DISUSUN OLEH :
dr. Amran Cleo Patra Sinaga
PEMBIMBING :
dr. Agus Suprapto, SH
NARASUMBER
dr. Pandji, Sp. A
PENDAHULUAN
Demam dengue adalah wabah infeksi virus paling cepat menyebar yang di sebarkan oleh
nyamuk Aedes dan menjadi perhatian dalam departemen kesehatan masyarakat pada lebih dari
100 negara tropis dan subtropics di Timur Laut Asia, Pasifik Barat dan Selatan, serta Amerika
Tengah. Lebih dari 2.5 miliar masyarakat dunia terancam oleh demam dengue dan bentuk yang
lebih parah-dengue hemorrhagic fever (DHF) atau dengue shock syndrome (DSS). Lebih dari
75% dari pasien ini, atau sampai dengan 1.8 miliar, hidup di daerah Timur Laut Asia. Ketika
penyakit ini menyebar ke daerah geografik yang baru, frekuensi wabah meningkat bersamaan
dengan perubahan epidemiologinya. Diperkirakan 50 miliar kasus demam dengue timbul pada
saat-saat tertentu dan setengah miliar penderita DHF harus masuk rumah sakit tiap tahunnya, dan
jumlah yang sangat luar biasa ( mencapai 90%) merupakan pasien anak dengan usia kurang dari
5 tahun. Kira-kira 2.5% yang terinfeksi dengue, meninggal karena penyakit ini. (Comprehensive
Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever, WHO 2011)
Pada awal abad ke 20, epidemic demam dengue biasa terjadi di Amerika, Eropa, Australia,
dan Asia. Namun kini demam dengue telah menjadi endemic di Asia Tropis, Africa Tropis,
Carribbean, Amerika Tengah dan Selatan. Menurut World Health Organization, jumlah kasus
demam dengue dan dengue hemorrhagic fever yang biasanya terjadi di seluruh dunia berkisar
antara 50-100miliar. Diperkirakan 2000 kematian karena kasus ini dikarenakan komplikasinya.
Wabah Demam Dengue ini pertama kali muncul di Pakistan dan tercatat pada tahun 1994-1995
di Karachi. Setelah itu, wabah yang berbeda tercatat terjadi di daerah lain di Pakistan khususnya
Karachi dan Lahore. Meski anak-anak adalah grup utama yang biasanya terinfeksi oleh penyakit
ini, namun data tentang penyakit ini yang menginfeksi anak-anak di Asia Selatan sangat sedikit.
(Dengue Fever Outbreak 2011: Clinical Profile of Children Presenting at Madina teaching
Hospital Faisalabad, WHO 2011)
Sejumlah 2.5 miliar masyarakat di seluruh dunia tinggal di negara dengan endemic dengue
dan beresiko menderita penyakit DF/DHF. 1.3 billion tinggal di 10 negara WHO di daerah Timur
Laut Asia yang memiliki daerah endemic dengue. Sampai tahun 2003, hanya 8 negara di daerah
tersebut yang melaporkan kasus dengue. Pada tahun 2009, seluruh Negara anggota WHO kecuali
Republik Demokratis (DPR) Korea melaporkan wabah dengue. Timor-Leste melaporkan wabah
pertama kali muncul pada tahun 2004. Bhutan juga melaporkan wabah pertama kali menyerang
pada tahun 2004. Hampir sama, Nepal jugab melaporkan kasus dengue ini pada November 2004.
Kasus dengue dan kematian yang dilaporkan tahun 1985 sampai 2009 di 10 negara WHO di
daerah SEA (South East Asia) (semua kecuali DPR Korea) mengurangi perhatian kesehatan
masyarakat terhadap penyakit ini di daerah ini.
Jumlah kasus dengue telah meningkat lebih dari tiga sampai lima tahun terakhir ini, dengan
epidemic yang muncul kembali. Selain itu, terdapat peningkatan proporsi pada kasus dengue
terkait dengan tingkat keparahan, khususnya di Thailand, Indonesia, dan Myanmar.
(Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic
Fever, Revised and Expanded edition, WHO,2011)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Transmisi virus dengue bergantung pada factor biotik dan abiotik. Factor biotik terdiri
dari virus, vektor dan host. Sedangkan factor abiotik terdapat factor suhu, kelembaban, dan
musim hujan (WHO,2011).
a. Virus
Virus dengue termasuk genus Flavivirus dan Famili Flaviviridae. Virus kecil ini terdapat single-
strand RNA sebagai genom. Virion terdiri dari nukleokapsid dengan kubik simetris yang
terbungkus oleh lipoprotein envelope.
Ada empat tipe serotip pada dengue virus, yakni DENV-1, DENV-2, DENV-3, dan DENV-4.
Keempat tipe serotif ini menyebabkan demam dengue namun memiliki karakteristik keparahan
yang berbeda.
b. Vektor Dengue
Aedes (Stegomyia) aegepti (Ae. Aegepti) dan Aedes ( Stegomyia) albopictus (Ae. Albopictus)
adalah 2 vektor penyakit dengue yang paling penting.
Kompetensi vektor
Kapasitas vektor ditentukan oleh lingkungan dan karakteristik biologic spesies dan 2
spesies ini memliki kapasitas vektor yang berbeda.
Ae aegepty besifat domestik, anthrophophilic yang sangat kuat, nervous feeder (menggigit
lebih dari satu host untuk melengkapi satu porsi makan darah) dan merupakan discordant
species (membutuhkan lebih dari satu kali makan untuk melengkapi siklus gonotropik).
Sebaliknya Ae. Albopictus masih mempertahankan sifatnya dan menyerang daerah pinggir di
perkotaan, sehingga menggigit pada manusia dan hewan. Nyamuk jenis ini adalah pemakan yang
agresif dan concordant spesies. Oleh karena itu Ae. Albopictus merupakan vektor yang buruk di
daerah epidemic perkotaan.
c. Host
Virus dengue, telah berevolusi dari nyamuk, lalu beradaptasi di nonhuman primate dan
kemudian manusia. Viraemia (virus yang sudah memasuki aliran darah) pada manusia dibentuk
dengan titer yang tinggi 2 hari sebelum mulainya panas (non-febris) dan hari ke 5-7 terakhir
setelah onset panas (febrile). Hanya pada 2 periode ini spesies vektor ini dapat terinfeksi.
