Anda di halaman 1dari 17

Infeksi Bakteri Leptospira pada Manusia

Nicholas Jeremy Maruli


102016227

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Jalan Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat 11510

Abstrak
Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh infeksi dari spesies Leptospira,
famili Leprospiraceae ordo Spirochaetales yang patogen, yang kemudian bermanifestasi
sebagai demam akut. Infeksi pada manusia pada umumnya disebabkan oleh roden (misalnya
tikus), kadang-kadang babi dan anjing. Organisme ini hidup di air sehingga air merupakan
sarana penular pada munasia. Sebagian besar kasus leptospirosis akan sembuh sempurna,
walaupun sekitar sepuluh persen diantaranya dapat bersifat fatal. Mortalitas meningkat
apabila didapatkan gejala ikterus, gagal ginjal, dan perdarahan. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan gejala klinis, diagnosis pasti apabila ditemukan organisme dalam darah atau urin
pada pemeriksaan dark-groun microscope, biakan darah dan urin, uji aglutinasi, serta
imunoglobuln. Antibiotik golongan penisilin dapat diberikan untuk pengobatan leptospirosis.
Perawatan diperlukan apabila terdapat komplikasi.
Kata kunci: demam akut, ikterus, penisili

Abstract
Leptospirosis is a zoonotic disease caused by infection of the species of Leptospira, family
Leprospiraceae order Spirochaetales the pathogen, manifest as an acute fever. Infection in
humans is generally caused by a rodent (eg, rat), sometimes pigs and dogs. These organisms
live in water so that the water is a means of transmitting the munasia. Most cases of
leptospirosis will recover completely, although about ten percent of which can be fatal.
Mortality increases when found symptoms of jaundice, kidney failure, and bleeding.
Diagnosis based on clinical symptoms, the diagnosis is uncertain if the organism is found in
blood or urine in dark-groun microscope examination, blood cultures and urine,
agglutination test, and imunoglobuln .. penicillin group antibiotics can be administered for
the treatment of leptospirosis. Care is needed if there are complications.
Keywords: acute fever, jaundice, penisili

Pendahuluan
Insiden infeksi merupakan pola yang selalu berubah. Infeksi disebarkan melalui cara-
cara: melalui udara (airborne), usus (intestinal), kontak langsung, jalur kelamin, gigitan
serangga atau hewan, melalui darah (blood-borne). Ada pula cara penyebaran penyakit lewat
air dan tanah yang terkontaminasi hewan tertentu. Sebagai contoh, leptospira yang
diekskresikan dalam urin tikus dapat mengkontaminasi air yang tergenang dan selanjutnya
menembus kulit saat manusia berendam dalam air.1 Penyakit yang disebabkan oleh mikro
organisme leptospira adalah leptospirosis. Leptospirosis sering kali luput didiagnosa karena
gejala klinis tidak spesifik, dan sulit dilakukan konfirmasi diagnosa tanpa uji laboratorium.
Makalah ini diharapkan dapan membantu penulis dan pembaca mengerti mengenai
penyakit infeksi yang difokuskan pada leptospirosis dalam hal anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang, working diagnosis, differential diagnosis, etiologi, epidemiologi,
penularan, patogenesis, manifestasi klinik, pengobatan, prognosis, dan pencegahan. Dengan
demikian, penegakan diagnosis mengenai leptospirosis dapat dilakukan dengan baik.

Anamnesis
Anamnesis adalah wawancara yang dapat mengarahkan masalah pasien ke diagnosis
penyakit tertentu. Anamnesis memiliki tujuan untuk menentukan diagnosis kemungkinan
sehingga membantu menentukan langkah pemeriksaan selanjutnya, termasuk pemeriksaan
fisik dan penunjang. Anamnesis dapat langsung dilakukan terhadap pasien (auto-anamnesis)
atau terhadap keluarganya atau pengantarnya (alo-anamnesis) bila keadaan pasien tidak
memungkinkan untuk diwawancarai.

Anamnesis yang baik akan terdiri dari:


1. Identitas
2. Keluhan utama
3. Riwayat penyakit sekarang
4. Riwayat penyakit dahulu
5. Riwayat penyakit dalam keluarga
6. Riwayat pribadi
Identitas meliputi nama lengkap pasien, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
alamat, pendidikan, pekerjaan, suku bangsam dan agama. Keluhan utama adalah keluhan
yang dirasakan pasien yang membawa pasien pergi ke dokter. Riwayat penyakit sekarang
merupakan cerita yang kronologis, terinci dan jelas mengenai keadaan kesehatan pasien
sejak sebelum keluhan utama sampai pasien datang berobat. Riwayat penyakit dahulu
bertujuan untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan adanya hubungan antara penyakit
yang pernah diderita dengan penyakitnya sekarang. Riwayat penyakit keluarga penting untuk
mencari kemungkinan penyakit herediter, familial atau penyakit infeksi. Riwayat pribadi
meliputi data-data sosial, ekonomi, pendidikan, dan kebiasaan.

