Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PENDAHULUAN

GASTROENTERITRIS

DISUSUN OLEH :
AZZAHRA RAMADHANIA
P27220020055

PRODI DIPLOMA TIGA JURUSAN KEPERAWATAN


POLTEKKES KEMENKES SURAKARTA
TAHUN 2022
BAB I
KONSEP TEORI
A. Pengertian
Gastroenteritis atau diare merupakan suatu keadaan pengeluaran tinja yang
tidak normal atau tidak seperti biasanya, dimulai dengan peningkatan volume,
keenceran serta frekuensi lebih dari 3 kali sehari dan pada neonatus lebih dari
4 kali sehari dengan atau tanpa lendir dan darah (Hidayat, 2006).
Gastroenteritis atau diare adalah penyakit yang ditandai dengan
bertambahnya frekuensi defekasi lebih dari biasanya (>3 kali/hari) disertai
perubahan konsistensi tinja (menjadi cair), dengan/tanpa darah dan/atau lendir
(Prof. Sudaryat, dr.SpAK, 2007).
Dapat disimpulkan Gastroenterits atau diare akut adalah inflamasi
lambung dan usus yang disebabkan oleh berbagai bakteri, virus, dan
pathogen,yang di tandai dengan bertambahnya frekuensi defekasi lebih dari
biasanya (>3 kali/hari) disertai perubahan konsistensi tinja (menjadi cair),
Diare juga dapat terjadi pada bayi dan anak yang sebelumnya sehat dan pada
neonatus lebih dari 4 kali sehari dengan atau tanpa lendir dan darah.

B. Manifestasi Klinis
Menurut Sodikin (2011), Beberapa tanda dan gejala yang terjadi pada
kasus gastroenteritis, antara lain :
1. Bayi atau anak menjadi cengeng, rewel, gelisah
2. Suhu badan meningkat
3. Nafsu makan berkurang atau tidak ada
4. Timbul diare
5. Feses makin cair, mungkin mengandung darah dan atau lendir
6. Warna feses berubah menjadi kehijau-hijauan karena bercampur
empedu.
7. Muntah baik sebelum maupun sesudah diare
8. Terdapat gejala dan tanda dehidrasi : ubun-ubun besar cekung pada
bayi, tonus otot dan turgor kulit berkurang, selaputlendir pada mulut
dan bibir terlihat kering
9. Berat badan menurun
10. Pucat, lemah

C. Etiologi
Menurut Arif Muttaqin (2011) dan Suriadi (2010), penyebab dari
gastroenteritis sangat beragam, antara lain sebagai berikut :
1. Faktor infeksi :
a. Infeksi berbagai macam bakteri yang disebabkan oleh kontaminasi
makanan maupun air minum (enteropathogenic, escherichia coli,
salmonella, shigella, V. Cholera, dan clostridium).
b. Infeksi berbagai macam virus :enterovirus, echoviruses, adenovirus,
dan rotavirus. Penyebab diare terbanyak pada anak adalah virus
Rotavirus.
c. Jamur : Kandida
d. Parasit (giardia clamblia, amebiasis, crytosporidium dan cyclospora)
2. Faktor non infeksi/ bukan infeksi :
a. Alergi makanan, misal susu, protein
b. Gangguan metabolik atau malabsorbsi : penyakit
c. Iritasi langsung pada saluran pencernaan oleh makanan
d. Obat-obatan : Antibiotik, Laksatif, Quinidine, Kolinergik, dan Sorbital.
e. Penyakit usus : colitis ulcerative, crohn disease, enterocolitis
f. Emosional atau stress
g. Obstruksi usus

D. Faktor Resiko
Faktor risiko terjadinya gastroenteritis menurut Kemenkes RI (2011), adalah:
1. Faktor perilaku yang meliputi:
a. Tidak memberikan ASI/air susu ibu selama 6 bulan (ASI eksklusif)
dan memberikan MP ASI/makanan pendamping terlalu dini akan
mempercepat bayi kontak terhadap kuman.
b. Penyimpanan makanan tidak higienis.
c. Menggunakan botol susu terbukti meningkatkan risiko terkena diare
karena sangat sulit untuk membersihkan botol susu.
d. Tidak menerapkan kebiasaan cuci tangan menggunakan sabun sebelum
memberi ASI/makan, setelah buang air besar (BAB) dan setelah
membersihkan BAB anak.
2. Faktor lingkungan antara lain:
a. Kebersihan lingkungan dan pribadi yang buruk.
b. Kurangnya ketersediaan mandi cuci kakus (MCK), ketersediaan air
bersih yang tidak memadai.
Selain faktor risiko tersebut ada beberapa faktor dari penderita yang dapat
meningkatkan kecenderungan untuk diare antara lain: penyakit imunodefisiensi
atau imunosupresi, penderita campak serta kurang gizi/malnutrisi terutama anak
gizi buruk.

E. Klasifikasi
Menurut Sodikin (2011) klasifikasi gastroenteritis dengan manifestasi diare:
1. Diare akut (gastroenteritis)
Diare akut adalah diare yang secara mendadak terjadi pada bayi dan anak
yang sebelumnya sehat. Diare berlangsung kurang dari 14 hari. Penyebab
diare akut pada anak-anak adalah rotavirus, Escherichia coli
enterotoksigenik, Crytosporidium, Campylobacter jejuni dan Shigella.
2. Diare persisten
Diare persisten adalah diare yang pada mulanya bersifat akut tetapi
berlangsung lebih dari 14 hari. Diare persisten tidak disebabkan oleh
penyebab mikroba tunggal, E. Coli enteoaggregatife, Shigella, dan
Cryptosporidium, mungkin penyebab lain berperan lebih besar.
3. Disentri
Disentri adalah diare yang disertai darah dalam feses. Penyebab utama
disentri akut yaitu Shigella dan penyebab lain adalah Campylobacter
jejuni.

F. Patofisiologis
Patofisiologi gastroenteritis terjadi melalui 2 mekanisme antara lain yaitu
akibat kerusakan pada vili usus yang menyebabkan malabsorbsi dan diare osmotik
serta pelepasan toksin yang berikatan dengan reseptor enterosit spesifik dan
menyebabkan pelepasan ion klorida ke lumen intestinal sehingga menyebabkan
diare sekretorik.
1. Gastroenteritis Akibat Virus
Transmisi gastroenteritis umumnya terjadi melalui rute fekal-oral dari
makanan dan air yang terkontaminasi. Beberapa virus, seperti norovirus, dapat
ditularkan melalui jalur udara. Manifestasi klinis berhubungan dengan infeksi
usus, tetapi mekanisme yang tepat dari terjadinya diare masih belum jelas.
Studi yang paling banyak dilakukan yaitu pada rotavirus. Rotavirus
melekat dan memasuki enterosit dewasa di ujung vili usus halus. Virus ini
menyebabkan perubahan struktural pada mukosa usus halus, termasuk
pemendekan vili dan infiltrasi sel inflamasi mononuklear di lamina propria.
Infeksi rotavirus menyebabkan gangguan pencernaan karbohidrat, dan
akumulasinya di lumen usus, serta malabsorbsi nutrisi dan penghambatan
reabsorpsi air secara bersamaan, dapat menyebabkan komponen malabsorbsi
diare.
Rotavirus mensekresi suatu enterotoksin yaitu NSP4, yang menyebabkan
aktivasi mekanisme sekretori dari Ca2+ yang dependen terhadap Cl-.
Mobilisasi kalsium intraseluler kalsium akibat ekspresi NSP4 endogen
maupun eksogen dapat menyebabkan sekresi klorida secara transien.

2. Gastroenteritis Akibat Bakteri


Pada gastroenteritis yang disebabkan oleh bakteri, mekanisme yang terjadi
meliputi invasi mukosa, perlekatan, dan produksi toksin. Untuk menentukan
protokol manajemen gastroenteritis, penting untuk memahami dengan baik
patofisiologi gastroenteritis. Usus halus memiliki peran penting untuk
menyerap cairan. Dalam kasus gastroenteritis, usus halus gagal dalam
menyerap cairan dikarenakan adanya toksin pada usus.
Faktor virulensi lain yang signifikan pada gastroenteritis akibat bakteri
adalah perlekatan. Beberapa bakteri perlu melekat pada mukosa usus, terutama
pada awal infeksi. Untuk dapat melakukan hal tersebut, bakteri menghasilkan
beberapa faktor perekat dan protein yang membantu perlekatan yang
diperlukan pada dinding usus. Misalnya, bakteri Vibrio cholerae (kolera)
menggunakan jenis adhesin permukaan tertentu untuk dapat menempel pada
usus. Contoh lain adalah E. coli enterotoksigenik yang memproduksi antigen
faktor kolonisasi yang merupakan protein perlekatan. Gejala disentri akibat
infeksi shigella dan E. coli terjadi sebagai akibat dari invasi dan penghancuran
mukosa usus halus.
Faktor virulensi penting terakhir pada gastroenteritis akibat bakteri adalah
produksi toksin, termasuk enterotoksin. Enterotoksin dapat menyebabkan
diare berair karena adanya efek sekretori pada mukosa usus halus.

G. Pathway
H. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Muttaqin & Kumala Sari (2011) pemeriksaan penunjang pada
penyakit gastroenteritis, yaitu:
1. Pemeriksaan darah rutin, digunakan untuk mendeteksi kadar berat jenis
plasma dan adanya kelainan pada peningkatan kadar leukosit.
2. Pemeriksaan elektrolit, terutama kadar natrium, kalium, kalsium dan
fosfat.
3. Pemeriksaaan analisa gas darah, untuk mengidentifikasi gangguan
keseimbangan asam basa dalam darah.
4. Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin, digunakan untuk
mengetahui faal ginjal.
5. Pemeriksaan enzim, untuk menilai keterlibatan rotavirus dengan ELISA (
Enzyme-linked Immunosorbent Assay).
6. Pemeriksaan feses, untuk mendeteksi agen penyebab.
7. Pemeriksaan endoskopi walaupun jarang dilakukan, dengan
sigmoidoskopi dapat mendeteksi penyakit kolitis pseudomembran.

I. Penatalaksanaan
Menurut Arif Mansjoer (2007), penatalaksanaan diare akut akibat infeksi
terdiri atas :
1. Rehidrasi sebagai prioritas utama pengobatan, Empat hal penting yang
perlu diperhatikan adalah :
a. Jenis cairan
b. Jumlah cairan
c. Jalan masuk atau cara pemberian cairan
d. Jadwal pemberian cairan
2. Identifikasi penyebab diare akut karena infeksi
3. Terapi simtomatik

J. Komplikasi
Menurut Maryunani (2010) sebagai akibat dari gastroenteritis akan terjadi
beberapa hal sebagai berikut:
1. Kehilangan air (dehidrasi)
Dehidrasi terjadi karena kehilangan air (output) lebih banyak dari
pemasukan (input), merupakan penyebab terjadinya kematian pada diare.
2. Gangguan keseimbangan asam basa (metabolik asidosis)
Hal ini terjadi karena kehilangan Na-bikarbonat bersama tinja.
Metabolisme lemak tidak sempurna sehingga benda kotor tertimbun dalam
tubuh, terjadinya penimbunan asam laktat karena adanya anoreksia jaringan.
Produk metabolisme yang bersifat asam meningkat karena tidak dapat
dikeluarkan oleh ginjal (terjadi oliguria atau anuria) dan terjadinya
pemindahan ion Na dari cairan ekstraseluler ke dalam cairan intraseluler.
3. Hipoglikemia
Hipoglekemia terjadi pada 2-3% anak yang menderita diare, lebih sering
pada anak yang sebelumnya telah menderita Kekurangan Kalori Protein
(KKP). Hal ini terjadi karena adanya gangguan penyimpanan atau glikogen
dalam hati dan adanya gangguan metabolik glukosa. Gejala hipoglikemia akan
muncul jika kadar glukosa darah menurun hingga 40% pada bayi dan 50%
pada anak anak.
4. Gangguan gizi
Terjadinya penurunan berat badan dalam waktu singkat, hal ini disebabkan
oleh makanan sering dihentikan oleh orang tua karena takut diare atau muntah
yang bertambah hebat, walaupun susu diteruskan sering diberikan dengan
pengeluaran tetapi susu yang encer ini diberikan terlalu lama serta karena
adanya peningkatan peristaltik usus, makanan yang diberikan sering tidak
dapat dicerna dan diabsorbsi dengan baik.

