Anda di halaman 1dari 25

1

LAPORAN KASUS

ATRIAL FIBRILASI RAPID

Disusun oleh:

Dr. Benedictus Aldwin Ainsley

Dokter Pendamping:

Dr. Putu Bambang Andikayana

Dr. Putu Surya Utami

Program Dokter Internship

RSU GANESHA

2017
2

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. MS
Usia : 62 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Br. Lebah Bukian Payangan
Agama : Hindu
No. RM : 05.65.25
Tangungan : BPJS-PBI

II. ANAMNESA
Diambil dari Autoanamnesis pada tanggal 01 Maret 2017 pukul 12.20 WITA.
 KELUHAN UTAMA : Dada terasa berdebar-debar

 RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG :


Os diantar ke IGD RSU Ganesha oleh keluarga dengan keluhan dada
terasa berdebar-debar sejak kemarin malam disertai sesak nafas memberat.
Dada terasa seperti ditekan namun tidak nyeri dan tidak menjalar ke lengan
kiri dan dagu. Rasa berdebar-debar hingga membuat tangan gemetaran dan
sulit tidur. Os menyangkal adanya riwayat penyakit jantung namun
mengatakan memiliki riwayat penyakit asma sejak 30 tahun yang lalu dan
sering kambuh dalam sebulan 3 kali. Riwayat penyakit tekanan darah tinggi
juga diakui dan rutin mengkonsumsi obat amlodipine 5 mg. Riwayat penyakit
kencing manis dan penyakit sistemik lainnya disangkal.

 RIWAYAT PENYAKIT DAHULU :


 Riwayat penyakit asma sejak 30 tahun yang lalu
 Riwayat kencing manis disangkal.
 Riwayat penyakit jantung disangkal.
 Riwayat alergi disangkal.
 Riwayat operasi disangkal.
3

 RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA : tidak ada keluarga yang menderita


keluhan yang sama.

III.STATUS PRESENS
1. Status Umum
KU : tampak sesak
Kesadaran : Compos Mentis (E4M6V5)
TTV : TD = 150/90mmHg
Nadi = 120x/menit
Nafas = 24x/menit
Suhu = 36.30C
Kulit : warna kulit kecoklatan, turgor baik, ikterik (-)Kelenjar
limfe : pembesaran kel.limfe (-)
Wajah : raut wajah tampak menangis, simetris
Kepala : bentuk dan ukuran normal, benjolan (-)
Mata : kedudukan bola mata normal, CA (-/-), SI (-/-), pupil
bulat, isokor, diameter 3 mm, refleks cahaya langsung
dan tidak langsung (+/+)
Telinga : bentuk dan ukuran normal, COA (+/+)
Hidung : bentuk normal, depresi tulang hidung (-), septum
deviasi (-)
Mulut : bibir dan mukosa kering (-), mukosa hiperemis (-)
Tenggorok : T1/T1 tenang, Faring hiperemis (-), post nasal drip (-),
uvula ditengah.
Leher : trakea ditengah, pembesaran kel.tiroid (-), pembesaran
KGB (-)
Jantung : I : pulsasi ictus cordis (-)
P : pulsasi ictus cordis teraba di ICS IV MCLS
P : batas jantung kanan ICS V SLD
batas jantung kiri (apex) ICS V MCLS
4

batas pinggang jantung ICS III PSLS


A : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Paru : I : bentuk normal, simetris dalam diam dan pergerakan
nafas
P : stem fremitus kanan-kiri depan-belakang sama
kuat
P : sonor di seluruh lapang paru, batas paru-hepar ICS
VI
A : vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (+/+)
Abdomen : I : flat, scar (-), striae (-)
A : BU (+)
P : timpani diseluruh kuadran abdomen, nyeri ketok
CVA (-)
P : supel, teraba massa (-), teraba hepar-lien (-)
Anus / Genitalia : kelainan (-)
Ekstremitas : CRT < 2 dtk, hangat

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Darah lengkap, fungsi hepar, ginjal, elektrolit:
WBC: 10.8
HGB: 13.5
HCT: 35.8
PLT: 335
SGOT: 19
SGPT: 18
BUN: 13.6
Creatinin: 0.6
GDS: 143
Na: 144
Cl: 102
5

K: 3.6
Ca: 8.5

2. EKG
6

RONTGEN THORAX

RESUME
Telah diperiksa seorang perempuan berusia 62 tahun dengan keluhan dada
terasa berdebar-debar disertai sesak nafas memberat sejak kemarin malam.
Pasien memiliki riwayat asma sejak 30 tahun yang lalu dan hipertensi rutin
minum obat amlodipine 5 mg satu kali sehari.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sesak, kesadaran
compos mentis (GCS 15), TD 150/90 mmHg, nadi 120x/menit, nafas 24x/menit,
suhu 36,30C. Pada pemeriksaan fisik dada didapatkan ictus cordis terlihat, teraba
thrill, auskultasi paru terdapat wheezing dikedua lapang. Pada pemeriksaan lab
darah lengkap didapatkan dalam batas normal dan pemeriksaan rekam jantung
EKG didapatkan Atrial Fibrilasi respons cepat, foto roentgen dada menunjukan
tidak ada kelainan

V. DIAGNOSA KERJA
 Atrial Fibrilasi RVR
7

 PPOK Eksaserbasi Akut

VI. TATALAKSANA
 Nebul Ventolin 1amp + NaCl 1cc + bisolvon 10 tts  wh -/-
 EKG  AF rapid
 Saran MRS
 Konsul dr. Wismanthara, Sp.JP
o Inj digoxin 0.5 IV  evaluasi ekg 6 jam kemudian.
o Bila HR tetap > 100x inj digoxin 0.25 mg I.V
o Bila HR < 100x beri digoxin tab 1 x 0.25 mg
o Clopidogrel 1 x 75mg
o Amlodipine 1 x 5 mg
o Konsul peny dalam untuk PPOK
o EKG setiap hari
 Konsul dr. Tri Astawa, Sp. PD
o IVFD RL 14 tpm
o Nebul varbivent @ 8 jam
o Inj Methylprednisolon 2 x 62.5 mg I.V
o Salbutamol 3 x 2 mg tab

VII. PROGNOSIS
 Ad vitam : ad bonam
 Ad fungtionam : dubia ad bonam
 Ad sanationam : dubia ad bonam
8

TINJAUAN PUSTAKA

Pendahuluan
Atrial fibrilasi (AF) merupakan suatu aritmia jantung paling umum yang
melibatkan peran dari bagian-bagian jantung, terutama atrium1. Pengertian kata AF
berasal dari fibrillating atau bergetarnya otot-otot jantung atrium, jadi bukan
merupakan suatu kontraksi yang terkoordinasi. Hal ini sering diidentifikasi dengan
peningkatan denyut jantung dan ketidakteraturan irama jantung. Sedangkan untuk
indicator untuk mementukan ada tidaknya AF adalah tidak adanya gelombang P pada
elektrokardiogram (EKG), yang secara normal ada saat kontraksi atrium yang
terkoordinasi2.
Atrial fibrilasi merupakan aritmia yang paling umum ditemukan dalam
praktek klinis3. Hal ini juga menyumbang 1/3 dari penerimaan pasien rumah sakit
untuk gangguan irama jantung4. Hal itu juga sesuai dengan pernyataan bahwa tingkat
penerimaan untuk AF telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir 5. Sedangkan
untuk presentase stroke yang berasal dari AF berkisar 6-24% dari semua stroke
iskemik, sedangkan 3-11% dari mereka yang secara struktural terdiagnosis AF,
memiliki jantung yang normal6. Dari sekitar 2,2 juta orang di Amerika Serikat,
ditemukan kurang lebih 160.000 kasus baru setiap tahun. Pada prevalensi umum AF,
terdapat peningkatan seiring dengan bertambahnya usia, yaitu sekitar 1-2%. Pada usia
kurang dari 50 tahun (<50 tahun), prevalensi AF kurang lebih berkisar pada nilai
presentase 1 % dan kemudian meningkat menjadi 9 % pada usia 80 tahun. AF lebih
banyak dijumpai pada laki-laki dibandingkan dengan wanita, walaupun sebenarnya
tidak ada kepustakaan yang mengatakan adanya perbedaan yang relevan antara jenis
kelamin pria dengan wanita yang mempengaruhi prevalensi AF7.
Pada dasarnya, jantung bisa melakukan kontraksi karena adanya system
konduksi sinyal elektrik yang berasal dari nodus sino-atrial (SA). Pada AF, nodus SA
tidak mampu melakukan fungsinya secara normal, hal ini menyebabkan tidak
9

teraturnya konduksi sinyal elektrik dari atrium ke ventrikel. Akibat dari hal tersebut,
detak jantung menjadi tidak teratur dan terjadi peningkatan denyut jantung. Keadaan
ini dapat terjadi dan berlangsung dari menit ke minggu atau dapat terjadi sepanjang
waktu selama bertahun-tahun. Kecenderungan alami dari AF sendiri adalah
kecenderungan untuk menjadi kondisi kronis dan menyebabkan adanya komplikasi
lain8.
AF seringkali tanpa disertai adanya gejala, tapi terkadang AF dapat
menyebabkan palpitasi, penurunan kesadaran, nyeri dada dan gagal jantung kongestif.
Orang dengan AF biasanya memiliki peningkatan signifikan risiko stroke (hingga >7
kali populasi umum). Pada AF, risiko stroke meningkat tinggi, hal ini dikarenakan
adanya pembentukan gumpalan di atrium sehingga menurunkan kemampuan
kontraksi jantung, khususnya pada atrium kiri jantung9. Disamping itu, tingkat
peningkatan risiko stroke tergantung juga pada jumlah faktor risiko tambahan. Tetapi,
banyak orang dengan AF memang memiliki faktor risiko tambahan dan AF juga
merupakan penyebab utama dari stroke10.
AF dapat diobati dengan pengobatan yang baik dengan memperlambat
denyut jantung atau mengembalikan irama jantung kembali normal. Elektrik
kardioversi juga dapat digunakan untuk mengkonversi irama jantung AF kembali ke
irama jantung yang normal. Disamping hal tersebut, bedah dan terapi berbasis kateter
juga dapat digunakan untuk mencegah terulangnya AF dalam individu-individu
tertentu.

Fisiologi dan Sistem Konduksi Jantung

a. Fisologi Jantung
Jantung berkontraksi atau berdenyut dengan irama yang ritmik, akibat
adanya potensial aksi (otoritmisitas). Terdapat dua jenis khusus sel otot
jantung, yaitu 99% sel-sel kontraktil yang melakukan kerja mekanik
(kontraksi), tetapi tidak menghasilkan potensial aksi dan 1 % sel-sel otoritmik
10

yang tidak melakukan kerja mekanik (tidak berkontraksi), tetapi mempunyai


fungsi dalam mencetuskan dan menghantarkan potensial aksi11,12,13.
Aksi potensial otot jantung yang memicu suatu proses kontraksi
mekanik jantung dinamakan excitation contraction coupling. Kontraksi otot
jantung dimulai dengan adanya aksi potensial pada sel-sel otoritmik. Potensial
aksi dimulai dari proses dopalarisasi, proses plateau dan proses repolarisasi.
Ketiga proses ini merupakan rangkaian proses potensial aksi yang harus ada
untuk memicu kontraksi otot jantung11.
Potensial aksi dimulai dari proses depolarisasi, dimana terjadi
pembukaan saluran Na+ secara cepat. Proses masuknya ion Na+ menyebabkan
perubahan potensial membran sel-sel otoritmik, mulai dari -70 mv hingga +30
mv. Setelah mencapai ambang batas perubahan potensial, saluran Na+ akan
segera menutup yang kemudian diikuti pembukaan saluran Ca2+. Pembukaan
saluran Ca2+ terjadi secara lambat, yang menyebabkan proses plateau dan
influks Ca2+ dari ekstraseluler ke dalam intraseluler atau sel-sel otoritmik.
Setelah beberapa saat, saluran Ca2+ akan menutup dan terjadi pembukaan
saluran K+. Pembukaan saluran K+ menyebabkan terjadinya proses
repolarisasi, yang ditandai dengan keluarnya atau effluks K+ ke
ekstraseluler12,13,14.
11

Gambar 1. Fisiologi Potensial Aksi Jantung

Proses kontraktilitas otot jantung terjadi pada fase plateau proses potensial
aksi, dimana terjadi penutupan saluran Na2+ dan pembukaan saluran Ca2+
secara lambat. Proses kontraktilitas otot jantung ini terjadi akibat influks Ca2+
atau kenaikan konsentrasi Ca2+ bebas intraseluler. Pada dasarnya terdapat dua
mekanisme yang dapat menerangkan hal tersebut, yaitu Ca 2+ ekstraseluler
berdifusi kedalam intraseluler akibat pembukaan saluran Ca2+ selama fase
plateu pada potensial aksi jantung dan Ca2+ yang dikeluarkan dari cadangan
intraseluler (sarcoplamic reticulum) akibat rangsangan masuknya Ca2+ yang
berasal dari ekstraseluler13,14.
Peningkatan Ca2+ dalam intraseluler mengakibatkan adanya ikatan
Ca2+ dengan troponin. Ikatan antara Ca2+ dengan troponin, mengakibatkan
kontraksi otot-otot jantung. Selama kontraksi otot jantung, filamen-filamen
tebal (miosin) dan tipis (aktin) akan saling menggeser untuk memperpendek
tiap sarkomer. Berkurangnya ikatan antara Ca2+ dengan troponin akan
menyebabkan stimulasi proses relaksasi otot jantung. Pada fase ini, Ca 2+ yang
tidak berikatan dengan troponin akan disimpan kembali di dalam sarcoplamic
reticulum dan sebagian Ca2+ keluar ke ekstraseluler. Proses keluarnya Ca2+ ke
ekstraseluler terjadi karena adanya pertukaran dengan ion Na2+ yang berada di
ekstraseluler. Kemudian ion Na+ yang telah masuk kedalam intraseluler akan
bertukaran secara aktif dengan ion K+ melalui proses Na+- K+-ATPase13,14.
12

Gambar 2. Fisiologi kontraksi dan Relaksasi Otot Jantung


b. Sistem Konduksi Jantung
Pada dasarnya yang menyebabkan adanya potensial aksi hingga
menimbulkan kontraktilitas otot jantung adalah adanya impuls atau
rangsangan elektrik. Sistem konduksi jantung terdiri dari nodus sino-atrial,
nodus atrio-ventrikuler, berkas his, berkas cabang kanan-kiri dan serabut
purkinje. Rangsangan atau sinyal elektrik pertama jantung berawal di nodus
sino-atrial (Nodus SA) yang berada di latero-superior atrium kanan.
Terjadinya sinyal elektrik pada nodus SA menyebabkan kontraksi dari atrium,
baik atrium kanan ataupun atrium kiri. Kontraksi yang bersamaan antara
atrium kanan dan kiri dipengaruhi oleh penjalaran rangsangan elektrik melalui
traktus inter-atrial yang merupakan cabang dari nodus SA. Nodus SA
memiliki kemampuan mencetuskan potensial elektrik (pacemaker) tercepat
bila dibandingkan dengan sistem konduksi jantung yang lain, yaitu sebesar
60-100 potensial aksi/menit. Kemampuan ini menyebabkan nodus SA sebagai
pengontrol utama rangsangan elektrik jantung (overdrive pacemaker) dan
mengendalikan sistem konduksi jantung7,9.
Sistem penjalaran rangsangan elektrik harus terkoordinasi dengan baik
untuk menimbulkan proses mekanik atau pemompaan yang efisien. Penjalaran
sinyal elektrik harus memenuhi tiga kriteria, diantaranya adalah :
13

a. Rangsangan dan kontraksi atrium harus sudah selesai sebelum kontraksi


ventrikel dimulai
b. Rangsangan otot-otot jantung dikoordinasi untuk memastikan setiap
pasangan atrium dan pasangan ventrikel berkontraksi sebagai satu
kesatuan
c. Pasangan atrium dan ventrikel harus saling terkoordinasi sebagai satu
sinsitium.
Sinyal elektrik dari nodus SA kemudian akan diteruskan ke nodus
atrio-ventrikuler (nodus AV). Rangsangan elektrik ini dihantarkan melalui
traktus internodal (internodal anterior, posterior dan medial). Nodus AV
merupakan satu-satunya penghubung sistem konduksi antara atrium dengan
ventrikel. Disamping itu, nodus AV juga mempunyai kemampuan
mencetuskan potensial elektrik (pacemaker) kedua tercepat, yaitu sebesar 40-
60 potensial aksi/menit. Hal ini memungkinkan nodus SA sebagai pengontrol
dan pengendali sistem konduksi jantung apabila terjadi blok pada rangsangan
elektrik nodus SA. Secara fisiologis, nodus AV sebenarnya memiliki
keterlambatan penjalaran sinyal elektrik, yaitu sebesar 0,08-0,12 detik.
Keterlambatan ini sebenarnya mempunyai fungsi dalam memberikan waktu
atrium untuk berkontraksi sempurna dan memberikan waktu dalam proses
mengosongkan voleme atrium ke dalam ventrikel (memberi waktu pengisian
ventrikel), sebelum ventrikel terdepolarisasi dan berkontraksi8,9,10.
Sistem konduksi setelah nodus AV adalah berkas his. Berkas his
sebenarnya dapat dikatakan sebagai sekelompok serabut purkinje yang berasal
dari nodus AV, yang berjalan sepanjang septum interventrikuler menuju ke
ventrikel. Berkas his akan bercabang menjadi dua bagian, yaitu berkas cabang
kanan dan berkas cabang kiri. Berkas cabang kanan (RBB/right bundle
branch) merupakan percabangan dari berkas his. RBB bercabang sebagai
struktur tunggal di lapisan subendokardium di sisi bagian kanan. Kemudian
RBB akan terbagi menjadi tiga cabang, yaitu RBB cabang anterior, posterior
dan lateral. Bagian RBB lateral akan berjalan menuju dinding lateral ventrikel
14

kanan dan menuju bagian bawah septum interventrikuler, yang kemudian


akan membentuk anyaman purkinje atau serabut purkinje. Berbeda dengan
RBB, berkas cabang kiri (LBB/left bundle branch) mempunyai dua struktur
percabangan. Kedua struktur percabangan LBB ini berjalan di
subendokardium di sisi bagian kiri dan kemudian masing-masing percabangan
akan membentuk suatu struktur bangunan seperti pada percabangan RBB,
yaitu serabut purkinje. Penjalaran sinyal elektrik menuju ventrikel melewati
berkas his dan serabut purkinje berjalan sangat cepat. Disamping itu, serabut
purkinje juga mempunyai peran dalam menjaga keseimbangan koordinasi
kontraktilitas (sinsitium) antara ventrikel kanan dan ventrikel kiri5,7,9,14.

Gambar 3. Sistem Konduksi Jantung

Atrial Fibrilasi

a. Definisi
Atrial fibrilasi adalah suatu gangguan pada jantung (aritmia) yang
ditandai dengan ketidakteraturan irama denyut jantung dan peningkatan
frekuensi denyut jantung, yaitu sebesar 350-650 x/menit. Pada dasarnya atrial
15

fibrilasi merupakan suatu takikardi supraventrikuler dengan aktivasi atrial


yang tidak terkoordinasi dan deteriorisasi fungsi mekanik atrium. Keadaan ini
menyebabkan tidak efektifnya proses mekanik atau pompa darah jantung2,5,6.
b. Klasifikasi
Menurut AHA (American Heart Association), klasifikasi dari atrial
fibrilasi dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu2 :
a. AF deteksi pertama
Semua pasien dengan AF selalu diawali dengan tahap AF deteksi pertama.
Tahap ini merupakan tahapan dimana belum pernah terdeteksi AF
sebelumnya dan baru pertama kali terdeteksi.
b. Paroksismal AF
AF yang berlangsung kurang dari 7 hari atau AF yang mempunyai episode
pertama kali kurang dari 48 jam dinamakan dengan paroksismal AF. AF
jenis ini juga mempunyai kecenderungan untuk sembuh sendiri dalam
waktu kurang dari 24 jam tanpa bantuan kardioversi.
c. Persisten AF
AF yang sifatnya menetap dan berlangsung lebih dari 48 jam tetapi kurang
dari 7 hari. Berbeda dengan paroksismal AF, persisten AF perlu
penggunaan dari kardioversi untuk mengembalikan irama sinus kembali
normal.
d. Kronik/permanen AF
AF yang sifatnya menetap dan berlangsung lebih dari 7 hari. Pada
permanen AF, penggunaan kardioversi dinilai kurang berarti, karena
dinilai cukup sulit untuk mengembalikan ke irama sinus yang normal.
16

Gambar 6. Pola Klasifikasi Atrial Fibrilasi


Disamping klasifikasi menurut AHA (American Heart Association),
AF juga sering diklasifikasikan menurut lama waktu berlangsungnya, yaitu
AF akut dan AF kronik. AF akut dikategorikan menurut waktu
berlangsungnya atau onset yang kurang dari 48 jam, sedangkan AF kronik
sebaliknya, yaitu AF yang berlangsung lebih dari 48 jam.
c. Etiologi
Etiologi yang terkait dengan AF terbagi menjadi beberapa faktor-
faktor, diantaranya adalah5,6 :
a. Peningkatan tekanan/resistensi atrium
1. Penyakit katup jantung
2. Kelainan pengisian dan pengosongan ruang atrium
3. Hipertrofi jantung
4. Kardiomiopati
5. Hipertensi pulmo (chronic obstructive pulmonary disease dan cor
pulmonal chronic)
6. Tumor intracardiac
b. Proses infiltratif dan inflamasi
1. Pericarditis/miocarditis
17

2. Amiloidosis dan sarcoidosis


3. Faktor peningkatan usia
c. Proses infeksi
1. Demam dan segala macam infeksi
d. Kelainan Endokrin
1. Hipertiroid
2. Feokromositoma
e. Neurogenik
1. Stroke
2. Perdarahan subarachnoid
f. Iskemik Atrium
1. Infark miocardial
g. Obat-obatan
1. Alkohol
2. Kafein
h. Keturunan/genetik

d. Tanda dan Gejala


Pada dasarnya AF, tidak memberikan tanda dan gejala yang khas pada
perjalanan penyakitnya. Umumnya gejala dari AF adalah peningkatan denyut
jantung, ketidakteraturan irama jantung dan ketidakstabilan hemodinamik.
Disamping itu, AF juga memberikan gejala lain yang diakibatkan oleh
penurunan oksigenisasi darah ke jaringan, seperti pusing, kelemahan,
kelelahan, sesak nafas dan nyeri dada. Tetapi, lebih dari 90% episode dari AF
tidak menimbulkan gejala-gejala tersebut7,8,9.
e. Faktor Resiko
Beberapa orang mempunyai faktor resiko terjadinya AF, diantaranya
adalah :
a. Diabetes Melitus
b. Hipertensi
18

c. Penyakit Jantung Koroner


d. Penyakit Katup Mitral
e. Penyakit Tiroid
f. Penyakit Paru-Paru Kronik
g. Post. Operasi jantung
h. Usia ≥ 60 tahun
i. Life Style
f. Patofisiologi
Mekanisme AF terdiri dari 2 proses, yaitu proses aktivasi lokal dan
multiple wavelet reentry. Proses aktivasi lokal bisa melibatkan proses
depolarisasi tunggal atau depolarisasi berulang. Pada proses aktivasi lokal,
fokus ektopik yang dominan adalah berasal dari vena pulmonalis superior.
Selain itu, fokus ektopik bisa juga berasal dari atrium kanan, vena cava
superior dan sinus coronarius. Fokus ektopik ini menimbulkan sinyal elektrik
yang mempengaruhi potensial aksi pada atrium dan menggangu potensial aksi
yang dicetuskan oleh nodus SA7,9,14.
Sedangkan multiple wavelet reentry, merupakan proses potensial aksi
yang berulang dan melibatkan sirkuit/jalur depolarisasi. Mekanisme multiple
wavelet reentry tidak tergantung pada adanya fokus ektopik seperti pada
proses aktivasi lokal, tetapi lebih tergantung pada sedikit banyaknya sinyal
elektrik yang mempengaruhi depolarisasi. Pada multiple wavelet reentry,
sedikit banyaknya sinyal elektrik dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu periode
refractory, besarnya ruang atrium dan kecepatan konduksi. Hal ini bisa
dianalogikan, bahwa pada pembesaran atrium biasanya akan disertai dengan
pemendekan periode refractory dan penurunan kecepatan konduksi. Ketiga
faktor tersebutlah yang akan meningkatkan sinyal elektrik dan menimbulkan
peningkatan depolarisasi serta mencetuskan terjadinya AF7,9,14.
19

Gambar 7. A. Proses Aktivasi Lokal Atrial Fibrilasi dan B. Proses Multiple Wavelets
Reentry Atrial Fibrilasi
g. Penatalaksanaan
Sasaran utama pada penatalaksanaan AF adalah mengontrol
ketidakteraturan irama jantung, menurunkan peningkatan denyut jantung dan
menghindari/mencegah adanya komplikasi tromboembolisme. Kardioversi
merupakan salah satu penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk AF.
Menurut pengertiannya, kardioversi sendiri adalah suatu tata laksana yang
berfungsi untuk mengontrol ketidakteraturan irama dan menurunkan denyut
jantung. Pada dasarnya kardioversi dibagi menjadi 2, yaitu pengobatan
farmakologi (Pharmacological Cardioversion) dan pengobatan elektrik
(Electrical Cardioversion)8,10.
a. Mencegah pembekuan darah (tromboembolisme)
Pencegahan pembekuan darah merupakan pengobatan untuk
mencegah adanya komplikasi dari AF. Pengobatan yang digunakan adalah
jenis antikoagulan atau antitrombosis, hal ini dikarenakan obat ini
berfungsi mengurangi resiko dari terbentuknya trombus dalam pembuluh
darah serta cabang-cabang vaskularisasi. Pengobatan yang sering dipakai
untuk mencegah pembekuan darah terdiri dari berbagai macam,
diantaranya adalah :
1. Warfarin
20

Warfarin termasuk obat golongan antikoagulan yang berfungsi dalam


proses pembentukan sumbatan fibrin untuk mengurangi atau
mencegah koagulasi. Warfarin diberikan secara oral dan sangat cepat
diserap hingga mencapai puncak konsentrasi plasma dalam waktu ± 1
jam dengan bioavailabilitas 100%. Warfarin di metabolisme dengan
cara oksidasi (bentuk L) dan reduksi (bentuk D), yang kemudian
diikuti oleh konjugasi glukoronidasi dengan lama kerja ± 40 jam.
2. Aspirin
Aspirin secara irreversible menonaktifkan siklo-oksigenase dari
trombosit (COX2) dengan cara asetilasi dari asam amino serin
terminal. Efek dari COX2 ini adalah menghambat produksi
endoperoksida dan tromboksan (TXA2) di dalam trombosit. Hal inilah
yang menyebabkan tidak terbentuknya agregasi dari trombosit. Tetapi,
penggunaan aspirin dalam waktu lama dapat menyebabkan
pengurangan tingkat sirkulasi dari faktor-faktor pembekuan darah,
terutama faktor II, VII, IX dan X.
b. Mengurangi denyut jantung
Terdapat 3 jenis obat yang dapat digunakan untuk menurunkan
peningkatan denyut jantung, yaitu obat digitalis, β-blocker dan antagonis
kalsium. Obat-obat tersebut bisa digunakan secara individual ataupun
kombinasi.
1. Digitalis
Obat ini digunakan untuk meningkatkan kontraktilitas jantung
dan menurunkan denyut jantung. Hal ini membuat kinerja jantung
menjadi lebih efisien. Disamping itu, digitalis juga memperlambat
sinyal elektrik yang abnormal dari atrium ke ventrikel. Hal ini
mengakibatkan peningkatan pengisian ventrikel dari kontraksi atrium
yang abnormal.
2. β-blocker
21

Obat β-blocker merupakan obat yang menghambat efek sistem


saraf simpatis. Saraf simpatis pada jantung bekerja untuk
meningkatkan denyut jantung dan kontraktilitas jantung. Efek ini akan
berakibat dalam efisiensi kinerja jantung.
3. Antagonis Kalsium
Obat antagonis kalsium menyebabkan penurunan kontraktilitas
jantung akibat dihambatnya ion Ca2+ dari ekstraseluler ke dalam
intraseluler melewati Ca2+ channel yang terdapat pada membran sel.
c. Mengembalikan irama jantung
Kardioversi merupakan salah satu penatalaksanaan yang dapat
dilakukan untuk menteraturkan irama jantung. Menurut pengertiannya,
kardioversi sendiri adalah suatu tata laksana yang berfungsi untuk
mengontrol ketidakteraturan irama dan menurunkan denyut jantung. Pada
dasarnya kardioversi dibagi menjadi 2, yaitu pengobatan farmakologi
(Pharmacological Cardioversion) dan pengobatan elektrik (Electrical
Cardioversion).
1. Pharmacological Cardioversion (Anti-aritmia)
a. Amiodarone
b. Dofetilide
c. Flecainide
d. Ibutilide
e. Propafenone
f. Quinidine
2. Electrical Cardioversion
Suatu teknik memberikan arus listrik ke jantung melalui dua
pelat logam (bantalan) ditempatkan pada dada. Fungsi dari terapi
listrik ini adalah mengembalikan irama jantung kembali normal atau
sesuai dengan NSR (nodus sinus rhythm).

3. Operatif
22

a. Catheter ablation
Prosedur ini menggunakan teknik pembedahan dengan membuatan
sayatan pada daerah paha. Kemudian dimasukkan kateter kedalam
pembuluh darah utma hingga masuk kedalam jantung. Pada bagian
ujung kateter terdapat elektroda yang berfungsi menghancurkan
fokus ektopik yang bertanggung jawab terhadap terjadinya AF.
b. Maze operation
Prosedur maze operation hamper sama dengan catheter ablation,
tetapi pada maze operation, akan mengahasilkan suatu “labirin”
yang berfungsi untuk membantu menormalitaskan system
konduksi sinus SA.
c. Artificial pacemaker
Artificial pacemaker merupakan alat pacu jantung yang
ditempatkan di jantung, yang berfungsi mengontrol irama dan
denyut jantung.

Kesimpulan
1. Atrial fibrilasi adalah suatu gangguan pada jantung (aritmia) yang ditandai
dengan ketidakteraturan irama denyut jantung dan peningkatan frekuensi
denyut jantung, yaitu sebesar 350-650 x/menit.
2. Menurut AHA (American Heart Association), klasifikasi dari atrial fibrilasi
dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu AF deteksi pertama, paroksismal AF,
persisten AF dan kronik/permanen AF.
3. Mekanisme AF terdiri dari 2 proses, yaitu proses aktivasi lokal dan multiple
wavelet reentry.
a. Aktivasi lokal merupakan mekanisme AF yang berasal dari fokus ektopik
yang dominan (vena pulmonalis superior), dimana fokus ektopik ini
menimbulkan sinyal elektrik yang mempengaruhi aktivitas potensial aksi
nodus SA pada atrium.
23

b. Multiple wavelet reentry merupakan proses potensial aksi yang berulang-


ualng, melibatkan sirkuit/jalur depolarisasi, tidak tergantung pada adanya
fokus ektopik seperti pada proses aktivasi lokal dan dipengaruhi oleh
pembesaran atrium, pemendekan periode refractory serta penurunan
kecepatan konduksi.
4. Terjadinya AF akan menimbulkan disfungsi hemodinamik jantung, yaitu
hilangnya koordinasi aktivitas mekanik jantung, ketidakteraturan respon
ventrikel dan ketidakteraturan denyut jantung.
5. Sasaran utama pada penatalaksanaan AF adalah mengontrol ketidakteraturan
irama jantung, menurunkan peningkatan denyut jantung dan
menghindari/mencegah adanya komplikasi tromboembolisme.

DAFTAR PUSTAKA

1. Wyndham CRC (2000). "Atrial Fibrillation: The Most Common arrhythmia".


Texas Heart Institute Journal 27 (3): 257-67.
2. "Atrial Fibrillation (for Professionals)". American Heart Association, Inc. 2008-
12-04. Archived from the original on 2009-03-28.
3. Fuster V, Rydén LE, Cannom DS, et al. (2006). "ACC/AHA/ESC 2006
Guidelines for the Management of Patients with Atrial Fibrillation: a report of the
American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on
24

Practice Guidelines and the European Society of Cardiology Committee for


Practice Guidelines (Writing Committee to Revise the 2001 Guidelines for the
Management of Patients With Atrial Fibrillation): developed in collaboration with
the European Heart Rhythm Association and the Heart Rhythm Society".
Circulation 114 (7): 257–354.
4. Friberg J, Buch P, Scharling H, Gadsbphioll N, Jensen GB. (2003). "Relationship
between left atrial appendage function and left atrial thrombus in patients with
nonvalvular chronic atrial fibrillation and atrial flutter".Circulation Journal 67 (1):
68–72.
5. Narumiya T, Sakamaki T, Sato Y, Kanmatsuse K ( January 2003). “Relationship
between left atrial appendage function and left atrial thrombus in patient with
nonvalvular chronic atrial fibrillation and atrial flutter”. Circulation Journal 67.
6. Sanfilippo AJ, Abascal VM, Sheehan M, Oertel LB, Harrigan P, Hughes RA dan
Weyman AE (1990). "Atrial enlargement as a consequence of atrial fibrillation A
prospective echocardiographic study" . Circulation 82 (3): 792–7.
7. Nasution SA, Ismail D. 2006. Fibrilasi Atrial. Buku Ajar Ilmu penyakit Dalaml.
Ed.3. Jakarta. EGC, 1522-27.
8. Wattigney WA, Mensah GA, Croft JB (2002). "Increased atrial fibrillation
mortality: United States, 1980-1998". Am. J. Epidemiol. 155 (9): 819–26.
9. Blackshear JL, Odell JA (February 1996). "Appendage obliteration to reduce
stroke in cardiac surgical patients with atrial fibrillation". Ann. Thorac. Surg. 61
(2): 755–9.
10. Wolf PA, Dawber TR, Thomas HE, Kannel WB (1978). "Epidemiologic
assessment of chronic atrial fibrillation and risk of stroke: the Framingham
study". Neurology 28 (10): 973–7.
11. Guyton (1995). Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. EGC: 287-305.
12. Ganong William F (1999). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 17. EGC: 682-
712.
13. Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson (2000). Patofisiologi (Konsep Klinis Proses-
proses Penyakit) Buku 2, Edisi 4. EGC: 770-89, 813-93.
25

14. Harrison (2000). Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 3 Edisi 13. EGC:
1418-87.

Anda mungkin juga menyukai