Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Istilah Surveillance sudah dikenal oleh banyak orang, namun dalam
aplikasinya banyak orang menganggap bahwa surveilans identik dengan
pengumpulan data dan penyelidikan KLB, hal inilah yang menyebabkan aplikasi
system surveilans di Indonesia belum berjalan optimal, padahal system ini dibuat
cukup baik untuk mengatasi masalah kesehatan. Surveilans Kesehatan
masyarakat semula hanya dikenal dalam bidang epidemiologi, namun dengan
berkembangnya berbagai macam teori dan aplikasi diluar bidang epidemiologi,
maka surveilans menjadi cabang ilmu tersendiri yang diterapkan luas dalam
kesehatan masyarakat. Surveilans sendiri mencakup masalah borbiditas,
mortalitas, masalah gizi, demografi, Peny. Menular, Peny. Tidak menular,
Demografi, Pelayanan Kesehatan, Kesehatan Lingkungan, Kesehatan Kerja, dan
beberapa factor risiko pada individu, keluarga, masyarakat dan lingkungan
sekitarnya. Demikian pula perkembangan Surveilens Epidemiologi dimulai
dengan surveilens penyakit menular, lalu meluas ke penyakit tidak menular,
misalnya cacat bawaan, kekurangan gizi dan lain-lain. Bahkan baru-baru ini,
surveilens epidemiologi digunakan untuk menilai, memonitor, mengawasi dan
merencanakan program-program kesehatan pada umumnya.
Surveilens epidemiologi pada umumnya digunakan untuk:
1. Untuk menentukan penyakit mana yang diprioritaskan untuk diobati atau
diberantas.
2. Untuk meramalkan terjadinya wabah.
3. Untuk menilai dan memantau pelaksanaan program pemberantasan penyakit
menular, dan program-program kesehatan lainnya seperti program mengatasi
kecelakaan, program kesehatan gigi, program gizi, dll.
4. Untuk mengetahui jangkauan dari pelayanan kesehatan.

1
Jadi surveilans epidemiologi bukan hanya sekedar pengumpulan data dan
penyelidikan KLB saja tetapi kegunaan dari surveilans epidemiologi lebih dari
itu misalnya untuk mengetahui jangkauan dari pelayanan kesehatan,untuk
meramalkan terjadinya wabah dan masih banyak lagi manfaat dari surveilans
epidemiologi, untuk itu kami terdorong untuk melakukan penulisan mengenai
surveilans epidemiologi agar mengubah pemikiran masyarakat akan arti dan
kegunaan dari surveilans epidemiologi.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Surveilans
Surveilans kesehatan masyarakat adalah pengumpulan, analisis, dan analisis
data secara terusmenerus dan sistematis yang kemudian di diseminasikan
(disebarluaskan) kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam pencegahan
penyakit dan masalah kesehatan lainnya (DCP2, 2008). Surveilans memantau
terus-menerus kejadian dan kecenderungan penyakit, mendeteksi dan
memprediksi outbreak pada populasi, mengamati faktor-faktor yang
mempengaruhi kejadian penyakit, seperti perubahan-perubahan biologis pada
agen, vektor, dan reservoir.
Selanjutnya surveilans menghubungkan informasi tersebut kepada pembuat
keputusan agar dapat dilakukan langkah-langkah pencegahan dan pengendalian
penyakit (Last, 2001). Kadang digunakan istilah surveilans epidemiologi. Baik
surveilans kesehatan masyarakat maupun surveilans epidemiologi hakikatnya
sama saja, sebab menggunakan metode yang sama, dan tujuan epidemiologi
adalah untuk mengendalikan masalah kesehatan masyarakat, sehingga
epidemiologi dikenal sebagai sains inti kesehatan masyarakat (core science of
public health).
Surveilans memungkinkan pengambil keeputusan untuk memimpin dan
mengelola dengan efektif. Surveilans kesehatan masyarakat memberikan
informasi kewaspadaan dini bagi pengambil keputusan dan manajer tentang
masalah-masalah kesehatan yang perlu diperhatikan pada suatu
populasi.Surveilans kesehatan masyarakat merupakan instrumen penting untuk
mencegah outbreak penyakit dan mengembangkan respons segera ketika
penyakit mulai menyebar. Informasi dari surveilans juga penting bagi
kementerian kesehatan, kementerian keuangan, dan donor, untuk memonitor
sejauh mana populasi telah terlayani dengan baik (DCP2, 2008).

3
Surveilans berbeda dengan pemantauan (monitoring) biasa.Surveilans
dilakukan secara terus menerus tanpa terputus (kontinu), sedang pemantauan
dilakukan intermiten atau episodik. Dengan mengamati secara terus-menerus dan
sistematis maka perubahan-perubahan kecenderungan penyakit dan faktor yang
mempengaruhinya dapat diamati atau diantisipasi,sehingga dapat dilakukan
langkah-langkah investigasi dan pengendalian penyakit dengan tepat.
Ada beberapa definisi surveilans, diantaranya adalah :
- Menurut Karyadi (1994), surveilans epidemiologi adalah : Pengumpulan data
epidemiologi yang akan digunakan sebagai dasar dari kegiatan-kegiatan dalam
bidang penanggulangan penyakit, yaitu :
1. Perencanaan program pemberantasan penyakit. Mengenal epidemiologi
penyakit berarti mengenal masalah yang kita hadapi. Dengan demikian suatu
perencanaan program dapat diharapkan akan berhasil dengan baik.
2. Evaluasi program pemberantasan penyakit. Bila kita tahu keadaan penyakit
sebelum ada program pemberantasannya dan kita menentukan keadaan
penyakit setelah program ini, maka kita dapat mengukur dengan angka-
angka keberhasilan dari program pemberantasan penyakit tersebut.
3. Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB)/wabah. Suatu sistem surveilans
yang efektif harus peka terhadap perubahan-perubahan pola penyakit di
suatu daerah tertentu. Setiap kecenderungan peningkatan insidens, perlu
secepatnya dapat diperkirakan dan setiap KLB secepatnya dapat diketahui.
Dengan demikian suatu peningkatan insidens atau perluasan wilayah
suatu KLB dapat dicegah”.
- Menurut Nur Nasry Noor (1997), surveilans epidemiologi adalah :
“Pengamatan secara teratur dan terus menerus terhadap semua aspek penyakit
tertentu, baik keadaan maupun penyabarannya dalam suatu masyarakat tertentu
untuk kepentingan pencegahan dan penanggulangannya”.

4
Berdasarkan cara pengumpulan data, sistem surveilans dapat dibagi menjadi:
1. Surveilans aktif
Pada sistem surveilans ini dituntut keaktivan dari petugas surveilans dalam
mengumpulkan data, baik dari masyarakat maupun ke unit-unit pelayanan
kesehatan. Sistem surveilans ini memberikan data yang paling akurat serta
sesuai dengan kondisi waktu saat itu. Namun kekurangannya, sistem ini
memerlukan biaya lebih besar dibandingkan surveilans pasif.
2. Surveilans pasif
Dasar dari sistem surveilans ini adalah pelaporan. Dimana dalam suatu
sistem kesehatan ada, ada sistem pelaporan yang dibangun dari unit
pelayanan kesehatan di masyarakat sampai ke pusat, ke pemegang kebijakan.
Pelaporan ini meliputi pelaporan laporan rutin program serta laporan rutin
manajerial yang meliputi logistik, administrasi dan finansial program
(laporan manajerial program).

B. Jenis Surveilans
Jenis Surveilans yaitu:
1. Surveilans individu
Surveilans individu (individual surveillance) mendeteksi dan memonitor
individu-individu yang mengalami kontak dengan penyakit serius, misalnya
pes, cacar, tuberkulosis, tifus, demam kuning, sifilis. Surveilans individu
memungkinkan dilakukannya isolasi institusional segera terhadap kontak,
sehingga penyakit yang dicurigai dapat dikendalikan. Sebagai contoh,
karantina merupakan isolasi institusional yang membatasi gerak dan
aktivitas orang-orang atau binatang yang sehat tetapi telah terpapar oleh
suatu kasus penyakit menular selama periode menular.
Tujuan karantina adalah mencegah transmisi penyakit selama masa
inkubasi seandainya terjadi infeksi (Last, 2001). Isolasi institusional pernah
digunakan kembali ketika timbul AIDS 1980an dan SARS. Dikenal dua jenis
karantina: (1) Karantina total; (2) Karantina parsial. Karantina total

5
membatasi kebebasan gerak semua orang yang terpapar penyakit menular
selama masa inkubasi, untuk mencegah kontak dengan orang yang tak
terpapar. Karantina parsial membatasi kebebasan gerak kontak secara
selektif, berdasarkan perbedaan tingkat kerawanan dan tingkat bahaya
transmisi penyakit.
Contoh, anak sekolah diliburkan untuk mencegah penularan penyakit
campak, sedang orang dewasa diperkenankan terus bekerja. Satuan tentara
yang ditugaskan pada pos tertentu dicutikan, sedang di pos-pos lainnya tetap
bekerja.
Dewasa ini karantina diterapkan secara terbatas, sehubungan dengan
masalah legal, politis, etika, moral, dan filosofi tentang legitimasi,
akseptabilitas, dan efektivitas langkah-langkah pembatasan tersebut untuk
mencapai tujuan kesehatan masyarakat (Bensimon dan Upshur, 2007).

2. Surveilans penyakit
Surveilans penyakit (disease surveillance) melakukan pengawasan terus-
menerus terhadap distribusi dan kecenderungan insidensi penyakit, melalui
pengumpulan sistematis, konsolidasi, evaluasi terhadap laporan-laporan
penyakit dan kematian, serta data relevan lainnya.Jadi fokus perhatian
surveilans penyakit adalah penyakit, bukan individu. Di banyak negara,
pendekatan surveilans penyakit biasanya didukung melalui program vertikal
(pusat-daerah). Contoh, program surveilans tuberkulosis, program surveilans
malaria.
Beberapa dari sistem surveilans vertikal dapat berfungsi efektif, tetapi
tidak sedikit yang tidak terpelihara dengan baik dan akhirnya kolaps, karena
pemerintah kekurangan biaya.Banyak program surveilans penyakit vertikal
yang berlangsung paralel antara satu penyakit dengan penyakit lainnya,
menggunakan fungsi penunjang masing-masing, mengeluarkan biaya untuk
sumberdaya masingmasing, dan memberikan informasi duplikatif, sehingga
mengakibatkan inefisiensi.

6
3. Surveilans sindromik
Syndromic surveillance (multiple disease surveillance) melakukan
pengawasan terus-menerus terhadap sindroma (kumpulan gejala) penyakit,
bukan masing-masing penyakit. Surveilans sindromik mengandalkan deteksi
indikator-indikator kesehatan individual maupun populasi yang bisa diamati
sebelum konfirmasi diagnosis. Surveilans sindromik mengamati indikator-
indikator individu sakit, seperti pola perilaku, gejala-gejala, tanda, atau
temuan laboratorium, yang dapat ditelusuri dari aneka sumber, sebelum
diperoleh konfirmasi laboratorium tentang suatu penyakit.
Surveilans sindromik dapat dikembangkan pada level lokal, regional,
maupun nasional. Sebagai contoh, Centers for Disease Control and
Prevention (CDC) menerapkan kegiatan surveilans sindromik berskala
nasional terhadap penyakit-penyakit yang mirip influenza (flu-like illnesses)
berdasarkan laporan berkala praktik dokter di AS. Dalam surveilans tersebut,
para dokter yang berpartisipasi melakukan skrining pasien berdasarkan
definisi kasus sederhana (demam dan batuk atau sakit tenggorok) dan
membuat laporan mingguan tentang jumlah kasus, jumlah kunjungan
menurut kelompok umur dan jenis kelamin, dan jumlah total kasus yang
teramati.
Surveilans tersebut berguna untuk memonitor aneka penyakit yang
menyerupai influenza, termasuk flu burung, dan antraks, sehingga dapat
memberikan peringatan dini dan dapat digunakan sebagai instrumen untuk
memonitor krisis yang tengah berlangsung (Mandl et al., 2004; Sloan et al.,
2006). Suatu sistem yang mengandalkan laporan semua kasus penyakit
tertentu dari fasilitas kesehatan, laboratorium, atau anggota komunitas, pada
lokasi tertentu, disebut surveilans sentinel.
Pelaporan sampel melalui sistem surveilans sentinel merupakan cara
yang baik untuk memonitor masalah kesehatan dengan menggunakan
sumber daya yang terbatas (DCP2, 2008; Erme dan Quade, 2010).

7
4. Surveilans Berbasis Laboratorium
Surveilans berbasis laboartorium digunakan untuk mendeteksi dan
menonitor penyakit infeksi.Sebagai contoh, pada penyakit yang ditularkan
melalui makanan seperti salmonellosis, penggunaan sebuah laboratorium
sentral untuk mendeteksi strain bakteri tertentu memungkinkan deteksi
outbreak penyakit dengan lebih segera dan lengkap dari pada sistem yang
mengandalkan pelaporan sindroma dari klinik-klinik (DCP2, 2008).

5. Surveilans terpadu
Surveilans terpadu (integrated surveillance) menata dan memadukan
semua kegiatan surveilans di suatu wilayah yurisdiksi (negara/ provinsi/
kabupaten/ kota) sebagai sebuah pelayanan publik bersama. Surveilans
terpadu menggunakan struktur, proses, dan personalia yang sama,
melakukan fungsi mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk tujuan
pengendalian penyakit. Kendatipun pendekatan surveilans terpadu tetap
memperhatikan perbedaan kebutuhan data khusus penyakitpenyakit tertentu
(WHO, 2001, 2002; Sloan et al., 2006). Karakteristik pendekatan surveilans
terpadu:
a. Memandang surveilans sebagai pelayanan bersama (common services);
b. Menggunakan pendekatan solusi majemuk;
c. Menggunakan pendekatan fungsional, bukan struktural;
d. Melakukan sinergi antara fungsi inti surveilans (yakni, pengumpulan,
pelaporan, analisis data, tanggapan) dan fungsi pendukung surveilans
(yakni, pelatihan dan supervisi, penguatan laboratorium, komunikasi,
manajemen sumber daya);
e. Mendekatkan fungsi surveilans dengan pengendalian penyakit.
Meskipun menggunakan pendekatan terpadu, surveilans terpadu tetap
memandang penyakit yang berbeda memiliki kebutuhan surveilans yang
berbeda (WHO, 2002).

8
6. Surveilans kesehatan masyarakat global.
Perdagangan dan perjalanan internasional di abad modern, migrasi
manusia dan binatang serta organisme, memudahkan transmisi penyakit
infeksi lintas negara. Konsekunsinya, masalah-masalah yang dihadapi
negara-negara berkembang dan negara maju di dunia makin serupa dan
bergayut.
Timbulnya epidemi global (pandemi) khususnya menuntut
dikembangkannya jejaring yang terpadu di seluruh dunia, yang manyatukan
para praktisi kesehatan, peneliti, pemerintah, dan organisasi internasional
untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan surveilans yang melintasi batas-
batas negara. Ancaman aneka penyakit menular merebak pada skala global,
baik penyakit-penyakit lama yang muncul kembali (re-emerging diseases),
maupun penyakit-penyakit yang baru muncul (newemerging diseases),
seperti HIV/AIDS, flu burung, dan SARS. Agenda surveilans global yang
komprehensif melibatkan aktor-aktor baru, termasuk pemangku kepentingan
pertahanan keamanan dan ekonomi (Calain, 2006; DCP2, 2008).

C. Persiapan
1. Persiapan Internal
Hal-hal yang perlu disiapkan meliputi seluruh sumber daya termasuk
petugas kesehatan, pedoman/petunjuk teknis, sarana dan prasarana
pendukung dan biaya pelaksanaan.
a. Petugas Surveilans
Untuk kelancaran kegiatan surveilans di desa siaga sangat
dibutuhkan tenaga kesehatan yang mengerti dan memahami kegiatan
surveilans. Petugas seyogyanya disiapkan dari tingkat Kabupaten/Kota,
tingkat Puskesmas sampai di tingkat Desa/Kelurahan. Untuk
menyamakan persepsi dan tingkat pemahaman tentang surveilans sangat
diperlukan pelatihan surveilans bagi petugas.

9
Untuk keperluan respon cepat terhadap kemungkinan ancaman
adanya KLB, di setiap unit pelaksana (Puskesmas, Kabupaten dan
Propinsi) perlu dibentuk Tim Gerak Cepat (TGC) KLB. Tim ini
bertanggung jawab merespon secara cepat dan tepat terhadap adanya
ancaman KLB yang dilaporkan oleh masyarakat.
b. Pedoman/Petunjuk Teknis
Sebagai panduan kegiatan maka petugas kesehatan sangat perlu
dibekali buku-buku pedoman atau petunjuk teknis surveilans.
c. Sarana & Prasarana
Dukungan sarana & prasarana sangat diperlukan untuk kegiatan
surveilans seperti : kendaraan bermotor, alat pelindung diri (APD),
surveilans KIT, dll.
d. Biaya
Sangat diperlukan untuk kelancaran kegiatan surveilans. Biaya
diperlukan untuk bantuan transport petugas ke lapangan, pengadaan alat
tulis untuk keperluan pengolahan dan analisa data, serta jika dianggap
perlu untuk insentif bagi kader surveilans.

2. Persiapan Eksternal
Tujuan langkah ini adalah untuk mempersiapkan masyarakat, terutama
tokoh masyarakat, agar mereka tahu, mau dan mampu mendukung
pengembangan kegiatan surveilans berbasis masyarakat. Pendekatan kepada
para tokoh masyarakat diharapkan agar mereka memahami dan mendukung
dalam pembentukan opini publik untuk menciptakan iklim yang kondusif
bagi kegiatan surveilans di desa siaga. Dukungan yang diharapkan dapat
berupa moril, finansial dan material, seperti kesepakatan dan persetujuan
masyarakat untuk kegiatan surveilans.
Langkah ini termasuk kegiatan advokasi kepada para penentu kebijakan,
agar mereka mau memberikan dukungan. Jika di desa tersebut terdapat

10
kelompok-kelompok sosial seperti karang taruna, pramuka dan LSM dapat
diajak untuk menjadi kader bagi kegiatan surveilans di desa tersebut.

3. Survei Mawas Diri atau Telaah Mawas Diri


Survei mawas diri (SMD) bertujuan agar masyarakat dengan bimbingan
petugas mampu mengidentifikasi penyakit dan masalah kesehatan yang
menjadi problem di desanya. SMD ini harus dilakukan oleh masyarakat
setempat dengan bimbingan petugas kesehatan. Melalui SMD ini diharapkan
masyarakat sadar akan adanya masalah kesehatan dan ancaman penyakit
yang dihadapi di desanya, dan dapat membangkitkan niat dan tekad untuk
mencari solusinya berdasarkan kesepakatan dan potensi yang dimiliki.
Informasi tentang situasi penyakit/ancaman penyakit dan permasalah
kesehatan yang diperoleh dari hasil SMD merupakan informasi untuk
memilih jenis surveilans penyakit dan faktor risiko yang diselenggarakan di
desa tersebut.

4. Pembentukan Kelompok Kerja Surveilans Tingkat Desa.


Kelompok kerja surveilans desa bertugas melaksanakan pengamatan dan
pemantauan setiap saat secara terus menerus terhadap situasi penyakit di
masyarakat dan kemungkinan adanya ancaman KLB penyakit, untuk
kemudian melaporkannya kepada petugas kesehatan di Poskesdes. Anggota
Tim Surveilans Desa dapat berasal dari kader Posyandu, Juru pemantau
jentik (Jumantik) desa, Karang Taruna, Pramuka, Kelompok pengajian,
Kelompok peminat kesenian, dan lain-lain. Kelompok ini dapat dibentuk
melalui Musyawarah Masyarakat Desa.

5. Membuat Perencanaan Kegiatan Surveilans


Setelah kelompok kerja Surveilans terbentuk, maka tahap selanjutnya
adalah membuat perencanaan kegiatan, meliputi :
a. Rencana Pelatihan Kelompok Kerja Surveilans oleh petugas kesehatan

11
b. Penentuan jenis surveilans penyakit dan faktor risiko yang dipantau.
c. Lokasi pengamatan dan pemantauan
d. Frekuensi Pemantauan
e. Pembagian tugas/penetapan penanggung jawab lokasi pemamtauan
f. Waktu pemantauan
g. Rencana Sosialisasi kepada warga masyarakat
h. dll.

D. Faktor Resiko Terjadinya Masalah Kebidanan


1. Faktor –faktor reproduksi
a. Usia
b. Paritas
c. Kehamilan yang tak diinginkan
2. Faktor-faktor komplikasi kehamilan
a. Perdarahan pada abortus spontan
b. Kehamilan ektopik
c. Perdarahan pada trimester III kehamilan
d. Infeksi nifas
e. Gestosis
f. Distosia
g. Abortus profokatus
3. Faktor pelayanan kesehatan
a. Kesukaran untuk mendapat pelayanan medis
b. Asuhan medis yang kurang baik
c. Kekurangan tenaga terlatih dan obat-obat esensial
4. Faktor sosia budaya
a. Kemiskinan dan ketidakmampuan membayar pelayanan yang baik
b. Ketidak tahuan dan kebodohan
c. Kesulitan transportasi
d. Status wanita yang rendah

12
e. Pantangan makanan tertentu pada wanita hamil

Untuk menangani masalah kesehatan Depkes dengan bantuan


WHO,UNICEF dan UNDP sejak th1990-1991 telah melaksanakan program safe
motherhood,Upaya intervensi dalam program tersebut dinamakan 4 pilar Safe
motherhood adalah :
1. Keluarga berencana
2. Pelayanan ANC
3. Persalinan yang aman
4. Pelayanan kebidanan esensiall

E. Masalah-masalah Kebidanan
Masalah reproduksi di Indonesia mempunyai dua dimensi. Pertama: yang
laten yaitu kematian ibu dan kematian bayi yang masih tinggi akibat bebagai
faktor termasuk pelayanan kesehatan yang relatif kurang baik. Kedua ialah
timbulnya penyakit degeneratif yaitu menopause dan kanker.
Dalam globalisasi ekonomi kita diperhadapkan pada persaingan global yang
semakin ketat yang menuntut kita semua untuk menyiapkan manusia Indonesia
yang berkualitas tinggi sebagai generasi penerus bangsa yang harus disiapkan
sebaik mungkin secara terencana, terpadu dan berkesinambungan. Upaya
tersebut haruslah secara konsisten dilakukan sejak dini yakni sejak janin dalam
kandungan, masa bayi dan balita, masa remaja hingga dewasa bahkan sampai
usia lanjut.
Bidan merupakan salah satu tenaga kesehatan yang memiliki posisi penting
dan strategis terutama dalam penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan angka
kesakitan dan kematian Bayi (AKB). Bidan memberikan pelayanan kebidanan
yang berkesinambungan dan paripurna, berfokus pada aspek pencegahan,
promosi dengan berlandaskan kemitraan dan pemberdayaan masyarakat bersama-
sama dengan tenaga kesehatan lainnya untuk senantiasa siap melayani siapa saja
yang membutuhkannya, kapan dan dimanapun dia berada. Untuk menjamin

13
kualitas tersebut diperlukan suatu standar profesi sebagai acuan untuk
melakukan segala tindakan dan asuhan yang diberikan dalam seluruh aspek
pengabdian profesinya kepada individu, keluarga dan masyarakat, baik dari
aspek input, proses dan output.
Angka kematian Ibu (AKI) di Indonesia diperkirakan 248/100.000 kelahiran
hidup (SDKI 2007). Itu artinya jika diperkirakan setiap tahun ada lima juta ibu
yang melahirkan maka setiap tahun pula ada sebanyak 18.000 Ibu yang
meninggal dunia atau 2 orang ibu setiap satu jam. Dan tiga penyebab utama
kematian ini adalah pendarahan (28%), eklampsia (24%) dan infeksi (11%).
Berdasarkan data itu pula, Angka Kematian Ibu Indonesia menempati peringkat
tertinggi di Asia Tenggara.
Persoalan terpenting lainya adalah persoalan kelangsungan hidup anak. Dari
18 juta balita yang ada di Indonesia saat ini, paling tidak 5 juta diantaranya
menderita kekurangan gizi dan 1,7 juta lainnya mengalami gizi buruk
(Kompas,26/1/2007). Penyebabnya adalah faktor kemiskinan dan faktor lain
adalah budaya dan ketidaktahuan. Hal ini pula yang menyebabkan tingginya
Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia. Berdasarkan Human Development
Report tahun 2007, AKB Indonesia bertengger pada posisi 43,5/1000 kelahiran
hidup, dan itu artinya dari 5 juta bayi yang lahir, 217 ribu diantaranya meninggal
dunia atau sekitar 650 anak setiap harinya.
Penyebab kematian ibu adalah:
Perdarahan 42%
Eklampsi 13%
Komplikasi Aborsi 11%
Infeksi 10%
Partus lama 9%
Tidak diketahui 15%
Seperti :
Sosial ekonomi
Pendidikan

14
Kedudukan dan peran wanita
Sosial budaya
Transportasi
Penyebab kematian bayi adalah:
Derajat kesehatan hamil rendah dan komplikasi obstetri
Tumbuh kembang janin dalam kandungan terhambat
Proses persalinan (aspiksia, trauma, hipotemi)

Hasil survey dilaporkan bahwa Perilaku seksual remaja yang mengaku terus
terang pernah hubungan seks adalah Perempuan : < 1% dan Laki-laki : 5%, dan
hasil survey lainnya melaporkan siswa-siswi di 3 SMU DKI 2002 pernah
hubungan seks, yang terdiri dari Laki-laki : 8,9% dan Perempuan : 7.2%.
Angka remaja hamil di indonesia masih sulit untuk didapatkan karena masih
ditutupi / dirahasiakan. Dalam hal ini perlu peran para bidan untuk
mensosialisasikan fungsi alat reproduksi di kalangan remaja pra puberitas dan
puberitas.
Pengalaman seksual dan penggunaan kondom (Susenas, 2002)
Umur ♀ ♂

15-19 tahun 34,7% 30,9%


20-24 tahun 48,6% 46,5%

Tempat tinggal

Kota 44,2% 44,1%


Desa 30,3% 29,9%

Masalah yang berhubungan dengan kehamilan remaja adalah Jumlah /


proporsi besar (22,9), penanganan belum komprehensif, kurangnya info yang
benar dan adanya penolakan beberapa pihak sekolah terhadap pemberian
pendidikan seks kepada remaja. Akibat yang paling terlihat adalah meningkatkan
angka arbosi yang tidak aman serta perkawinan usia muda.

15
Berdasarkan penjelasan pasal 15 ayat 12 UU Kes No. 23 / 1992 dinyatakan
bahwa peluang untuk beraborsi tetap terbuka, tetapi hanya dilakukan dalam
keadaan darurat. Pengertian Unsafe Abortion adalah pengguguran kandungan
yang dilakukan dengan tindakan yang tidak steril serta tidak aman, secara medis.
Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari Aborsi adalah :
Peran bidan dalam menangani Unsafe Abortion adalah memberikan
penyuluhan pada klien tentang efek-efek yang ditimbulkan dari tindakan unsafe
abortion. Untuk bidan atau nakes perlu disadari bahwa siapa saja yang
melakukan tindakan aborsi tanpa indikasi (ilegal) akan dijerat hukum denda dan
hukuman kurungan serta perjanjian kepada Tuhan yang Maha Esa.
Berat badan bayi < 2500 gram. Masih rendah masa gestasi dan makin kecil
bayi yang dilahirkan, semakin tinggi morbilitas dan mortilitas bayi. Faktor
predisposisi BBLR adalah:
1. Faktor ibu
Riwayat kelahiran prematur sebelumnya
HAP
Malnutrisi
Hidramnion
Penyakit kronis (jantung)
Hipertensi
Umur ibu < 20 tahun dan > 35 tahun
Jarak kehamilan < 2 tahun
2. Faktor janin
Cacat bawaan
KPD
Hidramnion
3. Ekonomi yang rendah
4. Kebiasaan
Pekerjaan yang melelahkan
Merokok

16
5. Tidak diketahui

Tingkat fertilitas / tingkat kesuburan yang mana sumbernya adalah PUS


(Pasangan Usia Subur) merupakan salah satu masalah kebidanan komunitas yang
perlu mendapatkan perhatian karena dengan tingginya tingkat fertilitas tanpa
diiringi oleh tingkat pengetahuan akan sistem reproduksi akan meningkatkan
AKI dan AKB. Peran bidan adalah memberikan penyuluhan pada PUS tentang
sistem reproduksi dalam kehidupan suami-istri.
Biasanya disebabkan oleh tingkat kepercayaan masyarakat pada dukun
masih tinggi, rendahnya profesionalisme bidan dalam menolong persalinan,
kurangnya pendekatan personal antara bidan dan bumi, peran bidan dalam hal ini
adalah lebih meningkatkan kebersamaan dengan anggota masyarakat
meningkatkan profesionalisme dalam bidang pertolongan persalinan / ilmu
kebidanan
PMS adalah infeksi yang ditularkan melalui hubungan seksual. Umumnya
mata rantai penularan PMS adalah PSK. Rasio penularan akan meningkat bila
pemakaian kondom dan hubungan seksual dengan PSK tidak dilakukan. PMS
yang banyak ditemui Gonorrhoe (60), Sifilis, Trikomoniasis, Herpes simplek,
HIV / AIDS.
Peran bidan adalah memberikan penyuluhan tentang resiko yang
ditimbulkan akibat seks bebas yang dilakukan bukan dengan pasangan yang sah
terutama dengan PSK, penyuluhan tentang penggunaan kondom dalam kondisi
tertentu. Perilaku dan sosial budaya yang berpengaruh pada pelayanan kebidanan
di komunitas.

F. Masalah-masalah lain yang berhubungan dengan sosial budaya masyarakat


adalah
1. Kurangnya pengetahuan, salah satunya dibudang kesehatan
2. Adat istiadat yang dianut / berlaku di wilayah setempat
3. Kurangnya peran serta masyarakat

17
4. Perilaku masyarakat yang kurang terhadap kesehatan
5. Kebiasaan-kebiasaan / kepercayaan negatif yang berlaku negatif dan positif.

Sosial budaya yang ada di masyarakat memberi 2 pengaruh pada masyarakat


tersebut yaitu: pengaruh negatif dan positif.
Sosial budaya masyarakat yang bersifat positif antara lain :
1. Rasa kekeluargaan dan semangat gotong royong
2. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan
3. Rasa tolong menolong / perasaan senasib sepenanggungan

Sosial budaya masyarakat yang bersifat negatif antara lain :


1. Membuang sampah sembarangan sehingga timbul daerah kumuh
2. Penyalahgunaan obat-obatan
3. Industri-industri yang tidak memperhatikan pembuangan limbah yang baik
4. Wanita pekerja yang tidak dapat merawat anaknya dengan baik
5. Masalah kesehatan jiwa yang menonjol.

18
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Macam-macam surveilans dibagi menjadi 6 macam, antara lain:
a. Surveilans individu
b. Surveilans penyakit
c. Surveilans sindromik
d. Surveilans berbasis laboratorium
e. Surveilans terpadu
f. Surveilans kesehatan masyarakat global

2. Manfaat surveilans sebagai berikut :


a. Memperkirakan besarnya masalah kesehatan yang penting
b. Sebagai gambaran perjalanan alami suatu penyakit
c. Sebagai deteksi KLB
d. Dokumentasi, distribusi, dan penyebaran peristiwa kesehatan
e. Bermanfaat untuk epidemiologi dan penelitian laboratorium
f. Untuk keperluan evaluasi pengendalian dan pencegahan
g. Sebagai tool monitoring kegiatan karantina
h. Dapat memperkiraan perubahan dalam praktek kesehatan, dan sebagai
perencanaan

B. Saran
Dengan adanya makalah ini, kami berharap agar makalah ini bisa bermanfaat
bagi pembaca khususnya Mahasiswi Kebidanan, karena dalam makalah ini terdapat
banyak bahan tambahan untuk belajar mata kuliah Kesehatan Masyarakat. Kami
berharap pembaca bisa memberikan penilaian lebih lanjut terhadap makalah
sederhana ini.

19
DAFTAR PUSTAKA

Sulistyaningsih. 2011. Epidemiologi Dalam Praktik Kebidanan. Yogyakarta: Graha


Ilmu

NN, “Kegiatan dan Ruang Lingkup Surveilans Epidemiologi”.


Artikel diakses pada 04 Maret 2014 dari
https://www.google.com/
#q=ruang+lingkup+surveilans&hl=id&source=lnms&sa=X&ei=WekUYfLC43zrQey
3IGIBg&ved=0CAYQ_AUoAA&bav=on.2,or.r_cp.r_qf.&bvm=bv.47008514,d.bmk
&fp=e4b5826b4b07e05e&biw=1366&bih=630

NN, “Ruang Lingkup Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan”.


Artikel diakses pada 28 Mei 2013 dari http://surveilans-sumedang.blogspot.com/
2008/07/ruang-lingkup-penyelenggaraan-sistem.html

Wahyuningsih, puji heni dkk ;2009, ”Dasar – dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat
dalam Kebidanan”,yogyakarta, FITRAMAYA

Syafrudin,dkk;2009, “ Ilmu Kesehatan Masyarakat untuk Mahasiswa Kebidanan”;


jakarta; TRANS INFO MEDIA

Mubarak wahit iqbal; 2012; “ Ilmu Kesehatan Masyarakat (konsep dan aplikasi dalam
kebidanan) “; jakarta; SALEMBA MEDIKA

Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Rineka Cipta


Winkjosastro, Hanifa. 2005. Ilmu Kebidanan. Edisi 2. Hal 386-397. Jakarta:
YBPSPS

20

Anda mungkin juga menyukai