Disusun Oleh:
Uswatun Amina
G1A219124
Pembimbing:
UNIVERSITAS JAMBI
TAHUN 2021
LEMBAR PENGESAHAN
Disusun Oleh:
Uswatun Amina
G1A219124
UNIVERSITAS JAMBI
TAHUN 2021
Pembimbing,
1
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Case Report Session
(CRS) yang berjudul “Kejang Demam Kompleks + Gizi Baik” sebagai salah satu
syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Kesehatan
Anak di RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Retno Kusumastuti, Sp.A,
M.Kes yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing
penulis selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Kesehatan
Anak RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada Case Report
Session (CRS) ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran untuk
menyempurnakan Case Report Session (CRS). Penulis mengharapkan semoga
Case Report Session (CRS) ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.
Jambi
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
Kejang demam didefinisikan sebagai kejang pada anak usia lebih dari 1
bulan, berhubungan dengan kenaikan suhu tubuh lebih dari 38C yang tidak
disebabkan oleh infeksi sistem saraf pusat (SSP), tanpa adanya riwayat
kejang neonatal atau kejang tanpa sebab sebelumnya, dan tidak
memenuhi kriteria kejang simptomatik lainnya. 1 Kejang demam dapat juga
didefinisikan sebagai kejang yang disertai demam tanpa bukti adanya infeksi
intrakranial, kelainan intrakranial, kelainan metabolik, toksin atau endotoksin
seperti neurotoksin Shigella. 2
Secara umum terdapat dua jenis kejang demam, yaitu kejang demam
sederhana (KDS), yang mencakup hampir 80% kasus dan kejang demam
kompleks (KDK). Kejang demam merupakan jenis kejang yang paling banyak
terjadi pada anak, mengenai 2-5% anak berusia 6 bulan sampai 5 tahun
dengan puncak onset antara usia 18-22 bulan. Kejang demam tidak
berhubungan dengan adanya kerusakan otak dan hanya akan berkembang menjadi
epilepsi.3
Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam Tahun 2016 membuat kriteria
dan membagi kejang demam atas 2 golongan, yaitu kejang demam sederhana
(simple febrile seizure) dan kejang demam kompleks (complex febrile seizure).4
Secara klinis umumnya tidak sulit untuk menegakkan diagnosis kejang demam,
dengan adanya gejala kejang pada suhu badan yang tinggi serta tidak didapatkan
gejala neurologis lain dan anak segera sadar setelah kejang berlalu. Perlu diadakan
pemeriksaan laboratorium untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam.5
Komplikasi kejang demam yang paling banyak terjadi adalah kejang demam
berulang. Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah riwayat kejang demam
atau epilepsi dalam keluarga, usia kurang dari 12 bulan, suhu tubuh kurang dari
390C saat kejang, interval waktu yang singkat antara awitan demam dengan
terjadinya kejang dan pada kejang demam pertama merupakan kejang demam
3
kompleks. Sekitar sepertiga dari kasus kejang demam akan mengalami
setidaknya sekali rekurensi. Risiko berulangnya kejang demam sekitar 60%
setelah kejang demam pertama, 75% diantaranya terjadi dalam waktu satu tahun
pertama. Akan tetapi, masih cukup banyak orang tua yang tidak peka dengan
tanda kejang dan risiko berulangnya kejadian kejang demam. Prognosis
kejang demam umumnya baik, namun bangkitan kejang demam dapat
membawa kekhawatiran yang sangat besar bagi orang tuanya. 6,7
BAB II
LAPORAN KASUS
4
Umur : 4 tahun, 11 bulan
Nama Ayah : Tn. A
Nama Ibu : Ny. S
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Jl. Kopral Sulaiman. Rt08, Suka Karya, Kotabaru
MRS tanggal : 20 Januari 2021
2.2 Anamnesis
Alloanamnesis dilakukan dengan ibu pasien, pada hari kamis, tanggal
21 Januari 2021.
5
menggunakan thermometer. Kemudian ibu pasien memberikan
paracetamol sehingga demam turun. Keluhan demam juga disertai
dengan timbul ruam pada sekitar dagu dan leher pasien. Ruam timbul
beberapa saat setelah demam terjadi. Riwayat batuk pilek dan riwayat
trauma kepala disangkal.
Sebelumnya sejak usia 1 tahun, pasien pernah mengalami kejang.
Pasien dirawat dengan keluhan kejang terkahir kali pada 2 tahun yang
lalu. Kejang muncul beberapa saat setelah terjadi demam. Pasien juga
sudah 4 kali dirawat inap denga keluhan kejang yang diawali dengan
demam. Saat kejang terjadi, mata pasien mendelik keatas dengan
tangan dan kaki lurus serta mulut kaku seperti menggigit. Setalah
kejang, pasien kembali sadar.
6
b. Riwayat Makanan
ASI : ASI ekslusif sampai usia 5 bulan
Susu Formula : Susu formula 5 bulan sampai usia 2 tahun
Bubur Nasi : Bubur SUN, mulai usia 5 bulan sampai 7
usia bulan
Nasi Tim/lembek : sampai usia 7 bulan
Nasi Biasa : mulai usia 10 bulan sampai sekarang (-)
Daging, Ikan, Telur : sejak usia 7 bulan sampai sekarang
Sayuran : Sering
Buah : Sering
Kesan : Cukup
c. Riwayat Imunisasi
BCG :+ (1 kali)
Polio :+ (3 kali)
DPT :+ (3 kali)
Campak :-
Hepatitis :+ (4 kali)
Kesan : Imunisasi dasar tidak lengkap
d. Riwayat Perkembangan
Gigi Pertama : 6 bulan
Tengkurap : 3 bulan
Merangkak : 10 bulan
Duduk : 6 bulan
Berdiri : 1 tahun
Berjalan : 1 tahun
Berbicara : 11 bulan
Aktiftas : Aktif
Kesan : Perkembangan normal
e. Status Gizi
7
BB : 17 kg
TB : 107 cm
BB/U : -2 SD sd 1 SD (Kesan: Berat badan normal)
TB/U : -2 SD sd 2 SD (Kesan: Normal)
BB/TB : -1 SD sd 1 SD (Kesan: Gizi Baik)
8
2. Pemeriksaan Khusus
1. Kulit
Warna : Sawo matang
Turgor : Cepat kembali
Pucat :-
Lain-lain : Petekie (-), purpura (-), ruam (+)
2. Kepala
Bentuk : Normocephal
Rambut
- Warna : Hitam, merata, tidak mudah dicabut
- Alopesia :-
- Lain-lain :-
Mata
- Palpebra : Edema (-), laserasi (-), cekung (-),
- Alis dan bulu mata : Hitam
- Konjungtiva : Anemis (+)
- Sklera : Ikterik (-)
- Pupil : Isokhor, refleks cahaya (+/+)
- Kornea : Jernih (+)
Telinga
- Bentuk : Simetris
- Sekret : Tidak ada
- Serumen : (+/+) Minimal
- Nyeri : (-/-)
Hidung
- Bentuk : Simetris
- Sekret : (+/+)
- Epistaksis : (-/-)
Mulut dan Gigi
- Bentuk : Simetris
9
- Bibir : Kering (-), pucat (-)
- Karies : -
- Lidah : Atropi papil lidah (-)
Faring
- Hiperemis :-
- Edema :-
- Membran / pseudomembran : -
Tonsil
- Warna : hiperemis (-)
- Pembesaran : T2-T2
- Abses : (-/-)
- Membran / pseudomembran : -
Leher
- Pembesaran kelenjar leher :-
- Kaku kuduk :-
- Massa :-
- Tortikolis :-
- Parotitis :-
3. Thoraks
Jantung
- Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
- Palpasi : Iktus kordis teraba di iCS V linea
midclavicula sinistra
- Perkusi :
o Batas kiri : ICS V linea midklavikularis sinistra
o Batas kanan : ICS IV linea parasternalis dekstra
o Batas atas : ICS II linea parasternalis dekstra
- Auskultasi :
o Suara dasar : Irama jantung regular
o Bising : Murmur (-). gallop (-)
10
Paru
Inspeksi Bentuk : Normochest, Simetris kiri-kanan
Retraksi :-
Pernapasan : thorakoabdominal
Sternum : ditengah
Palpasi Fremitus vocal : Simetris kanan dan kiri
Perkusi Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi Suara nafas dasar : Vesikuler (+/+)
Suara nafas tambahan: Ronki (-/-),Wheezing (-/-)
Abdomen
Inspeksi Bentuk : Distensi (-)
Auskultasi Bising usus (+) normal
Palpasi Nyeri tekan :-
Nyeri lepas :-
Defans muscular :-
Turgor : Baik
Hepar : Pinggir tajam,
Permukaan rata,
Konsistensi kenyal
Lien : Tidak teraba
Ginjal : Tidak teraba
Massa :-
Perkusi Timpani :+
Ascites :-
Nyeri ketok CVA : -
4. Ekstremitas
Superior
- Look : Jejas (-/-), hematom (-/-), edema (-/-)
- Feel : Nyeri tekan (-/-), sensibilitas (+/+), akral hangat
(+/+), CRT<2detik (+/+)
- Move : Nyeri gerak aktif (-/-), pasif(-/-), gerak aktif dan
11
pasif dalam batas normal
Inferior
- Look : Jejas (-/-), hematom (-/-), edema (-/-)
- Feel : Nyeri tekan (-/-), sensibilitas (+/+), akral hangat
(+/+), CRT<2detik (+/+)
- Move : Nyeri gerak aktif (-/-), pasif(-/-), gerak aktif dan
pasif dalam batas normal
5. Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan
3. Pemeriksaan Neurologi
Tanda Rangsang Meningeal
Kaku kuduk : (-)
Brudzinsky I : (-)
Brudzinsky II : (-)
Kernig : (-)
Lasegue : (-)
Pemeriksaan Fisiologis
Refleks tendon biseps : (+/+)
Refleks tendon triseps : (+/+)
Patella : (+/+)
Achilles : (+/+)
Pemeriksaan Patologis
Babinsky : (-/-)
Chadook : (-/-)
Gordon : (-/-)
Oppenheim : (-/-)
Tonus : eutoni
Kekuatan : 5 5
5 5
4. Pemeriksaan Laboratorium
a. Hematologi (20 Januari 2021)
12
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan Satuan
Hematologi rutin
Hemoglobin 10.4 12-16 g/dL
Hematokrit 28,2 34,5-54 %
Eritrosit 4,79 4,5-5,5 106/ uL
MCV 73,2 80-96 fl
MCH 27 27-31 Pg
MCHC 36,8 32-36 g/DI
RDW 14,1 11-16 %
Trombosit 289, 150-450 103/ uL
PCT ,21 0,150-0,400 %
MPV 7,3 8-11 Fl
PDW 10,8 9-13 Fl
Leukosit 11,5 4,0-10,0 103/ uL
Kesan: Anemia hipokrom mikrositik, Leukositosis
Diagnosa Banding:
- Kejang Demam Simplek
- Status epileptikus
- Meningitis
2.6 Tatalaksana
Farmakologi:
IGD (20-01-2021)
- IVFD KAEN IB 15gtt makro
- Paracetamol syr 3 x 1 1/5 cth
13
- Diazepam pulv 3 x 5 mg
Bangsal (21-01-2021)
- IVFD KAEN IB 15gtt makro
- Paracetamol syr 3 x 11/5 cth
- Diazepam pulv 3x5 mg
- Jika kejang : diazepam 5 mg IV
2.7 Prognosa
- Quo ad vitam : Ad bonam
- Quo ad Functionam : Ad bonam
- Quo ad Sanationam : Dubia ad bonam
FOLLOW UP PASIEN
Tanggal S O A P
22/01/21 Kejang Keadaan umum: Diagnosis • IVFD KAEN
(-) tampak lemas : IB 15gtt makro
Demam Kesadaran: CM Kejang • Paracetamol syr
(-) GCS : E4V5M6 demam 3 x 11/5 cth
(15) kompleks • Diazepam pulv
TD : 110/60mmHg + gizi baik 3x5 mg
N : 108 x/i + • Jika kejang :
RR : 24 x/i observasi diazepam 5 mg
T : 36,7˚C demam IV
SP02 : 98 % hari ke 2
Lab (20.01.21)
Hb : 10.4↓
Hct : 28.2↓
MCV : 73,2↓
MPV : 7.3↓
WBC : 11.5↑
23/01/20 Kejang Keadaan umum: Diagnosis • IVFD KAEN
14
(-) Tampak lemah : IB 15gtt makro
Demam Kesadaran: CM, Kejang • Paracetamol syr
(-) GCS : E4V5M6 demam 3 x 11/5 cth
(15) kompleks • Diazepam pulv
TD:100/70mmHg + gizi baik 3x5 mg
N : 100 x/i + • Jika kejang :
RR : 25 x/i observasi diazepam 5 mg
T : 36,7˚C demam IV
SP02 : 99 % hari ke 2
Lab (20.01.21)
Hb : 10.4↓
Hct : 28.2↓
MCV : 73,2↓
MPV : 7.3↓
WBC : 11.5↑
23/01/21 PASIEN PULANG
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal diatas 38ºC) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium.2
Berdasarkan International League Against Epilepsy (ILAE), kejang
demam merupakan kejang selama masa kanak-kanak setelah usia 1 bulan,
yang berhubungan dengan penyakit demam tanpa disebabkan infeksi sistem
saraf pusat, tanpa riwayat kejang neonatus dan tidak berhubungan dengan
kejang simptomatik lainnya.8
15
Berdasarkan definisi terbaru menurut Konsensus Penatalaksanaan
Kejang Demam Tahun 2016, kejang demam adalah bangkitan kejang yang
terjadi pada anak berumur 6 bulan sampai 5 tahun yang mengalami
kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 38 0C, dengan metode pengukuran suhu
apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses intrakranial.5
3.2 Epidemiologi
Menurut The American Academy of Pediatrics (AAP) usia termuda
bangkitan kejang demam pada usia 6 bulan. Kejang demam merupakan
salah satu kelainan saraf tersering pada anak. Berkisar 2 - 5% anak dibawah
5 tahun pernah mengalami bangkitan kejang demam. Lebih dari 90%
pendertita kejang demam terjadi pada anak berusia dibawah 5 tahun.
Terbanyak kasus bangkitan kejang demam terjadi pada anak berusia antara 6
bulan sampai dengan 22 bulan. Insiden bangkitan kejang demam tertinggi
pada usia 18 bulan.6
16
Sekitar 21% persen kejang demam durasinya kurang dari 1 jam, 57%
terjadi antara 1-24 jam berlangsungnya demam, dan 22% lebih dari 24 jam.
Sekitar 30% pasien akan mengalami kejang demam berulang dan kemudian
meningkat menjadi 50% jika kejang pertama terjadi usia kurang dari 1
tahun. Sejumlah 9–35% kejang demam pertama kali adalah kompleks, 25%
kejang demam kompleks tersebut berkembang ke arah epilepsi.7,9
3.3 Etiologi
Etiologi kejang demam sampai saat ini belum diketahui. Kejang demam
biasanya diawali dengan infeksi virus atau bakteri. Penyakit yang paling
sering dijumpai menyertai kejang demam adalah penyakit infeksi saluran
pernapasan, otitis media, dan gastroenteritis. Umur anak, serta tinggi dan
cepatnya suhu meningkat mempengaruhi terjadinya kejang. Faktor hereditas
juga mempunyai peranan yaitu 8-22 % anak yang mengalami kejang demam
memiliki orangtua yang memiliki riwayat kejang demam pada masa
kecilnya. Faktor predisposisi timbulnya bangkitan kejang demam
berhubungan dengan riwayat keluarga, riwayat kehamilan dan persalinan,
gangguan tumbuh kembang anak, seringnya menderita infeksi, dan kadar
elektrolit, seng dan besi darah rendah.10
a. Faktor genitika
Faktor keturunan dari salah satu penyebab terjadinya
kejang demam, 25-50% anak yang mengalami kejang
demam memiliki anggota keluarga yang pernah mengalami
kejang demam.
b. Penyakit infeksi
a. Bakteri : penyakit pada traktus respiratorius,
pharingitis, tonsillitis, otitis media.
b. Virus : varicella (cacar), morbili (campak),
dengue (virus penyebab demam berdarah).
c. Demam
17
Kejang demam cenderung timbul dalam 24 jam pertama
pada waktu sakit dengan demam tinggi.
d. Gangguan metabolism
Gangguan metabolisme seperti uremia, hipoglikemia, kadar
gula darah kurang dari 30 mg% pada neonates cukup bulan dan
kurang dari 20 mg% pada bayi dengan berat badan lahir
rendah atau hiperglikemia.
e. Trauma
Kejang berkembang pada minggu pertama setelah kejadian
cedera kepala
f. Neoplasma,
Neoplasma dapat menyebabkan kejang pada usia berapa
pun, namun mereka merupakan penyebab yang sangat
penting dari kejang pada usia pertengahan dan kemudian
ketika insiden penyakit neoplastik meningkat.
g. Gangguan sirkulasi.
h. Penyakit degeneratif susunan saraf.11
3.4 Mekanisme Kejang Demam
Setiap kenaikan suhu tubuh satu derajat Celsius akan meningkatkan
metabolisme karbohidrat 10%-15%, sehingga dengan adanya peningkatan
suhu akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan glukosa dan oksigen.
Pada demam tinggi akan mengakibatkan hipoksia jaringan termasuk
jaringan otak. Pada keadaan metabolisme di siklus Creb normal, satu
molekul glukosa akan menghasilkan 38 ATP. Sedangkan pada keadaan
hipoksia jaringan metabolisme berjalan anaerob, satu molekul glukosa
hanya akan menghasilkan 2 ATP, sehingga pada keadaan hipoksia akan
kekurangan energi dan mengganggu fungsi normal pompa Na+ dan reuptake
asam glutamat oleh sel glia, dimana pada keadaan normal membran sel yang
melingkupi sel terdiri dari permukaan dalam yang lipoid dan permukaan
luar yang ionic sehingga membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah
18
oleh ion K+ dan sangat sulit dilalui oleh ion Na+ dan elektrolit lainnya,
kecuali ion Cl.12
Dengan demikian, konsentrasi K+ dalam neuron tinggi dan konsentrasi
Na+ rendah, sedangkan diluar sel neuron terjadi keadaan sebaliknya.
Keseimbangan potensial membrane ini dapat terus dijaga oleh adanya enzim
Na+/K+/ATPase yang terdapat pada permukaan sel. Namun pada kenaikan
suhu tubuh tertentu kedua hal tersebut mengakibatkan masuknya Na+ ke
dalam sel meningkat dan timbunan asam glutamate ekstrasel. Timbunan
asam glutamate ekstrasel akan meningkatkan permeabilitas membrane sel
terhadap ion Na+ sehingga semakin meningkat ion Na+ masuk ke dalam sel
yang menyebabkan dapat terjadi perubahan keseimbangan membrane sel
neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi ion kalium dan natrium
melalui membrane tadi sehingga menimbulkan lepas muatan listrik. Lepas
muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel
disekitarnya dengan bantuan neurotransmitter dan terjadilah kejang.12
3.5 Klasifikasi
Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI 2004), membagi kejang
demam menjadi dua
1. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)5
a. Kejang demam yang berlangsung singkat (kurang dari 15 menit)
b. Bentuk kejang umum (tonik dan atau klonik)
c. Tidak berulang dalam waktu 24 jam.
Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang
demam. Sebagian besar kejang demam sederhana berlangsung kurang
dari 5 menit dan berhenti sendiri.
2. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure)
Kejang demam dengan salah satu ciri berikut:5
a. Kejang lama (>15 menit)
19
b. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului
kejang parsial
c. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam waktu 24 jam.
Menurut sub bagian syaraf anak FK-UI membagi tiga jenis kejang demam,
yaitu :
20
- Temperatur kurang dari 39℃
2. kejang demam sederhana
- Kejadiannya antara umur 6 bulan sampai dengan 5 tahun
- Serangan kejang kurang dari 15 menit atau singkat
- Kejang bersifat umum (tonik/klonik)
- Tidak didapatkan kelainan neurologis sebelum dan sesudah kejang
- Frekuensi kejang kurang dari 3 kali / tahun
- Temperatur lebih dari 39℃
21
3.6 MANIFESTASI KLINIS
Gejala yang timbul saat anak mengalami kejang demam antara lain : anak
mengalami demam (terutama demam tinggi atau kenaikan suhu tubuh yang
terjadi secara tiba-tiba), kejang tonik-klonik atau grand mal, pingsan yang
berlangsung selama 30 detik-5 menit (hampir selalu terjadi pada anak-anak
yang mengalami kejang demam). Kejang dapat dimulai dengan kontraksi
yang tiba-tiba pada otot kedua sisi tubuh anak. Kontraksi pada umumnya
terjadi pada otot wajah, badan, tangan dan kaki. Anak dapat menangis atau
merintih akibat kekuatan kontaksi otot. Anak akan jatuh apabila dalam
keadaan berdiri.
22
4. Busa di mulut
5. Wajah dan kulit menjadi pucat atau kebiruan
6. Mata berputar-putar, sehingga hanya putih mata yang terlihat.11
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik berupa:13
- Kesadaran
- Suhu tubuh
- Tanda rangsal meningeal
- Tanda peningkatan tekanan intracranial
- Tanda infeksi di luar SSP
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
23
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin
pada kejang demam, tetapi dapat dikerjakan untuk
mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam. Pemeriksaan
laboratorium yang dapat dikerjakan atas indikasi misalnya
darah perifer, elektrolit, dan gula darah.5
2. Pungsi Lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk
menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis.
Berdasarkan bukti-bukti terbaru, saat ini pemeriksaan pungsi
lumbal tidak dilakukan secara rutin pada anak berusia <12
bulan yang mengalami kejang demam sederhana dengan
keadaan umum baik. Indikasi pungsi lumbal:5
a. Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal
b. Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan klinis
c. Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai
demam yang sebelumnya telah mendapat antibiotik dan
pemberian antibiotic tersebut dapat mengaburkan tanda
dan gejala meningitis.
3. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak
direkomendasikan karena tidak dapat memprediksi
berulangnya kejang atau memperkirakan kemungkinan
epilepsi pada pasien kejang demam. Pemeriksaan EEG masih
dapat dilakukan pada keadaan kejang demam yang tidak
khas, misalnya pada kejang demam kompleks pada anak usia
lebih dari 6 tahun, atau kejang demam fokal untuk
menentukan adanya focus kejang di otak yang membutuhkan
evaluasi lebih lanjut.5,7
4. Pencitraan
24
MRI diketahui memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang
lebih tinggi dibandingkan CT scan, namun belum tersedia
secara luas di unit gawat darurat. CT scan dan MRI dapat
mendeteksi perubahan fokal yang terjadi baik yang bersifat
sementara maupun kejang fokal sekunder. Foto X-ray kepala
dan pencitraan seperti Computed Tomography scan (CT-
scan) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) tidak rutin
dan hanya atas indikasi seperti:7
- Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
- Paresis nervus VI
- Papiledema
d. Diagnosa banding
Diagnosa banding kejam demam antara lain:
Persamaan Perbedaan
3.8 Penatalaksanaan
a. Penatalaksaan saat kejang
Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4 menit) dan
pada waktu pasien datang, kejang sudah berhenti. Apabila saat pasien
datang dalam keadaan kejang, obat yang paling cepat untuk
25
menghentikan kejang adalah diazepam intravena. Dosis diazepam
intravena adalah 0,2-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 2
mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 10 mg.
Secara umum, penatalaksanaan kejang akut mengikuti algoritma
kejang pada umumnya.5
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah
(prehospital) adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah
0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat
badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 12
kg.5
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti,
dapat diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval
waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih
tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah sakit dapat
diberikan diazepam intravena. Bila kejang telah berhenti, pemberian
obat selanjutnya tergantung dari indikasi terapi antikonvulsan
profilaksis.5
26
diberikan pada kejang demam dengan salah satu faktor risiko
di bawah ini:5
• Kelainan neurologis berat misalnya cerebral palsy
• Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
• Usia <6 bulan
• Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39
derajat Celsius
• Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu
tubuh meningkat dengan cepat
Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali
per oral atau rektal 0,5 mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan
<12 kg dan 10 mg untuk berat badan >12 kg), sebanyak 3 kali
sehari, dengan dosis maksimum diazepam 7,5 mg/kali.
Diazepam intermiten diberikan selama 48 jam pertama demam.
Perlu diinformasikan pada orangtua bahwa dosis tersebut
cukup tinggi dan dapat menyebabkan ataksia, iritabilitas, serta
sedasi.5
27
Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam >15 menit
merupakan indikasi pengobatan rumat. Kelainan neurologis tidak
nyata, misalnya keterlambatan perkembangan ringan, bukan
merupakan indikasi pengobatan rumat. Kejang fokal atau fokal
menjadi umum menunjukkan bahwa anak mempunyai fokus organik.7
1. Jenis Antikonvulsan untuk pengobatan rumat
Phenobarbital atau valproic acid efektif menurunkan risiko
berulangnya kejang. Obat pilihan saat ini adalah valproic acid.
Berdasarkan bukti ilmiah, kejang demam tidak berbahaya dan
penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping, oleh karena
itu pengobatan rumat hanya diberikan pada kasus selektif dan
dalam jangka pendek. Phenobarbital dapat menimbulkan
gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40–50% kasus.
Pada sebagian kecil kasus, terutama pada usia kurang dari 2
tahun, valproic acid dapat menyebabkan gangguan fungsi hati.
Dosis valproic acid 15-40 mg/ kgBB/hari dalam 2 dosis, dan
phenobarbital 3-4 mg/kgBB/hari dalam 1-2 dosis.5,7
2. Lama pengobatan
Pengobatan diberikan selama 1 tahun, penghentian
pengobatan rumat untuk kejang demam tidak membutuhkan
tapering off, namun dilakukan pada saat anak tidak sedang
demam.5
28
Gambar 2.1 Alogaritma tatalaksana kejang akut dan status
epileptikus14
3.9 Edukasi
Kejang merupakan peristiwa yang menakutkan bagi setiap orangtua.
Pada saat kejang, sebagian besar orangtua beranggapan bahwa anaknya akan
meninggal. Kecemasan tersebut harus dikurangi dengan cara diantaranya:5,7
a. Meyakinkan orangtua bahwa kejang demam umumya mempunyai
prognosis baik.
b. Memberitahukan cara penanganan kejang.
c. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.
d. Pemberian obat profilaksis untuk mencegah berulangnya kejang
memang efektif, tetapi harus diingat adanya efek samping obat.
Beberapa hal yang dapat dilakukan bila anak mengalami kejang:5
29
a. Tetap tenang dan tidak panik.
b. Longgarkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher.
c. Bila anak tidak sadar, posisikan anak miring. Bila terdapat muntah,
bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung.
d. Walaupun terdapat kemungkinan (yang sesungguhnya sangat kecil)
lidah tergigit, jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut.
e. Ukur suhu, observasi, dan catat bentuk dan lama kejang.
f. Tetap bersama anak selama dan sesudah kejang.
g. Berikan diazepam rektal bila kejang masih berlangsung lebih dari 5
menit. Jangan berikan bila kejang telah berhenti. Diazepam rectal
hanya boleh diberikan satu kali oleh orangtua.
h. Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau
lebih, suhu tubuh lebih dari 40 derajat Celsius, kejang tidak berhenti
dengan diazepam rektal, kejang fokal, setelah kejang anak tidak sadar,
atau terdapat kelumpuhan.
3.10 Prognosis
a. Kecacatan atau kelainan neurologis
Prognosis kejang demam secara umum sangat baik. Kejadian
kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan.
Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada
pasien yang sebelumnya normal. Kelainan neurologis dapat terjadi pada
kasus kejang lama atau kejang berulang, baik umum maupun fokal.
Suatu studi melaporkan terdapat gangguan recognition memory pada
anak yang mengalami kejang lama. Hal tersebut menegaskan
pentingnya terminasi kejang demam yang berpotensi menjadi kejang
lama.5
b. Kemungkinan berulangya kejang demam
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor
risiko berulangnya kejang demam adalah riwayat kejang demam atau
epilepsi dalam keluarga, usia kurang dari 12 bulan, suhu tubuh kurang
30
dari 39 derajat Celsius saat kejang, interval waktu yang singkat antara
awitan demam dengan terjadinya kejang dan apabila kejang demam
pertama merupakan kejang demam komplek.5
Bila seluruh faktor tersebut di atas ada, kemungkinan berulangnya
kejang demam adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor
tersebut kemungkinan berulangnya kejang demam hanya 10-15%.
Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar pada tahun
pertama.5
c. Faktor risiko terjadinya epilepsi
Faktor risiko menjadi epilepsi di kemudian hari adalah:5
- Terdapat kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas
sebelum kejang demam pertama
- Kejang demam kompleks
- Riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung
- Kejang demam sederhana yang berulang 4 episode atau lebih
dalam satu tahun.
Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian
epilepsi sampai 4-6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut akan
meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10-49%. Kemungkinan
menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumatan
pada kejang demam.5
d. Kematian
Kematian langsung karena kejang demam tidak pernah dilaporkan.
Angka kematian pada kelompok anak yang mengalami kejang demam
sederhana dengan perkembangan normal dilaporkan sama dengan
populasi umum.5
31
derajat rendah demam selama kejang, dan interval yang lebih pendek antara
demam dan kejang dapat menunjukkan kemungkinan yang lebih tinggi untuk
kejang demam berulang. Namun, gambaran yang berhubungan dengan kejang
demam kompleks tidak serta merta meningkatkan risiko kekambuhan kejang
demam.
Sekitar 1-2% anak dengan kejang demam sederhana - hanya berisiko
sedikit lebih tinggi daripada populasi umum - mengembangkan epilepsi
berikutnya. Namun, anak-anak dengan kejang demam kompleks, perkembangan
saraf abnormal, atau dengan riwayat keluarga epilepsi memiliki risiko lebih tinggi
terkena epilepsi (sekitar 5-10%). Tidak ada bukti bahwa kejang demam terkait
dengan ketidakmampuan belajar atau kecerdasan yang lebih rendah.19
32
BAB IV
ANALISA KASUS
Pada kasus telah dilaporkan An. A laki-laki usia 4 tahun 11 bulan. Dari
anamnesis didapatkan kejang di awali demam. Kejang dirasakan berlangsung 2
kali dalam sehari dengan durasi waktu ±5 menit, kejang dirasakan pada kedua
tangan kemudian seluruh tubuh dengan mata mendelik ke atas dan terdapat
gerakan tangan dan kaki seperti menghentak-hentak (berkelonjotan). Kejang
berhenti sendiri,setelah kejang hilang pasien tidak sadar kembali dan seperti orang
mengantuk. Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu tubuh 38 oC dan tidak
ditemukan kelainan neurologis setelah kejang.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan pada pasien diatas didapatkan
diagnosis kejang demam komplek. Menurut Konsensus Penatalaksanaan Kejang
Demam tahun 2016, kejang demam didefinisikan sebagai bangkitan kejang yang
terjadi pada anak berumur 6 bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu
tubuh (suhu di atas 380C, dengan metode pengukuran suhu apa pun) yang tidak
disebabkan oleh proses intracranial. Kejang demam kompleks (complex febrile
seizure) berlangsung lebih dari 15 menit, bersifat fokal atau parsial satu sisi atau
kejang umum didahului kejang parsial, berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24
jam.4
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Reza dkk., dan Jeong dkk
menunjukkan angka insidensi kejadian kejang demam dilaporkan lebih tinggi
pada anak laki-laki dikarenakan proses maturasi sel termasuk sel saraf lebih cepat
terjadi pada anak perempuan.14
Dari anamnesa juga didaptkan pasien sebelumnya mulai kejang sejak umur 1
tahun. Pasien sudah sering dirawat inap dengan keluhan kejang yang di dahului
oleh demam. Dari anamnesa juga didapatkan riwayat rawat inap terakhir dengan
keluhan kejang didahului demam itu kurang lebih 2 tahun yang lalu. Sekitar
sepertiga dari kasus kejang demam akan mengalami minimal satu kali kejadian
kejang demam berulang. Beberapa penelitian sebelumnya melaporkan tingkat
berulangnya kejadian kejang demam berkisar antara 20,9-65%. Dengan
33
bertambahnya usia anak akan terdapat penurunan risiko untuk terjadinya kejadian
kejang demam berulang. Hal ini terkait dengan kecenderungan anak berusia lebih
muda memiliki tingkat maturasi otak yang belum sepenuhnya sempurna sehingga
berdampak pada peningkatan kejadian kejang demam berulang.14
Pada pemeriksaan penunjang digunakan pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam,
tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam.
Pemeriksaan laboratorium pada kasus ini berupa pemeriksaan darah lengkap.
Didapatkan hasil berupa anemia hipokromik mikrositik dan peningkatan leukosit
(leukositosis).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, anak dengan
anemia 3,86 kali lebih berisiko untuk mengalami kejang demam dibandingkan
dengan anak yang tidak anemia.. Hal ini dikarenakan balita dengan anemia dapat
menyebabkan pasokan oksigen berkurang. Fungsi dari hemoglobin adalah
mengikat oksigen dan mengedarkan ke seluruh tubuh, jika balita mengalami
anemia tentu dapat mengakibatkan terganggunya transport oksigen ke jaringan
tubuh. Ditambah lagi dengan meningkatnya suhu tubuh pada balita yang dapat
menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen dalam tubuh.15
Peningkatan kadar leukosit berhubungan erat dengan kejang demam.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hardika, dkk,10 diperoleh bahwa
tingginya leukosit pada tubuh merupakan indikasi peningkatan produksi sel-sel
untuk melawan infeksi pada tubuh. Pada saat terjadinya infeksi, leukosit secara
otomatis akan melakukan fagositosis atau menghancurkan organisme yang
menyebabkan infeksi. Adanya gangguan sistem kekebalan tubuh akan
menyebabkan peningkatan jumlah sel-sel darah putih (leukosit). Dengan adanya
peningkatan leukosit tersebutlah yang akan menyebabkan kejang demam pada
balita.10
Pada kasus ini, pasien diberikan IVFD KAEN IB 15gtt, Paracetamol syr 1 ½
cth, Diazepam pulv 3x5mg. jika terjadi kejang diberikan Diazepam iv 5 mg.
Terapi yang diberikan pada pasien untuk mengatasi demam sudah sesuai,
yakni dengan pemberian paracetamol, dimana paracetamol diberikan selama
34
pasien mengalami demam yaitu dengan dosis Dosis parasetamol yang digunakan
adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan tiap 4-6 jam.4
Terapi untuk antikonvulsan yang diberikan di IGD itu diazepam 5 mg iv.
Apabila saat pasien datang dalam keadaan kejang, obat yang paling cepat untuk
menghentikan kejang adalah diazepam intravena. Dosis diazepam intravena
adalah 0,2-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 2 mg/menit atau dalam
waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 10 mg. Secara umum, penatalaksanaan
kejang akut mengikuti algoritma kejang pada umumnya. Jika tidak kejang lagi
diazepam dapat diberikan secara oral.4
35
BAB IV
KESIMPULAN
Kejang demam merupakan jenis kejang yang sering terjadi, terbagi atas
kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. Kejang demam
merupakan suatu kondisi yang patut diperhatikan, dan tatalaksana yang tepat
dapat mengatasi kondisi kejang dan mengatasi kausanya. Sebagian besar kejang
demam tidak menyebabkan penurunan IQ, epilepsi, ataupun kematian. Kejang
demam dapat berulang yang kadang menimbulkan ketakutan dan kecemasan pada
keluarga. Diperlukan pemeriksaan sesuai indikasi dan tatalaksana menyeluruh.
Edukasi orang tua penting karena merupakan pilar pertama penanganan kejang
demam sebelum dirujuk ke rumah sakit.
36
DAFTAR PUSTAKA
37
14. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Rekomendasi penatalaksanaan status epileptikus. Badan Penerbit IDAI. 2016.
15. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pendekatan
diagnosis dan tatalaksana kejang. Badan Penerbit IDAI. 2020.
16. Hardika DP, Mahalin DS. Faktor- faktor yang berhubungan dengan kejadian
kejang demam berulang pada anak di RSUP Sanglah Denpasar. E Jurnal
Medika. 2019;8(4)
17. Putrid L, Shafira N, Hutabarat S. hubungan anemia defisiensi besi dengan
kejang demam pada anak balita. Jambi Journal Medical. 2017;5(1):68-77.
18. Junaidi F, Evani S. Laporan kasus: Penanganan status epileptikus refrakter
pada anak dengan meningoensefalitis di Ruma Sakit Tipe D. Collusum
Neurology. 2019;2(1):1-7.
19. Xixis KL, Samanta D, Keenaghan M. Febrile Seizure.2020[internet]. Avaible
from : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK448123/
38