OLEH:
Risiko ketidakseimbangan
elektrolit
6. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
Menurut Sudoyo (2009), pemeriksaan penunjang untuk penyakit GEA ada dua
yaitu pemeriksaan darah dan pemeriksaan feses pasien, sebagai berikut:
a. Darah
Pada pemeriksaan darah yang perlu diperiksa adalah dara perifer lengkap,
serum elektrolit berupa Na+, K+, Cl-, analisa gas darah apabila didapatkan
tanda- tanda gangguan keseimbangan asam basa, immunoassay untuk
mengetahui organisme yang menginfeksi mukosa gastrointestinal seperti
toksin bakteri (C. difficile), antigen virus (rotavirus), antigen protozoa
(Giardia, E. histolytica).
b. Feses
Pemeriksaan feses yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan feses lengkap,
pada pemeriksaan ini dilakukan pemeriksaan mikroskopis untuk
mengetahui peningkatan jumlah leukosit di feses pada inflammatory
diarrhea, parasit, amoeba bentuk trpozit, dan hypa pada jamur. Selain
pemeriksaan feses lengkap dilakukan biakan dan resistensi feses atau colok
dubur. Pemeriksaan penunjang diperlukan dalam penatalaksanaan diare
akut karena infeksi, karena dengan tata cara pemeriksaan yang terarah akan
sampai pada terapi definitif.
7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan diare akut karena infeksi pada orang dewasa terdiri atas:
rehidrasi sebagai prioritas utama pengobatan, memberikan terapi simptomatik, dan
memberikan terapi definitif.
a. Terapi rehidrasi
Dehidrasi merupakan ketidakseimbangan cairan tubuh dikarenakan
pengeluaran cairan yang lebih besar daripada pemasukan cairan. Diare
sampai saat ini menjadi penyebab utama terjadinya dehidrasi. Dehidrasi
disebabkan kehilangan air dan elektrolit melalui feses. Kehilangan cairan
dan elektrolit bertambah bila ada muntah dan demam. Dehidrasi merupakan
keadaan yang berbahaya karena dapat menyebabkan penurunan volume
darah (hipovolemia) sampai kematian bila tidak ditangani dengan tepat.
Menurut Leksana (2015) derajat dehidrasi berdasarkan persentase
kehilangan air dari berat badan, yaitu :
1) Dehidrasi ringan yaitu apabila terjadi kehilangan air 5% dari berat
badan. Gambaran klinik turgor kulit kurang elastis, suara serak,
penderita belum jatuh pada keadaan syok.
2) Dehidrasi sedang yaitu apabila terjadi kehilangan air 10% dari berat
badan dengan gambaran klinik turgor kulit buruk, suara serak,
penderita jatuh pre syok, nadi cepat dan dalam.
3) Dehidrasi berat yaitu apabila terjadi kehilangan air 15% dari berat
badan dengan gambaran klinik seperti tanda dihidrasi sedang ditambah
dengan kesadaran menurun, apatis sampai koma, otot kaku sampai
sianosis.
Langkah pertama dalam menterapi diare adalah dengan rehidrasi,
dimana lebih disarankan dengan rehidrasi oral. Akumulasi kehilangan
cairan (dengan penghitungan secara kasar dengan perhitungan berat badan
normal pasien dan berat badan saat pasien diare) harus ditangani pertama.
Selanjutnya, tangani kehilangan cairan dan cairan untuk pemeliharaan. Hal
yang penting diperhatikan agar dapat memberikan rehidrasi yang cepat dan
akurat, yaitu:
1) Jenis cairan
Pada saat ini cairan Ringer Laktat merupakan cairan pilihan karena
tersedia cukup banyak di pasaran, meskipun jumlah kaliumnya lebih
rendah bila dibandingkan dengan kadar Kalium cairan tinja. Apabila
tidak tersedia cairan ini, boleh diberikan cairan NaCl isotonik.
Sebaiknya ditambahkan satu ampul Na bikarbonat 7,5% 50 ml pada
setiap satu liter infus NaCl isotonik. Asidosis akan dapat diatasi dalam
1-4 jam. Pada keadaan diare akut awal yang ringan, tersedia di pasaran
cairan/bubuk oralit, yang dapat diminum sebagai usaha awal agar tidak
terjadi dehidrasi dengan berbagai akibatnya. Rehidrasi oral (oralit)
harus mengandung garam dan glukosa yang dikombinasikan dengan air
(Barr, 2017).
2) Jumlah Cairan
Pada prinsipnya jumlah cairan yang hendak diberikan sesuai dengan
jumlah cairan yang keluar dari badan. Rehidrasi cairan dapat diberikan
dalam 1-2 jam untuk mencapai kondisi rehidrasi (Amin, 2015).
3) Jalur Pemberian Cairan
Rute pemberian cairan pada orang dewasa terbatas pada oral dan
intravena. Untuk pemberian per oral diberikan larutan oralit yang
komposisinya berkisar antara 29g glukosa, 3,5g NaCl, 2,5g Na
bikarbonat dan 1,5g KCI setiap liternya. Cairan per oral juga digunakan
untuk memperlahankan hidrasi setelah rehidrasi inisial (Sudoyo, 2009).
b. Terapi simtomatik
Pemberian terapi simtomatik haruslah berhati-hati dan setelah benar-benar
dipertimbangkan karena lebih banyak kerugian daripada keuntungannya.
Hal yang harus sangat diperhatikan pada pemberian antiemetik, karena
Metoklopropamid misalnya dapat memberikan kejang pada anak dan
remaja akibat rangsangan ekstrapiramidal. Pada diare akut yang ringan
kecuali rehidrasi peroral, bila tak ada kontraindikasi dapat dipertimbangkan
pemberian Bismuth subsalisilat maupun loperamid dalam waktu singkat.
Pada diare yang berat obat-obat tersebut dapat dipertimbang dalam waktu
pemberian yang singkat dikombinasi dengan pemberian obat antimicrobial
(Sudoyo, 2009).
c. Terapi antibiotik
Pemberian antibiotik secara empiris jarang diindikasikan pada diare akut
infeksi, karena 40% kasus diare sembuh kurang dari 3 hari tanpa pemberian
antibiotik. Antibiotik diindikasikan pada pasien dengan gejala dan tanda
diare infeksi, seperti demam, feses berdarah, leukosit pada feses,
mengurangi ekskresi dan kontaminasi lingkungan, persisten atau
penyelamatan jiwa pada diare infeksi, diare pada pelancong dan pasien
immunocompromised. Pemberian antibiotic dapat secara empiris, tetapi
antibiotic spesifik diberikan berdasarkan kultur dan resistensi kuman
(Amin, 2015).
8. Komplikasi
Menurut Ngastiyah (2010), komplikasi yang mungkin timbul akibat
gastroenteritis ialah:
a. Hipertermi
b. Hipoglikemia
c. Intoleransi akibat kerusakan vili mukosa usus dan defisiensi enzim laktase.
d. Kejang terjadi pada dehidrasi hipertonik.
e. Malnutrisi energi protein (akibat muntah dan gastroenteritis jika berlangung
lama atau kronik).
b. Breathing (Pernapasan)
Pengkajian pada pernapasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan napas
dan keadekuatan pernapasan pada pasien. Jika pernapasan tidak memadai maka
langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah dekompresi dan drainase
tension pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan ventilasi
bantuan (Wilkinson & Skinner, 2000). Hal-hal yang harus diperhatikan dalam
pengkajian breathing adalah frekuensi napas (dewasa: 12-20 kali/menit; anak-
anak: 20-30 kali/menit; bayi: 30-40 kali/menit), suara pernapasan, dan adanya
udara keluar dari jalan napas. Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan:
1. Look: Lihat pergerakan dada, irama, kedalaman, simetris atau tidak, dan
dyspnea. Kaji apakah adanya penurunan kesadaran, gelisah, adanya jejas
diatas clavikula, dan penggunaan otot bantu napas.