Sehingga pada penanganan dari pasien yang menderita leptospirosis harus dimulai
dengan anamnesis yang meliputi riwayat secara menyeluruh dan pemeriksaan fisik. Perhatian
terutama harus ditujukan pada segala kondisi yang berkaitan dengan infeksi penyakit.
Walaupun gejala yang ditimbulkan bervariasi, tetapi secara garis besar sama. Anamnesis
pasien dalam kasus sebagai berikut :

Seorang laki-laki berusia 30 tahun demam tinggi sejak 7 hari yang lalu. Demam naik turun .
Demam juga disertai nyeri pada paha dan betis dan nyeri perut pada ulu hati. Pasien juga
mengeluh BAK kuning seperti teh. Pasien tinggal di lingkungan padat lingkungan dan
sanitasi yang kurang.

Anamnesis yang dilakukan dengan baik dan lengkap oleh seorang dokter bertujuan
sebagai data yang diperlukan seorang dokter dalam menduga serta memperkirakan suatu
penyakit yang dialami oleh pasien yang datang, sehingga dapat diambil langkah selanjutnya
dalam pemeriksaan klinis atau pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik mempunyai nilai yang sangat penting untuk memperkuat temuan-temuan
dalam anamnesis. Teknik pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan visual atau pemeriksaan
pandang (inspeksi), pemeriksaan raba (palpasi), pemeriksaan ketok (perkusi), dan
pemeriksaan dengar dengan menggunakan stetoskop (auskultasi) serta mengecek kesadaran
(Kompos mentis, apatis, delirium, somnolen, spoor (stupor), koma), dan keadaan umum.
Sikap sopan santun dan rasa hormat terhadap tubuh dan pribadi pasien yang sedang diperiksa
harus diperhatikan dengan baik oleh pemeriksa.
Salah satu pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah dengan memeriksa tanda-tanda
vital. Tanda-tanda vital adalah nadi, pernapasan, suhu, dan tekanan darah. Semua harus
diukur dalam setiap pemerikaan yang lengkap dan dalam banyak pertemuan vital.
Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut vital karena mengandung ukuran-ukuran klinis kuantitatif.
Selain tanda-tanda vital, ada beberapa pemeriksaan lain yang dapat dilakukan.
Pemeriksaan itu salah satunya dengan melakukan observasi kelopak mata dan inspeksi sklera
serta konjungtiva tiap-tiap mata. Selain itu, pemeriksaan abdomen juga dilakukan dengan
menginspeksi, auskultasi, dan perkusi. Palpasi abdomen dengan lembut, kemudian lakukan
palpasi dalam. Lakukan pemeriksaan hepar dan lien denngan perkusi dan kemudian palpasi.
Coba meraba kedua ginjal. Pada pemeriksaan ekstremitas bawah yang dilakukan dalam posisi
berbaring, lakukan pula tes rasa nyeri.
Pada pemeriksaan fisik dalam kasus ini ditemukan kesadaran compos mentis, keadaan
umum tampak sakit sedang, TD= 110/75 mmHg, frekuensi nadi 78×/menit, suhu 38˚ C, RR=
20×/menit. Pada abdomen nyeri tekan ulu hati, hepar teraba 2 jari dibawah arcus costae. Pada
kedua betis terdapat nyeri tekan.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan laboratorium sebagai berikut:

1. Hemoglobin (Hb): Prosedur pengambilan sampelnya tidak ada pembatasan pada


asupan makanan atau minuman. Selain itu, turniket yang terpasang harus kurang dari
satu menit. Bila pengambilan darah lewat darah vena, darah yang dikumpulkan
berjumlah 3 sampai 5 ml dalam tabung tertutup lembayung. Kadar normal Hb adalah
pria dewasa: 13.5-17 g/dl, wanita dewasa: 12-15 g/dl, bayi baru lahir: 14-24 g/dl,
bayi: 10-17 g/dl, anak: 11-16 g/dl.
2. Hematokrit (Ht): Prosedur pengambilan sampelnya tidak ada pembatasan pada asupan
makanan atau minuman. Selain itu, turniket yang terpasang harus kurang dari dua
menit. Bila pengambilan darah lewat darah vena, darah yang dikumpulkan berjumlah
3 sampai 5 ml dalam tabung tertutup lembayung. Kadar normal Ht adalah pria
dewasa: 40-54%, wanita dewasa:36-46%, bayi baru lahir: 44-65%, usia 1 sampai 3
tahun: 29-40%, usia 4-10 tahun: 31-43%.
3. Sel darah putih (Leukosit): Untuk mengkaji nilai sel darah putih adalah dari hitung
darah lengkap. Hal ini dilakukan untuk menentukan adanya infeksi. Jumlah normal
sel darah putih adalah dewasa: 4500-10000 µl, bayi baru lahir: 9000-30000 µl, usia 2
tahun: 6000-17000 µl, usia 10 tahun: 4500-13500 µl.
4. Trombosit: Prosedur pengambilan sampelnya tidak ada pembatasan pada asupan
makanan atau minuman. Bila pengambilan darah lewat darah vena, darah yang
dikumpulkan berjumlah 3 sampai 5 ml dalam tabung tertutup lembayung. Jumlah
normal trombosit adalah dewasa: 150000-400000 µl, prematur: 100000-300000 µl,
bayi baru lahir: 150000-300000 µl, bayi: 200000-475000 µl.
5. Albumin dan globulin: Prosedur pengambilan sampelnya tidak ada pembatasan pada
asupan makanan atau minuman. Pengambilan darah vena sebanyak 5-7 ml ditampung
dalam tabung bertutup merah, cegah terjadinya hemolisis. Kadar normal albumin
adalah 3.5-5.0 g/dl, kadar normal globulin adalah 1.5-3.5 g/dl.
6. Bilirubin total: Prosedur pengambilan sampelnya harus dengan status puasa kecuali
asupan air. Pengambilan darah lewat darah vena, darah yang dikumpulkan 3 sampai 5
ml dalam tabung bertutup merah. Kadar normal bilirubin total adalah dewasa: 0.1-1.2
mg/dl, bayi baru lahir: 1-12 mg/dl, anak: 0.2-0.8 mg/dl.
7. Ureum: Prosedur pengambilan sampelnya dianjurkan puasa selama 8 jam
sebelumnya. Pengambilan darah lewat darah vena, darah yang dikumpulkan 3 sampai
5 ml di tabung bertutup merah, cegah terjadinya hemolisis. Kadar normal ureum
adalah dewasa: 5-25 mg/dl, bayi: 5-15 mg/dl, anak 5-20 mg/dl, lansia: nilai ditemukan
sedikit lebih tinggi daripadap dewasa.
8. Kreatinin: Prosedur pengambilan sampelnya pada malam sebelum uji dilakukan,
pasien tidak boleh mengonsumsi daging merah. Pengambilan darah lewat darah vena,
darah yang dikumpulkan 3 sampai 5 ml di tabung bertutup merah. Kadar normal
kreatinin adalah dewasa: 0.5-1.5 mg/dl (wanita kadarnya lebih rendah karena massa
ototnya yang lebih kecil), bayi baru lahir: 0.8-1.4 mg/dl, bayi: 0.7-1.7 mg/dl, anak (2-
6 tahun): 0.3-0.6 mg/dl, anak yang lebih tua: 0.4-1.2 (kadar agak meningkat seiring
bertambahnya usia, akibat pertambahan massa otot), lansia: kadarnya berkurang
akibat penurunan massa otot dan penurunan produksi kreatinin.
Dalam skenario, jumlah Hb (13 g/dl), Ht (40%), dan leukosit (4000 µl) pasien kurang
dari normal. Jumlah trombosit (220000 µl).

Working Diagnosis

Pada anamnesis didapatkan berbagai ciri-ciri klinik penyakit. Gejala atau keluhan
didapati demam, nyeri otot, mual dan muntah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa diagnosis
pada kasus dalam skenario ialah Leptospirosis.
Kasus leptospirosis ini kemudian ditegakan dengan pemeriksaan laboratorium darah
rutin bisa dijumpai lekositosis, normal atau sedikit menurun dan laju endap darah yang
meninggi. Pada urin dijumpai proteinuria, leukosituria dan torak (cast). Bila organ hati
terlibat, bilirubin direk meningkat tanpa peningkatan transaminase. BUN, ureum, dan
kreatinin juga bisa meninggi bila terjadi komplikasi pada ginjal. Trombositopenia terdapat
pada 50% kasus. Diagnosis pasti dengan isolasi leptospira dari cairan tubuh dan serologi.

Differential Diagnosis

Berikut ini merupakan diagnosis banding dari leptospirosis:

1. Hepatitis.
Hepatitis virus merupakan penyakit sistemik yang terutama mengenai hati.
Salah satu tipe hepatitis virus akut pada salah anak dan orang dewasa disebabkan oleh
virus hepatitis A (HAV) yang merupakan penyebab hepatitis virus tipe A (hepatitis
infeksius).

2. Demam tipoid
Demam tipoid ialah infeksi akut pada saluran pencernaan yang disebabkan oleh
Salmonella typhi. Demam tipoid menyerang penduduk di semua Negara. Seperti penyakit
menular lainnya, tipoid banyak di temukan di Negara berkembang yang sanitasi
lingkungannya kurang baik. Meskipun demam tipoid menyerang semua umur, namun
golongan terbesar tetap usia kurang dari 20 tahun. Penularan penyakit ini ialah melalui air
dan makanan. Kuman salmonela dapat bertahan lama dalam makanan. Serangga sebagai
vector juga berperan dalam penularan penyakit.
Salmonella ialah bakteri gram negatife, tidak berkapsul, menpunyai flagella dan tidak
membentuk spora. Kuman ini mempunyai antigen yang penting untuk pemeriksaan
laboratorium yaitu antigen O, H, dan K. Bakteri ini akan mati pada pemanasan 57˚ C selama
beberapa menit. Masa inkubasinya adalah 10-20 hari.

