Anda di halaman 1dari 29

REFLEKSI KASUS CARDIOLOGI

NSTEMI

Disusun untuk Memenuhi Syarat Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam

RS Bethesda pada Program Pendidikan Dokter

Tahap Profesi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana

Disusun oleh :
Zakharia Ardi (42180282)

Dosen Pembimbing Klinik :


dr. Lidwina BR Tarigan, Sp. JP (FIHA)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH RS BETHESDA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
YOGYAKARTA
2020
BAB I
REFLEKSI KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. NMH
Jenis Kelamin : Perempuan
No. RM : 0208xxx
Tanggal Lahir : 31 Desember 1945
Usia : 73 tahun
Agama : Islam
Alamat : Bumijo, Jetis, Yogyakarta
Pekerjaan :-
HMRS : 27 Januari 2020
Ruang Perawatan : ICU

B. ANAMNESIS

1. Keluhan Utama
Sesak nafas

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RS Bethesda pada 26 Januari 2020 pukul
19.45 dengan keluhan utama sesak nafas.. Sesak nafas dirasakan sejak
pukul 13.00 siang SMRS dan memberat beberapa jam SMRS. Sesak nafas
tidak membaik dengan posisi apapun. Setelah mengeluhkan sesak nafas,
pasien kemudian mengeluhkan dada ampeg. Sesak dan dada ampeq
muncul saat pasien sedang tidak melakukan aktivitas berat. Kemudian
pasien pingsan, setelah itu langsung dibawa ke IGD RS Bethesda.
Keringat dingin (-), nyeri dada (-), mual dan muntah (-), pusing (-),
pingsan (+), kelemahan anggota gerak (-), pelo (-), perot (-).
3. Riwayat Penyakit Dahulu
- Trauma Spine (-)
- Hipertensi (-)
- PPOK (+)
- Diabetes Melitus (-)
- Asma (+)
- Penyakit Hati (-)
- Penyakit Ginjal (-)
- Penyakit Jantung (-)

4. Riwayat Penyakit Keluarga


- HT (-)
- DM (-)
- Asma (-)
- PJK (-)

5. Riwayat Alergi
Pasien mengatakan tidak memiliki alergi terhadap obat maupun
makanan.

6. Riwayat Operasi
- Tidak ada

7. Riwayat Pengobatan
-

8. Riwayat Kebiasaan
Pasien sehari-hari bekerja sebagai petani. Pola makan teratur sehari
3x, menu makanan seadanya. Sering mengkonsumsi gorengan. OS adalah
perokok aktif, sehari menghabiskan 1 bungkus rokok saat bekerja di
sawah.
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis

o Keadaan umum : Sedang

o GCS : E1 V1 M1

o Kesadaran : Koma

o Tekanan Darah : 90/60 mmHg

o Nadi : 94x/menit

o Suhu : 36,4˚C

o Nafas : 20x/menit

o SpO2 : 86% dipasang NC 3 lpm  98%

o Risiko Jatuh : (+)

o Fungsional : Membutuhkan bantuan orang


lain

o Berat badan : 60 kg

2. Pemeriksaan Fisik
• Kepala
 Ukuran : Normocephali
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), mata cekung
(-/-), nyeri retroorbital (-/-), Brill Hematom (-/-)
 Telinga : Bentuk normal, simetris, otorrhea (-)
 Hidung : Bentuk normal, rhinorea (-), Napas cuping hidung (-)
 Mulut : Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-), stomatitis
aptosa (-),

 Leher
 Inspeksi : Bentuk normal, simetris, benjolan/masa (-),
 Palpasi : Pembesaran limfonodi (-), nyeri tekan limfonodi (-),
pembesaran kelenjar tiroid (-)
• Thoraks
Pulmo
 Inspeksi : Simetris dekstra et sinistra, jejas (-), retraksi dinding dada
(-), penggunaan otot bantu napas (-)
 Palpasi : Ketinggalan gerak (-), fremitus normal sama pada kedua
paru, pengembangan dada normal, tidak teraba massa
 Perkusi : sonor pada kedua lapang paru.
 Auskultasi : Suara dasar vesikuler, wheezing (-/-), RBB (+/+)

Cor
 Inspeksi : pulsasi iktus kordis tidak terlihat nampak pada dinding
dada
 Palpasi : Batas kiri jantung bawah VI linea midclavicularis sinistra
 Perkusi : jantung redup dengan kontur jantung normal
- Batas atas jantung : Batas kiri jantung atas SIC II linea
midclavicularis sinistra
- Batas jantung bawah : Batas kiri jantung bawah VI linea
midclavicularis sinistra
- Batas jantung kanan : Batas kanan jantung SIC II-IV linea
parasternalis dekstra
 Auskultasi: Suara S1/S2 batas normal, S3/S4 (-)

• Abdomen
 Inspeksi : Tidak ada tanda trauma pada abdomen, distensi abdomen
(-), massa (-), jejas (-)
 Auskultasi: Dbn
 Perkusi : Timpani pada seluruh regio abdomen
 Palpasi :
- Teraba supel di seluruh regio abdomen
- Nyeri tekan epigastrik(+), defans muskular (-)
- Hepar dan lien tidak teraba.

• Ekstremitas
 Superior : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-)
Bahu kiri: bengkak, nyeri tekan, krepitasi (+), nyeri gerak
 Inferior : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-)

3. Hasil EKG

• Irama = Sinus takikardi


• Heart Rate = 300/2,5 = 120-130 bpm
• Axis = normal lead I (+), aVF (+)
• Gelombang P : positif pada lead I, II dan avF, negative pada avR ; lebar <
3 kotak kecil & tinggi kurang dari 2,5 kotak kecil Normal
• P-R Interval : 5 kotak kecil  Normal
• Kompleks QRS : sempit (2 kotak kecil)  Normal
• Segmen ST : ada ST depresi di V4-V6
• Kesan : ST depresi di V4-V6
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
27-1-2020

29-1-2020
1-2-2020

X ray
• Jaringan pulmonal menunjukkan densitas yang inhomogen dengan infiltrat
tipis mengawan dan corakan bronkhovaskular kedua pulmo bertambah
• Struktur hiler tak tampak memadat
• Cor : CTR<0.5 dengan konfigurasi yang normal
• Diafragma bilateral letaknya normal dengan kontur yang reguler
• Kedua sinus costofrenikus lancip
• Struktur sistema tulang dinding thoraks tak ada kelainan
KESAN : tanda bronchopneumonia, tak tampak cardiomegaly

E. KLASIFIKASI
TIMI SCORE

KLASIFIKASI KILLIP

GRACE SCORE
Prediksi kematian di rumah sakit

Prediksi kematian dalam 6 bulan setelah keluar RS berdasarkan GRACE Scrore

F. DIAGNOSIS KERJA
- NSTEMI dengan TIMI score 3, onset 5 jam , Killip kelas III
- PPOK
- Asma bronchial
- Bronchopneumonia
- Edem pulmo

G. TATALAKSANA
Initial Terapi
• Infus RL 20 tpm -
• ET + bagging
• Syok (TD 90/60)  Dobutamin 1 ampul dalam 50 cc NaCl 0,9%  3,6
cc/jam IV
• Aspilet 4x80 mg
• CPG 4x75 mg
• Atorvastatin 1x20 mg
• NTG 3 cc/jam
• NGT, DC
• Inj Ceftriaxone 2x1 gr
• Nebulizer combivent + flexotide 3x1
• Inj Metylprednisolon 1x125 cc

Tatalaksana Maintenance di ICU :


- Clopidogrel 1x75 mg
- Atorvastatin 1x20 mg
- Sucralfat 3x2 cth
- Esomeprazole 2x1 fL
- inj Ceftazidime 3x1 gr
- Levofloxacin 1x750 mg

Terapi jangka panjang :


• Kendalikan faktor risiko (HT, DM)
• Aspirin 75-100 mg tanpa henti
• Clopidogrel 12 bulan setelah STEMI
• Atorvastatin 1x20 mg
• Ekokardiografi
• Treadmill
TINJAUAN PUSTAKA

Angina pektoris tidak stabil (UAP) dan infark miokard akut tanpa elevasi
ST (NSTEMI) diketahui merupakan suatu kesinambungan dengan kemiripan
patofisiologi dan gejala klinis sehingga pada prinsipnya penatalaksanaan
keduanya tidak berbeda. Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika pasien dengan
manifestasi klinis UAP menunjukkan bukti adanya nekrosis miokard berupa
peningkatan biomarker jantung.
Troponin T atau troponin I merupakan petanda nekrosis miokard yang
lebih disukai karena lebih spesifik daripada enzim jantung tradisional seperti CK
dan CKMB. Pada pasien dengan IMA, peningkatan awal troponin pada darah
perifer setelah 3-4 jam dan dapat menetap sampai 2 minggu.
Menurut pedoman American College of Cardiology (ACC) dan American
Heart Association (AHA) perbedaan angina tak stabil dan infark tanpa elevasi
segmen ST ( NSTEMI) ialah apakah iskemi yang timbul cukup berat sehingga
dapat menimbulkan kerusakan pada miokardium, sehingga adanya petanda
kerusakan miokardium dapat diperiksa. Diagnosis angina tak stabil bila pasien
mempunyai keluhan iskemi sedangkan tak ada kenaikan troponin maupun CK-
MB, dengan ataupun tanpa perubahan ECG untuk iskemi, seperti adanya depresi
segmen ST ataupun elevasi sebentar atau adannya gelombang T yang negatif.

I. ETIOLOGI

Unstable Angina Pektoris (UAP) / Non ST Elevation Myocardial Infarction


(NSTEMI) dapat disebabkan oleh adanya aterioklerosis, spasme arteri koroner,
anemia berat, artritis, dan aorta Insufisiensi.

Patofisiologi lainnya yang dapat menyebabkan terjadinya angina pektoris


tidak stabil :

1. Ruptur Plak
Ruptur plak aterosklerotik dianggap penyebab terpenting penyebab
angina pektoris tidak stabil, sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau
total dari pembuluh koroner yang sebelumnya mempunyai penyempitan
yang minimal. Plak aterosklerotik terdiri dari inti yang mengandung
banyak lemak dan pelindung jaringan fibrotik (fibrotic cap). Plak yang
tidak stabil terdiri dari inti banyak mengandung lemak dan adanya
infiltrasi sel makrofag. Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang
berdekatan dengan intima yang normal atau pada bahu dari timbunan
lemak. Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi
platelet dan menyebabkan aktivasi terbentuknya trombus. Bila trombus
menutup pembuluh darah 100% akan terjadi infark dengan elevasi
segmen ST, sedangkan bila trombus tidak menyumbat 100% dan hanya
menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angin tak stabil.

2. Trombosis dan Agregasi Trombosit


Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan salah satu dasar
terjadinya angina tak stabil. Terjadinya trombosis setelah plak terganggu
disebabkan karena interaksi yang terjadi antara lemak, sel otot polos,
makrofag dan kolagen. Inti lemak merupakan bahan terpenting dalam
pembentukan trombus yang kaya trombosit, sedangkan sel otot polos dan
sel busa (foam cell) yang ada dalam plak berhubungan dengan ekspresi
faktor jaringan dalam plak tak stabil. Setelah berhubungan dengan darah,
faktor jaringan berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade
reaksi enzimatik yang menghasilkan pembentukan trombin dan fibrin.

Sebagai reaksi terhadap gangguan faal endotel, terjadi agregasi platelet


dan platelet melepaskan isi granulasi sehingga memicu agregasi yang
lebih luas, vasokonstriksi dan pembentukkan trombus. Faktor sistemik
dan inflamasi ikut berperan dalam perubahan terjadinya hemostase dan
koagulasi dan berperan dalam memulai trombosis yang intermiten, pada
angina tak stabil.
3. Vasospasme
Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada angina
tak stabil. Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan vasoaktif
yang diproduksi oleh platelet berperan pada perubahan dalam tonus
pembuluh darah dan menyebabkan spasme. Spasme yang terlokalisir
seperti pada angina prinzmetal juga dapat menyebabkan angina tak stabil,
dan mempunyai peran dalam pembentukan trombus.

4. Erosi pada plak tanpa ruptur


Terjadinya penyempitan juga dapat disebabkan karena terjadinya
poliferasi dan migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan
endotel; adanya perubahan bentuk dan lesi karena bertambahnya sel otot
polos dapat menimbulkan penyempitan pembuluh dengan cepat dan
keluhan iskemia.

5. Kadang bisa karena : emboli, kelainan kongenital, penyakit inflamasi


sistemik.
Gambar 1. Perjalanan Proses Aterosklerosis (Initiation, Progression
dan
Complication) Pada Plak Aterosklerosis.

II. PATOGENESIS

Mekanisme timbulnya angina pektoris didasarkan pada ketidakadekuatan

suplai oksigen ke sel-sel miokardium yang diakibatkan karena kekakuan arteri dan

penyempitan lumen arteri koroner (arteriosklerosis koroner). Tidak diketahui

secara pasti apa penyebab arteriosklerosis, namun jelas bahwa tidak ada faktor

tunggal yang bertanggung jawab atas perkembangan arteriosklerosis.

Pada saat beban kerja suatu jaringan meningkat, kebutuhan oksigennya juga

meningkat. Apabila kebutuhan oksigen meningkat pada jantung yang sehat, arteri-

arteri koroner akan berdilatasi dan akan mengalirkan banyak darah dan oksigen ke

otot jantung. Akan tetapi apabila arteri koroner mengalami kekakuan atau

menyempit akibat aterosklerosis dan tidak dapat berdilatasi sebagai respon

terhadap peningkatan kebutuhan oksigen dan kemudian akan terjadi iskemia

(kekurangan suplai darah) miokardium.

Adanya endotel yang cedera mengakibatkan hilangnya produksi NO (nitrat

oksid) yang berfungsi untuk menghambat berbagai zat yang reaktif. Dengan tidak

adanya fungsi ini dapat menyebabkan otot polos berkontraksi dan timbul spasmus

koroner yang memperberat penyempitan lumen karena suplai oksigen ke miokard

berkurang. Penyempitan atau blok ini belum menimbulkan gejala yang begitu

nampak bila belum mencapai 75%. Bila penyempitan lebih dari 75% serta dipicu

dengan aktifitas berlebihan maka suplai darah ke koroner akan berkurang.


Oleh karena itu, sel-sel miokardium mulai menggunakan glikolisis anaerob

untuk memenuhi kebutuhan eneginya. Proses pembentukan energi ini sangat tidak

efisien dan menyebabkan terbentuknya asam laktat. Asam laktat menurunkan pH

miokardium dan menyebabkan nyeri yang berkaitan dengan angina pektoris.

Apabila kebutuhan energi sel-sel jantung berkurang, suplai oksigen menjadi

adekuat dan sel-sel otot kembali ke proses fosforilasi oksidatif untuk membentuk

energi. Proses ini tidak menghasilkan asam laktat. Dengan menghilangnya

penimbunan asam laktat, nyeri angina pektoris mereda. Dengan demikian, angina

pektoris adalah suatu keadaan yang berlangsung singkat.

III. GEJALA KLINIS

Keluhan yang khas adalah nyeri dada. Nyeri dada tipikal (angina) merupakan

gejala kardinal pasien IMA. Sifat nyeri dada angina sebagai berikut :

 Lokasi : substernal, retrosternal, dan prekordial


 Sifat nyeri : seperti diremas-remas, ditekan, panas, atau ditindih beban
berat
 Nyeri dapat menjalar ke lengan (umunya kiri), bahu, leher, rahang
bawah, punggung, perut
 Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat dan responsif terhadap nitrat
 Faktor pencetus : latihan fisik, stres emosi, udara dingin, atau sesudah
makan
 Gejala yang menyertai dapat berupa mual, muntah, sulit bernapas
(sesak), keringat dingin, cemas, dan lemas
IV. DIAGNOSIS

a) Anamnesis
Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis
secara cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau dari luar jantung.
Jika dicurigai dari jantung, perlu dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner
atau bukan. Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard
sebelumnya serta faktor-faktor risiko, antara lain hipertensi, diabetes mellitus,
dislipidemi, merokok, stres, serta riwayat sakit jantung koroner pada keluarga.

Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadang epigastrium dengan ciri
seperti diperas, perasaan seperti diikat, perasaan terbakar, nyeri tumpul, rasa
penuh, berat atau tertekan, nyeri berlangsung lebih dari 20 menit dan tidak
dipengaruhi aktivitas, menjadi manifestasi gejala yang sering ditemui pada
NSTEMI. Analisis berdasarkan gambaran klinis menunjukkan bahwa mereka
yang memiliki gejala dengan onset baru angina berat memiliki prognosis lebih
baik jika dibandingkan dengan yang nyeri dada pada saat istirahat. Walaupun
gejala khas rasa tidak enak di dada pada NSTEMI telah diketahui dengan baik,
gejala tidak khas seperti dispneau, mual, diaforesis, sinkop, atau nyeri di lengan,
epigastrium, bahu atas, atau leher, juga terjadi dalam kelompok yang lebih besar
pada pasien-pasien berusia lebih dari 65 tahun.

a) Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik biasanya tidak ditemukan kelainan. Bila
telah terjadi komplikasi seperti gagal jantung, maka dapat ditemukan
irama gallop (bunyi jantung ketiga) atau ronki basah halus. Bila terjadi
aritmia dan hipotensi, maka penderita mungkin tampak pucat dan
berkeringat dingin. Kadang-kadang pasien datang dengan keluhan
nyeri ulu hati, dada rasa terbakar, atau rasa tidak nyaman di dada yang
sulit digambarkan oleh penderita.

b) Pemeriksaan Penunjang
 EKG
Pada NSTEMI, dapat ditemukan depresi segmen ST (≥ 1mV) atau
inverse gelombang T simetris (> 2mV) pada dua lead yang
bersebelahan.

Depresi ST pada iskemia miokard:

A. Depresi ST horizontal, spesifik


untuk iskemia
B. Depresi ST landai ke bawah,
spesifik untuk iskemia
C. Depresi ST landai ke atas, tidak
spesifik untuk iskemia

Inverse T pada iskemia miokard:

A. Inverse T yang kurang spesifik


untuk iskemia
B. Inverse T berujung lancip dan
simetris, spesifik untuk iskemia.

 Laboratorium (cardiac marker)


Kerusakan miokardium dikenali keberadaanya antara lain dengan
menggunakan tes enzim jantung, seperti : creatine-kinase (CK),
creatine-kinase myocardial band (CK-MB), cardiac specific
troponin (cTn) I/T, dan myoglobin. Peningkatan nilai enzim CK-
MB atau cTn T/I >2x nilai batas atas normal menunjukkan adanya
nekrosis jantung (infark miokard). Pemeriksaan enzim jantung
sebaiknya dilakukan secara serial.

a. Cardiac specific troponin (cTn) T dan I


 Paling spesifik dan sensitif untuk infark miokard
 Troponin I memiliki ukuran yang lebih kecil, sehingga
mudah dideteksi
b. Myoglobin
 Marker paling cepat terdeteksi, memiliki sensitivitas
yang tinggi tapi tidak spesifik
 Ditemukan pada otot jantung dan otot skeletal
 sangat berguna untuk deteksi dini infark miokard
c. Creatine Kinase (CK)
 Ditemukan pada otot, otak, jantung
 Murah, mudah, tapi tidak spesifik
d. Creatine Kinase-Myocardial Band (CKMB)
 Spesifik untuk infark miokard

Cardiac
Meningkat Puncak Normal
Marker

cTn T 3 jam 12-48 jam 5-14 hari

cTn I 3 jam 24 jam 5-10 hari

CK-MB 3 jam 10-24 jam 2-4 hari

CK 3-8 jam 10-36 jam 3-4 hari

Mioglobin 1-2 jam 4-8 jam 24 jam

LDH 24-48 jam 3-6 hari 8-14 hari

 Ekokardiografi
Pemeriksaan ini juga dapat membantu dalam mendiagnosis karena
dapat memperlihatkan abnormalitas dari kontraksi ventrikel yang
mengalami iskemik atau infark.

b) KLASIFIKASI

Pada tahun 1989 Brauwald menganjurkan dibuat klasifikasi supaya


ada keseragaman. Klasifikasi berdasarkan beratnya serangan angina dan
keadaan klinik.
1.Berdasarkan angina :

A. Kelas I: angina yang berat untuk pertama kali, atau makin bertambah
beratnya nyeri dada

B. Kelas II: angina pada waktu istirahat dan terjadinya subakut dalam I
bulan, tapi tidak ada serangan angina dalam 48 jam terakhir

C. Kelas III: adanya serangan angina waktu istirajat dan terjadinya secara
akut baik sekali atau lebih, dalam waktu 48 jam terakhir.

2. Keadaan klinis:

A. Kelas A: angina tak stabil sekunder, karena adanya anemia, infeksi lain
atau febris

B. Kelas B: angina tak stabil primer, tak ada faktor ekstrakasdiak

C. Kelas C: angina yang timbul setelah serangan infark jantung.

c) PENATALAKSANAAN

Pencegahan

 Perubahan life style (termasuk berhenti merokok dan lain-lain), penurunan


BB, penyesuaian diet, olahraga teratur dan lain-lain.
 Mengobati faktor predisposisi dan faktor pencetus : stress, emosi,
hipertensi, penyakit DM, hiperlipidemia, obesitas, anemia.
 Menghindari bekerja pada keadaan dingin atau stres lain yang diketahui
mencetuskan serangan angina klasik pada seseorang.
 Memberikan penjelasan perlunya melatih aktivitas sehari-hari sehingga
untuk meningkatkan kemampuan jantung agar dapat mengurangi serangan
jantung.
1. Oksigenasi
 Untuk meningkatkan suplai oksigen pada miokard yang mengalami
cedera (iskemik)
 Diberikan sampai pasien stabil dengan kadar oksigen 2-4 liter per
menit
2. Terapi Antiiskemia
 Nitrat
Nitrat dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan arteriol
perifer, dengan efek mengurangi preload dan afterload sehingga
dapat mengurangi wall stress dan kebutuhan oksigen. Nitrat juga
meningkatkan suplai oksigen dengan vasodilatsai pembuluh koroner
dan memperbaiki aliran darah kolateral. Untuk mengatasi nyeri dada
akut, preparat nitrat kerja cepat yang biasanya diberikan adalah
ISDN (Isosorbid Dinitrat) secara sublingual dengan dosis 5 mg,
dapat diulang sebanyak 3 kali dengan interval waktu 5 menit. Jika
nyeri dada belum teratasi, dapat diberikan nitrogliserin intravena
dengan dosis awal 5 ug/menit dan ditingkatkan (5-10 ug/menit)
setiap 5 menit sampai nyeri dada menghilang. Dosis maksimal 200
ug/menit.

 Morfin atau Pethidin


Jika nitrat intravena belum berhasil menghilangkan nyeri dada, dapat
diberikan morfin dengan dosis 2,5-5 mg atau pethidin dengan dosis
12,5-25 mg secara intravena.

 Beta Blocker
β-blocker memiliki efek inotropik dan kronotropik negatif sehingga
dapat meningkatkan suplai oksigen dan menurunkan kebutuhan
oksigen jantung melalui efek penurunan denyut jantung dan daya
kontraksi miokardium. Pemberian β-blocker pada jam-jam pertama
IMA dapat membatasi perluasan infark, mengurasi risiko reinfark,
dan memperpanjang harapan hidup. Jika tidak terdapat
kontraindikasi (bradikardi, bronkospasme, hipotensi, gagal jantung),
β-blocker dapat diberikan dalam 24 jam pertama onset nyeri dengan
tujuan untuk mencapai denyut jantung sekitar 60x/menit. β-blocker
yang diberikan sebaiknya yang merupakan kardioselektif, seperti
atenolol, acebutolol, bisoprolol, esmolol, atau metoprolol.

 Antagonis Kalsium
Dapat menyebabkan vasodilatasi koroner dan menurunkan tekanan
darah. Ada 2 golongan besar pada antagonis kalsium :

- golongan dihidropiridin : efeknya sebagai vasodilatasi lebih kuat


dan penghambatan nodus sinus maupun nodus AV lebih sedikit
dan efek inotropik negatif juga kecil (Contoh : nifedipin)
- golongan nondihidropiridin : golongan ini dapat memperbaiki
survival dan mengurangi infark pada pasien dengan sindrom
koroner akut dan fraksi ejeksi normal. Denyut jantung yang
berkurang, pengurangan afterload memberikan keutungan pada
golongan nondihidropiridin pada sindrom koroner akut dengan
faal jantung normal (Contoh : verapamil dan diltiazem).

3. Terapi Antiplatelet
 Aspirin
Aspirin memiliki efek menghambat COX-1 dan mencegah
pembentukan tromboksan (TXA2) yang merupakan mediator dalam
aktivasi platelet sehingga mencegah agregasi platelet dan konstriksi
arterial. Dosis awal :160-325 mg, kemudian dilanjutkan 75-160
mg/hari, diberikan pada semua pasien SKA jika tidak terdapat
kontraindikasi (ulkus peptikum, gastritis berat, atau penyakit
perdarahan lainnya).

 Clopidogrel
Clopidogrel (derivat Tinopiridin) memiliki efek dalam menghambat
aktivasi P2Y12, yang merupakan reseptor ADP pada platelet sehingga
dapat mencegah agregasi trombosit dan menghambat pembentukan
trombus. Pemberian clopidogrel efektif pada pasien-pasein yang alergi
terhadap aspirin. Dosis loading : 300 mg, kemudian dilanjutkan 75
mg/hari.

 Antagonis GP IIb/IIIa
Ikatan fibrinogen dengan reseptor GP IIb/IIIa pada platelet ialah
ikatan terakhir pada proses agregasi platelet. Karena antagonis GP
IIb/IIIa menduduki reseptor tadi maka ikatan platelet dengan
fibrinogen dapat dihalangi dan agregasi platelet tidak terjadi. Contoh :
absiksimab, eptifibatid, tirofiban.

Obat-obat ini telah dipakai untuk pengobatan angina tak stabil


maupun untuk obat tambahan dalam tindakan PCI terutama pada
kasus-kasus angina tak stabil.

4. Terapi Antikoagulan
 Unfractionated Heparin
Heparin ialah suatu glikosaminoglikan yang terdiri dari berbagai
rantai polisakarida yang berbeda panjangnya dengan aktivitas
antikoagulan yang berbeda-beda. Antitrombin III, bila terikat dengan
heparin akan bekerja menghambat trombin dan dan faktor Xa. Heparin
juga mengikat protein plasma, sel darah, sel endotel yang
mempengaruhi bioavaibilitas. Pada penggunaan obat ini juga
diperlukan pemeriksaan trombosit untuk mendeteksi adanya
kemungkinan heparin induced thrombocytopenia (HIT).
 Low Molecular Weight Heparin (LMWH)
LMWH dibuat dengan melakukan depolimerisasi rantai plisakarida
heparin. Dibandingkan dengan unfractionated heparin, LMWH
mempunyai ikatan terhadap protein plasma yang kurang,
bioavaibilitas lebih besar. LMWH yang ada di Indonesia ialah
dalteparin, nadroparin, enoksaparin dan fondaparinux. Keuntungan
pemberian LMWH karena cara pemberian mudah, yaitu dapat
disuntikkan secara subkutan dan tidak membutuhkan pemeriksaan
laboratorium.
5. Statin
Dengan menghambat biosintesis kolesterol serta meningkatkan ekspresi
reseptor LDL di hepar, statin memiliki efek menurunkan LDL-kolesterol
dan prekursornya dari sirkulasi. Statin juga memiliki efek pleiotropik,
yaitu perbaikan fungsi endotel, anti-inflamasi, anti-proliferasi otot polos,
anti-oksidan, anti-trombosis, dan stabilisasi plak, sehingga pemberian
statin dianjurkan pada pasien SKA dengan target kadar LDL < 70 mg/dl.

6. Revaskularisasi Pembuluh Koroner


Tindakan revaskularisasi perlu dipertimbangkan pada pasien dengan
iskemik berat dan refakter dengan terapi medikamentosa. Pada pasien
dengan penyempitan di left main atau penyempitan pada 3 pembuluh
darah, bila disertai faal ventrikel kiri yang kurang tindakan operasi
bypass (CABG) dapat mengurangi risiko masuknya kembali ke rumah
sakit. Pada pasien dengan faal jantung yang masih baik dengan
penyempitan pada satu pembuluh darah atau dua pembuluh darah atau
bila ada kontraindikasi, tindakan pembedahan PCI merupakan pilihan
utama.

Teknik-teknik invasif, misalnya percutaneous transluminal coronary


angioplasty (PTCA) dan bedah pintas arteri koroner dapat menurunkan
serangan angina klasik. Dengan PTCA, lesi aterosklerotik didilatasi oleh
sebuah kateter yang dimasukkan melalui kulit ke dalam arteri femoralis
atau brakhialis dan didorong ke jantung. Setelah berada di pembuluh
yang sakit, balon yang ada di kateter digembungkan. Hal ini akan
memecahkan plak dan meregangkan arteri. Dengan bedah pintas,
potongan arteri koroner yang sakit diikat, dan diambil arteri atau vena
dari tempat lain untuk dihubungkan ke bagian yang tidak sakit. Aliran
darah dipulihkan melalui pembuluh baru ini. Pembuluh yang paling
sering ditransplantasikan adalah vena safena atau arteri mamaria interna.
Pemasangan selang artifisial atau stent ke dalam arteri agar tetap terbuka
kadang-kadang dilakukan dengan keberhasilan yang bervariasi. Bedah
pintas koroner menghilangkan nyeri angina tetapi tampaknya tidak
mempengaruhi mortalitas jangka panjang.

d) KOMPLIKASI

 Infark miokardium (IM) adalah kematian sel-sel miokardium yang


terjadi akibat kekurangan oksigen yang berkepanjanga. Hal ini adalah
respon letal terakhir terhadap iskemia miokardium yang tidak teratasi.
Sel-sel miokardium mulai mati setelah sekitar 20 menit mengalami
kekurangan oksigen. Setelah periode ini, kemampuan sel untuk
menghasilkan ATP secara aerobs lenyap dan sel tidak memenuhi
kebutuhan energinya.
 Aritmia : Karena insidens PJK dan hipertensi tinggi, aritmia lebih sering
didapat dan dapat berpengaruh terhadap hemodinamik. Bila curah
jantung dan tekanan darah turun banyak, berpengaruh terhadap aliran
darah ke otak, dapat juga menyebabkan angina, gagal jantung.
 Gagal Jantung : Gagal jantung terjadi sewaktu jantung tidak mampu
memompa darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan
nutrien tubuh. Gagal jantung disebabkan disfungsi diastolik atau sistolik.
Gagal jantung diastolik dapat terjadi dengan atau tanpa gagal jantung
sistolik. Gagal jantung dapat terjadi akibat hipertensi yang lama (kronis).
Disfungsi sistolik sebagai penyebab gagal jantung akibat cedera pada
ventrikel, biasanya berasal dari infark miokard.
e) PROGNOSIS

Skor resiko merupakan suatu metode untuk stratifikasi resiko, dan


angka faktor resiko. Insidens outcome yang buruk (kematian, (re) infark
miokard, atau iskemia berat rekuren) pada 14 hari sekitar antara 5%
dengan skor resiko 0-1, sampai 41% dengan skor resiko 6-7.skor resiko ini
berasal dari analisis pasien-pasien pada penelitian TIMI 11B dan telah
divalidasi pada empat penelitian tambahan dan satu registry. Dengan
meningkatnya skor resiko, telah diobservasi manfaat yang lebih besar
secara progresif pada terapi dengan LMWH versus UFH, dengan platelet
GP IIb/IIIa receptor blocker tirofiban versus placebo, dan strategi invasif
versus konservatif.
Pada pasien untuk semua level skor resiko TIMI, penggunaan
clopidogrel menunjukkan penurunan outcome yang buruk relatif sama.
Skor resiko juga efektif dalam memprediksi outcome yang buruk pada
pasien setelah pulang.

Skor risiko TIMI

Usia ≥ 65 tahun 1

≥ 3 faktor risiko PJK 1

(riw. keluarga, HT, dislipidemi, DM, rokok)

Diketahui PJK 1

Pemakaian aspirin dalam 7 hari terakhir 1

≥ 2 episode angina dalam 24 jam 1

Peningkatan biomarker jantung 1

Deviasi ST > 0,5 mm 1

Interpretasi

Risiko
Skor
(%)
0-1 4,7
2 8,3
3 13,2
4 19,9
5 26,2
6-7 40,9
DAFTAR PUSTAKA

Hastuti, Triani, 2007, Bahan Ajar Histology Kardiovaskuler, Bagian Histologi


Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar.

Mansjoer, Arief, dkk., 2005, Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 2, edia
Aesculapius, Penerbit FK UI, Jakarta.

Price, A. Sylvia, dan Wilson, Lorraine M., 2006, Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit Edisi 6 Volume 1, Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta.

Putz R., R. Pabst, 2005, Atlas Anatomi Manusia Sobotta Jilid 2 Edisi 21, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Swartz, Mark H., 1995, Buku Ajar Diagnostik Fisik, Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai