Anda di halaman 1dari 36

Laporan Kasus

KEJANG DEMAM KOMPLEKS DENGAN ISPA

Oleh:
Meddya Ranami, S.Ked.
712018075

Pembimbing:
dr. Hadi Asyik, Sp.A

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PALEMBANG BARI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2019

i
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus
“Kejang Demam Kompleks Dengan ISPA”

Oleh:
Meddya Ranami, S.Ked.
712018075

Telah diterima sebagai salah satu dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik


Senior di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang Rumah Sakit Umum Daerah Palembang Bari.

Palembang, Agustus 2019


Pembimbing

dr. Hadi Asyik, Sp.A

ii
KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus
dengan judul “Kejang Demam Kompleks dengan ISPA”. Laporan Kasus ini
merupakan salah satu syarat Kepaniteraan Klinik di Departemen Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang Rumah Sakit
Umum Daerah Palembang Bari.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Hadi Asyik, Sp.A selaku
pembimbing yang telah membantu penulisan laporan kasus ini. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada setiap pihak yang telah membantu
menyelesaikan laporan kasus ini.
Penyusun menyadari bahwa dalam laporan ini tentu masih terdapat
kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
dari berbagai pihak sangat penulis harapkan.
Akhir kata, penulis berharap laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca, khususnya dalam memperkaya wawasan dan pengetahuan.

Palembang, Agustus 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN………………………………………….……. …...ii


KATA PENGANTAR………………………………………………….………...iii
DAFTAR ISI……………………………………………………………….……..iv
BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................1
BAB 2 STATUS PASIEN................................................................................2
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................16
BAB 4 ANALISIS KASUS.............................................................................29
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................32

iv
BAB I

PENDAHULUAN
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada suhu rektal
diatas 38⁰C yang disebabkan oleh proses ekstrakranial tanpa adanya gangguan
elektrolit atau riwayat kejang tanpa demam sebelumnya, umumnya terjadi pada
usia 6 bulan sampai 5 tahun dan setelah kejang pasien sadar.1

Kejadian kejang demam diperkirakan 2-4% di Amerika Serikat, Amerika


Selatan dan Eropa Barat. Di Asia dilaporkan lebih tinggi. Kira-kira 20% kasus
merupakan kejang demam kompleks. Umumnya kejang demam timbul pada tahun
kedua kehidupan (17-23 bulan). Kejang demam sedikit lebih sering pada laki-
laki.2 Kejadian kejang demam terjadi pada 2-5% anak berumur 6 bulan - 5 tahun
pada.3
Kejang demam terbagi atas 2 klasifikasi, yaitu kejang demam sederhana
dan kejang demam kompleks. Adapun beberapa faktor yang berperan dalam
penyebab kejang demam yaitu faktor demam, usia dan riwayat keluarga, dan
riwayat prenatal (usia saat ibu hamil), riwayat perinatal (asfiksia, usia kehamilan
dan bayi berat badan lahir rendah). Diagnosis kejang demam pada umumnya
dibuat berdasarkan temuan klinis dan deskripsi orang tua pada anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Meskipun sebagian besar kejang
demam adalah ringan, sangat penting agar anak segera dievaluasi untuk
mengurangi kecemasan orangtua dan mengidentifikasi penyebab demam sehingga
dapat dilakukan tatalaksana secara tepat.4

1
BAB II
STATUS PASIEN

I. IDENTIFIKASI
Identitas Pasien
a. Nama : An. AA
b. Umur : 11 bulan 4 hari
c. Jenis Kelamin : Laki-laki
d. Alamat : Palembang
e. Agama : Islam
f. Suku bangsa : Sumatera Selatan
g. No. RM : 57.80.84
h. MRS Tanggal : 30 Juli 2019

II. ANAMNESIS
(Alloanamnesis dilakukan tanggal 30 Juli 2019, diberikan oleh ibu
kandung pasien)
A. Keluhan Utama : Kejang
B. Keluhan tambahan : Demam, batuk, pilek (+)
C. Riwayat Perjalanan Penyakit
Dua hari SMRS pasien mengalami demam (+) tidak terlalu
tinggi, terus-menerus, suhu tidak diukur, keluhan batuk (+), pilek
(+), menggigil (-), keluar cairan dari telinga (-), nafsu makan
berkurang (-), lemas (-), sakit kepala (-), mual (-), muntah proyektil
(-), kejang (-), iritabel (-), BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Lima jam SMRS pasien mengalami kejang seluruh tubuh,
mata mendelik ke atas. Lama kejang + 10 menit. Kejang berhenti
sendiri. Saat kejang berlangsung An. AA tidak sadar tetapi sebelum
dan sesudah kejang anak sadar. + 1 jam SMRS pasien mengalami
kejang kembali pada seluruh tubuh dengan mata mendelik keatas.

