Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

Demam berdarah dengue/ dengue hemorrhagic fever merupakan penyebab utama


morbiditas dan mortalitas di Asia tropik termasuk Indonesia.1 Beberapa dekade terakhir ini,
insiden demam dengue menunjukkan peningkatan yang sangat pesat diseluruh penjuru dunia.
Sebanyak dua setengah milyar atau dua perlima penduduk dunia beresiko terserang demam
dengue dan sebanyak 1,6 milyar (52%) dari penduduk yang beresiko tersebut hidup di wilayah
Asia Tenggara. WHO memperkirakan sekitar 50 juta kasus infeksi dengue tiap tahunnya.2
Demam berdarah dengue adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue
dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan atau nyeri sendi yang disertai leukopenian,
ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diathesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan
plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan
di rongga tubuh.
Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air.
Indonesia menempati urutan tertinggi kasus DBD tahun 2010 di Asean, dengan jumlah kasus
156.086 dan kematian 1.358 orang. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan (Ditjen PP dan PL kemkes RI), melaporkan kasus DBD tahun 2011 di Indonesia
menurun dengan jumlah kasus 49.486 dan jumlah kematian 403 orang.3

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn. M
Umur : 22 Tahun
Suku/Bangsa : Melayu
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Wirausaha
Alamat : Lubuk Batang
Status : Belum Menikah
MRS : 22 Oktober 2016
No Medrec : 213428

2.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama : Demam dan mimisan
Riwayat Penyakit:
± 5 hari SMRS pasien mengeluh demam tinggi, muncul mendadak, terus menerus dan
naik turun, menggigil (-), nyeri pada otot dan persendian (+), nyeri dibelakang mata (-), badan
terasa lemas, sakit kepala (+), mual (+), muntah (-), nyeri ulu hati (+), nyeri tidak berkurang
setelah makan, batuk pilek(-), nyeri melan (-), nafsu makan berkurang, perdarahan gusi (-),
muncul bintik-bintik kemerahan pada tubuh (-), BAB dan BAK biasa. Os berobat ke bidan, diberi
obat penurun panas sehingga demamnya berkurang.
±1 hari SMRS pasien mengeluhkan demam naik kembali makin tinggi, dan keluar drah
dari hidung sebanyak 2x, keluar darah segar. Pilek (-), mual (+), muntah (-), gusi berdarah (-),
muncul bintik-bintik kemerahan pada tubuh (-). Kemudian os berobat ke RSUD Ibnu Sutowo.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien baru pertama kali menderita sakit seperti ini. Riwayat perdarahan lama, mudah
berdarah, dan mudah memar tidak ada. Riwayat malaria dan tifus tidak ada.

2
2.3 PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalisata
1. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
2. Kesadaran : Compos Mentis
3. Vital Sign :
- Tekanan Darah : 110/70 mmHg
- Nadi : 94 kali/menit
- Temperature : 39,8’ C
- Pernafasan : 24 kali/menit
4. Berat Badan : 48 Kg
5. Tinggi Badan : 163 cm

Pemeriksaan Spesifik
Kepala : Wajah pucat (-), sianosis (-) , rambut rontok (-)
Mata : Konjuntiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor, reflek cahaya (+/+)
THT : Telinga tidak ada kelainan, perdarahan hidung (-), faring hiperemis (-), Tonsil
T1-T1
Mulut : Sariawan (-), Typhoid tounge (-)
Leher : JVP (5-2)cmH2O, Limfadenopati (-)
Dada :
I : stasis dan dinamis simetris kanan=kiri, retraksi (-)
P : sonor di kedua lapang paru
P : stemfremitus kanan=kiri
A : Pulmo : ves(+) normal, ronchi (-/-), wheezing (-/-).
Cor : BJ1 BJ2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
I : Datar, venektasi(-), scar (-)
P :Lemas, NTE (+), nyeri lepas (-), hepar dan lien tidak teraba.
P : timpani.
A: BU(+) normal

3
Genetalia : Tidak diperiksa
Ekstremitas : Ptekie (-), akral hangat, edema(-), turgor kulit normal, uji tourniket : rumpleed (+)

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan Laboratorium ( 22 Oktober 2016)
Darah rutin:

Hb : 17,18 gr/dl (14-16 g/dl)


Eritrosit : 6,63 jta/mm3 (4,5-5,5 juta/mm3)
Ht : 58 vol% (40-48 vol%)
Leukosit : 3000 /mm3 (4000-10000/mm3)
Trombosit : 94.000/mm3 (150.000-400.000/mm3)
Basofil : 0 % (0-1%)
Eosinofil : 0% (1-3%)
Batang : 2% (2-6%)
Segmen : 70% (50-70%)
Limposit : 16% (20-40%)
Monosit : 12% (2-8%)

2.5 DIAGNOSIS BANDING


1. Demam Berdarah Dengue derajat II
2. Demam Typhoid
3. Malaria

2.6 DIAGNOSIS KERJA


Demam Berdarah Dengue derajat II

2.7 PENATALAKSANAAN
Nonfarmakologis
 Istirahat
 Diet tinggi kalori tinggi protein

4
 Perbanyak asupan cairan / banyak minum
 Cek Hb, Ht, Trombosit, leukosit per 12 jam
 Cek widal, DDR

Farmakologis
 IVFD RL gtt XXX/menit
 Inj. Ranitidin 2x50 mg IV
 Inj. Ondansetron 2x4 mg IV
 Inj. Ceftriaxone 2x1 gr IV
 Paracetamol tab 4x500 mg

5
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 DEFINISI
Demam dengue dan/atau demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/ atau nyeri
sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diathesis
hemoragik.5

3.2 EPIDEMIOLOGI
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah asia tenggara, pasifik barat dan karibia.
Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air. Insiden
DBD di indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989 hingga 1995), dan pernah
meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998,
sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2 % pada tahun 1999.6

Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus dengue yaitu:6
1. Vektor : perkembang biakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan vektor di
lingkungan, transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain.
2. Pejamu : terdapatnya penderita di lingkungan / keluarga, mobilisasi dan paparan terhadap
nyamuk, usia dan jenis kelamin.
3. Lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk.

3.3 ETIOLOGI
Demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk genus Flavivirus,
keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam
ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106. Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-
1, DEN-2, DEN-3, DEN-4 yang semua nya dapat menyebabkan demam dengue atau demam
berdarah dengue. Keempat serotipe ini ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan
serotipe terbanyak.5

6
Infeksi oleh salah satu jenis serotipe ini akan memberikan kekebalan seumur hidup tetapi
tidak menimbulkan kekebalan terhadap serotipe yang lain. Sehingga seseorang yang hidup di
daerah endemis DBD dapat mengalami infeksi sebanyak 4 kali seumur hidupnya. Dengue
adalah penyakit daerah tropis dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti.6

3.4 PATOFISIOLOGI
Jika seseorang digigit nyamuk Aedes aegypti, maka virus dengue masuk bersama darah
yang dihisapnya. Dalam tubuh nyamuk, virus dengue akan berkembang biak dengan cara
membelah diri dan menyebar di seluruh bagian tubuh nyamuk dan sebagian besar virus
tersebut berada dalam kelenjar liur nyamuk. Dalam tempo 1 minggu, jumlahnya dapat
mencapai ratusan ribu sehingga siap dipindahkan ke orang lain.7
Dua teori yang banyak dianut dalam menjelaskan patogenesis infeksi dengue adalah
hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection theory) dan hipotesis immune
enhancement.9 Menurut hipotesis infeksi sekunder yang diajukan oleh Suvatte, sebagai
akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berbeda, respon antibodi anamnestik
pasien akan terpicu, menyebabkan proliferasi dan transformasi limfosit dan menghasilkan
titer tinggi IgG antidengue. Karena bertempat di limfosit, proliferasi limfosit juga
menyebabkan tingginya angka replikasi virus dengue. Hal ini mengakibatkan terbentuknya
kompleks virus-antibodi yang selanjutnya mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a
dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan
merembesnya cairan ke ekstravaskular. Hal ini terbukti dengan peningkatan kadar
hematokrit, penurunan natrium dan terdapatnya cairan dalam rongga serosa. Pada  penderita 
renjatan berat, volume plasma  dapat berkurang  sampai lebih dari pada 30% dan
berlangsung selama 24-48 jam. Renjatan yang tidak ditanggulangi secara adekuat akan
menimbulkan anoksia jaringan, asidosis metabolik dan kematian.9
Hipotesis immune enhancement menjelaskan menyatakan secara tidak langsung bahwa
mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog mempunyai risiko berat yang lebih
besar untuk menderita DBD berat. Antibodi heterolog yang telah ada akan mengenali virus
lain kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang berikatan dengan  reseptor dari
membran leukosit terutama makrofag. Sebagai tanggapan dari proses ini, akan terjadi sekresi

7
mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh
darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.9

Gambar 1. Hipotesis secondary heterologous infection

Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme :4


1. Supresi sumsum tulang
2. Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit

Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (< 5 hari) menunjukkan keadaan
hiposeluler dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan
proses hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar trombopoeitin dalam darah pada saat
terjadi trombositopenia justru menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya
stimulasi trombopoiesis sebagai mekanisme kompensasi terhadap keadaan trombositopenia.
Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibodi VD,
konsumsi trombosit selama proses koagulopatidan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi
trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-
hemoglobin dan PF4 yang merupakan degranulasi trombosit.2
Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang menyebabkan
disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya koagulopati konsumtif pada
demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi koagulasi pada demam berdarah dengue
8
terjadi melalui aktivasi jalur ekstrinsik (tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga berperan
melalui aktivasi faktor XIa namun tidak melalui aktivasi kontak (kalikrein C1-inhibitor
complex).3

3.5 MANIFESTASI KLINIS


Manifestasi klinik infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik atau dapat berupa
demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah dengue atau sindrom syok
dengue. Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang diikuti oleh
fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi
mempunyai resiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan yang adekuat.9
Gambaran klinis penderita dengue terdiri atas  3 fase yaitu fase febris, fase kritis dan fase
pemulihan. Pada fase febris, Biasanya demam mendadak tinggi 2 – 7 hari, disertai muka
kemerahan, eritema kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia dan sakit kepala. Pada
beberapa kasus ditemukan nyeri tenggorok, injeksi farings dan konjungtiva, anoreksia, mual
dan muntah. Pada fase ini dapat pula ditemukan tanda perdarahan seperti ptekie, perdarahan
mukosa, walaupun jarang dapat pula terjadi perdarahan pervaginam dan perdarahan
gastrointestinal.
Fase kritis, terjadi pada hari 3 – 7 sakit dan ditandai dengan penurunan suhu tubuh disertai
kenaikan permeabilitas kapiler dan timbulnya kebocoran plasma yang biasanya berlangsung
selama 24 – 48 jam. Kebocoran plasma sering didahului oleh lekopeni progresif disertai
penurunan hitung trombosit. Pada fase ini dapat terjadi syok.
Fase pemulihan, bila fase kritis terlewati maka terjadi pengembalian  cairan dari
ekstravaskuler ke intravaskuler secara perlahan pada 48 – 72 jam setelahnya. Keadaan umum
penderita membaik, nafsu makan pulih kembali, hemodinamik stabil dan diuresis membaik.

3.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah
trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai
gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke-3). Trombositopenia umumnya dijumpai pada
hari ke 3-8 sejak timbulnya demam. Hemokonsentrasi dapat mulai dijumpai mulai hari ke 3
demam. Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan terjadinya

9
gangguan koagulasi dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT, APTT, Fibrinogen, D-
Dimer, atau FDP). Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan adalah albumin, SGOT/SGPT,
ureum/ kreatinin.3
Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik melalui pemeriksaan
isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara tiga jenis uji etiologi,
yang dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi virus. Namun, metode ini
membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu yang lama (lebih dari 1–2 minggu),
serta biaya yang relatif mahal. Oleh karena keterbatasan ini, seringkali yang dipilih adalah
metode diagnosis molekuler dengan deteksi materi genetik virus melalui pemeriksaan
reverse transcriptionpolymerase chain reaction (RT-PCR). Pemeriksaan RT-PCR
memberikan hasil yang lebih sensitif dan lebih cepat bila dibandingkan dengan isolasi virus,
tapi pemeriksaan ini juga relatif mahal serta mudah mengalami kontaminasi yang dapat
menyebabkan timbulnya hasil positif semu.5
Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu dengan
mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue. Imunoserologi berupa IgM terdeteksi mulai hari ke 3-
5, meningkat sampai minggu ke-3 dan menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer,
IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, sedangkan pada infeksi sekunder dapat terdeteksi
mulai hari ke 2.5
Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral dekubitus kanan) dapat
dilakukan untuk melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan dan pada
keadaan perembesan plasma hebat, efusi dapat ditemukan pada kedua hemitoraks. Asites dan
efusi pleura dapat pula dideteksi dengan USG.5

3.7 DIAGNOSIS
Diagnosis demam berdarah dengue ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut
WHO tahun 1999 yang terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris. Hal ini dimaksudkan untuk
mengurangi diagnosis yang berlebihan (overdiagnosis). Kriteria klinis demam dengue adalah
demam akut selama 2-7 hari ditandai dengan dua atau lebih manifestasi klinis seperti nyeri
kepala, nyeri retro-orbital, mialgia/artralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan (petekie atau
uji bendung positif), leukopenia dan pemeriksaan serologi dengue positif atau ditemukan

10
pasien demam dengue atau demam berdarah dengue yang sudah dikonfirmasi pada lokasi
dan waktu yang sama.4
Berdasarkan kriteria WHO 1999 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal di bawah ini
terpenuhi.:4
a) Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik
b) Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut :
 Uji bendung positif
 Petekie, ekimosis, purpura
 Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi) atau perdarahan
dari tempat lain.
 Hematemesis atau melena.
c) Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/ul)
d) Terdapat minimal satu dari tanda tanda kebocoran plasma sebagai berikut :
 Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan
jenis kelamin
 Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan
dengan nilai hematokrit sebelumnya.
 Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites atau hipoproteinemia.

Dari keterangan di atas terlihat bahwa perbedaan utama antara DD dan DBD adalah pada
DBD ditemukan adanya kebocoran plasma. WHO (2004) membagi demam berdarah dengue
menjadi 4 derajat berdasarkan tingkat keparahan, yaitu 5
•     Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan
adalah uji torniquet.
•     Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan perdarahan lain.
•     Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi
menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut kulit
dingin dan lembab, tampak gelisah.
•      Derajat 4:  Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur. 

11
Tabel 1. Tabel Derajat Penyakit DBD
Klasifikasi Derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue

DD/DBD Derajat Gejala Laboratorium

DD Demam disertai 2 atau lebih tanda :  Leukopenia

 Sakit kepala  Trombisitopenia

 Nyeri retroorbital  Tidak ada bukti kebocoran plasma

 Mialgia  Uji serologi dengue (+)


 Artralgia

DBD I Gejala diatas ditambah uji bendung positif  Trombositopenia < 100.000

 Ht meningkat >20%

 Uji serologi dengue (+)

 Bukti ada kebocoran plasma

DBD II Gejala diatas ditambah perdarahan spontan  Trombositopenia < 100.000

 Ht meningkat > 20%

 Uji serologi dengue (+)

 Bukti ada kebocoran plasma

DBD III Gejala diatas ditambah kegagalan sirkulasi  Trombositopenia < 100.000
(kulit dingin dan lembab serta gelisah)
 Ht meningkat > 20%

 Uji serologi dengue (+)

 Bukti ada kebocoran plasma

DBD IV Syok berat disertai dengan tekanan darah dan  Trombositopenia < 100.000
nadi tidak terukur.
 Bukti ada kebocoran plasma

 Ht meningkat > 20%

 Uji serologi dengue (+)

3.8 DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis banding perlu dipertimbangkan bilamana terdapat kesesuaian klinis dengan
demam tifoid, campak, influenza, chikungunya dan leptospirosis. Pada awal perjalanan
penyakit, diagnosis banding mencakup infeksi bakteri, virus, atau infeksi parasit seperti

12
demam tifoid, campak, influenza, demam chikungunya, leptospirosis. Adanya
trombositopenia yang jelas disertai hemokonsentrasi dapat membedakan antara DBD dengan
penyakit lain.4
Demam berdarah dengue harus dibedakan dengan demam chikungunya (DC). Pada
demam chikungunya biasanya seluruh anggota keluarga dapat terserang dan penularannya
mirip dengan influenza. Bila dibandingkan dengan DBD, DC memperlihatkan serangan
demam mendadak, masa demam lebih pendek, suhu lebih tinggi, hampir selalu disertai ruam
makulopapular, injeksi konjungtiva dan lebih sering dijumpai nyeri sendi. Proporsi uji
tourniquet positif, petekie dan epistaksis hampir sama dengan DBD. Pada DC tidak
ditemukan perdarahan gastrointestinal dan syok.4
Idiopatik trombositopenia purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DBD derajat II oleh
karena didapatkan demam disertai perdarahan di bawah kulit. Pada hari – hari pertama,
diagnosis ITP sulit dibedakan dengan penyakit DBD, tetapi pada ITP demam cepat
menghilang atau bisa tidak diserta demam. Tidak dijumpai leukopeni, tidak dijumpai
hemokonsentrasi, tidak dijumpai pergeseran ke kanan pada hitung jenis. Pada fase
penyembuhan DBD jumlah trombosit lebih cepat kembali ke normal daripada ITP.4

3.9 PENATALAKSANAAN
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah terapi suportif.
Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga kurang dari
1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam
penanganan kasusDBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika
asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan
melaui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi bermakna.4

Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit dalam Indonesia (PAPDI) bersama dengan Divisi
Penyakit Tropik dan infeksi dan Divisi Hematologi dan onkologi Medik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, telah menyusun lima protokol penatalaksanaan demam
berdarah dengue pada pasien dewasa berdasarkan kriteria :4
1.      Tatalaksana dengan rencanan tindakan sesuai indikasi
2.      Praktis dalam penatalaksanaan
3.      Mempertimbangkan cost effectiveness

13
Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan DBD dewasa
mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol WHO. Protokol ini terbagi dalam 5 kategori,
sebagai berikut:4
1. Penanganan tersangka DBD dewasa tanpa syok
2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat
3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%
4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa
5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa

Protokol 1. Penanganan Tersangka DBD dewasa tanpa syok


Protokol 1 ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama pada
penderita DBD atau yang diduga DBD di instalasi gawat darurat dan juga dipakai sebagai
petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat. Seseorang tersangka DBD di ruang Gawat Darurat
dilakukan pemeriksaan hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), dan trombosit.

Protokol 2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat

14
Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif dan tanpa syok maka di
ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid.

Protokol 3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%


Meningkatnya Ht > 20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit cairan sebanyak
5%. Pada keadaan ini terapi awal adalah dengan pemberian cairan dengan memberikan infus
cairan kristaloid. Alur penatalaksanaan pemberian cairan berdasarkan bagan di bawah ini

15
Protokol 4. . Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa
Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah : perdarahan
hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon hidung, perdarahan
saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan saluran kencing
(hematuria), perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak
4-5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan tetap seperti
keadaan DBD tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan dan jumlah urin
dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht, dan trombosis serta hemostase harus
segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit sebaiknya diulang tiap 4-6 jam.
Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tanda tanda
koagulasi intravaskular diseminata (KID). Transfusi komponen darah diberikan sesuai indikasi.
FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor faktor pembekuan (PT dan aPTT yang
memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g/dl. Transfusi trombosit hanya
diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan masif dengan jumlah trombosit <
100.000/mm3 disertai atau tanpa KID.

16
Protokol 5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa
Bila kita berhadapan dengan sindrom syok dengue maka hal pertama yang harus diingat
adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian cairan intravaskular
yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian sindrom syok dengue sepuluh kali lipat
dibandingkan dengan penderita DBD tanpa renjatan, dan renjatan dapat terjadi karena
keterlambatan penderita DBD mendapatkan pertolongan dan pengobatan, penatalaksanaan yang
tidak tepat termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda tanda renjatan dini, dan
penatalaksanaan renjatann yang tidak adekuat.
Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan sesuai resusitasi
cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4 liter per menit. Pemeriksaan pemeriksaan yang harus
dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), hemostasis, analisis gas darah, kadar
natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan kreatinin.
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah
15-30 menit. Setelah itu perhatikan alur pada bagan. Bila 24-48 jam setelah renjatan teratasi dan
tanda tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup maka pemberian cairan perinfus
17
harus dihentikan (karena jika reabsorpsi cairan plasma yang mengalami ekstravasasi telah terjadi,
ditandai dengan turunnya hematokrit, cairan infus terus diberikan maka keadaan hipervolemia,
edema paru atau gagal jantung dapat terjadi).
Diuresis diusahakan 2 ml/kgBB/jam. Pemantauan kadar hemoglobin, hematokrit, dan
jumlah trombosit dapat dipergunakan untuk pemantauan perjalanan penyakit.
Bila kondisi mengalami perbaikan terhadap vasopressor setelah syok teratasi, maka
diberikan kembali kombinasi koloid dan kristaloid. Bila kemudian menunjukkan perbaikan,
koreksi gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID, dan infeksi sekunder lalu
cairan infus dapat diturunkan menjadi 3ml/kgBB/jam. Bila 24-48 jam setelah renjatan teratasi dan
tanda tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup maka pemberian cairan perinfus
dihentikan.

18
19
BAB IV
PEMBAHASAN

Dari anamnesis didapatkan pasien mengeluh demam tinggi sejak 5 hari sebelum masuk
rumah sakit, muncul mendadak, terus menerus dan naik turun, nyeri kepala, nyeri pada otot dan
persendian, pasien juga mengeluhkan adanya perdarahan dari hidung sebanyak 2x. Hal ini sesuai
dengan kepustakaan kriteria klinis dari demam berdarah dengue yaitu demam tinggi mendadak,
tanpa sebab yang jelas, berlangsung  terus menerus selama 2-7 hari, disertai nyeri kepala, mialgia
dan artralgia. . Pada pasien ini tidak mempunyai riwayat perdarahan lama, mudah berdarah, dan
mudah memar. Pada pasien ini nyeri pada persendian tidak hebat, tidak terus menerus, anggota
gerak tidak sulit digerakkan sehingga menyingkirkan diagnosis chikungunya haemorragic fever.
Demam tifoid mungkin bisa dipikirkan karena pada pasien ini, didapatkan demam baru dialami
sejak 5 hari SMRS maka perlu dilakukan tes widal.
Pasien kemudian dilakukan pemeriksaan rumpe leed dan dilakukan pemeriksaan
laboratorium. Hasil kemudian menunjukkan rumple leed positif dan trombositopenia
(100.000/mm3 atau kurang) ditambah dengan perdarahan spontan. Selain itu, didapatkan pada
pasien ini terjadi peningkatan kadar Hb, leukopenia, serta peningkatan kadar hematokrit lebih
dari 20%. Berdasarkan kriteria WHO 1997, maka diagnosis DBD dapat ditegakkan.
Pada pasien ini didiagnosis dengan DBD derajat II karena terdapat perdarahan spontan
berupa mimisan pada 1 hari SMRS, meskipun saat pemeriksaan tidak lagi ditemukan. Hal ini
terjadi karena meningkatnya permeabilitas dinding kapiler karena pelepasan zat anafilaktosin,
histamin dan serotonin serta aktivasi sistem vaskuler mengakibatkan berkurangnya volume
plasma sehingga terjadi hipotensi, hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi dan renjatan. Plasma
merembes selama perjalanan penyakit mulai dari saat permulaan demam dan mencapai
puncaknya pada saat renjatan berat, volume plasma dapat turun sampai lebih dari 30%
Mual, muntah dan nyeri ulu hati juga merupakan gejala dari demam berdarah dengue.5,13
Mual dan muntah ini dalam kepustakaan disebabkan setiap infeksi yang menyerang tubuh
manusia akan menyerang retikuloendothelial sehingga sistem ini bisa terganggu menyebabkan
reaksi antigen antibodi yang merangsang sistem hipothalamus, sehingga menimbulkan
peningkatan suhu tubuh serta mengaktifasi anafilaksis dan kompensasinya adalah nyeri ulu hati,

20
selain itu juga dapat berpengaruh pada saluran pencernaan yang dapat mengganggu asupan
makanan dan cairan karena mual, muntah dan anoreksia.
Berdasarkan alur penatalaksanaan DBD menurut WHO, karena pada pasien ini terjadi
peningkatan Hb dan Ht serta trombositopeni <100.000 maka pasien harus dirawat inap. Pada
pasien lalu diberi cairan infus kristaloid, pada pasien ini diberi cairan RL untuk mencegah
terjadinya perembesan plasma ke luar pembuluh darah. Serta pada pasien direncanakan
pemeriksan Hb, Ht, trombosit tiap 12 jam.
Pasien ini diberikan injeks Ranitidin dan ondasetron karena pada pasien ini diapatkan
adanya keluhan mual dan adanya nyeri tekan pada epigastrium. Sehingga dengan pemberian
ranitidin dan ondasetron, diharapkan keluhan nyeri ulu hati pada pasien berkurang . Pemberian
parasetamol pada pasien ini diindikasikan untuk mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri, serta
untuk menurunkan demam. Pasien diedukasi untuk minum lebih banyak cairan untuk mengganti
banyaknya cairan yg hilang akibat kebocoran plasma. Serta dianjurkan untuk mengkonsumsi
makanan tinggi kalori tinngi protein untuk meningkatkan daya tahan tubuh, karena DBD
disebabkan oleh virus, dan salah satu cara yang tepat adalah dengan meningkatkan sistem
kekebalan/imun tubuh pasien.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Hairani LK. Gambaran epidemiologi demam berdarah di Indonesia. FKM UI. 2009.
2. Wahono TD. Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan  Departemen Kesehatan; 2004.
3. Anggia SD. Gambaran Klinis Penderita Demam Berdarah Dengue yang dirawat di Bagian
Ilmu penyakit Dalam Periode 1 Januari- 31 Desember 2005. Pekanbaru, 2006 : 27-37.
4. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam Berdarah Dengue. Dalam Buku
ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III Edisi V. Editor : Sudoyo AW dkk. Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta : 2007.
5. Lestari K. Epidemiologi dan pencegahan Demam Berdarah dengue di Indonesia.
Farmaka. 2007; 5:12-29.
6. Sanford JP. Infeksi Arbovirus dalam Harrison prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Edisi
13. Volume 2. Jakarta : EGC, 1999 : 955-6.
7. Departemen kesehatan RI. Demam Berdarah Dengue. 2009.  [diakses  28 Oktober 2016]
http://www.depkes.go.id
8. Chen K, Herdiman T. Pohan, Sinto R. Diagnosis dan terapi cairan pada demam berdarah
dengue. Medicinus: Scientic Journal of Pharmaceutical Development and Medical
Application. 2009; 22: 3-7.
9. World Health Organization. Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention and
Control. New edition. Geneva. 2009.

22

Anda mungkin juga menyukai