Kemudian, manusia menjadi tempat pemberhentian transmisi. Penyebaran infeksi dimulai
melalui perpindahan host dan vektor.
d. Tranmisi virus Dengue
1. Enzootic cycle
2. Epizootic cycle
3. Epidemic cycle
(Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic
Fever, Revised and Expanded edition, WHO 2011)
2.3 Mekanisme Infeksi Virus Dengue
Mekanisme cara penularan yang terjadi dalam kasus DBD melalui 4 tahapan , yakni:
Di Indonesia, demam berdarah dengue (DBD) pertama kali dicurigai di Surabaya pada
tahun 1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970. Di Jakarta, kasus
pertama di laporkan pada tahun 1968. Sejak dilaporkannya kasus demam berdarah dengue
(DBD) pada tahun 1968 terjadi kecenderungan peningkatan insiden. Sejak tahun 1994, seluruh
propinsi di Indonesia telah melaporkan kasus DBD dan daerah tingkat II yang melaporkan kasus
DBD juga meningkat, namun angka kematian menurun tajam dari 41,3% pada tahun 1968,
menjadi 3% pada tahun 1984 dan menjadi <3% pada tahun 1991. (Soedarmo, 2012)
Morbiditas dan mortalitas DBD yang dilaporkan berbagai negara bervariasi disebabkan
beberapa faktor, antara lain status umur penduduk, kepadatan vektor, tingkat penyebaran virus
dengue, prevalensi serotipe virus dengue dan kondisi meteorologis. Secara keseluruhan tidak
terdapat perbedaan antara jenis kelamin, tetapi kematian ditemukan lebih banyak terjadi pada
anak perempuan daripada anak laki-laki. Pada awal terjadinya wabah di sebuah negara, pola
distribusi umur memperlihatkan proporsi kasus terbanyak berasal dari golongan anak berumur
<15 tahun (86-95%). Namun pada wabah selanjutnya, jumlah kasus golongan usia dewasa muda
meningkat. Di Indonesia pengaruh musim terhadap DBD tidak begitu jelas, namun secara garis
besar jumlah kasus meningkat antara September sampai Februari dengan mencapai puncaknya
pada bulan Januari (Soedarmo, 2012)
Selama 5 tahun terakhir, insiden DBD meningkat setiap tahun. Insiden tertinggi pada
tahun 2007 yakni 71,78 per 100.000 pddk, namun pada tahun 2008 menurun menjadi 59,02 per
100.000 penduduk. Walaupun angka kesakitan sudah dapat ditekan namun belum mencapai
target yang diinginkan yakni <20 per 100.000 penduduk (Depkes, 2008).
Gambar 1.2 Angka kesakitan dan kematian demam berdarah dengue di Indonesia (Depkes, 2008)
2.6 Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang
termasuk dalam group B arthropod borne virus (arbovirus) dan sekarang dikenal sebagai genus
Flavivirus, famili Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari
asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106 (Sudoyo, 2006; Soedarmo, 2012)
Gambar 1.3 Virus Dengue (Smith, 2002)
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya dapat
menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotype ditemukan di
Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Infeksi dengan salah satu serotipe akan
menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada
perlindungnan terhadap serotipe yang lain. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue
dapat terinfeksi dengan 3 atau bahkan 4 serotipe selama hidupnya. Keempat jenis serotipe virus
dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia (Sudoyo, 2006; Soedarmo, 2012).
Virus Dengue dapat ditularkan oleh Nyamuk Aedes aegypti dan nyamuk Aedes
albopictus. Nyamuk Aedes aegypti merupakan nyamuk yang paling sering ditemukan. Nyamuk
Aedes aegypti hidup di daerah tropis, terutama hidup dan berkembang biak di dalam rumah,
yaitu tempat penampungan air jernih atau tempat penampungan air sekitar rumah. Nyamuk ini
sepintas lalu tampak berlurik, berbintik – bintik putih, biasanya menggigit pada siang hari,
terutama pada pagi dan sore hari. Jarak terbang nyamuk ini 100 meter. Sedangkan nyamuk
Aedes albopictus memiliki tempat habitat di tempat air jernih. Biasanya nyamuk ini berada di
sekitar rumah dan pohon – pohon, tempat menampung air hujan yang bersih, seperti pohon
pisang, pandan, kaleng bekas. Nyamuk ini menggigit pada siang hari dan memiliki jarak terbang
50 meter (Rampengan, 2008)
Gambar 1.4 Distribusi nyamuk Aedes aegypti dan nyamuk Aedes albopictus (WHO, 2011)
2.7 Patofisiologi
a. Volume Plasma
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan
membedakan antara DD dengan DBD ialah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh
darah, penurunan volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia, serta diatesis
hemoragik. Penyelidikan volume plasma pada kasus DBD dengan menggunakan 131
Iodine labelled human albumin sebagai indikator membuktikan bahwa plasma merembes
selama perjalanan penyakit mulai dari permulaan masa demam dan mencapai puncaknya
pada masa syok. Pada kasus berat, syok terjadi secara akut, nilai hematokrit meningkat
bersamaan dengan menghilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah.
Meningginya nilai hematokrit pada kasus syok menimbulkan dugaan bahwa syok terjadi
sebagai akibat kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskular (ruang interstisial dan rongga
serosa) melalui kapiler yang rusak. Bukti yang mendukung dugaan ini ialah
meningkatnya berat badan, ditemukannya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa
yaitu rongga peritoneum, pleura, dan perikardium yang pada otopsi ternyata melebihi
cairan yang diberikan melalui infus, dan terdapatnya edema (Soedarmo, 2012).
