Anda di halaman 1dari 11

LANGKAH-LANGKAH DIAGNOSIS

ANAMNESIS

Dilakukan alloanamnesis karena pada skenaraio pasien dalam keadaan somnolen.


a. Identitas pasien:
 Nama : An. X
 Umur : 10 tahun
 Jenis kelamin : laki – laki
 Alamat : -
 Pekerjaan : -
b. Keluhan Utama: -
c. Keluhan penyerta : -
- Apakah disertai demam ?
- Apakah disertai mual dan muntah ?
- Nyeri pinggang ?
- Rasa tidak nyaman pada abdomen ?
- Apakah ada nyeri tekan disekitar edema ?
- Apakah ada gatal ?
- Apakah ada sesak ?

PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisis pasien meliputi pemeriksaan tentang keadaan umum pasien dan
pemeriksaan urologi. Seringkali kelainan-kelainan di bidang urologi memberikan manifestasi
penyakit umum (sistemik), atau tidak jarang pasien-pasien urologi kebetulan menderita penyakit
lain.Pemeriksaan fisik pasien meliputi pemeriksaankeadaan umum dan pemeriksaan urologi
seringkali  kelainan  di bidang urologi  memberikan manifestasi  penyakit umum
(sistemik), atau tidak jarang pasien urologi kebetulan menderita penyakit lain. 

Adanya hipertensi mungkin merupakan tanda dari kelainan ginjal, edema tungkai satu sisi


mungkin akibat obstruksi pembuluh vena tungkai karena penekanan tumor buli-
buli, dan ginekomastia mungkin ada hubungan dengan karsinoma testis. Hal itu diatas
mengharuskan untuk memeriksa keadaan umum pasien secara menyeluruh. Sedang pada
pemeriksaan urologi perlu diperhatikan setiap organ mulai dari pemeriksaan ginjal, buli – buli,
genitalia eksterna, dan pemeriksaan neurologi.

 Keadaan umum: sakit berat, sakit sedang atau sakit ringan


 Kesadaran dengan menggunakan GCS (Glassglow Coma Scale) : Somnolen
 Pengukuran tanda vital
Posisi klien : duduk/ berbaring

1. Suhu tubuh : -
2. Tekanan darah : 150/90 mmHg, Menunjukkan hipertensi stadium 2 yang dimana dapat
dikategorikan sebagai emergensi hipertensi dimana tekanan darah yang tinggi dihubungkan
dengan kegagalan organ.
3. Nadi : -
4. Pernafasan : -

A. Inspeksi
1. Berat badan: obesitas, kurus atau normal
2. Tingkah laku, ekspresi wajah, mood.
3. Kebersihan Personal (Normal : Bersih dan tidak bau)
4. Cara berpakaian (Normal : Benar/ tidak terbalik)
5. Cara bicara : -
6. Inspeksi kontur abdomen normal atau abnormal
7. Bila tampak distensi abdomen, evaluasi apakah karena obesitas, asites, kehamilan dan
neoplasma
8. Lihat penampakan abnormal dipermukaaan abdomen seperti : jaringan parut (skar),
kongesti vena (hipertensi vena porta, caput medusae) penampakan peristaltik (obstruksi
pilorus, obstruksi usus halus-kolon) atau adanya massa abdomen
9. Evaluasi dengan membandingkan dengan keadaan normal.

B. Palpasi
1. Lakukan palpasi dalam cara bimanual.
2. Lakukan palpasi ringan dengan tempatkan telapak tangan di abdomen pelan-pelan,
adduksikan jari-jari sambil menekan lembut masuk ke dinding abdomen kira-kira 1 cm
(kuku jari jangan sampai menusuk dinding abdomen), Tangan kiri diletakkan di sudut
kostovertebra untuk mengangkat ginjal keatas sedangkan tangan kanan meraba ginjal
dari depan.Bila nyeri langsung ditemukan saat palpasi, kepala pasien dapat ditinggikan
memakai bantal.
3. Nilai nyeri tekan atau tidak dengan memperhatikan wajah atau ekspresi

C. Perkusi
 Pemeriksaan Ginjal

Perkusi atau pemeriksaan ketok ginjal dilakukan dengan memberikan


ketokan pada sudut kostoverterbra yaitu sudut yang  dibentuk oleh kostae terakhir
dengan tulang verterbrae. Adanya pembesaran ginjal karena hidronefrosis atau
tumor ginjal akan teraba pada palpasi dan terasa nyeri pada perkusi.
Transiluminasi dapat memberikan pembuktian secara cepat pada anak-anak
dibawah satu tahun, yang dilakukan pada supra pubik atau masa dipanggul.

