Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

GAWAT DARURAT PADA PASIEN DENGAN


GASTROENTERITIS AKUT (GEA)

OLEH:

PUTU ADHELINA ISWARA DEVI


NIM. 219012779

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI
DENPASAR
2022
A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. Pengertian
Gastroenteritis adalah suatu keadaan dimana terdapat inflamasi pada bagian
mukosa dari saluran gastrointestinal ditandai dengan diare dan muntah (How, C.,
2010). Menurut Dennis, dkk (2016) diare adalah buang air besar dengan frekuensi
yang meningkat dari biasanya atau lebih dari tiga kali sehari dengan konsistensi feses
yang lebih lembek atau cair (kandungan air pada feses lebih banyak dari biasanya
yaitu lebih dari 200 gram atau 200ml/24jam). Gastroenteritis akut adalah diare dengan
onset mendadak dengan frekuensi lebih dari 3 kali dalam sehari disertai dengan
muntah dan berlangsung kurang dari 14 hari (Sudoyo, 2009).
Gastroenteritis akut juga didefinisikan sebagai suatu kumpulan dari gejala
infeksi saluran pencernaan yang dapat disebabkan oleh beberapa organisme seperti
bakteri, virus, dan parasit. Beberapa organisme tersebut biasanya menginfeksi saluran
pencernaan manusia melalui makanan dan minuman yang telah tercemar oleh
organisme tersebut (food borne disease) (Mendri, 2017).
Berdasarkan hal tersebut dapat disumpulkan Gastroenteritis akut (GEA) adalah
inflamasi mukosa dari saluran gastrointestinal akibat infeksi organisme seperti
bakteri, virus, dan parasit ditandai dengan feses yang lebih lembek atau cair dan
muntah dengan onset mendadak yang frekunsinya lebih dari 3 kali sehari dan
berlangsung kurang dari 14 hari.
2. Epidemiologi Kasus
Gastroenteritis adalah salah satu penyebab utama penyakit secara global. Di
seluruh dunia, penyakit ini melibatkan lebih dari 3 hingga 5 miliar anak setiap tahun.
Di Amerika Serikat, ada lebih dari 350 juta kasus gastroenteritis akut setiap tahun,
dan di antaranya, sejumlah 48 juta kasus akibat bakteri pada makanan. Penyakit ini
menyumbang 1,5 juta kunjungan ke dokter perawatan primer setiap tahun dan sekitar
200.000 rawat inap anak di bawah usia 5 tahun (Sattar & Singh, 2021).
Travelers diarrhea terjadi pada lebih dari 50% orang yang bepergian dari negara
maju ke negara berkembang. Di Amerika Serikat, anak-anak di bawah usia 5 tahun
dirawat di rumah sakit sebanyak 9 dari 1000 anak per tahun. Di Inggris dan Australia,
jumlah kasus yaitu sekitar 12 per 1000 anak per tahun. Selain itu, prevalensi
Clostridium difficile juga meningkat pada orang dewasa dan anak-anak (Santos, et.al.,
2019).
Menurut hasil Riskesdas (2018) prevalensi diare di Indonesia berdasarkan
diagnosis tenaga Kesehatan sebesar 6,8% dan berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan
atau gejala yang pernah dialami sebesar 8%. Kelompok umur dengan prevalensi diare
(berdasarkan diagnosis tenaga Kesehatan) tertinggi yaitu pada kelompok umur 1-4
tahun sebesar 11,5% dan pada bayi sebesar 9%.
Kelompok umur 75 tahun ke atas juga merupakan kelompok umur dengan
prevalensi tinggi (7,2%). Prevalensi pada perempuan, daerah pedesaan, pendidikan
rendah, dan nelayan relatif lebih tinggi dibandingkan pada kelompok lainnya. Daerah
dengan prevalensi tertinggi yaitu Sumatera Utara (14,2%). Di Indonesia, diare
merupakan penyebab kematian nomor satu pada balita.
3. Penyebab
Menurut Mansjoer, dkk (2009: 143), penyebab gastroenteritis akut adalah:
a. Faktor infeksi
Infeksi enteral, ialah infeksi saluran pencernaan makanan yang merupakan
penyebab utama gastroenteritis akut pada anak, meliputi:
1) Infeksi bakteri, meliputi (Vibrio, E. coli, Salmonella, Shigella,
Campylobacter, Yersinia, Aeromonas, dan sebagainya).
2) Infeksi virus, meliputi Enterovirus, Adenovirus, Rotavirus, Astrovirus, dan
lain-lain.
3) Infeksi parasit, meliputi cacing (Ascaris, Trichuris, Oxyuris, Strongyloides),
protozoa (Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Trichomonas hominis),
dan jamur (Candida albicans).
b. Faktor Malabsorbsi
