Anda di halaman 1dari 15

Amoebiasis Intestinal et causa Entamoeba histolytica

Alyandini Saraswati Winata


B17 . 102019089
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510
Email : alyandini.102019089@civitas.ukrida.ac.id

Abstrak

Kebersihan merupakan salah satu unsur terpenting dalam menjaga kesehatan. Salah satu nya
adalah dengan menjaga kebersihan perorangan (personal hygiene) dan kebersihan lingkungan . Salah
satu penyakit yang disebabkan akibat kurangnya menjaga personal hygiene dan kebersihan
lingkungan adalah Amoebiasis Intestinal. Amebiasis Intestinal adalah penyakit infeksi usus besar
yang disebabkan oleh parasit usus golongan protozoa yaitu spesies Entamoeba histolytica. Oleh
karena itu, makalah ini dibuat agar mahasiswa lebih mampu memahami cara mendiagnosis penyakit,
morfologi dan siklus hidup Entamoeba histolytica, etiologi, epidemiologi, manifestasi klinis,
diagnosis, tatalaksana serta pencegahan pada penyakit amoebiasis ini.

Kata kunci : Amoebiasis, Entamoeba histolytica

Abstract
Cleanliness is one of the most important elements in maintaining health. One of them is by
maintaining personal hygiene and environmental cleanliness. One of the diseases caused by lack of
personal hygiene and environmental hygiene is Intestinal Amoebiasis. Intestinal amebiasis is an
infectious disease of the colon caused by a protozoan intestinal parasite, the species Entamoeba
histolytica. Therefore, this paper is made so that students are better able to understand how to
diagnose the disease, morphology and life cycle of Entamoeba histolytica, etiology, epidemiology,
clinical manifestations, diagnosis, management and prevention of this amoebiasis disease.

Keywords : Amoebiasis, Entamoeba histolytica


PENDAHULUAN

Latar Belakang

Amoebiasis merupakan suatu keadaan terdapatnya Entamoeba histolytica dengan atau tanpa
manifestasi klinik, dan disebut juga sebagai penyakit bawaan makanan (Food Diseases) (Rasmaliah,
2003). Entamoeba histolytica juga dapat menyebabkan penyakit dysentry Amoeba. Penyebaran
penyakit ini lebih banyak dijumpai di daerah tropis dan subtropis, terutama pada daerah yang tingkat
perekonomiannya rendah serta buruknya sistem sanitasi. Penyakit ini sering ditemukan di tempat-
tempat pelayanan umum seperti penjara, rumah sosial, dan rumah sakit jiwa (Salah, Hadi, Magdi,
Ameer, & Gunnar, 2015).

Skenario

Seorang laki-laki usia 45 tahun datang ke RS UKRIDA dengan keluhan diare sejak 2 minggu
yang lalu.

Rumusan Masalah
Seorang laki laki 45 tahun datang dengan keluhan diare sejak 2 minggu yang lalu

PEMBAHASAN

Anamnesis
Anamnesis merupakan kegiatan komunikasi yang dilakukan oleh dokter sebagai pemeriksan
dan pasien yang betujuan untuk mendapatkan informasi tentang penyakit yang diderita dan informasi
lainnya yang berkaitan agar dapat mengarahkan diagnosis penyakit pasien. Keluhan yang diajukan
seorang pasien yang diambil dengan teliti akan banyak membantu menentukan diagnosis dari suatu
penyakit.
Pada kasus ini, anamnesis yang didapatkan identitas berupa pasien laki-laki berusia 45 tahun.
Pasien datang dengan keluhan utama diare sejak 2 minggu yang lalu. Terdapat keluhan penyerta
berupa demam. Untuk BAB nya disertai darah dan lendir. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit
dahulu dan riwayat lingkungan.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik adalah proses medis yang harus dijalani saat diagnosis penyakit. Hasilnya
dicatat dalam rekam medis yang digunakan untuk menegakkan diagnosis dan merencanakan
perawatan lanjutan. Pemeriksaan fisik akan dilakukan secara sistematis, mulai dari kepala hingga kaki
(head to toe) yang dilakukan dengan empat cara (inspeksi, palpasi, auskultasi, dan perkusi). Ruang
lingkup pemeriksaan fisik ini akan terdiri dari pemeriksaan tanda vital (suhu, denyut nadi, kecepatan
pernapasan, dan tekanan darah), pemeriksaan fisik head to toe, dan pemeriksaan fisik per sistem
tubuh (seperti sistem kardiovaskuler, pencernaan, muskuloskeletal, pernapasan, endokrin, integumen,
neurologi, reproduksi, dan perkemihan).