2
Lama kejang + 15 menit. Sehingga, anak langsung dibawa ke
RSUD Bari Palembang.

D. Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat kejang dengan demam sebelumnya (+)
 Riwayat trauma kepala (-)

E. Riwayat Penyakit Dalam Keluarga


 Riwayat dalam keluarga yang pernah mengalami kejang dengan
demam (+)
 Riwayat epilepsi dalam keluarga disangkal.
 Riwayat tumor otak dalam keluarga disangkal.

F. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran


Lahir dari ibu P1A0
Masa Kehamilan : 37 minggu
Partus : Normal
Ditolong oleh : Bidan
Kondisi lahir : Langsung menangis
Tanggal : 9 Oktober 2018
BB : 3200 gram
PB : 47 cm
Riwayat ibu demam saat hamil (-), riwayat KPSW (-), riwayat
ketuban hijau dan berbau (-), riwayat penyakit lain pada ibu saat
hamil (-).

3
G. Riwayat Imunisasi

IMUNISASI DASAR
Umur Umur Umur Umur
BCG 1 bulan
DPT 1 2 bulan DPT 2 3 bulan DPT 3 4 bulan
HEP B 1 0 hari HEP B 2 2 bulan HEP B 3 3 bulan
Hib 1 2 bulan Hib 2 3 bulan Hib 3 4 bulan
POLIO 1 1 bulan POLIO 2 2 bulan POLIO 3 3 bulan POLIO 4 4 bulan
MR -
KESAN : Riwayat imunisasi dasar belum lengkap

H. Riwayat Nutrisi
ASI : 0 - sampai sekarang (11 bulan 10 hari)
Susu formula : -

Tahapan makanan
1. Pada usia 6 bulan anak diberikan nasi tim/lembek dengan
frekuensi 3 kali sehari.

Kesan: Secara kualitatif asupan gizi cukup, secara kuantitatif


asupan memenuhi gizi seimbang.

I. Riwayat Pertumbuhan

BB/U : -2 < Z < 0 SD Normoweight

4
PB/U : -2 < Z < 0 SD  Normoheight

5
BB/PB : -1 < Z < 0 SD  Gizi baik

J. Riwayat Perkembangan
Berbalik : 3 bulan

6
Tengkurap : 3 bulan
Duduk : 6 bulan
Merangkak : 7 bulan
Berdiri : 10 bulan
Berjalan : belum bisa
Berbicara : belum bisa
Kesan : Perkembangan dalam batas normal

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. PEMERIKSAAN FISIK UMUM (30 Mei 2019)
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis (GCS: E4M 6V5)
BB : 8,6 kg
TB : 74 cm
Status Antropometri
BB/U : -2 < Z < 0 SD Normoweight
TB/U : -2 < Z < 0 SD  Normoheight
BB/TB : -1 < Z < 0 SD  Gizi baik
Edema(-), sianosis(-), dispnue(-), anemia(-), ikterus(-), dismorfik(-)
Tekanan Darah : 90/60 mmHg
Nadi : 110 kali/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Pernapasan : 31 kali/menit
Suhu : 37,9oC
Kulit : tidak ada kelainan

B. PEMERIKSAAN KHUSUS
KEPALA
Mata : Mata cekung (-), konjungtiva anemis (-), sklera
ikterik (-), edema palpebra (-), pupil isokor 3 mm/3
mm, refleks cahaya (+/+).
Hidung : Kavum nasi dextra et sinistra lapang, sekret (-),

7
perdarahan (-).
Telinga : CAE dekstra et sinistra lapang, sekret (-), serumen
(-).
Mulut :Perdarahan di gusi (-), sianosis sirkumoral (-),
mukosa mulut dan bibir kering (-), fisura (-),
cheilitis (-).
Faring/Tonsil :Dinding faring hiperemis (-), tonsil T1-T1, tenang,
tidak hiperemis
LEHER
Pembesaran KGB (-)
THORAX
Paru-paru
Inspeksi : Statis dan dinamis simetris
Palpasi : Strem fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis dan thrill tidak teraba
Perkusi : Jantung dalam batas normal
Auskultasi : HR=128 kali/menit, Bunyi jantung I dan II (+) normal,
irama reguler, murmur dan gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Lemas, Hepar dan lien tidak teraba, turgor kulit segera
kembali
Perkusi : Timpani
Lipat paha dan genitalia
Pembesaran KGB (-)

8
Ekstremitas
Superior : Akral hangat, pucat (-), sianosis (-), edema (-),
petechie (-), CRT <3s
Inferior : Akral hangat, pucat (-), sianosis (-), edema (-),
petechie (-), CRT <3s

