Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS

KEJANG DEMAM

Disusun Oleh :
dr. Andry Yonatha
Pembimbing :
dr. Ari Meliyanti. Sp. A

INTERNSHIP PERIODE 2022-2023


RS AISYIYAH MUNTILAN

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II STATUS PASIEN 3
BAB III ANALISA KASUS 13
3.1 Definisi 13
3.2 Epidemiologi 13
3.3 Klasifikasi 14
3.4 Faktor Resiko 14
3.5 Patofisiologi 22
3.6 Penegakan Diagnosis 24
3.7 Tatalaksana 25
3.8 Prognosis 29
BAB IV KESIMPULAN 32
DAFTAR PUSTAKA 34

BAB I
PENDAHULUAN

Kejang demam adalah kejang yang terkait dengan demam dan usia, serta
tidak didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan lain di otak. Demam adalah
0 0
kenaikan suhu tubuh di atas 38 C rektal atau di atas 37,8 C aksila. Pendapat para
ahli terbanyak kejang demam terjadi pada waktu anak berusia antara 3 bulan
sampai 5 tahun. Berkisar 2% - 5% anak dibawah 5 tahun pernah mengalami
bangkitan kejang demam. Lebih dari 90% penderita kejang demam terjadi pada
anak berusia dibawah 5 tahun. Terbanyak bangkitan kejang demam terjadi pada
anak berusia antara usia 6 bulan sampai dengan 22 bulan. Insiden bangkitan
(1)
kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan.
Di Amerika Serikatdan Eropa prevalensi kejang demam berkisar 2 – 5%.
Di Asia prevalensi kejang demam meningkat dua kali lipat bila dibandingkan
Eropa dan di Amerika. Di Jepang kejadian kejang demam berkisar 8,3% - 9,9%.
(1)
Bahkan di Guam insiden kejang demam mencapai 14%.
Kejang demam dikelompokkan menjadi dua, yaitu kejang demam
sederhana dan kejang demam kompleks. Kejang demam merupakan salah satu
kelainan saraf tersering pada anak. Faktor-faktor yang berperan dalam etiologi
kejang demam yaitu faktor demam, usia dan riwayat keluarga, dan riwayat
prenatal (usia saat ibu hamil), riwayat perinatal (asfiksia, usia kehamilan dan bayi
(2)
berat badan lahir rendah).
Prognosis kejang demam baik, kejang demam bersifat benigna. Angka
kematian hanya 0,64% - 0,75%. Sebagian besar penderita kejang demam sembuh
sempurna, sebagian berkembang menjadi epilepsy sebanyak 2% - 7%. Kejang
demam dapat mengakibatkan gangguan tingkah laku serta penurunan intelegensi
dan pencapaian tingkat akademik. Sebesar 4% penderita kejang demam secara
bermakna mengalami gangguan tingkah laku dan penurunan tingkat intelegensi.
Walaupun prognosis kejang demam baik, bangkitan kejang demam cukup
(2)
menkhawatirkan bagi orangtuanya.
Tindakan pencegahan terhadap bangkitan kejang demam berupa pemberian
antipiretik dan antikonvulsan. Pemberian antipiretik tanpa disertai

pemberian antikonvulsan atau diazepam dosis rendah tidak efektif untuk


mencegah timbulnya kejang demam berulang. Jenis obat yang sering digunakan
adalah fenobarbital, asam valproate, dan fenitoin. Pemberian obat antikonvulsan
jangka panjang tersebut diatas dapat mencegah timbulnya kejang demam akan
tetapi tidak akan mencegah timbulnya epilepsi maupun cacat neurologis akibat
kejang demam. Tetapi pemberian obat anti kejang mempunyai efek samping tidak
baik. Tindakan pencegahan kejang dengan pemakaian obat fenobarbital maupun
asam valproate dan fenitoin dilakukan atas indikasi yang tepat. Indikasi pemberian
pengobatan pencegehan terhadap penderita kejang demam apabila demam tersebut
(2)
mempunyai resiko terjadi bangkitan kejang demam.

BAB II
STATUS PASIEN

2.1. Identitas Pasien

Nama : Bayi. A

Umur : 11 bulan

Alamat : Muntilan, Magelang

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Masuk Rumah Sakit : 18 Mei 2022


pk 18.10

2.2. Anamnesis

Anamnesis diperoleh melalui aloanamnesis terhadap ibu pasien.

Keluhan Utama: Kejang


Keluhan Tambahan: demam
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dengan keluhan kejang di rumah kurang lebih 8 menit, tiba-
tiba diam lalu kelojotan pada tangan dan kaki. Demam sejak pagi ini. Batuk (-)
pilek (-) mual (-) muntah (-). BAB dan BAK dbn.

2
Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat trauma disangkal. Riwayat kejang sebelumnya disangkal.

Riwayat Penggunaan Obat:


Pemakaian obat tidak diberikan.

Riwayat Penyakit Keluarga:


Kejang/epilepsi disangkal.

Riwayat Kehamilan:
Ibu pasien ANC teratur ke bidan dan dokter kandungan. Sakit sewaktu
hamil disangkal oleh ibu pasien.

Riwayat Persalinan :
Pasien lahir di bidan dengan berat badan lahir 3000 gram dan panjang 49 cm,
lahir spontan, langsung menangis kuat, usia kehamilan 39 minggu.

Riwayat Imunisasi:
Jenis I II III IV
BCG 1 bulan - - -
DPT 2 bulan 3 bulan 4 bulan -
Polio 2 hari 2 bulan 3 bulan 4 bulan
Campak 9 bulan - - -
Hepatitis B Lahir 2 bulan 3 bulan -
Kesimpulan : Imunisasi Dasar lengkap sesuai Depkes

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan


Motorik Kasar
Mengangkat kepala : 3 bulan
Tengkurap kepala tegak : 4 bulan
Duduk sendiri : 6 bulan
Berdiri sendiri : 11 bulan
Bahasa
Bersuara “aah/ooh” : 2,5 bulan
Berkata (tidak spesifik) : 8,5 bulan
Motorik halus
Memegang benda : 3,5 bulan
Personal sosial
Tersenyum : 2 bulan
Mulai makan : 6 bulan
Tepuk tangan : 9 bulan
Kesan : pertumbuhan dan perkembangan sesuai usia

Data Antropometri

BB : 8,8 kg
TB : 73 cm
Status gizi Z score :
BB/U : : -0,6 (-2 SD < BB/U < 2 SD)
TB/U : : -0,65 (-2 SD < TB/U < 2SD)
BB/U : Berat Badan Normal (-2 SD < BB/U < 2 SD)
TB/U : Normal (-2 SD < TB/U < 2SD)
Kesan : Gizi baik secara antropometri

2.3. Tanda Vital

Keadaan Umum : Cukup

Kesadaran : Compos Mentis

Nadi : 135 x/menit


Pernafasan : 20 x/menit
0
Suhu : 39,0 C (axial)

BB : 8,8 kg

TB : 73 cm

Keadaan Gizi : Gizi baik

2.4. PemeriksaanFisik
a. Kulit

Warna : sawo matang

Turgor : cepat kembali

Sianosis : tidak ada

Ikterus : tidak ada

Oedema : tidak ada

Anemia : tidak ada

b. Kepala

Rambut : Hitam, sukar dicabut

Wajah : Simetris, edema (-), deformitas(-)


- -
Mata : Conjunctiva pucat ( /-), ikterik ( /-)
+
Pupil : Bulat isokor 3 mm/3 mm, refleks cahaya langsung ( /+), refleks
+
cahaya tidak langsung ( /+)
- -
Telinga : Serumen ( /-), Sekret ( /-)

Bibir : pucat (-), mukosa basah (-), sianosis (-)

Lidah : lidah kotor(-)

Tonsil : hipremis (-)

Faring : hipremis (-)

c. Leher

Inspeksi : Simetris

Palpasi : Kaku kuduk (-)

Pembesaran KGB : Tidak ada

d. Thorax
Paru
Inspeksi : Simetris.