Pada sebagian besar kasus, plasma yang menghilang dapat diganti secara efektif
dengan memberikan plasma atau ekspander plasma. Pada masa dini dapat diberikan
cairan yang mengandung elektrolit. Syok terjadi secara akut dan perbaikan klinis terjadi
secara cepat dan drastis. Sedangkan pada otopsi tidak ditemukan kerusakan dinding
pembuluh darah yang bersifat dekstruktif atau akibat radang, sehingga menimbulkan
dugaan bahwa perubahan fungsional dinding pembuluh darah agaknya disebabkan oleh
mediator farmakologis yang bekerja secara cepat. Gambaran mikroskop elektron biopsi
kulit pasien DBD pada masa akut memperlihatkan kerusakan sel endotel vaskular yang
mirip dengan luka akibat anoksia atau luka bakar. Gambaran itu juga mirip dengan
binatang yang diberi histamin atau serotonin atau dibuat keadaan trombositopenia
(Soedarmo, 2012).
b. Trombositopenia
Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada sebagian
besar kasus DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai nilai
terendah pada masa syok. Jumlah trombosit secara cepat meningkat pada masa
konvalesens dan nilai normal biasanya tercapai 7-10 hari sejak permulaan sakit.
Trombositopenia yang dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda dalam
sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit diduga akibat meningkatnya
destruksi trombosit. Dugaan mekanisme lain trombositopenia ialah depresi fungsi
megakariosit. Penyelidikan dengan radioisotop membuktikan bahwa penghancuran
trombosit terjadi dalam sistem retikuloendotel, limpa dan hati. Penyebab peningkatan
destruksi trombosit tidak diketahui, namun beberapa faktor dapat menjadi penyebab yaitu
virus dengue, komponen aktif sistem komplemen, kerusakan sel endotel dan aktivasi
sistem pembekuan darah secara bersamaan atau secara terpisah. Lebih lanjut fungsi
trombosit pada DBD terbukti menurun mungkin disebabkan proses imunologis terbukti
ditemui kompleks imun dalam peredaran darah. Trombositopenia dan gangguan fungsi
trombosit dianggap sebagai penyebab utama terjadinya perdarahan pada DBD
(Soedarmo, 2012).
1. Pada DBD stadium akut telah terjadi proses koagulasi dan fibrinolisis
2. Diseminated intravaskular coagulation secara potensial dapat terjadi juga DBD
tanpa syok. Pada masa dini DBD, peran DIC tidak menonjol dibandingkan
dengan perubahan plasma tetapi apabila penyakit memburuk sehingga terjadi
syok dan asidosis maka syok akan memperberat DIC sehingga perannya akan
mencolok. Syok dan DIC saling mempengaruhi sehingga penyakit akan
memasuki syok irreversible disertai perdarahan hebat, terlibatnya organ-organ
vital yang biasanya diakhiri dengan kematian.
3. Perdarahan kulit pada umumnya disebabkan oleh faktor kapiler, gangguan fungsi
trombosit dan trombositopeni, sedangkan perdarahan masif ialah akibat kelainan
mekanisme yang lebih komplek seperti trombositopenia, gangguan faktor
pembekuan, dan kemungkinan besar oleh faktor DIC, terutama pada kasus dengan
syok lama yang tidak dapat diatasi disertai komplikasi asidosis metabolik.
4. Antitrombin III yang merupakan kofaktor heparin. Pada kasus dengan kekurangan
antitrombin III, respon pemberian heparin akan berkurang (Soedarmo, 2012).
d. Sistem Komplemen
Penelitian sistem komplemen pada DBD memperlihatkan penurunan kadar C3,
C3 proaktivaktor, C4, dan C5 baik pada kasus yang disertai syok maupun tidak. Terdapat
hubungan positif antara kadar serum komplemen dengan derajat penyakit. Penurunan ini
menimbulkan perkiraan bahwa pada dengue, aktivasi komplemen terjadi baik melalui
jalur klasik maupun jalur alternatif. Hasil penelitian radio isotop mendukung pendapat
bahwa penurunan kadar serum komplemen disebabkan oleh aktivasi sistem komplemen
dan bukan oleh karena produksi yang menurun atau ekstrapolasi komplemen. Aktivasi ini
menghasilkan anafilatoksin C3a dan C5a yang mempunyai kemampuan stimulasi sel mast
untuk melepaskan histamin dan merupakan mediator kuat untuk menimbulkan
peningkatan permeabilitas kapiler, pengurangan plasma dan syok hipopolemik.
Komplemen juga bereaksi dengan epitop virus pada sel endotel, permukaan trombosit
dan limfosit T, yang menimbulkan waktu paruh trombosit memendek, kebocoran plasma,
syok, dan perdarahan. Disamping itu komplemen juga merangsang monosit untuk
memproduksi sitokin seperti tumor nekrosis faktor (TNF), interferon gama, interleukin
(IL-2 dan IL-1) (Soedarmo, 2012).
Bukti-bukti yang mendukung peran sistem komplemen pada penderita DBD ialah
(1) ditemukannya kadar histamin yang meningkat dalam urin 24 jam, (2) adanya
kompleks imun yang bersirkulasi (circulating immune complex) baik pada DBD derajat
ringan maupun berat, (3) adanya korelasi antara kadar kuantitatif kompleks imun dengan
derajat berat penyakit (Soedarmo, 2012).
e. Respon Leukosit
Pada perjalanan penyakit DBD, sejak demam hari ketiga terlihat peningkatan
limfosit atopik yang berlangsung sampai hari ke delapan. Pemeriksaan limfosit plasma
biru secara seri dari preparat hapus darah tepi memperlihatkan bahwa LPB pada infeksi
dengue mencapai puncak pada hari ke enam. Selanjutnya dibuktikan pula bahwa diantara
hari keempat sampai kedelapan demam terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB pada
DBD dengan demam dengue. Dari penelitian imunologi disimpulkan bahwa LPB
merupakan campuran antara limfosit B dan limfosit T. (Soedarmo, 2012)
2.8 Patogenenis
Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes Aegypti atau
Aedes Albopictus. Organ sasaran dari virus adalah organ RES meliputi sel kuffer hepar, endotel
pembuluh darah, nodus limfaticus, sumsum tulang serta paru-paru. Data dari berbagai penelitian
menunjukkan bahwa sel-sel monosit dan makrofag mempunyai peranan besar pada infeksi ini.
Dalam peredaran darah, virus tersebut akan difagosit oleh sel monosit perifer (Soegijanto, 2006).
Virus DEN mampu bertahan hidup dan mengadakan multifikasi di dalam sel tersebut.
Infeksi virus dengue dimulai dengan menempelnya virus genomnya masuk ke dalam sel dengan
bantuan organel-organel sel, genom virus membentuk komponen-komponennya, baik komponen
perantara maupun komponen struktural virus. Setelah komponen struktural dirakit, virus
dilepaskan dari dalam sel. Proses perkembangan biakan virus DEN terjadi di sitoplasma sel
(Soegijanto, 2006)
Antibodi yang terbentuk pada infeksi dengue terdiri dari Ig G yang berfungsi
menghambat replikasi virus dalam monosit, yaitu enhancing – antibody dan neutralizing
antibody. Pada saat ini dikenal 2 jenis tipe antibodi yang dibedakan berdasarkan adanya virion
determinant spesificity, yaitu (Soedarmo, 2012):
1. Kelompok monoklonal reaktif yang tidak mempunyai sifat menetralisasi tetapi memacu
replikasi virus
2. Antibodi yang dapat menetralisasi secara spesifik tanpa disertai daya memacu replikasi
virus.
Antibodi non neutralisasi yang terbentuk pada infeksi primer akan menyebabkan
terbentuknya kompleks imun pada infeksi sekunder dengan akibat memacu replikasi virus. Teori
ini pula yang mendasari pendapat bahwa infeksi virus dengue oleh serotipe dengue yang berbeda
cenderung menimbulkan manifestasi berat. Dasar utama hipotesis adalah meningkatnya reaksi
imunologis (the immunological enhancement hypothesis) yang berlangsung sebagai berikut
(Soedarmo, 2012):
a. Sel fagosit mononuklear yaitu monosit, makrofag, histiosit, dan sel kupffer merupakan
tempat utama terjadinya infeksi virus pertama
b. Antibodi non neutralisasi baik yang bebas dalam sirkulasi maupun yang melekat pada sel,
bertindak sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya virus dengue pada permukaan sel
fagosit mononuklear. Mekanisme pertama ini disebut mekanisme aferen.
c. Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononuklear yang telah
terinfeksi
d. Selanjutnya sel monosit yang mengandung kompleks imun akan menyebar ke usus, hati,
lumpa, dan sumsum tulang. Mekanisme ini disebut mekanisme eferen. Parameter
perbedaan terjadinya DBD dengan dan tanpa syok adalah jumlah sel yang terkena infeksi
e. Sel monosit yang telah teraktivasi akan mengadakan interaksi dengan sistem humoral dan
sistem komplemen dengan akibat dilepaskannya mediator yang mempengaruhi
permeabilitas kapiler dan mengaktivasi sistem koagulasi. Mekanisme ini disebut
mekanisme efektor.
Limfosit T juga memegang peranan penting dalam patogenesis DBD. Akibat rangsang
monosit yang terinfeksi virus dengue, limfosit dapat mengeluarkan interferon α dan γ. Pada
infeksi sekunder oleh virus dengue, Limfosit T CD4 berproliferasi dan menghasilkan interferon
α. Interferon α selanjutnya merangsang sel yang terinfeksi virus dengue dan mengakibatkan
monosit memproduksi mediator. Oleh limfosit T CD4 dan CD8 spesifik virus dengue, monosit
akan mengalami lisis dan mengeluarkan mediator yang akan menyebabkan kebocoran plasma
dan perdarahan (Soedarmo, 2012).
Semua flavivirus memiliki kelompok epitop pada selubung protein yang menimbulkan
“cross reaction” atau reaksi silang pada uji serologis, hal ini menyebabkan diagnosis pasti
dengan uji serologi sulit ditegakkan. Kesulitan ini dapat terjadi diantara ke empat serotipe virus
DEN. Infeksi oleh satu serotip virus DEN menimbulkan imunitas protektif terhadap serotip virus
tersebut, tetapi tidak ada “cross protectif” terhadap serotip virus yang lain (Soegijanto, 2006)
Pada dasarnya ada empat sindrom klinis dengue yaitu (Pudjiadi, 2010; WHO, 2011):
Terdapat tanda bahaya, antara lain : muntah persisten, nyeri abdomen, letargi,
oligouria yang harus diketahui untuk mencegah syok. Kelainan hemostasis dan adanya
plasma leakage merupakan tanda utama dari demam berdarah dengue. Trombositopenia
dan peningkatan hematokrit harus segera ditemukan sebelum muncul adanya tanda syok.
Demam berdarah dengue biasa terjadi pada anak dengan infeksi sekunder virus
dengue yang mana sudah pernah terinfeksi oleh virus dengue DEN-1 dan DEN-3.
Masa inkubasi antara 4 – 6 hari (berkisar 3 – 14 hari) disertai gejala konstitusional dan
nyeri kepala, nyeri punggung, dan malaise (WHO,2011).
Awal penyakit biasanya mendadak dengan adanya trias yaitu demam tinggi, nyeri pada
anggota badan dan ruam/rash (Soedarmo, 2012).
Demam : suhu tubuh biasanya mencapai 39oC sampai 40oC dan demam bersifat bifasik yang
berlangsung sekitar 5-7 hari (WHO, 2011).
Ruam kulit : kemerahan atau bercak-bercak merah yang terdapat di dada, tubuh serta
abdomen, menyebar ke anggota gerak dan muka. Ruam bersifat makulopapular yang
menghilang pada tekanan. Ruam timbul pada 6-12 jam sebelum suhu naik pertama kali (hari
sakit ke 3-5) dan berlangsung 3-4 hari (Soedarmo, 2012).
