagal ginjal dan harus
memberikan kalori yang cukup. Perlu diingat bahwa pasca bedah usus
pasien masih dalam keadaan paralitik.
2.2.10 Komplikasi
Komplikasi dari ileus obstruksi dapat berupa nekrosis usus, perforasi
usus yang dapat menyebabkan peritonitis, syok septik, dan kematian. Usus
yang strangulasi mungkin mengalami perforasi yang mengakibatkan
materi dalam usus keluar ke peritoneum dan mengakibatkan peritonitis.
Meskipun tidak mengalami perforasi, bakteri dapat melintasi usus yang
permeabel dan masuk ke sirkulasi darah yang mengakibatkan syok septik.
1. Obstruksi Usus Halus
Dekompresi pada usus melalui selang usus halus atau nasogastrik
bermanfaat dalam mayoritas kasus obstruksi usus halus. Apabila usus
tersumbat secara lengkap, maka strangulasi yang terjadi memerlukan
tindakan pembedahan, sebelum pembedahan, terapi intra vena
diperlukan untuk mengganti kehilangan cairan dan elektrolit (natrium,
klorida dan kalium ). Tindakan pembedahan terhadap obstruksi usus
halus tergantung penyebab obstruksi. Penyebab paling umum dari
obstruksi seperti. Penyebab paling umum dari obstruksi seperti hernia
dan perlengketan. Tindakan pembedahannya adalah herniotomi.
2. Obstruksi Usus Besar
Apabila obstruksi relatif tinggi dalam kolon, kolonoskopi dapat
dilakukan untuk membuka lilitan dan dekompresi usus. Sekostomi,
pembukaan secara bedah yang dibuat pasa sekum, dapat dilakukan
pada pasien yang berisiko buruk terhadap pembedahan dan sangat
memerlukan pengangkatan obstruksi. Tindakan lain yang biasa
dilakukan adalah reseksi bedah utntuk mengangkat lesi penyebab
obstruksi. Kolostomi sementara dan permanen mungkin diperlukan
3. Konsep Dasar Pemenuhan Kebutuhan Nutrisi
2.3.1 Pengertian Kesiapan peningkatan Nutrisi
Kesiapan peningkatan nutrisi adalah kondisi yang telah siap untuk
mengatur pola nutrisi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik
dan dapat ditingkatkan (PPNI, 2017). Kesiapan peningkatan nutrisi
merupakan diagnosa keperawatan yang ditegakkan pada pasien yang
mengalami masalah Kesiapan peningkatan nutrisi. (Standar Diagnosa
Keperawatan Indonesia, 2018).
2.3.2 Etiologi
Menurut Wilkison (2013) adapun batasan karakteristik pada Kesiapan
Meningkatkan Nutrisi, antara lain :
a. Subjektif
1) Prilaku terhadap makanan dan minuman sesuai dengan tujuan
kesehatan
2) Mengungkapkan pengetahuan mengenai pilihan makanan dan
minuman yang sehat
3) Mengungkapkan keinginan untuk menigkatkan status gizi.
b. Objektif
1) Mengonsumsi makanan dan cairan Adekuat
2) Makan secara teratur
3) Mengikuti standar asupan yang sesuai
4) Mempersiapkan makanan dan menyiapkan minuman secara
aman.
Manajemen Nutrisi
Observasi
Terapeutik
Edukasi
Kolaborasi
Cara Pemberian :
FASE ORIENTASI
1) Mengucapkan salam & memperkenalkan diri
2) Menjelaskan tujuan prosedur tindakan
3) Menanyakan persetujuan klien/keluarga untuk dilakukan
tindakan
FASE KERJA
1) Membawa makanan dengan menggunakan baki
2) Menjaga privasi klien
3) Mendekatkan alat-alat yang akan digunakan
4) Meminta klien berpartisipasi dalam tindakan (mengatur posisi)
5) Memberikan penghargaan klien atas kerjasamanya
6) Membentangkan Serbek di bawa dagu klien
7) Duduk dengan posisi yang memudahkan pekerjaan
8) Menawari minum kepada klien
9) Menyuapkan makanan sedikit-demi dengan menggunakan
sendok atau garpu
10) Memperhatikan apakan makanan sudah ditelan habis klien
11) Setelah memberikan makanan klien diberikan minum
12) Membersihkan mulut klien dan sekitanya dengan tissue
FASE TERMINASI
1) Merapikan klien dan alat
2) Mengevaluasi respon klien
3) Minta terima kasih pada klien atas kerjasamanya
4) Mengucapkan salam
5) Mencuci tangan
6) Mendokumentasikan prosedur dalam catatan klien
Kontra indikasi :
FASE ORIENTASI
1) Mengucapkan salam & memperkenalkan diri
2) Menjelaskan tujuan prosedur tindakan
3) Menanyakan persetujuan klien/keluarga untuk dilakukan
tindakan
FASE KERJA
1) Mencuci Tangan
2) Memasang sarung tangan (Hanscoen)
3) Cek ketepatan selang di lambung, dengan cara :
Buka klem NGT atau spuit NGT dan masukkan selang
ke dalam gelas berisi air. Posisi tepat jika tidak ada
gelembung udara.
Buka klem dan lakukan pengisapan/ aspirasi cairan
lambung dengan menggunakan spuit NG. Cek cairan
lambung dengan menggunakan strip indikator pH. Posisi
tepat jika pH < 6.
Buka klem dan cek dengan menggunakan stetoskop.
Masukkan 30 cc udara dalam spuit NGT dan masukkan
ke dalam lambung dengan gerakan cepat. Posisi tepat
jika terdengar suara udara yang dimasukkan (seperti
gelembung udara yang pecah)
4) Setelah yakin bahwa selang masuk ke lambung, Klem selang
NGT selama pengisian makanan cair ke dalam spuit.
5) Melalui corong masukkan air matang atau air teh sekurang-
kurangnya 15 cc. Pada tahap permulaan, corong dimiringkan
dan tuangkan makanan melalui pinggirnya. Setelah penuh,
corong ditegakkan kembali.
6) Buka klem perlahan-lahan
7) Alirkan makanan cair dengan perlahan. Atur kecepatan
dengan cara meninggikan spuit. Jika klien merasa tidak
nyaman dengan lambungnya, klem selang NGT beberapa
menit.
8) Jika makanan cair akan habis, isi kembali (jangan biarkan
udara masuk ke lambung)
9) Bila klien harus minum obat, obat harus dilarutkan dan
diberikan sebelum makanan habis.
10) Setelah makanan habis, selang dibilas dengan air masak.
Kemudian pangkal selang segera di klem.
FASE TERMINASI
1) Merapikan klien dan alat
2) Mengevaluasi respon klien
3) Berpamitan
4) Mencuci tangan
5) Mendokumentasikan tindakan