Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dispepsia adalah keluhan umum yang disampaikan oleh individu-individu
dalam suatu populasi umum yang mencari pertolongan medis. Dispepsia
merupakan kumpulan gejala berupa keluhan nyeri, perasaan tidak enak perut
bagian atas yang menetap atau episodik disertai dengan keluhan seperti rasa
penuh saat makan, cepat kenyang, kembung, sendawa, anoreksia, mual,
muntah,nyeri belakang sternum (heart burn), regurgitasi. Perubahan gaya hidup
dan pola konsumsi makanan menjadi salah satu penyebab terjadinya masalah
pencernaan. Dispepsia merupakan salah satu masalah pencernaan yang paling
umum ditemukan.
Berdasarkan penelitian pada populasi umum didapatkan bahwa 15-30%
orang dewasa pernah mengalami

hal ini dalam

beberapa hari. Prevalensi

kejadian dispepsia di Amerika Serikat, India, Hongkong, Australia, Cina cukup


tinggi dan 27% yang menderita dispepsia adalah remaja putri dan 16% remaja
putra (Dwijayanti, Ratnasari & Susetyowati 2008, dalam Susanti, 2011).
Berdasarkan gambaran morbiditas 10 penyakit terbesar pada pasien rawat
jalan di seluruh rumah

sakit di Indonesia tahun 2003, dispepsia menempati

peringkat ke 10 dengan proporsi 1,5%. Tahun 2004, dispepsia menempati urutan


ke 15 dari daftar 50 penyakit dengan pasien rawat inap terbanyak di Indonesia
dengan proporsi 1,3%. Data Ditjen Bina Yanmedik Depkes RI, dispepsia
termasuk dalam pola 10 penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah
sakit tahun 2006 berada pada urutan penyakit ke-10 dengan jumlah pasien
34.029 (1,52%).
Berdasarkan table 1 (lampiran). penyakit 5 tertinggi di puskesmas
malimongan baru dalam 3 tahun terakhir 2010 2012 adalah ISPA dengan jumlah
kasus 6015, Dermatitis 2838, Kelainan Periodental 2351, Dispepsia 2187, dan
Hipertensi 1963. Dispepsia berada pada urutan ke 4 terbanyak pada 3 tahun
1

terakhir. Dapat dilihat pada tahun 2010 tabel 2. (lampiran) dyspepsia berada pada
peringkat ke 8 dengan jumlah kasus 404, pada tahun 2011 dispepsia naik pada
urutan ke 5 dengan jumlah kasus 2491 tabel 3 (lampiran), dan pada tahun 2012
naik menjadi urutan ke 4 dengan jumlah kasus 3668 tabel 4. (lampiran) dapat
disimpulkan bahwa dispepsia setiap tahunnya mengalami peningkatan. Maka
dengan ini kami akan membahas lebih lanjut mengenai system survailans
penyakit dyspepsia. Survailans dyspepsia pada umumnya tidak jauh berbeda
dengan survailans penyakit lainnya. Surveilans epidemiologi dan dispepsia
meliputi kegiatan pengumpulan, pencatatan,

pengolahan dan penyajian data

penderita dispepsia, analisis data dan penyebarlusan informasi.


Adapun data yang dikumpulkan memuat informasi epidemiologis yang
dilaksanakan secara teratur dan terus-menerus dan dikumpulkan tepat waktu. Data
yang dikumpulkan bersumber dari rumah sakit, puskesmas dan lain-lain, maupun
aktif yang diperoleh dari kegiatan survei. Untuk mengumpulkan data diperlukan
sistem pencatatan dan pelaporan yang baik. Di puskesmas secara umum
pencatatannya ialah hasil kegiatan kunjungan pasien dan kegiatan luar gedung.
Informasi dari survailans dyspepsia kemudian akan didiseminasi, kemudian
menjadi bahan atau sumber informasi bagi pihak terkait lainnya, salah satunya
bagi stakeholder untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam pembuatan
kebijakan terkait dyspepsia. Oleh karena itu, system survailans harus dilakukan
dengan baik sehingga dapat menghasilkan data dan informasi yang baik.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Praktikum ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang
pelaksanaan survailans

dan distribusi serta situasi penyakit Dispepsia di

Puskesmas Malimongan Baru Kota Makassar tahun 2010-2012.


2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui distribusi penyakit Dispepsia menurut tempat


(place),orang (person) dan waktu (time) di Puskesmas Malimongan Baru
Kota Makassar tahun 2010-2012.
b. Untuk mengetahui gambaran proses pelaksanaan survailans yaitu
pengamatan, pencatatan, pengolahan dan analisis data, serta pelaporan
penyakit Dispepsia di Puskesmas Malimongan Baru Kota Makassar tahun
2010-2012.
c. Untuk mengetahui ketepatan waktu, simplicity, flexibility, acceptability,
sensifivity, predictive value positif, representatifiveness dan cost
effectiveness system survailans di Puskesmas Malimongan Baru Kota
Makassar tahun 2010-2012.
C. Manfaat
1. Manfaat Praktis
a. Hasil praktik ini sebagai bahan masukan bagi instansi terkait sehingga
dapat di jadikan sebagai dasar untuk program penanggulangan penyakit
Dispepsia.
b. Dapat di jadikan informasi bagi instansi Dinas Kesehatan Provinsi dan
Puskesmas untuk di jadikan sebagai bahan pertimbangan dalam penentuan
kebijakan pada pengembangan program pencegahan penyakit Dispepsia.
2. Manfaat Ilmiah
Hasil praktik ini di harapkan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan
dan merupakan bahan acuan serta pembanding bagi praktik survailans berikut.
3. Manfaat bagi Mahasiswa
Dapat melihat atau mengaplikasikan teori yang diperoleh di ruang
kuliah dengan melihat keadaan yang sebenarnya di lapangan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori Tentang Survailans di Puskesmas
1. Pengertian Survailans
Surveilans Epidemiologi dapat didefinisikan sebagai rangkaian
kegiatan yang sistematis dan berkesinambungan dalam pengumpulan, analisis,
3

interpretasi data dan penyampaian informasi dalam upaya menguraikan dan


memantau suatu penyakit/peristiwa kesehatan. surveilans epidemiologi
penyakit tidak menular merupakan analisis terus menerus dan sistematis
terhadap penyakit tidak menular dan faktor resiko untuk mendukung upaya
pemberantasan penyakit tidak menular.
Dalam hal ini setiap penyakit harus dilaporkan secara lengkap dan
tepat, yang meliputi keterangan mengenai orang (person), tempat (place) dan
waktu (time).tujuan surveilans epidemiologi adalah Mengetahui distribusi
geografis, penyakit-penyakit endemis & penyakit yang menimbulkan epidemi
misalnya Malaria, Gondok, kholera, Campak, dan lain-lain, serta mengetahui
periodisitas dan situasi penyakit-penyakit tertentu di suatu wilayah. Survailans
Epidemiologi umumnya dilakukan terhadap :
a. Penyakit yang dapat menimbulkan epidemic
b. Penyakit kronis
c. Penyakit endemis
d. Penyakit baru yang dapat menimbulkan masalah epidemiologis.
e. Penyakit yang dapat menimbulkan epidemi ulang.
2. Tujuan dan Manfaat Survailans
Tujuan dilakukannya survailans ialah untuk memperoleh informasi
epidemiologi penyakit tertentu dan terdistribusinya informasi tersebut kepada
program terkait, pusat-pusat kajian, dan pusat penelitian serta unit surveilans
lain. Dalam kaitannya dengan penyakit, manfaat kegiatan surveilans
epidemiologi adalah:
a. Dapat mendeteksi tanda-tanda adanya perubahan kecenderungan dari suatu
penyakit.
b. Mendeteksi adanya KLB.
c. Memperkirakan besarnya

suatu

kesakitan

atau

kematian yang

berhubungan dengan masalah yang sedang diamati.


d. Merangsang penelitian, untuk menentukan suatu tindakan penanggulangan
atau pencegahan.
e. Mengidentifikasikan faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian
suatu penyakit.
4

f. Memungkinkan seseorang untuk melakukan penilaian terhadap tindakan


penanggulangan.
g. Mengawali upaya untuk meningkatkan tindakan-tindakan praktek klinis
oleh petugas kesehatan yang terlibat dalam sistim surveilans.
3. Sumber data surveilans
Macam-macam sumber

data

dalam

surveilans

epidemiologi

(Kepmenkes RI No.1116/Menkes/SK/VIII/2003) :
a. Data kesakitan yang diperoleh dari pelayanan kesehatan.
b. Data kematian yang diperoleh dari pelayanan kesehatan serta laporan
kantor pemerintah dan masyarakat.
c. Data demografi yang diperoleh dari unit statistik kependudukan dan
d.
e.
f.
g.
h.

masyarakat
Data geografi dari unit unit meteorologi dan geofisika.
Data laboratorium dari unit pelayanan kesehatan dan masyarakat.
Data kondisi lingkungan yang diperoleh dari BMKG
Laporan wabah yang diperoleh dari pelayanan kesehatan.
Laporan penyelidikan wabah/KLB yang diperoleh dari pelayanan

i.

kesehatan.
Laporan hasil penyelidikan kasus perorangan yang diperoleh dari

j.

pelayanan kesehatan.
Studi epidemiology dan hasil penelitian lainnya yang diperoleh dari

pelayanan kesehatan dan juga independen.


k. Data hewan dan vektor sumber penular penyakit yang diperoleh dari
l.

pelayanan kesehatan dan masyarakat.


Laporan kondisi pangan dari dinas terkait.

4. Atribut Survailans
Dalam menilai suatu sistem surveilans digunakan atribut-atribut
sebagai berikut:
a. Kesederhanaan (Simplicity)
Kesederhanaan suatu sistem surveilans mencakup kesederhanaan
struktur dan kemudahan pengoperasionnya yang dapat dilihat dari diagram
alur informasi dan umpan balik dalam suatu sistem surveilans. Ukuran
kesederhanaan suatu surveilans antara lain dapat dinilai melalui ukuran
ukuran sebagai berikut :
5

1) Jumlah dan jenis informasi untuk menegakkan diagnose


2) Jumlah dan jenis pelaporan
3) Caracara untuk mengirim data/informasi
4) Jumlah institusi yang terlibat dalam system
b. Fleksibilitas (Flexibility)
Suatu sistem surveilans yang fleksibel dapat menyesuaikan diri
dengan perubahan informasi yang dibutuhkan atau situasi pelaksanaan
tanpa disertai peningkatan yang berarti akan kebutuhan biaya, tenaga dan
waktu. Sistem yang fleksibel dapat menerima, misalnya penyakit dan
masalah kesehatan yang baru diidentifikasikan, perubahan definisi kasus,
dan variasivariasi dari sumber pelaporan. Fleksibilitas ditentukan secara
retrospektif dengan mengamati bagaimana suatu sistem dapat memenuhi
kebutuhankebutuhan baru. Fleksibilitas sulit dinilai apabila sebelumnya
tidak ada upaya untuk menyesuaikan sistem tersebut dengan masalah
kesehatan lain.
c. Akseptabilitas (Acceptability)
Akseptabilitas menggambarkan kemauan seseorang atau organisasi
untuk

berpartisipasi

dalam

melaksanakan/

memanfaatkan

sistem

surveilans. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi aksepabilitas dari


suatu sistem adalah :
1) Pentingnya suatu masalah kesehatan
2) Pengakuan dari sistem terhadap kontribusi individual
3) Tingkat responsif dari sistem terhadap saransaran dan komentar
4) Waktu yang diperlukan dibandingkan dengan waktu yang tersedia
5) Keterbatasan yang diakibatkan oleh adanya peraturanperaturan baik
di tingkat pusat maupun daerah dalam hal pengumpulan data dan
jaminan kerahasian data.
6) Kewajiban untuk melaporkan suatu peristiwa kesehatan sesuai dengan
peraturan di daerah maupun pusat.
d. Sensitifitas (Sensitivity)
Sensitifitas suatu sistem surveilans dapat dilihat pada dua
tingkatan. Pertama, pada tingkat pengumpulan data yaitu proporsi kasus
dari suatu penyakit yang dideteksi oleh sistem surveilans. Kedua, sistem
6

dapat dinilai akan kemampuannya mendeteksi KLB. Sensitifitas


dipengaruhi oleh kemungkinankemungkinan berikut :
a) Orangorang dengan penyakit tertentu yang mencari upaya kesehatan
b) Penyakitpenyakit yang akan didiagnosis, yang menggambarkan
ketrampilan petugas kesehatan dan sensitifitas dari tes diagnostik.
c) Kasus yang akan dilaporkan dalam sistem, untuk diagnosis tertentu
e. Nilai Prediksi Positif (Predictive Value Positive)
Nilai prediksi positif adalah proporsi dari populasi yang
diidentifikasikan sebagai kasus oleh suatu sistem surveilans dan
kenyataannya memang kasus. Nilai prediktif positif (NPP) sangat penting
karena nilai NPP yang rendah berarti :
1) Kasus yang telah dilacak sebenarnya bukan kasus
2) Telah terjadi ksalahan dalam mengidentifikasikan KLB
f. Kerepresentatifan (Representativeness)
Suatu sistem surveilans yang representatif akan menggambarkan
secara akurat :
1) Kejadian dari suatu peristiwa kesehatan dalam periode waktu tertentu
2) Distribusi peristiwa tersebut dalam masyarakat menurut tempat dan
orang
g. Ketepatan waktu (Timeliness)
Ketepatan waktu menggambarkan kecepatan atau kelambatan
diantara langkahlangkah dalam suatu sistem surveilans, misalnya waktu
yang diperlukan untuk mengidentifikasi trend, KLB atau hasil dari
tindakan penanggulangan. Untuk penyakit penyakit akut biasanya dipakai
waktu timbulnya gejala atau waktu pemaparan.
5. Evaluasi Sistem Survailans
Evaluasi sistem survailans digunakan untuk mancapai tujuan maka
setiap pedoman evaluasi harus fleksibel yaitu pedoman yang menguraikan
berbagai upaya yang dapat

diterapkan untuk system survailns. Tujuan

evaluasi sistem surveilans kesehatan

masyarakat adalah untuk menjamin

bahwa pentingnya masalah kesehatan masyarakat untuk dimonitoring atau


dipantau secara efektif dan efisien. Sistem surveilans kesehatan masyarakat
harus dievaluasi secara periodik dan evaluasinya meliputi rekomendasi untuk
7

memperbaiki kualitas, efisiensi, dan pemanfaatan. Evaluasi sistem surveilans


kesehatan masyarakat berfokus pada bagaimana sebaiknya

pengoperasian

sistem mencapai tujuannya.


B. Tinjauan Tentang Survailans Epidemiologi Dispepsia
1. Pengumpulan/Pencatatan Kejadian Dispepsia
Secara umum pencatatan di puskesmas berupa dari hasil kegiatan
kunjungan pasien dan kegiatan luar gedung. Mekanisme pencatatan di
Puskesmas, pada prinsipnya pasien yang berkunjung pertama kali atau
kunjungan ulang ke puskesmas harus melalui loket untuk mendapatkan Kartu
Tanda Pengenal atau mengambil berkasnya dari pertugas loket.
2. Sumber Data Survailans Dispepsia
Penatalaksanaan survailans dispepsia berbasis pada kesehatan
masyarakat (public health) didahului oleh pengumpulan data dan informasi.
Merujuk pada kebijakan yang ada, data dan informasi yang dibutuhkan adalah
yang berhubungan dengan kesakitan, kematian serta faktor risiko. Beberapa
sumber data dan informasi yang dapat menjadi acuan antara lain adalah dari
SURKESNAS, SKRT, SP2RS, RR puskesmas.
3. Pengolahan dan Analisis Data
Unit surveilans Puskesmas mengumpulkan dan mengolah data STPPus (Survailans Terpadu Penyakit Puskesmas) harian bersumber dari register
rawat jalan di Puskesmas dan Puskesmas Pembantu, tidak termasuk data dari
unit pelayanan bukan puskesmas dan kader kesehatan. Pengumpulan dan
pengolahan data tersebut dimanfaatkan untuk bahan analisis dan rekomendasi
tindak lanjut serta distribusi data.
Unit surveilans Puskesmas melaksanakan analisis bulanan terhadap
dispepsia di daerahnya dalam bentuk tabel menurut kelurahan dan grafik
kecenderungan penyakit mingguan, jika sudah tiga kali kunjungan
dimasukkan kedalam kasus lama, kemudian menginformasikan hasilnya
kepada Kepala Puskesmas, sebagai pelaksanaan pemantauan wilayah
8

setempat (PWS) atau sistem kewaspadaan dini dispepsia di Puskesmas.


Apabila ditemukan adanya kecenderungan peningkatan jumlah penderita
dispepsia, maka Kepala Puskesmas melakukan penyelidikan epidemiologi dan
menginformasikan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sebulan sekali.
Unit surveilans Puskesmas melaksanakan analisis tahunan
perkembangan dispepsia dan menghubungkannya dengan faktor risiko,
perubahan lingkungan, serta perencanaan dan keberhasilan program.
Puskesmas memanfaatkan hasilnya sebagai bahan profil tahunan, bahan
perencanaan Puskesmas, informasi program dan sektor terkait serta Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota.
4. Sistem Pelaporan
System pelaporan

dari

Puskesmas

ke

Dinas

Kesehatan

Kabupaten/Kota ini menggunakan formulir standar yang sudah ada. Setiap


bulan paling lambat tanggal 10 telah terkirimkan. Dan di Dinkes
Kabupaten/Kota ke Propinsi/Pusat dalam disket hasil entry datal rekapitulasi
frekuensi laporan triwulan dikirimkan paling lambat tanggal 20 bulan
berikutnya ke Dinkes propinsi I Direktorat Jenderal PP dan PL Depkes RI.
5. Diseminasi
Disamping menghasilkan informasi untuk pihak puskesmas dan DKK,
informasi juga harus disebarluaskan kepada stakeholder yang lain seperti
Camat dan lurah, lembaga swadaya masyarakat, Pokja/Pokjanal dan lain-lain.
Penyabarluasan informasi dapat berbentuk laporan rutin mingguan wabah
(W2) dan laporan insidentil bila terjadi KLB (W1)
C. Teori Tentang Dispepsia
1. Pengertian Dispepsia
Dispepsia berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys- (buruk) dan -peptein
(pencernaan).
digunakan

Dispepsia atau indigesti merupakan istilah yang sering

untuk

menjelaskan gejala yang umumnya dirasakan sebagai

gangguan perut bagian atas (Harrison, 1999). Berdasarkan konsensus


9

International Panel of Clinical Investigators, dispepsia didefinisikan sebagai


rasa nyeri atau tidak nyaman yang terutama dirasakan di daerah perut
bagian atas, sedangkan menurut Kriteria Roma III terbaru,

dispepsia

fungsional didefinisikan sebagai sindrom yang mencakup satu atau lebih dari
gejala-gejala berikut: perasaan perut penuh setelah makan, cepat kenyang,
atau rasa terbakar di ulu hati, yang berlangsung sedikitnya dalam tiga bulan
terakhir, dengan awal mula gejala sedikitnya timbul enam bulan sebelum
diagnosis.
Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari
rasa tidak enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami
kekambuhan. Dispepsia juga diartikan sebagai kumpulan gejala atau sindrom
yang terdiri dari nyeri ulu hati, mual, kembung, muntah, rasa penuh atau cepat
kenyang, dan sendawa. (Djojoningrat, 2001).
Dispepsia merupakan keluhan umum yang dalam waktu tertentu
dapat dialami oleh seseorang. Berdasarkan penelitian pada populasi umum
didapatkan bahwa 15-30% orang dewasa pernah mengalami hal ini dalam
beberapa hari. Prevalensi kejadian dispepsia di Amerika Serikat, India,
Hongkong, Australia, Cina cukup tinggi dan 27% yang menderita dispepsia
adalah remaja putri dan 16% remaja putra (Dwijayanti, Ratnasari &
Susetyowati 2008, dalam Susanti, 2011).

2. Klasifikasi Dispepsia
Dispepsia terbagi atas dua subklasifikasi, yakni dispepsia organik dan
dispepsia fungsional. Disebut dispepsia organik jika telah diketahui adanya
kelainan organik sebagai penyebabnya, sedangkan dispepsia fungsional atau
nonorganik jika tidak jelas penyebabnya (Mansjoer, 2001).
Lebih lanjut dijelaskan oleh Davidson (1975) bahwa dispepsia dapat
muncul meskipun tidak ada perubahan structural pada saluran cerna, yang
biasanya dikenal sebagai fungsional dan gejalanya dapat berasal dari
10

psikologis ataupun akibat intoleransi terhadap makanan tertentu. Disisi lain,


dispepsia dapat merupakan gejala dari gangguan organik pada saluran cerna,
dan juga dapat disebabkan oleh gangguan disekitar saluran cerna misalnya
pancreas, kandung empedu, dan sebagainya.
3. Etiologi Dispepsia
Penyebab dispepsia bersifat multifaktoral. Menurut Annisa (2009,
dikutip dari Djojoroningrat, 2001), penyebab timbulnya dispepsia diantaranya
karena faktor diet dan lingkungan, sekresi
motorik lambung, persepsi viseral

cairan asam lambung, fungsi

lambung, psikologi dan infeksi

Helicobacter pylori. Menurut Susanti (2011), sindroma dispepsia dipengaruhi


oleh

tingkat stres, makanan dan minuman iritatif dan riwayat penyakit

(gastritis dan ulkus peptikum). Kebiasaan mengkonsumsi makanan dan


minuman, seperti makan pedas, asam, minum teh, kopi, dan minuman
berkarbonasi dapat meningkatkan resiko munculnya gejala dispepsia.
Sebagai suatu gejala atau kumpulan gejala, dispepsia disebabkan oleh
berbagai penyakit, baik yang bersifat organic seperti tukak peptic, gastritis,
pankreatitis, kolesistitis dan lainnya, maupun yang bersifat fungsional.
Berikut ialah beberapa penyebab dispepsia (Djojoningrat, 2001):
Tabel 5. Penyebab Dispepsia
Dalam lumen saluran cerna
- Tukak Peptik
- Gastritis
- Keganasan
Gastroparesis
Obat-obatan
-

Anti inflamasi non steroid


Teofilin
Digitalis
Antibiotik

Pankreas
- Pankreatitis
- Keganasan
Keadaan sistemik
-

Diabetes mellitus
Penyakit tiroid
Gagal ginjal
Kehamilan
Penyakit Jantung iskemik

Gangguan fungsional
- Dispepsia fungsional

Hepato-bilier
11

Hepatitis
- Sindrom kolon iritatif
Kolesistitis
Kolestiasis
Keganasan
- Disfungsi sphincter Odii
Sumber: Buku Ilmu Penyakit Dalam 2011
4. Patofisiologi Dispepsia
Dari sudut pandang patofisiologis, proses yang paling banyak
dibicarakan dan potensial berhubungan dengan dispepsia fungsional adalah
hipersekresi asam lambung, infeksi Helicobacter pylori, dismotilitas
gastrointestinal, dan hipersensitivitas viseral.
a. Sekresi asam lambung
Kasus dispepsia fungsional, umumnya mempunya tingkat sekresi
asam lambung, baik sekresi basal atau dengan stimulasi pentagastrin yang
rata-rata normal. Terjadinya peningkatan sensitivitas mukosa lambung
terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak di perut.
b. Infeksi Helicobacter pylori (Hp)
Korelasi

Hp

sebagai

faktor

penyebab

dyspepsia

masih

diperdebatkan. Dari berbagai laporan, kekerapan Hp terhadap dyspepsia


fungsional sekitar 50% dan tidak berbeda makna dengan populasi Hp pada
kelompok orang normal.
c. Dismotilitas gastrointestinal
Pada kasus dispepsia fungsional terjadi perlambatan pengosongan
lambung dan adanya hipomotilitas antrum sampai 50% kasus, harus
dimengerti bahwa proses motilitas gastrointestinal merupakan proses yang
sangat kompleks, sehingga gangguan pengosongan lambung tidak dapat
mutlak menjadi penyebab dispepsia.
d. Hipersensitivitas Visceral
Dispepsia memiliki hipersensitivitas visceral terhadap distensi
balon di gaster atau duodenum. Mekanisme lebih lanjut belum diketahui.
Penelitian menggunakan balon intragastrik mendapatkan hasil 50%
12

populasi dengan dispepsia fungsional timbul rasa nyeri atau tidak nyaman
di perut pada inflansi balon dengan volume yang lebih rendah
dibandingkan dengan volume yang menimbulkan nyeri pada populasi
kontrol.
e. Diet dan lingkungan
Berbagai jenis makanan dilaporkan oleh pasien sebagai hal yang
mencetuskan serangan dyspepsia antara lain asinan, kopi, alcohol,
makanan berlemak dan pedas dan lain-lain. Intoleransi makanan
dilaporkan lebih sering terjadi pada kasus dispepsia fungsional dibanding
kasus control.

f. Psikologi
Adanya stres akut dapat memengaruhi fungsi gastrointestinal dan
mencetuskan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan
kontraktilitas lambung yang mendahului keluhan mual setelah pemberian
stimulus berupa stres. Kontroversi masih banyak ditemukan pada upaya
menghubungkan faktor psikologis stres kehidupan, fungsi autonom, dan
motilitas.
5. Simptompatologi Dispepsia
Dispepsia bukanlah sebuah penyakit, melainkan kumpulan gejala
akibat masalah pencernaan yang buruk. Gejala yang timbul pada dispepsia
diantaranya adalah

mual

yang merupakan gejala yang dominan terjadi

setelah gejala nyeri. Dispepsia sering terjadi karena adanya hipersekresi asam
lambung yang menyebabkan meningkatnya asam lambung menyebabkan rasa
tidak enak pada perut berupa rasa mual Sehingga gejala yang ditimbulkan
dispepsia antara lain:
a. Rasa tidak enak/sakit di perut bagian atas
b. Rasa panas pada dada dan perut
13

c.
d.
e.
f.
g.
h.

Nyeri ulu hati,


Mual,
Kembung,
Muntah,
Rasa penuh atau cepat kenyang, dan
Sendawa.

6. Epidemiologi Dispepsia
a. Distribusi menurut orang
1) Umur
Dispepsia terdapat pada semua golongan umur dan yang paling
beresiko adalah diatas umur 45 tahun. Penelitian yang dilakukan di
Inggris ditemukan frekuensi anti Helicobacter pylori pada anak-anak
di bawah 15 tahun kira-kira 5% dan meningkat bertahap antara 50%75% pada populasi di atas umur 50 tahun. Di Indonesia, prevalensi
Helicobacter pylori pada orang dewasa antara lain di Jakarta 40-57%
dan di Mataram 51%-66%.
2) Jenis Kelamin
Kejadian dispepsia lebih banyak diderita perempuan daripada
laki-laki. Perbandingan insidennya 2 : 1.5 Penelitian yang dilakukan
Tarigan di RSUP. Adam Malik tahun 2001, diperoleh penderita
dispepsia fungsional laki-laki sebanyak 9 orang (40,9%) dan
perempuan sebanyak 13 orang (59,1%).
3) Etnik
Di

Amerika,

prevalensi

dispepsia

meningkat

dengan

bertambahnya usia, lebih tinggi pada kelompok kulit hitam


dibandingkan kelompok kulit putih. Di kalangan Aborigin frekuensi
infeksi Helicobacter pylori lebih rendah dibandingkan kelompok kulit
putih, walaupun kondisi hygiene dan sanitasi jelek. Penelitian yang
dilakukan Tarigan di Poliklinik penyakit dalam sub bagian
gastroenterology RSUPH. Adam Malik Medan tahun 2001, diperoleh
14

proporsi dispepsia fungsional pada suku Batak 10 orang (45,5%), Karo


6 orang (27,3%), Jawa 4 orang (18,2%), Mandailing 1 orang (4,5%)
dan Melayu 1 orang (4,5%). Pada kelompok dispepsia organik, suku
Batak 16 orang (72,7%), Karo 3 orang (13,6%), Nias 1 orang (4,5%)
dan Cina 1 orang (4,5%).
4) Golongan Darah
Golongan darah yang paling tinggi beresiko adalah golongan
darah O yang berkaitan dengan terinfeksi bakteri Helicobacter pylori.
b. Distribusi Menurut Tempat
Penyebaran dispepsia pada umumnya pada lingkungan yang padat
penduduknya, sosioekonomi yang rendah dan banyak terjadi pada negara
yang sedang berkembang dibandingkan pada negara maju. Di negara
berkembang diperkirakan 10% anak berusia 2-8 tahun terinfeksi
setiaptahunnya sedangkan di negara maju kurang dari 1%.
c. Distribusi Menurut Waktu
Penyakit dispepsia paling sering ditemukan pada bulan Ramadhan
bagi yang memjalankan puasa. Penelitian di Turki pada tahun 1994,
ditemukan terjadi peningkatan kasus dengan komplikasi tukak selama
bulan ramadhan dibandingkan bulan lain. Penelitian di Paris tahun 1994
yang melibatkan 13 sukarelawan yang melaksanakan ibadah puasa
membuktikan adanya peningkatan asam lambung dan pengeluaran pepsin
selama berpuasa dan kembali ke kadar normal setelah puasa ramadhan
selesai.
7. Pencegahan Dispepsia
Secara umum, untuk mencegah terjadinya dyspepsia ialah dengan
mengatur pola hidup yang baik, antara lain:

15

a. Hindari makanan yang memicu dispepsia, seperti makanan berlemak dan


pedas, minuman berkarbonasi, kafein dan alkohol.
b. Hindari merokok
c. Menjaga berat badan. Kelebihan berat badan meningkatkan tekanan pada
abdomen, mendorong perut dan menyebabkan asam kembali ke
esophagus.
d. Olahraga secara teratur dan ringan. Aktivitas fisik selama 30-60 menit
setiap hari dalam seminggu. Dapat juga dilakukan dengan sederhana
seperti berjalan-jalan pada malam hari setelah makan. Jangan berbaring
secara tiba-tiba setelah makan.
e. Kelola stres. Ciptakan suasana tenang pada waktu makan. Melatih teknik
relaksasi seperti mengambil napas dalam, meditasi atau yoga. Habiskan
waktu mengerjakan sesuatu yang menyenangkan. Faktor psikis dan emosi
dapat mempengaruhi fungsi saluran cerna dan mengakibatkan perubahan
sekresi asam lambung, mempengaruhi mobilitas dan vaskuoarisasi muksa
lambung serta menurunkan ambang rangsang nyeri.

8. Pengobatan Dispepsia
Untuk penanganan dyspepsia diperlukan anamnesis yang baik,
pemeriksaan fisis yang akurat serta pemeriksaan penunjang untuk menekslusi
penyakit organic/structural. Pedoman terbaru pengelolaan uninvestigated
dyspepsia merekomendasikan pemeriksaan

Helicobacter pylori dilakukan

terlebih dahulu sebelum dilakukan pengobatan terhadap infeksi tersebut.


American College of Gastroenterology Guidelines for the
Management of Dyspepsia (2005), mengemukakan pentingnya mendeteksi
tanda-tanda bahaya (alarming features) pada

pasien dengan keluhan

dispepsia. Apabila didapatkan tanda-tanda bahaya (seperti gejala dispepsia


16

yang baru muncul pada usia lebih dari 55 tahun, penurunan berat badan yang
tidak

dapat dijelaskan sebabnya, anoreksia, rasa cepat kenyang, muntah,

disfagia progresif, odinofagia, perdarahan, anemia, ikterus, massa abdomen,


pembesaran kelenjar limfe, riwayat keluarga dengan kanker saluran cerna
atas, ulkus peptikum, pembedahan lambung, dan keganasan), tindakan
esofagogastroduodenoskopi (endoskopi) untuk keperluan diagnostik sangat
dianjurkan.
Namun, jika tidak terjadi tanda-tanda berbahaya tersebut maka yang
dapat dilakukan ialah tes serologi Hp (Helicobacter pylori) untuk mendeteksi
ada tidaknya infeksi Hp tersebut, dan diberikan pengobatan empiris sebagai
berikut:
a. Obat-obatan
Beberapa golongan obat untuk mengatasi dispepsia antara lain
(Mansjoer, 2001):
1) Antacid 20-150ml/hari, antacid berfungsi untuk menetralkan sekresi
asam lambung. Namun, pemakaian antacid tidak dinajurkan secara
terus-menerus, sifatnya hanya simtomatis untuk mengurangi rasa
nyeri. Penggunaan dosis besar dapat menyebabkan diare.
2) Antikolinergik, kerja antikolinergik tidak sepesifik. Obat yang bekerja
sepesifik dan selektif adalah pirenzepin untuk menekan sekresi asam
lambung.
3) Antagonis reseptor H2, Obat ini banyak digunakan untuk mengatasi
dispepsia organic. Contoh obat yang tergolong antagonis reseptor H2
adalah simetidin, roksatidin, ranitidine dan famotidine.
4) Penghambat pompa asam (Proton Pump Inhibition/PPI), golongan
obat ini menghambat sekresi asam lambung pada stadium akhir dari
proses sekresi asam lambung. Obat termasuk dalam golongan ini
adalah omeperazol, lansoprazol dan pantoprazole.
5) Sitroprotektif, obat yang tergolong sitroprotektif ialah prostaglandin
sintetik seperti misoprosol dan eprostil, selain bersifat sitoprotektif
juga dapat menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal. Sukralfat
17

berfungsi menekan sekresi prostaglandin endogen, yang selanjutnya


memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mucus dan
meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan
protektif yang bersenyawa dengan protein sekitar lesi mukosa saluran
cerna bagian atas.
6) Golongan prokinetik,

antara

lain

sisaprid,

domperidon

dan

metoklopramid. Obat golongan ini efektif untuk mengobati dispepsia


fungsional dan refluks esofangitis dengan mencegah refluks dan
memperbaiki bersihan asam lambung.
b. Modifikasi pola hidup
Untuk kasus dispepsia fungsional maka modifikasi pola hidup
dengan melakukan program diet menjadi salah satu cara pengobatan
dengan menghindari makanan yang dirasa sebagai faktor pencetus. Pola
diet yang dapat dilakukan seperti makan dengan porsi kecil tetapi sering,
makan rendah lemak, kurangi atau hindari minuma-minuman spesifik
seperti: kopi, alcohol, makanan pedas dan lain-lain.

BAB III
18

METODOLOGI
A. Jenis Pengamatan
Jenis pengamatan yang dilakukan pada survailans ini yaitu jenis
pengamatan deskriptif. Pengamatan deskriptif merupakan pengamatan yang
bertujuan untuk menggambarkan frekuensi dan distribusi kejadian Dispepsia.
B. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang dikumpulkan dalam praktik survailans penyakit dispepsia
adalah:
1. Data Primer
Data yang dikumpulkan dan diolah sendiri, yang dapat diperoleh dari
wawancara langsung terhadap petugas survailans untuk mendapatkan
informasi mengenai pelaksanaan survailans penyakit dispepsia di Puskesmas
Malimongan baru Kota Makassar tahun 2010-2012.
2. Data Sekunder
Data yang diperoleh dari Puskesmas, meliputi data dari Sistem
Pencatatan dan Pelaporan Terpadu Puskesams (SP2TP) mengenai kejadian
dispepsia serta data yang berasal dari pencatatan Puskesmas Malimngan Baru
tahun 2010-2012. Selain data yang diperoleh dari Puskesmas, data-data
lainnya yang diperoleh dari hasil penelusuran internet, mengenai informasiinformasi yang berkaitan dengan kejadian dispepsia, baik mengenai angka
kesakitan serta kematian akibat penyakit tersebut. Data-data yang diperoleh
dari Puskesmas kemudian ditabulasi sehingga menjadi lebih informatif.
Adapun sumber data yang akan digunakan antara lain dari Sistem
Pencatatan dan Pelaporan Terpadu Puskesams (SP2TP) mengenai angka
kejadian dispepsia serta data yang berasal dari pencatatan khusus dan laporan
bulanan data kesakitan (LB1) di Puskesmas Malimongan Baru Kota
Makassar.
C. Sampel dan Informan
1. Sampel
19

Sampel pada praktik survailans ini adalah data penderita dispepsia


yang diperoleh dari hasil pencatatan dan pelaporan di Puskesmas Malimongan
Baru Kota Makassar tahun 2010, 2011 hingga 2012.
2. Informan
Informan pada kegiatan praktikum survailans ini adalah petugas
survailans yang bekerja di Puskesmas Malimongan baru Kota Makassar.
D. Teknik Pengumpulan Data
Data dikumpulkan melalui observasi, wawancara terhadap petugas
survailans dan infomasi dari profil Puskesmas Malimongan baru Kota Makassar
2010-2012 yang selanjutnya dikompilasi.
E. Pengolahan Data
Pengolahan

data

akan

dilakukan

secara

komputerisasi

dengan

menggunakan program Microsoft excel dan program SPSS. Adapun hasil


pengolahan akan ditampilkan dalam bentuk tabel, grafik dan narasi.
F. Analisis Data
Data yang telah diolah akan dianalisis secara univariat (deskripitif) untuk
mengetahui gambaran distribusi dan permasalahan survaeilans dispepsia di
Puskesmas Malimongan baru Kota Makassar tahun 2010-2012. Hasil dari analisis
data selanjutnya akan disajikan dalam bentuk tabel, grafik dan narasi yang
menjelaskan kejadian dispepsia yang dihubungkan dengan waktu, tempat, dan
orang. Distibusi menurut umur, tempat, waktu dan angka kematian akibat
dispepsia akan disajikan dalam bentuk tabel frekuensi yang kemudian akan
disajikan dalam bentuk grafik.
G. Waktu dan Lokasi Pengamatan
Pelaksanaan praktik survailans dilakukan pada tanggal 17 September 2013
yaitu melakukan pengambilan data mengenai 5 penyakit tertinggi di Puskesmas
20

Malimongan baru Kota Makassar pada tahun 2010, 2011 dan 2012. Kemudian
pada tanggal dan 5 Oktober 2013 untuk mengetahui system survailans di
Puskesmas Malimongan Baru Kota Makassar.
Pelaksanaan praktik survailans selanjutnya dilaksanakan mulai pada
tanggal 21 Oktober hingga 8 November 2013 untuk mendapatkan informasi
tentang pelaksanaan survailans penyakit dispepsia selama tiga tahun terakhir
yakni 2010,2011 dan 2012 melalui wawancara dan observasi. Lokasi pelaksanaan
praktik survailans ini dilaksanakan di Puskesmas Malimongan baru Kota
Makassar yang bertempat di Jl. Sultan Dg. Raja No.32 Kel. Malimongan Baru
Kec. Bontoala.

Pelaksanaan praktik survailans dilakukan sebanyak enam kali

turun lapangan sesuai dengan rencana kegiatan dan pedoman wawancara yang
terlampir.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN\
A. Gambaran Umum Lokasi
1. Kondisi Geografi
2. Kondisi Demografi
3. Data Ketenagaan
B. Gambaran Epidemiologi Penyakit Dispepsia Tahun 2010-2012
1. Distribusi Menurut Orang
a. Menurut Umur
b. Menurut Jenis Kelamin
2. Distribusi Menurut Tempat
3. Distribusi Menurut Waktu
21

C. Gambaran Pelaksanaan Survailans Epidemiologi di Puskesmas Malimongan


Baru
1. Pengumpulan Data
Pelaksanaan pengumpulan data penyakit dyspepsia di Puskesmas
Malimongan Baru dilakukan oleh petugas bagian poli umum dengan
menggunakan buku register poli , adapun dalam pengumpulan data yang
dilakukan tidak terdapat petugas khusus untuk penyakit dyspepsia.
Pengumpulan data mengenai penyakit dyspepsia ini dilakukan secara pasif
sesuai dengan alur pelayanan di Puskesmas Malimongan Baru yaitu mulai
dari pasien datang, menuju ke loket kartu lalu diperiksa di bagian poli umum.
Sedangkan untuk pengumpulan data secara aktif tidak pernah dilakukan
karena dyspepsia bukan merupakan penyakit yang berpotensi mengakibatkan
terjadinya wabah.
2. Pencatatan Data
Pencatatan data penyakit dispepsia yang dilakukan di Puskesmas
Malimongan Baru dilakukan oleh petugas poli umum dan tidak ada format
khusus untuk penyakit dyspepsia, semua sama pada buku register yaitu
memuat hal-hal seperti nomor index, nama kepala keluarga, nama pasien,
jenis kelamin pasien, umur pasien, alamat pasien, diagnose, terapi atau
pengobatan dan keterangan.
3. Pengolahan Data
Pengolahan data penyakit dyspepsia yang dilakukan di Puskesmas
Malimngan Baru dilakukan oleh petugas poli umum dan diolah secara manual
dan komputerisasi untuk menampilkan hasil pengolahan data dalam bentuk
tabel dan grafik.
4. Analisis dan Interpretasi Data
Analisis dan interpretasi data penyakit di Puskesmas Malimongan
Baru dilakukan oleh petugas poli umum. Adapun data yang dianalisis hanya
menggunakan variabel waktu (bulan dan tahun) untuk memperoleh gambaran
peningkatan dan penurunan jumlah penyakit di Puskesmas Malimongan Baru
5. Penyebarluasan Data/Pelaporan
22

Penyebarluasan/Pelaporan data penyakit di Puskesmas Malimongan


Baru dilaporkan sebelum tanggal 5 ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Tetapi untuk data penyakit dyspepsia tidak dilaporkan ke Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota karena tidak ada pencatatan khusus untuk penyakit tersebut
yang dikatakan tidak berpotensi menimbulkan wabah.
6. Evaluasi
Evaluasi di Puskesmas Malimongan Baru dilakukan melalui presentasi
triwulan, dan dilakukan dalam bentuk pemaparan hasil monitoring kegiatan.

D. Gambaran Evaluasi Atribut Sistem Survailans


1. Kesederhanaan
Dari hasil praktik yang dilakukan, diketahui bahwa di Puskesmas
Malimongan Baru memiliki instrument pengumpulan data yang mudah
dipahami dalam pelaksanaannya karena dapat dilihat melalui buku registrasi
di poli umum, dimana diagnose dilakukan oleh dokter umum serta jenis
laporan yang digunakan untuk penyakit dyspepsia hanya hasil diagnose dan
tidak ada laporan bulanan khusus.
2. Fleksibilitas
Dalam system survailans di Puskesmas Malimngan Baru tidak pernah
dilakukan perubahan format laopran sehingga tidak ada kesulitan dalam
menyesuaiakan diri dengan format laporan.
3. Akseptabilitas
Partisipasi penderita dyspepsia dalam pelaksanaan system survailans
memiliki respon yang baik terhadap petugas poli umum dalam memberikan
data yang lengkap dan akurat mengenai biodata penderita dan keluarga serta
pertanyaan 5W +1H mengenai penyakit yang diderita. Adapun mengenai
respon dari organisasi dalam pelaksanaan survailans penyakit dyspepsia
sampai saat ini tidak ada.
4. Sensivitas
Dalam pelaksanaan survailans penyakit dyspepsia hanya dilakukan
secara umum, tidak ada perincian berdasarkan klasifikasinya. Perincian hanya
23

dilakukan menurut waktu, tidak dirincikan berdasarkan umur, jenis kelamin


dan alamat.
5. Nilai Prediktif Positif
Melalui system survailans penyakit dyspepsia maka dapat terlihat
terjadinya peningkatan kasus dyspepsia. Adapun tindakan pencegahan yang
dilakukan oleh petugas Puskesmas Malimongan Baru jika terjadi peningkatan
kasus ialah melalui penyuluhan tentang pola makan yang baik kepada
masyarakat.
6. Kerepresentatifan
System pelaporan survailans epidemiologi penyakit dyspepsia di
Puskesmas Malimongan Baru hanya diuraikan berdasarkan waktu (bulan dan
tahun), tidak diurakan berdasarkan orang dan tempat.
7. Ketepatan Waktu
Laporan survailans epidemiologi Puskesmas Malimongan Baru
disampaikan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota setiap bulan, sebelum
tanggal 5. Namun, untuk penyakit dyspepsia tidak dilaporkan hingga ke Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota.
E. Pembahasan
1. Gambaran Epidemiologi Penyakit Dispepsia Tahun 2010-2012
a. Distribusi Menurut Orang
Menurut Umur
Menurut Jenis Kelamin
b. Distribusi Menurut Tempat
c. Distribusi Menurut Waktu
2. Gambaran Pelaksanaan Survailans Epidemiologi di Puskesmas Malimongan
Baru
a. Pengumpulan Data
b. Pencatatan Data
c. Pengolahan Data
d. Analisis dan Interpretasi Data
e. Penyebarluasan Data/Pelaporan
f. Evaluasi
3. GambaranEvaluasi Atribut Sistem Survailans
a. Kesederhanaan
b. Fleksibilitas
c. Akseptabilitas
24

d.
e.
f.
g.

Sensivitas
Nilai Prediktif Positif
Kerepresentatifan
Ketepatan Waktu
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
Annisa. (2009). Hubungan Ketidakteraturan Makan Dengan Sindroma Dispepsia
Remaja Perempuan di SMA Plus Al-Azhar Medan. [online].
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14275/1/10E00003.pdf
Diakses 20 September 2013.
Abdullah,
Murdani,
dkk.
2012.
Dispepsia.
[online].http://www.kalbemed.com/Portals/6/197_CME-Dispepsia.pdf.
Diakses 20 September 2013.
Djojoningrat, D. 2001. Dispepsia Fungsional. In: Suyono, S.H, Buku Ajar: Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Dwijayanti, dkk. 2008. Dalam: Susanti, A. (2011). Faktor risiko dispepsia pada
mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB). [online]. http://jkiina.com/index.php/jki/article/view/14/13. Diakses 20 September 2013
Hariyana, Bambang. 2007. Pengembangan Sistem Informasi Surveilans Epidemiologi
Demam Berdarah Dengue Untuk Kewaspadaan Dini Dengan Sistem
Informasi Geografis Di Wilayah Dinas Kesehatan Kabupaten Jepara (Studi
Kasus Di Puskesmas Mlonggo I).Tesis. Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat
Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro: Semarang
Khotimah, Nurul dkk. 2012. Sindroma Dispepsia Mahasiswa Fakultas Keperawatan
Universitas
Sumatera
Utara.
[online].
http://jurnal.usu.ac.id/index.php/jkh/article/view/48/66 Diakses 20 September
2013. Di akses 20 September 2013
Mansjoer, Arif. 2001. Gastroenterologi, Dispepsia. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I
Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius FKUI.
25

Media,

Farma.
2012.
Dispepsia.
[online].
http://www.farmamedia.net/2012/07/dispepsia.html Diakses 18 September
2013.

Rukmini, dkk. 2011. Analisis Sistem Surveilans Diare Puskesmas Tambakrejo Kota
Surabaya. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. Vol. 14 No. 2 April
2011.:Surabaya
Tarigan, Citra J. 2001. Perbedaan Depresi pada Pasien Dispepsia Fungsional dan
Dispepsia
Organik.
[online]
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6316/1/psikiatri-citra.pdf.
Diakses 20 September 213
Wulandari, Fenny dkk. 2011. Analisa Drug Related Problems pada Pasien Dispepsia
di Bangsal Rawat Inap dan Rawat Jalan Penyakit dalam RSUP DR. M.
Djamil
Padang.
[online]
http://pasca.unand.ac.id/id/wpcontent/uploads/2011/09/artikel-tesis-fenny1.pdf. Diakses 20 September 2013

26

Anda mungkin juga menyukai