Anda di halaman 1dari 20

Asma Bronkial pada Orang Dewasa

Nicholas Jeremy Maruli


102016227
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510

Abstrak
Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas yang menyebabkan hiperesponsif
jalan napas dan menimbulkan gejala episodik berulang akibat dari berbagai rangsangan. Data
yang didapatkan dari tahun 2018 mengatakan bahwa asma masih merupakan masalah di
dunia dengan angka kejadian sebanyak 3.000.000 penduduk dan angka kematian sebanyak
250.000 penduduk setiap tahun. Pada penderita asma, penyempitan saluran pernapasan
merupakan respon terhadap rangsangan, seperti debu, bulu hewan, serbuk sari, asap, dan
udara dingin. Asma juga dapat dipicu oleh kondisi psikologis seperti stress dan juga pada
aktivitas olahraga yang berat. Gejala umum asma adalah batuk dan sesak napas. Napas akan
terdengar khas seperti suara bunyi peluit, yaiu wheezing. Tanpa pengelolaan yang baik asma
akan mengganggu kehidupan penderita dan akan cenderung mengalami peningkatan,
sehingga dapat menimbulkan komplikasi ataupun kematian.

Katakunci: Asma bronkial, kontrol asma, faktor risiko asma

Abstract
Asthma is a chronic inflammatory disease of the airways that causes hyper-responsive
airways and cause recurrent episodic symptoms as a result of various stimuli. Data obtained
from 2018 says that asthma is still a problem in the world with an incidence of 3,000,000
people and a mortality rate of 250,000 every year. In people with asthma, narrowing of the
respiratory tract is a response to stimuli, such as dust, animal hair, pollen, smoke, and cold
air. Asthma can also be triggered by psychological conditions such as stress and also in
strenuous sports activities. Common symptoms of asthma are coughing and shortness of
breath. Breath will sound like a whistle sound, that called wheezing. Without good
management, asthma will disrupt the lives of sufferers and will tend to increase, so that it can
cause complications or death.

Keywords: Bronchial asthma, asthma control, risk factors of asthma

Pendahuluan
Bernapas merupakan salah satu ciri utama makhluk hidup. Sistem respirasi atau
sistem pernapasan merupakan suatu sistem yang berhubungan dengan proses pengambilan
gas oksigen dari lingkungan luar dan pengeluaran karbon dioksida dari dalam tubuh makhluk
hidup. Dalam proses respirasi, tubuh manusia dibantu oleh otot-otot inpirasi dan ekspirasi
yang membantu proses terjadinya pernapasan sehingga memungkinkan tubuh kita untuk
menerima gas oksigen ke dalam tubuh dan mengeluarkan gas karbon dioksida ke luar tubuh.

1
Perjalanan napas manusia bisa jadi berjalan secara tidak normal, terutama saat terjadi
inflamasi pada saluran napas. Adanya gangguan seperti inflamasi pada saluran pernapasan ini
dapat menyebabkan berbagai macam penyakit yang mengganggu aliran udara, salah satunya
asma.1
Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas yang menyebabkan
hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang akibat dari berbagai
rangsangan. Episode tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi
dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan. saluran pernapasan, seperti
wheezing (mengi), sesak napas, napas pendek, dada terasa berat dan batuk-batuk yang
berubah-ubah setiap waktu terutama malam dan atau dini hari. Batuk disebabkan oleh
konstriksi atau spasme otot bronkus, inflamasi mukosa bronkus dan produksi lendir kental
yang berlebihan. Asma merupakan masalah kesehatan dunia yang tidak hanya terjangkit di
negara maju tetapi juga di negara berkembang. Menurut data laporan dari Global Initiatif for
Asthma (GINA) pada tahun 2012 dinyatakan bahwa perkiraan jumlah penderita asma seluruh
dunia adalah tiga ratus juta orang, dengan jumlah kematian yang terus meningkat hingga
seratus delapan puluh ribu orang per tahun.2,3 Melalui makalah ini akan dipaparkan lebih
lanjut secara singkat dan jelas mengenai asma, seperti faktor pencetus, patofisiologi,
eksaserbasi, komplikasi hingga tatalaksananya.

Anamnesis
Anamnesis merupakan pengambilan data yang dilakukan oleh seorang dokter dengan
cara melakukan serangkaian wawancara dengan pasien atau keluarga pasien atau dalam
keadaan tertentu dengan penolong pasien, mengenai semua informasi yang berhubungan
dengan penyakitnya. Anamnesis penting dilakukan untuk menegakkan diagnosis yang kuat.
Anamnesis meliputi identitas pasien, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat
penyakit dahulu, riwayat kesehatan keluarga, riwayat pribadi, dan riwayat sosial ekonomi dan
lingkungan.4
Diagnosis awal asma dapat ditegakkan melalui penilaian dokter dengan melakukan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan penunjang.
Pasien yang datang dengan keluhan sesak napas patut dicerugai adanya asma bronkial. Pada
anamnesis kasus ini penting ditanyakan adanya gejala yang timbul secara episodic atau
berulang, gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabilitas yang
berkaitan dengan cuaca (biasanya gejala lebih berat pada malam hari). Pencetus terjadinya
sesak napas juga penting untuk ditanyakan, misalnya akibat pengaruh obat-obatan, makanan,
2
lingkungan, kebersihan, atau bahkan stress. dan dieksaserbasi oleh olahraga, infeksi virus,
asap rokok, debu, hewan peliharaan, perubahan cuaca, atau kelembaban. Pada pasien juga
ditanyakan mengenai riwayat penyakit pernapasan sebelumnya, misalnya PPOK atau TB.
Riwayat penyakit yang ada dikeluarga juga harus ditanyakan seperti alergi, rhinitis setiap
bangun tidur, karena ini bisa menjadi faktor risiko pasien terkena asma. Selain itu, perlu
ditanyakan terkait reversibilitas, yaitu gejala membaik secara spontan atau dengan pemebrian
obat pereda asma. Pada pasien yang sudah menderita sesak napas sejak kecil biasanya akan
berkurang saat usia SMP dan SMA, kemudian akan muncul lagi saat hamil. Oleh karena itu
kondisi hamil bisa menjadi salah satu faktor pencetus asma bronkial.5,6
Berdasarkan skenario yang diberikan, seorang perempuan berusia 20 tahun dibawa ke
UGD karena sesak napas memberat sejak 2 jam yang lalu. Pasien mengaku sebelumnya
sedang membersihkan rumah saat tiba-tiba merasakan sesak napas.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik mempunyai nilai yang sangat penting untuk memperkuat temuan-
temuan dalam anamnesis. Tujuan dari pemeriksaan fisik adalah untuk menentukan data
objektif mengenai kesehatan pasien. Pemeriksa harus bisa mengenali, menganalisis, dan
mensintesis informasi yang dapat dikumpulkan ke dalam suatu penilaian yang komprehensif.
Dalam pemeriksaan fisik juga memerlukan beberapa alat kesehatan yang akan membantu
dalam pengambilan data, seperti palu refleks, tensimeter, stetoskop, dan lain-lain yang
digunakan untuk melakukan pemeriksaan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.4
Setelah melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik harus dilakukan kepada pasien.
Pasien yang datang dengan keluhan sesak napas dengan dugaan asma bronkial jarang
ditemukan adanya kelainan pada pemeriksaan fisik. pemeriksaan tanda-tanda vital termasuk
tingkat kesadaran pasien harus tetap dilakukan terlebih dahulu. Biasanya pada pasien asma
akan ditemukan respiratory rate yang meningkat. Pada inspeksi dapat kita temukan retraksi
intercostal, dan napas cuping pada anak. Dalam keadaan sedang bergejala batuk atau sesak,
dapat terdengar wheezing (mengi) yang terjadi karena penyempitan saluran napas dan dapat
terdengar langsung (audible wheeze) atau terdengar dengan stetoskop (auskultasi).7
Pada pemeriksaan fiisk yang dilakukan terhadap pasien dengan keluhan sesak napas
dalam kasus ini, yaitu pasien datang tampak sakit sedang dengan kesadaran compos mentis,
TD 110/70 mmHg, nadi 112x/menit, RR 28x/menit cepat dangkal, dan suhu tubuh 36,7 oC.
pasien dalam posisi duduk dan tampak gelisah. Pada auskultasi ditemukan pernapasan
vesikuler, ronkhi basah kasar -/-, wheezing +/+.
3
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang atau pemeriksaan diagnostik adalah pemeriksaan yang
dilakukan untuk menentukan dan meyakinkan diagnosis penyakit pada pasien serta biasanya
dilakukan untuk mengetahui tingkat keparahan dari suatu penyakit.
Pemeriksaan penunjang pada pasien sesak napas dengan dugaan asma bronkial akan
menunjukkan variabilitas gangguan aliran nafas akibat obstruksi, hiperreaktivitas, dan
inflamasi saluran respiratori, atau adanya atopi pada pasien. Pemeriksaan faal paru yang
standar adalah pemeriksaan spirometri dan peak expiratory flow meter (arus puncak
ekspirasi). Pemeriksaan lain yang berperan untuk diagnosis antara lain uji provokasi bronkus
dan pengukuran status alergi. Uji provokasi bronkus mempunyai sensitivitas yang tinggi
tetapi spesifisitas rendah.2,7
1. Spirometri
Pengukuran fungsi paru dengan alat spirometri untuk menilai tingkat keparahan
penyempitan saluran nafas, menilai reversibilitas dan variabilitas saluran nafas, dan
melihat respon pengobatan dengan bronkodilator inhaler. Pemeriksaan spirometri
dilakukan dengan cara pasien menghirup udara sebanyak-banyaknya lalu meniupkan
udara dengan cepat sampai habis ke dalam alat yang disebut spirometer. Pemeriksaan ini
dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator hirup (inhaler atau nebulizer)
golongan adrenergik beta. Peningkatan VEP1 sebanyak 12% atau (200mL) menunjukkan
diagnosis asma. Tetapi respons yang kurang dari 12% atau (200mL) tidak berarti bukan
asma. Hal-hal tersebut dapat dijumpai pada pasien yang sudah normal atau mendekati
normal. Demikian pula respons terhadap bronkodilator tidak dijumpai pada obstruksi
saluran napas yang berat, oleh karena obat tunggal bronkodilator tidak cukup kuat untuk
memberikan efek yang diharapkan. Untuk melihat reversibilitas pada hal yang disebutkan
di atas mungkin diperlukan kombinasi obat golongan adrenergik beta, teofilin dan bahkan
kortikosteroid untuk jangka waktu pengobatan 2-3 minggu. Reversibilitas dapat terjadi
tanpa pengobatan yang dapat dilihat dari hasil pemeriksaan spirometri yang dilakukan
pada saat yang berbeda-beda misalnya beberapa hari atau beberapa bulan kemudian.7,8

4
Gambar 1. Pemeriksaan Spirometri
2. Uji Tusuk Kulit (Skin Prick Test)
Komponen alergi pada asma dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan uji kulit atau
pengukuran IgE spesifikserum, namun cara ini tidak terlalu bernilai dalam mendiagnosis
asma, hanya membantu dalam mengidentifikasi faktor pencetus. Dari pemeriksaan ini
akan di dapatkan antibodi IgE spesifik terhadap alergen-alergen tertentu dlalam tubuh
yang merupakan alergen penyebab asma, namun uji alergen yang positif tidak selalu
merupakan penyebab asma, demikian pula sebaliknya.7,8

Gambar 2. Skin Prick Test

WD (Working Diagnosis)
Working diagnosis atau diagnosis kerja yang dapat ditegakkan berdasarkan
anamnesis, dan pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien dalam kasus ini, yaitu pasien
mengalami asma bronkial. Asma merupakan penyakit paru obstruksi kronis yang
menyebabkan otot-otot di sekitar saluran bronkial (saluran udara) dalam paru-paru
mengkerut, sekaligus lapisan saluran bronkial mengalami peradangan dan bengkak sehingga

5
menyebabkan episode berulang wheezing (mengi), sesak napas, dada terasa tegang serta
batuk khususnya pada malam atau menjelang pagi hari. Peradangan ini menghasilkan lendir
yang kental, sehingga menyebabkan saluran udara menyempit, sangat ‘gugup’ dan sensitive,
dan akibatnya mudah merespon terhadap berbagai pemicunya seperti udara, makanan, bahan
kimia, bulu binatang, olahraga, debu-debuan, dan bau yang kuat.
Dalam kasus ini, melalui anamnesis diketahui bahwa pasien mulai sesak napas sejak 2
jam yang lalu sesaat setelah membersihkan rumah. Kemungkinan adanya debu, tungau debu
rumah, serbuk sari dan bahan allergen lainnya saat membersihkan gudang dapat menjadi
faktor pencetus terjadinya asma bronkial. Pasien juga mengaku bahwa keluhan sesak napas
hilang timbul sudah dirasakan sejak kecil dan tidak pernah kambuh lagi saat pasien SMA
hingga sekarang. Asma memang banyak ditemukan pada anak-anak dan ‘sembuh’ seiring
bertambahnya usia. Istilah yang biasanya digunakan adalah “outgrow”, yaitu akan hilang
namun sewaktu-waktu dapat muncul lagi, terutama saat sedang hamil. Selain itu pasien juga
menambahkan bahwa ibu dan kakak pasien sering bersin di pagi hari. Seringnya bersin di
pagi hari ketika bangun tidur menunjukkan adanya riwayat rhinitis alergi pada keluarga
pasien. Hal ini dapat menjadi faktor pencetus terjadinya asma. Risiko akan semakin besar
dengan adanya riwayat rinitis alergi, dermatitis atopik, atau riwayat alergi lainnya pada
keluarga. Diagnosis asma bronkial yang pada pasien semakin diperkuat melalui pemeriksaan
fisik yang dilakukan, dimana ditemukan denyut nadi dan respiratory rate yang meningkat
serta terdengar wheezing pada auskultasi. Pemeriksaan fisik pasien asma memang biasanya
tidak ditemukan kalainan. Namun dalam keadaan sedang bergejala batuk atau sesak, dapat
terdengar wheezing.

Gambar 3. Asma Bronkial

DD (Differential Diagnosis)
 PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik)

6
PPOK adalah suatu penyakit yang dikarakteristikkan oleh adanya hambatan aliran udara
secara kronis dan perubahan-perubahan patologi pada paru, dimana hambatan aliran
udara saluran napas bersifat progresif dan tidak sepenuhnya reversible dan berhubungan
dengan respon inflamasi yang abnormal dari paru-paru terhadap gas atau partikel yang
berbahaya. Kelainan utama yang tampak pada individu dengan PPOK adalah bronchitis,
emfisema, dan asma. PPOK yang merupakan inflamasi lokal saluran nafas paru, akan
ditandai dengan hipersekresi mucus dan sumbatan aliran udara yang persisten. Gambaran
ini muncul dikarenakan adanya pembesaran kelenjar di bronkus pada perokok dan
membaik saat merokok di hentikan. Terdapat banyak faktor risiko yang diduga kuat
merupakan etiologi dari PPOK. Faktor-faktor risiko yang ada adalah genetik, paparan
partikel, pertumbuhan dan perkembangan paru, stres oksidatif, jenis kelamin, umur,
infeksi saluran nafas, status sosioekonomi, nutrisi dan komorbiditas. Pada PPOK yang
stabil, ciri peradangan yang dominan adalah banyaknya sel neutrofilik yang ditarik oleh
interleukin 8 walaupun jumlah limfosit juga meningkat namun yang meningkat hanya sel
T helper tipe 1. Sedangkan pada asma, yang dominan adalah eosinophil, sel mast, dan sel
T helper tipe 2.9,10
 Pneumonia
Pneumonia adalah suatu proses inflamasi atau peradangan dimana kompartmen alveolar
terisi oleh eksudat. Peradangan ini mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus
terminalis yang mencangkup bronkiolus respiratorius, dan alveoi, serta menimbulkan
konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. Pneumonia disebabkan
oleh mikroorganisme-bakteri, virus, jamur, parasit, serta dapat disebabkan juga oleh
bahan kimia ataupun karena paparan fisik seperti suhu atau radiasi. Gejala yang dialami
penderita pneumonia termasuk dyspnea, takipnea, nyeri dada pleuritik, demam,
menggigil, hemoptysis, dan batuk produktif dengan sputum berbusa atau purulent. Proses
patogenensis pneumonia terkait dengan 3 faktor yaitu keadaan imunitas, mikroogarnisme
yang menyerang pasien dan lingkungan yang berinteraksi satu sama lain. Interaksi ini
akan menentukan klasifikasi dan bentuk manifestasi dari pneumonia, berat ringannya
penyakit, diagnosis empirik, rencana terapi secara empiris serta prognosis dari pasien.10

7
Gambar 4. Pneumonia

Etiologi
Terjadinya kelainan asma dan serangan akutnya didasari oleh proses peradangan
kronik saluran nafas. Proses ini melibatkan banyak sel – sel imun dan zat – zat kimia yang
dikeluarkan oleh sel imun tersebut.  Peradangan kronis menyebabkan respon jalan nafas
terhadap alergen atau zat berbahaya menjadi meningkat  menimbulkan gejala yang timbul
berulang berupa mengi,  sesak nafas, dada terasa berat dan batuk – batuk yang timbul
terutama malam dan dini hari.  Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan
napas yang luas namun bervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat reversibel baik secara
spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperaktivitas
jalan napas terhadap berbagai rangsangan.7
Terdapat banyak faktor yang menjadi penyebab berbagai gejala asma. Faktor tersebut
adalah faktor yang menyebabkan peningkatan risiko penderita. Fakor resiko dibagi menjadi
dua yaitu faktor resiko pejamu dan lingkungan. Faktor pejamu adalah faktor yang dimiliki
individu yang meningkatkan resiko berkembangnya gejala asma, yaitu genetik asma, alergi
bawaaan. Faktor genetik yang diturunkan adalah kecenderungan memproduksi antibodi jenis
IgE yang berlebihan. Seseorang yang mempunyai predisposisi memproduksi IgE berlebihan
disebut sifat atopik, sedangkan keadaannya disebut atopi. Sedangkan faktor lingkungan yang
mempengaruhi individu dengan kecenderungan atau predisposisi asma menyebabkan terjadi
gejala serangan. Faktor lingkungan dapat berupa alergen, polusi udara, sensitisasi lingkungan
kerja, diet, asap rokok, infeksi pernafasan, serta status sosial ekonomi dan besarnya
keluarga.7,11

8
Gambar 5. Asma Bronkial

Epidemiologi
Asma bronkial dapat terjadi pada semua umur namun sering dijumpai pada awal
kehidupan. Sekitar setengah dari seluruh kasus diawali sebelum berumur 10 tahun dan
sepertiga bagian lainnya terjadi sebelum umur 40 tahun. Estimasi prevalensi pasien asma
dewasa di dunia yang didiagnosis oleh dokter adalah 4,3%. Prevalensi paling tinggi dijumpai
di negara Australia (21,5%), Swedia (20,2%), Inggris (18,2%), Belanda (15,3%), dan Brazil
(13%). Menurut data laporan dari Global Initiatif for Asthma (GINA) pada tahun 2012
dinyatakan bahwa perkiraan jumlah penderita asma seluruh dunia adalah tiga ratus juta orang,
dengan jumlah kematian yang terus meningkat hingga seratus delapan puluh ribu orang per
tahun. Data World Health Organization (WHO) juga menunjukkan data yang serupa bahwa
prevalensi asma terus meningkat dalam 30 tahun terakhir terutama di negara maju. Data yang
didapatkan dari tahun 2018 mengatakan bahwa asma masih merupakan masalah di dunia
dengan angka kejadian sebanyak 3.000.000 penduduk dan angka kematian sebanyak 250.000
penduduk setiap tahun. Di Indonesia prevalensi asma mencapai 4,5% dengan estimasi jumlah
pasien asma 11,2 juta jiwa.7, 12,13,14

Anatomi dan Histologi Paru


Paru berada dalam rongga thorax yang dilindungi oleh tulang sternum, costaedan
cartilago costalis. Paru dibagi menjadi beberapa lobus oleh fisura yaitu tiga lobus di paru
kanan yang dibagi oleh fisura oblique dan fisura horizontalis, dan dua lobus di paru kiri yang
dibagi oleh fisura oblique. Tiap paru memiliki apeks yang mencapai ujung sternal kosta
pertama dan basis paru terletak di diafragma.Paru dilapisi oleh lapisan pembungkusnya yaitu
pleura yang terdiri dari pleura visceral dan pleura parietal. Masing-masing paru berbentuk

9
kerucut dan diliputi oleh pleura viseralis, terletak bebas didalam cavum mediastinum dan
masing-masing dilekatkan pada cavum mediastinum dengan radix pulmonalis. Radix
pulmonalis dibentuk oleh alat-alat yang masuk dan keluar paru yaitu bronkus, arteri dan vena
pulmonalis, pembuluh limfatik, arteri dan vena bronkialis.
Bronkus atau cabang tenggorokan merupakan lanjutan dari trakea. Ada dua buah
bronkus yang terdapat pada ketinggian vertebrae thoracal IV dan V. Bronkus kanan lebih
pendek dan lebih besar daripada bronkus kiri, terdiri dari 6-8 cincin mempunyai 3 cabang.
Bronkus kiri lebih panjang dan lebih ramping dari yang kanan, terdiri dari 9-12 cincin dan
mempunyai 2 cabang. Bronkus dan parenkim paru mendapat perdarahan dari arteri bronkialis
cabang-cabang dari aorta torakalis descenden. Vena bronkialis, yang juga berhubungan denga
vena pulmonalis mengalirkan darah ke vena azigos dan vena hemiazigos. Alveoli menerima
darah terdeoksigenasi dari cabang-cabang arteriae pulmonales. Darah yang terdeoksigenasi
meninggalkan kapiler-kapiler alveoli masuk ke cabang-cabang vena pulmonalis yang
mngikuti jaringan ikat septa intersegmentalis ke radix pulmonalis. Dua vena pulmonales
meninggalkan setiap radix pulmonis untuk bermuara ke atrium dan sinistrum cor.15

Gambar 3. Anatomi Paru

Sistem pernapasan terdiri atas paru dan saluran napas, dibagi menjadi bagian
konduksi dan bagian respirasi. Bagian konduksi terdiri dari rongga hidung, nasofaring, laring,
trakea, bronki, bronkiolus dan bronkiolus terminalis. Bagian respirasi terdiri dari bronkiolus
respiratorius, duktus alveolaris, sakus alveolaris, dan alveoli. Secara histologi, bronkus
intrapulmonal mirip dengan histologi trakea dan bronkus ekstrapulmonal, akan tetapi bronkus
intrapulmonal diidentifikasi oleh adanya lempeng tulang rawan hialin. Bronkus
ekstrapulmonal yaitu meliputi bronkus primer kanan dan kiri. Dikelilingi oleh tulang rawan
berbentuk C tapi pada bagian posterior terdapat otot polos. Bronkus intrapulmonal yaitu
meliputi bronkus sekunder dan tersier, bronkiolus, bronkiolus terminalis dan bronkiolus
10
resiratorius. Pada bronkus ekstrapulmonal dan intrapulmonal terdapat jaringan limfoid dan
memiliki sel epitel bertingkat torak bersilia bersel goblet. Pada bronkiolus tidak terdapat
tulang rawan, hanya terdapat jaringat ikat longgar dan otot polos. Lamina proprianya tidak
memiliki kelenjar dan memiliki epitel selapis torak bersilia dengan sedikit sel goblet.
Bronkiolus terminalis merupakan cabang-cabang kecil dari bronkiolus. Memiliki epitel
selapis kuboid yang sebagian bersilia dan sel clara. Pada bronkiolus terminalis masih terdapat
sedikit otot polos di lamina proprianya. Bronkiolus respiratorius merupakan pecabangan dari
bronkiolus terminalis. Ini merupakan bagian pertama dari zona respirasi sebagai tempat
berlangsungnya pertukaran gas. Strukturnya menyerupai bronkiolus terminalis tetapi
dindingnya diselingi oleh alveolus. Setiap bronkiolus respiratorius berakhir di duktus
alveolaris. Alveolus merupakan struktur berongga tempat terjadinya pertukaran O2 dan CO2
antara udara dan darah yang berjumlah sekitar 300 juta. Dinding tersusun oleh pneumosit tipe
I yang sangat tipis dan pneumosit tipe II yang lebih besar.16,17

Gambar 6. Histologi Paru

Faktor Pencetus
Adapun rangsangan atau faktor pencetus yang sering menimbulkan Asma adalah:
1. Faktor Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang spesifik,
yaitu allergen (debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan dan spora jamur). Alergen
dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:
a. Inhalan, masuk melalui saluran pernapasan. Contohnya: debu, serbuk bunga,
spora jamur, bakteri dan polusi
b. Ingestan, masuk melalui mulut. Contohnya makanan dan obat-obatan

11
c. Kontakan, masuk melalui kontak dengan kulit. Contohnya perhiasan, logam, dan
jam tangan
Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap
alergi. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga
menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah
terkena penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan faktor pencetus.
2. Faktor Instrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak
spesifik atau tidak berhubungan dengan allergen (udara dingin, infeksi saluran
pernafasan, emosi, aktivitas fisik yang berlebih, polutan lingkungan). Cuaca lembab dan
hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak
dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang serangan
berhubungan dengan musim, seperti musim hujan, musim kemarau. Sebagian besar
penderita asma juga akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas jasmani atau olah
raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma
karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut. Selain itu,
lingkungan juga menjadi faktor pencetus asma karena mempunyai hubungan langsung
dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini berkaitan dengan dimana penderita
bekerja, misalnya di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, dan polisi lalu
lintas.
3. Asma Gabungan
Asma gabungan adalah bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai
karakteristik dari bentuk alergik dan non-alergik. Terjadi pada asma okupasional karena
pajanan bahan tertentu di tempat kerja, misalnya tepung gandum. Terjadi reaksi
hipersensitivitas tipe III. Gejala timbul beberapa jam sesudah pajanan. Reaksi bronkus
mungkin dipicu oleh kompleks imun. Kadang-kadang dapat terjadi reaksi tipe I dan tipe
III secara bersamaan.8,18

Kriteria Eksaserbasi
Berdasarkan kekerapan timbulnya gejala klasifikasi derajat penyakit asma menurut
Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) 2015, asma dibagi menjadi 4 golongan, yaitu asma
intermitten, persisten ringan, persisten sedang dan persisten berat. Sedangkan derajat saat
serangan dibagi menjadi 3 yaitu serangan ringan-sedang, asma serangan serangan berat dan

12
serangan asma dengan ancaman henti napas. Pemberian terapi yang akan dilakukan
didasarkan pada derajat serangan asma tersebut.

Patofisiologi
Penyakit asma merupakan proses inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas yang
akan mempermudah terjadinya obstruksi jalan napas. Kerusakan epitel saluran napas,
gangguan saraf otonom, dan adanya perubahan pada otot polos bronkus juga diduga berperan
pada proses hipereaktivitas saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan terutama sel mast,
eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel. Faktor lingkungan dan faktor lain
berperan sebagai pencetus inflamasi saluran napas pada pasien asma. Inflamasi saluran napas
pada pasien asma merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi yaitu terdapatnya
obstruksi saluran napas yang menyebabkan hambatan aliran udara yang dapat kembali secara
spontan atau setelah pengobatan. Obstruksi pada pasien asma dapat disebabkan oleh
kontraksi otot-otot yang mengelilingi bronkus yang menyempitkan jalan napas,
pembengkakan membran yang melapisi bronkus dan pengisian bronkus dengan mukus yang
kental.
Asma dapat terjadi melalui dua jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur
imunologis didominasi oleh antibodi IgE yang merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe
alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan
kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah yang besar,
golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan

13
sel mast pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil.
Bila seseorang menghirup alergen maka akan terjadi fase sensitisasi yang menyebabkan
antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE
yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai
macam mediator. Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor
kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Ini akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding
bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus dan spasme otot polos
bronkiolus yang menyebabkan inflamasi saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat,
obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme
bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang
bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam
pajanan alergen dan bertahan selama 16-24 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa
minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC)
merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma.
Selain merangsang sel inflamasi, terdapat keterlibatan sistem saraf otonom pada jalur
non-alergik dengan hasil akhir berupa inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas. Inhalasi
alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan
mungkin juga epitel saluran napas. Reflek bronkus terjadi karena adanya peregangan nervus
vagus, sedangkan pelepasan mediator inflamasi oleh sel mastdan makrofag akan membuat
epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa,
sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Keterlibatan sel mast tidak ditemukan pada
beberapa keadaan seperti pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2.
Reflek saraf memegang peranan pada reaksi asma yang tidak melibatkan sel mast. Ujung
saraf eferen vagal mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik
senyawa P, neurokinin A dan calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah
yang menyebabkan terjadinya bronkokontriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi
lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi.8,19

14
Gambar .. Patofisiologi Asma

Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan asma bronkial adalah untuk menghilangkan dan
mengendalikan gejala asma, mencegah eksaserbasi akut, meningkatkan dan mempertahankan
fungsi paru seoptimal mungkin, mengupayakan aktivitas normal, menghindari efek samping
obat, mencegah terjadinya keterlibatan aliran udara (airflow limitation) irreversible dan
mencegah kematian karena asma.
Pada prinsipnya penatalaksanaan asma diklasifikasikan menjadi dua golongan, yaitu
akut dan kronik. Penatalaksanaan asma akut diberikan saat serangan akut, yaitu keadaan
darurat dan membutuhkan bantuan medis segera, Penanganan harus cepat dan sebaiknya
dilakukan di rumah sakit/gawat darurat. Sedangakan penatalaksanaan kronik diberikan pada
pasien asma kronik dengan mengupayakan untuk dapat memehami sistem penanganan asma
secara mandiri, sehingga dapat mengetahui kondisi kronik dan variasi keadaan asma Perlu
diketahui bahwa tidak diperkenankan melakukan pemeriksaan faal paru dan laboratorium
yang dapat menyebabkan keterlambatan dalam pengobatan/tindakan. Program
penatalaksanaan asma meliputi: edukasi, menilai dan monitor berat asma secara berkala,
identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus, merencanakan dan memberikan pengobatan
jangka panjang, menetapkan pengobatan pada serangan akut, kontrol secara teratur, pola
hidup sehat.8,20,21
 Medikamentosa
Ada 2 macam obat anti asma, yaitu terapi simptomatik menggunakan relievers, yaitu
bronkodilator (β2 agonis, teofilin) dan disease-modifying therapy atau controller yang
menggunakan obat antiinflamasi (kortikosteroid, kromolin, antileukotrein). Saat terjadi
15
serangan asma, obat yang digunakan adalah reliever dibantu dengan controller. Setelah
serangan dapat diatasi dan periode asimtomatik telah tercapai, obat yang digunakan hanya
controller atau bahkan tanpa obat lagi, tetapi penerita dibekali peak flow meter untuk
memantau arus puncak.
Pada serangan ringan obat yang digunakan hanya β2 agonis kerja cepat yang
sebaiknya diberikan dalam bentuk inhalasi. Bila tidak memungkinkan dapat diberikan
secara sistemik. Pada dewasa dapat diberikan kombinasi dengan teofilin/aminofilin oral.
Bronkodilator khususnya β2 agonis (kerja pendek) yang merupakan obat anti-asma pada
serangan asma, baik dengan MDI atau nebulizer. Pada serangan asma ringan atau sedang,
pemberian aerosol 2-4 kali setiap 20 menit cukup memadai untuk mengatasi serangan.
Obat-obat anti asma yang lain seperti antikolinergik hirup, teofilin, dan β2 agonis oral
merupakan obat-obat alternatif karena mula kerja yang lama serta efek sampingnya yang
lebih besar. Pada serangan asma yang lebih berat, dosis β2 agonis hirup dapat
ditingkatkan. Sebagai peneliti menganjurkan pemberian kombinasi ipratropium bromida
dengan salbutamol, karena dapat mengurangi perawatan rumah sakit dan mengurangi
biaya pengobatan. Kortikosteroid sistemik diberikan bila respon terhadap β2 agonis hirup
tidak memuaskan. Dosis prednisolon antara 0,5-1 mg/kgBB atau evaluasinya. Perbaikan
biasayanya terjadi secara bertahap, oleh karena itu pengobatan diteruskan ntuk beberapa
hari. Tetapi bila tidak ada perbaikan atau minimal, segera pasien dirujuk ke fasilitas
pengobatan yang lebih baik.
 Non Medikamentosa
 Menjaga kebersihan lingkungan
 Berhenti merokok
 Hindari faktor pencetus
 Melakukan aktivitas fisik
 Pemakaian oksigen
 Pengendalian emosi

Kriteria Kontrol Asma


Berdasarkan gejala siang, aktivitas, gejala malam, pemakaian obat pelegadan
eksaserbasi, GINA membagi asma menjadi asma terkontrol, terkontrolsebagian, dan tidak
terkontrol. Klasifikasi tersebut dikenal dengan istilah kontrol asma questioner, yang berarti
pengendalian terhadap perkembangan penyakit asma. Pasien yang datang kontrol akan

16
diminta untuk mengisi kuisioner mengenai serangan yang dialami selama 4 minggu terakhir.
Apabila melalui pengisian kuisioner didapatkan score 0, maka pengobatan terkontrol penuh.
Apabila didapatkan score 1-2, maka pengobatan dikatakan terkontrol sebagian, dan apabila
didapatkan score 3-4 maka pengobatan dikatakan tidak terkontrol. Apabila didapatkan pasien
dengan hasil kuisioner yang tidak terkontrol, maka harus segera dilakukan evaluasi
pengobatan yang ditujukan untuk mengontrol asma jangka panjang (maintenance treatment)
apabila terjadi eksaserbasi.22

Komplikasi
Bila serangan asma sering terjadi dan telah berlangsung lama, maka akan terjadi
emfisema dan mengakibatkan perubahan bentuk toraks yaitu toraks membungkuk ke depan
dan memanjang. Pada foto rontgen toraks terlihat diafragma letak rendah, gambaran jantung
menyempit, corakan hilus kiri dan kanan bertambah. bentuk dada burung dapat dinilai dari
perbaikan pertumbuhannya orang tua. Pada asma kronik dan berat dapat terjadi bentuk dada
burung dara. Pada penderita asma apabila tidak ditolong dengan semestinya dapat
menyebabkan gagal pernapasan, gagal jantung, bahkan kematian. Keparahan pada asma akut
dapat mengakibatkan komplikasi, seperti:23
1. Pneumothoraks
Pneumothoraks adalah keadaan adanya udara di dalam rongga pleura yang dicurigai bila
terdapat benturan atau tusukan dada. Keadaan ini dapat menyebabkan kolaps paru yang
lebih lanjut lagi dapat menyebabkan kegagalan napas. Pneumothoraks terdiri dari 2 (dua)
tipe, yaitu pneumotoraks yang terjadi secara impulsif pada orang yang tidak memiliki
riwayat penyakit ini sama sekali (pneumotoraks idiopatik), dan pneumotoraks yang
terjadi akibat adanya komplikasi pada paru-paru dan saluran pernapasan (pneumotoraks
sekunder). Pneumotoraks sebagai komplikasi asma lebih memacu kepada pneumotoraks
yang kedua, yakni pneumotoraks sekunder. Penyakit ini dapat menyebabkan kematian
sehingga penanganan secepat mungkin harus dilakukan sebelum terlambat.

17
2. Atelektasis
Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat penyumbatan
saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan yang sangat dangkal.
Bila sekret banyak dan kental, salah satu bronkus dapat tersumbat sehingga dapat terjadi
atelektasis pada lobus segmen yang sesuai. Bila atelektasis berlangsung lama dapat
berubah menjadi bronkiektasis dan bila ada infeksi terjadi bronkopneumonia.
3. Status asmatikus
Status asmatikus adalah serangan asma yang makin parah dan mengancam hidup akibat
terhambatnya pasokan oksigen yang dipicu oleh penyempitan saluran pernapasan.
Komplikasi ini memerlukan perawatan karena pasien berisiko mengalami perkembangan
kearah kegagalan napas.

Prognosis
Pada umumnya bila segera ditangani dengan baik, cepat dan adekuat, maka prognosa
adalah baik. Prognosa juga akan semakin baik selama pasien menghindari faktor pencetus
terjadinya asma. Namun angka kematian cenderung meningkat di pinggiran kota dengan
fasilitas kesehatan yang memadai dan tidak diberikan penanganan yang tepat.

Kesimpulan
Pasien pemerempuan berusia 20 tahun di diagnosis menderita asma bronkial.
Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesis dengan didapatkannya data bahwa pasien
mengalami sesak napas setelah membersihkan rumah , dimana faktor ekstrinsik penyebab
asma, yaitu debu berperan. Pasien juga memiliki riwayat penyakit rhinitis alergi pada
keluarga yang dapat menjadi faktor pencetus terjadinya asma pada pasien. Penegakan
diagnosa asma bronkial juga diperkuat dengan pemeriksaan fisik dan ditemukan tanda yang
khas saat auskultasi, yaitu wheezing. Prinsip pengobatan asma akut adalah memelihara
saturasi oksigen yang cukup dengan pemberian oksigen, melebarkan saluran napas dengan
pemberian bronkodilator aerosol, mengurangi inflamasi, dan mencegah kekambuhan dengan
pemberian kortikosteroid sistemik. Dalam kasus ini, pasien diberikan reliever SABA dibantu
dengan controller. Setelah serangan dapat diatasi dan periode asimtomatik telah tercapai, obat
yang digunakan hanya controller atau bahkan tanpa obat lagi.

Daftar Pustaka

18
1. Muttaqin A. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta : Salemba Medika; 2012.
2. Mangunegoro H, Widjaja A, Sutoyo DK. Yunus F. Pradjnaparamita. Suryanto E.
Asma Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI; 2004.
3. Global Initiative for Asthma (GINA). 2012. At-A-Glance Asthma Management
Reference.
4. Santoso M. Panduan Anamnesis & Pemeriksaan Fisik Diagnosis. Jakarta : Biro
Publikasi Fakultas Kedokteran UKRIDA; 2013.
5. Asih NGY, Effendy C. Keperawatan Medikal Bedah: Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta : Buku Kedokteran EGC. 2004.
6. Agustina W, Sumiatun. Pengaruh Kehamilan terhadap Frekuensi Kekambuhan Asma
pada Ibu Hamil Trimester I, II, dan III dengan Riwayat Asma di Kota Malang. Jurnal
of Nursing Care & Biomolecular. 2017;2(2).
7. Asma Bronchial. Available from: http://yankes.kemkes.go.id/read-asma-bronchial-
4810.html
8. Sundaru H, Sukamto. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta : Interna
Publishing; 2009.
9. Djojodibroto RD. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta : Buku Kedokteran
EGC; 2009.
10. Asih NG, Effendy C. Keperawatan Medikal Bedah: Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta : Buku Kedokteran EGC; 2003.
11. Price SA. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. 2nd ed. Jakarta :
EGC; 2003.
12. To T, Stanojevic S, Moores G, Gershon AS, Bateman ED, Cruz AA, et al. Global
Asthma Prevalence in Adults: Findings from the Cross-sectional World Health Survey.
BMC Public Health. 2012;12(1).
13. IDAI. Buku Ajar Respirologi Anak. 1st ed. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia;
2010.
14. Rengganis I. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Majalah Kedokteran
Indonesia. 2008;58(11).
15. Junquira LC, Carneiro J. Histologi Dasar. 10th ed. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 2007.
16. Faweet, DW. Buku Ajar Histologi. 12th ed. Jakarta : Buku Kedokteran EGC; 2002.
19
17. Saminan. Pertukaran Udara O2 dan CO2 dalam Pernapasan. Jurnal Kedokteran Syiah
Kuala. 2012;12(2).
18. Wardhani DP. Uyainah A. Kapita selekta kedokteran. 2nd ed. Jakarta. Media
Aesculapius.
19. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Ed 6. Jakarta : InternaPublishing; 2014.
20. Bateman ED, Jithoo A. 2007. Asthma and allergy - a global perspective in Allergy.
European Journal of Allergy and Clinical Immunology. 62(3).
21. Program Penatalaksanaan Asma. Available from: http://p2ptm.kemkes.go.id/artikel-
sehat/program-penatalaksanaan-asma
22. Global Strategy for Asthma Management and Prevention, Global Initiative for Asthma.
Available from: www.ginaasthma.org
23. Silbernagn S, lang f. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta : Buku Kedokteran
EGC; 2014. Hal 78.

20

Anda mungkin juga menyukai