5. Gangguan sirkulasi
Sebagai akibat diare dapat terjadi syok hipovolemik, akibatnya perfusi
jaringan berkurang dan terjadi hipoksia, asidosis bertambah berat, dapat
mengakibatkan kesadaran menurun, perdarahan otak dan klien akan
meninggal bila tidak segera diatasi.

K. Pencegahan
Kegiatan pencegahan penyakit gastroenteritis dengan diare yang benar dan
efektif yang dapat dilakukan menurut Kemenkes RI (2015) dalam Buku Saku
LINTAS Diare adalah :
1. Berikan ASI selama 6 bulan (ASI eksklusif) dan teruskan sampai 2 tahun.
2. Memberikan makanan pendamping ASI/MP ASI sesuai dengan umur
anak.
3. Gunakan air bersih yang cukup, memberikan air minum yang sudah
direbus sampai mendidih.
4. Mencuci tangan pakai sabun dan air mengalir terutama sebelum makan,
sesudah buang air besar, sesudah menceboki anak, sebelum menyiapkan
makanan dan sebelum menyusui.
5. Buang air besar dan tinja anak dijamban.
6. Berikan imunisasi campak.

L. Tahap Perkembangan Anak Usia 1-2 Tahun


1. Kemampuan Motorik Kasar
Dari aspek motorik kasar, anak usia 1 tahun sudah bisa berdiri sendiri
meski belum terlalu lama. Untuk berjalan, anak mulai belajar dan berlatih
mulai usia 11 bulan dan lancar di usia 18 bulan. Berdasarkan grafik dari
Denver II, anak usia 12 bulan atau 1 tahun sudah bisa memindahkan tubuhnya,
mulai dari berguling, tengkurap, lalu berusaha berdiri sendiri. Mendekati usia
2 tahun, perkembangan motorik anak usia dini semakin baik dengan
kemampuannya untuk melompat, menendang, sampai melempar bola.
2. Kemampuan Motorik Halus
Di usia 1 tahun, anak sudah bisa meraih atau mengambil benda yang ada
di dekatnya. Selain itu, ia juga sudah bisa menggenggam benda di tangannya.
Namun masih butuh waktu untuk belajar memasukkan mainan ke dalam
tempatnya. Menjelang usia 2 tahun, ia sudah bisa menyusun balok sampai 6
tingkat, menyusun benda secara vertikal, dan membuka lembaran buku.

3. Kemampuan Bahasa dan Komunikasi


Setelah anak memasuki usia 1-2 tahun, tahap perkembangan bahasa anak
selanjutnya adalah anak akan mampu untuk memahami kata-kata tunggal atau
sederhana serta mampu memproduksi kata-kata tersebut. Anak mulai bisa
menunjukan bagian-bagian tubuh seperti hidung, tangan, mata dan telinga.
Lebih lanjut, dalam tahap perkembangan bahasa pada anak, si anak mampu
memahami makna di balik kalimat-kalimat sederhana seperti kata tepuk
tangan dan ambil mainan. Beberapa ahli mengatakan bahwa ledakan Bahasa
anak pada usia 19-20 bulan, anak dapat mempelajari beberapa kata-kata baru
dalam sehari.

4. Kemampuan Sosial dan Emosional


Pada usia 1-2 tahun perkembangan emosional dan sosial anak sudah
terlihat semakin baik dan kemampuannya bertambah. Mengutip dari Kids
Health, salah satu kemampuan emosional anak usia 1-2 tahun yaitu menangis
saat melihat Anda meninggalkannya. Tidak hanya itu, anak juga sudah
memiliki kepercayaan diri menunjukkan kemampuan barunya. Sebagai
contoh, saat ia belajar berjalan, berdiri, atau berbicara.

M. Hospitalisasi
1. Pengertian
Hosptalisasi pada anak merupakan suatu keadaan krisis yang terjadi pada
anak. Hospitalisasi adalah suatu proses karena alasan berencana maupun
darurat yang mengharuskan anak untuk tinggal atau dirawat dirumah sakit.
Kondisi tersebut menjadi faktor stressor bagi anak, orang tua, maupun
keluarga (Saprianto 2019). Selain itu, anak mempunyai sejumlah keterbatasan
dalam mekanisme koping untuk mengatasi masalah maupun kejadian-kejadian
yang sifatnya menekan (Saprianto 2019).
Hospitalisasi merupakan pengalaman yang mengencam ketika anak
menjalani hospitalisasi karena stressor yang dihadapi dapat menimbulkan
perasaan tidak aman (Utami 2014). Anak yang mempunyai pengalaman
hospitalisasi sebelumnya akan memiliki kecemasan yang lebih rendah
dibandingkan dengan anak yang belum memiliki pengalaman sama sekali
(Hulinggi et al. 2018). Anak yang memiliki pengalaman tidak menyenangkan
selama dirawat di rumah sakit sebelumnya akan membuat anak takut dan
trauma. Sebaliknya apabila pengalaman anak di rawat di Rumah Sakit
mendapatkan perawatan yang baik dan menyenangkan maka akan lebih
kooperatif (Saputro and Intan Fazrin 2017).
Hospitaisasi pada anak dapat meningkatkan stress bagi anak dan keluarga,
tetapi hal tersebut dapat membantu anak dan orang tua lebih dekat secara
emosional (Merdekawati 2018). Hospitalisasi merupakan sebuah pengalaman
yang tidak menyenangkan dan dianggap mengancam, sehingga menjadi
pengalaman buruk bagi setiap orang yang pernah mengalaminya. Selama
proses tersebut, anak dapat mengalami berabagai pengalaman traumatic
seperti: ketakutan saat melihat perawat, ketakutan saat melihat obat-obatan,
dan ketakutan saat ingin mulai berinteraksi dengan orang baru disekitarnya
(Supartini, 2012).

2. Faktor-faktor Hospitalisasi
Ada beberapa faktor yang dapat menimbulkan stress ketika anak saat
menjalani hospitalisasi yaitu: Faktor lingkungan rumah sakit, faktor berpisah
dengan orang yang sangat berarti, faktor kurangnya informasi, faktor
kehilangan kebebasan dan kemandirian, faktor pengalaman yang berkaitan
dengan pelayanan kesehatan, faktor perilaku atau interaksi dengan petugas
rumah sakit (Hulinggi et al. 2018). Faktor lain yang mempengaruhi stress
akibat hospitalisasi adalah cemas akibat perpisahan, respon cemas akibat
perisahan oleh anak ada 3 bagian yaitu: Tahap protes, tahap ini biasanya anak
melakukan protes dengan cara menangis, menjerit, menendang, atau
memanggil ibunya. Tahap putus asa, tahap ini anak mengalami ketegangan,
lebih pendiam, tidak berkomunikasi, putus asa, sedih, dan apatis. Tahap
keintiman kembali, tahap ini merupakan tahap penerimaan kembali oleh anak
dengan orang yang baru dikenal (Kudus et al. 2017).

3. Dampak Hospitalisasi
Dampak yang sering terjadi pada anak dengan hospitalisasi adalah stress.
Stress seringkali dialami anak dengan hospitalisasi, tress yang dirasakan anak
merupakan suatu dampak yang dapat menimbulkan kecemasan terutama pada
anak yang mengalami hospitalisasi (Noviati, Imas, and Anisa 2018). Stress
anak dengan hospitalisasi meningkatkan rasa cemas yang berlebihan pada
anak dan orang tua. Gangguan perkembangan juga merupakan dampak negatif
lain yang terjadi akibat hospitalisasi, semakin sering anak menjalani
hospitalisasi akan semakin beresiko tinggi mengalami gangguan pada
perkembangan motorik anak (Utami 2014). Stress yang dialami anak dengan
hospitalisasi mempengaruhi tingkat kesembuhan pada anak. Anak yang
mengalami stress akan mengalami gangguan perkembangan (Noviati et al.
2018).
Stress terdiri dari keadaan emosional, dengan komponen psikologis, social
dan fisiologis yang dapat mempengaruhi individu pada setiap tahap
perkembangannya (Vageriya, 2019). Stress yang dialami anak mempengaruhi
tingkat kesembuhan anak saat dirumah sakit. Stress yang dirasakan seorang
anak dapat memberikan efek negatif dalam perkembangan hidup anak.
Perubahan yang terjadi dapat dapat berupa psikis atau fisik. (Dian, 2008).
Perubahan secara fisikyang terjadi pada anak dengan hospitalisasi yaitu reaksi
negatif yang akan dikeluarkan anak adalah seperti menendang-nendang,
berteriak dan perlawanan sampai tingkat diperlukan pengendalian fisik oleh
beberapa orang (Langthasa, Yeluri, Jain, & Munshi, 2012).

4. Stressor Dalam Hospitalisasi


Saat dirawat di rumah sakit atau tengah menjalani proses hospitalisasi,
anak tentu akan mengalami stress akibat dari segala macam bentuk perubahan
yang ia alami, seperti perubahan lingkungan, suasana, dan lain sebagainya.
Stressor dan reaksi hospitalisasi pada anak sesuai dengan tumbuh
kembangnya, yaitu sebagai berikut :

a. Masa Bayi (0-1 tahun)


Dampak perpisahan, usia anak > 6 bulan terjadi stanger anxiety
(cemas)
1) Menangis keras
2) Pergerakan tubuh yang banyak
3) Ekspresi wajah yang tidak menyenangkan
b. Masa Todler (2-3 tahun)
Sumber utama adalah cemas akibat perpisahan.
c. Masa Prasekolah (3-6 tahun)
Sering kali dipersepsikan anak sekolah sebagai hukuman, sehingga
menimbulkan reaksi agresif.
1) Menolak makan
2) Sering bertanya
3) Menangis perlahan
4) Tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan
d. Masa Sekolah (6-12 tahun)
Stressor hospitalisasi pada masa ini karena perawatan di rumah sakit
memaksakan anak untuk :
1) Meninggalkan lingkungan yang dicintai
2) Meninggalkan keluarga
3) Kehilangan kelompok sosial, sehingga menimbulkan kecemasan
e. Masa Remaja (12-18 tahun)
Anak remaja begitu percaya dan terpengaruh kelompok sebayanya.
Oleh karena itu, reaksi yang muncul adalah :
1) Menolak perawatan / tindakan yang dilakukan
2) Tidak kooperatif dengan petugas
3) Bertanya-tanya
4) Menarik diri
5) Menolak kehadiran orang lain

N. Konsep DDST
1. Definisi
Menurut IDAI (2010) DDST II merupakan salah satu alat skrining
perkembangan, membantu tenaga kesehatan untuk mengetahui sedini mungkin
penyimpangan perkembangan yang terjadi pada anak sejak lahir sampai
berumur 6 tahun.

2. Manfaat
Menurut Suwariyah (2013) manfaat pemeriksaan DDST:
a. Mengetahui tahap perkembangan yang dicapai anak
b. Menilai perkembangan anak sesuai usia
c. Menemukan adanya keterlambatan perkembangan anak sedini
mungkin
d. Meningkatkan kesadaran orangtua atau pengasuh agar menciptakan
kondisi yang menguntungkan bagi perkembangan anak.

3. Tujuan
Menurut Adriana ( 2011) Denver II dapat digunakanuntuk berbagai tujuan
sebagai berikut:
a. Menilai tingkat perkembangan anak sesuai dengan usianya
b. Menilai tingkat perkembangan anak yang tampak sehat
c. Menilai tingkat perkembangan anak yang tidak menunjukan gejala
kemungkinan adanya kelainan perkembangan
d. Memastikan anak yang diduga mengalami kelainan perkembangan
e. Memantau anak yang berisiko mengalami kelainan perkembangan

4. Prinsip
Menurut Suwariyah (2013) prinsip dalam melakukan pemeriksaan DDST
yaitu:
a. Bertahap dan berkelanjutan
b. Dimulai dari tahap perkembangan yang telah dicapai anak
c. Alat bantu sederhana, tidak berbahaya, mudah didapat
d. Suasana dibuat menyenangkan, bervariasi dan tidak membosankan
e. Dilakukan dengan wajar, tanpa paksaan, tidak menghukum, tidak
membentak anak ketika tidak mau melakukan kegiatan yang ada dalam
tugas perkembangan.
f. Anak diberi pujian jika anak berhasil melakukan tugas perkembangan.

5. Cara Pengukuran DDST-II


Menurut Adriana (2011) cara pengukuran DDST yaitu:
a. Tentukan umur anak yang akan diukur
b. Beri tanda atau garis pada garis umur anak dan tarik garis dari atas ke
bawah pada skala DDST II
c. Lakukan penilaian tingkat pencapaian pada masing-masing komponen
(motorik halus, motorik kasar, personal sosial, dan bahasa) untuk
batasan umur yang ditentukan
d. Tentukan hasil penelitian

6. Prosedur Penilaian Dengan DDST-II


Menurut Adriana ( 2011) prosedur penilaian DDST sebagai berikut:
a. Tujuan: Menilai perkembangan anak pada empat aspek yaitu
perkembangan motorik halus, perkembangan motorik kasar, personal
sosial, dan bahasa.
b. Alat
1) Alat peraga seperti benang wol, manik-manik, kubus warna merah-
kuning-hijau-biru, permainan anak-anak, botol kecil, kertas dan
pensil, cangkir plastik, kertas kosong, dan cangkir kecil dengan
pegangan.
2) Lembar formulir DDST
3) Penggaris dan ruangan periksa beserta meja dan kursi.

7. Langkah Pelaksanaan
Menurut IDAI (2010) bahwa langkah pelaksaan pemeriksaan DDST:
a. Sapa orang tua atau pengasuh dan anak dengan ramah
b. Beri penjelasan kepada orang tua atau pengasuh bahwa tes ini bukan
tes IQ melainkan tes untuk melihat perkembangan anak
c. Komunikasi yang baik dengan anak
d. Tarik garis umur dari atas kebawah dan cantumkan tanggal
pemeriksaan pada ujung atas garis umur
e. Lakukan tugas perkembangan untuk tiap sektor perkembangan dimulai
dari sektor yang paling mudah dan dimulai dengan tugas
perkembangan yang terletak di sebelah kiri garis umur
f. Beri skor penilaian
g. Selama tes perkembangan, amati perilaku anak. Apakah ada perilaku
yang khas, bandingkan dengan anak lainnya. Bila ada perilaku yang
khas tanyakan kepada orang tua atau pengasuh, apakah perilaku
tersebut merupakan perilaku sehari-hari. Bila tes perkembangan
dilakukan sewaktu anak sakit, merasa lapar, dll dapat memberikan
perilaku yang menghambat tes perkembangan.

8. Sektor Pemeriksaan DDST-II


Menurut Suwariyah (2013) bahwa sektor pada pemeriksaan DDST
meliputi:
a. Personal-Social (Personal Sosial)
Aspek yang berhubungan dengan kemampuan mandiri anak untuk
menyesuaikan diri dengan orang lain, bersosialisasi, berinteraksi dengan
lingkungannya dan perhatian terhadap kebutuhan perorangan atau
individu.
b. Fine Motor Adaptive (Gerakan Motorik Halus)
Aspek yang berhubungan dengan kemampuan mandiri anak untuk
menggunakan bagian tubuh tertentu, tidak memerlukan banyak tenaga
namun diperlukan kecermatan dan fungsi koordinasi yang lebih
kompleks.Seperti koordinasi mata tangan, memainkan dan menggunakan
benda-benda kecil.
c. Language (Bahasa)
Aspek yang berhubungan dengan kemampuan mandiri anak untuk
memberikan respon terhadap suara, mendengar, mengerti, memahami
perkataan orang lain dan menggunakan bahasa serta mengungkapkan
perasaan, keinginan dan pendapatan melalui kata-kata.
d. Gross Motor (Gerakan Motorik Kasar )
Aspek yang berhubungan dengan kemampuan mandiri anak untuk
melibatkan sebagian besar bagian tubuh biasanya menggunakan lebih
banyak tenaga. Seperti jalan, melompat, berdiri satu kaki selama 1-5
detik dan gerakan umum otot besar.

9. Interprestasi Penilaian DDST-11


Menurut IDAI (2010) interprestasi penilaian DDST sebagai berikut:
a. Lebih (advanced)
Bila seorang anak lewat pada uji coba yang terletak di kanan garis
umur, dinyatakan perkembangan anak lebih pada uji coba tersebut.
b. Normal
Bila seorang anak gagal atau menolak melakukan tugas
perkembangan yang terletak disebelah kanan garis umur dikategorikan
sebagai normal. Demikian juga bila anak lulus (P), gagal (F), atau
menolak (R) pada tugas perkembangan dimana garis umur terletak pada
daerah 25-75%, maka dikategorikan sebagai normal.
c. Caution atau peringatan
Bila seorang anak gagal (F) atau menolak (R) tugas perkembangan,
dimana garis umur terletak pada atau antara 75 dan 90%.
d. Delayed atau keterlambatan
Bila seorang anak gagal (F) atau menolak (R) melakukan uji coba
yang terletak disebelah kiri garis umur.
e. No Opportunity atau tidak ada kesempatan
Pada tugas perkembangan yang berdasarkan laporan, orang tua
melaporkan bahwa anaknya tidak ada kesempatan untuk melakukan tugas
perkembangan tersebut.

