Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

INFEKSI LEPTOSPIROSIS PADA MANUSIA

Oleh :
Dea Amelia Glorie
112022154

Pembimbing :
dr. Suzanna Ndraha, Sp. PD-KGEH, FINASIM

KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOJA
PERIODE 19 JUNI 2023 – 26 AGUSTUS 2023

1
PENDAHULUAN

Kasus serta insiden infeksi merupakan pola yang selalu berubah sehingga menjadi salah
satu alasan mengapa studi tentang penyakit infeksi sangat menarik. Di negara berkembang yang
miskin sumber daya, penyakit infeksi terus menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang
signifikan. Infeksi disebarkan melalui cara-cara: melalui udara (airborne), usus (intestinal),
kontak langsung, jalur kelamin, gigitan serangga atau hewan, melalui darah (blood-borne). Ada
pula cara penyebaran penyakit lewat air dan tanah yang terkontaminasi hewan tertentu.
Sebagai contoh, pada kasus Leptospirosis yang disebabkan karena kuman bakteri (leptospira)
yang diekskresikan dalam urin tikus dapat terkontaminasi dengan air yang tergenang dan
selanjutnya menembus kulit yang intak saat manusia berendam dalam air.1

Makalah ini dibuat bertujuan untuk menjelaskan secara rinci mengenai penyakit infeksi
yang secara khusus adalah leptospirosis, dimulai dari bakteri penyebab, gejala klinis yang
ditimbulkan, pecengahan dan pengobatan, sampai dengan diagnosis banding. Sehingga
penegakan serta pencegahan dapat dilakukan dengan baik. Dengan adanya penulisan ini, maka
diharapkan pembaca dan penulis dapat menambah pengetahuannya.

2
PEMBAHASAN

A. Anamnesis

Anamnesis adalah wawancara yang dapat mengarahkan masalah pasien ke diagnosis


penyakit tertentu. Anamnesis memiliki tujuan untuk menentukan diagnosis kemungkinan
sehingga membantu menentukan langkah pemeriksaan selanjutnya, termasuk pemeriksaan fisik
dan penunjang. Anamnesis dapat langsung dilakukan terhadap pasien (auto-anamnesis) atau
terhadap keluarganya atau pengantarnya (alo-anamnesis) bila keadaan pasien tidak
memungkinkan untuk diwawancarai.2

Anamnesis yang baik akan terdiri dari:


1. Identitas
2. Keluhan utama
3. Riwayat penyakit sekarang
4. Riwayat penyakit dahulu
5. Riwayat penyakit dalam keluarga
6. Riwayat pribadi

Identitas meliputi nama lengkap pasien, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, alamat,
pendidikan, pekerjaan, suku bangsam dan agama. Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan
pasien yang membawa pasien pergi ke dokter. Riwayat penyakit sekarang merupakan cerita yang
kronologis, terinci dan jelas mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama
sampai pasien datang berobat. Riwayat penyakit dahulu bertujuan untuk mengetahui
kemungkinan-kemungkinan adanya hubungan antara penyakit yang pernah diderita dengan
penyakitnya sekarang. Riwayat penyakit keluarga penting untuk mencari kemungkinan penyakit
herediter, familial atau penyakit infeksi. Riwayat pribadi meliputi data-data sosial, ekonomi,
pendidikan, dan kebiasaan.2

Sehingga pada penanganan dari pasien yang menderita leptospirosis harus dimulai
dengan anamnesis yang meliputi riwayat secara menyeluruh dan pemeriksaan fisik. Perhatian
terutama harus ditujukan pada segala kondisi yang berkaitan dengan infeksi penyakit. Walaupun
gejala yang ditimbulkan bervariasi, tetapi secara garis besar sama. Anamnesis sebagai berikut :

3
Seorang laki-laki berusia 50 tahun demam tinggi sejak 4 hari yang lalu. Demam juga disertai
nyeri kedua betis dan nyeri perut kanan atas. Pasien juga mengeluh kedua mata tampak
kemerahan. Pasien tinggal di lingkungan padat penduduk dan sanitasi yang kurang serta daerah
tempat tinggalnya baru saja mengalami banjir.

Anamnesis yang dilakukan dengan baik dan lengkap oleh seorang dokter bertujuan
sebagai data yang diperlukan seorang dokter dalam menduga serta memperkirakan suatu
penyakit yang dialami oleh pasien yang datang, sehingga dapat diambil langkah selanjutnya
dalam pemeriksaan klinis atau pemeriksaan penunjang.

B. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik ditemukan kesadaran compos mentis, keadaan umum tampak
sakit sedang, TD= 120/80 mmHg, frekuensi nadi 110×/menit, suhu 39˚ C, RR= 18×/menit. Pada
abdomen terdapat nyeri tekan pada bagian kanan atas. Pada kedua betis terdapat nyeri tekan.

Palpasi dapat dilakukan pada daerah abdomen untuk mengetahui adanya hepatomegali
dan splenomegali. Palpasi dilakukan bimanual oleh pemeriksa yang duduk atau berdiri di sebelah
kanan penderita. Tangan kiri ditekan pada daerah paralumbal kanan dengan jari agak
melengkung ke ventral. Tangan kanan diletakkan datar pada abdomen dibawah lengkung iga
kanan dengan ujungjari mengarah ke cranial. Kemudian, penderita diminta untuk menarik nafas
dalam dan mengeluarkannya lagi. Bersama-sama dengan gerakan menarik nafas beberapa kali
jari tangan kanan digerakkan makin dekat kearah lengkung iga. Dengan cara ini tepi hati dapat
diraba oleh jari tangan kanan sebagai benda yang menekan dan meluncur dibawah jari tersebut.
Jika hati membesar, tepi ini teraba jauh dari lengkung iga. Pembesaran hati dinyatakan
ukurannya dalam sentimeter terhadap tepi bawah lengkung iga. Juga dapat dicatat apakah tepi
hati tajam atau tumpul dan apakah permukaan hati licin atau berbenjol – benjol. Selain itu dapat
dilakukan palpasi melalui garis schuffner untuk melihat adanya perbesaran lien. Garis schuffner
adalah garis dari arcus costae ke SIAS, garis ini dibagi menjadi 8 bagian. Umumnya limpa yang
membesar mudah teraba.2

Perkusi untuk mengetahui adanya splenomegali dapat dilakukan di daerah aksial anterior
bawah. Daerah ini biasanya timpani,pada splenomegali bunyi timpani dari lambung ke kolon
akan berubah menadi bunyi dull yang berasal dari organ padat. Sedangkan untuk mengetahui

4
apakah ada pembesaran hati pemeriksaan perkusi dapat dilakukan di garis midclavicula kanan
untuk mengetahui batas-batas hati.2

C. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang rutin sederhana tidak ada yang spesifik untuk penyakit ini.
Biasanya hanya menunjukan leukositosis dengen pergeseran hitung jenis ke kiri, peningkatan
penanda inflamasi seperti C-reactive protein, procalcitonin dan laju endap darah.
Trombositopenia sering ditemukan dan berkaitan dengan perdarahan dan gangguan ginjal. Serum
bilirubin dapat meningkat tinggi dengan peningkatan sedang pada serum transaminase dan
alkalifosfatase. Diagnosis definitif dari leptospirosis membutuhkan isolasi kuman Leptospirosis,
hasil PCR yang postif, atau terjadinya serokonversi atau peningkatan titer antibodi. Pemeriksaan
lepto-MAT (Microscopic Agglutination Test) direkomendasikan untuk pemeriksaan titer
antibodi terhadap leptospira pada pasien dengan klinis diduga kuat terinfeksi kuman ini..14

Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan laboratorium secara umum maupun


khusus sebagai berikut:15

1. Pemeriksaan laboratorium umum, biasanya tidak terlalu spesifik untuk menentukan diagnosis
leptospirosis. Terdiri dari:
a. Pemeriksaan darah
Pada pemeriksaan darah rutin dijumpai leukosit, normal atau menurun, hitung jenis
leukosit, terdapat peningkatan jumlah netrofil. Leukosit dapat mencapai 26.000/mm pada
keadaan anikterik dan mencapai 10.000/mm³ sampai 50.000/mm³ pada keadaan ikterik. Faktor
pembekuan darah normal.
b. Pemeriksaan fungsi ginjal
Pada pemeriksaan urin, terdapat albuminuria dan peningkatan silinder pada fase dini
kemudian menghilang dengan cepat. Pada keadaan berat terdapat pula bilirubinuria, yang dapat
mencapai 1 g/hari dengan disertai piuria dan hematuria. Gagal ginjal kemungkinan besar
dialami semua pasien ikterik.
c. Pemeriksaan fungsi hati
Pada umumnya fungsi hati normal jika pasien tidak ada gejala ikterik. Ikterik disebabkan
karena bilirubin direk meningkat. Gangguan fungsi hati ditunjukkan dengan meningkatnya
serum transaminase (serum glutamic oxoloacetic transaminase= SGOT dan serum glutamic

5
pyruvate transminase = SGPT). Peningkatannya tidak pasti, dapat tetap normal ataupun
meningkat 2-3 kali nilai normal.
2. Pemeriksaan laboratorium khusus
Pemeriksaan laboratorium khusus untuk mendeteksi keberadaan bakteri leptospira dapat
secara langsung dengan mencari bakteri leptospira atau antigennya dan secara tidak langsung melalui
pemeriksaan antibodi terhadap bakteri leptospira dengan uji serologis. Pemeriksaan langsung
meliputi kultur, mikroskopis, inokulasi hewan, (immuno) staining dan reaksi polimerase berantai.
Pemeriksaan langsung dengan isolasi bakteri leptospira patogen merupakan diagnosis pasti
leptospirosis. Sedangkan interpretasi pemeriksaan tidak langsung harus dikorelasikan dengan gejala
klinis dan data epidemiologis seperti riwayat pajanan dan faktor risiko lain.
a) Pemeriksaan langsung
 Pemeriksaan mikroskopik dan immunostaining
Pemeriksaan langsung dapat mendeteksi bakteri leptospira dalam darah, cairan peritoneal
dan eksudat pleura, dalam minggu pertama sakit, khususnya antara hari ke-3-7 dan di
dalam urin pada minggu kedua, untuk didiagnosis definitif leptospirosis. Bakteri leptospira
dapat dilihat dengan mikroskop lapang gelap.
 Pemeriksaan molekuler
Pemeriksaan molekuler dengan reaksi PCR (Polymerase Chain Reaction) untuk
mendeteksi DNA bakteri leptospira spesifik dapat dilakukan dengan memakai primer
khusus untuk memperkuat semua strain patogen. Data terbaru pengujian spesimen manusia
menunjukkan bahwa DNA bakteri leptospira dapat dideteksi pada stadium dini (hari ke-2),
dan maksimal 40 hari. Reaksi PCR lebih cepat, sensitif dan spesifik serta lebih baik
dibanding uji serologi dan bakteriologi.
 Biakan
Spesimen diambil sebelum pemberian antibiotik. Hasil optimal bila darah, cairan
serebrospinal, urin dan jaringan postmertem segera ditanam ke media, kemudian dikirim ke
laboratorium pada suhu kamar.
 Inokulasi hewan percobaan
Bakteri leptospira virulen dapat menginfeksi hewan percobaan, oleh karena itu hewan yang
dapat dipakai untuk isolasi primer bakteri leptospira. Umumnya dipakai golden hamsters
(umur 4-6 minggu) dan marmut muda (150-175g) yang bukan karier bakteri leptospira.
Isolasi bakteri leptospira dilakukan dengan cara biakan darah atau cairan peritoneal.
b) Pemeriksaan tidak langsung/serologi

6
Spesimen untuk pemeriksaan serologi adalah 2 ml serum. Spesimen serum disimpan dan
dikirim dalam keadaan beku dengan dry ice, (karena pada suhu 20-25° C spesimen hanya tahan
beku selama 1-2 hari). Berbagai jenis uji serologi dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 1. Jenis uji serologi.15

Microscopic Agglutination Test (MAT) Macroscopic Slide Agglutination Test


(MSAT)

Uji carik celup: Enzyme Linked Immunosorbent Assay


- LEPTO Dipstick (ELISA)
- LeptoTek Lateral Flow

Aglutinasi lateks kering (LeptoTek Dri-Dot) Microcapsule Agglutination Test

Indirect Fluorescent Antibody Test (IFAT) Patoc-Slide Angglutination Test (PSAT)

Indirect Haemagglutination Test (IHA) Sensitized Erythrocyte Lysis Test (SEL)

Uji aglutinasi lateks Counter Immune Electrophoresis (CIE)

Complemet Fixation Test (CFT)

 Microscopic Agglutination Test (MAT)


MAT adalah pemeriksaan aglutinasi secara mikroskopik untuk mendeteksi titer antibodi
aglutinasi, yang terdiri dari IgM atau IgG. MAT merupakan baku emas pemeriksaan serologi
kuman leptospirosis dan sampai saat ini belum ada uji lain yang lebih spesifik. Uji MAT
bertujuan untuk mengidentifikasi jenis serovar pada manusia dan hewan, diperlukan panel
suspensi bakteri leptospira hidup yang mencakup semua jenis serovar. Kelemahan MAT
karena memeriukan fasilitas biakan untuk memelihara bakteri leptospira, sedangkan teknik
pemeriksaannya sulit dan lama. Antibodi tidak dapat dideteksi bila panel bakteri leptospira
tidak lengkap dan ada kemungkinan munculnya serovar baru yang belum diketahui.
 Macroscopic Slide Agglutination Test (MSAT)
Prinsip uji MSAT sama dengan MAT, namun secara makroskopis, di atas kaca objek. Hasil
reaksi dinilai secara semi kuantitatif dengan mata telanjang. Interpretasi hasil sama dengan
MAT. Uji MSAT kurang spesifik dibanding MAT.
 Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)

7
Uji ELISA sering dipakai dan dapat dilakukan dengan reagen komersial maupun antigen
yang dibuat sendiri. Uji ini memakai suatu antigen yang bersifat spesifik pada genus, dapat
mendeteksi antibodi di kelas IgM dan IgG. Keuntungan uji ELISA untuk mengetahui jenis
antibodi, apakah IgM dan IgG. Antibodi IgM merupakan prediksi leptospirosis sebagai
infeksi akut, dan IgG untuk infeksi terdahulu. Meskipun demikian perlu diingat bahwa
antibodi IgM kadang dapat menetap selama beberapa tahun. Kelemahan tes ELISA kurang
spesifik dibanding MAT :
- Dapat terjadi reaksi silang pada penyakit lain.
- Tidak menentukan jenis serovar, sehingga harus dikonfirmasikan dengan MAT.
 Uji serologi penyaring, merupakan uji yang cepat, praktis, dan paling sering dipakai sebagai
tes leptospirosis di Indonesia, antara lain:
- Lepto Dipstick Assay
Lepto Dipstick Assay dapat mendeteksi kuman leptospira-spesifik IgM dalam serum.
Metode ini sederhana, relaitf praktis dan cepat karena hanya memerlukan waktu antra
2,5 sampai 3 jam. Pemeriksaan ini menggunakan antigen bakteri leptospira yang telah
difiksasi dan dilekatkan pada pita celup. Sensitifitas pemeriksaan ini adalah 84,5% dan
92,1% pada serum yang dikumpulkan dalam periode 1-10 hari dan > 10 hari perjalanan
penyakit. Spesifitas adalah 87,5% dan 94,4% pada serum yang diambil dalam periode 1-
10 hari dan> 10 hari sakit.
- LeptoTek Dri Dot
LeptoTek Dri Dot berdasarkan agłutinasi partikel lateks, harganya lebih murah, praktis
dan cepat karena hasil dapat dilihat dalam 30 detik. Penelitian pada serum-serum pasien
yang dikumpulkan dalam 10 hari pertama sejak sakit, menunjukkan nilai sensitifitas
72,3% dan spesifitas 93,9% tetapi pada serum yang dikumpulkan setelah 10 hari
perjalanan penyakit, sensitifitas 88,2% dan spesifitas 89,8%. Interpretasi suaikan
dengan gejala klinis dan dikonfirmasikan dengan MAT.
- Leptotek Lateral Flow
Prinsip pemeriksaan sama dengan ELISA, yaitu deteksi leptospira-specific
imunoglobulin M dengan sistem lateral flow. Evaluasi Leptotek Lateral Flow
menunjukkan nilai diagnostik yang baik dengan sensitivitas 85,8% dan spesifitas
93,6%.
D. Diagnosis
a. Differential Diagnosis

8
Berikut ini merupakan diagnosis banding dari leptospirosis:

1. Malaria
Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh plasmodium
yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual di
dalam darah. Infeksi malaria memberikan gejala berupa demam, menggigil, anemia,
dan splenomegali.
Keluhan prodromal dapat terjadi sebelum terjadinya demam berupa keluhan
kelesuan, sakit kepala, sakit belakang, merasa dingin di punggung, nyeri sendi dan
tulang, demam ringan, anoreksia, perut tidak enak, diare ringan, dan kadang-kadang
dingin.
Gejala yang klasik yaitu terjadinya “Trias Malaria” secara berurutan. Periode
dingin (15-60 menit): mulai menggigil, penderita sering membungkus diri dengan
selimut dan pada saat menggigil sering seluruh badan bergetar dan gigi-gigi saling
terantuk, diikuti dengan meningkatnya temperatur. Selanjutnya periode panas:
penderita muka merah, nadi cepat, dan panas badan tetap tinggi beberapa jam, diikuti
dengan berkeringat. Dilanjutkan dengan periode berkeringat: penderita berkeringat
banyak dan temperatur turun, dan penderita merasa sehat.2
Beberapa keadaan klinik dalam perjalanan infeksi malaria ialah:9
a. Serangan primer: yaitu keadaan mulai dari akhir masa inkubasi dan mulai terjadi
serangan paroksismal yang terdiri dari dingin/menggigil; panas dan berkeringat.
Serangan paroksismal ini dapat pendek atau panjang tergantung dari jumlah
parasit dan keadaan immunitas penderita.
b. Periode latent: yaitu periode tanpa gejala dan tanpa parasitemia selama terjadinya
infeksi malaria. Biasanya terjadi diantara dua keadaan paroksismal.
c. Rekrudesensi: berulangnya gejala klinik dan parasitemia dalam masa 8 minggu
sesudah berakhirnya serangan primer. Rekrudesensi dapat terjadi berupa
berulangnya gejala klinik sesudah periode laten dari serangan primer. Sering
disebut relaps waktu panjang.
d. Rekurens: yaitu berulangnya gejala klinik atau parasitemia setelah 24 minggu
berakhirnya serangan primer.

9
e. Relaps atau Rechute: yaitu berulangnya gejala klinik atau parasitemia yang lebih
lama dari waktu diantara serangan periodik dari infeksi primer atau setelah
periode yang lama dari masa laten (sampai 5 tahun), biasanya terjadi karena
infeksi tidak sembuh atau oleh bentuk diluar eritrosit (hati) pada malaria vivaks
atau ovale.
2. Demam Berdarah Dengue (DBD)
Merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, demam berdarah dengue
(DBD) (dengue haemorrhagic fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi
yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis
hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan
hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh.
Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue
yang ditandai oleh renjatan/syok.
Demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam
genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter
30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106.
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya
dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotipe
ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Terdapat
reaksi silang antara serotipe dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow fever,
Japanese encephalitis dan West Nile virus. Dalam laboratorium virus dengue dapat
bereplikasi pada hewan mamalia seperti tikus, kelinci, anjing, kelelawar dan primata.
Survei epidemilogi pada hewan ternak didapatkan antibodi terhadap virus dengue
pada hewan kuda, sapi dan babi. Penelitian pada artropoda menunjukkan virus
dengue dapat bereplikasi pada nyamuk genus Aedes (Stegomyia) dan Toxorhynchites.
Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan apabila semua hal
dibawah ini terpenuhi:10
a. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.
b. Terdapat minimal satu dari manifestasi pendarahan berikut:
- Uji bendung positif

10
- Petekie, ekimosis, atau purpura
- Pendarahan mukosa (tersering epistakis atau pendarahan gusi), atau
pendarahan dari tempat lain.
- Hematemesis atau melena.
c. Trombosipenia (jumlah trombosit <100.000/ul)
d. Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage(kebocoran plasma)
sebagai berikut:
- Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan
umur dan jenis kelamin.
- Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
e. Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites atau hipoproteinemia.
3. Demam tifoid
Demam tifoid ialah infeksi akut pada saluran pencernaan yang disebabkan
oleh Salmonella typhi. Demam tifoid menyerang penduduk di semua Negara. Seperti
penyakit menular lainnya, tifoid banyak di temukan di negara berkembang yang
sanitasi lingkungannya kurang baik. Meskipun demam tifoid menyerang semua umur,
namun golongan terbesar tetap usia kurang dari 20 tahun. Penularan penyakit ini ialah
melalui air dan makanan. Bakteri salmonela dapat bertahan lama dalam makanan.
Serangga sebagai vector juga berperan dalam penularan penyakit.5,6
Salmonella ialah bakteri gram negatif, tidak berkapsul, menpunyai flagella
dan tidak membentuk spora. Kuman ini mempunyai antigen yang penting untuk
pemeriksaan laboratorium yaitu antigen O, H, dan K. Bakteri ini akan mati pada
pemanasan 57˚ C selama beberapa menit. Masa inkubasinya adalah 10-20 hari.6
Kuman Salmonela typhi masuk dalam tubuh melalui makanan yang telah
terkontaminasi. Sebagian kuman mati di lambung dan sebagian lagi bertahan dan
sampai diusus. Kuman kemudian masuk ke lamina propria dan difagositosis oleh
makrofag. Kuman berkembang biak didalam makrofag yang selanjutnya dibawa ke
plaque penyeri di ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterium
lalu melalui ductus torasikus masuk ke peredaran darah (bakterimia asimptomatik).
Kuman lalu masuk ke oragan retikuloendotelial sel, terutama hati dan limpa. Di organ

11
ini kuman keluar dari makrofag masuk ke sinusoidnya lalu masuk kembali ke dalam
darah (bacteremia simptomatik). Dalam hati kuman masuk ke empedu dan masuk ke
usus, sebagian dikeluarkan dengen feses sebagian lagi melalui siklus dari awal lagi.
Makrofag yang memfagositosis kuman kemudian mengeluarkan mediator inflamasi
yang menyebabkan gejala.5
Demam lebih dari tujuh hari adalah gejala yang paling menonjol. Demam ini
sifatnya ialah meningkat perlahan-lahan terutama pada sore dan malam hari. Demam
ini bias diikuti oleh gejala khas lainnya yaitu diare, anoreksia, mual, muntah, batuk
dan epistaksis. Pada kondisi yang parah dapat terjadi gangguan kesadaran.
Komplikasi yang bias terjadi ialah perforasi usus, pendarahan usus dan koma.
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan salmonella dalam dalam melalui kultur.
Pemeriksaan serologi widal untuk mendekteksi antigen O dan H. Titer lebih besar
atau sama dengan 1/40 maka dianggap positif demam tifoid.5,6
Penegakkan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bisa diberikan
terapi yang tepat dan meminimalkan komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis
penyakit ini sangat penting untuk membantu mendeteksi secara dini. Walaupun pada
kasus tertentu dibutuhkan pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakkan
diagnosis.10
Masa inkubasi demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Penegakan
diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat 14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul
sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimtomatik hingga gambaran
penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.10
Fase invasi terjadi demam ringan, naik secara bertahap. Terkadang suhu
malam lebih tinggi dibandingkan pagi hari. Gejala lainnya ialah nyeri kepala, rasa
tidak nyaman pada saluran cerna, mual, muntah, sakit perut, batuk, lemas, dan
konstipasi.11
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala
serupa dengan penyakit infeksi akut lain yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri
otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut,
batuk, dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan

12
meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan terutama pada sore hingga
malam hari.10
Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam,
bradikardia relatif (bradikardia relatif adalah peningkatan suhu 1°C tidak diikuti
peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi
dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan
mental berupa somnolen, sopor, koma, delirium, atau psikosis. Roseolae jarang
ditemukan pada orang Indonesia.10
Stadium evolusi dimana demam mulai menurun perlahan, tetapi dalam waktu
yang cukup lama. Dapat terjadi komplikasi perforasi usus. Pada sebagian kasus,
bakteri masih ada dalam jumlah minimal(menjadi karies kronis).11
4. Hepatitis A
Hepatitis A merupakan infeksi virus hepatitis A (VHA) pada hati yang
bersifat akut. Secara global dan di Indonesia, Hepatitis A merupakan penyakit hati
paling banyak dilaporkan. Umumnya seroprevalensi anti-VHA ditemukan tinggi pada
daerah dengan Standar kesehatan, terutama higienitas yang masih rendah.11
Penyebaran VHA terjadi secara fekal-oral, baik berupa kontak langsung atau
melalui makanan/minuman yang terkontaminasi. Tidak terbukti adanya penularan
secara perinatal (ibu ke janin) pada penyakit ini.11
Patofisiologi VHA memiliki masa inkubasi ±4 minggu. Replika si virus
dominasi terjadi pada hepatosit, meski VHA juga ditemukan pada empedu, feses, dan
darah. Anti gen VAH dapat ditemukan pada feses pada 1-2 minggu sebelum dan 1
minggu setelah awitan penyakit. Fase akut penyakit ditandai dengan peningkatan
aminotransferase serum, ditemukan antibodi terhadap VAH (lgM anti-VAH), dan
munculnya geja klinis jaundice). Selama fase akut, hepatosit yang terinfeksi
umumnya hanya mengalami perubahan morfologi yang minimal: hanya <1% yang
menjadi fulminan. Kadar IgM anti-VAH umumnya bertahan kurang dari 6 bulan,
yang kemudian digantikan oleh IgG anti-VAH yang akan bertahan seumur hidup.
Infeksi VHA akan sembuh secara spontan, dan tidak pernah menjadi kronis atau
karier.11

13
Fase pre-ikterik (1-2 minggu sebelum fase ikterik) ditemukan gejala
konstitusional seperti anoreksi, mual dan muntah, malaise, mudah lelah, atralgia,
mialgia, nyeri kepala, fotofobia, faringitis, atau batuk. Perasaan mual, muntah, dan
anoreksia seringkali terkait dengan perubahan pada penghidu dan pengecapan. Dapat
pula timbul demam yang tidak terlalu tinggi. Perubahan warna urin menjadi lebih
gelap dan feses menjadi lebih pucat dapat ditemukan 1-5 hari sebelum fase ikterik.11
Fase ikterik muncul gejala konstitusional umumnya membaik, namun muncul
gambaran klinis jaundice, nyeri perut kuadran kanan atas (akibat hepatomegali), serta
penurunan berat badan ringan. Pada 10-20% kasus, dapat ditemukan splenomegali
dan adenopati servikal. Fase ini berlangsung antara 2-12 minggu.11
Fase perbaikan (konvalesens) dimana gejala konstitusional menghilang, tetapi
hepatomegali dan abnormalitas fungsi hati masih ditemukan. Nafsu makan kembali
dan secara umum pasien akan merasa lebih sehat. Perbaikan klinis dan parameter
laboratorium akan komplit dalam 1-2 bulan sejak fase ikterik. Namun, sebanyak <1%
kasus hepatitis fulminan, yakni munculnya ensefalopati dan koagulopati dalam 8
minggu setelah pertama penyakit hati.11

b. Working Diagnosis

Pada anamnesis didapatkan berbagai ciri-ciri klinik penyakit. Gejala atau keluhan
didapati demam yang tinggi, nyeri pada kedua betis, dan mata merah. Pada pemerikaan
fisik dijumpai demam, aritmia jantung dimana jantung berdetak secara tidak normal
dalam temuan ini terlalu cepat yaitu 110x/menit, nyeri tekan otot terutama bagian betis,
serta hepatomegali yang menyebabkan nyeri tekan perut bagian kanan atas. Ciri-ciri
tersebut lalu dibandingkan satu sama lain dan kemudian dicocokan dengan kasus yang
ada pada skenario. Sehingga dapat disimpulkan bahwa diagnosis pada kasus dalam
skenario ialah Leptospirosis.

Leptospirosis adalah penyakit infeksi akut pada manusia dan hewan (zoonosis)
yang disebabkan oleh mikroorganisme Leptospira spp yang terdiri dari lebih 300 serovar.
Pada manusia umumnya disebabkan oleh Leptospira interogans yang ditemukan dalam
air seni dan sel-sel hewan yang terkena.11

14
Penyakit ini pertama sekali dikemukakan oleh Weil pada tahun 1886 yang
membedakan penyakit yang disertai dengan ikterus ini dengan penyakit lain dengan
gejala dan tanda yang sama. Leptospirosis berat disebut jüga dengan Weil's Disease.
Nama lain dari leptospirosis adalah: mud fever, slime fever, swamp fever, autumnal
fever , infectious jaundice, field fever, canicola fever, dan lain-lain.11

Kasus leptospirosis ini kemudian ditegakan dengan pemeriksaan laboratorium


darah rutin bisa dijumpai lekositosis, normal atau sedikit menurun disertai gambaran
neutrofilia dan laju endap darah yang meninggi. Pada urin dijumpai proteinuria,
leukosituria dan torak (cast). Bila organ hati terlibat, bilirubin direk meningkat tanpa
peningkatan transaminase. BUN, ureum, dan kreatinin juga bisa meninggi bila terjadi
komplikasi pada ginjal. Trombositopenia terdapat pada 50% kasus. Diagnosis pasti
dengan isolasi leptospira dari cairan tubuh dan serologi.2

E. Etiologi

Leptospirosis disebabkan oleh Leptospira interrogan dari genus Leptospira dan famili
treponemataceae. Leptospira bentuknya bergelung, tipis, dan fleksibel dengan panjang 5-15 µm;
spiral yang sangat halus dengan ujung 0,1-0,2 µm; ujung sel kuman seringkali bengkok yang
membentuk seperti pancingan.11 Kuman ini bergerak sangat aktif, yang paling baik dilihat
dengan menggunakan mikroskop lapangan gelap. Mikrograf elektron menunjukkan filamen
alsial yang tipis dan membran yang lembut. Spiroketa bentuknya juga halus sehingga pada
pandangan lapangan gelap tampak hanya sebagai rantai kokus kecil. Leptospira tidak dapat
diwarnai dengan mudah tetapi dapat diwarnai dengan impregnasi perak. Leptospira tumbuh baik
di lingkungan aerob pada suhu 28-30˚ C dalam mediumsemisolid yang berisi serum (medium
Fletch, Stuart, dan lain-lain).7

Sistem klasifikasi tradisional leptospira dibuat berdasarkan pada spesifitas biokimia dan
serologi untuk membedakan antara spesies yang patogen (Leptospira interrogan) dan spesies
tidak patogen yang hidup bebas (Leptospira biflexa). Spesies ini kemudian dibagi lagi menjadi
lebih dari 200 servoar Leptospira interrogans dan lebih dari 60 servoar Leptospira biflexa.
Servoar tersebut kemudian disusun ke dalam serogrup Leptospira interrogans dan serogrup

15
Leptospira biflexa yang didasarkan pada antigenisitas yang dibagi dan terutama untuk
penggunaan laboratorium.7

Menurut beberapa peneliti, serogrup Leptospira interrogan yang paling sering


menginfeksi manusia ialah Leptospira icterohaemorrhagica dengan reservoir tikus, Leptospira
canicola dengan reservoar anjing, dan Leptospira pomona dengan reservoar sapi dan babi.2,11

Leptospira bisa terdapat pada binatang peliharaan seperti anjing, babi, lembu, kuda,
kucing, marmut, atau binatang-binatang pengerat lainnya seperti tupai, musang, kelalawar, dan
lain sebagainya. Di dalam tubuh binatang tersebut, leptospira hidup di dalam ginjal/air
kemihnya. Tikus yang merupakan vektor utama dari Leptospira icterohaemorrhagica penyebab
leptospirosis pada manusia. Dalam tubuh tikus, leptospira akan menetap dan membentuk koloni
serta berkembang biak di dalam epitel tubulus ginjal tikus dan secara terus menerus ikut
mengalir dalam filtrat urine.

Gambar 1. Leptospira

F. Epidemiologi

Menurut WHO, jumlah kasus leptospirosis berat lebih dari 500.000 per tahun di seluruh
dunia atau berkisar 10 kasus per 100.000 penduduk setiap tahun di regio tropikal dan 0,1-1,0 per
100.000 penduduk di temperate area. Angka ini tentunya di bawah yang sebenarnya, karena

16
kurangnya survailans dan sulitnya menegakkan diagnosis pasti. Gejala klinis bervariasi
daridemam akut tak spesifik dan dapat sembuh sendiri, sampai gejala berat, kadang- kadang
dengan gagal ginjal yang fatal, ikterus, perdarahan (terutama paru) dan kolaps vaskular.10

Leptospirosis mendapat perhatian di seluruh dunia karena terjadinya epidemi


leptospirosis fatal dengan perdarahan paru berat tanpa ikterus dan komplikasi ginjal setelah
terjadi bencana banjir besar di daerah pedesaan Nicaragua. Severe pulmonary hemorrhage
syndrome akibat leptospirosis adalah penemuan baru penyebab kematian di seluruh dunia.
Penularan ke manusia terjadi melalui kontak langsung dengan urin atau jaringan yang terinfeksi
leptospira atau secara tidak langsung melalui kontak dengan tanah atau air yang terkontaminasi
leptospira. Leptospira biasanya masuk ke tubuh host melalui aberasi kulit atau luka dan atau
ekspose pada mukosa (mata, hidung, dan lainnya). Epidemi penyakit ini berkaitan dengan faktor
iklim, seperti musim hujan dan pekerjaan di sektor pertanian serta peternakan.10

Leptospirosis tersebar di seluruh dunia, di semua benua kecuali benua Antartika namun
terbanyak didapati di daerah tropis. Penyakit ini bersifat musiman, di daerah beriklim sedang
masa puncak insidens dijumpai pada musim panas dan musim gugur karena temperatur adalah
faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup leptospira, sedangkan di daerah tropis insiden
tertinggi terjadi selama musim hujan.2

International Leptospirosis Society menyatakan Indonesia sebagai negara dengan insiden


leptospirosis tinggi dan peringkat ketiga di dunia untuk mortalitas. Di Indonesia, leptospirosis
masih merupakan masalah kesehatan masyarakat, terutama di daerah rawan banjir.11 Kondisi
tersebut berpotensi terjadinya kejadian luar biasa (KLB) Leptospirosis. Saat musim banjir,
terdapat tiga hal yang harus perhatikan, yaitu:10

1. genangan air dapat menimbulkan risiko munculnya penyakit Leptospirosis juga demam
berdarah;
2. hygiene sanitasi terutama keterbatasan air berpotensi menyebabkan penyakit- infeksi,
termasuk leptospirosis dan
3. kelembaban udara yang tinggi.

17
Pada tahun 2014, terjadi KLB Leptospirosis di Kabupaten Kota Baru Kalimantan Selatan.
Juga peningkatan kasus terjadi di Provinsi Jawa Tengah dan DKI Jakarta setelah terjadi banjir
besar yang cukup lama pada tahun yang sama dengan jumlah kasus 435 dengan 62 kematian.12

Leptospirosis dapat ditemukan di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta,
Lampung, Sumatera Selatan,Bengkulu, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB,
Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat. Pada kejadian
banjir besar di Jakarta tahun 2002, dilaporkan lebih dari seratus kasus leptospirosis dengan 20
kematian. Orang yang rentan terkena infeksi ini adalah petani, peternak, pekerja tambang.
pekerja rumah potong hewan, penebang kayu, dan dokter hewan.2,11

G. Penularan

Manusia dapat terinfeksi melalui kontak dengan air, atau tanah, lumpur yang telah
terkontaminasi oleh urine binatang yang telah terinfeksi leptospira. Infeksi tersebut terjadi jika
terjadi luka/erosi pada kulit maupun selaput lendir. Air tergenang atau mengalir lambat yang
terkontaminasi urine binatang infeksius memainkan peranan dalam penularan penyakit ini,
bahkan air yang deraspun dapat berperan. Kadang-kadang penyakit ini terjadi akibat gigitan
binatang yang sebelumnya terinfeksi leptospira, atau kontak dengan kultur leptospira di
laboratorium. Ekspos yang lama pada genangan air yang terkontaminasi terhadap kulit yang utuh
juga dapat menularkan leptospira. Orang-orang yang mempunyai risiko tinggi mendapatkan
penyakit ini adalah pekerja-pekerja di sawah, pertanian, perkebunan, peternakan, pekerja
tambang, pekerja di rumah potong hewan, orang-orang yang mengadakan perkemahan di hutan,
dokter hewan.2

H. Patogenesis

Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir, memasuki aliran
darah dan berkembang, lalu menyebarkan secara luas ke jaringan tubuh. Kemudian terjadi respon
imunologi baik secara selular maupun humoral sehingga infeksi ini dapat ditekan dan terbentuk
antibodi spesifik. Walaupun demikian, beberapa organisme ini masuh bertahan pada daerah yang
terisolasi secara imunologi seperti di dalam ginjal dimana sebagian mikroorganisme akan
mencapai convoluted tubules, bertahan disana dan dilepaskan melalui urin. Leptospira banyak
dijumpai dalam air kemih sekitar 8 hari sampai beberapa minggu setelah infeksi dan sampai

18
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun kemudian. Leptospira dapat dihilangkan dengan
fagositosis dan mekanisme humoral. Kuman ini dengan cepat lenyap dari darah setelah
terbentuknya aglutinin. Setelah fase leptospiremia 4-7 hari, mikroorganisme hanya dapat
ditemukan dalam jaringan ginjal dan okuler. Leptospiuria berlangsung 1-4 minggu. Tiga
mekanisme yang terlibat pada patogenesis leptospirosis: invasi bakteri langsung, faktor inflamasi
nonspesifiik, dan reaksi imunologi.2

Dalam perjalanan pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksin yang


bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologi pada beberapa organ. Lesi yang muncul
terjadi karena kerusakan pada lapiran endotel kapiler. Pada leptospirosis terdapat perbedaan
antara derajatgangguan fungsi organ dengan kerusakan secara histologik. Pada leptospirosis lesi
histologik yang ringan ditemukan pada ginjal dan hati pasien dengan kelainan fungsional yang
nyata dari organ tersebut. Perbedaan ini menunjukkan bahwa kerusakan bukan pada struktur
organ. Lesi inflamasimenunjukkan edema dan infiltrasi sel monosit, limfosit, dan sel plasma.
Pada kasus yang berat terjadi kerusakan kapiler dengan perdarahan yang luas dan disfungsi
hepatoseluler dengan retensi bilier. Selain di ginjal leptospirs juga dapat bertahan pada otak dan
mata. Leptospira dapat masuk ke cairan serebrospinalis pada fase leptospiremua. Hal ini akan
menyebabkan meningitis yang merupakan gangguan neurologi terbanyak yang terjadi sebagai
komplilasi leptospirosis. Organ-organ yang sering dikenai leptospira adalah ginjal, hati, otot, dan
pembuluh darah. Berikut kelainanspesifik pada organ:2,11

1. Ginjal: Interstisial nefritis dengan infiltrasi sel mononuklear merupakan bentuk lesi pada
leptospirosis yang dapat terjadi tanpa gangguan fungsi ginjal. Gagal ginjal terjadi akibat
tubular nekrosis akut. Adanya pernan nefrotoksin, reaksi imunologis, iskemia ginjal,
hemolisis, dan invasi langsung mikroorganisme juga berperan menimbulkan kerusakan
ginjal.
2. Hati: Menunjukkan nekrosis sentilobuler fokal dengan infiltrasi sel limfosir fokal dan
proliferasi sel Kupfer dengan kolestatis. Pada kasus-kasus yang diotopsi, sebagian
ditemukan leptospira dalam hepar. Biasanya organisme ini terdapat diantara sel-sel
parenkim.
3. Jantung: epikardium, endokardium, dan miokardium dapat terlibat. Kelainan miokardium
dapat fokal atau difus berupa interstisial edema dengan infiltrasi sel mononuklear dan

19
plasma. Nekrosis berhubungan dengan infiltrasi neutrofil. Dapat terjadi pendarahan fokal
pada miokardium dan endokarditis.
4. Otot rangka: Pada otot rangka, terjadi perubahan-perubahan berupa lokal nekrotis,
vakuolisasi, dan kehilangan striata. Nyeri otot yang terjadi pada leptospira disebabkan
invasi langsung leptospira. Dapat jiga ditemukan antigen leptospira pada otot.
5. Mata: Leptospira dapat masuk ruang anterior dari mata selama fase leptospiremia dan
bertahan beberapa bulan walaupun antibodi yang terbentuk cukup tinggi. Hal ini akan
menyebabkan uveitis.
6. Pembuluh darah: terjadi perubahan pada pembuluh darah akibat terjadinya vakulitis yang
akan menimbulkan perdarahan. Sering ditemukan perdarahan pada mukosa, permukaan
serosa, dan alat-alat viscera dan perdarahan bawah kulit.
7. Susunan saraf pusat: Leptospira mudah masuk ke dalam cairan serebrospinal (CSS) dan
dikaitkan dengan terjadinya meningitis. Meningitis terjadi sewaktu terbentuknya respon
antibodi, tidak pada saat memasuki CSS. Diduga bahwa terjadinya meningitis
diperantarai oleh mekanisme imunologis. Terjadi penebalan meninges dengan sedikit
peningkatan sel mononuklear arakhnoid. Meningitis yang terjadi adalah meningitis
aseptik, biasanya paling sering disebabkan oleh Leptospira canicola.
8. Weil Disease: Weil disease adalah leptospirosis berat yang ditandai dengan ikterus,
biasanya disertai perdarahan, anemia, azotemia, gangguan kesadaran, dan demam tipe
kontinua. Penyakit weil ini biasanya terdapat pada 1-6% kasus dengan leptospirosis.
Penyebab weil disease adalah serotipe icterohaemorragica pernah juga dilaporkan oleh
serotipe copenhageni dan bataviae. Gambaran klinis bervariasi berupa gangguan renal,
hepatik, atau disfungsi vaskular.

I. Manifestasi Klinik

Masa inkubasi leptospirosis adalah 2-26 hari, biasanya 7-13 hari, dan rata-rata 10 hari.
Leptospirosis sendiri mempunyai dua fase penyakit yang khas yaitu fase leptospiremia dan fase
imun.

Fase leptospiremia ditandai dengan adanya leptospira di dalam darah dan cairan
serebrospinal, berlangsung secara tiba-tiba dengan gejala awal sakit kepala biasanya di frontal,
rasa sakit pada otot yang hebat pada paha, pinggang, dan terutama pada betis (M.

20
Gastrocnemius) yang disertai nyeri tekan. Mialgia dapat diikuti dengan hiperestesu kulit, demam
tinggi yang disertai menggigil, juga didapati mual dengan atau tanpa muntah disertai penurunan
kesadaran. Pada pemeriksaan keadaaan sakit berat, brakikardi relatif, dan ikterus (50%). Pada
hari ke 3-4 dapat dijumpai adanya konjungtiva suffision atau injeksi subkonjungtiva dan
fotofobia. Pada kulit dapat dijumpai rash yang berbentuk makular, makulopapular atau urtikaria.
Kadang-kadang dijumpai splenomegali, hepatomegali, serta limfadenopati. Fase ini berlangsung
4-7 hari. Jika cepat ditangani pasien akan membaik, suhu akan kembali normal, penyembuhan
organ-organ yang terlibat dan fungsinya kembali normal 3-6 minggu setelah onset. Pada keadaan
sakit yang lebih berat demam turun setelah 7 hari diikuti oleh bebas demam selama 1-3 hari,
setelah itu terjadi demam kembali. Keadaan ini disebut fase kedua atau fase imun.11

Fase imun ditandai dengan peningkatan titer antibodi, dapat timbul demam yang
mencapai suhu 40˚ C disertai menggigil dan kelemahan umum. Terdapat rasa sakit yang
menyeluruh pada leher, perut, dan otot-otot kaki terutama otot betis. Terdapat pendarahan berupa
epistaksis, gejala kerusakan pada ginjal dan hati, uremia, ikterik. Pendarahan paling jelas terlihat
pada fase ikterik, purpura, ptechiae, epistaksis, perdarahan gusi merupakan manifestasi
perdarahan yang paling sering. Conjunctiva infection dan conjungtival suffusion dengan ikterus
merupakan tanda patognomosis untuk leptospirosis.11 Terjadinya meningitis merupakan tanda
pada fase ini, walaupun hanya 50% gejala dan tanda meningitis, tetapi pleositosis pada CSS
dijumpai pada 50-90% pasien. Tanda-tanda meningeal dapat menetap dalam beberapa minggu,
tetapi biasanya menghilang setelah 1-2 hari. Pada fase ini leptospira dapat dijumpai di urin.2

J. Komplikasi

Komplikasi dapat terjadi jika penyakit leptospirosis tidak segera ditangani. Berbagai
komplikasi yang muncul dapat berupa gangguan pada hati, selaput otak dan gangguan pada
ginjal yang dapat berakibat fatal. Menurut Iwansain, angka kefatalan penyakit leptospirosis
mencapai 5% , yang artinya 5 dari setiap 100 kasus bisa meninggal.13

K. Pengobatan

Pengobatan suportif dengan observasi ketat untuk mendeteksu dan mengatasi keadaan
dehidrasi, hipotensi, perdarahan, dan gagal ginjal sangat penting pada leptospirosis. Gangguan

21
fungsi ginjal umumnya dengan spontan akan membaik dengan membaiknya kondisi pasien.
Namun pada beberapa pasien membutuhkan tindakan hemodialisis temporer.

Pemberian antibiotik harus dimulai secepat mungkin biasanya pemberian dalam 4 hari
setelah onset cukup efektif. Untuk kasus leptospirosis berat, pemberian intravena penisilin G,
amoksisilin, ampisilin, atau eritromisin dapat diberikan. Sedangkan untuk kasus-kasus ringan
dapat diberikan antibiotika oral tetrasiklin, doksisilin, ampisilin, amoksisilin, maupun
sefalosporin.

Tabel 2. Pengobatan dan Kemoprofilaksis Leptospirosis.2,11

Indikasi Regimen Dosis

Leptospirosis ringan Doksisilin 2×100 mg

Ampisilin 4×500-750 mg

Amoksilin 4×500 mg

Leptospirosis sedang dan Penisilin G 1.5 juta unit / 6 jam (iv)


berat
Ampisilin 1 gram / 6 jam (iv)

Amoksisilin 1 gram / 6 jam (iv)

Kemoprofilaksis Doksisiklin 200mg/minggu

Pada absorbsi penisilin G, bila dibandingkan dengan dosis oral terhadap intramuskular,
maka untuk mendapatkan kadar efektif dalam darah, dosis penisilin G oral haruslah 4 sampai 5
kali lebih besar daripada dosis intramuskular. Oleh karena itu penisilin G tidak dianjurkan
diberikan secara oral. Jumlah ampisilin dan senyawa sejenisnya yang diabsorbsi pada pemberian
oral dipengaruhi besarnya dosis dan ada tidaknya makanan dalam saluran cerna. Dengan dosis
lebih kecil persentase yang diabsorbsi relatif besar. Absorbsi amoksisilin di saluran cerna jauh
lebih baik daripada ampisilin, dengan dosis yang sama, amoksisilin mencapai kadar dalam darah

22
yang tingginya kira-kira 2 kali lebih tinggi daripada yang dicapai ampisilin. Penyerapan
amoksisilin terhambat oleh adanya makanan di lambung, sedangkan amoksisilin tidak.

Distribusi penisilin G, ampisilin, dan amoksisilin luas dalam tubuh. Pada penisilin G,
kadar obat yang memadai dapat tercapai dalam hati, empedu, ginjal, usus, limfe, dan semen
tetapi dalam cairan serebrospinal sukar dicapai. Ampisilin yang masuk ke dalam empedu
mengalamu sirkulasienterohepatik, tetapi yang diekskresi di tinja cukup tinggi. Penetrasi ke
cairan serebrospinalis dapat mencapai kadar efektif pada keadaan peradangan meningen.
Distribusi amoksisilin kurang lebih sama dengan ampisilin. Efek dari penisilin adalah terjadi
pemecahan cincin beta laktam dengan kehilangan seluruh aktivitas mikroba.Pemberian penisilin
G, ampisilin, dan amoksisilin memiliki efek samping. Penisilin G akan menimbulkan reaksi
alergi Pemberian ampisilin memberikan sebagian kecil kemerahan kulit berdasarkan reaksi
alergi, dan saat itu terjadi pemberian ampisilin harus dihentikan.

Sefalosporin diberikan secara suntikan intramuskular atau intravena. Beberapa


sefalosporin generasi ketiga mencapai kadar yang tinggi di cairan serebrospinal, sehingga
bermanfaat untuk pengobatan meningitis purulenta. Sefalosporin melewati sawar darah uri,
mencapai kadar tinggi di cairan sinovial dan cairan perikardium. Pada pemberian sistemik, kadar
sefalosporin generasi ketiga di cairan mata relatif tinggi, tetapi tidak mencapai vitreus.
Sefalosporin diekskresi dalam bentuk utuh melalui ginjal, dengan proses sekresi tubuli. Efek
samping dari sefalosporin adalah reaksi alergi, mirip dengan yang ditimbulkan oleh penisilin.

Doksisiklin merupakan salah satu golongan tetrasiklin menurut struktur kimia. Tetrasiklin
memperlihatkan spektrum anibakteri yang luas. Absorbsinya sebagian besar berlangsung
dilambung dan usus halus bagian atas. Faktor penghambatnya adalah pH tinggi. Distribusinya
adalah dalam plasma, semua jenis tetrasiklin terikat oleh protein plasma. Penetrasi ke cairan
tubuh lain dan jaringan cukup baik, ditimbun dalam sistem retikuloendotelial di hati, limpa dan
sumsum tulang, serta di dentin dan email gigi yang belum erupsi. Tetrasiklin golongan
doksisiklin mengalami metabolisme yang berarti di hati sehingga aman untuk penderita gagal
ginjal. Golongan tetraiklin diekskresi di urin berdasarkan filtrasi glomerulus.8

Sampai saat ini penisilin masih merupakan antibiotika pilihan utama, namun perlu diingat
bahwa antibiotika bermanfaat jika leptospira masih di darah (fase leptospiremia). Pada

23
pemberian penisilin, dapat muncul reaksi Jarisch-Herxherimer 4 sampai 6 jam setelah pemberian
intravena, yang menunjukkan adanya aktivitas anti leptospira. Tindakan suportif diberikan sesuai
dengan keparahan penyakit dan komplikasi yang timbul. Keseimbangan cairan, elektrolit, dan
asam basa diatur sebagaimana pada penanggulangan gagal ginjal secara umum. Kalau terjadi
azotemia/uremia berat sebaiknya dilakukan dialisis.2

L. Prognosis

Prognosis tergantung pada keadan umum pasien, usia, virulensi leptospira, adanya
kekebalan didapat. Kematian dapat terjadi sebagai komplikasi faktor pemberat seperti gagal
ginjal atau perdarahan, dan terlambatnya tata laksana pasien. Jika tidak ada ikterus, penyakit
jarang fatal. Semua kasus leptospirosis berat dapat sembuh sempurna. Pada kasus dengan ikterus,
angka kematian 5% pada umur di bawah 30 tahun, dan pada usia lanjut mencapai 30-40%.2,16

M. Pencegahan16
1. Hygiene Perorangan
Pekerjaan maupun aktivitas dengan risiko tinggi untuk tertular leptospira
diperlukan pakaian pelindung sesuai pekerjaan atau aktivitasnya, seperti sepatu, sarung
tangan, masker, dan lain-lain.
2. Kebersihan Lingkungan
Sebaiknya tempat tinggal tidak digunakan untuk tempat tinggal hewan perantara.
Lantai yang dilewati hewan perantara didesinfektan dengan sodium hipoklorit 1/100
atau detergen, mencegah selokan buntu dan jangan digunakan untuk populasi tikus.
3. Vaksinasi
Di beberapa negara seperti Kuba, Rusia, Cina vaksinasi untuk mencegah
leptospirosis pada manusia telah diberlakukan. Bahkan di Kuba pemberian vaksinasi
dapat mencegah 100%. Sampai saat ini belum ada publikasi tentang studi efikasi jangka
panjang vaksin anti-leptospira, nampaknya vaksinasi hanya mempunyai efikasi jangka
pendek. Vaksinasi pada binatang piaraan dapat menurunkan kejadian leptospirosis,
sehingga membantu pencegahan.
Beberapa problem yang muncul pada pemberian vaksin untuk mencegah
leptospirosis pada manusia:

24
- Sering adanya laporan efek samping yang tidak dapat diterima dari vaksin bakteri
yang dimatikan.
- Vaksin dengan bakteri yang dimatikan nampaknya hanya memberikan proteksi
jangka pendek dan kemungkinan proteksinya tidak komplit, demikian juga
vaksinasi pada binatang.
- Belum adanya vaksin yang secara umum dapat mencegah berbagai macam
leptospira yang bersifat lokal.
- Vaksinasi secara teori berpotensi untuk menginduksi penyakit otoimun seperti
uveitis.
- Belum ada pengetahuan yang lengkap mengenai mekanisme kekebalan melawan
infeksi leptospira.
4. Pengobatan Pencegahan
- Penisilin 2 juta unit perhari selama 7 hari, diberikan pada orang berisiko tinggi
bila menderita demam, tetapi jangan lupa mengambil spesimen sebelumnya.
- Pemberian doksisiklin 200 mg perminggu dapat juga melindungi terjadinya
leptospirorsis.
- Penyediaan air minum diklorinasi dan pengasaman air sawah.

25
KESIMPULAN

Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh mikro organisme
Leptospira interogan yang menimbulakan gejala klinis yaitu disertai ikterus. Pada dasarnya
gejala leptospirosis mirip dengan beberapa Penyakit infeksi lainya, seperti : Demam Berdarah
Dengue, demam typhoid, malaria, dan Hepatitis A. Sehingga acapkali luput dari diagnosis karena
gejala klinis yang tidak spesifik. Leptospirosis banyak ditemukan didaerah banjir sebab perantara
penyakit ini di dapat dari hewan-hewan di sekitar kita misalnya anjing, kucing, tikus, dan
lainnya. Bila air yang tercemar oleh urin dari perantara berkontak dengan kulit memungkinkan
untuk manusia terkena leptospirosis. Dengan demikian penularan penyakit ini sangat beresiko
bagi manusia khususnya yang tinggal didaerah banjir, petani, peternak serta dokter hewan.

26
Daftar Pustaka

1. Mandal BK, Wilkins EGL, Dunbar EM, Mayon-White RT. Lecture notes: penyakit
infeksi. Jakarta: Erlangga; 2008. h.3-6.
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: InternaPublishing; 2009.
3. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam berdarah dengue. Dalam: Sudoyo
AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Edisi ke-5. Jakarta : InternaPublishing; 2009. h. 2773 – 9.
4. Widodo D. Demam tifoid. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta : InternaPublishing; 2009. h.
2797-9.
5. Widoyo. Penyakit Tropis : Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, Dan
Pemberantasannya. Jakarta : Penerbit Erlangga; 2008.h. 34-70.
6. Brooks GF, Butel JS, Morse SA. Mikrobiologi kedokteran jawetz, melnick, dan adelberg.
Edisi ke-23. Jakarta: EGC; 2008.h.346-8, 478-85.
7. Syarif A, Estuningtyas A, Setiawati A, Muchtar HA, Arif A, Bahry B, et al. Farmakologi
dan terapi. Edisi ke-5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2012.
8. Muliawan SY. Bakteri spiral patogen. Jakarta: Erlangga; 2008.h.78-9.
9. Harisunata T, Bunnag D. The Clinical Features of Malaria. In: Wernsdorfer
WH&Mc.Gregor SI (eds). Malaria, Principles and Practice of Malariology. Churchill
Livingstone. London; 1988, vol.I: 709-34.
10. Sudoyo A.W, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Interna Publishing; 2017.
11. Arifputera A, dkk. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 4. Editor, Tanto C, dkk. Jakarta:
Media Aesculapius. 2014.
12. Kemenkes. Leptospirosis, Kenali dan Waspadai. Diunduh dari: www.depkes.co.id. 2015.
13. Rizky A, Widya HC. Keterlambatan Pengobatan pada Penderita Leptospirosis di Kota
Semarang. Semarang: Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro; 2017.
14. Alius C. Leptospirosis: Penyakit yang Terlupakan. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
Dalam, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Katolik Indonesia Atma
Jaya/ Rumah Sakit Atma Jaya; 2019.

27
15. Rejeki DSS. Faktor Risiko Lingkungan Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian
Leptospirosis Berat. Semarang: Universitas Diponegoro. 2005. Diakses dari:
http://eprints.undip.ac.id/14538/1/2005MEP4339.pdf
16. Wiharyadi D. Faktor-faktor Risiko Leptospirosis Berat Di Kota Semarang. Semarang:
Universitas Diponegoro. 2004. Diakses dari:
http://eprints.undip.ac.id/12636/1/2004FK3664.pdf

28

Anda mungkin juga menyukai