Anoreksi dan obstipasi sering dilaporkan, di samping itu perasaan tidak nyaman di daerah
epigastrium disertai nyeri kolik dan perut lembek sering ditemukan. Gejala klinis lainnya
meliputi fotofobia, berkeringat, batuk. Kelenjar limfa servikal dilaporkan membesar pada 67-
77% kasus atau dikenal sebagai Castelani’s sign yang patognomonik (Soedarmo, 2012).
Kelainan darah tepi demam dengue adalah leukopeni selama periode pra demam dan
demam, nutrofilia relatif dan limfopenia, disusul oleh neutropenia relatif dan limfositosis pada
periode puncak penyakit dan pada masa konvalesens. Eusinofil menurun atau menghilang pada
permulaan dan pada puncak penyakit, hitung jenis neutrofil bergeser ke kiri selama periode
demam, sel plasma meningkat pada periode memuncaknya penyakit dengan terdapatnya
trombositopenia. Darah tepi menjadi normal kembali dalam waktu 1 minggu (Soedarmo, 2012).
Pada daerah endemis, tes torniquet yang positif dan leukopenia ( < 5.000 cell/mm3) dapat
membantu penegakan diagnosis dari infeksi dengue dengan angka prediksi 70 – 80 %. Pada
pemeriksaan laboratorium didapatkan (WHO, 2011):
Hitung sel darah putih biasanya normal saat permulaan demam kemudian leukopeni
hingga periode demam berakhir
Hitung trombosit normal, demikian pula komponen lain dalam mekanisme pembekuaan
darah. Pada beberapa epidemi biasanya terjadi trombositopeni
Serum biokimia/enzim biasanya normal, kadar enzim hati mungkin meningkat.
Peningkatan hematokrit ringan oleh karena akibat dari dehidrasi dikaitkan dengan demam
yang tinggi, muntah, anoreksia, dan minimnya intake oral.
Penggunaaan analgesik, antipiretik, antiemetik, dan antibiotik dapat mengintervensi
peningkatan hasil laboratorium fungsi hepar dan pembekuan darah.
2.9.2 Demam Berdarah Dengue
Pada awal perjalanan penyakit, DBD menyerupai kasus DD. Pada DBD terdapat
perdarahan kulit, uji tornikuet positif, memar dan perdarahan pada tempat pengambilan darah
vena. Petekia halus tersebar di anggota gerak, muka, aksila sering kali ditemukan pada masa dini
demam. Epistaksis dan perdarahan gusi jarang dijumpai sedangkan perdarahan saluran
pencernaan hebat lebih jarang lagi dan biasanya timbul setelah renjatan tidak dapat diatasi
(Soedarmo, 2012).
Hati biasanya teraba sejak awal fase demam, bervariasi mulai dari teraba 2-4 cm dibawah
lengkung iga kanan. Derajat pembesaran hati tidak berhubungan dengan keparahan penyakit.
Untuk menemukan pembesaran hati, harus dilakukan perabaan setiap hari. Nyeri tekan di daerah
hati sering kali ditemukan dan pada sebagian kecil kasus dapat disertai ikterus. Nyeri tekan di
daerah hati tampak jelas pada anak besar dan ini berhubungan dengan adanya perdarahan
(Soedarmo, 2012)
Pada DSS dijumpai adanya manifestasi kegagalan sirkulasi yaitu nadi lemah dan cepat,
tekanan nadi menurun (<20mmHg), hipotensi, kulit dingin dan lembab dan pasien tampak
gelisah.
2.10 Diagnosis
a. Kriteria Klinis
1. Demam
Demam mendadak terus menerus 2-7 hari tanpa sebab yang jelas. Tipe demam bifasik
(saddleback).
a. Derajat I
Demam diikuti gejala tidak spesifik. Satu-satunya manifestasi perdarahan
adalah tes torniquet yang positif atau mudah memar.
b. Derajat II
Gejala yang ada pada tingkat I ditambah dengan perdarahan spontan.
Perdarahan bisa terjadi di kulit atau di tempat lain.
c. Derajat III
Kegagalan sirkulasi ditandai oleh denyut nadi yang cepat dan lemah, tekanan
nadi menurun (<20mmHg) atau hipotensi, suhu tubuh rendah, kulit lembab dan
penderita gelisah.
d. Derajat IV
Syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat
diperiksa.
Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera disusul dengan peningkatan
nilai hematokrit sangat unik untuk DBD, kedua hal tersebut biasanya terjadi pada saat
suhu turun atau sebelum syok terjadi. Perlu diketahui bahwa nilai hematokrit dapat
dipengaruhi oleh pemberian cairan atau oleh perdarahan. Jumlah leukosit bisa menurun
(leukopenia) atau leukositosis, limfositosis relatif dengan limfosit atipik sering ditemukan
pada saat sebelum suhu turun atau syok. Hipoproteinemi akibat kebocoran plasma biasa
ditemukan. Adanya fibrinolisis dan ganggungan koagulasi tampak pada pengurangan
fibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin III. PTT dan PT
memanjang pada sepertiga sampai setengah kasus DBD (WHO, 2011).
b. Pencitraan
Pada pemeriksaan radiologi dan USG kasus DBD, terdapat beberapa kelainan
yang dapat dideteksi yaitu, dilatasi pembuluh darah paru, efusi pleura, kardiomegali dan
efusi perikard, hepatomegali, cairan dalam rongga peritoneum, penebalan dinding vesica
felea (WHO, 2011).
d. Pemeriksaan lainnya :
Ada beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mengetahi infeksi virus dengue
yaitu (WHO, 2011):
-Isolasi Virus
Karakteristik serotypic/genotypic
Respon antibodi dapat dilihat dari 2 jenis imunoglobulin. Antibodi Ig M dapat terdeteksi
pada 3 – 5 hari setelah onset, meningkat cepat selama 2 minggu, dan menurun hingga tidak
terdeteksi pada 2 – 3 bulan. Antibodi Ig G terdeteksi rendah pada akhir minggu pertama,
meningkat kemudian, dan menetap hingga bertahun – tahun. Pada infeksi sekunder virus dengue,
titer antibodi meningkat cepat. Antibodi Ig G terdeteksi pada level tinggi, pada saat fase inisial,
dan menetap hingga beberapa bulan. Antibodi Ig M biasanya lebih rendah pada infeksi dengue
sekunder. Oleh karena itu, perbandingan Ig M/ Ig G digunakan untuk membedakan antara infeksi
primer dan infeksi sekunder virus dengue. Disebut infeksi primer jika perbandingan Ig M / Ig G
lebih dari 1,2, dan disebut infeksi sekunder jika perbandingan Ig M / Ig G kurang dari 1,2
(WHO, 2011).
c. Penyakit bakterial
Meningocuccaemia, Leptospirosis, Thypoid, Meliodosis, Rackettsial disease, Scarlet Fever
Pada fase awal demam dari demam berdarah dengue, diagnosis banding meliputi infeksi
spektrum luas oleh virus, bakteri, dan protozoa, sama halnya dengan diagnosis banding dari
demam dengue. Adanya trombositopenia disertai dengan hemokonsentrasi membedakan demam
berdarah dengue dengan penyakit yang lainnya. Hasil yang normal dari ESR (Erythrocyte
Sedimentation Rate) dapat membedakan dengue dengan infeksi bakteri dan syok septik (WHO,
2011).
a. Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa syok.
Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa syok, cenderung
terjadi edema otak dan alkalosis, maka bila syok teratasi cairan diganti dengan cairan yang
tidak mengandung HCO3-, dan jumlah cairan harus segera dikurangi. Larutan laktar ringer
dekstrosa segera ditukar dengan larutan Nacl (0,9%) : glukosa (5%) = 3:1. untuk
mengurangi edema otak diberikan kortikosteroid, tetapi bila terdapat perdarahan saluran
cerna sebaiknya kortikosteroid tidak diberikan. Bila terdapat disfungsi hati, maka diberikan
vitamin K intravena 3-10 mg selama 3 hari, kadar gula darah diusahakan >60 mg/dl,
mencegah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial dengan mengurangi jumlah cairan
(bila perlu diberikan diuretik), koreksi asidosis dan elektrolit. Perawatan jalan nafas dengan
pemberiaan oksigen yang adekuat. Untuk mengurangi produksi amoniak dapat diberikan
neomisin dan laktulosa. Pada DBD ensefalopati mudah terjadi infeksi bakteri sekunder,
makaa untuk mencegah dapat diberikan antibiotik profilaksis (kombinasi ampisilin 100
mg/kgbb/hari + kloramfenikol 75 mg/kgbb/hari). Usahakan tidak memberikan obat-obat
yang tidak diperlukan (misalnya antasid, anti muntah) untuk mengurangi beban detoksifikasi
obat dalam hati (Novie Homenta, 2011).
b. Kelainan Ginjal
Kelainan ginjal akibat syok yang berkepanjangan dapat terjadi gagal ginjal akut.
Dalam keadaan syok harus yakin benar bahwa penggantian volume intravascular telah
benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum mencukupi 2 ml/kgbb/jam,
sedangkan cairan yang diberikan sudah sesuai kebutuhan, maka selanjutnya furosemid 1
mg/kgbb dapat diberikan. Pemantauan tetap dilakukan untuk jumlah diuresis, kadar ureum,
dan kreatinin. Tetapi apabila diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya syok juga
belum dapat dikoreksi dengan baik, maka pemasangan CVP (central venous pressure) perlu
dilakukan untuk pedoman pemberian cairan selanjutnya (Novie Homenta, 2011).
c. Edema paru
Edema paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat pemberian cairan
yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga sampai kelima sesuai panduan
yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan edema paru oleh karena perembesan
plasma masih terjadi. Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang ekstravaskular,
apabila cairan diberikan berlebih (kesalahan terjadi bila hanya melihat penurunan
hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit), pasien akan mengalami
distress pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan ditunjang dengan gambaran
edem paru pada foto roentgen dada. Gambaran edem paru harus dibedakan dengan
perdarahan paru (Novie Homenta, 2011).
2.15 Penatalaksanaan
Pengobatan DBD menurut WHO (2011) bersifat suportif simptomatik dengan tujuan
memperbaiki sirkulasi dan mencegah timbulnya renjatan dan timbulnya Koagulasi Intravaskuler
Diseminata (KID).
Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam tinggi, anoreksia,
dan muntah. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/KgBB dalam 4 – 6 jam pertama. Setelah
keadaan dehidrasi dapat teratasi, anak dapat diberikan cairan rumatan 80 – 100 ml/KgBB/hari
dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang masih minum ASI, tetap diberikan disamping larutan oralit.
Bila terjadi kejang demam, disamping diberikan antipiretik, diberikan pula antikonvulsif selama
masih demam (WHO, 2011).
Masa kritis ialah pada atau setelah hari sakit yang ke 3 – 5 yang memperlihatkan
penurunan tajam hitung trombosit dan peningkatan tajam hematokrit yang menunjukkan adanya
kehilangan cairan, Observasi tanda vital, kadar hematokrit, trombosit dan jumlah urin 6 jam
sekali (minimal 12 jam sekali) perlu dilakukan. Kunci keberhasilan pengobatan DBD ialah
ketepatan volume replacement atau penggantian volume, sehingga dapat mencegah syok (WHO,
2011).
1. Anak terus muntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak mungkin
diberikan minum per oral
2. Nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala
Pada pasien DBD derajat II apabila dijumpai demam tinggi, terus menerus selama < 7
hari tanpa sebab yang jelas, disertai tanda perdarahan spontan, disertai penurunan jumlah
trombosit, dan peningkatan kadar hematokrit. Pada saat pasien dating, berikan cairan kristaloid 7
ml/KgBB/jam. Monitor tanda vital dan kadar hematokrit serta trombosit tiap 6 ja,. Selanjutnya
evaluasi 12 – 24 jam. Apabila selama observasi keadaan umum membaik, yaitu anak tampak
tenang, tekanan nadi kuat, tekanan darah stabil, dan kadar PCV cenderung turun minimal dalam
2 kali pemeriksaan berturut – turut, maka tetesan dikurangi menjadi 5 ml/KgBB/jam. Apabila
dalam observasi selanjutnya tanda vital tetap stabil, tetesan dikurangi menjadi 3 ml/KgBB/jam
dan akhirnya cairan dihentikan dalam 24 – 48 jam. Apabila keadaan klinis pasien tidak ada
perbaikan, yaitu : anak tampak gelisah, nafas cepat, frekuensi nadi meningkat, deuresis kurang,
tekanan nadi < 20 mmHg memburuk, serta peningkatan PCV, maka tetesan dinaikkan menjadi
10 ml/KgBB/jam. Apabila belum terjadi perbaikan setelah 12 jam, maka tetesan di naikkan
menjadi 10 ml/KgBB/jam. Apabila belum terjadi perbaikan klinis setelah 12 jam, cairan
dinaikkan menjadi 15 ml/KgBB/jam. Kemudian dievaluasi 12 jam lagi. Apabila tampak distress
pernafasan menjadi lebih berat dan ht naik maka berikan koloid 10 – 20 ml/KgBB/jam, dengan
jumlah maksimal 30 ml/KgBB. Namun bila Ht atau Hb turun, berikan tranfusi darah segar 10
ml/KgBB/jam (WHO, 2011).
Bila terdapat asidosis, ¼ dari cairan total dikeluarkan dan diganti dengan larutan berisi
0,167 mol/liter Natrium bikarbonat (3/4 bagian berisi larutan NaCl 0,9 % + glukosa ditambah ¼
Natrium bikarbonat). Volume dan komposisi cairan yang diperlukan sesuai seperti cairan untuk
dehidrasi pada diare ringan sampai sedang, yaitu cairan rumatan ditambah deficit 6 % (5 – 8 %)
seperti tertera pada tabel dibawah ini (WHO, 2011):
7 – 11 Kg 165 ml/KgBB/hari
12 – 18 Kg 132 ml/KgBB/hari
> 18 Kg 88 ml/KgBB/hari
Sindroma syok dengue adalah DBD dengan gejala gelisah, nafas cepat, nadi teraba kecil,
lembut atau tak teraba, tekanan nadi menyempit, bibir biru, tangan dan kaki dingin, dan tidak ada
produksi urin. Langkah yang harus dilakukan adalah segera berikan infus kristaloid 20 ml/KgBB
secepatnya dalam 30 menit dan oksigen 2 liter/menit. Untuk DSS berat 20 ml/KgBB/jam
diberikan bersama koloid 10 – 20 ml/KgBB/jam. Observasi tensi dan nadi tiap 15 menit,
hematokrit dan trombosit tiap 4 – 6 jam, serta periksa pula elektrolit dan gula darah (WHO,
2011).
Apabila dalam waktu 30 menit syok belum teratasi, tetesan kristaloid belum dilanjutkan
20 ml/KgBB, ditambah plasma atau koloid sebanyak 10 – 20 ml/KgBB maksimal 30 ml/KgBB.
Koloid ini diberikan pada jalur infus yang sama dengan kristaloid, diberikan secepatnya.
Observasi keadaan umum, tekanan darah, keadaan nadi tiap 15 menit, dan periksa hematokrit
tiap 4 – 6 jam. Lakukan pula koreksi terhadap asidosis, elektrolit, dan gula darah (WHO, 2011).
Apabila syok teratasi disertai penurunan kadar Hb/Ht, tekanan nadi > 20 mmHg, nadi
kuat, maka tetesan cairan dikurangi menjadi 10 ml/KgBB/jam dan dipertahankan hingga 24 jam
atau sampai klinis stabil dan Ht menurun < 40%. Selanjutnya cairan diturunkan menjadi 7
ml/KgBB sampai keadaan klinis dan Ht stabil, kemudian secara bertahap diturunkan menjadi 5
ml/Kg/BB/jam dan seterusnya 3 ml/Kg/BB/jam. Dianjurkan pemberian cairan tidak melebihi 48
jam setelah syok teratasi. Apabila syok belum teratasi, sedangkan Ht menurun tapi masih > 40%,
berikan darah dalam volume kecil 10 ml/KgBB. Apabila tampak perdarahan massif, berikan
darah segar 20 ml/KgBB dan lanjutkan cairan kristaloid 10 ml/Kg/BB/jam. Pemasangan CVP
pada syok berat kadang diperlukan, sedangkan pemasangan sonde lambung tidak dianjurkan
(WHO, 2011)
Bila pada syok DBD tidak berhasil diatasi selama 30 menit dengan resusitasi kristaloid
maka cairan koloid harus diberikan sebanyak 10 – 20 ml/kgBB/jam. Cairan koloid tersebut
antara lain :
1. Dekstrose
2. Gelatin
3. Hydroxy Ethyl Starch (HES)
4. Fresh Frozen Plasma (FFP)
Pemasangan CVP pada DBD tidak dianjurkan karena prosedur CVP bersifat traumatis
untuk anak dengan trombositopenia, gangguan vaskular dan homeostasis sehingga mudah terjadi
perdarahan dan infeksi, disamping prosedur pengerjaannya juga tidak mudah dan manfaatnya
juga tidak banyak (WHO, 2011).
Setelah fase krisis terlampau, cairan ekstravaskular akan masuk kembali dalam
intravaskular sehingga perlu dihentikan pemberian cairan intravena untuk mencegah terjadinya
edem paru. Pada fase penyembuhan (setelah hari ketujuh) bila terdapat penurunan kadar
hemoglobin, bukan berarti perdarahan tetapi terjadi hemodilusi sehingga kadar hemoglobin akan
kembali ke awal seperti saat anak masih sehat. Pada anak yang awalnya menderita anemia akan
tampak kadar hemoglobin rendah, hati-hati tidak perlu diberikan transfuse (WHO, 2011).
Penatalaksanaan DBD disesuaikan dengan derajat terlampir sebagai berikut:
Gambar 1.12. Tatalaksana infeksi virus Dengue pada kasus tersangka DBD.
Gambar 1.13. Tatalaksana tersangka DBD (rawat inap) atau demam Dengue.
Gambar 1.14 Tatalaksana kasus DBD derajat I dan II.
Gambar 1.15. Tatalaksana Kasus DBD derajat III dan IV atau DSS.
Kriteria memulangkan pasien antara lain (Soedarmo, 2012) :
2.16 Prognosis
Bila tidak disertai renjatan dalam 24 – 36 jam, biasanya prognosis akan menjadi baik.
Kalau lebih dari 36 jam belum ada tanda perbaikan, kemungkinan sembuh kecil dan
prognosisnya menjadi buruk (Rampengan, 2008). Penyebab kematian Demam Berdarah Dengue
cukup tinggi yaitu 41,5 %. (Soegijanto, 2001). Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan
antara jenis kelamin penderita demam berdarah dengue, tetapi kematian lebih banyak ditemukan
pada anak perempuan daripada laki – laki. Penyebab kematian tersebut antara lain (Rampengan,
2008) :
1. Syok lama
2. Overhidrasi
3. Perdarahan masif
4. Demam Berdarah Dengue dengan syok yang disertai manifestasi yang tidak syok
2.17 Pencegahan
Pencegahan yang dilakukan adalah dengan cara Pengendalian vektor virus dengue.
Pengendalian vektor bertujuan (Purnomo, 2010) :
1. Mengurangi populasi vektor serendah – rendahnya sehingga tidak berarti lagi sebagai
penular penyakit.
2. Menghindarkan terjadi kontak antara vektor dan manusia.
Cara efektif untuk pengendalian vektor adalah dengan penatalaksanaan lingkungan yang
termasuk perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pemantauan aktivitas untuk
modifikasi faktor-faktor lingkungan dengan suatu pandangan untuk mencegah perkembangan
vektor dan kontak manusia-vektor-patogen. Pengendalian vektor dapat berupa (Purnomo, 2010):
KESIMPULAN
Demam berdarah dengue merupakan salah satu varian klinis infeksi virus dengue, yang
ditandai oleh panas 2-7 hari dan pada saat panas turun disertai dengan gangguan hemostatik dan
kebocoran plasma (plasma leakage). Demam berdarah dengue merupakan (DBD) merupakan
penyakit yang banyak ditemukan di sebagian besar wilayah tropis dan subtropics termasuk
Indonesia. Penyakit Demam Berdarah Dengue juga merupakan salah satu penyakit menular
yang berbahaya dapat menimbulkan kematian dalam waktu singkat dan sering menimbulkan
wabah.
Penyebab DBD sendiri yaitu Virus dengue yang tergolong dalam grup Flaviviridae
dengan 4 serotipe, DEN – 3, merupakan serotie yang paling banyak. Vektor utama dengue di
Indonesia adalah Aedes Aegypti. Kriteria diagnosis terdiri dari kriteria klinis dan kriteria
laboratoris. Dua kriteria klinis ditambah trombosipenia dan peningkatan hmatokrit cukup
Setelah diagnosis DBD sudah ditentukan, maka tetapkan terlebih dahulu derajatnya. Perlu
ditegaskan bahwa untuk penatalaksanaan DBD yang terpenting adalah pemberian cairan
intravena sebatas cukup mempertahankan sirkulasi yang efektif selama periode plasma leakage
Disamping itu dalam penanganan DBD, hal yang perlu diperhatikan yaitu pencegahan
terjadinya DBD lagi. Pencegahan penyakit DBD sangat tergantung pada pengendalian vektornya,
yaitu nyamuk Aedes aegypti. Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD
adalah”3M Plus”, yaitu menutup, menguras, menimbun serta plus yang meliputi memelihara
ikan pemakan jentik, menabur larvasida, menggunakan kelambu pada waktu tidur, memasang
Komplikasi yang sering terjadi pada anak dan bayi yaitu kehilangan cairan dan elektrolit,
hiperpireksia, dan kejang demam. Prognosis demam berdarah dapat terpengaruh oleh antibodi
pasif atau oleh infeksi sebelumnya dengan virus yang merupakan predisposisi pengembangan
Nelson waldo E. 1999. Ilmu Kesehatan Anak Volume 2 Edisi 15. Jakarta : EGC
Pudjiadi, Antonius H., dkk. 2010. Pedoman Pelayanan Medis Jilid 1. Jakarta : Ikatan Dokter
Anak Indonesia
Purnama, S. Gede. 2010. Pengendalian Vektor DBD. Denpasar : Program Studi Ilmu Kesehatan
Masyarakat Universitas Udayana.
Pusponegoro, Hardiono D. dkk. 2004. Standar Pelayanan Medis Edisi 1. Jakarta : Ikatan Dokter
Anak Indonesia
Rampengan, T.H. 2008. Penyakit Infeksi Tropis pada Anak Edisi 2. Jakarta : EGC
Soedarmo, Sumarmo S. Poorwo, dkk. 2012. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Edisi Kedua.
Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia
Soegijanto, Soegeng. 2001. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue pada Anak. Surabaya :
Tropical Disease Center (TDC) Universitas Airlangga Surabaya
Soegijanto, Soegeng. 2006. Patogenesa dan Perubahan Patofisologi Infeki Virus Dengue.
Surabaya : Tropical Disease Center (TDC) Universitas Airlangga Surabaya
Soegijanto, Soegeng. 2006. Demam Berdarah Dengue edisi 2. Surabaya : Airlangga University
Press
Sudoyo Aru W. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
Trihadi, Djoko. 2012. Demam Berdarah Dengue. Semarang : Rumah Sakit’p]l Umum Daerah
Kota Semarang.
WHO. 2011. Conprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue
Haemorraghic Fever. India : WHO
Wibowo, Krisnanto, dkk. 2011. Pengaruh Tranfusi Trombosit terhadap Terjadinya Perdarahan
Masif pada Demam Berdarah Dengue. Yogyakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.