Anda di halaman 1dari 24

Demam Berdarah Dengue

Abstrak

Demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit yang cukup banyak jumlahnya
di Indonesia terutama pada musim hujan dan peralihan. DBD disebabkan oleh virus dengue
dimana yang menjadi vektornya ialah nyamuk Aedes. Terdapat beberapa faktor yang berkaitan
dengan transmisi biakan virus dengue yaitu lingkungan, penjamu, dan vektor. DBD sendiri
dapat dideteksi atau diketahui melalui anamnesis kepada pasien mengenai gejala klinis yang
dialami dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik meliputi keadaan umum, kesadaran, tanda-
tanda vital, uji tourniquet, dan inspeksi palpasi perkusi auskultasi (IPPA). Selain itu, untuk
lebih meyakinkan diagnosis DBD dapat dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan
darah rutin dan uji serologi. Tingkat keberatan penyakit DBD dibagi menjadi 4 derajat.
Patofisiologi DBD hingga kini masih menjadi perdebatan, namun berdasarkan data yang ada
terdapat bukti kuat bahwa mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya DBD.
Penatalaksanaan DBD secara umum mengikuti cara yang telah direkomendasikan oleh WHO
pada tahun 2011. Di Indonesia, Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI)
bersama dengan Divisi Penyakit Trofik dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi
Medik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menyusun penatalaksanaan DBD pada
orang dewasa melalui 5 protokol. Selain penatalaksanaan, tindakan pencegahan juga
diperlukan untuk mengurangi resiko terkena DBD. Bila DBD tidak cepat diobati, bisa terjadi
komplikasi misalnya kejang.

Kata Kunci: Demam berdarah dengue, DBD, Aedes

Abstract

Dengue hemorrhagic fever (DHF) is one disease that is quite numerous in Indonesia,
especially during the rainy season and the transition. DHF is caused by the dengue virus into
which the vector is the Aedes mosquito. There are several factors associated with the
transmission of dengue virus culture: environment, host and vector. DBD itself can be detected
or known through history to the patient about symptoms experienced clinical and physical
examination. The physical examination includes the general state of consciousness, vital signs,
tourniquet test, and inspection palpation percussion auscultation (IPPA). In addition, for a
more convincing diagnosis of DHF can be investigated that routine blood tests, and serology.
Level objection dengue disease is divided into four degrees. Pathophysiology of DHF is still
being debated, but based on existing data there is strong evidence that the mechanism

1
imunopatologis role in the occurrence of dengue fever. The management of DHF in general
follow the way that has been recommended by the WHO in the year 2011. In Indonesia, Internal
Medicine Doctors Association of Indonesia (PAPDI) along with Trophic and Infectious
Disease Division and the Division of Hematology and Medical Oncology of the Faculty of
Medicine, University of Indonesia has formulated the management of dengue fever in adults
through 5 protocol. In addition to management, preventive action is also needed to reduce the
risk of dengue. If dengue is not treated early, complications can occur, for example seizures.

Keywords: Dengue hemorrhagic fever, DHF, Aedes

Pendahuluan

Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang biasanya ada di daerah
tropis seperti Indonesia. Penyakit DBD di Indonesia terutama menyerang anak-anak. Jumlah
orang yang terserang penyakit DBD di Indonesia semakin meningkat terutama pada musim
peralihan dan musim hujan yang banyak terdapat genangan-genangan air yang menjadi tempat
perkembangbiakan vektor pembawa virus dengue yaitu nyamuk. DBD merupakan demam
berat yang disebabkan oleh virus dengue, ditandai oleh gangguan permeabilitas kapiler,
homeostasis tubuh, dan pada kasus yang berat dapat menyebabkan Dengue Shock Syndrome.

Pada tinjauan pustaka ini akan dibahas mengenai anamnesis pasien, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang, differential diagnosis, lalu diagnosis DBD sendiri, serta membahas
lebih mendalam lagi mengenai DBD mulai dari etiologi, epidemiologi, vektor dan daur hidup
vektor, patofisiologi, gejala klinis, penatalaksanaan, komplikasi, tindakan pencegahan, sampai
ke prognosis.

Anamnesis

Anamnesis adalah pengambilan data yang dilakukan oleh seorang dokter dengan cara
melakukan serangkaian wawancara dengan pasien (autoanamnesis), keluarga pasien atau
dalam keadaan tertentu dengan penolong pasien (aloanamnesis). Berbeda dengan wawancara
biasa, anamnesis dilakukan dengan cara yang khas, yaitu berdasarkan pengetahuan tentang
penyakit dan dasar-dasar pengetahuan yang ada di balik terjadinya suatu penyakit serta bertolak
dari masalah yang dikeluhkan oleh pasien. Berdasarkan anamnesis yang baik dokter akan
menentukan beberapa hal mengenai hal-hal berikut.1

1. Penyakit atau kondisi yang paling mungkin mendasari keluhan pasien (kemungkinan
diagnosis)

2
2. Penyakit atau kondisi lain yang menjadi kemungkinan lain penyebab munculnya keluhan
pasien (diagnosis banding)
3. Faktor-faktor yang meningkatkan kemungkinan terjadinya penyakit tersebut (faktor
predisposisi dan faktor risiko)
4. Kemungkinan penyebab penyakit (kausa/etiologi)
5. Faktor-faktor yang dapat memperbaiki dan yang memperburuk keluhan pasien (faktor
prognostik, termasuk upaya pengobatan)
6. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang medis yang diperlukan untuk menentukan
diagnosisnya
Selain pengetahuan kedokterannya, seorang dokter diharapkan juga mempunyai
kemampuan untuk menciptakan dan membina komunikasi dengan pasien dan keluarganya
untuk mendapatkan data yang lengkap dan akurat dalam anamnesis. Lengkap artinya
mencakup semua data yang diperlukan untuk memperkuat ketelitian diagnosis, sedangkan
akurat berhubungan dengan ketepatan atau tingkat kebenaran informasi yang diperoleh. 1

Anamnesis diawali dengan memberikan salam kepada pasien dan menanyakan identitas
pasien tersebut. Dilanjutkan dengan menanyakan keluhan utama, dan untuk setiap keluhan
waktu muncul gejala, cara perkembangan penyakit, derajat keparahan, hasil pemeriksaan
sebelumnya dan efek pengobatan dapat berhubungan satu sama lain.2

Riwayat penyakit sekarang berhubungan dengan gejala penyakit, perjalanan penyakit


dan keluhan penyerta pasien. Riwayat penyakit terdahulu merupakan penyakit yang pernha
diderita pasien dapat masa lalu. Riwayat sosial ialah kondisi lingkungan sosial, ekonomi dan
kebiasaan pasien sehari-hari. Riwayat keluarga ialah riwayat penyakit yang pernah dialami atau
sedang diderita oleh keluarga pasien.2

Dari hasil anamnesis pada skenario didapatkan seorang anak perempuan usia 6 tahun
demam sejak 5 hari yang lalu. Anak tidak ada keluhan batuk dan pilek. Tidak ada riwayat diare
dan konstipasi. Tidak ada riwayat pergi ke luar kota dalam 1 bulan terakhir. Tidak ada
perdarahan gusi, mimisan dan BAB hitam. Tetangga pasien ada yang menderita keluhan yang
sama.

Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan umum : anak tampak sakit sedang


2. Kesadaran : Compos mentis
3. Tanda-tanda vital

3
Yang meliputi tanda-tanda vital yaitu : suhu badan, respiratory rate, denyut nadi, dan
tekanan darah. Berikut adalah nilai tanda-tanda vital yang normal (Tabel 1.)

Tabel 1. Tanda-tanda vital normal pada anak.3

Hasil dari pemeriksaan fisik tersebut :

Suhu : 39C
Frekuensi napas : 22 x / menit
Nadi : 110 x/ menit
Tekanan darah : 100/70 mmHg
4. Uji tourniquet

Uji ini merupakan manisfestasi pendarahan kulit paling ringan dan dapat dinilai sebagai
uji presumtif oleh karena uji ini positif pada hari-hari pertama demam. Di daerah endemis
DBD, uji tourniquet dilakukan kepada yang menderita demam lebih dari 2 hari tanpa alasan
yang jelas. Pemeriksaan ini harus dilakukan sesuai standar yang ditetapkan oleh WHO.
Pemeriksaan dilakukan dengan terlebih dahulu menetapkan tekanan darah pasien. Selanjutnya
diberikan tekanan antara sistolik dan diastolic pada alat pengukur yang diletakan dilengan atas
siku, tekanan ini diusahakan menetap selama percobaan. Setelah dilakukan tekanan selama 5
menit, perhatikan timbulmya petechia di bagain volar lengan bawah. Uji dinyatakan positif
apabila pada satu inci persegi didapatkan10 atau lebih petechia (WHO 1997). Pada kasus DBD,
uji ini biasanya menunjukan hasil positif. Namun dapat berhasil negative atau positif lemah
pada keadaan syok. Sesuai dengan skenario, didapatkan hasil uji tourniquet postif karena
terdapat petechie sebanyak 25.4

5. Inspeksi Palpasi Perkusi dan Auskultasi

4
Dengan melakukan IPPA pada pemeriksaan demam berdarah bisa didapati adanya
hepatomegali. Nyeri tekan sering kali terasa dan pada palpasi didapati konsistensi hepar yang
kenyal. Namun pada DBD dapat disertai atau tanpa hepatomegali.

Pada skenario terdapat beberapa hasil pemeriksaan yaitu pertama bagian mulut tidak
terdapat coated tounge, faring tidak hiperemis, dan tonsil T2-T2. Pada bagian toraks
pergerakan dada simetris, tidak ada retraksi sela iga, suara napas vesikuler, tidak terdapat ronki,
dan tidak terdapat wheezing. Pada bagian abdomen tampak datar, terdapat hepatomegali 2 cm
dibawah arkus kosta, 2 cm dibawah prosesus xifoideus, tepi tajam, konsistensi kenyal,
permukaan rata, disertai nyeri tekan, dan limpa tidak teraba. Pada bagian ekstremitas
didapatkan hasil akral hangat dan CTR 2 detik.

Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan darah rutin

Pemeriksaan ini yang mencakup: eritrosit (Hemoglobin, Jumlah sel, Hematokrit, dll),
leukosit, dan trombosit. Hemoglobin merupakan zat protein yang ditemukan dalam sel darah
merah (SDM) yang memberikan warna merah pada darah. Hemogloblin berisi zat besi yang
membawa oksigen. Kadar hemoglobin tinggi karena ada hemokonsenstrasi akibat kehilangan
cairan. Hematokrit adalah volume sel darah merah dalam 100 ml darah yang dihitung dalam
presentase. Hematokrit rendah pada kondisi anemia dan leukemia dan tinggi pada keadaan
hemokonsentrasi akibat penurunan volume cairan dan peningkatan SDM. Sementara leukosit
berpengaruh pada proses imunitas dan trombosit pada pembekuan darah. Jumlah normal
eritrosit pada pria 4,6-6,2 juta/uL sedangkan pada wanita ialah 4,2-5,4 juta/uL. Jumlah normal
sel leukosit adalah 4.500-11.000 sel/uL. Jumah normal trombosit ialah 150.000-450.000
sel/uL.5 Untuk kadar normal hemoglobin dan hematokrit dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kadar hemoglobin dan hematokrit normal.6

2. Uji serologi7

5
Prinsip dari metode ini adalah mendeteksi adanya antibodi IgM dan IgG dalam serum
penderita dengan cara menangkap antibodi yang beredar dalam darah penderita.

IgM merupakan antibody yang diproduksi dalam 48 sampai 72 jam setelah antigen
masuk kedalam tubuh dan banyak berperan atas imunitas primer. N= 4% ; 40-350 mg/dl
IgG merupakan antibody utama. Ig G terjadi akibat pajanan terhadap antigen asing dan
menimbulkan aktivitas antivirus dan antibacterial. Respon ini leboh kuat dan lebih lama
dari immuonoglobulin lainnya. N= 80% ; 900-2200 mg/dl.

Seseorang dapat didiagnosis menderita demam berdarah dengue dengan parameter


medis sebagai berikut :8

Leukosit : dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis
relative (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru (LPB) >15%
dari jumlah total leukosit yang pada fase syok akan meningkat.
Trombosit : umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8
Hematokrit : kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan
hematokrit 20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke 3 demam.
Hemostasis : dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, ataua FDP
pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.
Protein/albumin : dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma.
SGOT/SGPT : dapat meningkat
Ureum, kreatinin : bila didapatkan gangguan fungsi ginjal
Elektrolit : sebagai parameter pemantauan pemberian cairan
Golongan darah dan cross match (uji cocok serasi) : bila akan diberikan transfuse darah
atau komponen darah
Imunoserologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue
IgM : terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke -3 , menghilang
setelah 60-90 hari
IgG : pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada infeksi
sekunder IgG muali terdeteksi hari ke2
Uji HI : dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama, serta saat pulang dari
perawatan, uji ini digunakan untuk kepentingan surveilans.
NS1 : antigen NS1 dapat dideteksi pada awal demam pertama sampai hari ke delapan.
Sensitivitas NS1 berkisar 63-93,4% dengan spesifisitas gold standart kultur virus.

6
Dari skenario yang ada didapatkan hasil pemeriksaan darah rutin sebagai berikut:

Hemoglobin : 11 g/dl

Hematokrit : 40%

Leukosit : 4 ribu/ul

Trombosit : 85 ribu/ul

Eritrosit : 5,5 juta/ul

MCV : 90 fL

MCH : 30 pg

MCHC : 35 g/dl

Hitung jenis

Basofil : 1%

Eosinofil : 2%

Batang : 2%

Netrofil segmen : 50%

Limfosit : 40%

Monosit : 5%

NS1 : Positif

Pemeriksaan lain : Menunggu hasil

Differintial Diagnosis

Demam tifoid

Demam tipoid ialah infeksi akut pada saluran pencernaan yang disebabkan oleh
Salmonella typhi. Demam tifoid menyerang penduduk di semua Negara. Seperti penyakit
menular lainnya, tipoid banyak di temukan di Negara berkembang yang sanitasi lingkungannya
kurang baik. Meskipun demam tifoid menyerang semua umur, namun golongan terbesar tetap
usia kurang dari 20 tahun. Penularan penyakit ini ialah melalui air dan makanan. Kuman

7
salmonela dapat bertahan lama dalam makanan. Serangga sebagai vector juga berperan dalam
penularan penyakit.9, 10

Salmonella ialah bakteri gram negatif, tidak berkapsul, mempunyai flagella dan tidak
membentuk spora. Kuman ini mempunyai antigen yang penting untuk pemeriksaan
laboratorium yaitu antigen O, H, dan K. Bakteri ini akan mati pada pemanasan 57C selama
beberapa menit. Masa inkubasinya adalah 10-20 hari. 10

Kuman Salmonela typhi masuk dalam tubuh melalui makanan yang telah
terkontaminasi. Sebagian kuman mati di lambung dan sebagian lagi bertahan dan sampai
diusus. Kuman kemudian masuk ke lamina propria dan difagositosis oleh makrofag. Kuman
berkembang biak didalam makrofag yang selanjutnya dibawa ke plaque penyeri di ileum distal
dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterium lalu melalui ductus torasikus masuk ke
peredaran darah (bakterimia asimptomatik). Kuman lalu masuk ke oragan retikuloendotelial
sel, terutama hati dan limpa. Di organ ini kuman keluar dari makrofag masuk ke sinusoidnya
lalu masuk kembali ke dalam darah ( bacteremia simptomatik). Dalam hati kuman masuk ke
empedu dan masuk ke usus, sebagian dikeluarkan dengen feses sebagian lagi melalui siklus
dari awal lagi. Makrofag yang memfagositosis kuman kemudian mengeluarkan mediator
inflamasi yang menyebabkan gejala.9

Demam lebih dari tujuh hari adalah gejala yang paling menonjol. Demam ini sifatnya
ialah meningkat perlahan-lahan terutama pada sore dan malam hari. Demam ini bias diikuti
oleh gejala khas lainnya yaitu diare, anoreksia, mual, muntah, batuk dan epiktasis. Pada kondisi
yang parah dapat terjadi gangguan kesadaran. Komplikasi yang bias terjadi ialah perforasi usus,
pendarahan usus dan koma. Diagnosis ditegakkan bila ditemukan salmonella dalam dalam
melalui kultur. Pemeriksaan serologi widal untuk mendekteksi antigen O dan H. Titer lebih
besar atau sama dengan 1/40 maka dianggap positif demam tifoid.9, 10

Malaria

Vektor penyebab dari malaria dan DBD berbeda, malaria ditularkan melalui nyamuk
anopheles betina yang menularkan parasit plasmodium, bukan virus seperti halnya pada DBD.
Masa inkubasi malaria juga lebih panjang yakni sekitar 1 sampai 3 minggu dimana sementara
DBD sangat cepat hanya sekitar 3-4 hari. Pada malaria ditemukan juga nyeri sendi, muntah,
panas berkeringat, dan menggigil, selain itu yang khas dari malaria adalah ditemukannya
anemia dan gejala pemutihan retina pada penderita.10

8
Infeksi Saluran Kemih

Infeksi saluran kemih (ISK) adalah infeksi dengan jumlah koloni >100.000
mikroorganisme tunggal per ml yang mengenai saluran kemih bagian atas (pielonefritis, abses
ginjal) atau bagian bawah (sistitis), atau keduanya. ISK bagian atas memiliki gejala klinis yaitu
demam, menggigil, nyeri pinggang, malaise, anoreksia, nyeri tekan pada sudut kostovertebra
dan abdomen. Sedangkan ISK bagian bawah memiliki gejala klinis yaitu disuria, frekuensi dan
urgensi, nyeri suprapubik, hematuria, dan nyeri pada skrotum atau nyeri pada perineum.11

Pneumonia

Pneumonia adalah infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli) yang
menyebabkan paru-paru meradang. Kemampuan kantung-kantung menyerap oksigen
menjadi berkurang. Pneumonia penyebabnya bisa bermacam-macam dan diketahui ada
30 sumber infeksi dengan sumber utama yaitu bakteri, virus, mikroplasma, jamur,
berbagai senyawa kimia maupun partikel. Gejala klinis dari pneumonia ialah napas
cepat dan napas sesak.12

Otitis Media Akut

Otitis media akut (OMA) banyak didapatkan anak selama 8 tahun pertama. Pada ank
yang lebih besar, gejala utama berupa nyeri telinga sedangkan pada bayi gejala tidak
terlalu jelas. Bayi biasanya mengalami demam tinggi dan gelisah, menggerakan kepala
dari satu sisi ke sisi lain atau menggosok telinga. Pada awalnya terdapat inflamasi
ringan pada bagian superior membran timpani dengan dilatasi pembuluh darah ke arah
gagang maleus dan hilangnya refleks cahaya. Lalu membran timpani akan menjadi
merah,menonjol, nyeri, perforasi, dan mengeluarkan pus. Patogen penyebab dari OMA
antara lain Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae.13

Working Diagnosis

Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal di bawah
ini dipenuhi:8

Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.
Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut :
- Uji bendung positif
- Petechie, ekimosis, atau purpura.

9
- Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau perdarahan dari
tempat lain.
- Hematemesis atau melena.
Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/ul).
Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai berikut:
peningkatan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan
nilai hematokrit sebelumnya.
Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites atau hipoproteinemia.

Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari), timbul gejala
prodromal yang tidak khas seperti: nyeri kepala, nyeri tulang belakang dan perasaan lelah. Pada
sindom syok dengue (SSD) didapati seluruh kriteria di atas untuk DBD disertai kegagalan
sirkulasi dengan manifestasi nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah turun (< 20 mmHg),
hipotensi dibandingkan standar sesuai umur, kulit dingin dan lembab serta gelisah.13

Pada penyakit DBD, beratnya penyakit digolongkan kepada 4 derajat yaitu:14

1. Derajat I : demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya maifestasi


perdarahan adalah uji tourniquet
2. Derajat II : seperti derajat I tetapi disertai perdarahan spontan di kulit berupa
petechie, ekimosis, mimisan (epistaksis), muntah darah (hematemesis), buang air besar
berdarah berwarna merah kehitaman (melena), perdarahan gusi, perdarahan rahim
(uterus), telinga, dan sebagainya.
3. Derajat III : adanya tanda-tanda kegagalan sirkulasi darah, seperti denyut nadi
teraba lemah dan cepat (>120x/menit), tekanan nadi ( selisih antara tekanan sistolik dan
diastolik) menyempit (<20 mmHg). DBD derajat III merupakan peringatan awal yang
mengarah pada terjadinya renjatan (syok).
4. Derajat IV : denyut nadi tidak teraba, tekanan darah tidak terukur, denyut jantung
>140x/menit, ujung-ujung jari kaki dan tangan terasa dingin, tubuh berkeringat, kulit
membiru. DBD derajat IV merupakan manifestasi syok yang sering kali berakhir
dengan kematian.

Etiologi

Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue dari
kelompok arbovirus B, arthropod-borne virus, atau virus yang disebarkan oleh artropoda. Virus
ini termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus

10
dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul
4x106.13

Terdapat empat serotipe virus, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang
semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat
serotype ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Terddapat
reaksi silang anatara serotipe dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow fever, Japanese
encehphalitis, dan West Nile virus.13

Dalam laboratorium virus dengue dapat bereplikasi pada hewan mamalia seperti tikus,
kelinci, anjing, kelelawar, dan primate. Survei epidemiologi pada hewan ternak didapatkan
antibodi terhadap virus dengue pada hewan kuda, sapi, dan babi. Penelitian pada antropoda
menunjukkan virus dengue dapat bereplikasi pada nyamuk genus Aedes (Stegomyia) dan
Toxorhynchites.13

Epidemiologi

Demam berdarah menjadi endemis di banyak negara tropis dan subtropis. Di asia
penyakit ini sering menyerang di cina selatan, Pakistan, india dan semua Negara di asia
tenggara. Di Indonesia kasus DBD pertama kali terjadi di Surabaya pada tahun 1968. Penyakit
DBD ditemukan di 200 kota di 27 provinsi dan telah mejadi KLB. Mortalitasnya kemudian
menurun mencapai 2 % pada tahun 1999. 4, 13

Terdapat beberapa faktor yang diketahui berkaitan dengan transmisi biakan virus
dengue yaitu :

1. Lingkungan

Terdapat beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh pada penularan virus dengue,
yaitu lingkungan fisik dan biologis. Lingkungan fisik contohnya seperti cuaca yang hujan
akan meningkatkan perkembangan penularan virus ini dengan terciptanya banyak genangan-
genangan air yang merupakan tempat nyamuk yang terinfeksi virus dapat berkembang.
Sementara lingkungan biologis lebih erat kaitannya dengan kondisi lingkungan yang sesuai
untuk perkembangan virus dalam tubuh nyamuk. Penularan virus dengue terjadi pada
nyamuk A. aegypti betina yang betina yang suka hidup di air-air yang jernih seperti bak
mandi, kaleng bekas dan tempat penampungan air lainnya. Bila sanitasi lingkungan tidak
baik, banyak sampah-sampah kaleng berserakan saat musim hujan maka genangan air
tersebut dapat menjadi wadah yang baik untuk perkembangan nyamuk.14

11
2. Pejamu

Faktor ini berpengaruh pada penularan virus degue bila kondisi tubuh pejamu sedang
dalam keadaan yang tidak baik atau bila terdapat penderita DBD pada anggota keluarga
sehingga mempermudah penularan virus dengue, sebab setiap orang yang terinfeksi DBD
dengan atau tanpa gejala dapat menjadi pembawa penularan virus.14

3. Vektor
Vektor utama penyakit DBD ialah nyamuk Aedes aegypti (di daerah perkotaan) dan
nyamuk Aedes albopictus (di derah pedesaan).14

Vektor dan Daur Hidup Vektor

1. Morfologi Daur Hidup

Aedes aegypti dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan ukuran nyamuk
rumah (Culex quinquefasciatus), mempunyai warna dasar hitam dengan bintik-bintik putih
terutama pada kakinya. Morfologinya khas yaitu mempunyai gambaran lira (lyre-form) yang
putih pada punggungnya (mesonotum). Telur Aedes aegypti mempunyai dinding yang
bergaris-garis dan menyerupai gambaran kain kasa. Larva Aedes aegypti mempunyai pelana
yang terbuka dan gigi sisir yang berduri lateral.15

Nyamuk betina meletakkan telurnya di dinding tempat perindukannya 1-2cm di atas


permukaan air. Seekor nyamuk betina dapat meletakkan rata-rata100 butir telur tiap kali
bertelur. Setelah kira-kira 2 hari telur menetas menjadi larva lalu mengadakan pengelupasan
kulit sebanyak 4 kali, tumbuh menjadi dewasa. Pertumbuhan dari telur sampai dewasa
memerlukan waktu kira-kira 9 hari.15

Tempat perindukan utama Aedes aegypti adalah tempat-tempat berisi air bersih yang
berdekatan letaknya dengan rumah penduduk, biasanya tidak melebihi jarak 500 meter dari
rumah. Tempat perindukan tersebut berupa tempat perindukan buatan manusia; seperti
tempayan/gentong tempat penyimpanan air minum, bak mandi, pot bunga, kaleng, botol, drum,
ban mobil yang terdapat di halaman rumah atau di kebun yang berisi air hujan, juga berupa
tempat perindukan alamiah; seperti kelopak daun tanaman (keladi, pisang), tempurung kelapa,
tongak bamboo, dan lubang pohon yang berisi air hujan. Di tempat perindukan Aedes aegypti
seringkali ditemukan larva Aedes albopictus yang hidup bersama-sama.15

2. Perilaku Nyamuk Betina

12
Nyamuk betina menghisap darah manusia pada siang hari yang dilakukan baik di dalam
rumah ataupun di luar rumah. Pengisapan darah dilakukan dari pagi sampai petang dengan dua
puncak waktu yaitu setelah matahari terbit (08:00-12:00) dan sebelum matahari terbenam
(15:00-17:00). Tempat istirahat Aedes aegypti berupa semak-semak atau tanaman rendah
termasuk rerumputan yang terdapat di halaman / kebun / pekarangan rumah. Juga berupa
benda-benda yang tergantung di dalam rumah seperti pakaian, sarung, kopiah, dan lain
sebagainya. Umur nyamuk dewasa betina di alam bebas kira-kira 10 hari, sedangkan di
laboratorium mencapai 2 bulan. Aedes aegypti mampu terbang sejauh 2 kilometer, walaupun
umumnya jarak terbangnya adalah pendek yaitu kurang lebih 40 meter. 15

Patofisiologi

Patofisiologi terjadinya demam berdarah sampai saat ini masih diperdebatkan.


Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis
berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue.8

Respons imun yang diketahui berperan dalam patofisiologi DBD adalah: a) respons
humoral berupa pembentukan antibody yang berperan dalam proses netralisasi virus, sitolisis
yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antibody. Antibodi terhadap
virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag.
Hipotesis ini disebut antibody dependent enchanment (ADE); b) limfosit T baik T-helper
(CD4) dan T-sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun seluler terhadap virus dengue.
Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin,
sedangkan TH-2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10; c) monosit dan makrofag berperan
dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibody. Namun proses fagositosis ini
menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag; d) selain itu
aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a.8

Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous infection yang
menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus dengue dengan tipe yang
berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi amnestic antibodi sehingga mengakibatkan
konsentrasi kompleks imun yang tinggi.8

Kurane dan Ennid pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan peneliti lain;
menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang memfagositosis
kompleks virus-antibodi non-netralisasi sehingga virus bereplikasi di makrofag. Terjadinya
infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T-helper dan T-sitotoksik sehingga

13
diproduksi limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit
sehingga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-a, IL-1, PAF (platelet activating
factor), IL-6, dan histamin yang mengakibatkan terjadinya disfungsi sel endotel dan terjadi
kebocoran plasma. Peningkatan c3a dan C5a terjadi melalui aktivasi oleh kompleks virus
antibody yang juga mengakibatkan terjainya kebocoran plasma.8 Imunopatogenesis demam
berdarah dengue dapat dilihat di Gambar 1.

Gambar 1. Imunopatogenesis demam berdarah dengue.8

Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme: 1) supresi sumsum


tulang, 2) destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran sumsum tulang pada
fase awal infeksi (< 5 hari) menunjukkan keadaan hiposelular dan supresi megakariosit. Setelah
keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan proses hematopoiesis termasuk
megakariopoiesis. Kadar trombopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru
menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai
mekanisme kompensasi terhadap keadaan trombositopenia. Dekstrusi trombosit terjadi melalui
pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibodi virus dengue, konsumsi trombosit selama
proses koagulopati dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui
mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-tromboglobulin dan PF4 yang
merupakan pertanda degranulasi trombosit.8

Koagulapati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang menyebabkan
disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya koagulapati konsumtif pada

14
demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi koagulasi pada demam berdarah dengue
terjadi melalui aktivasi jalur ekstrinsik (tissue factor pathaway). Jalur intrinsik juga berperan
melalui aktivasi factor XIa namun tidak melalui aktivasi kontak (kalikrein C1-inhibitor
complex).8

Gejala Klinis

Pada kasus DBD biasanya disertai dengan demam tinggi, pendarahan, hepatomegaly
dan gangguan sirkulasi. Trombositopenia yang disertai dengan hemokonsentrasi dapat
ditemukan dengan uji di laboratorium. Perubahan patofisologis yang utama yang menbedakan
demam berdarah dan deman berdarah dengue ialah hemostatis abnormal dan kebocoran plasma
yang dimanifestasikan dengan trombositopenia dan peningkatan hematokrit.16

Demam berdarah dengue dimulai dengan peningkatan suhu secara tiba-tiba dan disertai
dengan kemerahan dan gejala lainya seperti anoreksia, muntah, sakit kepala, nyeri otaot dan
sendi. Beberapa pasien mengeluh sakit tenggorok. Ketidaknyamanan di epigastrik dan nyeri
tekan pada tepi rusuk kanan dan nyeri perut. Demam tinggi pada dua sampai tujuh hari
kemudian baru turun menjadi normal atau subnormal. Terkadang suhu tubuh mencapai 40C
dan dapat terjadi kejang demam. 16
Pendarahan paling umum yaitu hasil positif pada uji tounikuet positif. Ditemukan
petekie yang kecil dan menyebar pada anggota gerak, ketiak, wajah dan palatum lunak yang
tampak pada masa awal demam. Ruam makulopapular atau ruam seperti pada campak mucul
pada awal dan akhir perjalanan penyakit. Terkadang terjadi epiktasis dan gusi berdarah. Hati
umumnya membesar dan terdapat nyeri tekan yang tidak sesuai dengan beratnya penyakit. 16
Pada kasus ringan maupun sedang semua gejala biasanya mereda saat demam turun,
perdaan ini terjadi dengan adanya pengeluaran keringat, perubahan nadi dan tekanan darah
serta mendinginnya anggota gerak dan kongesti kulit. Perubahan ini menandakan adanya
gangguan ringan dan sementara pada system sirkulasi akibat kebocoran plasma. Pasien
biasanya akan pulih dengan sendirinya setelah diberikan terapi cairan dan elektrolit. 16

Pada kasus yang berat, kondisi pasien memburuk tiba-tiba setelah beberapa hari demam. Gejala
renjatan ditandai dengan kulit yang terasa lembab dan dingin, sianosis perifer yang terutama
tampak pada ujung hidung, jari-jari tangan dan kaki, serta dijumpai penurunan tekanan darah.
Renjatan biasanya terjadi pada waktu demam atau saat demam turun antara hari ke-3 dan hari
ke-7. Nyeri abdomen akut ialah keluhan yang biasa diutarakan pasien tepat sebelum syok
terjadi. Bila terjadi syok paisen dapat meninggal 12-24 jam kemudian atau pulih dengan cepat

15
bila diberikan terapi pergantian cairan yang tepat. Syok yang tidak ditangani akan menciptakan
situasi yang lebih rumit, terjadi asidosis metabolic, pendarahan pada saluran gastrointestinal
dan lainnya sehingga prognosis menjadi buruk. Sementara pada pasien yang pulih dari syok
akan pulih dengan cepat tanpa meninggalkan gejala, peningkatan nafsu makan ialah tanda
prognosis membaik. 16

Penatalaksanaan

Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah terapi
suportif. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam
penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika
asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan
melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna.8

Berdasarkan rekomendasi WHO 2011, prinsip umum terapi dengue ialah sebagai
berikut:

1. Pemberian cairan kristaloid isotonik selama periode kritis, kecuali pada bayi usia
dibawah 6 bulan yang disarankan menggunakan NaCl 0,45%.
2. Penggunaan cairan koloid hiperonkotik, misalnya dekstran 40, dapat dipertimbangkan
pada pasien dengan kebocoran plasma yang berat dan tidak ada perbaikan yang adekuat
setelah pemberian kristaloid.
3. Jumlah cairan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan rumatan (maintenance)
ditambah 5% untuk dehidrasi. Jumlah tersebut hanya untuk menjaga agar volume
intravaskuler dan sirkulasi tetap adekuat.
4. Durasi pemberian terapi cairan intravena tidak boleh melebihi 24-48 jam pada kasus
syok. Pada kasus tanpa syok durasi teteap tidak lebih dari 60-72 jam.
5. Pada pasien obesitas, perhitungan volume cairan sebaiknya menggunakan berat badan
ideal.
6. Pemberian cairan selalu disesuaikan dengan kondisi klinis. Kebutuhan cairan intravena
pada anak berbeda dengan orang dewasa.
7. Pemberian transfusi trombosit tidak direkomendasikan pada pasien anak.

Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama dengan Divisi
Penyakit Trofik dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi Medik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia telah menyusun protokol penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa
berdasarkan kriteria : 8

16
Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat sesuai atas
indikasi.

Praktis dalam pelaksanaannya.

Mempertimbangkan cost effectiveness.

Protokol ini terbagi dalam 5 kategori :

1. Protokol 1

Penanganan Tersangka (Probable) DBD dewasa tanpa syok

2. Protokol 2

Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat

3. Protokol 3

Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit > 20%

4. Protokol 4

Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD dewasa

5. Protokol 5

Tatalaksana Sindroma Syok Dengue pada dewasa

Protokol 1. Penanganan Tersangka (Probable) DBD Dewasa Tanpa Syok

Protokol 1 ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama


pada penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalansi Gawat Darurat dan juga dipakai
sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat.8

Seseorang yang tersangka menderita DBD di ruang Gawat Darurat dilakukan


pemeriksaan hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), dan trombosit, bila :8

Hb, Ht, dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000 150.000 pasien dapat
dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke poliklinik dalam waktu 24 jam
berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb, Ht Lekosit dan trombosit tiap 24 jam) atau bila
keadaan penderita memburuk segera kembali ke Instalansi Gawat Darurat.

Hb, Ht normal tetapi trombosit < 100.000 dianjurkan untuk dirawat.

Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk dirawat.

Protokol 2. Pemberian Cairan pada Tersangka DBD Dewasa di Ruang Rawat

17
Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif tanpa syok maka di
ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti rumus berikut ini :8

Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan : 1500 + {20 x (BB dalam kg - 20)}

Setelah pemberian cairan, dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam :

Bila Hb, Ht meningkat 10 20% dan trombosit < 100.000 jumlah pemberian cairan
tetap seperti rumus di atas tetapi pemantauan Hb, Ht trombosit dilakukan tiap 12 jam.
Bila HB, Ht meningkat > 20% dan trombosit < 100.000 maka pemberian cairan sesuai
dengan protokol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20%.

Protokol 3. Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Hematokrit > 20%

Meningkatnya Ht > 20 % menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit cairan


sebanyak 5%. Pada keadan ini terapi awal pemberian cairan adalah dengan memberikan infus
cairan kristaloid sebanyak 6 7 ml/kg/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3 4 jam
pemberian cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda hematokrit turun,
frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil, produksi urin meningkat maka jumlah cairan infus
dikurangi menjadi 5 ml/kg/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan keadaan tetap
membaik maka pemberian cairan dapat dihentikan 24 - 48 jam kemudian.8

Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6 7ml/kgBB/jam tadi keadaan tetap
tidak membaik, yang ditandai dengan hematokrit dan nadi meningkat, tekanan darah menurun,
20mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus menaikkan jumlah cairan infus menjadi 10
ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan menunjukkan
perbaikan maka jumlah cairan dikurangi menjadi 5 ml/kgBb/jam tetapi bila keadaan tidak
menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dinaikkan menjadi 15 ml/kgBB/jam dan bila
dalam perkembangannya kondisi menjadi memburuk dan didapatkan tanda tanda syok maka
pasien ditangani sesuai dengan protokol tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa. Bila
syok telah teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi pemberian cairan awal.8

Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD dewasa

Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah : perdarahan hidung
/ epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon hidung, perdarahan saluran
cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan saluran kencing (hematuria),
perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4 5
ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan tetap seperti

18
keadaan DBD tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan dan jumlah
urin dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht, dan trombosit serta hemostase
harus segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht, dan trombosit sebaiknya diulangi setiap 4 6
jam.8

Pemberian heparin dilakukan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tanda-
tanda koagulasi intravaskulat diseminata (KID). Transfusi komponen darah diberikan sesuai
indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan aPTT yang
memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g/dl. Transfusi trombosit hanya
diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan masif dengan jumlah trombosit <
100.000/mm3 disertai atau tanpa KID.8

Protokol 5. Tatalaksana Sindroma Syok Dengue pada Dewasa

Bila kita berhadapan dngan Sindroma Syok Dengue (SSD) maka hal pertama yang
harus diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian cairan
intravaskuler yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian sindrom syok dengue
sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita DBD tanpa renjatan, dan renjatan dapat
terjadi karena keterlambatan penderita DBD mendapatkan pertolongan / pengobatan,
penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda-tanda
renjatan dini, dan penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuat.8

Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Selain resusitasi
cairan, penderita juga diberikan oksigen 2 4 liter/menit. Pemeriksaan-pemeriksaan yang
harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), hemostasis, analisis gas
darah, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan kreatinin.8

Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10 20 ml/kgBB dan dievaluasi
setelah 15 30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan tekanan darah sistolik 100
mHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100 kali per menit
dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat disertai diuresis 0,5 1
ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60 120
menit kemudian tetap stabil pemberian cairan menjadi 5 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60
120 menit kemudian keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila 24 -
48 jam setelah renjatan teratasi tanda-tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis
cukup maka pemberian cairan perinfus harus dihentikan (karena jika reabsorbsi cairan plasma

19
yang mengalami ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan turunnya hematokrit, cairan infus
terus diberikan maka keadaan hipervolemi, edema paru atau gagal jantung dapat terjdi.)8

Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang terus dilakukan terutama


dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadi renjatan (karena selain proses patogenesis penyakit
masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20% saja yang menetap dalam
pembuluih darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh karena untuk mengetahui apakah renjatan
telah teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan
darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung dan naps, pembesaran hati, nyeri tekan daerah
hipokondrium kanan dan epigastrik, serta jumlah diuresis.diuresis diusahak 2 ml/kgBB/jam.
Pemantauan kadar hemoglobin, hematokrit dan jumlah trombosit dapat dipergunakan untuk
pemantauan perjalanan penyakit.8

Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka
pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20 30 ml/kgBB/jam dan kemudian
dievaluasi setelah 20 30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka perhatikan nilai
hematokrit. Bila nilai hematokrit meningkat berarti perembesan plasma masih berlangsung
maka pemberian cairan koloid merupakan pilihan, tetapi bila nilai hematokrit menurun, berati
terjadi perdarah (internal bleeding) maka penderita diberikan transfusi darah segar 10 ml/kgBB
dan dapat diulang sesuai kebutuhan.8

Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifat-sifat
cairan tersebut. Pemberian koloid sendiri mula-mula diberikan dengan tetesan cepat 10 -
20ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10 - 30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi maka untuk
memantau kecukupan cairan dilakukan pemasangan kateter vena sentral, dan pemberian koloid
dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30ml/kgBB (maksimal 1 - 1,51/hari) dengan sasaran
tekanan vena sentral 15-18 cm H20. Bila keadaan tetap belum teratasi harus diperhatikan dan
dilakukan koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID, infeksi
sekunder. Bila tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan target tetapi renjatan tetap
belum teratasi maka dapat diberikan obat inotropik / vasopresor.8

Komplikasi

Infeksi primer demam dengue dan penyakit-penyakit sejenis yang disebabkan virus
dengue biasanya self-limited dan jinak/tidak berbahaya. Kehilangan cairan dan elektrolit,
hyperpyrexia, dan kejang demam adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada anak-anak.
Mimisan, petechiae, dan lesi purpura tidak sering ditemukan namun dapat terjadi di tingkatan

20
manapun. Tertelannya darah dari mimisan yang dimuntahkan atau dikeluarkan melalui rectum,
sering disalahartikan sebagai pendarahan gastrointestinal. Pada orang dewasa dan
kemungkinan pada anak-anak, kondisi-kondisi dasar dapat menyebabkan pendarahan klinis
yang signifikan. Kejang dapat terjadi pada suhu tinggi, dan pada kasus yang jarang setelah
kejang diikuti dengan asthenia berkepanjangan, depresi mental, brakikardia, dan extrasitol
ventricular pada anak-anak.17

Tindakan Pencegahan

Pencegahan utama yang dilakukan ialah berusaha mengurangi vektor virus dengue,
yaitu nyamuk Aedes aegypti. Seperti telah dibahas, nyamuk ini senang hidup didalam segala
macam jenis benda yang dapat menampung air yang jernih di sekitar rumah. Oleh karena itu
sangat diperlukan bagi masyarakat untuk selalu membersihkan dan membuang barang-barang
bekas seperti kaleng, plastik maupun ban yang dapat dijadikan tempat perindukan nyamuk
tersebut.

Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah berjangkitnya demam berdarah
ialah sebagai berikut:16

Makan, minum dan berolahraga secara teratur.

Apabila memasuki musim pancaroba selalu perhatikan kebersihan lingkungan dan


lakukan cara 3M, yaitu menguras bak mandi, menutup wadah tempat penampungan
air serta mengubur barang bekas sehingga tempat-tempat tersebut tidak dijadikan
tempat perkembangan jentik-jentik nyamuk. Sebenarnya penguburan barang bekas
dapat menyebabkan polusi tanah sehingga bila masih ada barang bakas yang bisa
didaur ulang tentu saja akan jauh lebih berguna dan tidak mengganggu ekosistem.

Pakaian mengurangi resiko tergigit nyamuk jika pakaian itu cukup tebal dan longgar.
Baju lengan panjang dan celana panjang dengan kaus kaki dapat melindungi tangan
dan kaki yang paling sering terkena gigitan nyamuk.

Menggunakan repellant atau obat nyamuk bakar, maupun semprot untuk menghindari
gigitan nyamuk.

Fogging atau pengasapan untuk mematikan nyamuk dewasa. Usahakan untuk


melakukan fogging pada waktu aktif nyamuk Aedes aegypti yaitu pada selang waktu
antara jam 08.00 10.00 ataupun pada 15.00 - 17.00.

21
Tidak menggantung pakaian didalam rumah secara sembarangan karena dapat menjadi
tempat peristirahatan nyamuk.

Memberi saluran keluar air pada pot atau vas bunga. Serta membuang dan mengganti
air dalam pot atau vas bunga setiap minggu dan membersihkan vas atau pot bunga
sebelum dipakai kembali.

Wadah penampungan hasil kondensasi di bawah lemari es, dan AC harus diperiksa
dan dibersihkan secara teratur.

Memberi obat penurun panas bila ada anggota keluarga yang demam dan segera
membawa pasien ke rumah sakit maupun tempat praktek dokter bila didapati gejala
panas yang naik turun dan kemerahan pada kulit.

Prognosis

Bila penanganan demam berdarah dengue dilakukan dengan manajemen medis yang baik
yaitu pemantauan kadar trombosit dan hematokrit maka mortalitasnya dapat diturunkan dan
prognosisnya baik. Namun bila keadaan kebocoran plasma tidak dideteksi lebih dahulu dan
tidak dilakukan penanganan yang tepat sehingga jumlah trombosit <100.000/ul dan hematokrit
meningkat maka harus mewaspadai terjadinya syok yang dapat berakhir dengan prognosis
yang buruk.

Kesimpulan

Sesuai dengan skenario yang ada, dari hasil anamnesis didapatkan seorang anak
perempuan usia 6 tahun demam sejak 5 hari yang lalu. Anak tidak ada keluhan batuk dan pilek.
Tidak ada riwayat diare dan konstipasi. Tidak ada riwayat pergi ke luar kota dalam 1 bulan
terakhir. Tidak ada perdarahan gusi, mimisan dan BAB hitam. Tetangga pasien ada yang
menderita keluhan yang sama. Lalu pada pemeriksaan fisik didapatkan uji tourniquet positif
dengan adanya petechie sebanyak 25 dan terdapat hepatomegali. Dari hasil pemeriksaan
laboratorium didapatkan beberapa yang tidak dalam jumlah normal seperti hematokrit yang
meningkat menjadi 40%, leukosit yang agak menurun menjadi 4.000/uL, trombosit yang
menurun menjadi 85.000/uL, dan NS1 positif. Dari semua hasil tersebut, dapat dilihat bahwa
hasil tersebut memenuhi kriteria DBD yang ditentukan oleh WHO tahun 1997. Untuk tingkat
keberatan DBD, dalam skenario ini pasien mengalami DBD derajat I dimana terjadi demam
dan gejala-gejala tidak khas, serta satu-satunya manifestasi perdarahan ialah uji tourniquet
yang positif.

22
Daftar Pustaka

1. Gleadle, Jonathan. Pengambilan anamnesis. Dalam : At a glance anamnesis dan


pemeriksaan fisik. Jakarta : Penerbit Erlangga; 2007. h. 1-17.
2. Welsby PD. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta : EGC; 2009. h.2-7.
3. Grossman VGA. Quick reference to triage. 2nd Edition. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2003. p. 200-2.
4. Soedarmo SS, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Buku ajar infeksi dan pediatri
tropis. Ed ke 2. Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI; 2008. h. 155-75.
5. Sudiono H, Iskandar I, Edward H, Halim SL, Kosasih R. Penuntun patologi klinik
hematologi. Jakarta: Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Ukrida; 2014. h. 42,
59-61.
6. Perkin RM, Swift JD, Newton DA, Anas NG. Pediatric hospital medicine: textbook of
inpatient management. 2nd Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008.
p. 332.
7. Kee JL. Pedoman pemeriksaan laboratorium dan dignostik. Ed ke-6. Jakarta : EGC;
2007. h. 279-80.
8. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam berdarah dengue. Dalam:
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Edisi ke-5. Jakarta : InternaPublishing; 2009. h. 2773 9
9. Widodo D. Demam tifoid. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta : InternaPublishing; 2009.
h. 2797-9.
10. Widoyo. Penyakit tropis : epidemiologi, penularan, pencegahan, dan
pemberantasannya. Jakarta : Penerbit Erlangga; 2008. h. 34-70.
11. Umami V, Safitri A. At a glance ilmu bedah. Edisi ketiga. Diterjemahkan dari Grace
PA, Borley NR. Surgery at a glance. Third edition. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2007. h.
167.
12. Misnadiarly. Penyakit infeksi saluran napas pneumonia pada anak, orang dewasa, usia
lanjut. Jakarta: Pustaka Obor Populer; 2008. h. 11-4.
13. Hartini K, Rachmawati AD, Munasir Z, Kurniati N, Safitri A. Lecture notes: pediatrika.
Edisi ketujuh. Diterjemahkan dari Meadow SR, Newell SJ. Lecture notes on
paediatrics. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2005. h. 166.

23
14. Ginanjar G. Demam berdarah a survival guide. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka; 2007.
h. 12, 33-4.
15. Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, Sungkar S. Buku ajar parasitologi kedokteran.
Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008. h. 265-7.
16. WHO. Pencegahan dan pengendalian dengue dan demam berdarah dengue: panduan
lengkap. Jakarta: EGC; 2004. h. 16-8.
17. Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, Geme J, et al. Nelson textbook of pediatrics. 19th
Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2011. p. 1149.

24

Anda mungkin juga menyukai