Anterior-Posterior Kanan Kiri


Palpasi Fremitus normal Fremitus normal
Perkusi Sonor Sonor
Auskultasi Vesikuler Normal Vesikuler Normal
Ronchi (-) wheezing (-) Ronchi (-) wheezing (-)

Jantung

Inspeksi : Ictus cordis terlihat

Palpasi : Ictus cordis teraba.

Perkusi : Tidak dilakukan

Auskultasi : BJ I > BJ II, regular, bising (-)

e. Abdomen

Inspeksi : Simetris, distensi (-), tumor(-)

Palpasi : Soepel, NT (-)


Perkusi : Timpani

Auskultasi : Peristaltik (+)

f. Genitalia : Tidak diperiksa

g. Anus : Tidak diperiksa

h. Tulang Belakang : Simetris, nyeri tekan (-)

i. Kelenjar Limfe : Pembesaran KGB (-)

j. Ekstremitas

Superior Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Sianosis - - - -
Oedema - - - -
Fraktur - - - -

2.5. Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium
Pemeriksaan 18/05/2022
HEMATOLOGI

Leukosit 15,20 x 103/µL


Eritosit 4,33 x 106/µL
Hemoglobin 11,5 g/dL
Hematokrit 33,7 %
MCV 77,8 fL
MCH 26,6 pg
MCHC 34,1 g/dl
Trombosit 270 x 103/µL
Limfosit 26,0 %
Monosit,Eosinofil,Basofil 8,4 %
Segmen 65,6 %
RDW-CV 14,0 %

KIMIA KLINIK
Natrium 131,3 mmol/L
Kalium 4,10 mmol/L
Klorida 108,1 mmol/L

Gula Darah Sewaktu 145 mg/dL

IMUNOLOGI
Antigen SARS-CoV-2 Negatif

Urinalisa

Pemeriksaan 19/05/2022
Urin Rutin

Warna Kuning
Kekeruhan Jernih
Bilirubin Negatif
Urobilinogen Normal
Keton Negatif
Reduksi Negatif
Protein Negatif
Blood Negatif
pH 8
Nitrit Negatif
Leukosit Negatif
Berat Jenis 1.010

Sedimen
Eritrosit 0-1 /LPB
Leukosit 0-1 /LPB
Sel Epitel 2-3
Bakteri Negatif
Kristal Negatif
Silinder Negatif
Lain-lain Negatif

Foto Thorax AP
Hasil Pemeriksaan Thorax (AP) :
Kedua apek pulmo tenang
Corakan bronkovaskular baik
Cor CTR <0,56
Diafragma baik
Kesan :
Pulmo tak tampak kelainan
Besar Cor normal

2.6. Diagnosis Kerja


Kejang Demam Sederhana

2.7. Diagnosis Banding

• Kejang Demam Kompleks


• Infeksi Intrakranial
• Gangguan elektrolit

2.8. Planning
Terapi di IGD :
• Inf RL 20 tpm
• Paracetamol 125mg supp

Terapi dr. Ari Meliyanti. Sp. A :

- Inf Kaen 3A 920 ml/24jam


- Inj PCT 130mg/4jam
- Inj Sibital 2x20mg
- Inj Cefotaxime 3x450mg
- Pemeriksaan Urin Rutin

2.8 Prognosis

Quo ad vitam : dubia ad bonam Quo


ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad
bonam
2

FOLLOW UP HARIAN

Tanggal/Hari Catatan Instruksi


Rawatan
20 Mei 2022 KU: cukup,CM TERAPI :
• Inf Kaen 3A 920ML/24jam
S : demam menurun, kejang (-) • Inj PCT 130mg/4jam
• Inj sibital 2x20mg
TANDA VITAL
• Inj Cefotaxime 3x450mg
HR:100 x/menit
RR : 20 x/menit
T : 36,5oC
Sp02 : 97%

PEMERIKSAAN FISIK
Kepala
: normocephali, ramb
ut normal
Mata : konj palp inferior
pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga : Normotia, serumen (-)
Hidung : NCH (-), sekret (-)
Mulut
: tonsil hipere
mis (-), faring
hiperemis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-)

Thorak :
Inspeksi: Simetris
Palpasi : tidak ada bagian dada yang
tertinggal
Perkusi : Sonor diseluruh lapangan
paru
Ausk : Ves (+/+), Rh (-
/-),
Wh (-/-)

Cor : BJ I > BJ II, regular,


bising (-)

Abdomen :
Inspeksi : Simetris,
Distensi (-) Palpasi :
Soepel
Perkusi :Timpani
Auskultasi : Peristaltik (+)

Extremitas :
Pucat (-/-), Ikterus (-/-), sianosis (-
/-), edema (-/-)

ASSESSMENT:
Kejang Demam Sederhana
Susp Bakterial Infection

FOLLOW UP HARIAN

Tanggal/Hari Catatan Instruksi


Rawatan
21 Mei 2022 KU : Cukup,CM TERAPI :
• Inf Kaen 3A 920ML/24jam
S : demam (-), kejang (-)
• Inj PCT 130mg/4jam
TANDA VITAL • Inj sibital 2x20mg
HR: 110 x/menit • Inj Cefotaxime 3x450mg
RR : 20 x/menit
T :
36,5oC
SpO2 : 97%

PEMERIKSAAN FISIK
Kepala
: normocephali, ramb
ut normal
Mata : konj palp inferior
pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga : Normotia, serumen (-)
Hidung : NCH (-), sekret (-)
Mulut
: tonsil hipere
mis (-), faring
hiperemis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-)

Thorak :
Inspeksi: Simetris
Palpasi : tidak ada bagian dada yang
tertinggal
Perkusi : Sonor diseluruh lapangan
paru
Ausk : Ves (+/+), Rh (-
/-),
Wh (-/-)

Cor : BJ I > BJ II, regular,


bising (-)

Abdomen :
Inspeksi : Simetris,
Distensi (-) Palpasi :
Soepel
Perkusi :Timpani
Auskultasi : Peristaltik (+)