10. Langkah Mengambil Kesimpulan


Menurut Adriana (2011) langkah dalam pengambilan kesimpulan sebagai
berikut:
a. Normal
1) Bila tidak ada keterlambatan dan atau paling banyak satu
caution.
2) Lakukan ulangan pada kontrol berikutnya.
b. Suspect atau Suspek
1) Bila didapatkan ≥ 2 caution
2) Bila ada 1 keterlambatan atau lebih dari 1
3) Lakukan uji ulang dalam 1-2 minggu untuk menghilangkan
faktor sesaat seperti rasa takut, keadaan sakit atau kelelahan.
c. Untestable atau tidak dapat diuji
1) Bila ada skor menolak pada ≥ 1 uji coba terletak disebelah kiri
garis umur atau menolak pada > 1 uji coba yang ditembus garis
umur pada daerah 75-90%.
2) Lakukan uji ulang 1-2 minggu.

BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Menurut Hidayat (2012), pengkajian adalah langkah awal dari tahapan proses
keperawatan, kemudian dalam mengkaji harus memperhatikan data dasar dari
pasien, untuk informasi yang diharapkan dari pasien. Pengkajian yang dilakukan
pada anak yang mengalami diare adalah sebagai berikut:
1. Identitas Klien
Pada klien mengenai nama/inisial, umur, tanggal lahir, jenis kelamin,
agama alamat, tanggal masuk rumah sakit dan diagnosa medis. Pada
penanggung jawab mengenai nama orang tua, pekerjaan orang tua,
pendidikan orang tua, umur, suku bangsa dan alamat.
2. Keluhan Utama
Pasien mengeluh buang air besar (BAB) lebih dari 3 kali sehari, BAB cair
< 4 kali (diare tanpa dehidrasi), BAB cair 4-10 kali (dehidrasi
ringan/sedang) dan BAB cair > 10 kali (dehidrasi berat). Apabila diare
berlangsung < 14 hari maka diare akut, sementara apabila berlangsung
selama 14 hari atau lebih adalah diare persisten (Nursalam, 2008).
3. Riwayat Penyakit Sekarang (Muttaqin & Kumala Sari, 2011)
a. P (presipitasi)
Faktor apa yang diketahui pasien/keluarga yang memungkinkan
menjadi penyebab terjadinya gastroenteritis (diare)?
b. Q (Kualitas, kuantitas)
1) Berapa kali pasien BAB sebelum mendapat intervensi
keperawatan?
2) Bagaimana bentuk feses BAB? Apakah encer, cair, bercampur
lendir atau darah?
3) Apakah disertai adanya gangguan gastrointestinal (mual, muntah,
anoreksia, nyeri abdomen)?

c. R (Regio)
Keluhan berlokasi pada seluruh abdomen.
d. S (Skala)
Pada diare, skala bervariasi tergantung kecepatan onset.
e. T (Waktu, onset)
1) Berapa lama keluhan awal terjadi?
2) Apakah akut/mendadak?
3) Durasi dan kecepatan gejala awal terjadi diare?
2. Riwayat Kesehatan Keluarga
Adanya anggota keluarga yang menderita diare sebelumnya, yang dapat
menular ke anggota keluarga lainnya. Dan juga makanan yang tidak
dijamin kebersihannya yang disajikan kepada anak. Riwayat keluarga
melakukan perjalanan ke daerah tropis (Nursalam, 2008).
3. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
a. Tidak ASI eksklusif, memberikan MP-ASI terlalu dini.
b. Menggunakan botol susu yang tidak higienis.
c. Penyimpanan makanan yang tidak higienis.
d. Kurang gizi/malnutrisi terutama anak gizi buruk.
e. Anak menderita penyakit imunodefisiensi atau
imunosupresi dan penderita campak.
4. Riwayat Kesehatan Dahulu
a. Riwayat penyakit yang sering terjadi pada anak berusia dibawah 2
tahun biasanya adalah panas, kejang, batuk, pilek dan yang terjadi
sebelumnya, selama atau setelah diare. Informasi ini diperlukan untuk
melihat tanda dan gejala infeksi lain yang menyebabkan diare seperti
otitis media akut, bronkopneumonia, tonsilitis, faringitis dan
ensefalitis.
b. Adanya riwayat alergi terhadap obat-obatan atau makanan, makan
makanan basi, karena faktor ini merupakan salah satu kemungkinan
penyebab diare.
c. Pada riwayat imunisasi kemungkinan anak tidak dapat imunisasi
campak. Diare lebih sering terjadi pada anak dengan campak atau yang
baru menderita campak dalam 4 minggu terakhir, sebagai akibat dari
penurunan kekebalan tubuh pada pasien. Selain imunisasi campak,
anak juga harus mendapat imunisasi dasar lainnya seperti imunisasi
BCG, imunisasi DPT dan imunisasi polio (Nursalam, 2008).
5. Riwayat Psikososial
Lingkungan yang kotor dan kumuh serta higiene dan sanitasi yang buruk
dapat memudahkan anak terkena kuman penyebab diare. Pencemaran air
di rumah juga dapat menjadi penyebaran kuman diare jika tempat
penyimpanan tidak tertutup (Sodikin, 2011).
6. Pola Kesehatan Sehari-hari
a. Pola Nutrisi
Dikaji riwayat pemberian makanan dan minuman sebelum mengalami
diare, meliputi:
1) Pemberian ASI penuh pada anak umur 4-6 bulan.
2) Pemberian susu formula.
3) Riwayat air minum yang tercemar dengan bakteri tinja,
menggunakan botol susu.
4) Perasaan haus. Anak yang diare tanpa dehidrasi tidak merasa haus
dan minum biasa. Pada dehidrasi ringan atau sedang anak merasa
haus ingin minum banyak. Sedangkan pada dehidrasi berat, anak
malas minum atau tidak bias minum (Nursalam, 2008).
b. Pola Tidur
Pada bayi dan anak yang mengalami diare, kebutuhan istirahat dapat
terganggu karena frekuensi diare yang berlebihan, sehingga menjadi
nangis dan rewel.
c. Personal Hygiene
Tidak mencuci tangan sesudah buang air besar, sesudah membuang
feses atau sebelum makan dapat menjadi penyebaran kuman penyebab
diare (Sodikin, 2011).
d. Pola Aktivitas/Bermain
Bayi dan anak yang mengalami nampak lemah dan gelisah sehingga
perlu bantuan sekunder untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
e. Pola Eliminasi
Pada BAK perlu dikaji untuk output terhadap kehilangan cairan lewat
urin. Pada diare tanpa dehidrasi urin normal, pada dehidrasi ringan
atau sedang urin sedikit gelap, pada dehidrasi berat urin tidak ada
dalam waktu 6 jam. Pada BAB terdapat feses makin cair, mungkin
mengandung lendir dan atau darah serta warna feses berubah kehijau-
hijauan karena bercampur empedu (Sodikin, 2011).
7. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
1) Tanda-Tanda Vital (Sodikin, 2011)
a) Tekanan Darah
menurut macam dehidrasi berdasarkan kadar Na dalam
plasma darah, dibagi menjadi: Dehidrasi hipotonik (<131
mEq/L): sangat rendah Dehidrasi isotonik (131-150 mEq/L):
rendah, Dehidrasi hipertonik (>150 mEq/L): rendah
b) Nadi
Diare tanpa dehidrasi: normal (120x/menit) Diare dehidrasi
ringan atau sedang: cepat Diare dehidrasi berat: cepat sekali
c) Respirasi
 Diare tanpa dehidrasi: biasa
 Diare dehidrasi ringan atau sedang: agak cepat
 Diare dehidrasi berat: kusmaul (cepat dan dalam)
d) Suhu: suhu badan mungkin meningkat
2) Kesadaran: (Kemenkes RI, 2009)
a) Diare tanpa dehidrasi: baik, sadar
b) Diare dehidrasi ringan atau sedang: rewel, gelisah
c) Diare dehidrasi berat: letargis atau tidak sadar
3) Berat badan
Menurut S. Partono dalam Nursalam (2008), anak yang mengalami
diare dengan dehidrasi biasanya mengalami penurunan berat
badan, sebagai berikut:

b. Pemeriksaan Head to Toe (Sodikin, 2011)


1) Kepala
a) Inspeksi: Kepala simetris, warna rambut normal, kondisi
rambut normal, kondisi kepala normal, tidak ada lesi.
b) Palpasi: Ubun-ubun besar cekung pada bayi yang dehidrasi.
2) Muka
a) Inspeksi: Muka simetris, pucat, kondisi muka normal, tidak ada
lesi.
b) Palpasi: Tidak nyeri tekan.
3) Mata
a) Inspeksi: Simetris, sklera putih, pupil isokor, konjungtiva
merah muda, diare tanpa dehidrasi: kelopak matanya normal,
dehidrasi ringan/sedang: kelopak matanya cekung, pada
dehidrasi berat: kelopak matanya sangat cekung.
b) Palpasi: Tidak nyeri tekan.
4) Telinga
a) Inspeksi: Simetris, kondisi telinga normal, kebersihan telinga
normal, tidak ada lesi.
b) Palpasi: Tidak nyeri tekan.
5) Hidung
a) Inspeksi: Simetris, kebersihan hidung normal, ada pernapasan
cuping hidung jika dehidrasi berat, tidak ada lesi.
b) Palpasi: Tidak nyeri tekan.
6) Mulut dan Faring
a) Inspeksi: Simetris, kebersihan mulut normal, jumlah gigi
normal, diare tanpa dehidrasi: mulut dan lidah basah, diare
dehidrasi ringan: mulut dan lidah kering, diare dehidrasi berat:
mulut dan lidah sangat kering, tidak ada stomatitis.
b) Palpasi: Tidak nyeri tekan.
7) Leher
a) Inspeksi: Simetris, warna kulit normal, tidak ada lesi. Palpasi:
Tidak ada pembesaran vena jugularis, kelenjar getah bening
dan kelenjar tiroid.
8) Thorak
a) Jantung
 Inspeksi: Ictus cordis tidak tampak terlihat.
 Palpasi: Ictus cordis teraba di ICS IV midklavikula sinistra
(bayi), ICS V midklavikula sinistra (anak).
 Perkusi: Redup, ukuran dan bentuk jantung secara kasar
pada kasus diare masih dalam batas normal.
 Auskultasi: Anak diare tanpa dehidrasi: denyut jantung
normal, dehidrasi ringan/sedang: denyut jantung normal
hingga meningkat, dehidrasi berat: takikardi dan bradikardi.
b) Paru-paru
 Inspeksi: simetris, bentuk dada normal, Anak diare tanpa
dehidrasi: pernapasan normal, dehidrasi ringan : pernapasan
normal hingga cepat, dehidrasi berat: pernapasannya cepat
dan dalam.
 Palpasi: Vocal fremitus sama. Perkusi: Sonor.
 Auskultasi: Tidak ada suara tambahan.
9) Abdomen
a) Inspeksi: Simetris, terdapat distensi abdomen, tidak ada lesi
b) Auskultasi: Bising usus meningkat (normal anak: 5-
15x/menit).
c) Perkusi: Hipertimpani.
d) Palpasi: Supel, turgor kulit pada pasien diare tanpa dehidrasi
baik, pada pasien diare dehidrasi ringan/sedang kembali 1-2
detik, pada pasien dehidrasi berat kembali > 2 detik.
10) Sistem Integumen
a) Inspeksi: Warna kulit sianosis pada dehidrasi berat, kondisi
kulit pada anak diare dehidrasi ringan normal, dehidrasi sedang
agak kering, dehidrasi berat kering, tidak ada lesi.
b) Palpasi: Anak dengan diare tanpa dehidrasi Capillary Refill
Time (CRT) normal, akral teraba hangat, dehidrasi ringan CRT
kembali < 2 detik, akral dingin, dehidrasi berat CRT kembali >
2 detik, akral teraba dingin.
11) Ekstremitas
Kekuatan otot normal, tidak edema, tidak fraktur.
12) Genitalia
a) Inspeksi: Anus dan area sekitarnya menjadi lecet karena
seringnya defekasi.
b) Palpasi: Tidak nyeri tekan.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d
ketidakmampuan mengabsorbsi nutrient (D.0019)
2. Diare b.d malabsorbsi (D.0020)
3. Hipertermia b.d Agen pirogenik (D.0130)
4. Kekurangan volume cairan b.d cairan yang keluar banyak (D.0023)
5. Resiko kerusakan integritas kulit b.d kulit di sekitar anus lecet dan iritasi
(D.0139)

C. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Tujuan Intervensi


.
Dx
1. Ketidakseimbangan nutrisi Setelah dilakukan Manajemen Nutrisi
kurang dari kebutuhan tindakan (I.03119) :
tubuh b.d ketidakmampuan keperawatan selama Observasi :
mengabsorbsi nutrient 3x24 jam di 1. Identifikasi status nutrisi
(D.0019) harapkan status 2. Identifikasi alergi dan
nurtrisi membaik intoleransi makanan
dengan kriteria hasil 3. Identifikasi makanan
(L.03030) : yang disukai
1. Intake nutrisi 4. Monitor turgor kulit
adekuat 5. Monitor mual dan
2. Intake cairan muntah
adekuat Terapeutik :
3. Berat badan 1. Sajikan makanan yang
membaik menarik
4. IMT membaik 2. Berikan makanan
parenteral
Kolaborasi :
1. Ahli gizi : menentukan
pilihan makanan yang
sesuai dengan kebutuhan
pasien
2. Dokter : Pemilihan
suplemen nutrisi
2. Diare b.d malabsorbsi Setelah dilakukan Manajemen Diare
(D.0020) tindakan (I.03101):
keperawatan selama Observasi :
3x24 jam diharapkan 1. Identifikasi riwayat
eliminasi fekal pemberian makanan
membaik dengan 2. Monitor warna, volume,
kriteria hasil frekuensi, dan
(L.04033) : konsistensi tinja.
1. Konsistensi feses 3. Monitor tanda dan gejala
membaik hipovolemi
2. Frekuensi 4. Monitor jumlah
defekasi pengeluaran diare
membaik 5. Monitor iritasi dan
3. Peristaltik usus ulserasi kulit di daerah
membaik perinial
Terapeutik :
1. Pasang jalur intravena
2. Berikan cairan intravena
3. Ambil sampel darah
Edukasi :
1. Anjurkan melanjutkan
pemberian ASI
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian
obat
3. Hipertermia b.d Agen Setelah dilakukan Manajemen Hipertermia
pirogenik (D.0130) tindakan (I.15506) :
keperawatan selama Observasi :
3x24 jam diharapkan 1. Monitor suhu tubuh
termoregulasi 2. Identifikasi penyebab
membaik dengan hipertermia
kriteria hasil Terapeutik :
(L.14134) : 1. Berikan oksigen
1. Konsumsi 2. Sediakan lingkungan
oksigen menurun dingin
2. Pucat menurun 3. Longgarkan atau
3. Suhu tubuh lepaskan pakaian
membaik
4. Suhu kulit
membaik
4. Kekurangan volume cairan Setelah dilakukan Manajemen Hipovolemia
b.d cairan yang keluar tindakan (I.03116) :
banyak (D.0023) keperawatan selama Observasi :
3x24 jam diharapkan 1. Periksa tanda dan gejala
status cairan hypovolemia
membaik dengan 2. Monitor intake dan
kriteria hasil output cairan
(L.03028) : Terapeutik :
1. Turgor kulit 1. Hitung kebutuhan cairan
meningkat Kolaborasi :
2. Frekuensi nadi 1. Kolaborasi pemberian
membaik cairan IV
3. Membran
mukosa membaik
4. Kadar Hb
membaik
5. Resiko kerusakan Setelah dilakukan Perawatan Integritas
integritas kulit b.d kulit di tindakan Kulit (I.11353) :
sekitar anus lecet dan keperawatan selama Observasi :
iritasi (D.0139). 3x24 jam diharapkan 1. Identifikasi penyebab
integritas kulit dan gangguan integritas kulit
jaringan meningkat Terapeutik :
dengan kriteria hasil 1. Bersihkan perineal
(L.14125) : dengan air hangat
1. Kerusakan Kolaborasi :
jaringan menurun 1. Kolaborasi pemberian
2. Kemerahan obat
menurun

D. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah pelaksanaan dari perencanaan atau
intervensi keperawatan untuk mencapai tujuan yang spesifik. Tahap implementasi
dimulai dan ditujukan pada perawat untuk membantu klien dalam mencapai
tujuan yang diharapkan (Nursalam, 2008).

E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan adalah penilaian terakhir proses keperawatan didasarkan
pada tujuan keperawatan yang ditetapkan. Penetapan keberhasilan suatu asuhan
keperawatan didasarkan pada perubahan perilaku dari kriteria hasil yang telah
ditetapkan, yaitu terjadinya adaptasi pada individu (Nursalam, 2015). Evaluasi
keperawatan pada pasien gastroenteritis dengan masalah keperawatan risiko.
DAFTAR PUSTAKA
Bonita, Nio. 2019. KTI “Asuhan Keperawatan pada An.A dengan Prioritas
Masalah Kebutuhan Dasar Cairan dan Elektrolit : Gastroenteritis di
RS. Dr. Pringadi Medan”. Online. Diakses, tanggal 5 april 2022 pukul
18.30 WIB.

Indah, Rosi, dkk. 2020. Laporan Kasus “Diagnosa dan Penatalaksanaan Diare
Persisten dengan Gizi Buruk dan Anemia”. Online. Diakses, tanggal 5
April 2022 pukul 20.30 WIB.

Maulia, Indrie. 2019. KTI “Asuhan Keperawatan Pada Pasien Anak dengan
Gastroenteritis di Rumah Sakit Samarinda Medika Citra”. Online.
Diakses, tanggal 5 April 2022 pukul 18.47 WIB.
Siti, Maftuhah. 2020. Naskah Publikasi Ilmiah “Asuhan Keperawatan Pada
An.R dengan Gangguan Sistem Pencernaan : Gastroenteritis di Ruang
Mina RS PKU Muhammadiyah Surakarta”. Online. Diakses, tanggal
5 April 2022 pukul 18.35 WIB.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Indikator Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Tindakan Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

Anda mungkin juga menyukai