NIM : C011181009
Kelas : 2018 A
MODUL GLOMERULONEFRITIS
Seorang perempuan berusia 50 tahun datang ke IRD rumah sakit dengan keluhan perut membesar dan
bengkak pada kaki yang dialami sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit.
Tugas
1. Pendekatan klinis (anamnesis, pemeriksaan fisis, penunjang) apalagi yang dibutuhkan pada
pasien ini
Anamnesis :
Sudah berapa lama ( onset )?
Apakah keluhannya hilang timbul atau menetap?
Apakah pernah mengalami hal yang sama sebelumnya?
Apa yang memperberat dan memperingan?
Apakah ada keluhan lain? (Seperti demam, sulit menelan, nyeri perut, mual, muntah,
gangguan buang air besar, berak darah)
Apakah ada riwayat penyakit yang lain? (misalnya hipertensi, penyakit jantung atau
sirosis hati)
Bagaimana dengan buang air kecilnya? (Berapa kali dalam sehari, volume, warna, bau,)
Apakah pernah mengkonsumsi obat sebelumnya?
Apakah merokok atau meminum alkohol?
Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga
Pemeriksaan Fisis :
TTV
Pemeriksaan regio costo-vertebralis (Inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi dan
transiluminasi)
Pemeriksaan Supra Pubik (Inspeksi, Palpasi, perkusi)
Pemeriksaan fisis edema untuk mengetahui apakah jenis edemanya pitting atau non-
pitting.
Pemeriksaan Penunjang :
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan urine :
- Dipstick analysis untuk mengetahui adanya eritrosit dan protein dalam urine
- Pemeriksaan secara biokimia
Pemeriksaan darah
- Pemeriksaan secara biokimia (kadar glukosa, elektrolit, urea, kreatinin, dan
immunoglobulin)
- Pemeriksaan mikrobiologi (kultur, serologi, ASTO) untuk mengetahui adanya
infeksi atau tidak
- Pemeriksaan immunologi (AGBM, ANCA, anti dsDNA, anti nuclear antibody, dan
cryoglobulin) untuk mengetahui adanya autoimun atau tidak
Ultrasonografi ginjal untuk menilai ukuran ginjal dan menyingkirkan kelainan lain
Biopsi ginjal
4. Sebutkan Secara garis besar dua mekanisme terjadinya kelompok penyakit diatas
Deposisi kompleks imun yang bersirkulasi di glomerulus
Glomerulus merupakan target deposisi kompleks imun. Antigennya dapat berasal secara
endogen (seperti pada SLE) atau eksogen (seperti pada infeksi Streptococcus). Hasil
reaksi imun tersebut terperangkap di glomerulus dan mengendap di subendotel dan
mesangium sehingga dapat mengaktivasi reaksi komplemen.
Reaksi imun in-situ di glomerulus
Reaksi imun langsung terjadi di glomerulus (antigen berasal dari glomerulus).
Seorang laki-laki berusia 20 tahun datang ke IRD rumah sakit dengan keluhan bengkak pada seluruh
badan yang dialami sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit.
Tugas
1. Pendekatan klinis (anamnesis, pemeriksaan fisis, penunjang) apalagi yang dibutuhkan pada
pasien ini
Anamnesis :
Apakah bengkaknya terjadi terus menerus atau ada kondisi yang dapat menurunkan edema
tersebut?
Apakah ada sesak napas utamanya malam hari atau pada saat beraktivitas?
Apakah ada urine yang berwarna merah atau gangguan lain pada saat berkemih?
Apakah ada nyeri pinggang?
Apakah ada riwayat infeksi saluran napas seperti pharyngitis?
Apakah ada riwayat gatal gatal atau merah pada kulit?
Apakah ada rasa sakit kepala atau nyeri tengkuk?
Apakah ada riwayat hipertensi atau penyakit jantung lainnya?
Apakah ada demam, mual, dan muntah?
Apakah ada riwayat minum obat?
Apakah ada riwayat keluarga yang pernah menderita bengkak seluruh tubuh?
Apakah ada riwayat penyakit terdahulu lainnya seperti diabetes mellitus atau penyakit
penyakit autoimun seperti lupus?
Pemeriksaan fisis :
Pemeriksaan ini berguna untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi saluran kemih maupun
pielonefritis
Pemeriksaan penunjang :
Pemeriksaan urin : Eksresi protein, rasio protein-creatinin, rasio albumin-creatinin, dan creatinin
clearens. Selain itu pemeriksaan sedimen urine seperti leukosit, eritrosit, cast, bakteri ataupun
kristal.
Pemeriksaan darah rutin dan kimia darah seperti elektrolit, ureum, serum creatinin, glukosa,
serum albumin, dan fraksi lipid
Pemeriksaan mikrobiologi seperti kultur darah, ASTO, hepatitis A serology, hepatitis B serology,
dan HIV. Pemeriksaan ini untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi yang berakibat pada
glomerulonefritis
Tes serologi seperti ANA, Anti-ds DNA, ANCA, AntiGBM antibodies, serum dan urine
elektrophoresis serta cryoglobulin
Patogenesis sindroma nefrotik didasarkan pada mekanisme imunologik yang menyebabkan salah satu
dari dua jalur patogenesis yaitu, teori elektrokemik yang menyebabkan minimal change disease dan
teori soluble antigen-antibody complex yang menyebabkan non sindroma nefrotik minimal change
disease. Teori elektrokemik menjelaskan bahwa membran basalis glomerulus kehilangan ion negatifnya
akibat mekanisme imunologik sehingga terjadi proteinuria yang berat tanpa adanya kerusakan
signifikan pada sawar filtrasi secara histopatologik sehingga tidak ditemukan hematuria dan pada
pemeriksaan komplemen tidak ditemukan C3 serum yang rendah. Untuk teori yang kedua menjelaskan
tentang adanya kompleks antigen dan antibodi yang terdeposit dalam membran basalis glomerulus
sehingga terjadi perubahan signifikan pada hasil histopatologi ginjal serta dikaitkan dengan sindroma
nefrotik yang disertai dengan hematuria dan C3 serum yang rendah. Patofisiologi terkait dengan edema
melibatkan dua teori yaitu :
a. Underfilling theory yang menjelaskan bahwa edema terjadi karena proteinuria yang berat sehingga
terjadi hipoalbuminemia. Hal ini menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma dan ekstravasasi
cairan ke interstisial. Kondisi ini memicu terjadinya hipovolemia sehingga konsentrasi air dan natrium
yang melewati sel makula densa juga ikut menurun, akibatnya terjadi sekresi renin oleh sel
juxtaglomerular diikuti dengan aktifnya sistem renin angiotensin dan aldosteron serta peningkatan
hormon ADH. Seluruh mekanism tersebut pada akhirya akan menghasilkan retensi air yang
memperparah edema pada pasien sindroma nefrotik. Keadaan retensi air juga dipicu oleh rendahnya
atrial natriuretic peptide (ANP) dan penurunan sensitivitas ginjal terhadap ANP.
b. Overfilling theory menjelaskan penyebab edema adalah defek tubuler yang primer atau idiopatik.
Kondisi ini mengakibatkan retensi air dan natrium. Walaupun RAAS tidak aktif pada jalur ini dan sekresi
ANP juga meningkat, namun sama sekali tidak memberikan efek remisi terhadap retensi tersebut
disebabkan terjadi defek yang berujung pada penurunan sensitivitas ginjal untuk merespon ANP.
Patofisiologi hiperlipidemia sendiri dapat dijelaskan sebagai upaya hati untuk menyeimbangkan protein
yang kurang sehingga hati menjalankan proses sintesis lipoprotein VLDL yang secara tidak langsung pula
mengakibatkan peningkatan IDL dan LDL. Pada sindroma nefrotik juga didapatkan penurunan aktivitas
lipoprotein lipase (LPL) dan lesitin kolesterol asil transferase (LCAT) yang memperparah keadaan
hiperlipidemia. Sebagian kasus sindroma nefrotik menunjukkan suatu hiperkoagulabilitas yang dapat
dijelaskan dengan mekanisme sintetik hati yang meningkat dan sangat beresiko terhadap terbentuknya
thromboembolisme. Acute kidney injury dapat terjadi pada penderita sindroma nefrotik disebabkan
deplesi volume, acute tubular necrosis, acute allergic nephritis akibat dosis tinggi diuretik, ataupun
edema anasarka yang juga berkaitan dengn intrarenal edema.
Dalam proses pemberian diuretik dosis tinggi, dilakukan monitor kalium serum. Jika terjadi
hipokalemia maka dapat diberikan suplemen kalium ataupun spironoloctone 50-200 mg/hari.
Untuk managemen hiperlipidemia dapat dilakukan dengan retriksi konsumsi makanan yang
mengandung tinggi kolesterol dan SFA serta dapat diindikasikan pemberian obat golongan statin
(HMG-CoA reductase inhibitor)