2. Listen: Dengarkan dengan atau tanpa stetoskop adanya suara napas
tambahan.
3. Feel: Rasakan adanya pergerakan udara dengan vremitus taktil dan
kesemetrisan dinding thoraks.
c. Circulation
Syok didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi
jaringan. Cara yang tepat untuk mengenali adanya syok adalah mengkaji ada
tidaknya denyut nadi karotis, ada tidaknya perdarahan eksternal maupun internal,
dan ada tidaknya tanda-tanda syok. Tanda syok meliputi akral dingin, kesadaran
menurun, tekanan darah menurun, dan CRT >2detik. Seluruh perdarahan
eksternal yang nyata harus diidentifikasi melalui paparan pada pasien secara
memadai dan dikelola dengan baik (Wilkinson & Skinner, 2000). Langkah –
langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara lain:
1. Raba nadi karotis dan lakukan CPR jika diperlukan
2. Kontrol perdarahan yang dapat mengancam nyawa dengan penekanan
ataupun elevasi
3. Kaji CRT, raba akral (pucat-dingin-basah), lakukan penghitungan denyut
nadi yang pada umumnya cepat melemah (>100 kali/menit), dan tekanan
darah (<100 mmHg).
d. Disability
Hal-hal yang dikaji untuk meninali disability pasien adalah GCS
(Glasgow Coma Scale) dan reaksi pupil. GCS ditentukan dengan komponen
pemeriksaan eye (mata), motoric (gerakan), verbal (suara). Penilaian GCS berada
pada skala normal 15-14 dengan penilaian sebagai berikut:
1. Eye
4 = Mata terbuka secara spontan
3 = Mata terbuka dengan rangsangan suara
2 = Mata terbuka dengan rangsangan nyeri
1 = Pasien tidak bereaksi baik dengan rangsangan nyeri ataupun suara
2. Motoric
6 = Dapat melakukan kegaiatn secara spontan saat diperintahkan
5 = Dapat melokalisir nyeri
4 = Dapat menghindari nyeri
3 = Pasien hanya menekuk lengan dan memutar bahu saat diberi rangsangan
nyeri
2 = Pasien hanya mengepalkan jari tangan dan kaki saat diberi rangsangan
nyeri
1 = Pasien tidak merespon
3. Verbal
5 = Dapat menjawab secara jelas dan benar
4 = Percakapan tidak lancer (disorientasi)
3 = Komunikasi tidak jelas hanya mengeluarkan kata-kata
2 = Mengerang
1 = Tidak ada suara
Pada reaksi pupil dilakukan pemeriksaan ukuran pupil (2-4 mm)
dengan kondisi pupil mengecil saat mendapatkan cahaya terang dan
membesar saat berada pada lingkungan minim cahaya.
e. Exposure
Menanggalkan pakaian pasien dan mengidentifikasi cidera dengan tetap
menjaga kestabilan suhu tubuh pasien. Yang perlu diperhatikan dalam melakukan
pemeriksaan pada pasien adalah mengekspos pasien hanya saat pemeriksaan
eksternal dan menyelimuti pasien serta menjaga privasi pasien saat selesai
pemeriksaan (Thygerson, 2011).
5. Pengkajian Sekunder
Pengkajian sekunder dilakukan bila primary survey telah selesai,
tindakan/resusitasi telah dilakukan dan penilaian ABCDE pasien dipastikan telah
membaik. Secondary survey dilakukan setelah 2 jam pasien diobservasi di UGD
dengan pengkajian sebagai berikut:
a. Riwayat Pasien:
S (Sign and Symptoms) tanda gejala yang dialami pasien
A (Allergy), riwayat alergi pasien baik obat maupun makanan.
M (Medication), obat-obatan yang pernah ataupun sedang dikonsumsi.
P (Past medical history), riwayat kesehatan dahulu yang pernal dialami pasien.
L (last meal), obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, lengkap dengan
berapa jam sebelum kejadian.
E (event leading), hal-hal yang bersangkutan dengan penyebab cidera.
Selain itu, dapat disertai dengan pengkajian nyeri jika ditemukan tanda dan gejala
nyeri pada pasien.
Pengkajian Nyeri:
O (Onset), sejak kapan
P (Provoked), pencetus nyeri
Q (Quality), kualitas nyeri
R (Radiant), arah penjalaran nyeri
S (Severity), skala nyeri
T (Time), lamanya nyeri
Setelah dianamnesis, maka langkah berikutnya adalah pemeriksaan tanda-tanda
vital yang meliputi tekanan darah, denyut nadi, frekuensi napas, dan suhu.
b. Riwayat Mekanisme Trauma
Meliputi kronologis terjadinya trauma disertai dengan proses terjadinya.
c. Pemeriksaan Fisik
1. Kulit kepala
Seluruh kulit kepada diperiksa untuk mengidentifikasi pasien dengan cidera ringan
yang biasanya terdapat darah di lantai berasal dari bagian belakang kepala
penderita. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk
mengetahui adanya pigementasi, laserasi, massa, kontusio, faktur dan luka termal,
ruam, perdarahan, nyeri tekan, dan sakit kepala.
2. Wajah
Inspeksi adanya kesimetrisan kanan dan kiri serta adanya jejas ataupun edema
sekitar wajah.
3. Mata
Periksa kornea apakah ada cidera atau tidak, ukuran pupil apakah isokor atau
anisokor serta bagaimana reflek cahanya, apakah pupil mengalami miosis atau
midriasis, adanya icterus, apakah konjungtiva anemis atau adanya kemaraha, rasa
nyeri, gatal-gatal, serta subkonjungtiva perdarahan.
4. Hidung
Periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan indra penciuman, adanya
deformitas (pembengkokan), lakukan palpasi akan kemungkinan krepitasi
dari suatu fraktur.
5. Telinga
Periksa adanya nyeri, pembengkakan, tinitus, penurunan pendengaran, inspeksi
dengan senter terkait keutuhan membrane timpani atau adanya hemotimpanum.
6. Mulut dan gigi
Inspeksi mukosa terhadap kelembaban, warna, adanya lesi, tekstur lidak, apakah
tonsil meradang, palpasi daerah pipi apakah adanya masa/tumor, pembengkakan
disertai nyeri, dan identifikasi jumlah gigi.
7. Leher
Identifikasi adanya edema, ruam, lesi dan masa, kaji adanya keluhan disfagia dan
suara serak, cidera tumpul atau tajam, deviasi trakea, pemakian otot bantu
tambahan. Palpasi adanya deformitas dan kekakuan pada leher. disertai nyeri, dan
identifikasi jumlah gigi.
8. Thoraks
Inspeksi dinding dada bagian depan, samping, dan belakang untuk mengetahui
adanya trauma tumpul/tajam, luka, memar, ruam, ekomosis, bekas luka, kedalaman
pernapasan, kesimetrisan ekspansi dinding dada, penggunaan otot bantu napas,
apakah terpasang alat bantu (pace maker), frekuensi, dan irama denyut jantung
(Lombardo, 2005). Palpasi untuk mengetahui adanya nyeri tekan, krepitasi. Perkusi
untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan. Auskultasi untuk
mengetahui adanya suara napas tambahan.
9. Jantung
Inspeksi kemungkinan adanya ictus yang normalnya terjadi pada orang dewasa
kurus di sela iga V linea mid-clavicula kiri. Palpasi hal-hal yang ditemukan saat
inspeksi untuk memperjelas mengenai lokalisasi punctum maksimum, apakah kuat,
bagaimana frekuensinya, dan kualitas dari pulsasi yang teraba. Perkusi pada
pemeriksaan jantung diperlukan untuk menentukan batas-batas jantung. Jika sulit
ditemukan batas-batas jantung terdapat kencenderungan pasien dengan emfisema
paru. Auskultasi jantung meliputi pemeriksaan bunyi jantung, bising jantung, dan
gesekan pericard.
10. Abdomen
Cidera intra-abdomen kadang-kadang tidak terdiagnosis, akibat penderita tidak
sadar akan nyeri perutnya dan gejala pada otot dan nyeri tekan tidak ada. Inspeksi
abdomen bagian depan dan belakang, untuk adanya trauma tajam, tumpul dan
adanya perdarahan internal, adakah distensi abdomen, asites, luka, lecet, memar,
ruam, massa, denyutan, benda tertusuk, ecchymosis, bekas luka , dan stoma.
Auskultasi bising usus, perkusi abdomen, untuk mendapatkan, nyeri lepas (ringan).
Palpasi abdomen untuk mengetahui ada tidaknya kekakuan atau nyeri tekan,
hepatomegali, splenomegali, defans muskuler, nyeri lepas yang jelas atau uterus
yang hamil. Bila ragu akan adanya perdarahan intra abdominal, dapat dilakukan
pemeriksaan DPL (diagnostic peritoneal lavage) ataupun USG.
11. Pelvis
Cidera pada pelvis yang berat akan nampak pada pemeriksaan fisik, pada cedera
berat ini kemungkinan penderita akan masuk dalam keadaan syok, yang harus
segera diatasi. Palpasi pada pelvis diperlukan untuk mengetahui adanya nyeri tekan
maupun krepitasi sebagai tanda adanya faktur pada pelvis.
12. Perineum dan Rektum
Perineum diperiksa akan adanya luka, laserasi, ruam, lesi, edema atau kontusio,
hematoma, dan perdarahan uretra. Colok dubur harus dilakukan sebelum
memasang kateter uretra. Harus diteliti akan kemungkinan adanya darah dari
lumen rectum, prostat letak tinggi, adanya fraktur pelvis, utuh tidaknya rectum dan
tonus musculosfinkter ani. Pada wanita, pemeriksaan colok vagina dapat
menentukan adanya darah dalam vagina atau laserasi, jika terdapat perdarahan
vagina dicatat, karakter, dan jumlah kehilangan darah harus dilaporkan (pada
tampon yang penuh memegang 20 sampai 30 mL darah. Juga harus dilakuakan tes
kehamilan pada semua wanita usia subur. Permasalahan yang ada adalah ketika
terjadi kerusakan uretra pada wanita, walaupun jarang dapat terjadi pada fraktur
pelvis dan straddle injury. Pasien dengan keluhan kemih harus ditanya tentang rasa
sakit atau terbakar dengan buang air kecil, frekuensi, hematuria, kencing
berkurang. Sebuah sampel urin harus diperoleh untuk analisis.
13. Genetalia
Inspeksi genetalia meliputi ada tidaknya lesi, pembengkakan, dan benjolan. Palpasi
meliputi ada tidaknya nyeri tekan, benjolan, ataupun cairan yang keluar.
14. Ekstremitas
Inspeksi dilakukan untuk memriksa adanya luka dekat daerah fraktur (fraktur
terbuka), pada saat palpasi untuk memeriksa denyut nadi distal dari fraktur pada
saat menggerakan, jangan dipaksakan bila jelas fraktur. Sindroma kompartemen
(tekanan intrakompartemen dalam ekstremitas meninggi sehingga membahayakan
aliran darah), kaji juga status kelumpuhan. Inspeksi pula adanya kemerahan,
edema, ruam, lesi, gerakan, dan sensasi harus diperhatikan, paralisis,
atropi/hipertropi otot, kontraktur, sedangkan pada jari-jari periksa adanya clubbing
finger serta catat adanya nyeri tekan, dan hitung CRT pasien. Perlukaan berat pada
ekstremitas dapat terjadi tanpa disertai fraktur. Kerusakan ligament dapat
menyebabakan sendi menjadi tidak stabil, keruskan otot-tendon akan mengganggu
pergerakan. Gangguan sensasi atau hilangnya kemampuan kontraksi otot dapat
disebabkan oleh syaraf perifer atau iskemia.
15. Neurologis
Pemeriksaan neurologis meliputi pemeriksaan tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi
pupil, pemeriksaan motorik dan sensorik. Perubahan dalam status neurologis dapat
dikenal dengan GCS. Adanya paralisis dapat disebabakan oleh kerusakan kolumna
vertebralis atau saraf perifer. Imobilisasi penderita dengan short atau long spine
board , kolar servikal, dan alat imobilisasi dilakukan samapai terbukti tidak ada
fraktur servikal. Kesalahan yang sering dilakukan adalah untuk melakukan fiksasai
terbatas kepada kepala dan leher saja, sehingga penderita masih dapat bergerak
dengan leher sebagai sumbu. Jelsal bahwa seluruh tubuh penderita memerlukan
imobilisasi. Bila ada trauma kepala, diperlukan konsultasi neurologis. Harus
dipantau tingkat kesadaran penderita, karena merupakan gambaran perlukaan intra
cranial. Bila terjadi penurunan kesadaran akibat gangguan neurologis, harus diteliti
ulang perfusi oksigenasi, dan ventilasi (ABC). Pada pemeriksaan neurologis,
inspeksi adanya kejang, twitching, parese, hemiplegi atau hemiparese (ganggguan
pergerakan), distaksia (kesukaran dalam mengkoordinasi otot), dan kaji pula
adanya vertigo dan respon sensori.
2. Diagnosa keperawatan
Diagnosis keperawatan merupakan penilaian klinis mengenai respons klien
terhadap masalah kesehatan baik yang berlangsung aktual maupun potensial (PPNI,
2017). Diagnosis keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi respon klien
individu, keluarga, atau komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan.
Diagonsis keperawatan yang muncul pada pasien dengan gastroenteritis akut (GEA)
adalah:
a. Hipovolemia (D.0023) berubungan dengan kehilangan cairan efektif
b. Hipertermi (D.0130) berhubungan dengan dehidrasi atau proses penyakit
c. Defisit nutrisi (D.0019) berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna
makanan
d. Risiko ketidakseimbangan elektrolit (D.0037) dibuktikan dengan diare
e. Gangguan integritas kulit (D.0129) berhubungan dengan perubahan status
nutrisi, kekurangan volume cairan
3. Intervensi
Edukasi
Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral
Anjurkan menghindari perubahan posisi mendadak
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian cairan IV issotonis (mis. cairan NaCl, RL)
Kolaborasi pemberian cairan IV hipotonis (mis. glukosa 2,5%,
NaCl 0,4%)
Kolaborasi pemberian cairan koloid (mis. albumin, plasmanate)
Kolaborasi pemberian produk darah
Edukasi :
Anjurkan tirah baring
Anjurkan memperbanyak minum
Kolaborasi :
Kolaborasi pemberian antipiretik, jika perlu
Kolaborasi pemberisn antibiotik, jika perlu
3. Defisit nutrisi Setelah dilakukan intervensi, Manajemen Nutrisi (I. 03119)
berhubungan dengan maka diharapkan status Observasi
ketidakmampuan nutrisi (L.03030)membaik. Identifikasi status nutrisi
mencerna makanan Dengan kriteria hasil: Monitor asupan makanan
a) Porsi makanan yang Monitor berat badan
dihabiskan meningkat
b) Diare menurun Terapeutik
c) Berat badan membaik Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
d) Indeks Massa Tubuh Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
(IMT) membaik Berikan suplemen makanan, jika perlu
e) Nafsu makan membaik Hentikan pemberian makan melalui selang nasogastrik jika
asupan oral dapat ditoleransi
Berikan makanan sesuai keinginan, jika memungkinkan
Edukasi
Anjurkan orang tua atau keluarga membantu memberi makan
kepada pasien
Kolaborasi
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan
jenis nutrient yang dibutuhkan, jika perlu
Edukasi
Anjurkan makanan porsi kecil dan sering secara bertahap
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian obat antimotilitas (mis. loperamide,
difenoksilat)