Extremitas :
Pucat (-/-), Ikterus (-/-), sianosis (-
/-), edema (-/-)

ASSESSMENT:
Kejang Demam Sederhana
Bakterial Infection
2

BAB III
ANALISA KASUS

KEJANG DEMAM

3.1 Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
0
tubuh (suhu rektal lebih dari 38 C) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium. Kejang demam terjadi pada 2 - 4% anak berumur 6 bulan – 5
tahun. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang
demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai demam
pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Bila
anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang
didahului demam, pikirkan kemungkinan lain, misalnya infeksi sistem saraf pusat
(3)
ataupun epilepsi yang kebetulan terjadi bersamaan dengan timbulnya demam.
Kejang demam adalah kejang yang terkait dengan demam dan usia, serta
tidak didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan lain di otak. Demam adalah
0 0
kenaikan suhu tubuh di atas 38 C rektal atau di atas 37,8 C aksila. Pendapat para
ahli terbanyak kejang demam terjadi pada waktu anak berusia antara 3 bulan
sampai 5 tahun. Berkisar 2% - 5% anak dibawah 5 tahun pernah mengalami
bangkitan kejang demam. Lebih dari 90% penderita kejang demam terjadi pada
anak berusia dibawah 5 tahun. Terbanyak bangkitan kejang demam terjadi pada
anak berusia antara usia 6 bulan sampai dengan 22 bulan. Insiden bangkitan
(1)
kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan.

3.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat dan Eropa prevalensi kejang demam berkisar 2 – 5%.
Di Asia prevalensi kejang demam meningkat dua kali lipat bila dibandingkan
Eropa dan di Amerika. Di Jepang kejadian kejang demam berkisar 8,3% - 9,9%.
Sedangkan di Hong Kong angka kejadian kejang demam sebesar 0,35%. Dan di
China mencapai 0,5 – 1,5%. Bahkan di Guam insiden kejang demam mencapai
(1)
14%.

Menurut The American Academy of Pediatrics (AAP) usia termuda


bankitan kejang demam pada usia 6 bulan. Kejang demam merupakan salah satu
kelainan saraf tersering pada anak. Berkisar 2 – 5% anak dibawah 5 tahun pernah
mengalami bangkitan kejang demam. Lebih dari 90% pendertita kejang demam
terjadi pada anak berusia dibawah 5 tahun. Terbanyak kasus bangkitan kejang
demam terjadi pada anak berusia antara 6 bulan sampai dengan 22 bulan. Insiden
(4)
bangkitan kejang demam tertinggi pada usia 18 bulan.

3.3 Klasifikasi
Kejang demam dibagi menjadi dua kelompok yaitu kejang demam
(5)
sederhana dan kejang demam kompleks.

Tabel 3.1 Perbedaan kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks

No Klinis KD KD Kompleks
Sederhana
1 Durasi < 15 menit > 15 menit
2 Tipe Kejang Umum Umum/fokal
3 Berulang dalam 1 episode 1 kali > 1 kali
4 Defisit neurologis - +/-
5 Riwayat keluarga kejang demam +/- +/-
6 Riwayat keluarga kejang tanpa demam +/- +/-
7 Abnormalitas neurologis sebelumnya +/- +/-

Sebagian besar 63% kejang demam berupa kejang demam sederhana dan
35% berupa kejang demam kompleks.

3.4 Faktor Resiko


Faktor resiko terjadinya kejang demam yaitu demam, usia, dan riwayat
keluarga, faktor prenatal (usia saat ibu hamil, riwayat pre-eklamsi, hamil
primi/multipara, pemakaian bahan toksik), faktor perinatal (asfiksia, bayi berat
badan lahir rendah, usia kehamilan, partus lama, cara lahir) dan faktor pascanatal
(kejang akibat toksik, trauma kepala).

a. Faktor Demam
Demam apabila hasil pengukuran suhu tubuh mencapai di atas
0 0
37,8 C aksila atau diatas 38,3 C rektal. Demam dapat disebabkan oleh
berbagai sebab, tetapi pada anak tersering disebabkan oleh infeksi.
Demam merupakan faktor utama timbulnya bangkitan kejang demam.
Demam disebabkan oleh infeksi virus merupakan penyebab terbanyak
(6)
timbul bangkitan kejang demam sebesar 80%.
Perubahan kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai
ambang kejang dan eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh
berpengaruh pada kanal ion dan metabolisme seluler serta produksi
ATP. Setiap kenaikan suhu tubuh satu derajat celcius akan
meningkatkan metabolisme karbohidat 10-15%, sehingga dengan
adanya peningkatan suhu akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan
glukosa dan oksigen. Pada demam tinggi akan dapat mengakibatkan
hipoksi jaringan termasuk jaringan otak. Keadaan ini akan menganggu
+
fungsi normal pompa Na dan reuptake asam glutamate oleh sel glia.
+
Kedua hal tersebut mengakibatkan masuknya ion Na ke dalam sel
meningkat dan timbunan asam glutamate ekstrasel. Timbunan asam
glutamate akan meningkatkan permeabilitas membrane sel terhadap
+ +
ion Na sehingga semakin meningkatkan masuknya Na ke dalam sel.
+
Masuknya ion Na ke dalam sel dipermudah dengan adanya demam,
sebab demam akan meningkatkan mobilitas dan benturan ion terhadap
+
membrane sel. Perubahan konsentrasi ion Na intra dan ekstrasel
tersebut akan mengakibatkan perubahan potensial membrane sel
neuron sehingga membrane sel dalam keadaan depolarisasi. Disamping
itu, demam dapat merusak neuron GABA-ergik sehingga fungsi
(5)
inhibisi terganggu.
Kenaikan suhu yang terjadi secara mendadak menyebabkan
kenaikan kadar asam glutamate dan menurunkan kadar glutamin.
Tetapi sebaliknya kenaikan suhu tubuh secara pelan tidak
menyebabkan kenaikan kadar asam glutamate. Perubahan glutamin
menjadi asam glutamate dipengaruhi oleh kenaikan suhu tubuh. Asam

glutamate merupakan eksitator. Sedangkan GABA sebagai inhibitor


(5)
tidak dipengaruhi oleh kenaikan suhu tubuh mendadak.
b. Faktor usia
Tahap perkembangan otak dibagi 6 fase yaitu: 1) neurulasi, 2)
perkembangan prosensefali, 3) proliferasi neuron, 4) migrasi seural, 5)
organisasi dan 6) mielinisasi. Tahapan perkembangan otak intrauteri
dimulai fase neurulasi sampai migrasi neural. Fase perkembangan
organisasi dan mielinisasi masih berlanjut sampai bertahun-tahun
pertama pascanatal. Pembentukan reseptor untuk eksitator lebih awal
dibandingkan dengan inhibitor. Pada keadaan otak belum matang
reseptor untuk asam glutamate sebagai reseptor eksitator yang aktif,
sedangkan GABA sebagai inhibitor yang kurang aktif, sehingga
eksitasi lebih dominan dibandingkan inhibisi. Corticotropin releasing
hormon (CRH) merupakan neuropeptide eksitator, berpotensi sebagai
prokonvulsan. pada otak belum matang kadar CRH di hipokampus
tinggi sehingga berpotensi untuk terjadinya bangkitan kejang apabila
(5)
terpicu oleh demam.
c. Faktor riwayat keluarga
Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat genetik terkait dengan
kejang demam. Namun pewarisan gen secara autosomal dominan
paling banyak ditemukan. Penetrasi autosomal dominan diperkirakan
sekitar 60% - 80%. Apabila salah satu orang tua penderita dengan
riwayat pernah menderita kejang demam mempunyai resiko untuk
terjadi bangkitan kejang demam sebesar 20% - 22%. Dan apabila
kedua orang tua penderita tersebut mempunyai riwayat pernah
menderita kejang demam meningkat menjadi 59% - 64%, tetapi
sebaliknya apabila kedua orang tua penderita tidak pernah mempunyai
riwayat kejang demam maka resiko terjadinya kejang demam hanya
9%.(5)
d. Usia saat ibu hamil
Usia ibu pada saat hamil sangat menentukan status kesehatan bayi
yang akan dilahirkan. Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35

tahun dapat mengakibatkan berbagai konplikasi dalam kehamilan dan


persalinan. Komplikasi kehamilan dan persalinan dapat menyebabkan
prematuritas, bayi berat lahir rendah, penyulit persalinan dan partus
lama. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan janin dan asfiksia. Pada
asfiksia akan terjadi hipoksia dan iskemia. Hipoksia dapat
mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi
neuron eksitasi, sehingga mudah timbul kejang bila ada rangsangan
(5)
yang memadai.
e. Kehamilan dengan eklamsia dan hipertensi
Ibu yang mengalami komplikasi kehamilan seperti plasenta previa
dan eklamsia dapat menyebabkan asfiksia pada bayi. Eklamsia dapat
terjadi pada kehamilan primipara atau usia pada saat hamil diatas 30
tahun. Penelitian terhadap penderita kejang pada anak sebesar 9%
disebabkan oleh karena adanya riwayat eklamsia selama kehamilan.
Asfiksia disebabkan oleh karena adanya hipoksia pada bayi yang dapat
berakibat timbulnya kejang. Hipertensi pada ibu dapat menyebabkan
aliran darah ke plasenta berkurang sehingga berakibat keterlambatan
(5)
pertumbuhan intrauterin dan bayi berat lahir rendah.
f. Kehamilan primipara atau multipara
Urutan persalinan dapat menyebabkan terjadinya kejang. Insiden
kejang ditemukan lebih tinggi pada anak pertama. Hal ini
kemungkinan besar disebabkan pada primipara lebih sering terjadi
penyulit persalinan. Penyulit persalinan yang mungkin terjadi adalah
partus lama, persalinan dengan alat, dan kelainan letak. Penyulit
persalinan dapat menimbulkan cedera karena kompresi kepala yang
dapat berakibat distorsi dan kompresi otak sehingga terjadi perdarahan
atau udem otak. Keadaan ini dapat menyebabkan kerusakan otak
(5)
dengan kejang sebagai manifestasi klinisnya.
g. Pemakaian bahan toksik
Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin selama
kehamilan ibu, seperti menelan obat-obatan tertentu yang daopat
merusak otak janin, mengalami infeksi, minum alkohol atau

mengalami cedera atau mendapat penyinaran dapat menyebabkan


kejang. Merokok dapat mempengaruhi kehamilan dan perkembangan
janin, bukti ilmiah menunjukkan bahwa merokok selama kehamilan
meningkatkan resiko kerusakan pada janin. Dampak lain dari merokok
pada saat hamil adalah terjadinya plasenta previa. Plasenta previa
dapat menyebabkan perdarahan berat pada kehamilan atau persalinan
dan bayi sungsang sehingga diperlukan seksio sesarea. Keadaan ini
(5)
dapat menyebabkan trauma lahir yang berakibat terjadinya kejang.
h. Asfiksia
Trauma persalinan akan menimbulkan asfiksia perinatal atau
perdarah intrakranial. Penyebab yang paling banyak akibat gangguan
prenatal dan proses persalinan adalah asfiksia, yang akan menimbulkan
lesi pada daerah hipokampus dan selanjutnya menimbulkan kejang.
Pada asfiksia perinatal akan terjadi hipoksia dan iskemi di jaringan
otak. Keadaan ini dapat menimbulkan bangkitan kejang, baik pada
stadium akut dengan frekuensi bergantung pada derajat beratnya
asfiksia, usia janin dan lamanya asfiksia berlangsung. Bangkitan
kejang biasanya mulai timbul 6 – 12 jam setelah lahir dan didapat pada
50% kasus, setelah 12 – 24 jam bangkitan kejang menjadi lebih sering
dan hebat. Pada 75% - 90% kasus akan didapatkan gejala sisa
gangguan neurologis yaitu diantaranya kejang. Hipoksia dan iskemia
akan menyebabkan peninggian cairan dan Na intraseluler sehingga
terjadi edema otak. Hipoksia dapat mengakibatkan rusaknya faktor
inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah
(5)
timbul kejang bila ada rangsangan yang memadai.
i. Bayi berat lahir rendah
Bayi berat lahir rendah (BBLR) dapat menyebabkan asfiksia atau
iskemia otak dan perdarahan intraventrikular. Iskemia otak dapat
menyebabkan kejang. Bayi dengan BBLR dapat mengalami gangguan
metabolisme yaitu hipoglikemia dan hipokalsemia. Keadaan ini dapat
menyebabkan kerusakan otak pada periode perinatal. Adanya

2
kerusakan otak, dapat menyebabkan kejang pada perkembangan
(5)
selanjutnya.
j. Kelahiran premature dan postmatur
Pada bayi premature, perkembangan alat-alat tubuh kurang
sempurna sehingga belum berfungsi dengan baik. Pada 50% bayi
premature menderita apnea, asfiksia berat, dan sindrom gangguan
pernapasan sehingga bayi menjadi hipoksia. Keadaan ini menyebabkan
aliran darah ke otak berkurang. Bila keadaan ini sering timbul dan tiap
serangan lebih dari 20 detik maka kemungkinan timbulnya kerusakan
(5)
otak yang permanen lebih besar.
Pada bayi yang dilahirkan lewat waktu atau postmatur akan terjadi
proses penuaan plasenta, sehingga pemasukan makanan dan oksigen
akan menurun. Komplikasi yang dapat dialami oleh bayi yang lahir
postmatur ialah suhu yang tidak stabil, hipoglikemia, dan kelainan
(5)
neurologic.
k. Partus lama
Partus lama yaitu persalinan kala I lebih dari 12 jam dan kala II
lebih dari 1 jam. Pada primigravida biasanya kala I sekitar 13 jam dan
kala II 1,5 jam. Sedangkan pada multigravida , kala I selama 7 jam dan
kala II 1 – 5 jam. Persalinan yang sukar dan lama meningkatkan resiko
terjadinya cedera mekanik dan hipoksia janin. Manifestasi klinis dari
(5)
cedera mekanik dan hipoksia dapat berupa kejang.
l. Persalinan dengan alat
Persalinan yang sulit termasuk persalinan dengan bantuan alat dan
kelainan letak dapat menyebabkan trauma lahir atau cedera mekanik
pada kepala bayi. Persalinan yang sulit terutama bila terdapat kelainan
letak dan disproporsi sefalopelvik, dapat menyebabkan perdarahan
subdural. Perdarah subarachnoid dapat terjadi pada bayi premature dan
cukup bulan karena trauma. Manifestasi neurologis dari perdarahan
tersebut dapat berupa iritabel dan kejang. Cedera karena kompresi
kepala yang dapat berakibat distorsi dan kompresi otak, sehingga