Kuman Salmonela typhi masuk dalam tubuh melalui makanan yang telah
terkontaminasi. Sebagian kuman mati di lambung dan sebagian lagi bertahan dan sampai
diusus. Kuman kemudian masuk ke lamina propria dan difagositosis oleh makrofag. Kuman
berkembang biak didalam makrofag yang selanjutnya dibawa ke plaque penyeri di ileum
distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterium lalu melalui ductus torasikus
masuk ke peredaran darah (bakterimia asimptomatik). Kuman lalu masuk ke oragan
retikuloendotelial sel, terutama hati dan limpa. Di organ ini kuman keluar dari makrofag
masuk ke sinusoidnya lalu masuk kembali ke dalam darah (bacteremia simptomatik). Dalam
hati kuman masuk ke empedu dan masuk ke usus, sebagian dikeluarkan dengen feses
sebagian lagi melalui siklus dari awal lagi. Makrofag yang memfagositosis kuman kemudian
mengeluarkan mediator inflamasi yang menyebabkan gejala.

Demam lebih dari tujuh hari adalah gejala yang paling menonjol. Demam ini sifatnya ialah
meningkat perlahan-lahan terutama pada sore dan malam hari. Demam ini bias diikuti oleh
gejala khas lainnya yaitu diare, anoreksia, mual, muntah, batuk dan epiktasis. Pada kondisi
yang parah dapat terjadi gangguan kesadaran. Komplikasi yang bias terjadi ialah perforasi
usus, pendarahan usus dan koma. Diagnosis ditegakkan bila ditemukan salmonella dalam
dalam melalui kultur. Pemeriksaan serologi widal untuk mendekteksi antigen O dan H. Titer
lebih besar atau sama dengan 1/40 maka dianggap positif demam tifoid.

Etiologi

Gambar 1. Leptospira.
Leptospirosis disebabkan oleh spiroketa genus leptospira. Leptospira bentuknya
bergelung, tipis, dan fleksibel dengan panjang 5-15 µm; spiral yang sangat halus dengan lebar
0,1-0,2 µm; ujung sel kuman seringkali bengkok yang membentuk seperti pancingan. Kuman
ini bergerak sangat aktif, yang paling baik dilihat dengan menggunakan mikroskop lapangan
gelap. Mikrograf elektron menunjukkan filamen alsial yang tipis dan membran yang lembut.
Spiroketa bentuknya juga halus sehingga pada pandangan lapangan gelap tampak hanya
sebagai rantai kokus kecil. Leptospira tidak dapat diwarnai dengan mudah tetapi dapat
diwarnai dengan impregnasi perak. Leptospira tumbuh baik di lingkungan aerob pada suhu
28-30oC dalam mediumsemisolid yang berisi serum (medium Fletch, Stuart, dan lain-lain).
Sistem klasifikasi tradisional leptospira dibuat berdasarkan pada spesifitas biokimia
dan serologi untuk membedakan antara spesies yang patogen (Leptospira interrogans) dan
spesies tidak patogen yang hidup bebas (Leptospira biflexa). Spesies ini kemudian dibagi lagi
menjadi lebih dari 200 servoar Leptospira interrogans dan lebih dari 60 servoar Leptospira
biflexa. Servoar tersebut kemudian disusun ke dalam serogrup Leptospira interrogans dan
serogrup Leptospira biflexa yang didasarkan pada antigenisitas yang dibagi dan terutama
untuk penggunaan laboratorium.
Menurut beberapa peneliti, yang tersering menginfeksi manusia ialah Leptospira
icterohaemorrhagica dengan reservoir tikus, Leptospira canicola dengan reservoar anjing,
dan Leptospira pomona dengan reservoar sapi dan babi.

Epidemiologi

Leptospirosis tersebar di seluruh dunia, di semua benua kecuali benua Antartika


namun terbanyak didapati di daerah tropis. Leptospira bisa terdapat pada binatang peliharaan
seperti anjing, babi, lembu, kuda, kucing, marmut, atau binatang-binatang pengerat lainnya
seperti tupai, musang, kelalawar, dan lain sebagainya. Di dalam tubuh binatang tersebut,
leptospira hidup di dalam ginjal / air kemihnya. Tikus yang merupakan vektor utama dari
Leptospira icterohaemorrhagica penyebab leptospirosis pada manusia. Dalam tubuh tikus,
leptospira akan menetap dan membentuk koloni serta berkembang biak di dalam epitel
tubulus ginjal tikus dan secara terus menerus ikut mengalirdalam filtrat urine. Penyakit ini
bersifat musiman, di daerah beriklim sedang masa puncak insidens dijumpai pada musim
panas dan musim gugur karena temperatur adalah faktor yang mempengaruhi kelangsungan
hidup leptospira, sedangkan di daerah tropis insiden tertinggi terjadi selama musim hujan.