Malabsorbsi karbohidrat: disakarida (intoleransi laktosa, maltosa dan
sukrosa), monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa dan galaktosa).
Intoleransi laktosa merupakan penyebab Gastroenteritis Akut yang
terpenting pada anak.
c. Faktor Makanan
Gastroenteritis Akut dapat terjadi karena mengkonsumsi makanan basi,
beracun dan alergi terhadap jenis makanan tertentu.
d. Faktor Psikologis
Gastroenteritis Akut juga dapat terjadi karena faktor psikologis (rasa takut
dan cemas), hal ini jarang tetapi dapat terjadi pada anak yang lebih besar.
4. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala dari gastroenteritis akut biasanya bervariasi. dari salah satu
hasil penelitian yang dilakukan pada orang dewasa, mual (93%), muntah (81%) atau
diare (89%), dan nyeri abdomen (76%) umumnya merupakan gejala yang paling
sering dilaporkan oleh kebanyakan pasien. Selain itu terdapat tanda-tanda dehidrasi
sedang sampai berat, seperti membran mukosa yang kering, penurunan turgor kulit,
atau perubahan status mental, terdapat pada <10 % pada hasil pemeriksaan. Gejala
pernafasan, yang mencakup radang tenggorokan, batuk, dan rinorea, dilaporkan
sekitar 10% (Bresee, 2012).
Sedangkan gatroenteritis akut karena infeksi bakteri yang mengandung atau
memproduksi toksin akan menyebabkan diare sekretorik (watery diarhhea) dengan
gejala-gejala mual, muntah, dengan atau tanpa demam yang umumnya ringan, disertai
atau tanpa nyeri/kejang perut, dengan feses lembek atau cair. Umumnya gejala diare
sekretorik timbul dalam beberapa jam setelah makan atau minurnan yang
terkontaminasi (Sudoyo, 2009).
Diare sekretorik (watery diarhea) yang berlangsung beberapa waktu tanpa
penanggulangan medis yang adekuat dapat menyebabkan kematian karena
kekurangan cairan yang mengakibatkan renjatan hipovolemik atau karena gangguan
biokimiawi berupa asidosis metabolik yang lanjut. Karena kehilangan cairan
seseorang akan merasa haus, berat badan berkurang, mata menjadi cekung, lidah
kering, tulang pipi menonjol, turgor kulit menumn serta suara menjadi serak. Keluhan
dan gejala ini disebabkan deplesi air yang isotonic (Sudoyo, 2009).
Sedangkan kehilangan bikarbonas dan asam karbonas berkurang yang
mengakibatkan penurunan pH darah. Penurunan ini akan merangsang pusat
pernapasan sehingga frekuensi nafas lebih cepat dan lebih dalam (pernafasan
Kussmaul). Reaksi ini adalah usaha badan untuk mengeluarkan asam karbonas agar
pH darah dapat kembali normal. Gangguan kardiovaskular pada tahap hipovolemik
yang berat dapat berupa renjatan dengan tanda-tanda denyut nadi yang cepat, tekanan
darah menurun sampai tidak terukur. Pasien mulai gelisah muka pucat ujung-ujung
ektremitas dingin dan kadang sianosis karena kehilangan kalium pada diare akut juga
dapat timbul aritmia jantung (Sudoyo, 2009).
5. Patofisiologis
Menurut Hidayat (2009), proses terjadinya Gastroenteritis sebagai berikut:
a. Faktor infeksi
Proses ini diawali adanya mikroorganisme (kuman) yang masuk ke dalam
saluran pencernaan yang kemudian berkembang dalam usus dan merusak
sel mukosa usus, yang dapat menurunkan daerah permukaan usus.
Selanjutnya terjadi perubahan kapasitas usus yang akhirnya mengakibatkan
gangguan fungsi usus dalam absorbsi cairan. Juga dikatakan adanya toksin
bakteri akan menyebabkan sistem transpor aktif dalam usus sehingga sel
mukosa mengalami iritasi yang kemudian sekresi cairan dan akan
meningkat.
b. Faktor malabsorbsi
Gastroenteritis terjadi sebagai akibat kegagalan dalam melakukan absorbsi
yang mengakibatkan tekanan osmotik meningkat sehingga terjadi
pergeseran air dan ke rongga usus yang meningkatkan isi rongga usus.
c. Faktor makanan
Terjadi apabila toksin yang ada tidak mampu diserap dengan baik. Sehingga
terjadi peningkatan peristaltik usus yang mengakibatkan penurunan
kesempatan untuk menyerap makanan, yang menyebabkan gastroenteritis.
d. Faktor psikologis
Mempengaruhi terjadinya peningkatan peristaltik usus yang akhirnya
mempengaruhi proses penyerapan makanan dan terjadilah gastroenteritis.
Pathway

Risiko ketidakseimbangan
elektrolit
6. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
Menurut Sudoyo (2009), pemeriksaan penunjang untuk penyakit GEA ada dua
yaitu pemeriksaan darah dan pemeriksaan feses pasien, sebagai berikut:
a. Darah
Pada pemeriksaan darah yang perlu diperiksa adalah dara perifer lengkap,
serum elektrolit berupa Na+, K+, Cl-, analisa gas darah apabila didapatkan
tanda- tanda gangguan keseimbangan asam basa, immunoassay untuk
mengetahui organisme yang menginfeksi mukosa gastrointestinal seperti
toksin bakteri (C. difficile), antigen virus (rotavirus), antigen protozoa
(Giardia, E. histolytica).
b. Feses
Pemeriksaan feses yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan feses lengkap,
pada pemeriksaan ini dilakukan pemeriksaan mikroskopis untuk
mengetahui peningkatan jumlah leukosit di feses pada inflammatory
diarrhea, parasit, amoeba bentuk trpozit, dan hypa pada jamur. Selain
pemeriksaan feses lengkap dilakukan biakan dan resistensi feses atau colok
dubur. Pemeriksaan penunjang diperlukan dalam penatalaksanaan diare
akut karena infeksi, karena dengan tata cara pemeriksaan yang terarah akan
sampai pada terapi definitif.
7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan diare akut karena infeksi pada orang dewasa terdiri atas:
rehidrasi sebagai prioritas utama pengobatan, memberikan terapi simptomatik, dan
memberikan terapi definitif.
a. Terapi rehidrasi
Dehidrasi merupakan ketidakseimbangan cairan tubuh dikarenakan
pengeluaran cairan yang lebih besar daripada pemasukan cairan. Diare
sampai saat ini menjadi penyebab utama terjadinya dehidrasi. Dehidrasi
disebabkan kehilangan air dan elektrolit melalui feses. Kehilangan cairan
dan elektrolit bertambah bila ada muntah dan demam. Dehidrasi merupakan
keadaan yang berbahaya karena dapat menyebabkan penurunan volume
darah (hipovolemia) sampai kematian bila tidak ditangani dengan tepat.
Menurut Leksana (2015) derajat dehidrasi berdasarkan persentase
kehilangan air dari berat badan, yaitu :
1) Dehidrasi ringan yaitu apabila terjadi kehilangan air 5% dari berat
badan. Gambaran klinik turgor kulit kurang elastis, suara serak,
penderita belum jatuh pada keadaan syok.
2) Dehidrasi sedang yaitu apabila terjadi kehilangan air 10% dari berat
badan dengan gambaran klinik turgor kulit buruk, suara serak,
penderita jatuh pre syok, nadi cepat dan dalam.
3) Dehidrasi berat yaitu apabila terjadi kehilangan air 15% dari berat
badan dengan gambaran klinik seperti tanda dihidrasi sedang ditambah
dengan kesadaran menurun, apatis sampai koma, otot kaku sampai
sianosis.
Langkah pertama dalam menterapi diare adalah dengan rehidrasi,
dimana lebih disarankan dengan rehidrasi oral. Akumulasi kehilangan
cairan (dengan penghitungan secara kasar dengan perhitungan berat badan
normal pasien dan berat badan saat pasien diare) harus ditangani pertama.
Selanjutnya, tangani kehilangan cairan dan cairan untuk pemeliharaan. Hal
yang penting diperhatikan agar dapat memberikan rehidrasi yang cepat dan
akurat, yaitu:
1) Jenis cairan
Pada saat ini cairan Ringer Laktat merupakan cairan pilihan karena
tersedia cukup banyak di pasaran, meskipun jumlah kaliumnya lebih
rendah bila dibandingkan dengan kadar Kalium cairan tinja. Apabila
tidak tersedia cairan ini, boleh diberikan cairan NaCl isotonik.
Sebaiknya ditambahkan satu ampul Na bikarbonat 7,5% 50 ml pada
setiap satu liter infus NaCl isotonik. Asidosis akan dapat diatasi dalam
1-4 jam. Pada keadaan diare akut awal yang ringan, tersedia di pasaran
cairan/bubuk oralit, yang dapat diminum sebagai usaha awal agar tidak
terjadi dehidrasi dengan berbagai akibatnya. Rehidrasi oral (oralit)
harus mengandung garam dan glukosa yang dikombinasikan dengan air
(Barr, 2017).
2) Jumlah Cairan
Pada prinsipnya jumlah cairan yang hendak diberikan sesuai dengan
jumlah cairan yang keluar dari badan. Rehidrasi cairan dapat diberikan
dalam 1-2 jam untuk mencapai kondisi rehidrasi (Amin, 2015).
3) Jalur Pemberian Cairan
Rute pemberian cairan pada orang dewasa terbatas pada oral dan
intravena. Untuk pemberian per oral diberikan larutan oralit yang
komposisinya berkisar antara 29g glukosa, 3,5g NaCl, 2,5g Na
bikarbonat dan 1,5g KCI setiap liternya. Cairan per oral juga digunakan
untuk memperlahankan hidrasi setelah rehidrasi inisial (Sudoyo, 2009).
b. Terapi simtomatik
Pemberian terapi simtomatik haruslah berhati-hati dan setelah benar-benar
dipertimbangkan karena lebih banyak kerugian daripada keuntungannya.
Hal yang harus sangat diperhatikan pada pemberian antiemetik, karena
Metoklopropamid misalnya dapat memberikan kejang pada anak dan
remaja akibat rangsangan ekstrapiramidal. Pada diare akut yang ringan
kecuali rehidrasi peroral, bila tak ada kontraindikasi dapat dipertimbangkan
pemberian Bismuth subsalisilat maupun loperamid dalam waktu singkat.
Pada diare yang berat obat-obat tersebut dapat dipertimbang dalam waktu
pemberian yang singkat dikombinasi dengan pemberian obat antimicrobial
(Sudoyo, 2009).
c. Terapi antibiotik
Pemberian antibiotik secara empiris jarang diindikasikan pada diare akut
infeksi, karena 40% kasus diare sembuh kurang dari 3 hari tanpa pemberian
antibiotik. Antibiotik diindikasikan pada pasien dengan gejala dan tanda
diare infeksi, seperti demam, feses berdarah, leukosit pada feses,
mengurangi ekskresi dan kontaminasi lingkungan, persisten atau
penyelamatan jiwa pada diare infeksi, diare pada pelancong dan pasien
immunocompromised. Pemberian antibiotic dapat secara empiris, tetapi
antibiotic spesifik diberikan berdasarkan kultur dan resistensi kuman
(Amin, 2015).
8. Komplikasi
Menurut Ngastiyah (2010), komplikasi yang mungkin timbul akibat
gastroenteritis ialah:
a. Hipertermi
b. Hipoglikemia
c. Intoleransi akibat kerusakan vili mukosa usus dan defisiensi enzim laktase.
d. Kejang terjadi pada dehidrasi hipertonik.
e. Malnutrisi energi protein (akibat muntah dan gastroenteritis jika berlangung
lama atau kronik).

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian keperawatan
Pengkajian pada asuhan keperawatan gadar meliputi 2 jenis, yaitu pengkajian
primer dan pengkajian sekunder. Pengkajian primer (primary survey) menyediakan
evaluasi yang sistematis, pendeteksian, dan manajemen segera terhadap komplikasi
akibat trauma parah yang mengancam kehidupan. Selama primary survey keadaan yang
mengancam nyawa harus dikenali dan resusitasinya dilakukan saat itu juga (Fulde,
2009). Pada dasarnya dalam primary survey, pengkajian pada anak dan orang dewasa
disamakan walaupun jumlah darah, cairan, obat, ukuran anak, kehilangan panas, dan
pola diperlukan berbeda. Serupa dengan pengkajian pada orang hamil akan sama
dengan orang tidak hamil namun perubahan anatomis dan fisiologis dalam kehamilan
dapat mengubah respon penderita hamil terhadap trauma. Primary survey diawali
dengan mendokumentasikan identitas pasien, tingkat kesadaran (AVPU), triase, dan
pengkajian ABCDE. 
1. Identitas pasien
Identitas pasien meliputi nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan, agama, tanggal
masuk rs, alasan masuk dan diagnose medis. 
2. Initial survey (AVPU)
Pengkajian kesadaran meliputi alert/sadar lingkungan, verbal/mampu menjawab
pertanyaan, pain/merespon terhadap nyeri, unresponsive/tidak merespon.
3. Triase
Triase diklasifikasikan menjadi 5, yaitu:
 Level 1 Resuscitation merupakan kondisi yang mengancam nyawa atau
anggota tubuh (atau risiko kemunduran yang segera terjadi) membutuhkan
segera intervensi agresif. 
 Level II Emergent, kondisi yang berpotensi mengancam anggota tubuh atau
fungsi, membutuhkan intervensi medis yang cepat atau tindakan yang
didelegasi dan waktu penilaian dokter ≤ 15 menit. 
 Level III Urgent, kondisi yang berpotensi berkembang menjadi masalah serius
yang membutuhkan intervensi darurat. Dapat dikaitkan dengan
ketidaknyamanan yang signifikan atau mempengaruhi kemampuan untuk
bekerja dan kegiatan hidup sehari-hari. waktu penilaian dokter ≤ 30 menit.
 Level IV Less Urgent, kondisi yang berkaitan dengan usia pasien, kesulitan,
potensi kerusakan atau komplikasi akan mendapat manfaat dari intervensi atau
jaminan dalam (1-2 jam). Waktu ke dokter ≤ 1 jam.
 Level V Non Urgent, kondisi yang mungkin akut terapi tidak mendesak serta
kondisi yang mungkin menjadi bagian dari masalah kronis dengan atau tanpa
bukti kerusakan. Waktunya ke dokter ≤ 2 jam.
4. Pengkajian Primer
a. Airway (jalan napas)
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah memeriksan responsivitas pasien
dengan mengajak pasien bicara untuk memastikan ada tidaknya sumbatan jalan
napas. Jika pasien mampu berbicara secara jelas maka jalan napas pasien terbuka
(Thygerson, 2011). Pasien dengan kondisi tidak sadar memerlukan bantuan airway
dan ventilasi. Tulang belakang dan leher harus dilindungi baik selama pemeriksaan
ataupun pelaksanaan tindakan. Hal tersebut bertujuan untuk mengantisipasi jika
terjadi kemungkinan fraktur servikal. Tindakan pemeriksaan yang tepat dapat
dilakukan dengan metode head tilt chin lift atau jaw thrust. Hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam pengkajian airway, antara lain:
1. Kaji kepatenan jalan napas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau bernapas
dengan jelas?
2. Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan napas pada pasien antara lain:
a. Sesak napas
b. Adanya snoring (ngorok/tertutupi lidah), grugling (terdapat cairan/darah),
stridor (sumbatan anatomis)
c. Penggunaan otot bantu napas
d. Sianosis
3. Jika terjadi sumbatan jalan napas total pada pasien sadar, maka pasien akan
memegang leher, gelisah, dan sianosis. Jika pasien tidak sadar maka akan tidak
terdengar suara napas dan sianosis. 
4. Jika terjadi sumbatan jalan napas parsial, maka akan timbul kesulitan bernapas,
retraksi suprasternal, masih terdengar suara napas, dan suara stridor.

b. Breathing (Pernapasan)
Pengkajian pada pernapasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan napas
dan keadekuatan pernapasan pada pasien. Jika pernapasan tidak memadai maka
langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah dekompresi dan drainase
tension pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan ventilasi
bantuan (Wilkinson & Skinner, 2000). Hal-hal yang harus diperhatikan dalam
pengkajian breathing adalah frekuensi napas (dewasa: 12-20 kali/menit; anak-
anak: 20-30 kali/menit; bayi: 30-40 kali/menit), suara pernapasan, dan adanya
udara keluar dari jalan napas. Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan:
1. Look: Lihat pergerakan dada, irama, kedalaman, simetris atau tidak, dan
dyspnea. Kaji apakah adanya penurunan kesadaran, gelisah, adanya jejas
diatas clavikula, dan penggunaan otot bantu napas.
2. Listen: Dengarkan dengan atau tanpa stetoskop adanya suara napas
tambahan.
3. Feel: Rasakan adanya pergerakan udara dengan vremitus taktil dan
kesemetrisan dinding thoraks.
c. Circulation 
Syok didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi
jaringan. Cara yang tepat untuk mengenali adanya syok adalah mengkaji ada
tidaknya denyut nadi karotis, ada tidaknya perdarahan eksternal maupun internal,
dan ada tidaknya tanda-tanda syok. Tanda syok meliputi akral dingin, kesadaran
menurun, tekanan darah menurun, dan CRT >2detik. Seluruh perdarahan
eksternal yang nyata harus diidentifikasi melalui paparan pada pasien secara
memadai dan dikelola dengan baik (Wilkinson & Skinner, 2000). Langkah –
langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara lain:
1. Raba nadi karotis dan lakukan CPR jika diperlukan
2. Kontrol perdarahan yang dapat mengancam nyawa dengan penekanan
ataupun elevasi
3. Kaji CRT, raba akral (pucat-dingin-basah), lakukan penghitungan denyut
nadi yang pada umumnya cepat melemah (>100 kali/menit), dan tekanan
darah (<100 mmHg). 
d.  Disability
Hal-hal yang dikaji untuk meninali disability pasien adalah GCS
(Glasgow Coma Scale) dan reaksi pupil. GCS ditentukan dengan komponen
pemeriksaan eye (mata), motoric (gerakan), verbal (suara). Penilaian GCS berada
pada skala normal 15-14 dengan penilaian sebagai berikut:
1. Eye 
4 = Mata terbuka secara spontan
3 = Mata terbuka dengan rangsangan suara
2 = Mata terbuka dengan rangsangan nyeri
1 = Pasien tidak bereaksi baik dengan rangsangan nyeri ataupun suara
2. Motoric
6 = Dapat melakukan kegaiatn secara spontan saat diperintahkan
5 = Dapat melokalisir nyeri
4 = Dapat menghindari nyeri
3 = Pasien hanya menekuk lengan dan memutar bahu saat diberi rangsangan
nyeri
2 = Pasien hanya mengepalkan jari tangan dan kaki saat diberi rangsangan
nyeri
1 = Pasien tidak merespon
3. Verbal 
5 = Dapat menjawab secara jelas dan benar
4 = Percakapan tidak lancer (disorientasi)
3 = Komunikasi tidak jelas hanya mengeluarkan kata-kata
2 = Mengerang
1 = Tidak ada suara
Pada reaksi pupil dilakukan pemeriksaan ukuran pupil (2-4 mm)
dengan kondisi pupil mengecil saat mendapatkan cahaya terang dan
membesar saat berada pada lingkungan minim cahaya.
e. Exposure 
Menanggalkan pakaian pasien dan mengidentifikasi cidera dengan tetap
menjaga kestabilan suhu tubuh pasien. Yang perlu diperhatikan dalam melakukan
pemeriksaan pada pasien adalah mengekspos pasien hanya saat pemeriksaan
eksternal dan menyelimuti pasien serta menjaga privasi pasien saat selesai
pemeriksaan (Thygerson, 2011).
5. Pengkajian Sekunder
Pengkajian sekunder dilakukan bila primary survey telah selesai,
tindakan/resusitasi telah dilakukan dan penilaian ABCDE pasien dipastikan telah
membaik. Secondary survey dilakukan setelah 2 jam pasien diobservasi di UGD
dengan pengkajian sebagai berikut:
a. Riwayat Pasien:
S (Sign and Symptoms) tanda gejala yang dialami pasien
A (Allergy), riwayat alergi pasien baik obat maupun makanan.
M (Medication), obat-obatan yang pernah ataupun sedang dikonsumsi.
P (Past medical history), riwayat kesehatan dahulu yang pernal dialami pasien.
L (last meal), obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, lengkap dengan
berapa jam sebelum kejadian.
E (event leading), hal-hal yang bersangkutan dengan penyebab cidera.
Selain itu, dapat disertai dengan pengkajian nyeri jika ditemukan tanda dan gejala
nyeri pada pasien.
Pengkajian Nyeri:
O (Onset), sejak kapan
P (Provoked), pencetus nyeri
Q (Quality), kualitas nyeri
R (Radiant), arah penjalaran nyeri
S (Severity), skala nyeri
T (Time), lamanya nyeri
Setelah dianamnesis, maka langkah berikutnya adalah pemeriksaan tanda-tanda
vital yang meliputi tekanan darah, denyut nadi, frekuensi napas, dan suhu.
b. Riwayat Mekanisme Trauma
Meliputi kronologis terjadinya trauma disertai dengan proses terjadinya. 
c. Pemeriksaan Fisik 
1. Kulit kepala
Seluruh kulit kepada diperiksa untuk mengidentifikasi pasien dengan cidera ringan
yang biasanya terdapat darah di lantai berasal dari bagian belakang kepala
penderita. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk
mengetahui adanya pigementasi, laserasi, massa, kontusio, faktur dan luka termal,
ruam, perdarahan, nyeri tekan, dan sakit kepala.
2. Wajah
Inspeksi adanya kesimetrisan kanan dan kiri serta adanya jejas ataupun edema
sekitar wajah.

3. Mata
Periksa kornea apakah ada cidera atau tidak, ukuran pupil apakah isokor atau
anisokor serta bagaimana reflek cahanya, apakah pupil mengalami miosis atau
midriasis, adanya icterus, apakah konjungtiva anemis atau adanya kemaraha, rasa
nyeri, gatal-gatal, serta subkonjungtiva perdarahan.
4. Hidung
Periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan indra penciuman, adanya
deformitas (pembengkokan), lakukan palpasi akan kemungkinan krepitasi
dari suatu fraktur.
5. Telinga
Periksa adanya nyeri, pembengkakan, tinitus, penurunan pendengaran, inspeksi
dengan senter terkait keutuhan membrane timpani atau adanya hemotimpanum.
6. Mulut dan gigi
Inspeksi mukosa terhadap kelembaban, warna, adanya lesi, tekstur lidak, apakah
tonsil meradang, palpasi daerah pipi apakah adanya masa/tumor, pembengkakan
disertai nyeri, dan identifikasi jumlah gigi. 
7. Leher
Identifikasi adanya edema, ruam, lesi dan masa, kaji adanya keluhan disfagia dan
suara serak, cidera tumpul atau tajam, deviasi trakea, pemakian otot bantu
tambahan. Palpasi adanya deformitas dan kekakuan pada leher. disertai nyeri, dan
identifikasi jumlah gigi. 
8. Thoraks
Inspeksi dinding dada bagian depan, samping, dan belakang untuk mengetahui
adanya trauma tumpul/tajam, luka, memar, ruam, ekomosis, bekas luka, kedalaman
pernapasan, kesimetrisan ekspansi dinding dada, penggunaan otot bantu napas,
apakah terpasang alat bantu (pace maker), frekuensi, dan irama denyut jantung
(Lombardo, 2005). Palpasi untuk mengetahui adanya nyeri tekan, krepitasi. Perkusi
untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan. Auskultasi untuk
mengetahui adanya suara napas tambahan. 
9. Jantung 
Inspeksi kemungkinan adanya ictus yang normalnya terjadi pada orang dewasa
kurus di sela iga V linea mid-clavicula kiri. Palpasi hal-hal yang ditemukan saat
inspeksi untuk memperjelas mengenai lokalisasi punctum maksimum, apakah kuat,
bagaimana frekuensinya, dan kualitas dari pulsasi yang teraba. Perkusi pada
pemeriksaan jantung diperlukan untuk menentukan batas-batas jantung. Jika sulit
ditemukan batas-batas jantung terdapat kencenderungan pasien dengan emfisema
paru. Auskultasi jantung meliputi pemeriksaan bunyi jantung, bising jantung, dan
gesekan pericard.
10. Abdomen
Cidera intra-abdomen kadang-kadang tidak terdiagnosis, akibat penderita tidak
sadar akan nyeri perutnya dan gejala pada otot dan nyeri tekan tidak ada. Inspeksi
abdomen bagian depan dan belakang, untuk adanya trauma tajam, tumpul dan
adanya perdarahan internal, adakah distensi abdomen, asites, luka, lecet, memar,
ruam, massa, denyutan, benda tertusuk, ecchymosis, bekas luka , dan stoma.
Auskultasi bising usus, perkusi abdomen, untuk mendapatkan, nyeri lepas (ringan).
Palpasi abdomen untuk mengetahui ada tidaknya kekakuan atau nyeri tekan,
hepatomegali, splenomegali, defans muskuler, nyeri lepas yang jelas atau uterus
yang hamil. Bila ragu akan adanya perdarahan intra abdominal, dapat dilakukan
pemeriksaan DPL (diagnostic peritoneal lavage) ataupun USG.
11. Pelvis
Cidera pada pelvis yang berat akan nampak pada pemeriksaan fisik, pada cedera
berat ini kemungkinan penderita akan masuk dalam keadaan syok, yang harus
segera diatasi. Palpasi pada pelvis diperlukan untuk mengetahui adanya nyeri tekan
maupun krepitasi sebagai tanda adanya faktur pada pelvis.
12. Perineum dan Rektum
Perineum diperiksa akan adanya luka, laserasi, ruam, lesi, edema atau kontusio,
hematoma, dan perdarahan uretra. Colok dubur harus dilakukan sebelum
memasang kateter uretra. Harus diteliti akan kemungkinan adanya darah dari
lumen rectum, prostat letak tinggi, adanya fraktur pelvis, utuh tidaknya rectum dan
tonus musculosfinkter ani. Pada wanita, pemeriksaan colok vagina dapat
menentukan adanya darah dalam vagina atau laserasi, jika terdapat perdarahan
vagina dicatat, karakter, dan jumlah kehilangan darah harus dilaporkan (pada
tampon yang penuh memegang 20 sampai 30 mL darah. Juga harus dilakuakan tes
kehamilan pada semua wanita usia subur. Permasalahan yang ada adalah ketika
terjadi kerusakan uretra pada wanita, walaupun jarang dapat terjadi pada fraktur
pelvis dan straddle injury. Pasien dengan keluhan kemih harus ditanya tentang rasa
sakit atau terbakar dengan buang air kecil, frekuensi, hematuria, kencing
berkurang. Sebuah sampel urin harus diperoleh untuk analisis.
13. Genetalia
Inspeksi genetalia meliputi ada tidaknya lesi, pembengkakan, dan benjolan. Palpasi
meliputi ada tidaknya nyeri tekan, benjolan, ataupun cairan yang keluar.
14. Ekstremitas
Inspeksi dilakukan untuk memriksa adanya luka dekat daerah fraktur (fraktur
terbuka), pada saat palpasi untuk memeriksa denyut nadi distal dari fraktur pada
saat menggerakan, jangan dipaksakan bila jelas fraktur. Sindroma kompartemen
(tekanan intrakompartemen dalam ekstremitas meninggi sehingga membahayakan
aliran darah), kaji juga status kelumpuhan. Inspeksi pula adanya kemerahan,
edema, ruam, lesi, gerakan, dan sensasi harus diperhatikan, paralisis,
atropi/hipertropi otot, kontraktur, sedangkan pada jari-jari periksa adanya clubbing
finger serta catat adanya nyeri tekan, dan hitung CRT pasien. Perlukaan berat pada
ekstremitas dapat terjadi tanpa disertai fraktur. Kerusakan ligament dapat
menyebabakan sendi menjadi tidak stabil, keruskan otot-tendon akan mengganggu
pergerakan. Gangguan sensasi atau hilangnya kemampuan kontraksi otot dapat
disebabkan oleh syaraf perifer atau iskemia. 
15. Neurologis 
Pemeriksaan neurologis meliputi pemeriksaan tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi
pupil, pemeriksaan motorik dan sensorik. Perubahan dalam status neurologis dapat
dikenal dengan GCS. Adanya paralisis dapat disebabakan oleh kerusakan kolumna
vertebralis atau saraf perifer. Imobilisasi penderita dengan short atau long spine
board , kolar servikal, dan alat imobilisasi dilakukan samapai terbukti tidak ada
fraktur servikal. Kesalahan yang sering dilakukan adalah untuk melakukan fiksasai
terbatas kepada kepala dan leher saja, sehingga penderita masih dapat bergerak
dengan leher sebagai sumbu. Jelsal bahwa seluruh tubuh penderita memerlukan
imobilisasi. Bila ada trauma kepala, diperlukan konsultasi neurologis. Harus
dipantau tingkat kesadaran penderita, karena merupakan gambaran perlukaan intra
cranial. Bila terjadi penurunan kesadaran akibat gangguan neurologis, harus diteliti
ulang perfusi oksigenasi, dan ventilasi (ABC). Pada pemeriksaan neurologis,
inspeksi adanya kejang, twitching, parese, hemiplegi atau hemiparese (ganggguan
pergerakan), distaksia (kesukaran dalam mengkoordinasi otot), dan kaji pula
adanya vertigo dan respon sensori.

2. Diagnosa keperawatan
Diagnosis keperawatan merupakan penilaian klinis mengenai respons klien
terhadap masalah kesehatan baik yang berlangsung aktual maupun potensial (PPNI,
2017). Diagnosis keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi respon klien
individu, keluarga, atau komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan.
Diagonsis keperawatan yang muncul pada pasien dengan gastroenteritis akut (GEA)
adalah:
a. Hipovolemia (D.0023) berubungan dengan kehilangan cairan efektif
b. Hipertermi (D.0130) berhubungan dengan dehidrasi atau proses penyakit
c. Defisit nutrisi (D.0019) berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna
makanan
d. Risiko ketidakseimbangan elektrolit (D.0037) dibuktikan dengan diare
e. Gangguan integritas kulit (D.0129) berhubungan dengan perubahan status
nutrisi, kekurangan volume cairan
3. Intervensi

NO Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi


keperawatan (SDKI) (SLKI) (SIKI)

1. Hipovolemia Setelah dilakukan intervensi Manajemen Hipovolemia (I.03116)


berubungan dengan keperawatan, maka status Observasi:
kehilangan cairan cairan (L.03028) membaik  Periksa tanda dan gejala hipovolemia (mis. frekuensi nadi
efektif dengan kriteria hasil: meningkat, nadi teraba lemah, tekanan darah menurun, tekanan
a) Turgor kulit membaik nadi menyempit, turgor kulit menurun, membrane mukosa kering,
b)Output urine membaik volume urine menurun, hematokrit meningkat, haus dan lemah)
c) Frekuensi nadi membaik  Monitor intake dan output cairan
(60-100 x/menit)
d)Tekanan darah membaik Terapeutik
(120/80 mmHg)  Hitung kebutuhan cairan
e) Membrane mukosa  Berikan posisi modified trendelenburg
membaik  Berikan asupan cairan oral

Edukasi
 Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral
 Anjurkan menghindari perubahan posisi mendadak

Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian cairan IV issotonis (mis. cairan NaCl, RL)
 Kolaborasi pemberian cairan IV hipotonis (mis. glukosa 2,5%,
NaCl 0,4%)
 Kolaborasi pemberian cairan koloid (mis. albumin, plasmanate)
 Kolaborasi pemberian produk darah

2. Hipertermia Setelah dilakukan intervensi Manajemen Hipertermia (I.15506)


berhubungan dengan keperawatan, maka Observasi :
proses penyakit termoregulasi (L.14134)  Identifikasi penyebab hipertermia
membaik dengan kriteria  Monitor tanda-tanda vital
hasil :  Monitor suhu tubuh anak tiap dua jam, jika perlu
a) Menggigil menurun  Monitor intake dan output cairan
b) Kulit merah menurun  Monitor warna dan suhu kulit
c) Kejang menurun  Monitor komplikasi akibat hipertermia
d) Pucat menurun
e) Takikardi menurun Terapeutik :
f) Takipnea menurun
 Sediakan lingkungan yang dingin
g) Bradikardi menurun
 Longgarkan atau lepaskan pakaian
h) Hipoksia menurun
i) Suhu tubuh membaik  Basahi dan kipasi permukaan tubuh
j) Suhu kulit membaik  Tingkatkan asupan cairan dan nutrisi yang adekuat
k) Tekanan darah membaik  Berikan cairan oral
 Ganti linen setiap hari jika mengalami keringat berlebih
 Lakukan pendinginan eksternal (mis. kompres dingin pada dahi,
leher, dada, abdomen, aksila

Edukasi :
 Anjurkan tirah baring
 Anjurkan memperbanyak minum

Kolaborasi :
 Kolaborasi pemberian antipiretik, jika perlu
 Kolaborasi pemberisn antibiotik, jika perlu
3. Defisit nutrisi Setelah dilakukan intervensi, Manajemen Nutrisi (I. 03119)
berhubungan dengan maka diharapkan status Observasi
ketidakmampuan nutrisi (L.03030)membaik.  Identifikasi status nutrisi
mencerna makanan Dengan kriteria hasil:  Monitor asupan makanan
a) Porsi makanan yang  Monitor berat badan
dihabiskan meningkat
b) Diare menurun Terapeutik
c) Berat badan membaik  Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
d) Indeks Massa Tubuh  Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
(IMT) membaik  Berikan suplemen makanan, jika perlu
e) Nafsu makan membaik  Hentikan pemberian makan melalui selang nasogastrik jika
asupan oral dapat ditoleransi
 Berikan makanan sesuai keinginan, jika memungkinkan

Edukasi
 Anjurkan orang tua atau keluarga membantu memberi makan
kepada pasien

Kolaborasi
 Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan
jenis nutrient yang dibutuhkan, jika perlu

4. Resiko Setelah dilakukan intervensi, Pemantauan elektrolit (I.03122)


ketidakseimbangan maka diharapkan Observasi
elektrolit dibuktikan keseimbangan elektrolit  Identifikasi penyebab diare (mis. inflamasi gastrointestinal)
dengan diare (L.03021) meningkat.  Monitor mual, muntah, dan diare
Dengan kriteria hasil :  Monitor status hidrasi
a) Serum natrium membaik
b) Serum kalium membaik Terapeutik
c) Serum klorida membaik  Catat intake-output dan hitung balance cairan 24 jam
 Berikan asupan cairan oral (mis. larutan garam gula, oralit)
 Berikan cairan intravena, jika perlu

Edukasi
 Anjurkan makanan porsi kecil dan sering secara bertahap
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian obat antimotilitas (mis. loperamide,
difenoksilat)

5. Gangguan integritas Setelah dilakukan intervensi, Perawatan Integritas Kulit (I.11353)


kulit berhubungan maka diharapkan Integritas Observasi
dengan perubahan Kulit dan Jaringan (L.14125)  Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit (misalnya
status nutrisi, meningkat. Dengan kriteria perubahan sirkulasi, perubahan status nutrisi, penurunan
kekurangan volume hasil : kelembaban, suhu lingkungan ekstrim, penurunan mobilitas)
cairan a) Elastisitas meningkat
b) Hidrasi meningkat Terapeutik
c) Perfusi jaringan  Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah baring
meningkat  Lakukan pemijatan pada area penonjolan tulang, jika perlu
d) Kerusakan jaringan  Gunakan produk berbahan petroleum dan minyak pada kulit
menurun kering
e) Kerusakan lapisan  Hindari produk berbahan dasar alcohol pada kulit kering
kulit menurun
f) Suhu kulit membaik Edukasi
 Anjurkan menggunakan pelembab (misalnya lotion serum)
 Anjurkan meningkatkan asupan buah dan sayur
 Anjurkan menghindari terpapar suhu ekstrem
 Anjurkan mandi dan menggunakan sabun secukupnya
4. Implementasi keperawatan
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi kestatus
kesehatan yang baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan.
Implementasi merupakan tahap keempat dari proses keperawatan dimana rencana
keperawatan dilaksanakan melaksanakan intervensi/aktivitas yang telah ditentukan,
pada tahap ini perawat siap untuk melaksanakan intervensi dan aktivitas yang telah
dicatat dalam rencana perawatan klien. Agar implementasi perencanaan dapat tepat
waktu dan efektif terhadap biaya, pertama-tama harus mengidentifikasi prioritas
perawatan klien, kemudian bila perawatan telah dilaksanakan, memantau dan
mencatat respons pasien terhadap setiap intervensi dan mengkomunikasikan informasi
ini kepada penyedia perawatan kesehatan lainnya. Kemudian, dengan menggunakan
data, dapat mengevaluasi dan merevisi rencana perawatan dalam tahap proses
keperawatan berikutnya (Wilkinson, 2012). Komponen tahap implementasi antara
lain:
a. Tindakan keperawatan mandiri.
b. Tindakan keperawatan edukatif
c. Tindakan keperawatan kolaboratif.
d. Dokumentasi tindakan keperawatan dan respon klien terhadap asuhan
keperawatan
5. Evaluasi keperawatan
Menurut Setiadi (2012) dalam buku konsep dan penulisan asuhan keperawatan
tahapan penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan terencana
tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara
berkesinambungan dengan melibatkan klien, keluarga dan tenaga kesehatan lainnya.
Terdapat dua jenis evaluasi:
a. Evaluasi Formatif (Proses)
Evaluasi formatif berfokus pada aktivitas proses keperawatan dan hasil
tindakan keperawatan. Evaluasi formatif ini dilakukan segera setelah perawat
mengimplementasikan rencana keperawatan guna menilai keefektifan tindakan
keperawatan yang telah dilaksanakan. Perumusan evaluasi formatif ini meliputi
4 komponen yang dikenal dengan istilah SOAP, yakni subjektif, objektif,
analisis data dan perencanaan.
1) S (subjektif) : Data subjektif dari hasil keluhan klien, kecuali pada klien
yang afasia
2) O (objektif) : Data objektif dari hasi observasi yang dilakukan oleh perawat.
3) A (analisis) : Masalah dan diagnosis keperawatan klien yang dianalisis atau
dikaji dari data subjektif dan data objektif.
4) P (perencanaan) : Perencanaan kembali tentang pengembangan tindakan
keperawatan, baik yang sekarang maupun yang akan datang dengan tujuan
memperbaiki keadaan kesehatan klien.
b. Evaluasi Sumatif (Hasil)
1) Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan setelah semua aktivitas
proses keperawatan selesi dilakukan. Evaluasi sumatif ini bertujuan menilai
dan memonitor kualitas asuhan keperawatan yang telah diberikan. Ada 3
kemungkinan evaluasi yang terkait dengan pencapaian tujuan keperawatan
(Setiadi, 2012), yaitu:
2) Tujuan tercapai atau masalah teratasi jika klien menunjukan perubahan
sesuai dengan standar yang telah ditentukan.
3) Tujuan tercapai sebagian atau masalah teratasi sebagian atau klien masih
dalam proses pencapaian tujuan jika klien menunjukkan perubahan pada
sebagian kriteria yang telah ditetapkan.
4) Tujuan tidak tercapai atau masih belum teratasi jika klien hanya
menunjukkan sedikit perubahan dan tidak ada kemajuan sama sekali.
DAFTAR PUSTAKA

Apriza, Regina Putri. 2021. Epidemiologi Gastroenteritis.


https://www.alomedika.com/penyakit/gastroentero-hepatologi/gastroenteritis/
epidemologi. Diakses pada tanggal 14 Agustus 2022.
Mendri. 2018. Asuhan Keperawatan Pada Balita Sakit Dan Bayi Resiko Tinggi (1 st ed.).
Yogyakarta: PUSTAKA BARU PRESS.
Ngastiyah. 2014. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator
Diagnostik. Jakarta: DPP PPNI.
-----------. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan
Keperawatan. Jakarta: DPP PPNI.
-----------. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan. Jakarta: DPP PPNI.
Riskesdas. 2018. Hasil Utama Laporan Riskesdas 2018 [Main Report of Indonesia Basic
Health Research 2018]. National Institute of Health Research and Development
Jakarta. https://doi.org/5 Mei 2021, diakses pada tanggal 5 Mei 2021
Setiadi. 2012. Konsep & Penulisan Dokumentasi Asuhan Keperawatan Teori dan
Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sheehy. 2013. Keperawatan Gawat Darurat dan Bencana. Kurniati Amelia, dkk :Edisi
Indonesia 1. Singapore: Elsevier
Sudoyo, A.W. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, edisi V. Jakarta: Interna
Publishing
Wilkinson, J. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 7. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai