Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH “ASUHAN KEPERAWATAN


PADA PASIEN THYPUS ABDOMINALIS”

NAMA ANGGOTA
1. Devina Catur Aprilianti (201401002)
2. Hotlin Maristela Gultom (201401007)
3. Hendrikus Sarimanila (201301013)

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN


STIKES ST. VINCENTIUS A PAULO SURABAYA
2015-2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas

rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul

“Asuhan Keperawatan Pada Paien Thypus Abdominalis”. Untuk memenuhi salah

satu syarat penyelesaian tugas di STIKES St. Vincentius a Paulo Surabaya.

Selain itu, penulis mengucapkan terima kasih atas segala dukungan dan

bimbingan secara moral maupun spiritual sehingga tersusunlah makalah ini

kepada Bapak/Ibu dosen maupun teman-teman semua.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan tugas ini masih banyak

kekurangan, baik dari segi isi, penulisan maupun kata -kata yang

digunakan. Oleh karena itu, kami memohon maaf apabila ada kesalahan

kata ataupun penulisan dalam makalah ini. Kami meminta saran dan

kritik yang membangun sehingga makalah ini dapat lebih baik.

Surabaya, 22 Agustus 2015

Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Surverlans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian Demam Thypoid di

Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peninggkatan

frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survey berbagai rumah sakit di

Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan

jumlah penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19,596 menjadi 26,606 kasus. (Aru

W.Sudoyo, dkk, 2007; 1752).

Berdasarkan data diatas menunjukkan bahwa angka kejadian Thypus

Abdominalis masih sangat tinggi. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai factor

antara lain : pengetahuan tentang kesehatan diri dan lingkungan yang masih

relative rendah, penyediaan air bersih yang tidak memadai keluarga dengan

hygiene sanitasi yang rendah, permasalahan pada identifikasi dan penatalaksanaan

karier, keterlambatan membuat diagnosis yang pasti, patogenesis dan factor

virulensi yang belum dimengerti sepenuhnya serta belum tersedianya vaksin

efektif aman dan murah menurut Pang dalam (Soegeng Soegijanto, 2002; 2).

Typhoid atau dapat juga disebut sebagai Thypus Abdominalis atau demam

enterik (enteric fever) adalah suatu penyakit infeksi akut pada saluran pencernaan

(terutama usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai

gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan

kesadaraan.(Ngastiyah, 2005; 236). Thypus Abdominalis disebabkan oleh

masuknya kuman Salmonella Typhi (S.typhi) dan Salmonella Paretyphi

(S.paratyphi) kedalam tubuh manusia melalui makanan yang terkontaminasi oleh

kuman (Aru W.Sudoyo, dkk, 2007).


Untuk itu, penanganan yang tepat sangat diperlukan untuk menurunkan angka

morbiditas Thypus Abdominalis. Penanganan dilingkungan dengan cara

menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya hidup sehat melalui

upaya promotif dan preventif. Selain itu, penanganan dirumah sakit melalaui

upaya kuratif dan rehabilitative juga sangat diperlukan yaitu dengan cara

perawatan yang baik seperti tirah baring, memberikan makanan yang lunak untuk

mengurangi dan mencegah pendarahan pada usus, serta pemberian obat-obatan

antibiotik (Mansjoer Arif, 2002).

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apa definisi dari typus abdominalis?

1.2.2 Bagaimana etiologi, patofisiologi dan manifestasi klinis dari typus

abdominalis?

1.2.3 Bagaimana pemeriksaan penunjang, komplikasi dan penatalaksanaan

medis dari typus abdominalis?

1.2.4 Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan typus abdominalis?

1.3 Tujuan

1.3.1 Mengetahui definisi dari typus abdominalis.


1.3.2 Mengetahui etiologic, patogenesis dari typus abdominalis.
1.3.3 Mengetahui patofisiologi dari typus abdominalis.
1.3.4 Mengetahui manifestasi klinis dari typus abdominalis.
1.3.5 Mengetahui pemeriksaan penunjang typus abdominalis.
1.3.6 Mengetahui komplikasi dari typus abdominalis.
1.3.7 Mengetahui penatalaksanaan medis typus abdominalis.
1.3.8 Mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan typus abdominalis.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Thypus Abdominalis ialah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai

saluran pencernaan, dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan

pada pencernaan, dan gangguan kesadaran (Ngastiyah, 2002). Demam typoid atau

sering disebut dengan tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut pada saluran

pencernaan yang berpotensi menjadi penyakit multisistemik yang disebabkan oleh

Salmonella Thypi (Arif Muttaqin,2011: 488).

2.2 Etiologi

Salmonella thypi sama dengan Salmonela yang lain adalah bakteri gram-

negatif, mempunyai flagella, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif

anaerob. Mempunyai antigen somatic (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar

antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri dari

polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang

membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. Salmonella

thypi juga dapat memperoleh plasmid factor-R yang ebrkaitan dengan resistensi

terhadap multiple antibiotic.

2.3 Patogenesis

Salmonella thypi merupakan basil gram (-). Transmisi salmonella thypi ke dalam

tubuh manusia dapat melalui (Hornick, 1978) hal-hal berikut:

2.3.1 Transmisi oral, melalui makanan yang terkontaminasi kuman salmonella

thypi
2.3.2 Transmisi dari tangan ke mulut, dimana tangan yang tidak higienis yang

mempunyai salmonella thypi langsung bersentuhan dengan makanan yang

dimakan.

2.3.3 Transmisi kotoran, dimana kotoran individu yang mempunyai basil

salmonella thypi ke sungai atau dekat dengan sumber air yang digunakan

sebagai air minum yang kemudian langsung diminum tanpa di masak.

2.4 Patofisiologi

- kuman masuk melalui mulut. Sebagian kuman akan dimusnahkan dalam

lambung oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus, ke jaringan

limfoid dan berkembang biak menyerang vili usus halus kemudian kuman masuk

ke peredaran darah (bakterimia primer) dan mencapai sel-sel retikulo endoteleal,

hati, limpa dan organ-organ lainnya.

- proses ini terjadi dalam masa tunas dan akan berakhir saat sel-sel

retikuloendoteleal melepaskan kuman ke dalam peredaran darah dan

menimbulkan bakterimia kedua kalinya. Selanjutnya kuman masuk ke beberapa

jaringan organ tubuh, terutama limpa, usus dan kandung empedu

- pada minggu pertama sakit, terjadi hyperplasia plak peyer. Ini terjadi pada

kelenjar limfoid usus halus. Minggu kedua terjadi nekrosis dan minggu ketiga

terjadi ulserasi plaks peyer. Pada minggu keempat terjadi penyembuhan ulkus

yang dapat menimbulkan sikatrik. Ulkus dapat menyebabkan perdarahan, bahkan

sampai perforasi usus. Selain itu hepar, kelenjar-kelenjar mesentrial dan limpa

membesar.

- gejala demam disebabkan oleh endotoksil, sedangkan gejala pada saluran

pencernaan disebabkan oleh kelainan pada usus halus.


2.5 Manifestasi klinis

1. gejala pada anak: inkubasi antara 5-40 hari dengan rata-rata 10-14 hari.

2. demam meninggi sampai akhir minggu pertama.

3. demam turun pada minggu keempat, kecuali demam tidak tertangani akan

menyebabkan syok, stupor dan koma.

4. ruam muncul pada hari ke 7-10 dan bertahan selama 2-3 hari.

5. nyeri kepala, nyeri perut.

6. kembung, mual, muntah, diare, konstipasi

7. bradikardi, nyeri otot.

8. epistaksis

9. lidah yang berselaput (kotor ditengah dan ujung merah serta tremor).

10. hepatomegaly, splenomegaly, metoroismus.

11. gangguan mental berupa somnolen.

2.6 Pemeriksaan penunjang

1. Uji Widal (pemeriksaan serologis)

Untuk mengevaluasi reaksi aglutinasi antara antigen dan antibody (agglutinin).

Respons antibody yang dihasilkan tubuh akibat infeksi kuman salmonella adalah

antibody O dan H.

2. Pemeriksaan darah

Untuk mengidentfikasi adanya anemia karena asupan makanan yang terbatas,

malabsorbsi, hambatan pembentukan darah dalam sumsum, dan penghancuran sel

darah merah dalam peredaran darah. Leukopenia dengan jumlah leukosit antara

3000-4000/mm3 (Arif Mutaqqin, 2011: 492).

3. Pemeriksaan urine
Didapatkan proteinuria ringan (<2gr/liter) juga didapatkan peningkatan leukosit

dalam urine.

4. Pemeriksaan feses

Didapatkan adanya lender dan darah, dicurigai akan bahaya perdarahan usus dan

perforasi.

5. Pemeriksaan bakteriologis

Untuk identifikasi adanya kuman salmonella pada biakan darah tinja, urine, cairan

empedu atau sumsum tulang.

6. Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan ini untuk mengetahui apakah ada kelainan atau komplikasi akibat

demam tifoid.

2.7 Komplikasi dari thypus abdominalis

1. komplikasi pada usus halus:

a. perdarahan

b. perforasi

c. peritonitis

2.8 Penatalaksanaan medis thypus abdominalis

1. pemberian antibiotic : untuk menghentikan dan memusnakan penyebaran

bakteri. Antibiotic yang dapat digunakan:

a) Klorampenicol dosis hari pertama 4x250mg, hari kedua 4x500mb,

diberikan selama demam dilanjutkan sampai 2hari bebas demam,

kemudian dosis diturankan menjadi 4x250mg selama 5 hari kemudian.

b) ampisilin/amoxcicilin: dosis 50-150mg/kgbb, diberikan selama 2minggu.

c) kotrikmosazol: 2x2tablet.
d) sefalostorin generasi 2 dan 3 .

2. Istirahat dan perawatan professional

Bertujuan mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Pasien

harus tirah baring sampai minimal 7 hari bebas demam/ kurang lebih selama 14

hari. Dalam perawatan perlu sekali dijaga hygine perseorangan, kebersihan tempat

tidur,pakaian, dan peralatan yang dipakai oleh pasien. Defekasi dan buang air

kecil perlu diperhatikan karena kadang-kadang sering terjadi obstipasi dan retensi

urine

3. Diet dan terapi penunjang (sintomatisdan suportif)

Pertama pasien diberi diet bubur saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya

nasi sesuai tingkat kesembuhan pasien. Juga diperlukan pemberian vitamin dan

mineral yang cukup untuk mendukung keadaan umum pasien. Diharapkan dengan

menjaga keseimbangan dan homeostasis, sitem imun akan tetap berfungsi dengan

optimal.

2.9 Asuhan keperawatan pada pasien thypus abdominalis

1. Pengkajian keperawatan

Kaji gejala dan tanda menigkatnya suhu tubuh, terutama pada malam hari, nyeri

kepala, lidah kotor, tidak ada nafsu makan, epistaksis, penurunan kesadaran.

a. Data biografi: nama, alamat, umur, status perkawinan, tgl MRS, diagnose

medis, catatan kedatangan, keluarga yang dapat dihubungi.

b. Riwayat kesehatan sekarang: mengapa pasien masuk rumah sakit dan apa

keluhan utama pasien sehingga dapat ditegakkan prioritas masalah

keperawatan yang dapat muncul.


c. Riwayat kesehatan dahulu: apakah sudah pernah sakit dan dirawat dengan

penyakit yang sama.

d. Riwayat kesehatan keluarga: apakah ada dalam keluarga pasien yang sakit

seperti pasien.

e. Pola fungsi kesehatan:

1. Pola nutrisi dan metabolism; biasanya nafsu makan klien berkurang karena

terjadi gangguan pada usus halus.

2. Pola istirahat dan tidur: selama sakit pasien merasa tidak dapat istirahat karena

pasien merasakan sakit pada perutnya, mual, muntah, kadang diare.

f. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan Manifestasi klinis

Survey umum dan Pada fase awal penyakit biasanya tidak didapatkan
tingkat kesadaran
adanya perubahan. Pada fase lanjut, secara umum

pasien terlihat sakit berat dan sering didapatkan

penurunan tingkat kesadaran (apatis, delirium).

TTV Pada fase 7-14 hari didapatkan suhu tubuh meningkat

39-41oC pada malam hari dan biasanya turun pada

pagi hari. Pada pemeriksaan nadi didapatkan

penurunan frekuensi nadi (bradikardi).

B1 (Breathing)/ System pernapasan biasanya tidak didapatkan adanya


system pernapasan
kelainan, tetapi akan mengalami perubahan apabila

terjadi respons akut dengan gejala batuk kering. Pada

beberapa kasus berat bisa didapatkan adanya

komplikasi tanda dan gejala pneumonia.


B2 (blood)/ system Penurunan tekanan darah, keringat dingin, dan
kardiovaskuler dan
hematologi diaphoresis sering didapatkan pada minggu pertama.

Kulit pucat dan akral dingin berhubungan dengan

penurunan kadar hemoglobin.

Pada minggu ketiga, respons toksin sistemik bisa

mencapai otot jantung dan terjadi miokarditis dengan

manifestasi penurunan curah jantung dengan tanda

denyut nadi lemah, nyeri dada, dan kelemahan fisik

(Brusch, 2009).

B3 (Brain)/ neuro Pada pasien dengan dehidrasi berat akan


sensori dan fungsi
system saraf pusat. menyebabkan penurunan perfusi serebral dengan

manifestasi sakit kepala, perasaan lesu, gangguan

mental seperti halusinasi dan delirium.

Pada beberapa pasien bisa didapatkan kejang umum

yang merupakan respons terlibatnya system saraf

pusat oleh infeksi tifus abdominalis.

B4 (Bladder)/ Pada kondisi berat akan didapatkan penurunan urine


system urinaria
output respons dari penurunan curah jantung.

B5 sistem Inspeksi:
gastrointestina
Lidah kotor berselaput putih dan tepi hiperemis

disertai stomatitis. Tanda ini jelas mulai Nampak

pada minggu kedua b.d infeksi sistemik dan

endotoksin kuman.

Sering muntah
Perut kembung

Distensi abdomen dan nyeri merupakan tanda

yang diwaspadai terjadinya peritonitis dan

perforasi

Auskultasi:

Didapatkan penurunan bising usus <5kali/menit

pada minggu pertama dan terjadi konstipasi, serta

selanjutnya meningkat akibat terjadi diare.

Perkusi:

Didapatkan suara timpani abdomen akibat

kembung.

Palpasi:

Hepatomegaly dan splenomegaly. Pembesaran

hati dan limpa mengindikasikan infeksi RES yang

mulai terjadi pada minggu ke II.

Nyeri tekan abdomen.

B6 (Bone/) system Respons sistemik akan menyebabkan malaise,


musculoskeletal
dan integument. kelemahan fisik umum, dan didapatkan kram otot

ekstremitas.

Pemeriksaan integument sering didapatkan kulit

kering, turgor kulit menurun, maka tampak pucat,

rambut agak kusam, dan yang terpenting sering

didapatkannnya Roseola (bintik merah pada leher,

punggung, dan paha). Roseola merupakan suatu


nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2-

4mm, berwarna merah, pucat, serta hilang pada

penekanan, lebih sering terjadi pada akhir minggu

pertama dan awal minggu kedua. Roseola ini

merupakan emboli kuman dimana didalamnya

mengandung kuman salmonella dan terutama

didapatkan didaerah perut, dada dan terkadang

dibokong maupun bagian fleksor dari lengan atas

(Crumm, 2009).

2. Diagnose keperawatan

(1.) Hipertermi b.d respons sistemik dari inflamasi gastrointestinal

(2.) Nyeri b.d iritasi saluran gastrointestinal.

(3.) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan kurangnya asupan makanan yang adekuat.

(4.) Resiko kerusakan integritas jaringan b.d penekanan setempat, tirah baring

lama, kelemahan fisik umum.

(5.) Pemenuhan informasi b.d ketidakadekuatan informasi penatalaksanaan

perawatan dan pengobatan, rencana perawatan rumah.


3. Intervensi

Hipertermi b.d respons inflamasi


Tujuan: dalam waktu 1x24 jam terjadi penurunan suhu tubuh.

Kriteria evaluasi:

- Pasien mampu menjelaskan kembali pendidikan kesehatan yang diberikan

- Pasien mampu termotivasi untuk melaksanakan penjelasan yang telah diberikan.


Intervensi Rasional

Evaluasi TTV setiap pergantian sift atau setiap ada keluhan dari Sebagai pengawasan terhadap adanya perubahan kesadaran
pasien. umum pasien sehingga dapat dilakukan penanganan dan
perawatan secara tepat dan cepat.
Kaji pengetahuan pasien dan keluarga dengan cara menurunkan Sebagai data dasar untuk memberikan intervensi selanjutnya.
suhu tubuh.
Lakukan tirah baring total. Penurunan aktivitas akan menurunkan laju metabolism yang
tinggi pada fase akut, dengan demikian membantu menurunan
suhu tubuh.
Atur lingkungan yang kondusif Kondisi ruang kamar yang tidak panas, tidak bising, dan sedkit
pengunjung memberikan efektivitas terhadap proses
penyembuhan. Pada suhu ruangan kamar yang tidak panas,
maka akan terjadi perpindahan suhu tubuh dari tubuh pasien ke
lingkungan. Proses pengeluaran ini disebut radiasi dan
konveksi.
Beri kompres air dingin (air biasa) pada daerh aksila, lipat paha dan Secara konduksi dan koveksi panas tubuh akan berpindah dari
temporal bila terjadi panas tubuh ke material yang dingin. Pengeluaran suhu tubuh dengana
cara konduksi berkisar antara 3% dengan objek 15% dengan
suhu kamar secara konveksi. Kompres dingin merupakan teknik
penurunan suhu tubuh dengan meningkatkan efek konduktivitas.
Area yang digunakan adalah tempat dimana pembulu darah
arteri besar berada sehingga meningkatkan efektivitas dari
proses konduksi.
Anjurkan keluarga untuk memakaikan pakaian yang dapat Pengeluaran suhu tubuh denga cara evaporasi berkisar 22% dari
menyerap keringat seperti katun pengeluaran suhu tubuh. Pakaian yang mudah menyerap
keringat sangat efektif meningkatkan efek dari evaporasi.
Kolaborasi dengan dokter dengan pemberian obat antipiretik Antipiretik bertujuan untuk memblok respons panas sehingga
suhu tubuh pasien dapat lebih cepat menurun.

Nyeri b.d gastrointestinal


Tujuan: dalam waktu 1x24 jam nyeri berkurang/ hilang atau teradaptasi.

Kriteria evaluasi:

- Secara subyektif melaporkan nyeri berkurang.

- Skala nyeri 0-1 (0-4). Dapat mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri.

- Pasien tidak gelisah.

Intervensi Rasional
Jelaskan dan bantu pasien dengan tindakan pereda nyeri Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi
nonfarmakologi dan noninvasive lainnya telah menunjukkan keefektifan dalam mengurangi
nyeri.
Lakukan manajemen nyeri keperawatan: Istirahat secara total fisiologis akan mnurunkan kebutuhan
- Istirahatkan pasien pada saat nyeri muncul oksigen yang diperlukan untuk memenuhi kebtuhan metabolism
basal.

Ketidakseimbangan nutrisi dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kurangnya asupan makanan yang
adekuat
Tujuan: dalam waktu 3x24 jam pasien akan mempertahankan kebutuhan nutrisi yang adekuat.

Kriteria evaluasi:

- Membuat pilihan diet untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dalam situasi individu.

- Menunjukkan peningkatan BB.


Inervensi Rasional

Berikan nutrisi oral secepatnya setelah rehidrasi dilakukan Pemberian sejak awal setelah intervensi rehidrasi dilakukan
dengan memberikan makanan lunak yang mengandung
karbohidrat kompleks seperti nasi lembek, roti, kentang, dan
sedikit daging khususnya ayam (Levine, 2009).
Pemberian bubur saring kemudian bubur kasar dan akhirnya
nasi sesuai dengan tingkat toleransi pada masa lalu dengan
tujuan untuk menghindari komplikasi perdarahan usus atau
perforasi usus karena ada apendapat bahwa usus perlu di
istirahatkan. Akan tetapi pada kondisi klinik, hal ini tidak
memberikan perbaikan karena sebagian besar pasien tidak
menyukai bubur saring., Karena tidak sesuai dengan selera
mereka. Oleh karena itu mereka hanya makan sedikit, keadaan
umum dan gizi pasien semakin mundur dan masa penyembuhan
semakin lama.
Monitor perkembangan berat badan Penimbangan berat badan dilakukan sebagai evaluasi terhadap
inervensi yang diberikan.

Resiko kerusakan integritas jaringan b.d penekanan setempat, tirah baring lama, kelemahan fisik umum.

Tujuan: dalam waktu 5x24 jam resiko decubitus tidak terjadi.

Kriteria evaluasi:

- Pasien terlihat mampu melakukan pencegahan decubitus

- Area yang beresiko tinggi penekanan setempat tidak hiperemi atau tidak ada gejala decubitus
Intervensi Rasional
Lakukan mobilisasi miring kiri-kanan tiap 2 jam. Mencegah penekanan setempat yang berlanjut pada nekrosis
jarinagn lunak.
Jaga kebersihan dan ganti sprei apabila kotor atau basah Mencegah stimulus kerusakan pada area bokong yang terjadi
resiko decubitus.
Bantu pasien melakukan latihan ROM dan perawatan diri sesuai Untuk memelihara fleksibelitas sendi sesuai dengan
toleransi. kemampuan dan meningkatkan aliran darah ke ekstremitas.
Lakukan massage pada daerah yang menonjol yang abru Menghindari kerusakan-kerusakan kapiler-kapiler.
megalami tekana pada waktu berubah posisi.
Observasi terhadap eritema dan kepucatan, serta palpasi area Deteksi dini adanya gangguan sirkulasi dan hilangnya sensasi
sekitar terhadap kehangatan dan pelunakan jaringan tiap risiko tinggi kerusakan integritas kulit kemungkinan komplikasi
mengubah posisi. bedrest total dan imobilisasi. Hangat dan pelunakan adalah
tanda kerusakan jaringan.

Pemenuhan informasi b.d ketidakadekuatan informasi penatalaksanaan perawatan dan pengobatan, rencana
perawatan rumah.

Tujuan: dalam waktu 1x24 jam pasien mampu melaksanakan apa yang telah diinformasikan

Kriteria evaluasi:

- Pasien mampu

- Pasien terlihat
Intervensi Rasional

4. Evaluasi
Hasil yang diharapkan setelah dilakukan intervensi keperawatan adalah sbb:
(1) Terjadi penurunan suhu tubuh
(2) Asupan nutrisi adekuat
(3) Penurunan tingkat nyeri
(4) Tidak terjadi kerusakan integritas jaringan decubitus
(5) Terpenuhnya informasi kesehatan.
BAB 3

SIMPULAN DAN SARAN

3.1 Simpulan

Thypus abdominalis masih merupakan penyakit endemic di Indonesia.

Peyakit ini termasuk penyakit menular yang dapat menular pada siapa saja dan

menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah Thypus

Abdominalis banyak ditemukan pada Negara-negara berkembang didaerah tropis.

Penyakit ini dapat disebarkan melalui makanan dan minuman yang telah tercemar.

Kuman ini ditemukan di tinja dan urine penderita demam tifoid dan banyak terjadi

di musim panas.

3.2 Saran

Setelah di peroleh simpulan sebagaimana di sebutkan diatas untuk selanjutnya

diajukan beberapa saran saran-saran ini hendaknya dijadikan sebagai masukan

untuk kemajuan pengetahuan penulis dan pembacanya.


DAFTAR PUSTAKA

Mansjoer, Arie. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius

Mutaqqin Arief, Sari Kumala. 2011. Gangguan Gastrointestinal. Jakarta: Salemba

Medika

Amin, Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis

& NANDA NIC-NOC. Jilid 1. Jogjakarta: MediaAction Jogja

Suriadi, Yulianni Rita. 2006. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Edisi 2. Jakarta:

Sagung Seto

Anda mungkin juga menyukai