C. STATUS NEUROLOGIS

Lengan Tungkai
Kanan Kiri Kanan Kiri
Fungsi motorik
Gerakan Luas Luas Luas Luas
Kekuatan 5 5 5 5
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Klonus - -
Reflex fisiologis Normal Normal Normal Normal
Reflex patologis - - - -
Gejala rangsang meningeal Kaku kuduk (-), Brudzinsky I, II (-), Kernig sign (-)
Fungsi sensorik Baik
Nervi craniales Baik

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. Pemeriksaan Laboratorium
 Pemeriksaan pada tanggal 30-07-2019
Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan Satuan
Hb 10,3 10,7 - 14,7 g/dL
Leukosit 11,3 4,2-11,0 103/mm3
Trombosit 418 217-497 103/mm3
Ht 31,4 42,0 - 52,0 %
Hitung jenis
- basofil 0,3 0-1 %
- eosinophil 4,2 1-3 %
- segmen 39 40-60 %
-limfosit 45 20-40 %
- monosit 11,4 2-8 %

V. DIAGNOSIS BANDING
 Kejang demam Kompleks dengan ISPA
 Meningitis

9
 Ensefalitis

VI. DIAGNOSIS KERJA


Kejang demam Kompleks dengan ISPA

VII. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa:
 IVFD KAEN 1B gtt 8/mnt
 Diazepam oral 3x2,5mg tab
 Paracetamol sirup 3x1 cth
 Inj. Ampicilin 3x220 mg
 Inj. Gentamycin 2x4 strip

Non Medikamentosa:
 Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai
prognosis baik.
 Memberitahu cara penanganan kejang
 Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.

VIII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

IX. RESUME
Pasien An. AA, usia 11 bulan 10 hari, laki-laki dibawa ke IGD RS Bari
dengan keluhan kejang, frekuensi 2x, lama kejang pertama +10 menit,
lama kejang kedua + 15 menit. Kejang pertama dan kedua terjadi pada
seluruh tubuh. Saat kejang berlangsung An. AA tidak sadar tetapi
sebelum dan sesudah kejang sadar. Interval antar kejang ±4 jam. Dari

10
pemeriksaan fisik didapatkan TD 90/60 mmHg, nadi 105x/menit,
reguler, isi dan tegangan cukup, suhu 37,9oC, RR 31x/menit, BB 8,6
kg, TB 74 cm. Napas cuping hidung (-), retraksi dinding dada (-),
sianosis (-), akral hangat, CRT < 3”. Keadaan spesifik lain dalam batas
normal. Tidak ditemukan kelainan pemeriksaan thorax dan abdomen.
Gerakan dan kekuatan lengan dan tungkai baik, tonus eutoni, klonus
(-), reflex fisiologis (+) normal, reflex patologis (-), gerakan rangsang
meningeal (-).

Follow Up
Tanggal Keterangan
30 Juli S : Keluhan : Demam (+), Kejang (-)
2019 O : Sens: CM
N: 108x/menit. RR :30x/menit T : 37,6oC
Kepala : nafas cuping hidung (-), konjungtiva anemis
(-) sklera ikterik (-),
Thoraks : simetris, retraksi (-)
Pulmo: vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Cor : BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : datar, lemas, BU (+) normal, hepar dan lien
tidak teraba,
Ekstremitas : akral hangat, CRT <3”
A : Kejang Demam Kompleks dengan ISPA
P:
 IVFD KAEN 1B gtt 8/mnt
 Diazepam oral 3x2,5mg tab
 Paracetamol sirup 3x1 cth
 Inj. Ampicilin 3x220 mg
 Inj. Gentamycin 2x4 strip

Status Neurologis

11
31 Juli S : Demam (-), Kejang (-)
2019 O : Sens: CM
N: 107x/menit RR :30x/menit T : 37,0oC
Kepala : nafas cuping hidung (-), konjungtiva anemis
(-) sklera ikterik (-),
Thoraks : simetris, retraksi (-)
Pulmo : vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Cor : BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : datar, lemas, BU (+) normal, hepar dan lien
tidak teraba,
Ekstremitas : akral hangat, CRT <3”
A : Kejang Demam Kompleks dengan ISPA
P:
 IVFD KAEN 1B gtt 8/mnt
 Paracetamol sirup 3x1 cth
 Inj. Ampicilin 3x220 mg
 Inj. Gentamycin 2x4 strip
 Asam valproate 2x1 cc
Status Neurologis