terjadi perdarahan atau udem otak, keadaan ini dapat menimbulkan


(5)
kerusakan otak, dengan kejang sebagai manifestasi klinisnya.
m. Perdarahan intrakranial
Merupakan akibat trauma atau asfiksia dan jarang diakibatkan oleh
gangguan perdarahan primer atau anomaly kongenital. Perdarahan
subdural biasanya berhubungan dengan persalinan yang sulit terutama
terdapat kelainan letak dan disproporsi sefalopelvik. Perdarahan dapat
terjadi karena laserasi vena-vena, biasanya disertai kontusio serebral
yang akan memberikan gejala kejang-kejang. Perdarahan subarachnoid
terutama terjadi pada bayi premature yang biasanya bersama-sama
dengan perdarahan intraventrikular. Keadaan ini akan menimbulkan
gangguan struktur serebral dengan kejang sebagai salah satu
(5)
manifestasi klinisnya.
n. Infeksi sistem saraf pusat (SSP)
Resiko untuk perkembangan kejang akan menjadi lebih tinggi bila
serangan berlangsung bersamaan dengan terjadinya infeksi SSP seperti
meningitis, ensefalitis, dan terjadinya abses serta infeksi lainnya.
Ensefalitis virus berat seringkali mengakibatkan terjadinya kejang. Di
Negara-negara barat penyebab yang paling umum adalah Herpes
Simpleks (tipe 1) yang menyerang lobus temporalis. Kejang yang
timbul berbentuk serangan parsial kompleks dengan sering diikuti
serangan umum sekunder dan biasanya sulit diobati. Infeksi virus ini
dapat juga menyebabkan daya ingat yang berat dan kejang dengan
kerusakan otak dapat berakibat fatal. Pada meningitis dapat terjadi
sequele yang secara langsung menimbulkan cacat berupa cerebral
palsy, retardansi mental, hidrosefalus, dan deficit nervus kranilalis,
serta kejang. Dapat pula cacat yang terjadi sangat ringan berupa
sikatrik pada sekelompok neuron atau jaringan sekitar neuron sehingga
terjadilah focus epilepsy yang dalam kurun waktu 2 -3 tahun kemudian
(5)
menimbulkan kejang.

2
2

3.5 Patofisiologi
Kejang merupakan manifestasi klinis akibat terjadinya pelepasan muatan
listrik yang berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi pada neuron
tersebut baik berupa fisiologi, biokimiawi, maupun anatomi. Sel saraf seperti juga
sel hidup umumnya, mempunyai potensial membrane. Potensial membrane yaitu
selisih potensial antara intrasel dan ekstrasel. Potensial intrasel lebih negatif
dibandingkan dengan ekstrasel. Dalam keadaan istirahat potensial membrane
berkisar antara 30 – 100 mV, selisih potensial membrane ini akan tetap sama
selama sel tidak mendapatkan rangsangan. Potensial membrane ini terjadi akibat
+ + ++
perbedaan letak dan jumlah ion-ion terutama ion Na , K , dan Ca . Bila sel saraf
mengalami stimulasi akan mengakibatkan menurunnya potensial membrane.
Penurunan potensial membrane ini akan mengakibatkan permeabilitas membrane
+
tehadap ion Na akan lebih banyak masuk ke dalam sel. Selama serangan ini
lemah, perubahan potensial membrane masih dapat dikompensasi oleh transport
+ +
aktif ion Na dan ion K , sehingga selisih potensial kembali ke keadaan istirahat.
Perubahan potensial yang demikian sifatnya tidak menjalar, yang disebut sebagai
(5)
respon lokal.
Bila rangsangan cukup kuat, perubahan potensial dapat mencapai ambang
+
tetap (firing level), maka permeabilitas membrane terhadap Na akan meningkat
secara besar-besaran sehingga timbul spike potensial atau potensial aksi. Potensial
aksi ini akan dihantarkan oleh sel saraf berikutnya melalui sinaps dengan
perantara zat kimia yang dikenal sebagai neurotransmitter. Bila perangsangan
telah selesa, maka permeabilitas membrane kembali ke keadaan istirahat, dengan
+ +
cara Na akan kembali ke luar sel dan K masuk ke dalam sel melalui mekanisme
(5)
pompa Na – K yang membutuhkan ATP dari sintesa glukosa dan oksigen.
Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori:
a. Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na – K,
misalnya pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan
pada kejang sendiri dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi
hipoksemia.
b. Perubahan permeabilitas membrane sel saraf, misalnya hipokalsemia
dan hipomagnesemia.

c. Perubahan relatif neurotransmitter yang bersifat eksitasi dibandingkan


dengan neurotransmitter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang
berlebihan. Misalnya ketidakseimbangan antara GABA atau glutamate
akan menimbulkan kejang.
Patofisiologi kejang demam secara pasti belum diketahui, diperkirakan
bahwa pada keadaan demam terjadi peningkatan reaksi kimia tubuh. Dengan
demikian reaksi-reaksi oksidasi terjadi lebih cepat dan akibatnya oksigen akan
lebih cepat habis, terjadilah keadaan hipoksia. Transport aktif yang memerlukan
ATP terganggu, sehingga Na intrasel dan K ekstrasel meningkat yang akan
menyebabkan potensial membrane cenderung turun atau kepekaan sel saraf
(5)
meningkat.
Pada saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di otak,
jantung, otot, dan terjadi gangguan pusat pengatur suhu. Demam akan
menyebabkan kejang bertambah lama, sehingga kerusakan otak makin bertambah.
Pada kejang yang lama akan terjadi perubahan sistemik berupa hipotensi arterial,
hiperpireksia sekunder akibat aktifitas motorik dan hiperglikemia. Semua hal ini
(5)
akan mengakibatkan iskemi neuron karena kegagalan metabolisme otak.
Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut:
a. Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang belum
matang
b. Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang
menyebabkan gangguan permeabilitas membrane sel
c. Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat
dan CO2 yang akan merusak neuron
d. Demam meningkatkan cerebral blood flow (CBF) serta meningkatkan
kebutuhan oksigen dan glukosa, sehingga menyebabkan gangguan
pengaliran ion-ion keluar masuk sel.
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak akan
meninggalkan gejala sisa. Pada kejang demam yang lama (lebih dari 15 menit)
biasanya diikuti dengan apnea, hipoksemia (disebabkan oleh meningkatnya
kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet), asidosis laktat
(disebabkan oleh metabolisme anaerob), hiperkapnea, hipoksi arterial, dan

2
selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian di
atas menyebabkan gangguan peredaran darah di otak, sehingga terjadi hipoksemia
(5)
dan edema otak, pada akhirnya terjadi kerusakan sel neuron.

3.6 Penegakan Diagnosis


Dari kriteria Livingston yang telah dimodifikasi sebagai pedoman untuk
(1)
membuat diagnosis kejang demam sederhana, yaitu:
a. Dari anamnesa yang didapatkan
- Umur pasien kurang dari 6 tahun (1 tahun 11 bulan)
- Kejang didahului demam
- Kejang berlangsung hanya satu kali selama 24 jam dan kurang dari 5
menit
- Kejang umum dan tonik klonik
- Kejang berhenti sendiri
- Pasien tetap sadar setelah kejang
b. Dari pemeriksaan fisik yang didapatkan
0
- Suhu tubuh aksila 38,2 C
- Tidak ditemukan kelainan neurologis setelah kejang
Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures, kejang demam adalah
bangkitan kejang pada bayi dan anak, biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan 5
tahun, berhubungan dengan demam tetapi tidak terbukti adanya infeksi
intrakranial atau penyebab lain. Penggolongan kejang demam menurut kriteria
Nationall Collaborative Perinatal Project adalah kejang demam sederhana dan
kejang demam kompleks. Kejang demam sederhana adalah kejang demam yang
lama kejangnya kurang dari 15 menit, umum dan tidak berulang pada satu episode
demam. Kejang demam kompleks adalah kejang demam yang lebih lama dari 15
menit baik bersifat fokal atau multipel. Kejang demam berulang adalah kejang
demam yang timbul pada lebih dari satu episode demam. Penggolongan tidak lagi
menurut kejang demam sederhana dan epilepsi yang diprovokasi demam tetapi
dibagi menjadi pasien yang memerlukan dan tidak memerlukan pengobatan rumat.
(7)

Demam pada kejang demam sering disebabkan oleh karena infeksi. Pada
anak-anak infeksi yang sering menyertai kejang demam adalah tonsilitis, infeksi
traktus respiratorius (38-40% kasus), otitis media (15-23%), dan gastroenteritis (7-
9%). Anak-anak yang terkena infeksi dan disertai demam, bila dikombinasikan
dengan ambang kejang yang rendah, maka anak tersebut akan lebih mudah
mendapatkan kejang. Berdasarkan data kepustakaan bahwa 11% anak
dengan kejang demam mengalami kejang pada suhu <37,9ºC, sedangkan 14-40%
kejang terjadi pada suhu antara 38°-38,9ºC, dan 40-56% pada suhu antara 39°C-
(1)
39,9ºC.
Menurut kepustakaan, pada kejang demam pemeriksaan laboratorium tidak
dikerjakan secara rutin, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi
penyebab demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya
darah perifer, elektrolit dan gula darah. Pungsi lumbal untuk memeriksa cairan
serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan
meningitis. Risiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6%- 6,7%. Pungsi
lumbal menjadi pemeriksaan rutin pada kejang demam bila usia pasien kurang
(1)
dari 18 bulan.
Pemeriksaan EEG pada kejang demam dapat memperlihatkan gelombang
lambat di daerah belakang yang bilateral, sering asimetris, kadang-kadang
unilateral. Pemeriksaan EEG dilakukan pada kejang demam kompleks atau anak
yang mempunyai risiko untuk terjadinya epilepsi. Pemeriksaan pungsi lumbal
diindikasikan pada saat pertama sekali timbul kejang demam untuk me-
nyingkirkan adanya proses infeksi intra kranial, perdarahan subaraknoid atau
gangguan demielinasi, dan dianjurkan pada anak usia kurang dari 2 tahun yang
(7)
menderita kejang demam.

3.7 Tatalaksana
Tujuan pengobatan kejang demam pada anak adalah untuk:
a. Mencegah kejang demam berulang
b. Mencegah status epilepsy
c. Mencegah epilepsi dan / atau mental retardasi
d. Normalisasi kehidupan anak dan keluarga.

2
Pengobatan fase akut
Anak yang sedang mengalami kejang, prioritas utama adalah menjaga agar
jalan nafas tetap terbuka. Pakaian dilonggarkan, posisi anak dimiringkan untuk
mencegah aspirasi. Sebagian besar kasus kejang berhenti sendiri, tetapi dapat
juga berlangsung terus atau berulang. Pengisapan lendir dan pemberian oksigen
harus dilakukan teratur, kalau perlu dilakukan intubasi. Keadaan dan kebutuhan
cairan, kalori dan elektrolit harus diperhatikan. Suhu tubuh dapat diturunkan
dengan kompres air hangat (diseka) dan pemberian antipiretik (asetaminofen oral
(7)
10 mg/kgBB, 4 kali sehari atau ibuprofen oral 20 mg/kg BB 4 kali sehari).
Saat ini diazepam merupakan obat pilihan utama untuk kejang demam fase
akut, karena diazepam mempunyai masa kerja yang singkat. Diazepam dapat
diberikan secara intravena atau rektal, jika diberikan intramuskular absorbsinya
lambat. Dosis diazepam pada anak adalah 0,3 mg/kg BB, diberikan secara
intravena pada kejang demam fase akut, tetapi pemberian tersebut sering gagal
pada anak yang lebih kecil. Jika jalur intravena belum terpasang, diazepam dapat
diberikan per rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan kurang dari 10 kg dan 10
mg pada berat badan lebih dari 10 kg. Pemberian diazepam secara rektal aman dan
efektif serta dapat pula diberikan oleh orang tua di rumah. Bila diazepam tidak
tersedia, dapat diberikan luminal suntikan intramuskular dengan dosis awal 30 mg
untuk neonatus, 50 mg untuk usia 1 bulan – 1 tahun, dan 75 mg untuk usia lebih
dari 1 tahun. Midazolam intranasal (0,2 mg/kg BB) telah diteliti aman dan efektif
untuk mengantisipasi kejang demam akut pada anak. Kecepatan absorbsi
midazolam ke aliran darah vena dan efeknya pada sistem syaraf pusat cukup baik.
Namun efek terapinya masih kurang bila dibandingkan dengan diazepam
(7)
intravena.
Mencari dan Mengobati Penyebab
Kejang dengan suhu badan yang tinggi dapat terjadi karena faktor lain,
seperti meningitis atau ensefalitis. Oleh sebab itu pemeriksaan cairan
serebrospinal diindikasikan pada anak pasien kejang demam berusia kurang dari 2
tahun, karena gejala rangsang selaput otak lebih sulit ditemukan pada kelompok
umur tersebut. Pada saat melakukan pungsi lumbal harus diperhatikan pula

kontraindikasinya. Pemeriksaan laboratorium lain dilakukan atas indikasi untuk


mencari penyebab, seperti pemeriksaan darah rutin, kadar gula darah dan
elektrolit. Pemeriksaan CT-Scan dilakukan pada anak dengan kejang yang tidak
(7)
diprovokasi oleh demam dan pertama kali terjadi.

Pengobatan Profilaksis Terhadap Kejang Demam Berulang


Pencegahan kejang demam berulang perlu dilakukan, karena menakutkan
keluarga dan bila berlangsung terus dapat menyebabkan kerusakan otak yang
(7)
menetap. Terdapat 2 cara profilaksis, yaitu:
• Profilaksis intermittent pada waktu demam
• Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari.
Terapi yang diberikan pada pasien untuk mengatasi kejang demam sudah
sesuai dengan memberikan Parasetamol sebagai antipiretik dan diberikan selama
pasien mengalami demam dengan dosis 10-15 mg/kgBB/kali dapat diulang setiap
6 jam. Pemakaian Diazepam penting sebagai profilaksis intermiten, dimana
0
Diazepam dapat diberikan pada pasien yang suhunya mencapai 38,5 C untuk
mencegah timbulnya kejang kembali. Pemberian Diazepam sebagai profilaksis
intermitten merupakan pilihan tepat dibanding obat anti kejang lain. Pemberian
Diazepam ditambah antipiretik jauh lebih efektif untuk mencegah terulangnya
kejang dibandingkan pemberian antipiretik saja. Pada pasien ini sebaiknya
diberikan Diazepam oral sebagai profilaksis, karena kondisi pasien kompos mentis
(7)
dan masih dapat mengkonsumsi obat oral.

Profilaksis Terus Menerus dengan Antikonvulsan Tiap Hari


Indikasi pemberian profilaksis terus menerus pada saat ini adalah:
• Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan atau gangguan
perkembangan neurologis.
• Terdapat riwayat kejang tanpa demam yang bersifat genetik pada orang
tua atau saudara kandung.
• Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau diikuti kelainan
neurologis sementara atau menetap.

• Kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau
terjadi kejang multipel dalam satu episode demam.
Antikonvulsan profilaksis terus menerus diberikan selama 1 – 2 tahun
setelah kejang terakhir, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1 – 2 bulan.
Pemberian profilaksis terus menerus hanya berguna untuk mencegah berulangnya
kejang demam berat, tetapi tidak dapat mencegah timbulnya epilepsi di kemudian
hari. Pemberian fenobarbital 4 – 5 mg/kg BB perhari dengan kadar sebesar 16
mg/mL dalam darah menunjukkan hasil yang bermakna untuk mencegah
berulangnya kejang demam.
Efek samping fenobarbital ialah iritabel, hiperaktif, pemarah dan agresif
ditemukan pada 30–50 % kasus. Efek samping fenobarbital dapat dikurangi
dengan menurunkan dosis. Obat lain yang dapat digunakan adalah asam valproat
yang memejiliki khasiat sama dibandingkan dengan fenobarbital. Ngwane
meneliti kejadian kang berulang sebesar 5,5% pada kelompok yang diobati dengan
asam valproate dan 33 % pada kelompok tanpa pengobatan dengan asam valproat.
Dosis asam valproat adalah 15 – 40 mg/kg BB perhari. Efek samping yang
ditemukan adalah hepatotoksik, tremor dan alopesia. Fenitoin dan karbamazepin
tidak memiliki efek profilaksis terus menerus.
Millichap, merekomendasikan beberapa hal dalam upaya mencegah dan
menghadapi kejang demam diantara lain adalah sebagai berikut:
• Orang tua atau pengasuh anak harus diberi cukup informasi mengenai
penanganan demam dan kejang.
• Profilaksis intermittent dilakukan dengan memberikan diazepam dosis
0,5 mg/kg BB perhari, per oral pada saat anak menderita demam.
Sebagai alternatif dapat diberikan profilaksis terus menerus dengan
fenobarbital.
• Memberikan diazepam per rektal bila terjadi kejang.
• Pemberian fenobarbital profilaksis dilakukan atas indikasi, pemberian
sebaiknya dibatasi sampai 6 – 12 bulan kejang tidak berulang lagi dan
kadar fenobarbital dalam darah dipantau tiap 6 minggu – 3 bulan, juga
dipantau keadaan tingkah laku dan psikologis anak.

2
Pada pasien kejang demam, keadaan dan kebutuhan oksigen, cairan, kalori
dan elektrolit harus diperhatikan. Suhu tubuh juga dapat diturunkan dengan
mengkompres pasien dengan air hangat (diseka) secara aktif selain dengan
pemberian antipiretik. Orang tua atau pengasuh anak juga harus diberi cukup
informasi mengenai penanganan demam dan kejang. Dengan penanggulangan
yang sesuai dan cepat, maka prognosis pada pasien ini baik dan tidak
(1)
menyebabkan kematian.

3.8 Prognosis
Prognosis kejang demam baik, kejang demam bersifat benigna. Angka
kematian hanya 0,64% - 0,75%. Sebagian besar penderita kejang demam sembuh
sempurna, sebagian berkembang menjadi epilepsy sebanyak 2% - 7%. Kejang
demam dapat mengakibatkan gangguan tingkah laku serta penurunan intelegensi
dan pencapaian tingkat akademik. Sebesar 4% penderita kejang demam secara
bermakna mengalami gangguan tingkah laku dan penurunan tingkat intelegensi.
Walaupun prognosis kejang demam baik, bangkitan kejang demam cukup
(2)
mengkhawatirkan bagi orangtuanya.

Pada kasus ini pasien mengalami batuk dan pilek sejak 5 hari sebelum
masuk rumah sakit. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik didapatkan bahwa tonsil
tidak membesar tetapi hiperemis dan faring yang juga hiperemis. Sehingga dapat
dipastikan bahwa demam disebabkan karena telah terjadi peradangan pada tonsil
dan faring pasien. Anak-anak yang terkena infeksi dan disertai demam, bila
dikombinasikan dengan ambang kejang yang rendah, maka anak tersebut akan
lebih mudah mendapatkan kejang. Berdasarkan data kepustakaan bahwa 11% anak
dengan kejang demam mengalami kejang pada suhu <37,9ºC, sedangkan 14
- 40% kejang terjadi pada suhu antara 38° - 38,9ºC, dan 40-56% pada suhu antara
39°C - 39,9ºC.
Menurut kepustakaan, pada kejang demam pemeriksaan laboratorium tidak
dikerjakan secara rutin, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi
penyebab demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya
darah perifer, elektrolit dan gula darah. Pungsi lumbal untuk memeriksa

cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan


kemungkinan meningitis. Resiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6% -
6,7%. Pungsi lumbal menjadi pemeriksaan rutin pada kejang demam bila usia
pasien kurang dari 18 bulan. Pada kasus ini pasien telah berumur 23 bulan dan
secara klinis tidak ditemukan gejala yang mengarah pada infeksi intrakranial
sehingga pemeriksaan pungsi tidak perlu dilakukan.
0
Kenaikan suhu 1 C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal
10%-15% dan kebutuhan oksigen 20%. Akibat keadaan tersebut, reaksi-reaksi
oksidasi berlangsung lebih cepat sehingga oksigen lebih cepat habis dan terjadi
keadaan hipoksia. Hipoksia menyebabkan peningkatan kebutuhan glukosa dan
oksigen, serta terganggunya berbagai transport aktif dalam sel sehingga terjadi
perubahan konsentrasi ion natrium, sehingga lebih baik jika dilakukan
pemeriksaan elektrolit dan glukosa darah.
Dari hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien ini hanya
keadaan tonsil dan faring yang hiperemis. Pemeriksaan penunjang berupa hasil
laboratorium darah rutin mengarahkan adanya infeksi bakteri berupa kadar
leukosit yang meningkat, sehingga pemberian antibiotik diberikan pada kasus ini.
Sedangkan terapi yang diberikan pada pasien untuk mengatasi kejang demam
sudah sesuai dengan memberikan Parasetamol sebagai antipiretik dan diberikan
selama pasien mengalami demam. Pemakaian Diazepam penting sebagai
profilaksis intermiten, dimana Diazepam dapat diberikan pada pasien yang
0
suhunya mencapai 38,5 C untuk mencegah timbulnya kejang kembali. Pemberian
Diazepam sebagai profilaksis intermitten merupakan pilihan tepat dibanding obat
anti kejang lain. Pemberian Diazepam ditambah antipiretik jauh lebih efektif
untuk mencegah terulangnya kejang dibandingkan pemberian antipiretik saja.
Pada pasien kejang demam, keadaan dan kebutuhan oksigen, cairan, kalori
dan elektrolit harus diperhatikan. Suhu tubuh juga dapat diturunkan dengan
mengkompres pasien dengan air hangat (diseka) secara aktif selain dengan
pemberian antipiretik. Orang tua anak juga harus diberi cukup informasi mengenai
penanganan demam dan kejang. Dengan penanggulangan yang sesuai dan cepat,
maka prognosis pada pasien ini baik dan tidak menyebabkan kematian.

Simpulan, telah ditegakkan diagnosis Kejang Demam Sederhana e.c


tonsilofaringitis pada seorang anak perempuan berusia 2 tahun atas dasar
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada kasus ini demam
terjadi karena adanya infeksi bakteri pada tonsil dan faring. Penatalaksanaan
Kejang Demam dengan memberikan oksigen, cairan intravena untuk memenuhi
kebutuhan elektrolit, serta kalori yang seimbang sebagai terapi supportif, serta
pemberian antipiretik dan antikonvulsan sebagai terapi medikamentosa. Dengan
penatalaksanaan yang cepat dan tepat maka prognosis akan lebih baik.

BAB IV
KESIMPULAN

Kejang demam adalah kejang yang terkait dengan demam dan usia, serta
tidak didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan lain di otak. Demam adalah
0 0
kenaikan suhu tubuh di atas 38 C rektal atau di atas 37,8 C aksila. Pendapat para
ahli terbanyak kejang demam terjadi pada waktu anak berusia antara 3 bulan
sampai 5 tahun. Berkisar 2% - 5% anak dibawah 5 tahun pernah mengalami
bangkitan kejang demam. Lebih dari 90% penderita kejang demam terjadi pada
anak berusia dibawah 5 tahun. Terbanyak bangkitan kejang demam terjadi pada
anak berusia antara usia 6 bulan sampai dengan 22 bulan. Insiden bangkitan
kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan.
Penatalaksanaan kejang demam pada anak mencakup dalam tiga hal, yaitu:
1. Pengobatan fase akut yaitu membebaskan jalan nafas dan memantau fungsi
vital tubuh. Saat ini diazepam intravena atau rektal merupakan obat pilihan
utama, oleh karena mempunyai masa kerja yang singkat. Jika tidak ada
diazepam, dapat digunakan luminal suntikan intramuscular ataupun yang
lebih praktis midazolam intranasal.
2. Mencari dan mengobati penyebab dengan melakukan pemeriksaan pungsi
lumbal pada saat pertama sekali kejang demam. Fungsi lumbal juga
dianjurkan pada anak usia kurang dari 2 tahun karena gejala neurologis
sulit ditemukan. Pemeriksaan laboratorium penunjang lain dilakukan
sesuai indikasi.\
3. Pengobatan profilaksis.
• Intermittent: anti konvulsan segera diberikan pada waktu pasien demam
0
(suhu rektal lebih dari 38 C) dengan menggunakan diazepam oral /
rektal, klonazepam supositoria.
• Terus menerus, dengan memberikan fenobarbital atau asam valproat tiap
hari untuk mencegah berulangnya kejang demam. Pemberian obat-
obatan untuk penatalaksanaan kejang demam pada anak, harus
dipertimbangkan antara khasiat terapeutik obat dan efek sampingnya.
2

Prognosis kejang demam baik, kejang demam bersifat benigna. Angka


kematian hanya 0,64% - 0,75%. Sebagian besar penderita kejang demam sembuh
sempurna, sebagian berkembang menjadi epilepsy sebanyak 2% - 7%. Kejang
demam dapat mengakibatkan gangguan tingkah laku serta penurunan intelegensi
dan pencapaian tingkat akademik. Sebesar 4% penderita kejang demam secara
bermakna mengalami gangguan tingkah laku dan penurunan tingkat intelegensi.
Walaupun prognosis kejang demam baik, bangkitan kejang demam cukup
menkhawatirkan bagi orangtuanya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Pasaribu AS. Kejang Demam Sederhana Pada Anak yang Disebabkan karena
Infeksi Tonsil dan Faring. Medula. 2013;1(1):65-71.

2. Aliabad GM, Khajeh A, Fayyazi A, Safdari L. Clinical, Epidemiological and


Laboratory Characteristics of Patients with Febrile Convulsion. Journal of
Comprehensive Pediatrics. 2013;4(3):134-7.

3. Wardhani AK. Kejang Demam Sederhana Pada Anak Usia Satu Tahun. Medula.
2013;1(1):57-64.

4. American Academy of Pediatrics. Committee on Quality Improvement,


Subcommittee on Febrile Seizures. Practice Parameter: Long-term Treatment
of the Child With Simple Febrile Seizures. Pediatrics 1999; 103 (6): 1307-9.

5. Fuadi. Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam pada Anak: Universitas


Diponegoro; 2010.

6. Graves RC, Oehler K, Tingle LE. Febrile Seizures : Risks, Evaluation, and
Prognosis. American Family Physician. 2012;85(2):149-53.

7. Deliana M. Tata Laksana Kejang Demam pada Anak. Sari Pediatri.


2002;4(2):59 - 62.
2

Anda mungkin juga menyukai