Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
Surveilans epidemiologi adalah pengumpulan dan pengamatan secara sistematik
berkesinambungan, analisa dan interpretasi data kesehatan dalam proses menjelaskan dan
memonitoring kesehatan dengan kata lain surveilans epidemiologi merupakan kegiatan
pengamatan secara teratur dan terus-menerus terhadap semua aspek kejadian penyakit dan
kematian akibat penyakit tertentu, baik keadaan maupun penyebaranya dalam suatu
masyarakat tertentu untuk kepentingan pencegahan dan penanggulangan. 1
Menurut WHO, Surveilans epidemiologi adalah proses pengumpulan, pengolahan,
analisis & interpretasi data secara sistematik & terus menerus serta penyebaran informasi
kepada unit yang membutuhkan untuk dapat mengambil tindakan. surveilans berbeda
dengan pemantauan (monitoring) biasa. Surveilans dilakukan secara terus-menerus tanpa
terputus (kontinu), sedangkan monitoring dilakukan intermitten atau episodik. Dengan
mengamati secara terus-menerus dan sistematis maka perubahan-perubahan kecenderungan
penyakit dan faktor yang mempengaruhinya dapat diamati atau diantisipasi, sehingga dapat
dilakukan langkah-langkah investigasi dan pengendalian penyakit dengan tepat. 2,3,4
Surveilans memungkinkan pengambil keputusan untuk memimpin dan mengelola
dengan efektif. Surveilans kesehatan masyarakat memberikan informasi kewaspadaan dini
bagi pengambil keputusan dan manajer tentang masalah-masalah kesehatan yang perlu
diperhatikan pada suatu populasi. Surveilans kesehatan masyarakat merupakan instrumen
penting untuk mencegah outbreak penyakit dan mengembangkan respons segera ketika
penyakit mulai menyebar. Informasi dari surveilans juga penting bagi kementerian
kesehatan, kementerian keuangan, dan donor, untuk memonitor sejauh mana populasi telah
terlayani dengan baik.5

BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Surveilans Epidemiologi
Defenisi Surveilans epidemiologi adalah pengumpulan dan pengamatan secara
sistematik berkesinambungan, analisa dan interprestasi data kesehatan dalam proses
menjelaskan dan memonitoring kesehatan dengan kata lain surveilans epidemiologi
merupakan kegiatan pengamatan secara teratur dan terus menerus terhadap semua
aspek kejadian penyakit dan kematian akibat penyakit tertentu, baik keadaan maupun
penyebarannya dalam suatu masyarakat tertentu untuk kepentingan pencegahan dan
penanggulangan. 1,2
B.

Tujuan Surveilans Epidemiologi 2


Tujuan surveilans epidemiologi yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.

C.

Memantau kecenderungan penyakit


Deteksi dan prediksi terjadinya KLB
Memantau kemajuan suatu program pemberantasan
Menyediakan informasi untuk perencanaan pembangunan pelayanan kesehatan
Pembuatan policy dan kebijakan pemberantasan penyakit

Manfaat Surveilans Epidemiologi 2


Manfaat surveilans epidemiologi yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

9.

Deteksi Perubahan akut dari penyakit yang terjadi dan distribusinya


Identifikasi dan perhitungan trend dan pola penyakit
Identifikasi kelompok risiko tinggi menurut waktu, orang dan tempat
Identifikasi factor risiko dan penyebab lainnya
Deteksi perubahan pelayanan kesehatan yang terjadi
Dapat memonitoring kecenderungan penyakit endemis
Mempelajari riwayat alamiah penyakit dan epidemiologinya
Memberikan informasi dan data dasar untuk proyeksi kebutuhan pelayanan
kesehatan di masa mendatang
Membantu menetapkan masalah kesehatan prioritas dan prioritas sasaran program
pada tahap perencanaan

D. Definisi Tifus Abdominalis


2

Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh kuman
Salmonella typhi, bercirikan lesi definitif di plak Peyer, kelenjar mesenterika dan limpa,
disertai oleh gejala demam yang berkepanjangan, sakit kepala dan nyeri abdomen.
Infeksi berasal dari penderita atau seorang yang secara klinik tampak sehat tetapi yang
mengandung kuman yang keluar bersama fesesnya atau kemih. Kuman-kuman ini
mengkontaminasi makanan, minuman dan tangan. Lalat merupakan penyebar kuman
tifus terpenting, karena dari tempat kotor ia dapat mengotori makanan. Masa inkubasi
(masa sejak terpapar oleh kuman sampai timbulnya gejala pertama) berkisar antara 1-3
minggu (rata-rata 10-14 hari).6
E. Surveilans Epidemiologi Tifus Abdominalis
Berdasarkan pembahasan Laporan Konsultasi Ad-hoc dari Introduksi Vaksin
Tifoid dan Surveilans Tifoid oleh WHO yang dilaksanakan pada 18-20 April 2011 di
Bangkok, maka terdapat beberapa metode surveilans khusus untuk penyakit tifoid (tifus
abdominalis) yang direkomendasikan dilaksanakan di dunia:7
1. Surveilans aktif demam tifoid
Merupakan surveilans dengan intensitas tinggi yang menuntut adanya protokol
yang jelas dengan tujuan mendapatkan data insidens yang representatif

dan

reliable, biasanya dilakukan observasi jangka pendek, serta paling sering dalam
bentuk penelitian.
a. Surveilans aktif berdasarkan populasi
Diperlukan perkunjungan di rumah-rumah setiap minggu atau setiap bulan
oleh pekerja surveilans yang sudah terlatih yang menanyakan jika di rumah
tersebut ada demam 3 hari atau lebih sejak kunjungan terakhir.
b. Surveilans aktif berdasarkan fasilitas
Bisa mencakup seluruh populasi jika terdapat fasilitas surveilans yang
mendata seluruh populasi dengan stabil, misalnya surveilans tifoid
berdasarkan rumah sakit.
c. Surveilans aktif berdasarkan laboratorium
Metode ini merupakan metode yang paling direkomendasikan di mana
laboratorium yang melakukan surveilans di suatu daerah bisa lebih dari
3

satu. Laboratorium memastikan bahwa setiap orang yang datang pada


mereka dengan gejala demam lebih dari tiga hari , diskrining dan dilakukan
kultur darah, dengan catatan jika ada pasien dengan ciri demikian tidak
datang ke laboratorium maka surveilans tetap dilanjutkan.
2. Surveilans pasif demam tifoid
Tidak perlu dilakukan usaha untuk skrining kasus potensial tetapi hanya
bergantung pada pemeriksaan pasien-pasien tertentu yang telah diputuskan oleh
dokter untuk diperiksa. Metode ini yang paling banyak dilakukan oleh negara di
dunia di mana mereka hanya bergantung pada data umum yang terdapat di fasilitas
kesehatan seperti laboratorium atau dari diagnosis pada catatan medis pasien rawat
jalan.
3. Surveilans resistensi antibiotik untuk tifoid
Di negara-negara dengan tingkat resistensi antibiotik tinggi, meskipun bukan
merupakan daerah endemis, sebaiknya terdapat setidaknya satu laboratorium untuk
melakukan studi sensitifitas antibiotik untuk melihat perubahan atau resistensi yang
muncul seiring berjalannya waktu.
Surveilans tifus abdominalis secara global yang terbaru oleh WHO dilakukan dari
tahun 2000-2003 dan dipublikasikan pada tahun 2004. Studi dengan judul The global
burden of typhoid fever ini bertujuan memperbaharui estimasi angka beban demam tifoid
(tifus abdominalis) secara global. Metode yang digunakan ialah studi berdasarkan populasi
dengan pencarian kasus tifus abdominalis yang terkonfirmasi dengan kultur darah pada
literatu-literatur sains multilingual menggunakan komputer. Kurva insiden berdasarkan
umur digunakan untuk menunjukan ratio antara usia kohort terhadap populasi umum.
Analisis sensitifitas satu arah dilakukan untuk mencari sensitifitas dari perkiraan terhadap
asumsi yang didapatkan.8
Hasil yang didapatkan yaitu sebanyak 22 studi di seluruh dunia yang memenuhi
syarat telah diidentifikasi dan memberikan hasil sebagai berikut: daerah dengan insiden
tifus abdominalis tinggi (>100/100.000 kasus/ tahun) terdiri dari Asia selatan dan tenggara,
daerah dengan insiden menengah (10-100/100.000 kasus/ tahun) terdiri dari Asia, Afrika,
Amerika Latin, Karibia, Oseania (kecuali Australia dan Selandia Baru), sedangkan daerah
4

dengan insidens rendah terdiri dari Eropa, Amerika Utara serta negara-negara maju lainnya
(<10/100.000 kasus/ tahun). Diperkirakan tifus abdominalis oleh strain S. typhi
menyebabkan 21.650.974 kesakitan dan 216.510 kematian selam tahun 2000, sedangkan S.
paratyphi menyebabkan 5.412.744 kesakitan.8

Gambar 1. Distribusi demam tifoid berdasarkan kelompok usia pada beragam


insiden8

Gambar 2. Distribusi geografis demam tifoid 8

Di Amerika Serikat, kendati tifus abdominalis merupakan penyakit yang jarang


ditemukan sekarang namun surveilans tetap dilakukan secara berkala sejak tahun 1975, di
mana dengan menggunakan formulir laporan standar, para petugas kesehatan lokal dan
negara bagian melaporkan informasi epidemiologis, termasuk demografi pasien dan
informasi klinis, vaksin tifoid, riwayat bepergian, dan kasus tifoid yang terbukti secara
laboratorik kepada Centers for Disease Control and Prevention (CDC).9
Hasil surveilans tifoid terakhir di Amerika Serikat yaitu pada tahun 2011
menunjukan bahwa 37 negara bagian melaporkan total 347 kasus demam tifoid dan 21
negara bagian melaporkan total 107 kasus demam paratifoid.9

Gambar 3. Laporan kasus demam tifoid Amerika Serikat 20119


Di Asia sebagai daerah endemis tifus abdominalis, perkiraan angka beban tifoid
biasanya didasarkan pada laporan rutin demam tifoid yang terdiagnosis secara klinis,
digabungkan dengan data dari pemerintah atau rumah sakit, biasanya dari denominasi yang
tidak tentu.10
Hasil surveilans terakhir di Asia dilaporkan pada tahun 2008 oleh WHO. Surveilans
menggunakan metode survei prospektif berdasarkan populasi. Daerah pengambilan data di
mana tifoid dianggap sebagai masalah oleh pemerintah lokal yaitu di Cina, India,
Indonesia, Pakistan dan Vietnam. Metode klinis, laboratoris dan surveilans standar
digunakan untuk menginvestigasi kasus demam 3 hari atau lebih dalam periode 1 tahun.
Total 441.435 orang diikutsertakan dalam surveilans, di mana 159.856 orang berusia 5-15
tahun.10

Hasil yang didapatkan yaitu terdapat 21.874 episode demam. Salmonella typhi
diisolasi dari 475 (2%) kultur darah, 57% (273/475) berasal dari usia 5-15 tahun. Insiden
per tahun (per 100.000 orang/ tahun) pada kelompok usia ini beragam dari 24,2-29,3 di
Vietnam dan Cina, sampai 180,3 di Indonesia, sampai 412,9 di Pakistan dan sampai 493,5
di India.10

Gambar 4. Insidens demam tifoid dan usia rerata pasien 10


Di Indonesia sendiri, kegiatan surveilans penyakit diatur dalam Keputusan Menteri
Kesehatan No.1479 tahun 2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans
Epidemiologi Penyakit Menular dan Tidak Menular Terpadu. Penyakit-penyakit yang
termasuk dalam surveilans terpadu kolera, diare, diare berdarah, tifus perut klinis, TBC
paru BTA (+), tersangka TBC paru, kusta PB, kusta MB, campak, difteri, batuk rejan,
tetanus, hepatitis klinis, malaria klinis, malaria vivax, malaria falsifarum, malaria mix,
demam berdarah dengue, demam dengue, pneumonia, sifilis, gonorrhoe, frambusia,
filariasis, dan influenza.11
Surveilans dilakukan di Puskesmas, Rumah Sakit, pusat KLB serta laboratorium
kemudian dilakukan pelaporan dengan alur sebagai berikut: Puskesmas, Rumah Sakit dan
Laboratorium mengirimkan data Surveilans Terpadu Penyakit bulanan kepada Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota. Puskesmas dan rumah sakit juga mengirimkan data

pemantauan wilayah setempat (PWS) penyakit potensial KLB mingguan kepada Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melakukan pengumpulan
dan pengolahan data tersebut, dan mengirimkan data bulanan STP ke Dinas Kesehatan
Propinsi. Dinas Kesehatan Propinsi melakukan pengumpulan dan pengolahan data
surveilans tersebut, dan mengirimkan ke Ditjen PPM & PL Depkes.11
Sasaran variabel data surveilans terpadu yakni:11
1. Variabel Umur dan Jenis Kelamin
Berdasarkan umur, setiap kasus digolongkan pada golongan umur 0 7 hari, 8 28
hari, > 1 tahun, 1-4 tahun, 5- 9 tahun, 10 - 14 tahun, 15- 19 tahun, 20 - 44 tahun, 45
54 tahun, 55 59 tahun, 60 69 tahun, 70 tahun lebih dan total menurut jenis
kelamin.
2. Variabel Rawat Jalan, Rawat Inap dan Kematian
Selain berdasarkan pengelompokan golongan umur dan jenis kelamin, surveilans di
Rumah Sakit dikelompokkan lagi menurut rawat jalan dan rawat inap. Variabel
rawat inap ditambahkan dengan total kematian.
3. Variabel Waktu Kunjungan Kasus
Setiap kasus dikelompokkan menurut periode waktu mingguan dan bulanan.
4. Variabel Total Kunjungan
Setiap laporan disertakan data total kunjungan berobat setiap jenis penyakit dan
total kunjungan berobat atau total kunjungan pelayanan.
5. Variabel Kelengkapan dan Ketepatan Laporan
Setiap laporan disertai data kelengkapan dan ketepatan waktu laporan sumber data
surveilans. Kelengkapan dan ketepatan laporan surveilans Kabupaten/Kota terdiri
dari kelengkapan dan ketepatan laporan unit pelayanan Puskesmas, Rumah Sakit
dan Laboratorium. Kelengkapan dan ketepatan laporan surveilans Propinsi dan
Nasional terdiri dari kelengkapan dan ketepatan laporan unit pelayanan Puskesmas,
Rumah Sakit dan Laboratorium serta Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Data surveilans tifoid di Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Rikesda)
Nasional tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi tifoid klinis nasional sebesar 1,6%
(rentang: 0,3% - 3%). Dua belas provinsi mempunyai prevalensi di atas angka nasional,
8

yaitu Provinsi NAD, Bengkulu, Jawa Barat, Banten, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara
Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawasi Selatan, Gorontalo, Papua Barat,
dan Papua. Di 18 provinsi, kasus tifoid sebagian besar terdeteksi berdasarkan diagnosis
oleh tenaga kesehatan, sedang di provinsi lainnya terutama berdasarkan gejala klinis
sebagaimana tertera pada Tabel 1.12

Tabel 1. Prevalensi Tifus Abdominalis berdasarkan propinsi, Rikesdas 200712

Selain itu menurut Rikesdas tahun 2007 kasus tifoid klinis tersebar di seluruh
kelompok umur dan merata pada umur dewasa. Prevalensi tifoid klinis banyak
ditemukan pada kelompok umur sekolah (5 14 tahun) yaitu 1,9%, terendah pada bayi
(0,8%), dan relatif lebih tinggi di wilayah pedesaan dibandingkan perkotaan.
Prevalensi tifoid ditemukan cenderung lebih tinggi pada kelompok dengan pendidikan
rendah dan tingkat pengeluaran per kapita rendah, sebagaimana tertera pada Tabel 3.12

Tabel 2. Prevalensi Tifus Abdominalis menurut karakteristik responden,


10

Rikesdas 200712

Profil Kesehatan Indonesia tahun 2011 oleh Kementerian Kesehatan


melaporkan bahwa penyakit demam tifoid dan paratifoid menduduki peringkat ketiga
dari 10 besar penyakit rawat inap di Rumah Sakit tahun 2010, dengan jumlah penderita
19.706 orang laki-laki (47,97%) dan 21.375 orang perempuan (52,03%). Jumlah
pasien yang keluar Rumah Sakit ialah 41.081, sedangkan yang meninggal ada 274
orang. Case Fatality Rate pada tahun tersebut sebesar 0,67%.13

BAB III
11

PENUTUP
A. KESIMPULAN:
1. Surveilans epidemiologi merupakan pengamatan terus menerus terhadap semua
aspek penyakit tertentu, baik keadaaan maupun penyebarannya dalam suatu
masyarakat tertentu untuk kepentingan pencegahan dan penanggulangannya.
2. Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh kuman
Salmonella typhi

yang menular melalui makanan dan minuman yang

terkontaminasi kuman tersebut.


3. Surveilans penyakit tifus abdominalis dilakukan secara berkala baik secara global
maupun di negara masing-masing untuk mengestimasi angka beban tifus
abdominalis sebagai dasar pertimbangan pengambilan kebijakan untuk mengatasi
permasalahan penyakit tersebut.
4. Di Indonesia, tifus abdominalis klinis termasuk dalam kelompok penyakit menular
di bawah Surveilans Terpadu Penyakit Menular

(STP) yang diatur dalam

Kepmenkes No 1479 tahun 2003 Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans


Epidemiologi Penyakit Menular dan Tidak Menular Terpadu.
5. Hasil surveilans tifus abdominalis terakhir di Indonesia dilaporkan dalam Rikesda
2007 menunjukkan bahwa prevalensi tifoid klinis nasional sebesar 1,6% (rentang:
0,3% - 3%). Dua belas provinsi mempunyai prevalensi di atas angka nasional
B. SARAN
1. Bagi Petugas Kesehatan
- Melakukan pencatatan dan pelaporan data lengkap dan rutin terhadap setiap
penyakit-penyakit yang ada di daerah baik itu pada penyakit menular dalam hal
ini tifus abdominalis yang berpotensi menimbulkan kejadian luar biasa sehingga
-

hasil kegiatan dari surveilans epidemiologi dapat ditindaklanjuti.


Terus melakukan upaya promotif kepada masyarakat mengenai pentingnya
imunisasi serta perilaku rumah tangga dalam mempraktikkan perilaku hidup
bersih dan sehat (PHBS) dalam upaya pencegahan permasalahan dan

peningkatan kesehatan masyarakat.


2. Bagi Masyarakat
Turut bekerja sama secara sadar dalam surveilans penyakit tertentu dengan cara
segera memeriksakan diri jika terdapat gejala yang bersangkutan dengan
penyakit dalam hal ini tifus abdominalis, untuk kelancaran surveilans dan pada

12

akhirnya bersama mendapatkan cara mencegah dan megatasi penyakit ini


berdasarkan data yang ada dalam upaya menyehatkan masyarakat Indonesia
pada umumnya dalam membentuk negara yang kuat secara fisik, mental, dan
sosial sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia melalui Pembangunan Nasional
-

yang berkesinambungan
Membantu melaporkan kepada petugas kesehatan atau pusat pelayanan
kesehatan bila menemukan masalah kesehatan di masyarakat setempat yang
berhubungan dengan penyakit tertentu dalam hal ini tifus abdominalis.

DAFTAR PUSTAKA

1. Nurbeti M, Kuntari T, Ghazali L. Ilmu Kesehatan Masyarakat Untuk Kompetensi


Dokter Umum. Universitas Islam Indonesia. 2012.
2. Yaszero. Sejarah Perkembangan Epidemiologi. 2011. Catatan Epidemiologi.
diunduh dari http://www.google.com/sejarah-perkembangan-epidemiologi_files
13

3. Budiart, Eko. Pengantar Epidemiologi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC:


2003. h54-7.
4. Widoyono. Penyakit

Tropis,

Epidemiologi,

Penularan,

Pemberantasan. Jakarta : Penerbit Erlangga: 2008.


5. Murti
B.
Pengantar
epidemiologi.

Pencegahan

Diunduh

dan

dari

http://fk.uns.ac.id/static/materi/Pengantar_Epidemiologi_Prof_Bhisma_Murti.pdf
Diakses 20 Juni 2013.
6. Widodo D. Demam Tifoid. Dalam: Sudoyo A, Setiohadi B, Alwi I, et al. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: 2007. h1752-7.
7. World Health Organization. Report of the Ad-hoc consultation on typhoid vaccine
introduction

and

typhoid

surveillance.

2011.

Diunduh

dari:

whqlibdoc.who.int/hq/2012/WHO_IVB_12.02_eng.pdf
Diakses 21 Juli 2013.
8. Crump JA, Luby SP, Mintz ED. The Global Burden of Typhoid Fever. Bulletin of
the World Health Organization. 2004; 82:346-353.
9. Centers for Disease Control and Prevention. National Tyhoid and Paratyphoid Fever
Surveillance

Annual

Summary.

2011.

Diunduh

dari:

http://www.cdc.gov/nationalsurveillance/typhoid_surveillance.html
Diakses 21 Juli 2013.
10. Ochiai RL, Acosta CJ, Danovaro-Holliday MC, et al. A Study Of Typhoid Fever In
Five Asian Countries: Disease Burden And Implications For Controls. 2004.
Diunduh dari: http://www.who.int/bulletin/volumes/86/4/06-039818/en/
Diakses 21 Juli 2013.
11. Keputusan Menteri Kesehatan No.1479 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem
Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular dan Tidak Menular Terpadu. Diunduh
dari:

http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes/KMK%20No.

%201479%20ttg%20Pedoman%20Peneyelenggaraan%20Sistem%20Surveilans
%20Epidemiologi%20Penyakit%20Menular%20Dan%20Penyakit%20Tidak
%20Menular%20Terpadu.pdf
Diakses 21 Juli 2013.
12. Riset

kesehatan

dasar

(Rikesdas)

2007.

Diunduh

dari:

http://www.scribd.com/doc/25886294/Riskesda-laporanNasional

14

Diakses 21 Juli 2013.


13. Profil

kesehatan

Indonesia

2011.

Diunduh

dari:

http://depkes.go.id/index.php/component/search/?
searchword=profil+kesehatan+2011&ordering=&searchphrase=all
Diakses 21 Juli 2013.

15

Anda mungkin juga menyukai