12
1 S : Demam (-), Kejang (-)
Agustus O : Sens: CM
2019 N: 108x/menit RR :28x/menit T : 37,0oC
Kepala : nafas cuping hidung (-), konjungtiva anemis
(-) sklera ikterik (-),
Thoraks : simetris, retraksi (-)
Pulmo : vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Cor : BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : datar, lemas, BU (+) normal, hepar dan lien
tidak teraba,
Ekstremitas : akral hangat, CRT <3”
A : Kejang Demam Kompleks dengan ISPA (Perbaikan)
P:
 IVFD KAEN 1B gtt 8/mnt
 Paracetamol sirup 3x1 cth
 Inj. Ampicilin 3x220 mg
 Inj. Gentamycin 2x4 strip
 Asam valproate 2x1 cc
Status Neurologis

13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 KEJANG DEMAM

14
3.1.1 Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak
berumur 6 bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh
(suhu di atas 38oC, dengan metode pengukuran suhu apa pun) yang
tidak disebabkan oleh proses intrakranial.3
Keterangan:
1. Kejang terjadi karena kenaikan suhu tubuh, bukan karena gangguan
elektrolit atau metabolik lainnya.
2. Bila ada riwayat kejang tanpa demam sebelumnya maka tidak
disebut sebagai kejang demam.
3. Anak berumur antara 1-6 bulan masih dapat mengalami kejang
demam, namun jarang sekali.
National Institute of Health (1980) menggunakan batasan lebih
dari3 bulan, sedangkan Nelson dan Ellenberg (1978), serta ILAE
(1993) menggunakan batasan usia lebih dari 1 bulan. Bila anak
berumur kurang dari 6 bulan mengalami kejang didahului demam,
pikirkan kemungkinan lain, terutama infeksi susunan saraf pusat.
4. Bayi berusia kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam
rekomendasi ini melainkan termasuk dalam kejang neonatus.

3.1.2 Epidemiologi
Kejang demam terjadi pada 2-5% anak berumur 6 bulan – 5
tahun.3 Kejang demam merupakan penyebab tersering kejang pada
anak. Insiden kejang demam di dunia bervariasi antara 2%-5% di
Amerika Serikat, Amerika Selatan, dan Eropa Barat, 5%-10% di
India, 8,3%-9,9% di Jepang, dan 14% di Guam.1,3 Perbedaan tersebut
mungkin disebabkan oleh faktor kerentanan (suseptibilitas) secara
genetik.

3.1.3 Etiologi
Kejang demam dipicu oleh proses infeksi ekstrakranium. Infeksi
ini menyebabkan naiknya suhu tubuh yang berlebihan (hiperpireksia)

15
sehingga timbul kejang. Penelitian Nelson dan Ellenberg (1978) serta
Lewis (1979) menunjukkan pencetus kejang demam terbanyak adalah
infeksi saluran napas atas (38%), diikuti dengan otitis media (23%),
pneumonia (15%), gastroenteritis (7%), roseola infantum (5%), dan
penyakit non-infeksi (12%). Imunisasi juga dapat menjadi penyebab
kejang demam namun insidennya sangat kecil.5
Kejang demam cenderung terjadi dalam satu keluarga,
walaupun pola pewarisan sampai sekarang belum jelas. Anak yang
mengalami kejang demam cenderung mempunyai riwayat kejang
demam pada keluarga. Anak yang mengalami kejang demam juga
lebih sering dijumpai riwayat kejang tanpa demam pada keluarga,
walaupun masih belum ada bukti yang jelas. Tetapi nampaknya
pewarisan gen secara autosomal dominan paling banyak ditemukan.
Penetrasi autosomal dominan diperkirakan sekitar 60-80%. Apabila
salah satu orang tua penderita dengan riwayat pernah memiliki kejang
demam memiliki risiko sebesar 20-22% dan apabila kedua orang tua
memiliki riwayat kejang makan risiko meningkat menjadi 59-64%.
Sebaliknya, apabila kedua orang tuanya tidak memiliki riwayat kejang
maka risiko terjadi kejang dmema hanya 9%.6

3.1.4 Patofisiologi
Kejang demam merupakan kejadian yang berhubungan dengan
usia (age-spesific). Demam sendiri merupakan salah satu respon
alamiah tubuh terhadap adanya infeksi dan inflamasi, namun
bagaimana demam dapat menyebabkan kejang hingga sekarang masih
belum dapat dimengerti dengan jelas. 5
Penelitian belakangan ini memperkirakan adanya keterlibatan
sitokin proinflamasi, faktor age-spesifik, dan etiologi yang mendasari
terjadinya demam, dengan terjadinya kejang selama periode demam.
Sitokin proinflamasi dilepaskan sebagai respon terhadap kerusakan
selular dan infeksi. Sitokin tersebut antara lain interleukin-1β (IL-1β).
Interleukin-1β berperan sebagai pirogen yang menyebabkan timbulnya

16
demam, dan diperkirakan sitokin ini juga memiliki peran dalam
kejadian kejang pada periode demam. Sitokin proinflamasi juga
diketahui dapat mempengaruhi eksitasi neuron, sehingga berpengaruh
terhadap transmisi sinaptic pada kelainan kejang.5
Pada manusia, ditemukan adanya peningkatan produksi sitokin
IL-1β pada cairan serebrospinal pasien anak dengan kejang demam
dan pada pasien rawat inap temporal lobe epilepsy with hippocampal
sclerosis. Selain itu, IL-1β adalah N-methyl-D-aspartate (NMDA)
receptor agonist, sehingga bersifat prokonvulsan. Data tersebut
mendukung adanya hubungan IL-1β pada mekanisme terjadinya
kejang demam.8
Adanya peningkatan temperatur akan mempengaruhi berbagai
proses seluler, termasuk eksitasi neuronal, dan perubahan fungsi
berbagai channel ion neuronal. Dalam keadaan normal membran sel
neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat
sulit dilalui oleh ion Natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion
Klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan
konsentrasi Na+ rendah, sedangkan diluar sel neuron terdapat keadaan
sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan
diluar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial
membran sel dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial
membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-KATPase yang
terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan potensial membran ini
dapat berubah karena adanya;
a. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.
b. Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis,
kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya.
c. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit
atau keturunan.8
Pada keadaan demam dengan kenaikan suhu 1oC akan
mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan

17
oksigen akan meningkat 20%. Pada seorang anak berumur 3 tahun
sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan
orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu
dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan
dalam waktu singkat terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion
Natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan
listrik. Dengan adanya neurotransmiter, muatan listrik ini dapat meluas
ke seluruh sel maupun ke membran sel sehingga terjadilah kejang.9

3.1.5 Klasifikasi

18
a. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)
Kejang demam yang berlangsung singkat (kurang dari 15
menit), bentuk kejang umum (tonik dan atau klonik), serta tidak
berulang dalam waktu 24 jam.2
Keterangan:
1. Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh
kejang demam.
2. Sebagian besar kejang demam sederhana berlangsung kurang
dari 5 menit dan berhenti sendiri.

b. Kejang demam kompleks (Complex febrile seizure)


Kejang demam dengan salah satu ciri berikut:2
1. Kejang lama (>15 menit)
2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului
kejang parsial
3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam waktu 24 jam
Keterangan:
1. Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15
menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan di antara
bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8%
kejang demam.
2. Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum
yang didahului kejang parsial.
3. Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari,
dan diantara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang
terjadi pada16% anak yang mengalami kejang demam.

3.1.6 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada
kejang demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber
infeksi penyebab demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat

19
dikerjakan atas indikasi misalnya darah perifer, elektrolit, dan gula
darah (level of evidence 2, derajat rekomendasi B).8
a. Pungsi lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk
menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis.
Berdasarkan bukti-bukti terbaru, saat ini pemeriksaan pungsi
lumbal tidak dilakukan secara rutin pada anak berusia <12 bulan
yang mengalami kejang demam sederhana dengan keadaan umum
baik.
Indikasi pungsi lumbal (level of evidence 2, derajat
rekomendasi B):
1. Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal
2. Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan klinis
3. Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang
sebelumnya telah mendapat antibiotik dan pemberian antibiotik
tersebut dapat mengaburkan tanda dan gejala meningitis.

b. Elektroensefalografi (EEG)
Indikasi pemeriksaan EEG:
 Pemeriksaan EEG tidak diperlukan untuk kejang demam,
KECUALI apabila bangkitan bersifat fokal.
Keterangan:
EEG hanya dilakukan pada kejang fokal untuk menentukan adanya
fokus kejang di otak yang membutuhkan evaluasi lebih lanjut.

c. Pencitraan
Pemeriksaan neuroimaging (CT scan atau MRI kepala) tidak rutin
dilakukan pada anak dengan kejang demam sederhana (level of
evidence 2, derajat rekomendasi B). Pemeriksaan tersebut

20
dilakukan bila terdapat indikasi,seperti kelainan neurologis fokal
yang menetap, misalnya hemiparesis atauparesis nervus kranialis.

3.1.7 Diagnosis Banding


Kejang dengan demam yang disebabkan proses intrakranial
seperti meningitis, meningoensefalitis, dan ensefalitis.

3.1.8 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan dilakukan untuk
memastikan bahwa tidak ada penyebab kejang di intrakranial.

3.1.9 Terapi
a. Penatalaksanaan saat Kejang
Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4 menit)
dan pada waktu pasien datang, kejang sudah berhenti. Apabila saat
pasien datang dalam keadaan kejang, obat yang paling cepat untuk
menghentikan kejang adalah diazepam intravena. Dosis diazepam
intravena adalah 0,2-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 2
mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 10
mg. Secara umum, penatalaksanaan kejang akut mengikuti
algoritma kejang pada umumnya.9
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah
(prehospital) adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah
0,5-0,75mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat
badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 12
kg.10
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum
berhenti, dapat diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama
dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali pemberian

21
diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di
rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena. Jika kejang masih
berlanjut, lihat algoritme tatalaksana status epileptikus. Bila kejang
telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari indikasi
terapi antikonvulsan profilaksis.10

Gambar 1. Algoritme penatalaksanaan kejang akut dan status epileptikus11

b. Pemberian Obat pada saat Demam


Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik
mengurangi risiko terjadinya kejang demam (level of evidence 1,
derajat rekomendasi A). Meskipun demikian, dokter neurologi anak
di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis
parasetamol yang digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan
tiap 4-6 jam. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali,3-4 kali sehari.2

Antikonvulsan
Pemberian obat antikonvulsan intermiten
Yang dimaksud dengan obat antikonvulsan intermiten adalah
obat antikonvulsan yang diberikan hanya pada saat demam.
Profiaksis intermiten diberikan pada kejang demam dengan salah
satu faktor risiko di bawah ini:
 Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral
 Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun

22
 Usia <6 bulan
 Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat
Celsius
 Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh
meningkat dengan cepat.
Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali
per oral atau rektal 0,5 mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan <12 kg
dan 10 mg untuk berat badan >12 kg), sebanyak 3 kali sehari,
dengan dosis maksimum diazepam 7,5 mg/kali. Diazepam
intermiten diberikan selama 48 jam pertama demam. Perlu di
informasikan pada orangtua bahwa dosis tersebut cukup tinggi dan
dapat menyebabkan ataksia, iritabilitas, serta sedasi.

Pemberian obat antikonvulsan rumat


Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak
berbahaya dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping
yang tidak diinginkan, maka pengobatan rumat hanya diberikan
terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek (level of evidence
3, derajat rekomendasi D). Indikasi pengobatan rumat:
1. Kejang fokal
2. Kejang lama >15 menit
3. Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau
sesudah kejang, misalnya palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis.
Keterangan:
 Kelainan neurologis tidak nyata, misalnya keterlambatan
perkembangan, BUKAN merupakan indikasi pengobatan rumat.
 Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa
anak mempunyai fokus organik yang bersifat fokal.
 Pada anak dengan kelainan neurologis berat dapat diberikan
edukasi untuk pemberian terapi profiaksis intermiten terlebih

23
dahulu, jika tidak berhasil/orangtua khawatir dapat diberikan
terapi antikonvulsan rumat.

Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat


Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari
efektif dalam menurunkan risiko berulangnya kejang (level of
evidence 1, derajat rekomendasi B).
Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan
gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat
pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus,
terutama yang berumur kurang dari 2 tahun, asam valproat dapat
menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam valproat adalah
15-40 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis, dan fenobarbital 3-4
mg/kg/hari dalam 1-2 dosis.

Lama pengobatan rumat


Pengobatan diberikan selama 1 tahun, penghentian
pengobatan rumat untuk kejang demam tidak membutuhkan
tapering off namun dilakukan pada saat anak tidak sedang demam.

3.1.10 Prognosis
a. Kecacatan atau kelainan neurologis
Prognosis kejang demam secara umum sangat baik.
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak
pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis
umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal.
Kelainan neurologis dapat terjadi pada kasus kejang lama atau
kejang berulang, baik umum maupun fokal. Suatu studi
melaporkan terdapat gangguan recognition memory pada anak
yang mengalami kejang lama. Hal tersebut menegaskan

24
pentingnya terminasi kejang demam yang berpotensi menjadi
kejang lama.11

b. Kemungkinan berulangnya kejang demam


Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus.
Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah:
1. Riwayat kejang, demam dan keluarga
2. Usia kurang dari 12 bulan
3. Temperatur yang rendah saat kejang
4. Cepatnya kejang setelah demam
Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya
kejang demam tersebut adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat
faktor tersebut kemungkinan berulangnya kejang demam hanya
10-15%. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar
pada tahun pertama.11

c. Faktor risiko terjadinya epilepsi


Faktor risiko lain adalah terjadinya epilepsi di kemudian hari.
Faktor risiko menjadi epilepsi adalah:
1. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum
kejang demam pertama.
2. Kejang demam kompleks.
3. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung.
Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan
kejadian epilepsi sampai 4%-6%, kombinasi dari faktor risiko
tersebut meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10%-49%
(Level II-2). Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah
dengan pemberian obat rumat pada kejang demam.11

d. Kematian
Kematian langsung karena kejang demam tidak pernah
dilaporkan. Angka kematian pada kelompok anak yang

25
mengalami kejang demam sederhana dengan perkembangan
normal dilaporkan sama dengan populasi umum.

3.1.11 Edukasi pada Orang Tua


Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang
tua. Pada saat kejang sebagian besar orang tua beranggapan bahwa
anaknya telah meninggal. Kecemasan ini harus dikurangi dengan
cara yang diantaranya11
1. Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai
prognosis baik.
2. Memberitahukan cara penanganan kejang.
3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.
4. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi
harus diingat adanya efek samping.

3.1.12 Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang


1. Tetap tenang dan tidak panik.
2. Longgarkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher.
3. Bila anak tidak sadar, posisikan anak miring. Bila terdapat
muntah, bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung.
4. Walaupun terdapat kemungkinan (yang sesungguhnya sangat
kecil) lidah tergigit, jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut.
5. Ukur suhu, observasi, dan catat bentuk dan lama kejang.
6. Tetap bersama anak selama dan sesudah kejang.
7. Berikan diazepam rektal bila kejang masih berlangsung lebih dari
5 menit. Jangan berikan bila kejang telah berhenti. Diazepam
rektal hanya boleh diberikan satu kali oleh orangtua.
8. Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit
atau lebih, suhu tubuh lebih dari 40 derajat Celsius, kejang tidak
berhenti dengan diazepam rektal, kejang fokal, setelah kejang
anak tidak sadar, atau terdapat kelumpuhan.

26
27
BAB IV
ANALISIS KASUS

An. AA, anak laki-laki berusia 11 bulan 10 hari, mengalami kejang


seluruh tubuh, mata mendelik ke atas sejak 5 jam SMRS. Lama kejang + 10
menit. Kejang berhenti sendiri. Saat kejang berlangsung An. AA tidak sadar
tetapi sebelum dan sesudah kejang anak sadar. + 1 jam SMRS pasien
mengalami kejang kembali pada seluruh tubuh dengan mata mendelik keatas.
Lama kejang + 15 menit. Pasien sebelumnya mengalami demam, batuk dan
pilek + selama 2 hari.
Berdasarkan epidemiologi, karakteristik usia pasien sudah sesuai dengan
teori yang menyebutkan bahwa kejadian kejang demam umumnya terjadi pada
anak usia 6 bulan - 5 tahun. Kejang demam merupakan penyebab tersering
kejang pada anak.1
Berdasarkan etiologi, penyebab pasien ini sebelum terjadinya kejang
didahului ISPA. Menurut teori, kejang demam dipicu oleh proses infeksi
ekstrakranium. Infeksi ini menyebabkan naiknya suhu tubuh yang berlebihan
(hiperpireksia) sehingga timbul kejang. Penelitian Nelson dan Ellenberg (1978)
serta Lewis (1979) menunjukkan pencetus kejang demam terbanyak adalah
infeksi saluran napas atas (38%), diikuti dengan otitis media (23%), pneumonia
(15%), gastroenteritis (7%), roseola infantum (5%), dan penyakit non-infeksi
(12%). Imunisasi juga dapat menjadi penyebab kejang demam namun
insidennya sangat kecil.5
Berdasarkan faktor risiko, pasien memiliki riwayat kejang dalam
keluarganya, yaitu ayahnya. Menurut teori, kejang demam cenderung terjadi
dalam satu keluarga, walaupun pola pewarisan sampai sekarang belum jelas.
Anak yang mengalami kejang demam cenderung mempunyai riwayat kejang
demam pada keluarga. Anak yang mengalami kejang demam juga lebih sering

28
dijumpai riwayat kejang tanpa demam pada keluarga, walaupun masih belum
ada bukti yang jelas. Tetapi nampaknya pewarisan gen secara autosomal
dominan paling banyak ditemukan. Penetrasi autosomal dominan diperkirakan
sekitar 60-80%. Apabila salah satu orang tua penderita dengan riwayat pernah
memiliki kejang demam memiliki risiko sebesar 20-22%.
Berdasarkan klasifikasi, pasien ini memiliki 2 kriteria dari kejang
demam kompleks. Kejang demam kompleks dapat ditegakkan dengan memiliki
minimal salah satu cirinya, yaitu kejang bersifat fokal, kejang berlangsung 2
kali dalam satu periode, dan kejang berlangsung selama kurang lebih 15 menit.
Pada pasien ini didapatkan 2 kriteria yang memenuhi kejang demam kompleks,
yaitu kejang yang lebih dari 15 menit dan lebih dari 1 kali kejang selama 24
jam.2
Dari anamnesis tidak ditemukan adanya penurunan kesadaran, tidak ada
muntah, tidak ada gejala rangsangan meningeal, ubun ubun besar datar, tonus
otot masih baik dan dari pemeriksaan neurologis juga tidak dijumpai adanya
kelainan, yang biasanya kita jumpai pada pasien dengan infeksi intrakranial.
Dari hasil pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda-tanda infeksi sistem saraf
pusat, yang biasanya ditandai dengan gangguan upper motor neuron (gejala
gangguan SSP), yang biasanya ditemukan pada kasus meningitis maupun
ensefalitis.
Pada pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada kasus ini yaitu
pemeriksaan laboratorium. Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan bahwa
terdapat jumlah leukosit 11.300. Adanya leukositosis pada kasus ini
kemungkinan akibat proses infeksi pada saluran napas atas pada pasien.
Terapi yang saat ini diberikan pada pasien adalah terapi suportif yaitu
KAEN 1B gtt 8x/mnt, ampicilin injeksi 3x400 mg dan gentamycin injeksi 2x4
strip untuk tatalaksana infeksi saluran nafas sebagai fokal infeksi. Diberikan
juga terapi rumatan berupa asam valproate 2x0,8 cc selama 1 tahun bebas
kejang, indikasi diberikan asam valproate pada pasien ini adalah ada demam
lama dan kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang yang
berulang lebih dari dua kali atau diantara bangkitan kejang anak tidak sadar.

29
Pada pasien juga diberikan obat paracetamol syr. 3x1 cth. Obat paaracetamol
adalah obat antipiretik. Pemberian obat antipiretik pada demam tidak
ditemukan bukti bahwa penggunaannya mengurangi risiko terjadinya kejang
demam. Meskipun demikian, dokter neurologi anak di Indonesia sepakat
bahwa antipiretik tetap dapat diberikan dengan dosis parasetamol yang
digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan tiap 4-6 jam.2
Monitoring yang perlu dilakukan pada pasien adalah monitoring
kesadaran dan tanda vital untuk menilai apakah terdapat kegawatan yang dapat
muncul sewaktu-waktu serta observasi timbulnya kejang ulangan. Berdasarkan
teori bahwa prognosis kejang demam secara umum sangat baik,
perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien
yang sebelumnya normal. Kelainan neurologis dapat terjadi pada kasus
kejang lama atau kejang berulang, baik umum maupun fokal. Suatu studi
melaporkan terdapat gangguan recognition memory pada anak yang
mengalami kejang lama. Dan tidak pernah dilaporkan kematian akibat
kejang demam.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Ismet. Kejang demam. J Kesehatan Melayu. 2017;1(1):41-44.

2. Pusponegoro HD, Widodo DP; Ismael S (editor). Rekomendasi penatalaksanaan


kejang demam. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2016.

3. Behrman RE, Kliegman RM, Arvio, Nelson Ilmu Kesehatan anak, volume 3,
edisi 15. Jakarta: EGC 2005. Page 2059- 2066.

4. Nurindah D, Muid M, Retoprawira S. Hubungan antara kadar tumor necrosis


factor alpha (TNF α) plasma dengan kejang demam pada anak. Jurnal
Kedokteran Brawijaya, 2014; 28 (2):115-19

5. Nindela, Rini, Msy. Rita Dewi, dan Iskandar Z. Ansori. Karakteristik penderita
kejang demam di instalasi rawat inap bagian anak Rumah Sakit Muhammad
Hoesin Palembang. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, 2014; 1(1) 41-45.

6. Vebriasa, Atut, dkk. Hubungan antara riwayat kejang pada keluarga dengan tipe
kejang demam danusia saat kejang demam pertama. Sari Pediatri, 2013; 15(3):
137-38.

7. Nindela, Rini, Msy. Rita Dewi, dan Iskandar Z. Ansori. Karakteristik penderita
kejang demam di instalasi rawat inap bagian anak Rumah Sakit Muhammad
Hoesin Palembang. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, 2014; 1(1) 41-45.

8. Shellhaas R, Engel J. Febrile seizure, a clinical summary pdf. Last update 2014,
downloaded from http://www.medlink.com/cip.asp?UID=mlt002fc

9. American Academy of Pediatrics, Subcommittee on Febrile Seizure. Pediatr.


2011;127:389-94. Dalam Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang Demam. UKK
Neurologi IDAI. 2016.

31
10. Price, Sylvia A, Lorraine M. Wilson. Patofisiologi Volume 2. Jakarta : EGC.
2005.

11. Appleton R, Macleod S, Martland T. Cochrane Database Syst Rev. 2008.


Dalam Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang Demam. UKK Neurologi IDAI.
2016.

12. Kesepakatan UKK Neurologi IDAI. Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang


Demam. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2016.

13. Darwin, S., Dewi, MR., dan Indra RM. Kejang Demam. Panduan Praktik
Klinik SMF Kesehatan Anak RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang. 2016

32

Anda mungkin juga menyukai