Leptospirosis mengenai paling kurang 160 spesies mamalia. Ada berbagai jenis
pejamu dari leptospira, mulai dari mamalia berukuran kecil dimana manusia dapat kontak
dengannya, misalnya landak, kelinci, tikus sawah, tikus rumah, tupai, musang, sampai dengan
reptil (berbagai jenis katak dan ular), babi, sapi, kucing, dan anjing. Binatang pengerat
terutama tikus merupakan reservoir paling banyak. Leptospira membentuk hubungan
simbiosis dengan penjamunya dan dapat menetap dalam tubulus renalis selama berbulan-
bulan bahkan bertahun-tahun.
International Leptospirosis Society menyatakan Indonesia sebagai negara dengan
insiden leptospirosis tinggi dan peringkat ketiga di dunia untuk mortalitas. Di Indonesia,
leptospirosis ditemukan di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Lampung,
Sumatera Selatan,Bengkulu, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat. Pada kejadian banjir
besar di Jakarta tahun 2002, dilaporkan lebih dari seratus kasus leptospirosis dengan 20
kematian.

Penularan

Manusia dapat terinfeksi melalui kontak dengan air, atau tanah, lumpur yang telah
terkontaminasi oleh urine binatang yang telah terinfeksi leptospira. Infeksi tersebut terjadi
jika terjadi luka/erosi pada kulit maupun selaput lendir. Air tergenang atau mengalir lambat
yang terkontaminasi urine binatang infeksius memainkan peranan dalam penularan penyakit
ini, bahkan air yang deraspun dapat berperan. Kadang-kadang penyakit ini terjadi akibat
gigitan binatang yang sebelumnya terinfeksi leptospira, atau kontak dengan kultur leptospira
di laboratorium. Ekspos yang lama pada genangan air yang terkontaminasi terhadap kulit
yang utuh juga dapat menularkan leptospira. Orang-orang yang mempunyai risiko tinggi
mendapatkan penyakit ini adalah pekerja-pekerja di sawah, pertanian, perkebunan,
peternakan, pekerja tambang, pekerja di rumah potong hewan, orang-orang yang mengadakan
perkemahan di hutan, dokter hewan.

Patogenesis

Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir, memasuki aliran
darah dan berkembang, lalu menyebarkan secara luas ke jaringan tubuh. Kemudian terjadi
respon imunologi baik secara selular maupun humoral sehingga infeksi ini dapat ditekan dan
terbentuk antibodi spesifik. Walaupun demikian, beberapa organisme ini masuh bertahan
pada daerah yang terisolasi secara imunologi seperti di dalam ginjal dimana sebagian
mikroorganisme akan mencapai convoluted tubules, bertahan disana dan dilepaskan melalui
urin. Leptospira banyak dijumpai dalam air kemih sekitar 8 hari sampai beberapa minggu
setelah infeksi dan sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun kemudian. Leptospira
dapat dihilangkan dengan fagositosis dan mekanisme humoral. Kuman ini dengan cepat
lenyap dari darah setelah terbentuknya aglutinin. Setelah fase leptospiremia 4-7 hari,
mikroorganisme hanya dapat ditemukan dalam jaringan ginjal dan okuler. Leptospiuria
berlangsung 1-4 minggu. Tiga mekanisme yang terlibat pada patogenesis leptospirosis: invasi
bakteri langsung, faktor inflamasi nonspesifiik, dan reaksi imunologi.

Dalam perjalanan pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksin yang


bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologi pada beberapa organ. Lesi yang muncul
terjadi karena kerusakan pada lapiran endotel kapiler. Pada leptospirosis terdapat perbedaan
antara derajatgangguan fungsi organ dengan kerusakan secara histologik. Pada leptospirosis
lesi histologik yang ringan ditemukan pada ginjal dan hati pasien dengan kelainan fungsional
yang nyata dari organ tersebut. Perbedaan ini menunjukkan bahwa kerusakan bukan pada
struktur organ. Lesi inflamasi menunjukkan edema dan infiltrasi sel monosit, limfosit, dan sel
plasma. Pada kasus yang berat terjadi kerusakan kapiler dengan perdarahan yang luas dan
disfungsi hepatoseluler dengan retensi bilier. Selain di ginjal leptospirs juga dapat bertahan
pada otak dan mata. Leptospira dapat masuk ke cairan serebrospinalis pada fase
leptospiremua. Hal ini akan menyebabkan meningitis yang merupakan gangguan neurologi
terbanyak yang terjadi sebagai komplilasi leptospirosis. Organ-organ yang sering dikenai
leptospira adalah ginjal, hati, otot, dan pembuluh darah. Berikut kelainanspesifik pada organ:

1. Ginjal: Interstisial nefritis dengan infiltrasi sel mononuklear merupakan bentuk lesi
pada leptospirosis yang dapat terjadi tanpa gangguan fungsi ginjal. Gagal ginjal
terjadi akibat tubular nekrosis akut. Adanya pernan nefrotoksin, reaksi imunologis,
iskemia ginjal, hemolisis, dan invasi langsung mikroorganisme juga berperan
menimbulkan kerusakan ginjal.
2. Hati: Menunjukkan nekrosis sentilobuler fokal dengan infiltrasi sel limfosir fokal dan
proliferasi sel Kupfer dengan kolestatis. Pada kasus-kasus yang diotopsi, sebagian
ditemukan leptospira dalam hepar. Biasanya organisme ini terdapat diantara sel-sel
parenkim.
3. Jantung: epikardium, endokardium, dan miokardium dapat terlibat. Kelainan
miokardium dapat fokal atau difus berupa interstisial edema dengan infiltrasi sel
mononuklear dan plasma. Nekrosis berhubungan dengan infiltrasi neutrofil. Dapat
terjadi pendarahan fokal pada miokardium dan endokarditis.
4. Otot rangka: Pada otot rangka, terjadi perubahan-perubahan berupa lokal nekrotis,
vakuolisasi, dan kehilangan striata. Nyeri otot yang terjadi pada leptospira disebabkan
invasi langsung leptospira. Dapat jiga ditemukan antigen leptospira pada otot.
5. Mata: Leptospira dapat masuk ruang anterior dari mata selama fase leptospiremia dan
bertahan beberapa bulan walaupun antibodi yang terbentuk cukup tinggi. Hal ini akan
menyebabkan uveitis.
6. Pembuluh darah: terjadi perubahan pada pembuluh darah akibat terjadinya vakulitis
yang akan menimbulkan perdarahan. Sering ditemukan perdarahan pada mukosa,
permukaan serosa, dan alat-alat viscera dan perdarahan bawah kulit.
7. Susunan saraf pusat: Leptospira mudah masuk ke dalam cairan serebrospinal (CSS)
dan dikaitkan dengan terjadinya meningitis. Meningitis terjadi sewaktu terbentuknya
respon antibodi, tidak pada saat memasuki CSS. Diduga bahwa terjadinya meningitis
diperantarai oleh mekanisme imunologis. Terjadi penebalan meninges dengan sedikit
peningkatan sel mononuklear arakhnoid. Meningitis yang terjadi adalah meningitis
aseptik, biasanya paling sering disebabkan oleh Leptospira canicola.
8. Weil Disease: Weil disease adalah leptospirosis berat yang ditandai dengan ikterus,
biasanya disertai perdarahan, anemia, azotemia, gangguan kesadaran, dan demam tipe
kontinua. Penyakit weil ini biasanya terdapat pada 1-6% kasus dengan leptospirosis.
Penyebab weil disease adalah serotipe icterohaemorragica pernah juga dilaporkan
oleh serotipe copenhageni dan bataviae. Gambaran klinis bervariasi berupa gangguan
renal, hepatik, atau disfungsi vaskular.

Manifestasi Klinik

Masa inkubasi leptospirosis adalah 2-26 hari, biasanya 7-13 hari, dan rata-rata 10 hari.
Leptospirosis sendiri mempunyai dua fase penyakit yang khas yaitu fase leptospiremia dan
fase imun.

Fase leptospiremia ditandai dengan adanya leptospira di dalam darah dan cairan
serebrospinal, berlangsung secara tiba-tiba dengan gejala awal sakit kepala biasanya di
frontal, rasa sakit pada otot yang hebat terutama pada paha, betis, dan pinggang disertai nyer
tekan. Mialgia dapat diikuti dengan hiperestesu kulit, demam tinggi yang disertai menggigil,
juga didapati mual dengan atau tanpa muntah disertai penurunan kesadaran. Pada
pemeriksaan keadaaan sakit berat, brakikardi relatif, dan ikterus (50%). Pada hari ke 3-4
dapat dijumpai adanya konjungtiva suffisiondan fotofobia. Pada kulit dapat dijumpai rash
yang berbentuk makular, makulopapular atau urtikaria. Kadang-kadang dijumpai
splenomegali, hepatomegali, serta limfadenopati. Fase ini berlangsung 4-7 hari. Jika cepat
ditangani pasien akan membaik, suhu akan kembali normal, penyembuhan organ-organ yang
terlibat dan fungsinya kembali normal 3-6 minggu setelah onset. Pada keadaan sakit yang
lebih berat demam turun setelah 7 hari diikuti oleh bebas demam selama 1-3 hari, setelah itu
terjadi demam kembali. Keadaan ini disebut fase kedua atau fase imun.

Fase imun ditandai dengan peningkatan titer antibodi, dapat timbul demam yang
mencapai suhu 40˚ C disertai menggigil dan kelemahan umum. Terdapat rasa sakit yang
menyeluruh padaleher, perut, dan otot-otot kaki terutama otot betis. Terdapat pendarahan
berupa epistaksis, gjala kerusakan pada ginjal dan hati, uremia, ikterik. Pendarahan paling
jelas terlihat pada fase ikterik, purpura, ptechiae, epistaksis, perdarahan gusi merupakan
manifestasi perdarahan yang paling sering. Conjunctiva infection dan conjungtival suffusion
dengan ikterus merupakan tanda patognomosis untuk leptospirosis.

Terjadinya meningitis merupakan tanda pada fase ini, walaupun hanya 50% gejala
dan tanda meningitis, tetapi pleositosis pada CSS dijumpai pada 50-90% pasien. Tanda-tanda
meningeal dapat menetap dalam beberapa minggu, tetapi biasanya menghilang setelah 1-2
hari. Pada fase ini leptospira dapat dijumpai di urin.

Pengobatan
Pengobatan suportif dengan observasi ketat untuk mendeteksu dan mengatasi keadaan
dehidrasi, hipotensi, perdarahan, dan gagal ginjal sangat penting pada leptospirosis.
Gangguan fungsi ginjal umumnya dengan spontan akan membaik dengan membaiknya
kondisi pasien. Namun pada beberapa pasien membutuhkan tindakan hemodialisis temporer
Pemberian antibiotik harus dimulai secepat mungkin biasanya pemberian dalam 4 hari
setelah onset cukup efektif. Untuk kasus leptospirosis berat, pemberian intravena penisilin G,
amoksisilin, ampisilin, atau eritromisin dapat diberikan. Sedangkan untuk kasus-kasus ringan
dapat diberikan antibiotika oral tetrasiklin, doksisilin, ampisilin, amoksisilin, maupun
sefalosporin.
Tabel 1. Pengobatan dan Kemoprofilaksis Leptospirosis.
Indikasi Regimen Dosis
Leptospirosis ringan Doksisilin 2 x 100 mg
Ampisilin 4 x 500-750 mg
Amoksisilin 4 x 500 mg
Leptospirosis sedang dan Penisilin G 1.5 juta unit / 6 jam (IV)
berat Ampisilin 1 gram / 6 jam (IV)
Amoksisilin 1 gram / 6 jam (IV)
Kemoprofilaksis Doksisiklin 200 mg/minggu
Pada absorbsi penisilin G, bila dibandingkan dengan dosis oral terhadap
intramuskular, maka untuk mendapatkan kadar efektif dalam darah, dosis penisilin G oral
haruslah 4 sampai 5 kali lebih besar daripada dosis intramuskular. Oleh karena itu penisilin G
tidak dianjurkan diberikan secara oral. Jumlah ampisilin dan senyawa sejenisnya yang
diabsorbsi pada pemberian oral dipengaruhi besarnya dosis dan ada tidaknya makanan dalam
saluran cerna. Dengan dosis lebih kecil persentase yang diabsorbsi relatif besar. Absorbsi
amoksisilin di saluran cerna jauh lebih baik daripada ampisilin, dengan dosis yang sama,
amoksisilin mencapai kadar dalam darah yang tingginya kira-kira 2 kali lebih tinggi daripada
yang dicapai ampisilin. Penyerapan amoksisilin terhambat oleh adanya makanan di lambung,
sedangkan amoksisilin tidak.
Distribusi penisilin G, ampisilin, dan amoksisilin luas dalam tubuh. Pada penisilin G,
kadar obat yang memadai dapat tercapai dalam hati, empedu, ginjal, usus, limfe, dan semen
tetapi dalam cairan serebrospinal sukar dicapai. Ampisilin yang masuk ke dalam empedu
mengalamu sirkulasi enterohepatik, tetapi yang diekskresi di tinja cukup tinggi. Penetrasi ke
cairan serebrospinalis dapat mencapai kadar efektif pada keadaan peradangan meningen.
Distribusi amoksisilin kurang lebih sama dengan ampisilin. Efek dari penisilin adalah terjadi
pemecahan cincin beta laktam dengan kehilangan seluruh aktivitas mikroba.
Pemberian penisilin G, ampisilin, dan amoksisilin memiliki efek samping. Penisilin
G akan menimbulkan reaksi alergi Pemberian ampisilin memberikan sebagian kecil
kemerahan kulit berdasarkan reaksi alergi, dan saat itu terjadi pemberian ampisilin harus
dihentikan.
Sefalosporin diberikan secara suntikan intramuskular atau intravena. Beberapa
sefalosporin generasi ketiga mencapai kadar yang tinggi di cairan serebrospinal, sehingga
bermanfaat untuk pengobatan meningitis purulenta. Sefalosporin melewati sawar darah uri,
mencapai kadar tinggi di cairan sinovial dan cairan perikardium. Pada pemberian sistemik,
kadar sefalosporin generasi ketiga di cairan mata relatif tinggi, tetapi tidak mencapai vitreus.
Sefalosporin diekskresi dalam bentuk utuh melalui ginjal, dengan proses sekresi tubuli. Efek
samping dari sefalosporin adalah reaksi alergi, mirip dengan yang ditimbulkan oleh penisilin.
Doksisiklin merupakan salah satu golongan tetrasiklin menurut struktur kimia.
Tetrasiklin memperlihatkan spektrum anibakteri yang luas. Absorbsinya sebagian besar
berlangsung di lambung dan usus halus bagian atas. Faktor penghambatnya adalah pH tinggi.
Distribusinya adalah dalam plasma, semua jenis tetrasiklin terikat oleh protein plasma.
Penetrasi ke cairan tubuh lain dan jaringan cukup baik, ditimbun dalam sistem
retikuloendotelial di hati, limpa dan sumsum tulang, serta di dentin dan email gigi yang
belum erupsi. Tetrasiklin golongan doksisiklin mengalami metabolisme yang berarti di hati
sehingga aman untuk penderita gagal ginjal. Golongan tetraiklin diekskresi di urin
berdasarkan filtrasi glomerulus.
Sampai saat ini penisilin masih merupakan antibiotika pilihan utama, namun perlu
diingat bahwa antibiotika bermanfaat jika leptospira masih di darah (fase leptospiremia).
Pada pemberian penisilin, dapat muncul reaksi Jarisch-Herxherimer 4 sampai 6 jam setelah
pemberian intravena, yang menunjukkan adanya aktivitas anti leptospira. Tindakan suportif
diberikan sesuai dengan keparahan penyakit dan komplikasi yang timbul. Keseimbangan
cairan, elektrolit, dan asam basa diatur sebagaimana pada penanggulangan gagal ginjal secara
umum. Kalau terjadi azotemia/uremia berat sebaiknya dilakukan dialisis.

Prognosis

Jika tidak ada ikterus, penyakit jarang fatal, Pada kasus dengan ikterus, angka
kematian 5% pada umur di bawah 30 tahun, dan pada usia lanjut mencapai 30-40%.

Pencegahan

Pencegahan leptospirosis pada manusia sangat sulit karena tidak mungkin


menghilangkan reservoir inveksi yang besar pada hewan. Vaksinasi hewan ternak dan hewan
peliharaan dilakukan secara lias di Amerika Serikat dan telah banyak mengurangi insidensi
infeksi pada beberapa spesies. Infeksi pada ginjal masih tetap dapat terjadi pada anjing yang
divaksinasi, dan manusia dapat terinfeksi dengan anjing yang telah diimunisasi secara
adekuat. Pada daerah tertentu, pengendalian tikus, disinfeksi daerah kerja yang tercemar, dan
larangan berenang pada perairan tercemar, telahmengurangi insidensi penyakit secara efektif.

Pemberian doksisiklin 200 mg per minggu dikatakan bermanfaat untuk mengurangi


serangan leptospirosis bagi mereka yang mempunyai risiko tinggi dan terpapar dalam waktu
singkat.

Kesimpulan
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh mikro organisme
leptospira interogans yang menimbulakan berbagai gejala klinis yang disertai ikterus. Pada
dasarnya gejala leptospirosis mirip dengan beberapa Penyakit infeksi lainya, seperti typhoid
hepatitis dan demam typhoid. Sehingga acapkali luput dari diagnosis karena gejala klinis
yang tidak spesifik. leptospirosis banyak ditemukan didaerah banjir sebab perantara penyakit
ini di dapat dari urin hewan-hewan di sekitar kita misalnya anjing, babi , tikus, dan lainnya.
Bila air yang tercemar oleh urin dari perantara berkontak dengan kulit memungkinkan untuk
manusia terkena leptospirosis. Dengan demikian penularan penyakit ini sangat beresiko bagi
manusia khususnya yang tinggal didaerah rawan banjir.

Daftar Pustaka

1. Mandal BK, Wilkins EGL, Dunbar EM, Mayon-White RT. Lecture notes: penyakit
infeksi. Jakarta: Erlangga; 2008. h.3-6.
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar
ilmu penyakit dalam. Jakarta: InternaPublishing; 2009.

3. Willms JL, Schneiderman H, Algranati PS. Diagnosis fisik: evaluasi diagnosis dan
fungsi di bangsal. Jakarta: EGC; 2005.h. 30-1.
4. Bickley LS. Buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan bates. Edisi ke-8.
Jakarta: EGC; 2009.h.11-2.
5. Kee JL. Pedoman pemeriksaan laboratorium dan diagnostik. Edisi ke-6. Jakarta:
EGC; 2008.
6. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam berdarah dengue. Dalam:
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Edisi ke-5. Jakarta : InternaPublishing; 2009. h. 2773 – 9.

7. Farzana shafqat, Anwar A. Khan, Zafar Iqbal. “Salmonella hepatitis a review”.


Department of Medicine and Gastroenterology, Shaikh Zayed Hospital, Lahore.
Diunduh dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3893978/
8. Widodo D. Demam tifoid. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata
M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta : InternaPublishing;
2009. h. 2797-9.
9. Brooks GF, Butel JS, Morse SA. Mikrobiologi kedokteran jawetz, melnick, dan
adelberg. Edisi ke-23. Jakarta: EGC; 2008.h.346-8, 478-85.
10. Syarif A, Estuningtyas A, Setiawati A, Muchtar HA, Arif A, Bahry B, et al.
Farmakologi dan terapi. Edisi ke-5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2012.
11. Muliawan SY. Bakteri spiral patogen. Jakarta: Erlangga; 2008.h.78-9.

12. Zein U. Leptospirosis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,


Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-3. Jakarta:
InternaPublishing; 2009. h.2807-11

Anda mungkin juga menyukai