Pada keadaan umum pasien tampak dalam batas normal dan kesadaran compos mentis. Untuk
hasil pemeriksaan tanda-tanda vital juga dalam batas normal.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang atau pemeriksaan diagnostik adalah pemeriksaan yang dilakukan


dokter untuk menentukan diagnosis penyakit pada pasien serta tingkat keparahannya. Pemeriksaan
penunjang biasanya dilakukan saat pasien berkonsultasi ke dokter karena adanya keluhan atau gejala
tertentu, atau saat pasien menjalani pemeriksaan kesehatan rutin (medical check-up).

Selain untuk mendiagnosis penyakit, pemeriksaan penunjang juga dilakukan untuk


menentukan langkah penanganan yang tepat serta memantau keberhasilan terapi pada pasien.

Pada kasus ini, pasien melakukan pemeriksaan tinja dan ditemukan stadium trofozoit dengan
satu inti entamoeba, pseupodia, dan sel darah merah di dalam endoplasmanya.

Differential Diagnosis

Disentri Basiler

Disentri basiler atau Shigellosis merupakan suatu penyakit infeksi akut yang terjadi pada usus
yang disebabkan oleh bakteri genus Shigella (Bush and Perez., 2014). Secara umum terdapat 4 spesies
Shigella yang menyebabkan disentri basiler, meliputi Shigella dysenteriae, Shigella flexneri, Shigella
boydii, dan Shigella sonnei (Infectious Diseases Protocol, 2009).

Secara umum gejala yang terjadi pada disentri basiler adalah diare, adanya lendir dan darah
dalam feses, nyeri perut dan tenesmus (Tjokoprawiro, 2007). Adanya darah dan lendir dalam feses
disebabkan karena invasi bakteri Shigella sp. pada dinding usus sehingga menyebabkan kerusakan
pada dinding usus (Public Health Agency of Canada, 2005). Selain itu penyakit ini dikarakterisasi
dengan meningkatnya frekuensi buang air besar, sedikitnya volume feses, feses lembek, terdapatnya
darah dan lendir dalam feses, demam, serta rasa nyeri (WHO, 2001).
Working Diagnosis
Diagnosis yang diambil adalah pasien mengalami Amoebiasis Intestinal et causa Entamoeba
histolytica

Definisi

Amebiasis (disentri ameba, enteritis amebq kolitis ameba, hepatitis ameba) adalah penyakit
infeksi usus besar yang disebabkan oleh parasit usus golongln protozoa yaitu spesies Entamoeba
histolytica.1 Parasit ini sering ditemukan dalam usus besar manusia, primata tertentu dan beberapa
hewan lain.

Entamoeba histolytica biasanya hidup sebagai bentuk minuta di rongga usus besar manusia,
berkembang biak secara belah pasang, kemudian dapat membentuk dinding dan berubah menjadi
bentuk kista. Kista dikeluarkan bersama tinja. Bentuk kista dapat bertahan lama diluar tubuh manusia
(Herbowo & Firmansyah, 2003).

Morfologi

Dalam daur hidupnya Entamoeba histolytica mempunyai 3 stadium yaitu bentuk histolitika,

minuta dan kista.6 Bentuk histolitika dan minuta adalah bentuk trofozoit. Perbedaan antara kedua

bentuk trofozoit tersebut adalah bentuk histolitika bersifat patogen dan mempunyai ukuran yang lebih

besar dari bentuk minuta. Bentuk histolitika bersifat patogen dan dapat hidup di jaringan hati, paru,

usus besar, kulit, otak, dan vagina. Bentuk ini berkembang biak secara belah pasang di jaringan dan

dapat merusak jaringan tersebut. Minuta adalah bentuk pokok dan tanpa bentuk minuta daur hidup tak

dapat berlangsung. Kista dibentuk di rongga usus besar dan dalam tinja, berinti 1 atau 4 dan tidak

patogen, tetapi dapat merupakan bentuk infektif. Dengan adanya dinding kista, bentuk kista dapat

bertahan hidup terhadap pengaruh buruk di luar badan manusia. 6

Kista matang yang tertelan mencapai lambung masih dalam keadaan utuh karena kista tahan

terhadap asam lambung.7 Di rongga usus halus terjadi ekskistasi dan keluarlah bentuk-bentuk minuta

yang masuk ke dalam rongga usus besar. Bentuk minuta ini berubah menjadi bentuk histolitika yang

patogen dan hidup di mukosa usus besar serta menimbulkan gejala. 6


Bentuk histolitika memasuki mukosa usus besar yang utuh dan mengeluarkan enzim sisstein

proteinase yang dapat menghancurkan jaringan yang disebut histolisin. Kemudian bentuk histolitika

memasuki submukosa dengan menembus lapisan muskularis mukosa, bersarang di submukosa dan

membuat kerusakan yang lebih luas daripada di mukosa usus sehingga terjadi luka yang disebut ulkus

amuba. Lesi ini biasanya merupakan ulkus-ulkus kecil yang letaknya tersebar di mukosa usus, bentuk

rongga ulkus seperti botol dengan lubang sempit dan dasar yang lebar, dengan tepi yang tidak teratur

agak meninggi dan menggaung. Proses yang terjadi terutama nekrosis dengan lisis sel jaringan. Bila

terdapat infeksi sekunder, terjadilah proses peradangan yang dapat meluas di submukosa dan melebar

ke lateral sepanjang sumbu usus. Kerusakan dapat menjadi luas sekali sehingga ulkus-ulkus saling

berhubungan dan terbentuk sinus- sinus dibawah mukosa. Dengan peristalsis usus, bentuk histolitika

dikeluarkan bersama isi ulkus ke rongga usus kemudian menyerang lagi mukosa usus yang sehat atau

dikeluarkan bersama tinja.6-8

Etiologi

Banyak faktor yang dapat meningkatkan insidens amebiasis, antara lain keadaan kurang gizi,
kondisi iklim tropis, turunnya daya tahan tubuh, stress, adanya perubahan flora bakteri di kolon,
infeksi bakteri di kolon, adanya trauma di mukosa kolon, pencandu alkohol, dan faktor genetik.
Keadaan kurang gizi, turunnya daya tahan tubuh, stress dan pecandu alkohol pada penderita amebiasis
merupakan faktor-faktor yang dapat memperparah penderita dan menimbulkan kematian. Di negara-
negara yang baru berkembang, anak-anak dengan kondisi kurang gizi sangat mudah terserang infeksi.
Sering diawali dengan diare ringan dan hilangnya nafsu makan, selanjutnya diikuti dengan
melemahnya tubuh. Kondisi ini menyebabkan berkurangnya jumlah makanan yang masuk serta
mengakibatkan mal-absorpsi, padahal anak tersebut sudah menderita kekurangan gizi.

Epidemiologi

Amoebiasis intestinal tersebar hampir di seluruh dunia terutama di negara sedang berkembang
yang berada di daerah tropis.1 Hal ini disebabkan karena faktor kepadatan penduduk, higiene individu,
sanitasi lingkungan serta kondisi sosial ekonomi dan kultural yang menunjang. Namun di daerah
dengan iklim dingin dan kondisi sanitasi yang buruk, tingginya angka kejadian penyakit setara dengan
di daerah tropis. Insiden tertinggi amoebiasis intestinal ditemukan pada kelompok usia 10-25 tahun.
Penyakit ini juga sering ditemukan di tempat-tempat pelayanan umum seperti penjara, rumah sosial,
dan rumah sakit jiwa (Salah, Hadi, Magdi, Ameer, & Gunnar, 2015).

Patofisiologi

Dalam daur hidup Entamoeba hystolitica mempunyai 2 stadium, yaitu: trofozoit dan kista.
Bila kista matang tertelan, kista tersebut dan bertahan terhadap asam lambung. Kista yang masuk ke
dalam rongga terminal usus halus, dinding kista dicernakan dan terjadi ekskistasi sehingga menjadi
stadium trofozoit yang kemudian masuk ke rongga usus besar. Stadium trofozoit dapat patogen.
Melalui aliran darah trofozoit dapat menyebar ke jaringan hati, paru, otak kulit dan vagina

Penderita biasanya mendapat penyakit ini karena menelan makanan atau minum air yang
tercemar. Kista tetap utuh saat sampai di lambung karena dinding kista tahan terhadap asam lambung.
Amuba dengan bantuan gerakan peristaltik yang cepat akan masuk kembali ke lumen usus dan keluar
bersama tinja dalam bentuk trofozoit, tetapi bila gerakan peristaltik normal trofozoit dapat
berdiferensiasi menjadi bentuk kista. Bentuk kista tiap hari dikeluarkan melalui tinja hingga 15 juta
kista oleh individu carrier. Amoebiasis kolon bila tidak diobati akan menjalar keluar dari usus
menyebabkan amebiasis ekstra-intestinal yang terjadi secara hematogen dan perikontunuitatum. Cara
hemotogen terjadi bila amoeba telah masuk submukosa kemudian ke kapiler darah. Cara per
kontinuitatum terjadi bila abses hati pecah dan amoeba keluar menembus diagfragma, masuk ke
rongga pleura dan paru dan menimbulkan suatu abeses paru atau empiema.

Manifestasi Klinis

Gejala klinik amoebiasis bergantung pada lokalisasi dan beratnya infeksi. Pada sebagian
besar orang yang terinfeksi, E. histolytica hidup sebagai organisme komensal di dalam usus besar dan
tidak menimbulkan gejala. Bentuk klinis yang dikenal ada dua, yaitu amebiasis intestinal (akut dan
kronis) dan amebiasis ekstra intestinal.

Amoebasis intestinal akut gejalanya berlangsung kurang dari satu bulan. Pada penderita
amoebiasis intestinal akut, gejala mulainya infeksi terjadi secara perlahan, nyeri pada bagian abdomen
paling bawah dan paling sering pada kuadran kanan bawah, rasa tidak enak pada perut dan seringnya
keinginan untuk buang air besar. Tinja akan berbentuk lunak, berair, dan berisi sejumlah darah dan
lendir. Kombinasi adanya darah dalam tinja, nyeri perut dan seringnya keinginan buang air besar
merupakan ciri khas terkenanya disentri amuba. Diare yang terjadi disertai darah dan lendir dan dapat
terjadi sampai 10 kali/hari.9 Sekitar sepertiga penderita amebiasis intestinal akut mulai dengan diare
yang banyak mengandung darah dan lendir disertai gejala demam tinggi. Untuk itu memang perlu
pemeriksaan laboratorium guna membedakan dengan penderita disentri basiler. Penderita amoebiasis
akut yang tidak diobati akan sembuh dengan sendirinya. Kondisi seperti inilah yang menyebabkan
seseorang menjadi penderita amebiasis kronik. Penderita amebiasis kronik umumnya menderita
kejadian diare bercak berdarah, kehilangan berat badan dan nyeri pada bagian abdomen yang samar-
samar. Penderita penyakit disentri amebiasis yang tanpa gejala, tanpa disadari merupakan sumber
infeksi yang penting sebagai carrier. Carrier dapat mengeluarkan berjuta-juta kista dalam satu hari.
Carrier pada penjamah makanan yang menghasilkan kista amuba merupakan sumber penyebar infeksi
yang penting ke manusia lainnya.

Infeksi amuba dari E. histolytica ekstra intestinal yang paling sering ditemukan adalah di hati.
Penyebarannya terjadi melalui aliran darah, trofozoit masuk ke aliran darah dan sampai di hati
sehingga mengakibatkan abses, atau dapat juga ditemukan, meski jarang, yaitu di paru-paru atau di
otak.9

Diagnosis amebiasis ekstraintestinal sulit untuk ditegakkan, tinja yang diperiksa sering negatif
terhadap adanya trofozoit dan kista. Pada pemeriksaan fisik yang paling sering ditemukan adalah
kondisi abdomen yang lunak pada kuadran atas kanan, diagnosis yang pasti adalah dengan melakukan
aspirasi jarum rongga abses yang akan menemukan bahan berwarna coklat atau merah coklat. 10
Amoebiasis ekstraintestinal dapat juga dijumpai di penis, vulva, perineum, kulit dekat hati, kulit dekat
kolon atau di tempat lain yang berupa ulkus dengan bagian tepi yang tegas, sakit dan mudah berdarah.
Jika ditemukan di otak biasanya menunjukkan berbagai tanda dan gejala seperti abses atau tumor
otak, hanya hal ini baru dapat terdiagnosis pada saat otopsi otak. 10

Diagnosis

Diagnosis penyakit amebiasis adalah dengan menemukan parasit di dalam tinja atau jaringan.
Diagnosis laboratorium dapat dibuat dengan pemeriksaan mikroskopis dengan menemukan parasit
dalam biakan tinja sering dijumpai Entamoeba histolytica bersama- sama dengan kristal Charcot-
Leyden. Diagnosis yang sulit mengharuskan untuk melakukan pemeriksaan berulang-ulang.
Kegagalan dapat terjadi apabila menggunakan teknik yang salah, pencarian parasit yang kurang teliti,
atau juga sering dikacaukan dengan protozoa lain dan sel-sel artefak.

Pada amebiasis kolon akut biasanya diagnosis klinis ditetapkan bila terdapat sindrom disentri
disertai dengan sakit perut (mules). Biasanya gejala diare berlangsung tidak lebih dari sepuluh kali
dalam sehari. Diagnosis laboratorium ditegakkan dengan menemukan Entamoeba histolytica dalam
tinja.
Terdapat beberapa pemeriksaan yang dapat memperkuat diagnosis, yaitu :

a. Pemeriksaan tinja
Pada pemeriksaan mikroskopik langsung spesimen segar karena motalitas stadium trofozoit akan
menghilang dalam waktu 20-30 menit, dapat ditemukan trofozoit yang bergerak dan mungkin berisi
sel darah merah tetapi metode ini kurang sensitif. E. histolytica bentuk trofozoit yang berada dalam
usus besar dapat menginvasi mukosa, memakan sel darah merah dan membentuk ulkus. Sel darah
merah terdapat dalam trofozoit tetapi jarang terlihat pada infeksi kronik. Nukleus trofozoit tidak
terlihat tanpa pewarnaan tetapi dengan hematoksilin atau trikrom akan tampak struktur nukleus.
Pewarnaan hematoksilin akan memperlihatkan sitoplasma keabuan, nukleus kehitaman sedangkan
pada pewarnaan trikrom, sitoplasma kehijauan, nukleus merah kehitaman dan sel darah merah tampak
merah atau hijau. Kista dapat dilihat dengan pewarnaan hematoksilin, trikrom atau yodium, berbentuk
sferis atau oval, berdinding hialin dan bersifat sangat refraktil.

Secara morfologi, E. histolytica dan E. dispar tidak dapat dibedakan

Diagnosis amebiasis intestinal dapat dilakukan dengan teknik pemeriksaan telur dan parasit. Prosedur
ini termasuk a.l. sediaan langsung dengan cairan garam, yang dapat melihat pergerakan
organismenya; teknik konsentrasi, yang merupakan teknik unfuk menemukan telur cacing dan larva
serta kista protozoa; dan sediaan hapus dengan pulasan perrnanen, yang merupakan teknik terpenting
untuk diagnosis protozoa usus. Meskipun pergerakannya dapat dilihat pada sediaan basah langsung,
bahannya harus segar dan diagnosis infeksi amebik tidak boleh ditegakkan hanya dari pemeriksaan
ini. Sedikitnya teknik konsentrasi dan sediaan dengan pulasan pennanen harus dikerjakan untuk setiap
tinja yang dikirim ke laboratorium untuk pemeriksaan telur dan parasit. 11

b. Kultur tinja

Biakan diagnostik dibuat dalam lapisan cairan yang terdapat diatas nutrien dasar yang padat
dalam keadaan anaerob sebagian. Perbenihan difasik Dobell dan perbenihan Claveland-Collier paling
sering digunakan.

c. Sigmoidoskopi dan biopsi

Pada infeksi intestinal ringan, biasanya tidak dapat dideteksi dengan teknik ini, namun pada
infeksi berat teknik ini dapat mendiagnosis dengan; 1) mendeteksi adanya bintik- bintik mucus yang
banyak terdapat tropozoit; 2) menggambarkan ulkus yang ada. Biopsi spesimen harus dikirimkan
untuk pemeriksaan histopatologi dalam rangka menegakkan diagnosis definitif. Teknik
Immunofluresen secara efektif dapat mendeteksi adanya infeksi E. histolytica pada jaringan biopsi

d. Radiologi
Pemeriksaan radiologi dengan bantuan barium dapat membantu, namun adanya barium dalam
tinja daPat menyebabkan pemeriksaan telur dan parasit sulit dilakukan. Oleh karena itu pemeriksaan
telur dan parasit harus dikerjakan sebelum dilakukan pemeriksaan dengan barium atau satu minggu
sampai 10 hari sesudahnya.

e. Serologi

Sebanyak 75-80% penderita dengan gejala yang disebabkan E.histolytica memperlihatkan hasil
yang positif pada uji serologi antibodi E.histolytica. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai uji
serologi antibodi terhadap E. histolityca. Beberapa tes untuk mendeteksi antibodi antara lain Indirect
Hemagglutination (IHA), Indirect Immunofluorescence Assay (IFA) dan Enzyme-Linked
Immunosorbent Assay (ELISA). Pemeriksaan IHA mudah dikerjakan dan memberikan nilai
spesifisitas tinggi yaitu 99,1% tetapi sensitivitasnya lebih rendah dibandingkan ELISA. Deteksi
antibodi menggunakan IFA dapat diandalkan, cepat dan dapat membedakan infeksi lama dan baru.
Kadar IgM tes IFA dapat menjadi negatif dalam waktu singkat setelah infeksi atau dalam waktu 6
bulan dan 100% menjadi negatif dalam waktu 46 minggu setelah terapi. Pemeriksaan ini mempunyai
sensitivitas 93% dan spesifisitas 96,7%. Tes ELISA merupakan pemeriksaan diagnostik yang sering
digunakan di laboratorium seluruh dunia dengan nilai sensitivitas 97,9% dan spesifisitas 94,8%.
Kadar IgG terhadap antigen lektin dapat di deteksi dalam 1 minggu setelah timbul gejala klinik dan
masih tetap ada dalam beberapa tahun setelah infeksi E. histolytica sedangkan Ig M dapat di deteksi
pada minggu pertama hingga minggu ke tiga dan bertahan hanya ada dalam waktu singkat.

Hasil pemeriksaan serologi tidak dapat membedakan current infection dan previous infection.
Titer antibodi tidak berhubungan dengan berat penyakit dan respon terhadap pengobatan sehingga
walaupun pengobatan yang diberikan berhasil, titer antibodi tidak akan berubah. Anti bodi yang
terbentuk dapat bertahan hingga 6 bulan, bahkan pernah dilaporkan sampai 4 tahun. Pemeriksaan
serologi sangat membantu menegakkan diagnosis pada kelompok yang tidak tinggal di daerah
endemis.

Komplikasi

Kasus amebiasis rata-rata tidaklah mengancam jiwa penderitanya dan sangat jarang
menimbulkan komplikasi.
Namun bila amebiasis tidak segera ditangani, terabaikan, atau tidak memperoleh penanganan yang
tepat, maka beberapa komplikasi berikut dapat menjadi ancaman :
 Empiema, yaitu ketika nanah menumpuk pada ruang pleura (area antara permukaan dinding
dada bagian dalam dan paru-paru).
 Abses hati/liver amebic, yakni sebuah kondisi ketika penumpukan nanah atau abses terjadi
pada jaringan liver/hati.
 Ameboma, yaitu suatu kondisi saat terjadi gumpalan jaringan di bagian usus dan
mengakibatkan sumbatan pada usus.
 Rectovaginal fistula, yakni suatu kondisi ketika saluran antara rektum (bagian bawah usus
besar) dan vagina mengalami gangguan.
 Perforasi usus, yaitu ketika usus halus, usus besar dan dinding lambung mengalami penetrasi
sebagai dampak dari isi usus yang bocor ke rongga perut.
 Perdarahan gastrointestinal atau perdarahan usus, komplikasi ini dapat terjadi ketika
peradangan usus dialami oleh penderita amebiasis dan hal ini dapat kemudian mengakibatkan
anemia karena berkurangnya volume darah.
 Penyebaran parasit hingga ke organ-organ penting lain, seperti otak, paru-paru dan hati
melalui darah.

Tatalaksana

Ameba dapat ditemukan di dalam lumen usus, di dinding usus maupun di luar usus. Hampir
semua obat amebisid tidak dapat bekerja efektif di sernua tempat tersebut, terutama bila diberikan
obat tunggal, sehingga perlu diberikan obat kombinasi untuk meningkatkan hasil pengobatan.
Amebiasis asimptomatik (carrier atau cyst passer).

Walaupun tanpa keluhan dan gejala klinis, pasien ini sebaiknya diobati karena merupakan sumber
infeksi utama. Obat yang digunakan adalah amebisid luminal misalnya:

a. Diloksanid furoat (Diloxanite furoate)

Dosis 3 x 500 mg sehari, selama 10 hari, diberikan sebelum makan. Dosis anak-anak adalah 25
mgikgbbAari. Saat ini obat ini merupakan amebisid luminal pilihan, karena memiliki efektivitas
tinggi (80-85%), sedangkan efek sampingnya minimal yaitu berupa mual dan kembung.

b. Diyodohidroksikuin (Diiodohydroxyquin)

Dosis 3 x 600 mg sehari, selama 10 hari. Efek samping berupa dermatitis generalisata, nyeri
abdomen, diare dan sakit kepala iritatif dan pruritik. Terapi ini kontraindikasi untuk penderita yang
hipersensitif jodium atau setiap bahan campuran yang mengandung 8-hidroksikuinolin.

c. Yodoklorohidroksikin (Iodochlorohydroxyquin) atau kliokinol (clioquino[)


Dosis 3 x 250 mg sehari, selama l0 hari. Kedua obat tersebut termasuk halogenated hydroxy-
quinolin yang cukup efektif sebagai amebisid luminal. Efektivitasnya 6A-700/o. Efek samping yang
terjadi biasanya ringan, berupa mual dan muntah, tapi dapat juga berat, berupa subacute myelooptic
neuropathy (SMON). Hal ini hanya terjadi bila dosis dan jangka waktu pemberian obat melebihi
aturan pakai yang telah ditentukan. Obat ini tidak dianjurkan untuk diberikan pada penderita yang
mengidap penyakit optic rcuropathy. Dan sebaiknya juga tidak diberikan pada penderita yar,g
mengidap penyakit kelenjar gondok, karena dapat mengakibatkan pembesaran kelenjar gondok.

d. Karbasot (Carbarsone)

Dosis 3 x 500 mg sehari, selama 7 hari. Dosis yang terlalu tinggi dapat menyebabkan keracunan
arsen. Terapi ini konhaindikasi pada penderita dengan gangguan hati.

e. Bismuth glycoarsanilate

Dosis 3 x 500 mg sehari, selama 7 hari. Kedua obat tersebut merupakan obat golongan arsen yang
saat ini sudah jarang dipakai lagi. Sering timbul efek samping diare.

f. Klefamid(Clefamide)

Dosis 3 x 500 mg sehari, selama 10-13 hari


g. Tetrasiklin

Dosis 4 x 500 mg sehari, selama 5 hari.

h. Paramomycin

Dosis 3 x 500 mg sehari, selama 5 hari.

Karena ada kemungkinan invasi ameba ke mukosa usus besar, maka walaupun tidak adanya
gangguan peristaltik usus, namun dianjurkan untuk menambahkan amebisid jaringan sebagai
profilaksis, misalnya:

a. Klorokuin difosfat (chloroquiru diphosphate)


Dosis 2 x 500 mg sehari, selama l-2 hari, kemudian dilanjutkan 2 x 250 mg sehari, selama 7-12
hari. Obat ini mudah diserap di saluran pencenaam tetapi lambat eksresinya. Konsentrasi obat dalam
jaringan terutama jaringan hati sangat tinggi, sehingga digunakan untuk profilaksis abses hati ameba.
Efek samping berupa mual, pusing dan nyeri kepala. Pemakaian jangka lama dapat menyebabkan
retinopati. Tidak dianjurkan bagi wanita hamil, karena dapat mengakibatkan anak yang lahir akan tuli.

b. Mehonidazol

Dosis 35-50 mg/kgbb atauS x 500 mg sehari, selama 5 hari.

c. Tinidazole

Dosis 50mg/kgbb atau 2 glharilperoral selama 2-5 hari.

d. Ornidazole

Dosis 50-60 mg/kg bb atau 2 glhari/perorul selama 3-5 hari.

Ketiga obat ini termasuk golongan nitroimidazol yang dapat bekerja baik di dalam lumen usus,
dinding usus maupun di luar usus (ekstraintestinal). Efek samping yang sering terjadi adalah mual,
muntah, pusing dan nyeri kepala. Tidak dianjurkan pemberian pada pasien penyakit darah (blood
discrasia) dan pada ibu hamil, karena pada hewan coba obat ini terbukti mempunyai sifat karsinogenik
dan terato-genik

Pencegahan
Tindakan pencegahan terutama ditujukan pada kebersihan perorangan (personal hygiene) dan
kebersihan lingkungan (enironmental sanitation).12

Kebersihan perorangan antara lain adalah mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, serta
setelah kontak dengan anus. Kebersihan lingkungan meliputi mernasak air minum sampai mendidih
sebelum diminum, mencuci sayuran sampai bersih atau memasaknya sebelum dimakan, buang air
besar di jamban, tidak menggunakan tinja manusia sebagai pupuk, menutup makanan yang
dihidangkan agar tidak terkontaminasi oleh lalat dan lipas, membuang sampah di tempat sampah yang
tertutup untuk menghindari lalat, dan lakukan pengobatan terhadip carrier. Carrier sebaiknya dilarang
bekeda sebagai juru masak atau pekerjaan yang berhubungan dengan makanan. 1,12

Prognosis

Prognosis ditentukan oleh berat ringannya penyakit, diagnosis dan pengobatan dini yang tepat
serta kepekaan ameba terhadap obat yang diberikan. Umumnya prognosis amebiasis baik bila tanpa
komplikasi. pada abses hati ameba dan amebiasis yang disertai penyulit efusi pleura maka diperlukan
tindakan pungsi untuk mengeluarkan nanah. prognosis yang kurang baik adalah pada kasus abses otak
ameba.1,12

Kesimpulan

Pasien menderita Amoebiasis Intestinalis. Amoebiasis Intestinalis adalah penyakit infeksi


usus besar yang disebabkan oleh parasit usus golonglan protozoa yaitu spesies Entamoeba histolytica.
Cara penderita ini terinfeksi adalah dengan menelan makanan atau minuman yang terkontaminasi
kista inti 4 (kista matang). Cara mendiagnosis nya adalah dengan ditemukannya stadium trofozoit
dengan satu inti entamoeba, pseupodia, dan sel darah merah di dalam endoplasmanya. Dengan
diagnosis dan tatalaksana yang tepat, pasien bisa sembuh.
Daftar Pustaka

1. Soewondo ES. Amebiasis dalam Buku Ajar llmu Penyakit Dalam, Jilid Ill, Edisi lV, Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta, 2006:1788-1792.
2. Heyneman D. Ameba Usus dalam Mikrobiologi Kedokteran, Edisi 20, Penerbit Buku
Kedokteran, EGC, Jakarta, 1996: 654-658
3. Farthing MJG, Cevallos AM and Kelly P: Intestinal Protozoa in Mansonos Tropical Diseases,
2lth ed ' Educational Low-Priced Sponsored Texts (ELST), London, 1996: 1373-1385.
4. Adjung SA. Entamoeba histolytica dalam Parasitologi Kedokteran, Edisi ketiga, Balai
Penerbit FKUI, Jakartz,2002: ll3-120
5. Brown HW: Intestinal and Luminal Protozoa, in Basic Clinical Parasitology, Prentice Hall
International Inc' New Jersey, 1998: l7-35
6. Gandahusada S, Ilahude HH, Pribadi W, penyunting. Parasitologi kedokteran. Edisi ke 3.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2002
7. Feldman: Sleisenger & Fordtran’s Gastrointestinal and Liver Disease. Edisi ke 6. London;
W.B. Saunders Company; 1998. h. 1648-79.
8. Yost J. Amebiasis. Pediatr Rev. 2002 Aug; 23:E293

9. James Chin. "Manual Pemberantasan Penyakit Menular". Editor Penterjemah: I Nyoman


Kandun. Infomedika. Edisi 17. Cetakan 11.2006. Jakarta.
10. Fotedar R, Stark D, Beebe N, et al. "Laboratory Diagnostic Techniques for Entamoeba
species. Clinical Microbiology Review. Ju12007. 20(3):511-32.
11. Garcia LS and Bruckner DA: Diagnostik Parasitologi Kedokteran, alih bahasa oleh R-
Makiman, Penerbit Buku Kedokleran, EGC, Jakarta,1996: 5-16 dan 285-291

12. Adjung SA. Entamoeba histolytica dalam Parasitologi Kedokteran, Edisi ketiga, Balai
Penerbit FKUI, Jakartz,2002: ll3-120
13. Reed SL. Amubiasis dan Infeksi oleh Amuba Yang Hidup Bebas dalam Harrison Prinsip-
Prinsip llmu Penyakit Dalam, Edisi XlII, Volume 2, Alih Bahasa Prof. dr. Ahmad Asdie,
Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta, 1999: 997-1001.

Anda mungkin juga menyukai