D. Auskultasi
 Pemeriksaan Ginjal
Letakkan membran atau bel stetoskop (bila kurang jelas) di atas mid-abdomen
(umbilikus) atau dibawah umbilikus dan diatas suprabupik untuk menderngar
bunyi peristaltik usus.
Auskultasi pada daerah costovertebra dan kuadran atas abdomen dapat
menimbulkan bunyi bruit sistolik, dimana hal ini dihubungkan dengan adanya
tenosis (penyempitan) atau aneurisma (Pelebaran) dari arteri renal.

Pemeriksaan Buli-Buli

Pada pemeriksaan bulibulidiperhatikan adanya benjolanmassa atau jaringan
parut bekas irisanoperasi di suprasimpisis. Massa di daerah suprasimpisis mungkin merupakan
tumor ganas buli-buli atau karena buli- buli yang terisi penuh dari suatu retensi urine. Dengan
perkusi dapat ditentukan batas atas buli – buli.Palpasi dengan menggunakan dua tangan
( abdominal rektal atau abdominal Vagina ) dapat membuktikan luas dari tumor Vesika.
Kesuksesan dalam penangananyaseharusnya dikerjakan dibawah pengaruh anesthesia.

PEMERIKASAAN PENUNJANG

 Pemeriksaan Serologi
 Pemeriksaan darah rutin, terdiri atas pemeriksaan kadar hemoglobin, leukosit, laju
endap darah, hitung jenis leukosit, dan hitung trombosit.

 Laju endap darah :


LED umumnya meninggi pada fase akut dan menurun setelah gejala klinik
menghilang. Walaupun demikian LED tidak dapat digunakan sebagai parameter
kesembuhan GNAPS, karena terdapat kasus GNAPS dengan LED tetap tinggi
walaupun gejala klinik sudah menghilang.

 Reaksi serologis :
Infeksi streptokokus pada GNA menyebabkan reaksi serologis terhadap produk-
produk ekstraselular streptokokus, sehingga timbul antibodi yang titernya dapat
diukur, seperti antistreptolisin O (ASO), antihialuronidase (AH ase) dan
antideoksiribonuklease (AD Nase-B). Titer ASO merupakan reaksi serologis yang
paling sering diperiksa, karena mudah dititrasi. Titer ini meningkat 70-80% pada
GNAPS. Sedangkan kombinasi titer ASO, AD Nase-B dan AH ase yang meninggi,
hampir 100% menunjukkan adanya infeksi streptokokus sebelumnya. Kenaikan titer
ini dimulai pada hari ke-10 hingga 14 sesudah infeksi streptokokus dan mencapai
puncaknya pada minggu ke- 3 hingga 5 dan mulai menurun pada bulan ke-2 hingga 6.
Titer ASO jelas meningkat pada GNAPS setelah infeksi saluran pernapasan oleh
streptokokus. Titer ASO bisa normal atau tidak meningkat akibat pengaruh
pemberian antibiotik, kortikosteroid atau pemeriksaan dini titer ASO. Sebaliknya titer
ASO jarang meningkat setelah piodermi. Hal ini diduga karena adanya jaringan
lemak subkutan yang menghalangi pembentukan antibodi terhadap streptokokus
sehingga infeksi streptokokus melalui kulit hanya sekitar 50% kasus menyebabkan
titer ASO meningkat. Di pihak lain, titer AD Nase jelas meningkat setelah infeksi
melalui kulit.

 Aktivitas komplemen :
Komplemen serum hampir selalu menurun pada GNAPS, karena turut serta
berperan dalam proses antigen-antibodi sesudah terjadi infeksi streptokokus yang
nefritogenik. Di antara sistem komplemen dalam tubuh, maka komplemen C3 (B1 C
globulin) yang paling sering diperiksa kadarnya karena cara pengukurannya mudah.
Beberapa penulis melaporkan 80- 92% kasus GNAPS dengan kadar C3 menurun.
Umumnya kadar C3 mulai menurun selama fase akut atau dalam minggu pertama
perjalanan penyakit, kemudian menjadi normal sesudah 4-8 minggu timbulnya gejala-
gejala penyakit. Bila sesudah 8 minggu kadar komplemen C3 ini masih rendah, maka
hal ini menunjukkan suatu proses kronik yang dapat dijumpai pada glomerulonefritis
membrano proliferatif atau nefritis lupus.

 Urinalisis

Parameter Fisik Urin


Warna. Normal pucat-kuning tua dan omber tergantung kadar urokrom. Keadaan
patologis, obat dan makanan dapat mengubah warna. Urin merah disebabkan Hb,
miogobin, atau pengaruh obat rifampisin. Warna hijau dapat karena zat klinis eksogen
(biru metilen) atau infeksi Pseudomonas; warna oranye/jingga menandakan pigmen
empedu. Bila urin keruh dapat karena fosfat (biasanya normal) atau leukosituria dan
bakteri (abnormal).

Turbiditas. Normal transparan, urin keruh karena hematuria, infeksi dan kontaminasi

Bau. Beberapa penyakit mempunyai bau urin yang khas, misal bau keton, maple syrup
disease, isofloric acidemia, dsb.

Densitas relatif. Metode pemeriksaan ada beberapa macam:

1. Berat jenis: diukur memakai urinometer, mudah dilakukan, butuh urin 25 cc, BJ
dipengaruhi oleh suhu urin, protein, glukosa dan kontras media. BJ
mencerminkan konsentrasi yang larut dalam urin dan nilai normal 1010-1030.
Pada orang tua BJ bisa di bawah atau di atas normal karena kehilangan daya
mengencerkan atau memekatkan urin.
2. Refraktometri: mudah dilakukan dan hanya butuh 1 cc urin, faktor yang
mempengaruhi BJ, juga akan mempengaruhi pengukuran ini.
3. Osmolalitas: berbeda dengan BJ, temperatur dan protein tidak mempengaruhi,
tetapi kadar glukosa meningkatkan osmolalitas. Osmolalitas urin, normal 50-1200
mOsm/L walau penting menandakan konsentrasi urin, tetapi tidak rutin diperiksa.
Pada kasus batu ginjal atau kelainan elektrolit (hipo atau hipernateremia) perlu
diperiksa untuk diagnosis.
4. Dipstik: memakai indikator perubahan warna pada dipstik dan sudah luas dipakai.

Parameter Kimia

pH: tes memakai dipstik, pada pH <5,5 atau >7,5 akurasinya kurang, dan harus
memakai pH meter pH hasilnya dipengaruhi oleh asam-basa sistemik

Hb: dalam kondisi normal tidak dijumpai dalam urin. Bila positif harus dicurigai
hemolisis atau mioglobinuria
Glukosa: dengan dipstik untuk menilai reabsorbsi glukosa dan bahan lain. Tes ini sangat
sensitif dan dapat dilanjutkan dengan kadar glukosa urin secara kuantitatif dengan
metode enzimatik.

Protein: pada skenario didapatkan proteinuria : +2

Normal proteinuria tidak lebih dari 150 mg/hari untuk dewasa. Pada kondisi patologis
proteinuria dapat dibedakan:

1. Proteinuria glomerulus: ini terjadi pada penyakit glomerulus karena gangguan


permeabilitas protein (misal: albumin, globulin)
2. Proteinuria tubular: ini terjadi pada penyakit tubulus dan interstisium dan disebabkan
gangguan reabsorbsi protein berat molekul (BM) ringan (a.1. mikroglobulin, b2
mikroglobulin, retinol binding protein)
3. Proteinuria overload: ini disebabkan peningkatan protein BM rendah melebihi
kapasitas reabsorbsi tubulus (Bence-Jones protein, lisosom, mioglobin)
4. Proteinuria benigna: protein ini termasuk proteinuria karena demam, ortostatik atau
kerja fisik.

Proteinuria biasanya dites memakai dipstik, dan cukup sensitif terhadap albumin.
Metode Dipstik adalah semikuantitatif dengan nilai 0-4 ( + ). Untuk lebih teliti
menilai protein kuantitatif digunakan metode lain seperti turbidimetri. Jumlah
protein kuantitatif 24 jam diekspresikan sebagai g/L atau g/24 jam per 1,73 ml akan
tetapi perhitungan dengan urin 24 jam ini memakan waktu, sering keliru dan tidak
praktis.

Leukosit Esterase. Tes dipstik ini berdasarkan aktivitas enzim esterase indoksil yang
dihasilkan oleh neutrofil, granulosit dan makrofag dan akan memberi nilai positif bila ada
paling sedikit 4 (empat) leukosit/LPB.

Nitrit. Dasar tes ini adalah adanya bakteri yang dapat mengubah nitrat menjadi nitrit
melalui enzim reduktase nitrat. Enzim ini banyak pada bakteri gram negatif dan tidak ada
pada bakteri jenis Pseudomonas, Staphylococcus albus dan Enterococcus. Tes ini
membutuhkan persiapan dengan diet kaya nitrat (sayuran) dan membutuhkan waktu reaksi
yang cukup di kandung kencing. Tes ini mempunyai sensitivitas rendah (20-80%) dan
spesifisitas + 90%.

Keton. Tes dengan metode dipstik menunjukkan adanya asam asetoasetat dan aseton.
Positif di urin pada penyakit asidosis diabetik, puasa, muntah ataupun olahraga yang
berlebihan. Tes ini berdasarkan reaksi keton dengan nitroprusid.

Mikroskopik Urin

Pemeriksaan mikroskopik ini akan melengkapi pemeriksaan urin secara kimiawi.

Metode. Urin pertama atau kedua pada pagi hari, dan untuk cegah kerusakan sel harus
segera diperiksa. Setelah disentrifugasi memakai alat hitung khusus, urin diperiksa dengan
mikroskop biasa atau fase kontras.

Sel Sel pada sedimen urin dapat berasal dari sirkulasi (eritrosit dan lekosit) dan dari traktus
urinarius (sel tubulus, epitel).

Eritrosit.

Eritrosit dalam urin ada 2 macam, yaitu: isomorfik, dismorfik. Eritrosit isomorfik berasal dari
traktus urinarius. Sedangkan dismorfik berasal dari glomerulus. Bila eritrosit dominan
dismorfik (>.80%) dari total eritrosit disebut hematuria glomerulus. Beberapa ahli
mengatakan bila terjadi "hematuria campuran" 50% isomorfik dan 50% dismorfik, sudah
dapat dikategorikan hematuria glomerulus.
Selain itu bila paling sedikit 5% terjadi akantositosis juga dapat disebut hematuria
glomerulus. Bagaimana terbentuknya dismorfik, masih terus diselidiki, namun disebutkan
bahwa adanya injuri 2 tempat, yaitu waktu eritrosit melewati membran basalis dan efek
fisikokimia selama melewati tubulus. Dalam kondisi normal eritrosit dapat dijumpai <
12.000 eritrosit/cc.

 PEMERIKSAAN FUNGSI GINJAL

Ginjal mempunyai fungsi bermacam-macam termasuk filtrasi glomerulus, reabsorbsi


dan sekresi dari tubulus, pengenceran dan pemekatan urin, pengasaman urin, serta
memproduksi dan memetabolisme hormon. Dari semua fungsi itu parameter untuk
mengetahui fungsi dan progresi penyakit adalah laju filtrasi glomerulus dan kemampuan
ekskresi.

Fungsi Filtrasi Glomerulus Kreatinin Plasma dan Bersihan Kreatinin

Manfaat klinis pemeriksaan LFG adalah:

 Deteksi dini kerusakan ginjal


 Pemantauan progresifitas penyakit
 Pemantauan kecukupan terapi ginjal pengganti
 Membantu mengoptimalkan terapi dengan obat tertentu

Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) adalah mengukur berapa banyak filtrat yang dapat
dihasilkan oleh glomerulus. Ini adalah pengukuran yang paling baik dalam menilai
fungsi ekskresi. Untuk setiap nefron, filtrasi dipengaruhi oleh aliran plasma, perbedaan
tekanan, luas permukaan kapiler dan permeabilitas kapiler Jadi LFG merupakan jumlah
dari hasil semua nefron (rata-rata 1 juta tiap ginjal).

Homer Smith adalah peneliti yang memberi nama renal clearance sebagai istilah
untuk menilai LFG. Standarisasi atau kalibrasi yang tidak seragam. Untuk menilai LFG
memakai Formula Cockcroft – Gault.

Untuk perempuan :
LFG = Nilai pada pria x 0.85

Untuk pria :

BB
(140 – umur) x( )
LFG = kg
72 x kreatinin serum( mg% )

 Pemeriksaan Radiologi

Foto polos abdomen atau KUB (kidney UreterBlader) adalah merupakan fotoskrining untuk
pemeriksaan kelainan – kelainan urologi.

 Sistografi

Sistografi bertujuan untuk mempelajari kandung kencing lebih rinci, misalnya


menentukan refluks ureter, fungsi dan anatomi kandung kencing. Pada kasus
trauma, sistografi dapat dilakukan untuk evaluasi perforasi kandung kencing, yang
sulit didiagnosis dengan cara lain. Kateter Foley dipasang dan kencing dikeluarkan.
Dengan bantuan fluoroskopi kontras disemprot melalui kateter Film pertama
diambil dari depan dan samping segera kontras masuk kandung kencing dan ini
sangat baik untuk mendeteksi ureterokel. Ketika kandung kencing tidak penuh, film
diambil dari macam-macam sudut dan refluks dapat diidentifikasi dengan metode ini.
Film-film kandung kemih pada saat pengosongan kontras juga penting untuk
diagnosis divertikel, jumlah urin sisa, dan pola mukosa kandung kencing

 Uretrografi

Uretrografi adalah pencitraan uretra dengan memakai bahan kontras. Bahan


kontrasdimasukkan langsung melalui meatus uretra eksterna sehingga jika terdapat strikura
pada uretra akan tampak adanya penyempitan atau hambatan kontras pada uretra. Adanya
ekstravisasi kontras pada trauma uretra atau adanya filling defect jika teerdapat tumor pada
uretra.

 Pielografi Retrograd (RPG)


Pielografi retrograd atau pyelography adalah pencitraan sistem urinari bagian atas dengan
cara memasukkan bahan kontras radiopak langsung melalui kateter ureter yang dimasukkan
kontras uretra.

 USG

Prinsip pemeriksaan USG adalah menangkap gelombang bunyi ultra yang dipantulkan oleh
organ-organ (jaringan) yang berbeda kepadatannya. Pemeriksaan ini tidak infasif dan tidak
menimbulkan efek radiasi.USGdapat membedakan antara masa padat (hiperekoid) dengan
masa kistus(hipoekoid), sedangkan batu non opak yang tidak dapat dideteksi foto rontgen
akan terdeteksi oleh USG sebagai echoic shadow.USG banyak dipakai untuk mencari
kelainan – kelainan pada ginjal, buli – buli, prostat, testis dan pemeriksaan pada kasus
keganasan.

 MRI

Pemeriksaan ini lebih baik daripada USG tetapi harganya masih sangat mahal. Kedua
pemeriksaan ini banyak dipakai dibidang onkologi untuk menentukan batas-batas tumor,
infasi ke organ di sekitas tumor dan mencari adanya metastasis ke kelenjar limfe serta
organ lain.

Referensi :

1. Alwi, Idrus. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. InternaPublishing. Jakarta
2. Rezi, Alik. 2013. Pemeriksaan Fisik Urologi dan Pemeriksaan Penunjang. Jakarta
3. Rauf, Syarifuddin., Aras, Jusli., Albar, Husein. 2012. Konsensus Glomerulonefritis
Akut Pasca Streptokokus. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai