Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS

CONGESTIVE HEART FAILURE (NYHA II) + ATRIAL FIBRILASI


RESPON VENTRIKEL CEPAT + RIWAYAT HIPERTIROID TIDAK
TERKONTROL

Disusun Oleh :
dr. Nurahmi Widyani Ratri
Pembimbing :

dr. Chandra Kurniawan, Sp.JP 

INTERNSHIP PERIODE 2022-2023


RS AISYIYAH MUNTILAN
BAB I
STATUS PASIEN

IDENTITAS
 Nama pasien : Ny. A
 Jenis Kelamin : Perempuan
 Umur : 51 tahun 2bl
 Agama : Islam
 Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
 Alamat : Dukuh 03/13, Sriwedari Muntilan
 Masuk RS : 02/03/2022 pukul 10.30

ANAMNESIS
 Keluhan Utama
Sesak nafas
 Riwayat Penyakit Sekarang
4 hari SMRS pasien mulai merasakan sesak nafas yang hilang
timbul. Sesak nafas terasa muncul dan memberat setelah pasien
melakukan aktivitas sehari-hari. Keluhan terasa membaik ketika
digunakan untuk beristirahat. Pasien belum mengonsumsi obat apapun
untuk meredakan keluhan sesak nafas yang diderita.
Keluhan sesak disertai dengan dada berdebar. Keringat dingin
(+), penurunan berat badan (+), tremor (+), keringat berlebih (+).
Keluhan diare (-), penurunan kesadaran (-), demam (-).

 Anamnesis Sistem
Sistem Serebrospinal : Nyeri kepala (-)
Sistem Kardiovaskular : Takikardi (+), nyeri dada(-)
Sistem Respirasi : Sesak (+), batuk (-), pilek (-)
Sistem Gastrointestinal : Nyeri telan (-), mual (+), muntah (-),
sulit BAB dan BAK (+)
Sistem Muskuloskeletal : Kelemahan anggota gerak (-)
Sistem Integumen : Keringat dingin (+)
 Riwayat Penyakit Dahulu
Pada tahun 2018, pasien sempat mondok di RS dengan diagnosis
penyakit jantung dan hipertiroid. Sempat mengonsumsi obat PTU dan
propanolol selama 8 bulan, kemudian tidak pernah kontrol lagi sampai
sekarang. Terbangun di malam hari karena sesak (-), tidur biasanya
hanya menggunakan 1 bantal. Keluhan kaki bengkak (+), dada berdebar
(+), penurunan berat badan (+), sering berkeringat (+) dan nyeri
dada(-).
Keluhan serupa (+)
Kolesterol tinggi (-)
DM (-)
Hipertensi (-)
 Riwayat Penyakit Keluarga
Keluhan serupa (-)
Penyakit jantung (-)
Hipertensi (-)
DM (-)

PEMERIKSAAN FISIK
 Status Umum
Keadaan umum : lemah
Kesadaran : Compos Mentis, GCS E4V5M6
 Vital sign
TD: 110/88 mmHg RR: 24 x/menit SpO2: 99%
HR: 92 x/menit Suhu: 36,3 0C
 Status Gizi
Berat badan : 60 kg Tinggi Badan : 152 cm
IMT : 25,97 kg/m2 (overweight)
 Kepala leher
Anemis (-), ikterik (-), sianosis (-), dispneu (+), nyeri tenggorokan(-),
JVP 5+4 cm H2O.
Palpable tiroid(+), bruit (-)
 Thorax
- Cardio
Inspeksi : Normochest
Palpasi :Thrill teraba di SIC V linea aksilaris anterior sinistra
Perkusi : Batas kanan : SIC IV linea parasternalis dextra
Batas kiri : SIC V linea aksilaris anterior sinistra
Auskultasi : Irama iregular, S3 gallop (-), mur-mur (-)
- Pulmo
Inspeksi : Pengembangan dada simetris
Palpasi : Fremitus taktil simetris
Perkusi : Sonor kedua lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesicular kedua lapang paru, rhonki
(-/-), wheezing (-/-)
 Abdomen
Inspeksi : Sikatrik (-), distensi (-)
Auskultasi : Peristaltik (+)
Perkusi : Timpani di seluruh regio
Palpasi : Soepel (+), nyeri tekan (-)
+¿ ¿
 Ekstremitas : Akral hangat + ¿∨ + ¿ ¿ ¿ , oedema tungkai
+¿ ¿
−¿ ¿
+ ¿∨ −¿ ¿ ¿ , tremor +/+
+¿ ¿
PEMERIKSAAN PENUNJANG
 EKG

Setting EKG: 25 mm/s, 10 mm/mV


terdapat gambaran irama atrial fibrilasi dengan respon ventrikel
>100x/menit
terdapat gambaran Left ventricular hypertrophy memenuhi kriteria
sokolow lycon (S di V1 +R di V6 > 35mm)

 Laboratorium
Hematologi Nilai
Hb 13,6g/dL
Leukosit 6,31 x 103/µL
Trombosit 156 x 103/µL
Hematokrit 41,9 %*
Eritrosit 4,67 x 106/µL
MCV 84,7 fL*
MCH 28,4 pg*
MCHC 33,3 g/dl*
Limfosit 44,6 %*

Kimia Klinik Nilai


SGOT 40U/L
SGPT 15 U/L
BUN 60,0 mg/dL
Creatinin 0,44 mg/dL*
Gula Darah Sewaktu 128 mg/dL
Natrium Darah 131 mmol/L
Kalium Darah 3,58 mmol/L*
Chloride / Cl darah 103mmol/L

 Laboratorium
Imuno-serologi Nilai
FT 4 Elfa 3,26 pmol/L*
TSH Elfa <0,05 µlU/mL*
 Rontgen Thorax

Hasil Pemeriksaan Thorax (AP) :


Cor : Membesar, CRT 0,69
Pulmo : Tak tampak infiltrat
Sinus phrenicocostalis kanan kiri tajam
Skeletal intak
Kesimpulan :
Cardiomegali
DIAGNOSIS
CHF (NYHA II) + Atrial Fibrilasi Respon ventrikel cepat + Riwayat
Hipertiroid Tidak Terkontrol
PLANNING
Terapi di IGD
 Rawat inap
 O2 masker 10 lpm
 Terapi cairan : Infus asering 12 tpm
 DC
 Fargoxin 1 ampul diencerkan dalam 10cc NaCl, IV pelan dalam 15
menit
 Injeksi furosemide 2 ampul IV bolus

Terapi dr. Chandra, Sp.JP

 Injeksi furosemide 2 ampul/8jam iv


 Inj digoxin 1 amp ekstra
 Spironolacton 25mg 1-0-0 po
 Digoxin 0.25 mg 1-0-0 po
 Simarc 2 mg 0-0-1 po
 Cek TSH FT4
 Rawat HCU
 Konsul TS Interna

Terapi dr. Migi, Sp.PD

 PTU 3x100 mg
 Propanolol 4x40mg
LANDASAN TEORI
CHF (Congestive Heart Failure)

1. Definisi
CHF merupakan suatu sindrom klinis yang terjadi akibat kelainan fungsi
maupun struktur jantung, sehingga menyebabkan gangguan pengisian dan/ pompa
ventrikel.

2. Epidemiologi
Secara global, pria ras kulit hitam memiliki angka insidensi tertinggi (1000
orang per tahun) serta memiliki angka mortalitas tertinggi dalam 5 tahun bila
dibandingkan ras kulit putih. Di Amerika Serikat, diperkirakan sekitar 5,1 juta
penduduk memiliki manifesti gagal jantung, dengan insidensi per tahun yang relatif
stabil yaitu 650.000 kasus (paling banyak pada kelompok usia >65 tahun). Di
Indonesia sendiri, penderita gagal jantung cenderung bergeser ke usia yang
semakin muda. Hal ini sejalan dengan meningkatnya angka perokok, obesitas,
dislipidemia, dan diabetes mellitus. Meski begitu, angka kejadian gagal jantung
juga meningkat seiring pertambahan usia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Framingham, terjadi peningkatan insidensi gagal jantung sebanyak 3 pada usia
50-59 tahun menjadi 27 pada usia 80-89 tahun.
3. Etiologi
CHF dapat terjadi akibat gangguan pada endokardium, miokardium,
perikardium, katup jantung, pembuluh darah maupun penyakit metabolik. Sebagian
besar pasien CHF timbul gejala akibat gangguan fungsi miokardium ventrikel kiri.
Penyebab gagal jantung dengan disfungsi sistolik (HFrEF) tersering adalah
idiopathic dilated cardiomyopathy, penyakit jantung koroner (iskemik), hipertensi,
dan penyakit katup.
Sedangkan gagal jantung dengan ejeksi tetap (HFpEF) dapat disebabkan oleh
hipertensi (tersering), obesitas, penyakit jantung koroner, diabetes mellitus, atrial
fibrilasi, hiperlipidemia, dan hipertiroid.

4. Patogenesis dan Patofisiologi


CHF terjadi akibat peningkatan tegangan miokardium secara kronik, yang
kemudian mengakibatkan hipertrofi miosit, kematian sel akibat apoptosis, dan rege
nerasi. Proses ini nantinya akan sebabkan perubahan struktur jantung tipe eksentrik
penurunan cardiac output, dan menginduksi mekanisme neurohumoral dan vaskul
ar. Terjadinya peningkatan stimulasi baroreseptor karotis dan perfusi renal akan me
ngaktivasi sistem saraf simpatis dan sistem renin angiotensin aldosteron (SRAA).
Dengan meningkatnya simpatis, heart rate dan inotropi akan meningkat (dapat seb
abkan toksisitas pada miokardium), SRAA menyebabkan terjadinya vasokonstriksi
peningkatan afterload (angiotensin II), perubahan hemodinamik, serta peningkatan
preload (aldosteron).
BNP (brain natriuretic peptides) dan ANP (atrial natriuretic peptides) dih
asilkan dan dilepaskan oleh atrium dan ventrikel sebagai respon peningkatan tekan
an dan volume ruang jantung. Peptida tersebut kemudian menyebabkan terjadinya
natriuresis dan vasodilatasi. BNP juga akan menghambat reabsorpsi sodium pada tu
bulus kontortus proksimal, mensupresi pelepasan renin dan aldosteron.
Pada pasien dengan HFpEF, terjadi gangguan relaksasi dan peningkatan ke
kakuan ventrikel, yang akhirnya sebabkan disfungsi pengisian diastolik ventrikel ki
ri. Hal ini akan menyebabkan peningkatan tekanan diastolik, yang berakibat pada p
eningkatan pengeluaran energi dan kebutuhan oksigen, sehingga dapat terjadi iske
mik miokardium.
5. Manifestasi Klinis
Gejala CHF terdiri dari 2 mekanisme, yaitu : akumulasi cairan berlebih
(sesak nafas, orthopnea, edema, nyeri akibat kongesti hepatik, dan distensi
abdomen akibat asites) serta penurunan curah jantung (lelah dan lemas). Pada
kondisi akut (hari hingga minggu), akan muncul gejala berupa nafas cepat dan
pendek ketika istirahat dan/ aktivitas, orthopnea, paroxysmal nocturnal dyspnea
(PND), nyeri pada kuadran kanan atas karena kongesti hepar akut (gagal jantung
kanan), serta palpitasi. Pada kondisi kronik (bulanan), dapat muncul kelelahan,
anoreksia, distensi abdomen, dan edema perifer (sesak nafas juga terjadi namun
kurang dirasakan). Anoreksia terjadi akibat dari buruknya perfusi organ abdomen,
edema pada usus, dan mual akibat kongesti hepar. Beberapa gejala yang dapat
ditemukan pada pemeriksaan fisik antara lain : pulsus alternans, apical impulse
(indikasi perbesaran ventrikel kiri), dan S3 gallop.
Tabel 1. Gejala & Tanda Gagal Jantung

Tabel 2. Manifestasi Klinis Gagal Jantung


6. Klasifikasi
Gagal jantung dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu kelainan
struktural jantung serta gejala yang berkaitan dengan kapasitas fungsional dari
New York Heart Association (NYHA)
Tabel 3. Klasifikasi Gagal Jantung
7. Pemeriksaan penunjang
. Uji diagnostik umumnya sensitif pada pasien gagal jantung dengan fraksi
ejeksi rendah, sedangkan pada pasien dengan fraksi ejeksi normal akan kurang
sensitif. Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan ialah :
 Elektrokardiogram (EKG)
Penting dalam mengidentifikasi adanya infark miokardium akut atau iskemik akut,
serta adanya abnormalitas ritme seperti atrial fibrilasi. Pemeriksaan EKG
seharusnya dilakukan pada semua pasien suspect gagal jantung, nilai abnormalitas
EKG hanya memiliki nilai prediktif yang kecil dalam mendiagnosis gagal jantung,
Jika hasil EKG normal, maka diagnosis gagal jantung khususnya dengan disfungsi
sistolik sangat kecil (<10%).
 Rontgen Thorax
Merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal jantung. Foto thorax dapat
mendeteksi adanya kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura, dan mendeteksi
adanya penyakit atau infeksi paru yang dapat memperberat sesak nafas.
Karakteristik yang dapat ditemukan adalah cardiac to thoracic ratio (CTR) >50%,
sefalisasi pembuluh pulmoner, garis kerley-B, dan efusi pleura. Meski begitu, bisa
saja tidak ditemukan adanya kardiomegali pada pasien gagal jantung akut maupun
kronik.
 Laboratorium
Beberapa pemeriksaan laboratorium rutin yang dapat dilakukan pada pasien
suspect gagal jantung ialah : darah perifer lengkap (hemoglobin, leukosit,
trombosit), elektrolit, kreatinin, estimasi laju filtrasi glomerolus (eGFR), glukosa,
tes fungsi hepar dan urinalisis.
 Peptida Natriuretik
Umumnya, kadar peptida natriuretik akan meningkat ketika tekanan dinding
ventrikel meningkat. Namun peptida natriuretik mempunyai waktu paruh yang
panjang, sehingga ketika ada penurunan tiba-tiba pada tekanan dinding ventrikel
maka kadar peptida natriuretik tidak langsung menurun. Kadar peptida natriuretik
yang tetap tinggi setelah terapi optimal mengindikasikan prognosis pasien buruk.
 Troponin I/T
Dapat dilakukan pada penderita gagal jantung jika terdapat gambaran klinis
disertai dugaan sindrom koroner akut. Pada gagal jantung berat atau episode
dekompensasi gagal jantung dapat disertai peningkatan ringan pada kadar
troponin.
 Ekokardiografi
Untuk menentukan fungsi ventrikel dan hemodinamik. Digunakan untuk
mengonfirmasi diagnosis pada pasien dugaan gagal jantung. Pemeriksaan
ekokardiografi dapat membedakan antara HFrEF dan HFpEF.
Gambar1. Skema Diagnostik Pasien Suspect Gagal Jantung
8. Tatalaksana
Prinsip terapi pada kasus gagal jantung terbagi menjadi dua, yaitu : non-
farmakologi dan farmakologi. Bagaimanapun, kedua jenis tatalaksana harus
dilakukan beriringan karena sifatnya yang saling sinergis. Beberapa tatalaksana
non-farmakologi yang dapat dilakukan ialah pemantauan berat badan mandiri,
asupan cairan, penurunan berat badan, dan latihan fisik. Pemantauan berat badan
harus dilakukan rutin setiap hari, jika terdapat kenaikan berat badan >2kg dalam 3
hari, maka naikkan dosis diuretik pasien atas pertimbangan dokter. Kemudian
lakukan restriksi cairan dengan rentang 900-1200ml/hari (disesuaikan dengan berat
badan) terutama pada pasien dengan gejala berat disertai hiponatremia. Penurunan
berat badan hendaknya dilakukan pada pasien obesitas dengan gagal jantung untuk
mencegah perburukan gagal jantung, mengurangi gejala, dan meningkatkan kualitas
hidup. Latihan fisik direkomendasikan pada semua pasien gagal jantung kronik
dengan kondisi stabil.
Terdapat beberapa pilihan tatalaksana farmakologi yang dapat digunakan
disesuaikan dengan indikasinya. Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors (ACE-
I), harus diberikan pada semua pasien gagal jantung bergejala dan fraksi ejeksi
ventrikel kiri ≤40%, kecuali ada kontraindikasi (riwayat angioedema, stenosis renal
bilateral, stenosis aorta berat, kalium serum >5.5mmol/L, kreatinin serum
>2.5mg/dL). Kerja ACE-I adalah dengan memperbaiki fungsi ventrikel. Namun
terkadang dapat sebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan batuk,
sehingga hanya diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal dan kadar kalium
normal.
Penyekat reseptor B (beta blocker), harus diberikan pada semua pasien
gagal jantung bergejala dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40%, kecuali ada
kontraindikasi (asma berat, AV block derajat 2 dan 3, sinus bradikardia). Pemberian
beta blocker juga dibarengi dengan pemberian ACE-I/ARB/ARNI (dengan atau
tanpa antagonis aldosteron). Antagonis aldosteron, Dapat diberikan dengan dosis
rendah pada semua pasien dengan fraksi ejeksi ≤35% dan gagal jantung
simptomatik berat tanpa hiperkalemia dan gangguan fungsi ginjal berat.
Dikontraindikasikan pada pasien dengan serum kalium >5.5mmol/L, kreatinin
serum >2.5mg/dL, diberikan bersamaan dengan diuretik hemat kalium, kombinasi
ACE-I dan ARB/ARNI.
Angiotensin Reseptor Blockers (ARB), direkomendasikan pada pasien
gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40% yang tetap bergejala
meskipun sudah diberikan ACE-I dan beta blocker dosis optimal, kecuali terdapat
kontraindikasi (sudah mendapat ACE-I dan antagonis aldosteron bersamaan)
Angiotensin Receptor-Neprilysin Inhibitor (ARNI), diberikan pada pasien
yang masih bergejala dengan dosis pengobatan ACE-I/ARB, beta blocker, dan
MRA, dapat juga diberikan sebagai pengganti ACE-I/ARN yaitu ARNI yang
merupakan kombinasi sacubitril dan valsartan. Sacubitril bekerja untuk
memperbaiki remodeling miokard, diuresis dan natriuresis serta vasokonstriksi.
Ivabradine, bekerja dalam memperlambat laju jantung melalui
penghambatan kanal, hanya dapat digunakan untuk pasien dengan irama sinus.
Gambar 2. Strategi Pengobatan Pasien CHF Simptomatik
Digoksin, diberikan pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, berfun
gsi untuk memperlambat laju ventrikel. Diberikan ketika fraksi ejeksi ventrikel kiri
≤40% dengan irama sinus. Dapat diinisiasi dengan dosis awal 0,25mg 1x/hari pada
pasien dengan fungsi ginjal normal. Pada pasien usia lanjut dan gangguan fungsi gin
jal, dosis dapat diturunkan menjadi 0,125 atau 0,0625mg 1x/hari.
Diuretik direkomdasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis ata
u gejala kongesti. Tujuan pemberian diuretik adalah untuk mencapai status euvole
mia dengan dosis obat serendah mungkin.
9. Komplikasi
Komplikasi yang dapat muncul berupa atrial fibrilasi, emboli sistemik,
endocarditis, hipertensi pulmoner, dan edema pulmo.
LANDASAN TEORI
Atrial Fibrilasi

1. Definisi
Atrial Fibrilasi (AF) adalah takiaritmia supraventrikular yang khas, dengan
aktivasi atrium yang tidak terkoordinasi mengakibatkan perburukan fungsi mekani
k atrium. Pada EKG, ciri khas Atrial Fibrilasi adalah tidak adanya gelombang P ya
ng konsisten, digantikan dengan gelombang getar (fibrilasi) yang amplitudo, bentu
k, serta durasinya bervariasi. Pada pasien AV node normal, AF biasanya diikuti res
pons ventrikel cepat dan ireguler.
2. Epidemiologi
Merupakan aritmia yang paling sering ditemui dalam praktik sehari-hari.
Memiliki prevalensi sekitar 1-2% dan diperkirakan akan terus meningkat.
Berdasarkan penelitian kohort yang dilakukan Framingham Heart Study pada5209
subjek penelitian sehat, menunjukkan bahwa dalam periode 20 tahun terdapat
angka kejadian AF sebesar 2,1% pada laki-laki dan 1,7% pada perempuan. Studi
observasional juga dilakukan pada populasi urban di Jakarta dan didapati angka
kejadian AF sebesar 0,2% dengan rasio laki-laki : perempuan adalah 3:2. Kasus AF
meningkat secara progresif, dibuktikan dengan data di Rumah Sakit Jantung dan
Pembuluh Darah Harapan Kita mengenai persentase kejadian AF pada tahun 2010
sebesar 7,1%, meningkat menjadi 9% pada 2011, 9,3% pada 2012, dan 9,8% pada
2013.
3. Etiologi
AF berkaitan erat dengan penyakit kardiovaskular lainnya seperti hipertensi, gagal
jantung, penyakit jantung koroner, diabetes mellitus, dll. Gagal jantung
simptomatik dengan kelas NYHA II-IV dapat terjadi pada 30% pasien AF,
sebaliknya AF juga dapat terjadi pada 30-40% pasien dengan gagal jantung. AF
dapat se.bakan gagal jantung melalui peningkatan tekanan atrium, peningkatan
beban volume jantung, disfungsi katup, dan stimulasi neurohormonal yang kronis.
4. Patofisiologi
Terdapat dua konsep mengenai mekanisme AF, yaitu : adanya pemicu (dapat
dikonversi spontan) dan adanya faktor-faktor yang melanggengkan (tidak dapat
dikonversi secara spontan). Remodelling atrium yang menyebabkan gangguan
elektris antara serabut otot dan serabut konduksi di atrium merupakan faktor
pemicu sekaligus melanggengkan AF.
Secara elektrofisiologis terdapat dua mekanisme yaitu fokal dan reentri mikro.
Mekanisme fokal AF dipicu oleh daerah-daerah tertentu, 72% di vena pulmonalis
dan sisanya bervariasi di vena cava superior, dinding posterior atrium kiri, krista
terminalis, sinus koronarius. Vena pulmonalis memiliki potensi kuat untuk
memulai dan melanggengkan takiaritmia atrium karena memiliki periode refrakter
yang lebih pendek serta adanya perubahan drastis orientasi serat miosit.
Mekanisme reentri mikro dilanggengkan oleh beberapa wavelet independen secara
kontinyu yang menyebar melalui otot-otot atrium secara kacau. Wavelet ini tersebar
secara acak, bertabrakan satu sama lain, beberapa menghilang sedangkan yang lain
akan tumbuh lagi.

Gambar 3. Mekanisme Elektrofisiologis Atrial Fibrilasi


5. Klasifikasi
Berdasarkan waktu presentasi dan durasinya, AF terbagi menjadi lima yaitu :
 Pertama kali terdiagnosis : berlaku pada pasien yang pertama kali datang
dengan manifestasi klinis AF, tanpa memandang durasi atau berat
ringannya gejala.
 Paroksismal : mengalami terminasi spontan dalam 48 jam, namun dapat
berlanjut hingga 7 hari.
 Persisten : episode menetap hingga >7 hari atau memerlukan kardioversi
dengan obat/listrik.
 Persisten lama (long standing persistent) : bertahan hingga ≥1 tahun dan
strategi kendali irama masih akan diterapkan.
 Permanen : strategi kendali irama sudah tidak digunakan lagi. Ditetapkan
oleh dokter dan pasien.

Gambar 4. Klasifikasi AF menurut waktu presentasinya.


Terdapat klasifikasi tambahan berdasarkan ciri-ciri pasien yaitu :
 Sorangan (lone) : tanpa disertai penyakit struktur kardiovaskular lainnya sepe
rti hipertrofi atrium kiri, hipertensi
 Non-valvular : tidak terkait dengan penyakit rematik mitral, katup jantung
protese atau operasi perbaikan katup mitral
 Sekunder : terjadi akibat kondisi primer yang memicu AF, seperti infar
k miokard akut, bedah jantung, perikarditis, miokarditis, hipertiroidisme, embo
li paru, pneumonia, atau penyakit paru akut lainnya.

Berdasarkan kecepatan laju respon ventrikel (interval RR) dibedakan menjadi :


 Respon ventrikel cepat : >100x/menit
 Respon ventrikel normal : 60-100x/menit
 Respon ventrikel lambat : <60x/menit
Terdapat pula klasifikasi berdasarkan skor klinis derajat gejala yang disebabkan ole
h AF menurut EHRA (European Heart Rhytm Association) :

6. Manifestasi Klinis
Bervariasi, dapat asimptomatik hingga syok kardiogenik atau kejadian sereb
rovaskular berat. Beberapa gejala ringan yang mungkin dikeluhkan oleh pasien ada
lah : palpitasi, mudah lelah ketika beraktivitas fisik, presinkop/sinkop, pusing, lema
h dan letih.
7. Pemeriksaan Penunjang
EKG
Pemeriksaan EKG 12 lead didapatkan denyut ventrikel iregular (QRS kompleks), h
ilangnya gelombang P, siklus R – R menyimpang (fenomena Ashman),denyut jantu
ng biasanya 110-140 kali/menit, jarang > 160/170 kali/menit, preeksitasi, hipertrofi
ventrikel kiri, BBB atau konduksi intraventrikel terlambat, dan AMI.
Gambaran EKG pada kasus AF memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
 Pola interval R-R yang ireguler.
 Tidak dijumpai gelombang P yang jelas, terkadang dapat terlihat aktivitas a
trium yang ireguler pada beberapa sadapan, paling sering di V1.
 Interval antara dua gelombang aktivasi atrium biasanya bervariasi, umumny
a kecepatan melebihi 450x/menit.

Laboratorium
Ditujukan untuk mencari gangguan yang tersembunyi, terutama apabila laju ventr
ikel sulit dikontrol.
Ekokardiografi
Ekokardiografi transesofageal untuk mengevaluasi trombus atrial dan memandu
kardioversi (jika ditemukan trombus, kardioversi ditunda). Ekokardiografi transto
raks untuk mengevaluasi penyakit katup jantung, evaluasi ruang jantung, estimasi
fungsi ventrikel dan evaluasi trombus ventrikel, estimasi tekanan sistolik
pulmoner, dan evaluasi masalah perikardial
8. Tatalaksana
Terapi tergantung oleh derajat gejala, ritme sinus setelah kardioversi berhasi
l, keberadaan komorbid, dan kandidat ablasi AF. Penggunaan antikoagulan:
-Tidak ada faktor risiko: tidak terapi dengan antikoagulan atau antiplatelet
-Terdapat faktor risiko sedang: Aspirin 81 – 325 mg/hari, atau antikoagulan
-Terdapat faktor risiko berat atau faktor risiko sedang > 1: antikoagulan.
Kontrol ritme dengan kardioversi elektrik (terapi lini pertama pada pasien
muda bergejala), medikasi menggunakan flecainide, propafenone, dofetilide, amiod
arone, atau sotalol, dan ablasi dengan kateterisasi, operasi, atau cangkok

9. Komplikasi
Komplikasi yang dapat muncul berupa empiema, abses paru, jaringan
fibrosis akibat organisasi eksudat intraalveolus, serta meningitis, arthritis, atau
endokarditis (penyebaran bakteri secara sistemik).
KETERKAITAN RIWAYAT HIPERTIROID DENGAN KELUHAN
PASIEN
 Hipertiroid – CHF
Studi menyebutkan bahwa hormon tiroid berpengaruh terhadap regulasi dan
struktural protein. Paparan kadar T3 jangka panjang berefek terhadap
peningkatan sintesis protein jantung, memicu terjadinya hipertrofi dan
disfungsi jantung. Lebih lanjut, efek toksik akibat hormon tiroid berlebih
dapat menyebabkan kerusakan miokard (thyrotoxic cardiomyopathy), yang
berpengaruh terhadap perubahan produksi energi oleh miosit, metabolisme
intrasel, dan fungsi kontraktil miofibril.
 Hipertiroid – Atrial Fibrilasi
Palpitasi merupakan salah satu gejala tersering pada hipertiroidisme.
Sekitar 10-25% pasien hipertiroid mengalami AF. Terjadi peningkatan
risiko AF ketika kadar T4 melebihi batas normal. Kadar TSH tidak
berkaitan dengan AF, tetapi faktor risikonya meningkat pada pasien
hipertiroid dengan penyakit jantung iskemik dan gagal jantung kongestif.
Terdapat beberapa mekanisme berkembangnya AF, termasuk peningkatan
tekanan atrium kiri yang memicu pembesaran massa ventrikel kiri dan
gangguan relaksasi ventrikel, iskemik, serta peningkatan aktivitas ektopik
atrium.
DAFTAR PUSTAKA
Biondi, B. (2012) ‘Heart failure and thyroid dysfunction’, pp. 609–618. doi:
10.1530/EJE-12-0627.
Dokter, P. and Kardiovaskular, S. (2014) ‘PEDOMAN TATA LAKSANA
FIBRILASI ATRIUM’.
Klein, I. and Danzi, S. (2007) ‘Cardiovascular Involvement in General Medical
Conditions Thyroid Disease and the Heart’. doi:
10.1161/CIRCULATIONAHA.106.678326.
Malik, A., Brito, D. and Chhabra, L. (2020) ‘Congestive Heart Failure’, NCBI
Bookshelf, p. 8.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (2020) ‘Pedoman
Tatalaksana Gagal Jantung’.
Ponikowski, P. et al. (2016) ‘2016 ESC Guidelines for the diagnosis and treatment
of acute and chronic heart failure The Task Force for the diagnosis and
treatment of acute and chronic heart failure of the European Society of
Cardiology ( ESC ) Developed with the special contribution ’, pp. 2129–
2200. doi: 10.1093/eurheartj/ehw128.
Task, A. et al. (2020) ‘2020 ESC Guidelines for the diagnosis and management of
atrial fibrillation developed in collaboration with the European Association
for Cardio-Thoracic Surgery ( EACTS ) The Task Force for the diagnosis
and management of atrial fibrillation of the European Society of Cardiology
( ESC ) Developed with the special contribution of the European Heart’, pp.
1–126. doi: 10.1093/eurheartj/ehaa612.

Anda mungkin juga menyukai