Masalah Gizi Buruk di Indonesia dan Penanganannya Benedictus Aldwin Ainsley*
Jl. Arjuna Utara No.5, Tanjung Duren, Jakarta Barat
Pendahuluan Di puskesmas Kecamatan Pedes diketahui banyak ibu hamil menderita anemia status gizi kurang dan paritas tinggi yaitu rata-rata 5 orang anak dan juga banyak sekali balita yang menderita gizi buruk, rabun senja dan retardasi mental. Beberapa desa di wilayah kerja Puskesmas tersebut juga dinyatakan sebagai daerah endemis gondok. Sebagian besar mata pencaharian penduduk adalah nelayan namun sebagian besar hasilnya dijual. Masyarakat juga sebagian bertani dan menanam singkong. Di wilayah tersebut terdapat 3 posyandu yang tersebar di 3 desa dari 10 desa yang ada. Gizi buruk yaitu keadaan sangat kurus dengan indeks antropometri BB/TB <-3 SD masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang ditemukan pada anak balita. 1 Gizi buruk adalah suatu istilah teknis yang umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun. Anak balita sehat atau kurang gizi secara sederhana dapat diketahui dengan membandingkan antara berat badan menurut umurnya dengan rujukan (standar) yang telah ditetapkan. Apabila berat badan menurut umur sesuai dengan standar, anak disebut gizi baik. 2
Masalah gizi buruk 3 Data indonesia dan negara lain menunjukkan bahwa adanya hubungan timbal balik antara kurang gizi dan kemiskinan. Kemiskinan merupakan penyebab pokok atau akar masalah gizi buruk. Proporsi anak yang gizi kurang dan gizi buruk berbanding terbalik dengan pendapatan. Makin kecil pendapatan penduduk, makin tinggi presentasi anak yang kekurangan gizi, makin tinggi pendapatan makin kecil presentasinya. Kurang gizi berpotensi sebagai penyebab kemiskinan melalui rendahnya pendidikan dan produktivitas. Kemiskinan merupakan penghambat keluarga untuk memperoleh akses terhadap ketiga faktor penyebab kekurangna gizi di atas, tetapi untuk mencegah gizi buruk tidak harus menuggu berhasilnya pembangunan ekonomi sampai masalah kemiskinan dituntaskan.
Penemuan kasus gizi buruk dan pencegahan terjadinya KLB harus dilaksanakan secara tepat dan cepat mengunakan metode epidemiologi yang dikenal dengan surveilans. Menurut Timmreck (2005), surveilans kesehatan masyarakat adalah proses pengumpulan data kesehatan yang mencakup tidak saja pengumpulan informasi secara sistematik, tetapi juga melibatkan analisis, interpretasi, penyebaran, dan penggunaan informasi kesehatan. Hasil surveilans dan pengumpulan serta analisis data digunakan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang status kesehatan populasi guna merencanakan, menerapkan, mendeskripsikan, dan mengevaluasi program kesehatan masyarakat untuk mengendalikan dan mencegah kejadian yang merugikan kesehatan. Dengan demikian, agar data dapat berguna, data harus akurat, tepat waktu, dan tersedia dalam bentuk yang dapat digunakan.
Terdapat beberapa aktivitas inti surveilans kesehatan masyarakat tersebut. Kegiatan surveilans kesehatan masyarakat antara lain : 1. Pendeteksian kasus (case detection): proses mengidentifikasi peristiwa atau keadaan kesehatan. Unit sumber data menyediakan data yang diperl ukan dalam penyelenggaraan surveilans epidemiologi seperti rumah sakit, puskesmas, laboratorium, unit penelitian, unit program-sektor dan unit statistik. 2. Pencatatan kasus (registration): proses pencatatan kasus hasil identifikasi peristiwa atau keadaan kesehatan. 3. Konfirmasi (confirmation): evaluasi dari ukuran-ukuran epidemiologi sampai pada hasil percobaan laboratorium. 4. Pelaporan (reporting): data, informasi dan rekomendasi sebagai hasil kegiatan surveilans epidemiologi disampaikan kepada pihak-pihak yang dapat melakukan tindakan penanggulangan penyakit atau upaya peningkatan program kesehatan, pusat penelitian dan pusat kajian serta pertukaran data dalam jejaring surveilans epidemiologi. Pengumpulan data kasus pasien dari tingkat yang lebih rendah dilaporkan kepada fasilitas kesehatan yang lebih tinggi seperti lingkup daerah atau nasional. 5. Analisis data (data analysis): analisis terhadap data-data dan angka-angka dan menentukan indikator terhadap tindakan. 6. Respon segera dan kesiapsiagaan wabah (epidemic preparedness) kesiapsiagaan dalam menghadapi wabah/kejadian luar biasa. 7. Respon terencana (response and control): sistem pengawasan kesehatan masyarakat hanya dapat digunakan jika data yang ada bisa digunakan dalam peringatan dini dan munculnya masalah dalam kesehatan masyarakat. 8. Umpan balik (feedback) yang berfungsi penting dari semua sistem pengawasan, alur pesan dan informasi kembali ke tingkat yang lebih rendah dari tingkat yang lebih tinggi. Secara umum tujuan surveilans adalah untuk pencegahan dan pengendalian penyakit dalam masyarakat, sebagai upaya deteksi dini terhadap kemungkinan terjadinya kejadian luar biasa (KLB), memperoleh informasi yang diperlukan bagi perencanaan dalam hal pencegahan, penanggulangan maupun pemberantasannya pada berbagai tingkat administrasi Sedangkan komponen-komponen kegiatan surveilans antara lain: 1. Pengumpulan data, data yang dikumpulkan adalah data epidemiologi yang jelas, tepat dan ada hubungannya dengan penyakit yang bersangkutan. Tujuan dari pengumpulan data epidemiologi adalah: untuk menentukan kelompok populasi yang mempunyai resiko terbesar terhadap serangan penyakit; untuk menentukan reservoir dari infeksi; untuk menentukan jenis dari penyebab penyakit dan karakteristiknya; untuk memastikan keadaan yang dapat menyebabkan berlangsungnya transmisi penyakit; untuk mencatat penyakit secara keseluruhan; untuk memastikan sifat dasar suatu wabah, sumbernya, cara penularannya dan seberapa jauh penyebarannya. 2. Kompilasi, analisis dan interpretasi data. Data yang terkumpul selanjutnya dikompilasi, dianalisis berdasarkan orang, tempat dan waktu. Analisa dapat berupa teks tabel, grafik dan spot map sehingga mudah dibaca dan merupakan informasi yang akurat. Dari hasil analisis dan interpretasi selanjutnya dibuat saran bagaimana menentukan tindakan dalam menghadapi masalah yang baru. 3. Penyebaran hasil analisis dan hasil interpretasi data. Hasil analisis dan interpretasi data digunakan untuk unit-unit kesehatan setempat guna menentukan tindak lanjut dan disebarluaskan ke unit terkait antara lain berupa laporan kepada atasan atau kepada lintas sektor yang terkait sebagai informasi lebih lanjut. Sementara terkait dengan masalah gizi masyarakat, di Indonesia, beberapa dasar hukum dan pedoman pelaksanaan surveilans gizi buruk antara lain : 1. Surat Menteri Kesehatan Nomor: 1209, tanggal 19 Oktober 1998 yang menginstruksikan agar memperlakukan kasus gizi buruk sebagai sebuah Kejadian Luar Biasa (KLB). 2. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 1116/MENKES/SK/VI II/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi Kesehatan Pada Kepmenkes diatas, salah satu sasaran surveilans epidemilogi kesehatan adalah pelaksanaan Sistem Kewaspadaan Gizi (SKG) dan sistem kewaspadaan dini kejadian luar biasa (SKD KLB) gizi buruk. Sedangkan berdasarkan Surveilans gizi adalah pengamatan yang dilakukan terhadap anak balita dalam rangka mencegah terjadinya kasus gizi buruk. Sedangkan menurut WHO, praktek survailans gizi dilakukan dengan melakukan pengamatan keadaan gizi, dalam rangka untuk membuat keputusan yang berdampak pada perbaikan gizi penduduk dengan menyediakan informasi yang terus menerus tentang keadaan gizi penduduk, berdasarkan pengumpulan data langsung sesuai sumber yang ada, termasuk data hasil survei dan data yang sudah ada. Terdapat tiga jenis utama sistem surveilans gizi menurut Mason et al (1984), yaitu: 1. Pemantauan gizi jangka panjang sebagai masukan untuk perencanaan nasional, untuk menganalisis dampak kebijakan dan untuk memprediksi kecenderungan masa depan 2. Evaluasi dampak program gizi dan proyek-proyek tertentu yaitu informasi yang dirancang untuk memungkinkan tanggapan langsung melalui program atau proyek modifikasi 3. Peringatan dini atau sistem peringatan tepat waktu untuk mengidentifikasi kekurangan pangan akut, untuk mendapatkan tanggapan jangka pendek. Sistem Surveilans gizi adalah mengumpulkan data dasar program yang difokuskan pada masalah gizi bayi, anak-anak, dan wanita hamil. Sistem surveilans gizi berfungsi untuk menyediakan data lokal spesifik yang berguna untuk pengelolaan program gizi kesehatan masyarakat. Sistem ini memberikan informasi yang sangat berguna, tetapi juga ada tantangan metodologis yang berkaitan dengan keterwakilan, pengawasan mutu, dan indikator sensitivitas atau spesifisitas. Sementara menurut WHO menggambarkan sistem surveilans gizi sebagai proses yang berkesinambungan memiliki lima tujuan khusus, antara lain : 1. Menggambarkan status gizi penduduk, dengan referensi khusus bagi mereka yang menghadapi risiko 2. Menganalisis faktor-faktor penyebab yang terkait dengan gizi buruk 3. Mempromosikan keputusan oleh pemerintah, baik mengenai perkembangan normal dan keadaan darurat 4. Memprediksi kemungkinan masalah gizi sehingga dapat membantu dalam perumusan kebijakan 5. Memantau dan mengevaluasi program gizi. Ruang lingkup dan tujuan sistem surveilans gizi di Indonesia menurut Soekirman & Karyadi (1995), antara sebagai berikut: 1. Sistem yang berfungsi sebagai peringatan dan intervensi tepat waktu. 2. Sistem untuk menghubungkan masalah daerah rawan (kabupaten, kecamatan, desa) dengan otoritas yang lebih tinggi pada tingkat propinsi dan tingkat pusat. 3. Memberikan indikator yang berfungsi sebagai mekanisme deteksi dini untuk krisis pangan 4. Membimbing tindakan cepat untuk mengatasi penurunan ketersediaan pangan dan konsumsi, khususnya di kalangan rumah tangga miskin Penanggulangan Gizi Buruk 4
Upaya Kesehatan Mengatasi Masalah Gizi atara lain :
Upaya Kesehatan Kuratif dan Rehabilitatif 1. Penemuan aktif dan rujukan kasus gizi buruk. 2. Perawatan balita gizi buruk 3. Pendampingan balita gizi buruk pasca perawatan
Upaya Kesehatan Promotif dan Preventif 1. Pendidikan (penyuluhan) gizi melalui promosi kadarzi 2. Revitalisasi posyandu. 3. Pemberian suplementasi gizi. 4. Pemberian MP ASI bagi balita gakin
Kerangka Kerja Pencegahan Dan Penanggulangan Gizi Buruk Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi Komponen SKPG: 1. Keluarga 2. Masyarakat dan Lintas Sektor 3. Pelayanan Kesehatan Peran Keluarga: 1. Penyuluhan/Konseling Gizi: a. ASI eksklusif dan MP-ASI; b. Gizi seimbang; 2. Pola asuh ibu dan anak 3. Pemantauan pertumbuhan anak 4. Penggunaan garam beryodium 5. Pemanfaatan pekarangan 6. Peningkatan daya beli keluarga miskin 7. Bantuan pangan darurat: a. PMT balita, ibu hamil, b. Raskin Peran Masyarakat dan Lintas Sektor 1. Mengaktifkan Posyandu: SKDN 2. Semua balita mempunyai KMS, 3. Penimbangan balita (D), 4. Konseling, 5. Suplementasi gizi, 6. Pelayanan kesehatan dasar 7. Berat badan naik (N) sehat dikembalikan ke peran keluarga 8. BB Tidak naik (T1), Gizi kurang diberikan PMT Penyuluhan dan Konseling 9. Berat badan Tidak naik (T2), BGM, Gizi buruk, sakit, dirujuk ke RS atau Puskesmas
Peran Pelayanan Kesehatan 1. Mengatasi masalah medis yang mempengaruhi gizi buruk 2. Balita yang sembuh dan perlu PMT, perlu dikembalikan ke Pusat Pemulihan Gizi untuk diberikan PMT 3. Balita yang sembuh, dan tidak perlu PMT, dikembalikan kepada masyarakat
Tujuan Penanggulangan Gizi Buruk 5 Tujuan Umum: Menurunnya prevalensi Kurang Energi Protein (KEP) menjadi setinggi-tingginya 15 % dan gizi buruk menjadi setinggi-tingginya 2,5 % pada tahun 2014. Tujuan Khusus: 1. Meningkatnya cakupan deteksi dini gizi buruk melalui penimbangan balita di Posyandu, Puskesmas dan jaringannya. 2. Meningkatnya cakupan suplementasi gizi terutama pada kelompok penduduk rawan dan keluarga miskin. 3. Meningkatnya jangkauan dan kualitas tata laksana kasus gizi buruk di Rumah Tangga, Puskesmas dan Rumah Sakit. 4. Meningkatnya kemampuan dan ketrampilan keluarga dalam menerapkan Keluarga Sadar Gizi (KADARZI). 5. Berfungsinya Sistem Kewaspadaan Pangan Dan Gizi (SKPG).
Kebijakan Operasional Pencegahan Dan Penanggulangan Gizi Buruk 1. Merupakan Program Nasional: Perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dilaksanakan secara berkesinambungan antara pusat dan daerah 2. Pendekatan komprehensif: Mengutamakan upaya pencegahan dan upaya peningkatan, yang didukung upaya pengobatan dan pemulihan. 3. Semua kabupaten/kota secara terus menerus melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan gizi buruk, dengan koordinasi lintas instansi/dinas dan organisasi masyarakat. 4. Menggalang kemitraan antara pemerintahan, dunia usaha dan masyarakat di berbagai tingkat. 5. Pendekatan Pemberdayaan masyarakat serta keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan.
Strategi Pencegahan Dan Penanggulangan Gizi Buruk Mengembalikan fungsi posyandu dan meningkatkan kembali partisipasi masyarakat dan keluarga dalam memantau, mengenali dan menanggulangi secara dini gangguan pertumbuhan pada balita utamanya baduta. Meningkatkan kemampuan dan keterampilan SDM puskesmas beserta jaringannya dalam tatalaksana gizi buruk dan masalah gizi lain, manajemen laktasi dan konseling gizi. Menanggulangi secara langsung masalah gizi yang terjadi pada kelompok rawan termasuk keadaan darurat melalui suplementasi zat gizi mikro, MP-ASI, makanan tambahan dan diet khusus. Mewujudkan keluarga sadar gizi melalui advokasi, sosialisasi dan KIE gizi seimbang. Mengoptimalkan surveilans berbasis masyarakat melalui SKDN, Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (SKD-KLB) Gizi Buruk, dan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG), untuk meningkatkan manajemen program perbaikan gizi. Mengembangkan model intervensi gizi tepat guna yang evidence based. Menggalang kerjasama lintas sektor dan kemitraan dengan masyarakat beserta swasta/dunia usaha dalam memobilisasi sumberdaya untuk penyediaan pangan di tingkat rumah tangga, peningkatan daya beli keluarga, dan perbaikan pola asuhan gizi keluarga.
Sasaran 5 Sasaran dampak: a. Prevalensi gizi kurang turun menjadi setinggi-tingginya 20% b. Prevalensi gizi buruk turun menjadi setinggi-tingginya 5% Sasaran: a. Semua balita ditimbang setiap bulan dan berat badannya naik b. Meningkatnya cakupan pemberian ASI ekslusif sampai 6 bulan c. Semua anak 6-24 bulan mengkonsumsi Makanan Penguat Air Susu Ibu (MP-ASI) yang bergizi d. Semua keluarga mendapatkan penyuluhan makanan sehat dan bergizi seimbang e. Semua balita gizi kurang dari keluarga miskin mendapat makanan tambahan yang bergizi seimbang f. Meningkatnya cakupan distribusi kapsul vitamin A pada ibu nifas, bayi dan balita menjadi sekurangnya 80% g. Semua Puskesmas dan Rumah Sakit mampu melakukan tatalaksana penanggulangan gizi buruk dan faktor risikonya (penyakit infeksi) sesuai dengan standar h. Semua kabupaten maupun kota melaksanakan sistem kewaspadaan pangan dan gizi. Indikator keberhasilan 5 Penerapan berbagai indikator keberhasilan untuk mengurangi gizi buruk pada balita, diantaranya adalah: 1. Indikator dampak: a. Prevalensi Gizi Kurang b. Prevalensi Gizi Buruk 2. Indikator keluaran: a. Balita yang ada dan di data (S) b. Balita yang didaftar dan memiliki KMS (K) c. Balita yang datang dan ditimbang (D) d. Balita ditimbang dan berat badannya naik (N) e. Balita berat badan 2 kali Tidak Naik dan Bawah Garis Merah (BGM) pada KMS dirujuk f. Balita gizi buruk dirawat sesuai dengan standar g. Keluarga yang menerapkan norma keluarga sadar gizi (KADARZI); Menimbang berat badan secara teratur terutama balita Memberikan ASI ekslusif kepada bayi sejak lahir sampai usia 6 bulan Menggunakan garam beryodium Mengkonsumsi makanan yang bergizi seimbang Memberikan suplementasi gizi kepada anggota keluarga yang memerlukan
3. Indikator masukan: a. Jumlah Posyandu Aktif. Merujuk SE Mendagri No. 411.3/1116/SJ tanggal 13 Juni 2001 tentang Pedoman Umum Revitalisasi Posyandu, maka Posyandu aktif minimal mampu melaksanakan pemantauan berat badan balita dengan Kartu Menuju Sehat (KMS) dengan baik dan benar sehingga nilai SKDN dapat dimanfaatkan dengan maksimal. Selama masa krisis gizi buruk, fungsi Posyandu diutamakan untuk memantau pertumbuhan berat badan anak balita dengan baik dan benar. b. Jumlah Posyadu Binaan. Adanya keberadaan Posyandu Binaan yang dilaksanakan dengan kerjasama antara pemerintah, swasta, lembaga swadaya masyarakat peduli kesehatan (LSM), pekerja sosial masyarakat (PSM) dan kelompok masyarakat.
Kebijakan dan strategi 5 Untuk mempercepat peningkatan derajat kesehatan dan status gizi, Departemen Kesehatan telah melakukan revitalisasi kesehatan dengan menetapkan Visi dan Misi. Nilai- nilai yang harus selalu dilaksanakan dan Strategi utama sebagai acuan gerak langkah jajaran kesehatan dalam upaya-upaya kearah perbaikan kesehatan masyarakat yang optimal Visi : Masyarakat yang mandiri untuk hidup sehat Misi : Membuat Rakyat Sehat Nilai-nilai: Departemen Kesehatan menujunjung tinggi nilai nilai; 1) Berpihak kepada rakyat 2) Bertindak cepat dan tepat 3) Kerjasama tim 4) Integrasi yang tinggi 5) Transparan dan akuntabilitas Strategi utama dengan menerapkan nilai-nilai tersebut di atas sebagai berikut: 1) Menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat 2) Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas 3) Meningkatkan sistem surveilans, monitoring dan informasi kesehatan 4) Meningkatkan pembiayaan kesehatan Pokok-pokok kegiatan 5 Revitalisasi posyandu. Bertujuan untuk meningkatkan fungsi dan kinerja Posyandu terutama dalam pemantauan pertumbuhan balita. Pokok kegiatan revitalisasi Posyandu meliputi; 1. Pelatihan/orientasi petugas Puskesmas, petugas sektor lain dan kader yang berasal dari masyarakat 2. Pelatihan ulang petugas dan kader 3. Pembinaan dan pendampingan kader 4. Penyediaan sarana terutama dacin, KMS/Buku KIA, panduan Posyandu, media KIE, sarana pencatatan 5. Penyediaan biaya operasional 6. Penyediaan modal usaha Kader baik melalui Kelompok Usaha Bersama (KUBE) maupun Usaha Kecil Menengah (UKM) dan mendorong partisipasi swasta. Revitalisasi Puskesmas. Bertujuan untuk meningkakan fungsi dan kinerja Puskesmas terutama dalam pengelolaan kegiatan gizi di Puskesmas, baik penyelenggaraan upaya kesehatan perorangan maupun upaya kesehatan masyarakat. Pokok kegiatan revitalisasi Puskesmas meliputi; 1. Pelatihan manajemen program gizi di puskesmas bagi pimpinan dan petugas puskesmas dan jaringannya 2. Penyediaan biaya operasional bagi Puskesmas untuk pembinaan Posyandu, pelacakan kasus, kerjasama Pekerja Sosial Masyarakat/Lembaga Swadaya Masyarakat tingkat kecamatan, dll 3. Pemenuhan sarana antropometri dan KIE bagi Puskesmas dan jaringannya 4. Pelatihan tatalaksana gizi buruk bagi petugas Rumah Sakit, Puskesmas perawatan maupun Kader Posyandu. Inventarisasi gizi dan kesehatan. Bertujuan memberikan pelayanan langsung kepada balita. Ada dua bentuk pelayanan gizi dan kesehatan yaitu pelayanan perorangan dalam rangka menyembuhkan dan memulihkan anak dari kondisi gizi buruk, dan pelayanan masyarakat yaitu dalam rangka mencegah timbulnya gizi buruk di masyarakat. Pokok kegiatan intervensi gizi dan kesehatan adalah sebagai berikut; 1. Perawatan/pengobatan gratis di Rumah Sakit dan Puskesmas balita gizi buruk dari keluarga miskin (GAKIN) 2. Pemberian Makanan Tambahan (PMT) berupa MP-ASI bagi anak usia 6-23 bulan dan PMT pemulihan pada anak usia 24-59 bulan kepada balita gizi kurang dari keluarga miskin 3. Pemberian suplementasi gizi (kapsul vitamin A, tablet/sirup Fe) Promosi keluarga sadar gizi (KADARZI). Bertujuan dipraktekkannya norma keluarga sadar gizi bagi seluruh keluarga di Indonesia, untuk mencegah terjadinya masalah kurang gizi, khususnya gizi buruk. Kegiatan promosi keluarga sadar gizi dilakukan dengan memperhatikan aspek-aspek sosial budaya (lokal spesifik). Pokok kegiatan promosi keluarga sadar gizi meliputi; 1. Menyusun strategi (pedoman) promosi keluarga sadar gizi 2. Mengembangkan, menyediakan dan menyebarluaskan materi promosi pada masyarakat, organisasi kemasyakatan, institusi pendidikan, tempat kerja dan tempat-tempat umum 3. Melakukan kampanye secara bertahap, tematik menggunakan media efektif terpilih 4. Menyelenggarakan diskusi kelompok terarah melalui DASAWISMA dengan dukungan petugas/Kader Posyandu. Pemberdayaan keluarga. Bertujuan meningkatkan kemampuan keluarga untuk mengatahui potensi ekonomi keluarga dan mengembangkannya untuk memenuhi kebutuhan gizi seluruh anggota keluarga. Keluarga miskin yang anaknya menderita kekurangan gizi perlu diprioritaskan sebagai sasaran penanggulangan kemiskinan. Pokok kegiatan pemberdayaan keluarga adalah sebagai berikut; 1. Pemberdayaan di bidang ekonomi; a. Modal usaha, industri kecil (KUBE) b. Upaya Peningkatan Pendapatan Keluarga (UP2K) c. Padat karya untuk pangan d. Beras gratis untuk keluarga miskin (RASKIN) e. Peningkatan Pendapatan Petani Kecil 2. Pemberdayaan di bidang pendidikan a. Bea siswa b. Kelompok belajar c. Pendidikan anak dini usia (PADU) 3. Pemberdayaan di bidang kesehatan a. Kartu Sehat b. Pelayanan gratis bagi GAKIN di Rumah Sakit pemerintah kelas III c. Kader keluarga d. Penyediaan percontohan sarana air minum dan jamban keluarga 4. Pemberdayaan di bidang ketahanan pangan a. Mensyaratkan arti ketahanan pangan yang tidak terbatas pada aspek persediaan pangan, tetapi juga aspek konsumsi dan status gizi anggota keluarga, terutama balita, ibu hamil (BUMIL) dan menyusui b. Pemanfaatan perkarangan dan lahan tidur c. Lumbung pangan. Advokasi dan pendampingan. Ada 2 tujuan dari kegiatan advokasi dan pendampingan. Pertama, meningkatkan komitmen para penentu kebijakan, termasuk legislatif, tokoh masyarakat, tokoh agama, pemuka adat dan media massa agar peduli dan bertindak nyata di lingkungannya untuk memberbaiki status gizi anak. Kedua, meningkatkan kemampuan teknis petugas dalam pengelolaan program Gizi. Pokok kegiatan advokasi dan pendampingan adalah sebagai berikut; 1. Diskusi dan rapat kerja dengan DPR, DPD, dan DPRD secara berkala 2. Melakukan pendampingan di Kota/Kabupaten. Revitalisasi sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG). Bertujuan meningkatkan kemampuan masyarakat dan pemerintah daerah melakukan pemantauan yang terus menerus terhadap situasi pangan dan keadaan gizi masyarakat setempat untuk dapat melakukan tindakan dengan cepat dan tepat untuk mencegah timbulnya bahaya kelaparan dan kurang gizi, khususnya gizi buruk pada tingkat desa, kecamatan dan kabupaten. Memfungsikan sistem isyarat dini dan intervensi serta pencegahan Kejadian Luar Biasa (KLB) dengan: 1. Memfungsikan sistem pelaporan, diseminasi informasi dan pemanfaatannya 2. Penyediaan data gizi secara reguler (pemantauan status gizi, untuk semua kelompok umur, pemantauan konsumsi gizi, analisis data Susenas).
Daftar Pustaka 1. Kajian Penanganan Anak Gizi Buruk dan Prosesnya. Diakses dari http://www.pusat2.litbang.depkes.go.id/index.php?option=com_content&task=view &id=182&Itemid=39 20 Febuari 2014. 2. RI dan WHO, Rencana Aksi Pangan dan Gizi Nasional 2001 2005. Diakses dari http://perpustakaan.depkes.go.id:8180/bitstream/123456789/1378/1/BK2000- Sep33 20 Febuari 2014. 3. Surverilans Gizi Buruk. Diakses dari http://www.indonesian- publichealth.com/2012/11/surveilans-epidemiologi-gizi-buruk.html 20 Febuari 2014. 4. Program Penangulanggan Gizi Buruk dari Pemerintah. Diakses dari http://sehatceriaavail.blogspot.com/2012/01/program-penanggulangan-gizi-buruk- dari.html 20 Febuari 2014 5. Hernawati I. Pencegahan dan Penanggulangan Gizi Buruk: Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII.